1

17
1.2 Teori dasar a. Definisi Sediaan Parenteral dan Sediaan Injeksi Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan untuk injeksi atau sediaan untuk infus. Sediaan injeksi telah digunakan untuk pertama kalinya pada manusia sejak tahun 1660. Meskipun demikian, perkembangan injeksi baru berlangsung tahun 1852, khususnya pada saat diperkenalkannya ampul gelas oleh Limousin (Perancis) dan Friedlaeder (Jerman), seorang apoteker. Injeksi adalah pemakaian dengan cara penyemprotan larutan atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapetik atau diagnostik. Injeksi dapat dilakukan langsung ke dalam aliran darah, ke dalam jaringan, atau organ. Asal kata injeksi dari injectio yang berarti memasukkan ke dalam sedangkan infusio berarti penuangan ke dalam. Keuntungan dan Kelemahan pemberian obat secara parenteral, Keuntungan : 1. Obat memiliki onset (mula kerja yang cepat) 2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti 3. Bioavailabilitas sempurna atau hampir sempurna 4. kerusakan obat dalam tractus gastrointestinal dapat dihindarkan 5. Obat dapat diberikan kepada penderita sakit keras atau yang sedang dalam keadaan koma Kelemahan : a. Rasa nyeri pada saat disuntik b. Memberikan efek psikologis pada penderita yang takut disuntik c. Kekeliruan pemberian obat atau dosis hampir tidak mungkin diperbaiki, terutama sesudah pemberian intravena d. Obat hanya dapat diberikan kepada penderita dirumah sakit atau ditempat praktik dokter oleh dokter dan perawat yang berkompeten b. Persyaratan sediaan parenteral Kerja optimal larutan obat yang diberikan secara parenteral hanya diperoleh jika persyaratan berikut terpenuhi : a. Sesuai dengan kandungan bahan obat yang ada di dalam sediaan dengan pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan akibat perusakan obat secara kimiawi dan lain sebagainya b. Penggunaan wadah yang cocok sehingga tidak hanya memungkinkan sediaan tetap steril, tetapi juga mencegah terjadinya interaksi antara bahan obat dan material dinding wadah c. Tersatukan tanpa terjadinya reaksi d. Bebas kuman e. Bebas pirogen f. Isotonis

Transcript of 1

1.2 Teori dasara. Definisi Sediaan Parenteral dan Sediaan InjeksiSediaan parenteral adalah bentuk sediaan untuk injeksi atau sediaan untuk infus. Sediaan injeksi telah digunakan untuk pertama kalinya pada manusia sejak tahun 1660. Meskipun demikian, perkembangan injeksi baru berlangsung tahun 1852, khususnya pada saat diperkenalkannya ampul gelas oleh Limousin (Perancis) dan Friedlaeder (Jerman), seorang apoteker. Injeksi adalah pemakaian dengan cara penyemprotan larutan atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapetik atau diagnostik. Injeksi dapat dilakukan langsung ke dalam aliran darah, ke dalam jaringan, atau organ. Asal kata injeksi dari injectio yang berarti memasukkan ke dalam sedangkan infusio berarti penuangan ke dalam. Keuntungan dan Kelemahan pemberian obat secara parenteral, Keuntungan :1. Obat memiliki onset (mula kerja yang cepat)2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti 3. Bioavailabilitas sempurna atau hampir sempurna4. kerusakan obat dalam tractus gastrointestinal dapat dihindarkan5. Obat dapat diberikan kepada penderita sakit keras atau yang sedang dalam keadaan komaKelemahan :a. Rasa nyeri pada saat disuntikb. Memberikan efek psikologis pada penderita yang takut disuntikc. Kekeliruan pemberian obat atau dosis hampir tidak mungkin diperbaiki, terutama sesudah pemberian intravenad. Obat hanya dapat diberikan kepada penderita dirumah sakit atau ditempat praktik dokter oleh dokter dan perawat yang berkompeten

b. Persyaratan sediaan parenteralKerja optimal larutan obat yang diberikan secara parenteral hanya diperoleh jika persyaratan berikut terpenuhi :a. Sesuai dengan kandungan bahan obat yang ada di dalam sediaan dengan pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan akibat perusakan obat secara kimiawi dan lain sebagainyab. Penggunaan wadah yang cocok sehingga tidak hanya memungkinkan sediaan tetap steril, tetapi juga mencegah terjadinya interaksi antara bahan obat dan material dinding wadahc. Tersatukan tanpa terjadinya reaksid. Bebas kumane. Bebas pirogenf. Isotonisg. Isohidrish. Bebas partikel melayang

c. Klasifikasi sediaan injeksi1. Larutan sejati dengan pembawa air, contohnya injeksi vitamin C2. Larutan sejati dengan pembawa minyak, contohnya injeksi kamfer. Pe3. Larutan sejati dengan pembawa campuran, contohnya injeksi phenobarbital. Pelarut campuran bukan minyak, yaitu : Alkohol, Propilenglikol, Glycerine, Paraffin Liquid dan Ethyl Oleat.Alkohol, propilenglikol, gliserin dan lain-lain dicampur air dapat dipakai sebagai pelarut obat suntuk, disamping melarutkan, ternyata mempertinggi stabilitas obat dan larutannya pula. 4. Suspensi steril dengan pembawa air, contohnya injeksi calciferol5. Suspensi steril dengan pembawa minyak, contohnya injeksi Bismuthsubsalisilat

