151031792 MORBUS HANSEN Makalah Pleno Blok 15 f9

43
Gejala, Pemeriksaan, dan Pengobatan Morbus Hansen Zebri Yandi 102010102 Celine Martino 102011005 Adrian Jonathan Tanudarma 102011235 Grace Stepahanie Manuain 102011266 Jessyca Agustia 102011291 Heribertus Edo Tigit 102011350 Felicia Ananda Baeha Waruwu 102011410 Silvia Witarsih 102012520 1 | Page

description

Morbus Hansen

Transcript of 151031792 MORBUS HANSEN Makalah Pleno Blok 15 f9

Gejala, Pemeriksaan, dan Pengobatan Morbus Hansen

Zebri Yandi 102010102Celine Martino 102011005Adrian Jonathan Tanudarma 102011235Grace Stepahanie Manuain 102011266Jessyca Agustia 102011291Heribertus Edo Tigit 102011350Felicia Ananda Baeha Waruwu 102011410Silvia Witarsih 102012520

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

PendahuluanKusta (lepra) termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Kata kusta disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian ke organ lain, kecuali SSP. Selain daripada segi medis, penyakit kusta juga menjadi masalah psikososial si penderitanya. 1,2 Penyakit yang kusta banyak terdapat dinegara-negara berkembang dan sebagian besar penderitanya adalah masyarakat golongan ekonomi rendah. Hal ini adalah sebagai keterbatasan negara dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan ekonomi pada masyarakat. Pada skenario ini, akan dibahas mengenai perjalanan penyakit, gejala, dan pengobatan dari morbus hansen.

Tinjauan PustakaAnamnesisPada anamnesis yang yang perlu ditanyakan yaitu: identitas, keluahan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat obstri dan ginekologi (khusus wanita). Riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaaan, obat-obatan dan lingkungan). Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua atau anggota keluarga terdekat sebagai penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk memeastikan bahwa pasien yang dimaksud dan sebagai data penelitian. Keluahan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien ke dokter atau mencari pertolongan. Dari hasil anamnesa didapatkan data bahwa pasien datang dengan keluhan adanya bercak putih pada lengan kiri, sejak 1 bulan, dan tidak ada rasa gatal.

Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Berdasarkan skenario kasus dalam melakukan anamnesis, harus diusahaka data sebagai berikut: 3,41. Waktu dan lamanya keluhan berlangsung, pada kasus ini keluhan berupa bercak putih dan berlangsung sejak 1 bulan yang lalu.1. Sifat dan berat serangan, warna bercak, adanya gatal, adanya baal pada bercak/lesi 1. Lokaisasi dan penyebaranya, menetap,menjalar, berpindah-pindah,1. Hubungan nya dengan waktu, 1. Hubungannya dengan aktivitas, 1. Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali,1. Faktor resiko dan pencatus serangan, termasuk faktor yang memperberat atau meringankan keluhan,1. Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang mengalami keluahan yang sama,1. Riwayat perjalanan ke daerah endemis untuk penyakit tertentu,1. Perkembangan penyakit, kemungkinan telah tejadi komplikasi atau gejala sisa,1. Upaya yang telah dilakuakn dan bagai mana hasilnya, jenis obat-obatan yang telah diminum pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini dideritaRiwayat penyakit terdahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan penyakit yang pernah ia derita dengan penyakitnya sekarang. Riwayat obstetri harus ditanyakan pada setiap pasien wanita. Tanyakan mengenai menstruasinya, kapan manrche, apakah menstruasi teratur atau tidak, apakah disertai rasa nyeri atau tidak, dan riwayat kehamilan, persalinan dan keguguran. 3,4Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulakan data posistif dan negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien berdasarkan alat tubuh yang sakit.3 Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. 3,4Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti masaah keuangan, pekerjaan dan sebagainya. Kebiasaan pasien yang harus ditanyakn kebiasaan merokok, minum alkohol dan obat-obatan termasuk obat-obatan terarang. Pasien yang sering melakukan perjalanan juga harus ditanyakan tujuan perjalannan yang telah ia lakukan untuk mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Bila ada indikasi, riwayat perkawinan dan kebiasaan seksual juga harus di tanyakan. Yang tidak kalah penting adalah menanyakan tentang lingkungan tempat tinggal, termasuk keadaan rumah, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya. 3,4 Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik yang kita lakukan adalah dengan memastikan status lokalisasi dari bercak putih tersebut. Kita perlu melakukan pemeriksaan pada seluruh bagian tubuh, jika memang bercak putih sudah menyebar ke seluruh tubuh. Selain itu, kita juga memeriksa eflouresensi atau sifat dari luka tersebut. Pada setiap kriteria dari lepra, eflouresensinya juga mempunyai sifat yang berbeda. Pada lepra tipe I (tipe interdeminan), eflouresensi yang muncul adalah berupa makula hipopigmentasi berbatas tegas, anestesi, dan anhidrasi, pemeriksaan bakteriomologi negatif, dan tes lepromin positif. Lepra tipe TT (tuberkolusis), eflouresensi berupa makula eritematosa bulat atau lonjong, permukaan kering, batas tegas, anestesi, bagian tengah sembuh, bakteriologi negatif, tes lepromin positif kuat. Tipe BT (bordeline tuberculoid), eflouresensi berupa makula eritrematousa tak teratur, batas tak tegas, kering, mula-mula akan ada tanda kontraktur, anestesi, bakteriologi bisa negatif atau positif, tes lepromin juga bisa menunjukan hasil positif atau negatif. Tipe BB (mid-borderline) makula eritromatosa, menonjol, bentuk tidak teratur, kasar, ada lesi satelit, penebalan saraf dan kontraktur, pemeriksaan bakteriologi positif, tes lepromin negatif. Tipe BL (boderline lepramatosa) berupa makula infiltrat merah mengkilat, tak teratur, batas tak tegas, pembengkakan saraf, pemeriksaan bakteriologi ditemukan banyak basil, tes lepromin negatif. Tipe LL (lepromatosa) berupa infiltrasi difus berupa nodula simetri, permukaan mengkilat, saraf terasa sakit, anestesi, pemeriksaan bakteriologi positif kuat, tes lepromin negatif.5Selain pemeriksaan fisik kulit, kita harus pula melakukan pemeriksaan saraf tepi pasien (nervus ulnaris, nervus radialis, nervus aurikulas magnus, dan nervus poplitea), mata (lagoftalmus), tulang (kontraktur atau absorbsi), dan rambut (alis mata, kumis, dan pada lesi sendiri). Pemeriksaan anestesi (baal) dan sensitifitas bisa dilakukan dengan tes panas dingin ataupun dengan jarum. Tes keringet dengan melakukan tes Gunawan, yaitu dengan pensil tinta dibuat garis pada lesi hingga keluar lesi, lalu pasien melakukan olahraga sampai berkeringat. Selanjutnya dilihat pada bagian mana tinta melebur karena keringat dab bagian tinta yang tidak melebur karena anhidrasi.5 Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan makula hipopigmentasi positif dengan anestesi.

