152914123-Tetanus.pdf

22
http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/tetanus.html http://ilmu27.blogspot.com/2012/08/makalah-kejang-pada-bayi.html Tetanus BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN 2005 BAB I PENDAHULUAN Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesiamerupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian neonatus 54633 dan pada tahun 1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian tetanus neonatorum pada tahun 1988 sebesar 10,9 ‰ dan tahun 1992 sebesar 7,3 ‰. Angka tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan jumlah kematian karena tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun 1992 berjumlah 85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 ‰ dan 4,2 ‰ secara berurutan.

Transcript of 152914123-Tetanus.pdf

  • http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/tetanus.html

    http://ilmu27.blogspot.com/2012/08/makalah-kejang-pada-bayi.html

    Tetanus

    BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    2005

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di 90

    negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus neonatorum yang

    menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena para ibu tidak diimunisasi.

    Sedangkan tetanus pada anak yang lebih besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk

    akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi sangat jarang,

    terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. Spora Clostridium tetani dapat ditemukan

    dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi

    masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang.

    Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesiamerupakan negara

    ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Pada

    tahun 1988 jumlah kematian neonatus 54633 dan pada tahun 1992 berjumlah 33264 sedangkan

    angka kematian tetanus neonatorum pada tahun 1988 sebesar 10,9 dan tahun 1992 sebesar 7,3

    . Angka tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan

    jumlah kematian karena tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun 1992 berjumlah

    85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 dan 4,2 secara berurutan.

  • Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan

    dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi

    (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat

    lebih menurunkan angka kematian.

    Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai

    patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit

    tetanus.

    BAB II

    TETANUS

    Definisi

    Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu

    neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus,

    disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme

    otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan

    kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan

    saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.

    Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya

    kurang lebih 0,4 x 6 m. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga

    membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat

    tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana,

    dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk

    vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu

    tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis

  • tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf

    otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

    Gambar Mikroskopik Clostridium tetani.

    PATOFISIOLOGI

    Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora.

    Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan

    tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi

    oksigen.

    Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit

    terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang

    mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin

    juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus

    telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian

    berdasarkan atas percobaan pada hewan.

    Penyebaran toksin

    Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut :

    1. Masuk ke dalam otot

    Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot

    sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.

  • 2. Penyebaran melalui sistem limfatik

    Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus,

    selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.

    3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.

    Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula

    melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang

    penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin

    diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan

    dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak

    masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus

    sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain

    bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan

    transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.

    4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

    Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin

    mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu

    anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan

    reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

    Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:

    Tetanus lokal

    Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus yang masuk ke

    dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di sekitar luka.

    Tetanus sefal

  • Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang terkena

    adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan medula spinalis

    servikalis.

    Ascending Tetanus

    Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai

    tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin

    disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.

    Tetanus umum

    Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan kemudian

    masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian mengenai otot muka,

    leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan setiap

    tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian

    secara berurutan mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf.

    Mekanisme kerja toksin tetanus:

    1. Jenis toksin

    Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek

    hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini

    peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek

    neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan

    toksin tersebut.

    2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf

    Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada

    neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport

  • toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui

    secara jelas.

    Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A

    yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap mempunyai

    efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf.

    Tetanus toxin

    Normal:

    Inhibitory interneuron Glycine

    blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation

    Tetanus toxin:

    Blocks glycine release

    no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction Spastic paralysis

    3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter

    Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan

    jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid

    (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada

    susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin

  • tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik

    menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara

    mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.

    Perubahan akibat toksin tetanus:

    1. Susunan saraf pusat

    Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terus-

    menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation. Keadaan ini

    menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi

    kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang

    terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena

    motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti

    retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena

    tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.

    Rasa sakit

    Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukanneurotic

    pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga

    karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan

    interneuron.

    Fungsi Luhur

    Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya brhubungan

    dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan

    metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.

    2. Aktifitas neuromuskular perifer

  • Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek

    neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik

    bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara

    cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu

    paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin

    atau karena axonopathi.

    Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:

    1. Neuropati perifer

    2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas dan

    nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh.

    3. Denervasi parsial dari otot tertentu.

    3. Perubahan pada sistem saraf autonom

    Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi

    karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi

    sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran

    intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem

    autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran

    cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya

    mengenai salah satu organ tertentu.

    4. Gangguan Sistem pernafasan

    Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :

    a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot

    diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi

    sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu

  • ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan

    hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat

    persarafan yang tidak terkena efek toksin.

    b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya

    spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan

    dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat

    menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.

    c. Kelainan paru akibat iatrogenik.

    d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal

    Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa

    berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS

    dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang

    mengikuti penyakit tetanus.

    e. Gangguan pusat pernafasan

    Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat terkena

    oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat

    terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan

    bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.

    Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus

    adalah :

    Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa ditemukan

    adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas.

    Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam.

    Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory arrest

    (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.

  • Henti nafas akut dan mati mendadak.

    Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder seperti

    hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia

    setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa.

    5. Gangguan hemodinamika

    Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem

    saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat

    jarang dilakukan karena :

    Kendala etik

    Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru,

    atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini

    mempengaruhi sistem kardio-respirasi

    Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian dari

    hasil penelitian.

    6. Gangguan metabolik

    Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan

    tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi

    oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle

    relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen,

    katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin.

    Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi

    kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan

    terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan

    protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan

  • ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai

    antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin

    dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang

    ditemukan kekebalan terhadap toksin.