6. Emulsi steril, contohnya Infus Ivelip 20%7. Serbuk kering dilarutkan dengan air, contohnya Injeksi Solumedrol

d. Komponen Larutan obat suntik1. Zat aktifa. Memenuhi syarat yang tercantum sesuai monografinya masing-masing dalam farmakope.b. Pada etiket tercantum p.i (pro injection)2. Zat pembawa / zat pelarutDibedakan menjadi 2 bagian:a. Zat pembawa berairUmumnya digunakan aqua pro injeksi. Selain itu dapat digunakan NaCl pro injeksi, glukosa pro injeksi, dan NaCl compositus pro injeksi. b. Zat pembawa bukan airUmumnya digunakan minyak untuk injeksi misalnya oleum sesami, oleum olivarum, oleum arachidis. 3. Zat tambahanDitambahkan pada pembuatan injeksi dengan maksud:a. Bahan penambah kelarutan obatUntuk menaikkan kelarutan obat digunakan :- Pelarut organik yang dapat campur dengan air seperti etanol, propilenglikol, gliserin.- Surface active agent (s.a.a) terutama yang nonionik.- Etilendiamin untuk menambah kelarutan teofilin.- Dietilamin untuk menambah kelarbarbital.- Niasinamid dan Salisilas Natricus menambah kelarutan vit B2.- Kreatinin, niasinamid dan lecitine digunakan untuk menambah kelarutan steroid.b. Buffer / pendapar Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan asam, basa, dan dapar. Penambahan larutan dapar hanya dilakukan untuk larutan obat suntik dengan pH 5,5-9. Pada pH >9, jaringan mengalami nekrosis, pada pH<3, jaringan akan mengalami rasa sakit, phlebitis, dan dapat menghancurkan jaringan. Pada pH<3 atau pH>11 sebaiknya tidak di dapar karena sulit dinetralisasikan, terutama ditujukan untuk injeksi i.m. dan s.c.Fungsi larutan dapar dalam obat suntik adalah :- Meningkatkan stabilitas obat, misalnya injeksi vitamin C dan injeksi luminal.- Mengurangi rasa nyeri dan iritasi.- Meningkatkan aktivitas fisiologis obat. Umumnya digunakan larutan dapar fosfat, laritan dapar boraks, dan larutan dapar lain yang berkapasitas dapar rendah. c. Untuk mendapatkan larutan yang isotonis.Bahan pembantu mengatur tonisitas adalah NaCl, glukosa, sukrosa, KNO3, dan NaNO3.d. Antioksidan- Asam ascorbic 0,1%- BHA 0,02%- BHT 0,02%- Natrium Bisulfit 0,15%- Natrium Metabisulfit 0,2%- Tokoferol 0,5%- Zat pengkhelat seperti Na-EDTA 0,01-0,075% yang akan membentuk kompleks dengan logam berat yang merupakan katalisator oksidasi.e. Bahan Pengawet (preservatives)- Benzalkonium chloride 0,05%-0,1%

- Benzyl alkohol 2%- Chlorobutanol 0,5%- Chlorocresol 0,1-0,3%- Fenil merkutik nitrat dan asetat 0,002%- Fenol 0,5%f. Gas inert seperti nitrogen dan karbondioksida sering digunakan untuk meningkatkan kestabilan produk dengan mencegah reaksi kimia antara oksigen dalam udara dengan obat . 

e. Tonisitas larutan obat suntik IsotonisJika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah merah, sehingga tidak terjadi pertukaran cairan di antara keduanya, maka larutan dikatakan isotoni (ekuivalen dengan larutan 0,9% NaCl) IsoosmotikJika suatu larutan memiliki tekanan osmose sama dengan tekanan osmose dalam serum darah, maka larutan dikatakan isoosmotik (0,9% NaCl, 154 mmol Na+ dan 154 mmol Cl- per liter = 308 mmol per liter, tekanan osmose 6,86). Pengukuran menggunakan alat osmometer dengan kadar mol zat per liter larutan ).  HipotonisTurunnya titik beku kecil, yaitu tekanan osmosenya lebih rendah dari serum darah, sehingga menyebabkan air akan melintasi membran sel darah merah yang semipermeabel memperbesar volume sel darah merah dan menyebabkan peningkatan tekanan dalam sel. Tekanan yang lebih besar menyebabkan pecahnya sel-sel darah merah. Disebut Hemolisa.  HipertonisTurunnya titik beku besar, yaitu tekanan osmosenya lebih tinggi dari serum darah merah, sehingga menyebabkan air keluar dari sel darah merah melintasi membran semipermeabel dan mengakibatkan terjadinya penciutan sel-sel darah merah, disebut plasmolisa. 