Gambar 1. Makula Hipopigmentasi6

Pemeriksaan PenunjangDiagnosis penunjang dibagi menjadi tiga macam yaitu pemeriksaa bakterioskopik (kerokan jaringan kulit), pemeriksaan histopatologik, dan pemeriksaan serologik.1. Pemeriksaan bakterioskopik: dibuatlah suatu sediaa dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung bagian septum lalu diwarnai dengan pewarnaan BTA (Basil Tahan Asam), antara lain Ziehl-Neelsen. Jika hasilnya negatif, maka orang tersebut belum tentu tidak mengandung kuman M. leprae. Bagian tubuh yang pasti dikerok jaringan kulitnya adalah dibawah cuping telinga berdasarkan pengalaman, tempat tersebut diharapkan mengandung kuman lebih banyak. Cara pengambilannya dengan menggunakan skalpel steril, lalu pada kulit yang terkena lesi didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan mengandung sedikit mungkin darah yang bisa mengganggu pemeriksaan. Kerokan skalpel harus sampai di dermis yang diharapkan banyak mengandung kuman M. leprae (sel leprae = sel Virchow). Dan dari mukosa hidung diambil dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari dan ditampung pada sehelai plastik. Namun sediaan dari mukosa hidung jarang dipakai karena kemungkinan adanya M. atipik, M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif, bila diobati hasil pemeriksaan mukosa hidung negatif negatif lebi dahulu dibandingkan kerokan jaringan kulit, dan rasa nyeri saat pemeriksaan. Lalu bahan sediaan dioleskan pada gelas alas, difiksasi diatas api, lalu diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. M. Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmen), dan butiran (granulasi). Bentuk solid adalah bentuk dari kuman hidup, sedangkan bentuk fragmen dan granulasi adalah bentuk dari kuman yang mati. Kepadatan BTA tanpa memebedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nila 0-6+ menurut Ridley.12. Pemeriksaan histopatologik: makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus dan fungsi berbeda-beda dalam menjalankan imunitas tubuh. Saat ada kuman M. leprae yang masuk, akan bergantung pada sistem imunitas seluler orang tersebut. Jika sistem imunnya bagus, maka akan banyak ditemukan sel datia Langhans tetapi sayangnya jika ada massa epiteloid berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Sebaliknya jika sistem imunitas seluler orang tersebut rendah, maka M. leprae akan berkembang biak dalam sel tubuh manusia lalu menjadi sel Virchow sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Contohnya adalah gambaran histopatologik tipe tuberkeloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nayta, tidak ada kuman, atau hanya sedikit dan non-solid.13. Pemeriksaan serologik: pemeriksaan ini didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh yang terinfeksi M. leprae. Ternyata ada antibodi spesifik kuman ini yaitu anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antobodi non-spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan. Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah untuk mendiagnosis penyakit kusta yang meragukan seperti kusta yang subklinis (hampir tidak ada lesi kulit). Disamping itu dapat menentukan kusta subklinis, karena tidak didapatinya lesi kulit, misalnya narakontak serumah. Uji serologik tersebut terdiri dari Uji MLPA, ELISA, dipstick test, dan flow test.1

Diagnosis Banding

1. Pteriasis VersikolorPteriasis Versikolor atau panu adalah penyakit jamur superfisial kronik yang disebabkan oleh Malassezia furfur. Biasanya tidak akan menimbulkan keluhan yang subyektifm hanya berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam. Bercak meliputi badan dan kadang-kadang menyeang ketiak, lipat paha, lengan , tungkai atas, leher, muka, kulit kepala yang berambut. Infeksi bisa terjadi karena kontak langsung dari penempelan jamur ke kulit manusia. Jamur bertumbuh karena faktor kulit yang berminyak, prematuritas, pengobatan anti mikrobial, kortikosteroid, penumpukan glikogen ekstraseluler, infeksi kronik, keringat berlebihan, pemakaian pelumas kulit, dan kadang karena kehamilan.7Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas dan difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila di lihat dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga ada kalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut. Lesi kulit berupa bercak putih sampai coklat, merah, dan hitam. Di atas lesi terdapat sisik halus. Bentuk lesi tidak teratur, dapat berbatas tegas atau difus. Sering didapatkan lesi bentuk folikular atau lebih besar, atau bentuk numular yang meluas membentuk plakat, kadang-kadang dijumpai bentuk campuran, yaitu folikular dengan numular, folikular dengan plakat ataupun folikular, atau numular dengan plakat. Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh toksik jamur terhadap pembentukan pigmen, sering di keluhkan penderita. Biasanya penderita datang berobat karena alasan kosmetik yang disebabkan bercak hipopigmentasi. Variasi warna lesi pada penyakit ini tergantung pada pigmen normal kulit penderita, paqparan sinar matahari, dan lamanya penyakit. Kadang-kadang warna lesi sulit dilihat, tetapi skuamanya dapat dilihat dengan pemeriksaan goresan pada permukaan lesi dengan kuret atau kuku jari tangan (coup dangle dari Beisner).1,7