    7. Gangguan Hormonal

    Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada penderita

    tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa

    ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertnessdan awareness menimbulkan dugaan

    adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise

    mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh

    serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin,

    TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik

    hipofise-kelenjar endokrin.

    8. Gangguan pada sistem lain

    Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat

    mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa

    nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi

    mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti

    gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-

    mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan

    elektrolit dan metabolik yang terganggu.

    Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi

    karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang

    otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat

    pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada

    organ tertentu.

  • BAB III

    MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

    1. Manifestasi Klinis

    Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat.

    Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh

    terhadap prognostik.

    Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:

    a. Tetanus lokal

    Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar

    1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot

    disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.

    b. Tetanus sefal

    Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh

    luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus

    sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang

    menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.

    c. Tetanus umum

    Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable,

    kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan

    serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat

    terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran

    yang tetap baik.

    d. Tetanus neonatorum

  • Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,umumnya karena

    tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidakmendapat imunisasi yang adekuat.

    Gejala yang sering timbul adalahketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti

    oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot

    punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal.

    Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada,

    pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi

    pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia,

    pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.

    Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts :

    a. Derajat I (ringan)

    Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau

    ringan, tidak ada gangguan respirasi.

    b. Derajat II (sedang)

    Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan

    c. Derajat III (berat)

    Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia

    dan peningkatan aktivitas sistem otonomi

    d. Derajat IV (sangat berat)

    Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu

    hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi

    berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.

    Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat

    meliputi derajat III dan IV.

  • 2. Diagnosis

    Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:

    - Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.

    - Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

    - Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut

    (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

    - Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek

    - Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana

    kesadaran tetap baik.

    Temuan laboratorium :

    - Lekositosis ringan

    - Trombosit sedikit meningkat

    - Glukosa dan kalsium darah normal

    - Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

    - Enzim otot serum mungkin meningkat

    - EKG dan EEG biasanya normal

    - Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu,

    tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh

    drum seringnya tidak ditemukan.

    - Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

  • BAB IV

    DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLIKASI

    1. Diagnosis banding

    Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah

    - Meningitis bakterialis - Rabies

    - Poliomielitis - Epilepsi

    - Ensefalitis - Tetani

    - Keracunan striknin - Sindrom Shiffman

    - Efek samping fenotiazin - Peritonsiler abses

    2. Komplikasi

    Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi

    terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang

    berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas

    dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler

    berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang

    dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa

    tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan

    asidosis metabolik.

    BAB V

    PENATALAKSANAAN

    1. Dasar

  • a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.

    1. Antibiotik

    Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium

    peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin,

    tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol,

    aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.

    Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari.

    Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.

    Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis

    tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G.

    Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB

    dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian

    metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di

    rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.

    Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan dosis 25-

    50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral.

    Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau

    metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.

    2. Perawatan luka

    Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan

    terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada

    tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila

    perlu dapat dilakukan omphalektomi.

    b. Netralisasi toksin

  • 1. Anti tetanus serum

    Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan

    secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes

    hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.

    Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara intrathekal

    karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun

    ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian

    ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250-500

    IU.

    2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)

    Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000

    unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984)

    memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal.

    Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul

    gejala.

    Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian

    immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena kandungan fenol

    pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG

    500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.

    Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah

    30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU

    IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.

    c. Menekan efek toksin pada SSP

    1. Benzodiazepin

  • Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas

    sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal

    mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang

    dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi

    pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang

    diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994),

    pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus

    diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat

    diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.

    2. Barbiturat

    Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan 100 mg

    untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan

    keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB,

    kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme

    berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10

    mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.

    3. Fenotiazin

    Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari

    (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan

    secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah

    yang labil atau hipotensi.

    2. Umum

    Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan

    intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus

    diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu

    36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian

  • makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap.

    Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui

    kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.

    Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret

    yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan.

    Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.

    Bantuan ventilator diberikan pada :

    1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV

    2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi

    konservatif dan PaO2

    3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.

    3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus

    a. Tetanus ringan

    Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik, HTIG/anti toksin,

    diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.

    b. Tetanus sedang

    Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atautrakeostomi dan

    pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila perlu

    diberikan nutrisi secara parenteral.

    c. Tetanus berat

    Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif,

    trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan

    cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan pankuronium bromid 0,02

    mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas simpatis

  • yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolo atau alfa dan beta bloker

    labetolol.

    BAB VI

    PROGNOSIS

    Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka kematiannya

    antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%.

    Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi

    baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum.

    Sistem Skoring

    Skor 1 Skor 0

    Masa inkubasi > 7 hari

    Awitan penyakit > 48 jam

    Tempat masuk Tali pusat, uterus, fraktur

    terbuka, postoperatif, bekas

    suntikan IM

    Selain tempat tersebut

    Spasme (+) (-)

    Panas badan (per rektal) > 38,4 0C (> 40 0C) < 38,4 0C ( < 40 0C)

    Takikardia dewasa > 120 x/menit

    neonatus > 150 x/menit

    Dikutip dari Habermann, 1978, Bleck, 1991

  • Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus

    Tingkat Skor Prognosis

    Ringan 0-1

    Sedang 2-3 10 20

    Berat 4 20 40

    Sangat berat 5-6 > 50

    Dikutip dari Bleck, 1991

    Catatan : Tetanus sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat

    Tetanus neonatorum selalu dinilai sangat berat

    BAB VII

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :

    Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu

    Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.

    2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical

    Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871

    3. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson

    Textbook of Pediatrics Vol 1 17th edition W.B. Saunders Company. 2004

    4. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305

    5. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu

    Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia.

  • 6. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to

    date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157

    7. www.emidicine.com/ped/topic3038.htm