f. Proses pembuatan dan proses sterilisasi Cara sterilisasi akhirCara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunkan dalam pembuatan sediaan steril. Zat aktif harus stabil dengan adanya molekul air dan suhu sterilisasi. Dengan cara ini sediaan disterilkan pada tahap terakhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya ditutup kertas perkamen, dapat langsung digunakan tanpa perlu disterilkan lebih dahulu.  Cara aseptisCara ini terbatas penggunaanya pada sedian yang mengandung zat aktif peka suhu tinggi dan dapat mengakibatkan penguraian dan penurunan kerja farmakologisnya. Antibiotika dan beberapa hormon tertentu merupakan zat aktif yang sebaiknya diracik secara aseptis. Cara aseptis bukanlah suatu cara sterilisasi melainkan suatu cara kerja untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan. Sterilisasi panas dengan tekanan atau Sterilisasi uap (autoklaf)Dengan memaparkan uap jenuh pada tekanan tertentu selama waktu dan suhu tertentu pada suatu objek, sehingga terjadi pelepasan energi laten uap yang mengakibatkan pembunuhan mikroorganisme secara irreversible akibat denaturasi atau koagulasi protein sel. Sterilisasi ini dilakukan dengan suhu 121°C selama 30 menit. Autoklaf digunakan untuk mensterilkan alat-alat persisi seperti gelas ukur, pipet, corong beserta kertas saring, spuit. Sterilisasi panas kering (oven)Terjadi melalui mekanisme konduksi panas. Panas akan diabsorpsi oleh permukaan alat yang disterikan lalu merambat kebagian dalam permukaan sampai akhirnya suhu untuk sterilisasi tercapai. Udara panas

oven akan mematikan jasad renik meluli mekanisme dehidrasi-oksidasi terhadap mikroorganisme. Sterilisasi ini dilakukan dengan suhu 170°C selama 30 menit. Digunakan untuk mensterilkan alat-alat gelas non-persisi seperti beaker glass, elenmeyer, kaca arloji, cawan penguap, pinset logam, batang pengaduk.

DAFTAR PUSTAKA

Farmakope Indonesia Edisi ketiga. 1979. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Formularium Nasional Edisi Kedua. 1978. Departemen Kesehatan Repiblik Indonesia.

Departement of pharmaceutical Science. 1982. Martindale the Extra Pharmacoeia 28th edition. London: The Pharmaceutical Press.

Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta : Andi.

Wade, Ainley and Paul J.Weller. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients, second edition. London : The Pharmaceutical Press

Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah aktivitas biokimia dan biofisika makromolekul. Pemikiran ini sudah berlangsung lebih dari seabad dan diwujudkan dengan istilah reseptor.

Afinitas reseptor untuk mengikat obat menentukan konsentrasi obat yang diperlukan untuk membentuk kompleks obat-reseptor (drug-receptor complexes) dalam jumlah yang berarti, dan jumlah reseptor secara keseluruhan dapat membatasi efek maksimal yang ditimbulkan oleh obat.

Respon terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis peningkatan respon menurun. Pada akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi.

Memilih di antara sekian banyak obat dan menentukan dosis obat yang tepat, seorang dokter harus mengetahui potensi relative farmakologis dan efikasi maksimal obat dalam kaitannya dengan efek terapeutik yang diharapkan. Potensi mengacu pada konsentrasi (EC50) atau dosis (ED50) obat yang diperlukan untuk menghasilkan 50% efek maksimal obat tersebut. Potensi obat bergantung sebagian pada afinitas reseptor untuk mengikat obat dan sebagian lagi pada efisiensi interaksi, yang mana interaksi reseptor obat dihubungkan terhadap respon.

Perlu dibedakan antara potensi obat dan efikasi. Keefektifan obat secara klinik tidak bergantung pada potensinya (EC50), tetapi pada efikasi maksimalnya dan kemampuannya mencapai reseptor yang bersangkutan. Kemampuan ini dapat bergantung pada cara pemberian, penyerapan, distribusi di dalam tubuh, dan klirens dari darah atau titik tangkap obat. Efikasi obat yang maksimal jelas krusial untuk mengambil keputusan klinik ketika diperlukan respon yang besar. Potensi farmakologis sebagian besar dapat menentukan dosis obat terpilih yang diberikan.

Namun, keputusan klinik tidak hanya dapat didasarkan pada potensi dan efikasi obat. Penggunaan potensi dan efikasi tidak memungkinkan dibuat apabila respon farmakologis adalah

suatu peristiwa (kuantal). Efek kuantal tertentu dapat dipilih berdasarkan relevansi klinik (misalnya, sembuh dari sakit kepala) atau untuk pertahanan keamanan subyek eksperimental (misalnya, dengan memakai stimulan kardiak dosis rendah dan menetapkan peningkatan denyut jantung sebanyak 20 detak/ menit sebagai efek kuantal). Atau ini adalah peristiwa kuantal yang inferen (misalnya, kematian hewan eksperimental).