Gambar 2. Pitiriasis Versikolor8Gambar 2. Pitiriasis Versikolor5

2. Pteriasis AlbaSering di jumpai pada anak-anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tidak beraturan. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema hilang, lesi yang dijumpai hannya depigmentasi dengan skuama halus. Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara -2 cm. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering disekitar mulut, dagu, pipi, serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Dapat simteris pada bokong, paha atas, punggung, ekstensor lengan. Umunya lesi bersifat asimtomatik, meskipun kadang-kadang penderita mengeluhkan panas atau gatal.1

Gambar 3. Pitiriasis Alba8

3. VitiligoMakula berwarna putih dengann diameter beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis lain. Kadang ada makula hipomelanotik selain makula apigmentasi. Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama diatas jari, periorifisial sekitar mata, hidung, mulut, tibialis anterior, dan pergelangan tangan bagian fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Mukosa jarang terkena, kadang mengenai genital eksterna, putting susu, bibir, dan gingitiva.1

Gambar 5. Morbus Hansen6Gambar 4. Vitiligo6

4. Morbus HansenLesi dengan bercak putih bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian melebar dan meluas. Jika sudah terkena saraf perifer, penderita akan mengelih kesemutan dan baal pada bagian tertentu, ataupun kesukaran menggerakan anggota badan yang berlanjut dengan kaku sendi. Rambut alispun dapat rontok.5

Diagnosis KerjaDitemukan basil tahan asam pada sediaan apus kulit yang dibuat dengan cara insisi-potong merupakan bukti kuat untuk lepra, tetapi pada penyakit penyakit tuberkuloid basil mungkin tidak tampak. Bila mungkin, spesimen biopsi kulit dari daerah yang terkena sebaiknya dikirim untuk pemeriksaan patologik yang banyak berguna untuk lepra. Keterlibatan saraf perifer secara histologik bersifat patognomonik, bahkan dengan tidak adanya basi. Sekarang sedang berlangsung perkembangan uji dengan pemeriksaan genetik untuk identifikasi dan spesiasi yang cepat terhadap mikobakterium pada spesimen klinis. 1,2Uji serologik spesifik untuk lepra telah dikembangkan. Berdasarkan deteksi antibodi terhadap glikolipid fenolat I, esai ini memiliki sensitivitas lebih dari 95 persen pada penyakit lepramatosa poler dan sekitar 30 persen pada penyakit tuberkuloid. Kadar antibodi tampaknya berkaitan engan beban basier, yang menerangkan angka negatif palsu yang tinggi pada penyakit tuberkuloid poler. Meski terdapat keterbatasan ini. Spesifitas esai ini yang hampir 100 persen membuatnya potensial bergun untuk menguatkan diagnosis lepra dan sebagai alat epidemologik untuk meneliti penularan dan inkubasi penyakit. 1,2Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan, bapak usia 40 tahun ini didiagnosa mengalami penyakit lepra (Morbus Hansen).

EtiologiLepra (penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatosa kronik pada manusia yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer. Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Kuman ini berukuran 3-8 m x 0,5 m berbentuk batang tahan asam dan alkohol positif-gram yang termasuk familia Mycobacteriaceae atas dasar morfologik, boikimiawi, antigenik dan kemiripan genetik dengan mikobakterium lainya. Walaupun belum berhasil dikembangbiakan pada media buatan atau buakan jaringan, kuman ini dapat diperbanyak pada hewan armadilo dan pada talapak kaki mencit. Basil ini berbiak sangat lambat, dengan perkiraan waktu penggadaaan waktu optimal 11 hingga 13 hari selama pertumbuhan logaritmik pada telapak kaki mencit. Model mencit telah digunakan secara uas untuk studi obat antilepra, dan hasil bakteri yang tinggi dari armadilo sangat penting untuk uji genetik dan imunologik. Komponen seluler M. leprae yang berperan pada patogenesitas dan kemampuan hidupnya daam penjamu masih belum dipahami. Faktor virulensi yang diketahui baik adalah fenolat glikolipid I, suatu lemak permukaan yang menonjol yang khas untuk M. leprae. Fenolat glikolipid I dapat mengikat komponen komplemen C3, yang pada akhirnya memperantai fagositosis bakteri oleh fagosit mononuklear melalui reseptor CR1, CR3 dan CR4 pada permukaan selnya. Sekali berada dalam fagosit, fenolat glikolipid I membantu melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan seara kimiawi. 1,2