Kuantal efek dosis sering kali dikarakterisasi dengan menyatakandosis efektif median (ED50, median effective dose ), dosis dimana 50% individe-individu yang menunjukkan efek kuantal tertentu. Demikian juga dosis yang diperlukan menghasilkan efek toksik tertentu dalam 50% hewan-hewan disebut dengan dosis toksis median (TD50, median toxic dose).Kalau secara efek toksiknya adalah kematian hewan tersebut, maka dapat ditentukan secara eksperimental dengan dosis lethal 50 (LD50, median lethal dose). Satu perhitungan, yang menghubungkan dosis suatu obat yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan dengan dosis yang menghasilkan efek yang tidak diinginkan disebut sebagai indeks terapeutik. Indeks terapeutik ini biasa dirumuskan sebagai rasio dari LD50 dengan ED50.

Asam benzoat, C7H6O2 (atau C6H5COOH), adalah padatan kristal berwarna putih dan merupakan asam

karboksilat aromatik yang paling sederhana. Nama asam ini berasal dari gum benzoin (getah kemenyan),

yang dahulu merupakan satu-satunya sumber asam benzoat. Asam lemah ini beserta garam turunannya

digunakan sebagai pengawet makanan. Asam benzoat adalah prekursor yang penting dalam sintesis

banyak bahan-bahan kimia lainnya.

Daftar isi

  [sembunyikan] 

1   Sejarah

2   Produksi

o 2.1   Pembuatan secara industri

o 2.2   Sintesis laboratorium

2.2.1   Dengan hidrolisis

2.2.2   Dari benzaldehida

2.2.3   Dari bromobenzena

2.2.4   Dari benzil alkohol

o 2.3   Pembuatan secara historis

3   Referensi

[sunting]Sejarah

Asam benzoat pertama kali ditemukan pada abad ke-16. Distilasi kering getah kemenyan pertama kali

dideskripsikan oleh Nostradamus (1556), dan selanjutnya oleh Alexius Pedemontanus (1560) dan Blaise

de Vigenère (1596).[2]

Justus von Liebig dan Friedrich Wöhler berhasil menentukan struktur asam benzoat pada tahun 1832.[3] Mereka juga meneliti bagaimana asam hipurat berhubungan dengan asam benzoat.

Pada tahun 1875, Salkowski menemukan bahwa asam benzoat memiliki aktivitas anti jamur.[4]

[sunting]Produksi

[sunting]Pembuatan secara industri

Asam benzoat diproduksi secara komersial dengan oksidasi parsial toluena dengan oksigen. Proses ini

dikatalisis oleh kobalt ataupun mangan naftenat . Proses ini menggunakan bahan-bahan baku yang

murah, menghasilkan rendemen yang tinggi, dan dianggap sebagai ramah lingkungan.

[sunting]Sintesis laboratorium

Asam benzoat sangatlah murah dan tersedia secara meluas, sehingga sintesis laboratorium asam

benzoat umumnya hanya dipraktekkan untuk tujuan pedagogi. Ia umumnya diajarkan kepada mahasiswa

universitas.

Untuk semua metode sintesis, asam benzoat dapat dimurnikan dengan rekristalisasi dari air, karena

asam benzoat larut dengan baik dalam air panas namun buruk dalam air dingin. Penghindaran

penggunaan pelarut organik untuk rekristalisasi membuat eksperimen ini aman. Pelarut lainnya yang

memungkinkan meliputi asam asetat, benzena, eter petrolium, dan campuran etanol dan air.[5]

[sunting]Dengan hidrolisis

Sama seperti nitril ataupun amida lainnya, benzonitril dan benzoamida dapat dihidrolisis menjadi asam

benzoat ataupun basa konjugatnya dalam keadaan asam maupun basa.

[sunting]Dari benzaldehida

Disproporsionasi benzaldehida yang diinduksi oleh basa dalam reaksi Cannizzaro akan menghasilkan

sejumlah asam benzoat dan benzil alkoholdalam jumlah yang sama banyak. Benzil alkohol kemudian

dapat dipisahkan dari asam benzoat dengan distilasi.

[sunting]Dari bromobenzena

Bromobenzena dapat diubah menjadi asam benzoat dengan "karbonasi" zat anatara fenilmagensium

bromida:[6]

C6H5MgBr + CO2 → C6H5CO2MgBr

C6H5CO2MgBr + HCl → C6H5CO2H + MgBrCl

[sunting]Dari benzil alkohol

Benzil alkohol dapat direfluks dengan kalium permanganat ataupun oksidator lainnya dalam air.

Campuran ini kemudian disaring dalam keadaan panas untuk memisahkan mangan dioksida,

dan kemudian didinginkan untuk mendapatkan asam benzoat.

[sunting]Pembuatan secara historis

Proses industri pertama melibatkan reaksi antara benzotriklorida (triklorometil benzena)

dengan kalsium hidroksida dalam air, menggunakan besi sebagai katalis. Kalsium benzoat yang

dihasilkan kemudian diubah menjadi asam benzoat dengan menggunakanasam klorida. Produk

proses ini mengandung turunan asam benzoat yang terklorinasi dalam jumlah yang signifikan.

Oleh karena itu, asam benzoat yang digunakan untuk konsumsi manusia didapatkan dari distilasi

getah kemenyan. Pada zaman sekarang, asam benzoat yang digunakan untuk konsumsi

diproduksi secara sintetik.

     A.    Pengertian

Salep (unguenta menurut FI ed.III) adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan

digunakan sebagai obat luar.

Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen ke dalam dasar salep yang cocok.

Salep juga termasuk obat kulit, dapat mengobati penyakit kulit seperti kudis, eksema, kutu air, biang

keringat, koreng dan sebagainya.

    B.    Peraturan pembuatan salep

  Menurut F. Van Duin :

1.    Peraturan salep pertama

“zat-zat yang dapat larut dalam campuran lemak, dilarutkan ke dalamnya, jika perlu dengan

pemanasan”.

2.    Peraturan salep kedua

“bahan-bahan yang larut dalam air, jika tidak ada peraturan lain, dilarutkan lebih dahulu dalam air,

asalkan jumlah air yang dipergunakan dapat diserap seluruhnya oleh basis salep dan jumlah air

yang dipakai, dikurangi dari basis salepnya”

3.    Peraturan salep ketiga

“bahan-bahan yang sukar atau hanya sebagaian dapat larut dalam lemak dan air harus diserbukkan

lebih dahulu, kemudian diayak dengan pengayak No.60”

4.    Peraturan keempat

“salep-salep yang dibuat dengan jalan mencairkan, campurannya harus digerus sampai dingin”

bahan-bahan yang ikut dilebur, penimbangannya harus dilebihkan 10-20% untuk mencegah

kekurangan bobotnya.

        C.   Persyaratan salep

  Menurut FI III

1.    Pemerian : tidak boleh berbau tengik

2.    Kadar : kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras atau narkotik, kadar

bahan obat adalah 10%.

3.    Dasar salep (Ds) : kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep (basis salep) digunakan

vaselin putih (vaselin album). Tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan pemakaian salep, dapat

dipilih beberapa bahan dasar salep sebagai berikut :

a.    Ds. Senyawa hidrokarbon : vaselin putih, vaselin kuning (vaselin flavum), malam putih (cera album),

malam kuning (cera flavum), atau campurannya.

b.    Ds. Serap : lemak bulu domba (adeps lanae), campuran 3 bagian kolesterol, 3 bagian stearil-alkohol,

8 bagian mala putih dan 86 bagian vaselin putih, campuran 30 bagian malam kuning dan 70 bagian

minyak wijen.

c.    Ds. Yang dapat dicuci dengan air atau Ds. Emulsi, misalnya emulsi minyak dalam air (M/A).

d.    Ds. Yang dapat larut dalam air, misalnya PEG atau campurannya.

4.    Homogenitas : jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus

menunjukkan susunan yang homogen.

5.    Penandaan : pada etiket harus tertera “obat luar”.

       D.   Penggolongan salep

1.    Menurut konsistensinya salep dapat dibagi :

a.    Unguenta : salep yang mempunyai konsistensi seperti mentega, tidak mencair pada suhu biasa,

tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.

b.    Cream (krim) : salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit, suatu tipe yang dapat dicuci

dengan air.

c.    Pasta : salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat (serbuk), suatu salep tebal, karena

merupakan penutup atau pelindung bagian kulit yang diolesi.

d.    Cerata : salep berlemak yang mengandung persentase lilin (wax) yang tinggi sehingga

konsistensinya lebih keras (ceratum labiale)

e.    Gelones/spumae/jelly : salep yang lebih halus, umumnya cair dan sedikit mengandung atau tanpa

mukosa, sebagai pelicin atau basisnya terdiri atas campuran sederhana dari minyak dan lemak

dengan titik lebur rendah. Contoh : starch jellies (10% amilum dengan air mendidih).

2.    Menurut farmakologi / teraupetik dan penetrasinya, salep dapat dibagi :

a.    Salep epidermis (epidermic ointment ; salep penutup) guna melindungi kulit dan menghasilkan efek

lokal, tidak diabsorpsi, kadang-kadang ditambahkan antiseptik, astringensia untuk meredakan

rangsangan atau anestesi lokal. Ds yang baik adalah ds. senyawa hidrokarbon.

b.    Salep endodermis : salep bahan obatnya menembus kedalam kulit, tetapi tidak melalui kulit,

terabsorpsi sebagaian, digunakan untuk melunakkan kulit atau selaput lendir. Ds yang terbaik

adalah minyak lemak.

c.    Salep diadermis : salep yang bahan obatnya menembus kedalam tubuh melalui kulit dan mencapai

efek yang diinginkan, misalnya salep yang mengandung senyawa merkuri iodida.