Gambar 6. Mycobacterium Leprae6

EpidemiologiMorbus hansen lebih sering di negara-negara beriklim tropis, yang banyak di antaranya memiliki angka prevalensi 1-2 persen populasi. Lingkungan yang hangat tidak terlalu penting untuk penularanya, dan lepra juga terjadi pada daerah tertentu yang beriklim lebih dingin, seperti Korea dan Meksiko tengah. Penyebaran individu yang terinfeksi di negara-negara sangat tidak homogen dan dapat ditemukan wilayah yang 20 persen penduduknya terinfeksi. Penyebaran kasus melalui spektrum lepra juga beragam antar negara, dengan penyakit leramatosa yang dominan pada beberapa negara, seperti Meksiko dan, penyakit tuberkoloid lainya seperti India. Sembilan puluh persen kasus yang didiagnosis di Amerika Serikat pada dua dasawarsa yang lalu terjadi pada imigran dari negara endemik-lepra. Penularan yang sejati terjadi di Hawai, teritorial Kepulauan Pasifik, dan seara sporadik di sepanjang Gulf Coast. Insiden lepra di Amerika Serikat telah turun dari puncaknya 360 kasus pada tahun 1985, yang berkaitan dengan masuknya imigran dari Asia Tenggara menjadi 139 kasus pada tahun1991. 1,2Pada tahun 1991 Word Heath Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai probem kesehata masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT) 1Jumlah kasus kusta yang tercata di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumah kasus baru tahun 2008 baru tercatat 249.007. Di indonesia jumlah kasus lepra yang tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang. Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Mauku dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73. 2Penyebaran penyakit lepra dar suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia, tampaknya disebabkan oelh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. 1Lepra dapat menyerang semua umur, walaupun kasus pada bayi yang berusia kurang dari 1 taun sangat jarang. Insidensi spesifik usia memuncak salama masa kanak-kanak pada sebagian besar negara berkembang, sampai 20 persen kasus terjadi pada anak di bawah 10 tahun. Karean paling banyak didapati pada kelompok sosial ekonomi lemah, hal ini dapat secara sederhana mencerminkan penyebaran usia pada populasi risiko tinggi. Rasio jenis kelamin penyakit lepra yang tampak pada masa kanak-kanak adalah 1:1, tetapi laki-laki lebih menonjol dengan rasio pada orang dewasa sekitar 2:1. 2Dengan sederhana kita menyadari betapa sedikitnya yang diketahui tentang cara penularan dan terkannya lepra, mengingat sifat infekasi yang dapat menular telah diketahui selama ribuan tahun dan bahwa agen etiologinya telah diidentifikasi selama lebih dari 100 tahunyang lalu. Penularan langsung manusia-ke-manusia dipercaya berperan pada kebanyakan kasus lepra, walaupun pada anamnesis kurang dari separuh pasien dapa disingkirkan kontak sebeumnya. Reservoir hewan terdapat di antara armadio liar dan mungkin di antara primata nonmanusia, tetapi hanya pada sedikit kasus manusia yang melibatkan penuaran secara zoonosis. Di antara pasien leptomatosa yang tidak diobati yang terdapat kontak keluarga erat, resiko penyakit meningkat sekitar delapan kali, dan angka penyerangan penyakit dapat setingga 10 persen. Timbunya penyakit klinis pada kontak dengan pasien tuberkoloid lebih jarang, walaupun uji imunologik mengesankan kebanyakan kontak ini telah tersensitasi dengan M. leprae. Tempat masuk kuman masih diduga-duga, tetapi mungkin kuit atau mukosa saluran nafas atas. Jalan keluar utama yang diperkirakan adaah mukosa hidung pada pasien lepromatosa yang tidak diobati, 1,2 cara inhalasi ini memungkinkan sebab M. leprae masih dapat bertahan hidup beberapa hari dalam droplet. 1Masa inkubasi seringkali 3 hingga 5 tahun tetapi telah dilaporkan bahwa masa inkubasi ini berkisar dari 6 bulan ( bahkan bisa 40 hari) hingga beberapa dasawarsa( kurang lebih 40 tahun).1, 2