3.    Menurut dasar salepnya, salep dapat dibagi :

a.    Salep hidrofobik yaitu salep yang tidak suka air atau salep dengan dasar salep berlemak (greasy

bases) tidak dapat dicuci dengan air, misalnya : campuran lemak-lemak minyak lemak, malam

b.    Salep hidrofilik yaitu salep yang suka air atau kuat menarik air, biasanya ds. tipe M/A

4.    Menurut Formularium Nasional (Fornas)

a.    Dasar salep 1 (ds. senyawa hidrokarbon)

b.    Dasar salep 2 (ds. serap)

c.    Dasar salep 3 (ds. yang dapat dicuci dengan air atau ds. emulsi M/A)

d.    Dasar salep 4 (ds. yang dapat larut dalam air).

      E.    Kualitas dasar salep

Kualitas dasar salep yang baik adalah :

1.    Stabil, tidak terpengaruh oleh suhu dan kelembapan dan selama dipakai harus bebas dari

inkompatibilitas.

2.    Lunak, harus halus, dan homogen

3.    Mudah dipakai

4.    Dasar salep yang cocok

5.    Dapat terdistribusi secara merata

       F.    Sifat-sifat salep

Sifat-sifat dari salep yang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit kulit, harus :

1.    Bersifat antiseptika (mencegah infeksi)

2.    Bersifat protektiva (bahan yang mampu melindungi kulit yang luka atau yang sakit)

3.    Bersifat emolien (bahan yang mampu menghaluskan dan melemaskan kulit)

4.    Bahan-bahan yang dapat mengurangi rasa gatal

        Bahan-bahan yang cepat menguap sehingga terjadi pendinginan setempat

Misalnya : kamfer,menthol

        Bahan-bahan yang dapat menahan rasa sakit setempat

Misalnya : phenol, anaesthesin

    G.   Pembuatan salep

Baik dalam ukuran besar maupun kecil, salep dibuat dengan dua metode umum, yaitu :

         Pencampuran

Dalam metode pencampuran, komponen dari salep dicampur bersama-sama dengan segala cara

sampai sediaan yang rata tercapai.

         Peleburan

Dengan metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari salep dicampurkan dengan

melebur bersama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai mengental.

Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada campuran yang sedang

mengental setelah didinginkan dan diaduk. 

Cara pembuatan salep ditinjau dari zat khasiat utamanya

1.    Zat padat

a.    Zat padat dan larut dalam dasar salep

  Camphorae

        Dilarutkan dalam dasar salep yang sudah dicairkan didalam pot salep tertutup (jika tidak dilampaui

daya larutnya)

        Jika dalam resepnya terdapat minyak lemak (Ol. sesami), camphorae dilarutkan lebih dahulu dalam

minyak tersebut

        Jika dalam resep terdapat salol, menthol, atau zat lain yang dapat mencair jika dicampur (karena

penurunan titik eutektik), camphorae dicampurkan supaya mencair, baru ditambahkan dasar

salepnya

        Jika camphorae itu berupa zat tunggal, camphorae ditetesi lebih dahulu dengan eter atau alkohol

95%, kemudian digerus dengan dasar salepnya.

  Pellidol

           Larut 3% dalam dasar salep, pellidol dilarutkan bersama-sama dengan dasar salepnya yang

dicairkan (jika dasar salep disaring tetapi jangan lupa harus ditambahkan pada penimbangannya

sebanyak 20% ).

          Jika pellidol yang ditambahkan melebihi daya larutnya, maka digerus dengan dasar salep yang

mudah dicairkan.

  Iodum

          Jika kelarutannya tidak dilampaui, kerjakan seperti pada camphorae

          Larutkan dalam larutan pekat KI atau NaI (seperti pada unguentum iodii dari Ph. Belanda V)

          Ditetesi dengan etanol 95% sampai larut, baru ditambahkan dasar salepnya

b.    Zat padat larut dalam air

  Protargol

          Taburkan diatas air, diamkan ditempat gelap selama ¼ jam sampai larut

          Jika dalam resep terdapat gliserin, tambahkan  gliserin tersebut, baru ditambahkan airnya dan tidak

perlu ditunggu ¼ jam lagi karena dengan adanya gliserin, protargol atau mudah larut.

  Colargol

          Dikerjakan seperti protargol

  Argentum nitrat (AgNO3)

          Walaupun larut dalam air, zat ini tidak boleh dilarutkan dalam air karena akan meninggalkan bekas

noda hitam pada kulit yang disebabkan oleh terbentuknya Ag2O, kecuali pada resep obat wasir.

  Fenol/fenol

          Sebenarnya fenol mudah larut dalam air, tetapi dalam salep tidak dilarutkan karena akan

menimbulkan rangsangan atau mengiritasi kulit dan juga tidak boleh diganti dengan Phenol

liquifactum (campuran fenol dan air 77-81,5% FI ed.III).

c.    Bahan obat yang larut dalam air tetapi tidak boleh dilarutkan dalam air, yaitu :

          Argentum nitrat : stibii et kalii tartras

          Fenol : oleum iocoris aselli

          Hydrargyri bichloridum : zink sulfat

          Chrysarobin : antibiotik (misalnya penicilin)

          Pirogalol : chloretum auripo natrico.

d.    Bahan yang ditambahkan terakhir pada suatu massa salep :

  Ichtyol

Jika ditambahkan pada massa salep yang masih panas atau digerus terlalu lama, akan terjadi

pemisahan.

  Balsem-balsem dan minyak yang mudah menguap.

Balsem merupakan campuarn damar dan minyak mudah menguap ; jika digerus terlalu lama,

damarnya akan keluar.

  Air

Ditambahkan terakhir karena berfungsi sebagai pendingin; disamping itu, untuk mencegah

permukaan mortir menjadi licin.

  Gliserin

Harus ditambahkan ke dalam dasar salep yang dingin, karena tidak bisa bercampur dengan bahan

dasar salep yang sedang mencair dan harus ditambahkan sedikit demi sedikit karena tidak mudah

diserap oleh dasar salep.

  Marmer album

Dimasukkan terakhir karena dibutuhkan dalam bentuk kasar, yang akan memberikan pengaruh

percobaan pada kulit.

e.   Zat padat tidak larut dalam air

Umumnya dibuat serbuk halus dahulu, misalnya :

        Belerang (tidak boleh diayak)

        Ac. Boricum (diambil bentuk yang pulveratum)

        Oxydum zincicum (diayak dengan ayakan No. 100/B40).

        Mamer album (diayak dengan ayakan No.25/B10)

        Veratrin (digerus dengan minyak, karena jika digerus tersendiri akan menimbulkan bersin).

2.    Zat cair

a.    Sebagai pelarut bahan obat

  Air

           Terjadi reaksi

Contohnya, jika aqua calcis bercampur dengan minyak lemak akan terjadi penyabunan sehingga

cara penggunaannya adalah dengan diteteskan sedikit demi sedikit kemudian dikocok dalam

sebuah botol bersama dengan minyak lemak, baru dicampur dengan bahan lainnya.

           Tak terjadi reaksi

o   Jumlah sedikit : teteskan terakhir sedikit demi sedikit

o   Jumlah banyak : diuapkan atau diambil bahan berkhasiatnya saja dan berat airnya diganti dengan

dasar salepnya

  Spiritus/etanol/alkohol

           Jumlah sedikit : teteskan terakhir sedikit demi sedikit

           Jumlah banyak :

o   Tahan panas : Tinct. Ratanhiae, panaskan diatas tangas air sampai sekental sirop atau sepertiga

bagian.

o   Tak tahan panas :

-       Diketahui pembandingnya, maka diambil bagian-bagiannya saja, misalnya tinct. iodii

-       Tak diketahui pembandingnya, teteskan terakhir sedikit demi sedikit

-       Jika dasar salep lebih dari 1 macam, harus diperhitungkan menurut perbandingan dasar salepnya.

  Cairan kental

Umumnya dimasukan sedikit demi sedikit. Contohnya : gliserin, pix lithantratis, pix liquida, balsem

peruvianum, ichtyol, kreosot.

3.    Bahan berupa ekstrak/extractum

  Extractum sicccum /kering

Umumnya larut dalam air, maka dilarutkan dalam air, dan berat air dapat dikurangkan dari dasar

salepnya

  Extractum spissum/kental

Diencerkan dahulu dengan air atau etanol

  Extractum liquidum

Dikerjakan seperti pada cairan dengan spiritus.

4.    Bahan-bahan lain

  Hydrargyrum

Gerus dengan adeps lanae dalam lumpang dingin, sampai halus (<20µg) atau gunakan resep

standar, misalnya : Unguentum Hydrargyri (Ph.Belanda V) yang mengandung 30% dan Unguentum

Hydrargyri Fortio (C.M.N) mengandung 50%

  Naphtolum

Dapat larut dalam sapo kalicus, larutkan dalam sapo tersebut. Jika tidak ada sapo, dikerjakan

seperti Camphorae. Mempunyai D.M/T.M untuk obat luar.

  Bentonit

Serbuk halus yang dengan air akan membentuk massa seperti salep.

      H.   Pengawetan salep

Preparat farmasi setengah padat seperti salep, sering memerlukan penambahan pengawet kimia

sebagai antimikroba, pada formulasi untuk mencegah pertumbuhan mikro organisme yang

terkontaminasi. Pengawet-pengawet ini termasuk hidroksibenzoat, fenol-fenol, asam benzoat, asam

sorbat, garam amonium kuarterner dan campuran lainnya. Preparat setengah padat harus pula

dilindungi melalui kemasan dan penyimpanan yang sesuai dari pengaruh pengerusakan oleh udara,

cahaya, uap air (lembap) dan panas serta kemungkinan terjadinya interaksi kimia antara preparat

dengan wadah.

I.      Fungsi salep

         Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit.

         Sebagai bahan pelumas pada kulit.

         Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan

rangsang kulit.