PatogenesisSebenarnya Mycobacterium leprae mempunyai patogenesis dan daya inhasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.1 Peristiwa awal setelah masuknya M. leprae ke dalam tubuh manusia belum diungkapakan. Basil dikelilingi oleh kapsul yang padat dan lemak yang hampir tidak aktif, yang tidak menghasilkan eksotoksin, dan menimbulkan sedikit respons peradangan. Penelitian epidemologik dan imunologik mengesankan bahwa hanya sebagian kecil, mungkin 10 hingga 20 persen, dari individu yang terinfeksi yang akan menampakan tanda lepra yang tidak dapat ditentukan dan hanya sekitar 50 persen dari individu yang menderita lepra klinis yang berkembang penuh. 1,2Intensitas respon imun spesifik diperantarai sel terhadap M. leprae berkaitan kelas penyakit histologik dan klinis. Individu dengan penyakit tuberkuloid poler memiiki respon seluler yang lebih jkuat terhadap M. leprae dan beban basiler yang rendah sedangkan pasien lepra lepramatosa tidak memiliki respon seuler yang dapat didektesi terhadap basil lepra. Terdapat bukti dari penelitian keluarga bahwa gen terkait-HLA yang khas mungkin berhubungan dengan berbagai kelas penyakit, Hla-DR2 diturunkan secara istimewa pada anak-anak dengan penyakit tuberkuloid poer, sedangkan HLA-MT1 berkaitan dengan penyakit lepramatosa poler. Pengaruh gen terkait HLA terbatas hanya dalam mempengaruhi jenis lepra; tidak terdapat hubungan antara haplotip. HLA dan kepekaan terhadap lepra secara keseluruhan.Defek pada imunitas yang diperantarai sel (imunitas seluler) pada pasien epramatos sangatlah khas. Mereka tidak menderita kareana peningkatan morbiditas yang menyertai infeksi oleh patogen seperti virus, protozoa, atau jamir yang memerlukan imunitas seluler, dan mereka tidak memiliki peningkatan risiko neoplasma. Pasien lepra lepramatosa memiliki peningkatan jumlah limfosit CD8+ (supresor) dalam sirkulasi yang dapat diaktifkan oleh antigen M. leprae secara spesifik, dan limposit yang ada pada granulomanya hampir semata-mata CD8+. Sebaliknya, sel CD4+4B4+ (penolong) dominan diantara sel T pada lesi kuit pasien tuberkoloid. Pada lepra lepramatosa, sel dari keluarga monosit-makrofag dipenuhi M. leprae dan tidak mampu membunuh atau mencerna organisme. Namun, bila diteliti secara in vitro, monosit dari pasien ini berespon normal terhadap sitokin dan memperlihatkan aktivitas mikrobisidal dan fagosit normal.Hasil ini mengesankan bahwa terdapat defek yang mendasar pada pengaturan subpoulasi limposit T yang berperan pada karakteristik toleransi imunologi lepra lepramatosa.Bakterimia berat sangat sering pada epramatosa, dan organisme sering dapat dilihat pada sediaan apusan darah tepi atau buffy coat yang diwarnai, tetapi, tetapi tidak ada demam tinggi dan tanda toksistas sistemik. Walaupun pada kasus yang sangat lanjut, lesi dekstruktif terbatas pada kulit, saraf tepi, bagia anterior mata, saluran nafas bagian atas di atas laring, testis, dan struktur di tangan dan kaki. Suatu tanda yang sering pada tempat ini adalah bahwa semuanya biasanya beberapa derajat lebih dingin dari 37C. dua tempatutama yang terkena adalah saraf ulnaris dekat siku dan saraf peroneus yang melingkari kaput fibula; di atas dan dibawah daerah ini, tempat saraf-saraf ini berjalan lebih dalam, tidak terkena terlalu hebat. Pada pasien lepra lepramatosa, kumpuan basilus juga ditemukan di hati, limpa dan sumsum tulang, tetapi tidak ada disfungsi sistem organ viseral yang terkait dengan adanya basil ini. 1,2