      J.    Pengemasan dan penyimpanan salep

Salep biasanya dikemas baik dalam botol atau dalam tube, botol dapat dibuat dari gelas tidak

bewarna, warna hijau, amber atau biru atau buram dan porselen putih. Botol plastik juga dapat

digunakan. Wadah dari gelas buram dan berwarna berguna untuk salep yang mengandung obat

yang peka terhadap cahaya. Tube dibuat dari kaleng atau plastik, beberapa diantaranya diberi

tambahan kemasan dengan alat bantu khusus bila salep akan digunakan untuk dipakai melalui

rektum, mata, vagina, telinga, atau hidung.

Tube umumnya diisi dengan bertekanan alat pengisi dari bagian ujung belakang yang terbuka

(ujung yang berlawanan dari ujung tutup) dari tube yang kemudian ditutup dengan disegel. Tube

salep untuk pemakaian topikal lebih sering dari ukuran 5 sampai 30 gr. Botol salep dapat diisi dalam

skala kecil oleh seorang ahli farmasi dengan mengemas sejumlah salep yang sudah ditimbang

kedalam botol dengan memakai spatula yang fleksibel dan menekannya kebawah, sejajar melalui

tepi botol guna menghindari kemungkinan terperangkapnya udara didalam botol. Salep dalam tube

lebih luas pemakaiannya daripada botol, disebabkan lebih mudah dan menyenangkan digunakan

oleh pasien dan tidak mudah menimbulkan keracunan. Pengisian dalam tube juga mengurangi

terkena udara dan menghindari kontaminasi dari mikroba yang potensial, oleh karena itu akan lebih

stabil dan dapat tahan lama pada pemakaian dibandingkan dengan salep dalam botol. Kebanyakan

salep harus disimpan pada temperatur dibawah 300C untuk mencegah melembek apalagi dasar

salepnya bersifat dapat mencair. 

      K.    Contoh-contoh obat salep

Contoh-contoh obat salep yang digunakan sebagai :

1.    Obat bisul, koreng dan borok

Obat bisul, koreng, dan borok yang telah lama dikenal ialah salep diachylon dan salep ichthyol.

Selain itu penyakit koreng juga dapat diobati dengan asam salisilat, salep yang mengandung sulfa,

penisilina, dan belerang. Contoh obat yang digunakan untuk obat bisul, koreng, dan borok :

-       Unguentum O1. Jec. Aselli (mengandung minyak ikan)

-       Unguentum sulfuris salicylatum (megandung asam salisilat dan belerang)

-       Unguentum sulfanilamida (mengandung sulfinamida)

-       Unguentum penisilin (mengandung penisilina)

2.    Obat eskema

Untuk eskema biasanya digunakan salep yang mengandung bahan teer (misalnya ichthyol, pix

liquida, oleum cadium), belerang, asam salisilat, solutio acetatis alumini basicus. Contoh salep

skema :

-       Pasta zinci salicylata lassar (mengandung asam salisilat, seng oksida, amilum tritici dan vaselin

kuning)

-       Mixtura agitanda ichthyloii (mengandung ichthyol, seng oksida, talk, gliserin dan air)

-       Untuk eskem basah digunakan campuran seng oksida, oleum olivarum, air kapur yang

sama  banyaknya.

Untuk penyakit eskema sekarang terkenal obat-obat modern, antara lain :

-       Salep allercyl, buatan Pabrik Bode Scenhemic

-       EBIZALF, buatan pabrik USFI

-       Cortimycin krim, buatan pabrik Medial, kenrose Indonesia

-       Dexatropic Krim, buatan pabrik Organon

3.    Obat kudis

Untuk penyakit kudis biasanya digunakan salep yang mengandung belerang, teer, natrium benzoat

dan gammexaan. Contoh obat kudis :

-       Linimentum sulfuris, mengandung oleum cocos dan belerang sama banyak.

-       Emulsum benzoatis benzylici, mengandung natrium benzoat, emulgide, minyak wijen dan air.

-       Unguentum sulfuris, mengandung belerang dan vaselin.

Contoh obat patten modern yang digunakan untuk penyakit kudis :

-       Crotaderm krim, buatan pabrik Bayer

-       Pagoda selep, buatan pabrik Afiat

-       Herocyn selep, buatan pabrik Coronet

4.    Obat kurab, panu, dan kutu air

Kurab, panu dan kutu air biasanya disebabkan oleh infeksi dengan kapang-kapang. Obat yang biasa

digunakan untuk menyembuhkan penyakit ini ialah asam salsilat, belerang, jodium. Contoh obat

kurab, panu, dan kutu air :

-       Salicyl spiritus 5-10%

-       Unguentum sulfuris salicylatum, mengandung asam salisilat, belerang, dan vaselin kuning

-       Unguentum whitfield, mengandung asam benzoat, asam salisilat, lanolin dan vaselin putih.

Contoh obat patten modern yang digunakan untuk pengobatan kurab, panu dan kutu air :

-       Kalpanax tingtur buatan pabrik Kalbe Farma

-       Radas tingtur buatan pabrik Prafa

-       Pantox tingtur, buatan pabrik CendoDiposkan oleh Teddy blog   di 21:27Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Label: salep

Tidak ada komentar:

Poskan KomentarPosting Lama Beranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)