Manifestasi Klinik

Respons imun yang beragam terhadap infeksi M. leprae menyebabkan spektrum manisfestasi klinis dan histologik yang luas. Terdapat persesuaian yang kuat antara temuan klinis dan histologik kulit, dan hal ini akan dibahas bersama-samaTanda lepra yang pertama biasanya dikulit. Lesi lepra yang tidak dapat ditentukan sangat halus dan paing sering didiagnosis pada pemeriksaan kontak pasien yang diketahui menderita lepra. Dapat terlihat satu atau lebih makula hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Seringkali bercak yang bersifat anastetik atau parestetik merupakan gejala pertama yang dinyatakan pasien, tapi pada pemeriksaan yang teliti, bisa ditemuka keterlibatan kulit. Pada lesi dini ini seringkali masih dapat merasa, terutama di wajah. Lesi dapat menjadi bersih secara spontan dalam setahun atau dua tahun, tetapi dianjurkan untuk memberikan pengobatan spesifik. 1,2

Lepra tuberkuloid2Lesi awal lepra tuberkuloid, yang merupakan satu dari kutub-kutub spektrum imunologik dan klinis, sering berupa makula hipopigmentasi yang berbatas tegas dan hipestetik. Kemudian lesi meluas dengan penyebaran tepi dan tepinya jadi meninggi serta menyerupai cincin atau berputar. Daerah ditengahnya kemudian menjadi atrofi dan tertekan. Lesi yang telah berkembang sempurna sangat anestetik dan kehilangan organ kulit yang normal (kelenjar keringat dan folikel rambut). Jumlah lesi tunggal atau sedikit. Keterlibatan saraf timbul dini, dan saraf superficial yang berasal dari lesi munkin menebal. Saraf perifer besar (terutama saraf ulnaris, peronealis, dan aurikularis magna) bisa teraba dan terlihat menebal, terutama yang paling dekat dengan lesi kulit. Mungkin terdapat nyeri neuritis berat. Keterlibatan saraf menyebabkan atrofi otot, terutama otot kecil di tangan. Sering terjadi kontraktur tangan kaki. Teruma, terutama akibat luka bakar dan patah serta akibat tertekan yang berlebihan, menyebabkan infeksi sekunder pada tangan dan menyebabkan tukak pada telapak tangan. Kemudian, responsi dan hilangnya falang bisa terjadi. Bia saraf fasialis terkena, mungkin terdapat lagoftalmos, keratitis akibat pajanan, dan tukak kornea yang menyebabkan kebutaan.Gambaran histologik terdiri dari granuloma nonkaseosa yang terdiri dari limfosit, sel epiteloid, dan mungkin sel raksasa; basilus sering tidak ada atau sulit terlihat. 2

Lepra lepramatosa2Lepra lepramatosa merupakan bentuk poler lainya. Keterlibatan kulit luas dan kurang lebih simetris bilateral melintasi garis tengah pejamu. Lesi kulit tersendiri sangat variabel dan dapat meliputi makula, nodul, plak, atau papu. Tepi lesi tidak tegas, dan bagian tengah lesi yang menimbul berindurasi dan cembung (bukanya konkaf, seperti pada penyakit tuberkuloid). Terdapat infiltrasi dermais yang difus antara lesi-lesi yang diskret, dan tampaknya kulit normal biasanya akan mengandung basilus yang tampak dengan pewarnaan . tempat predileksinya adalah wajah (pip, hidung, alis), telinag, pergelangan tangan, siku, bokong, dan lutut. Saat ini keterlibatan dengan infiltrasi dan nodulasi yang sedikit atau tidak ada sama sekali dapat berkembang dengan begitu halusnya sampai-sampai perjalanan penyakit tidak menjadi perhatian. Hilangnya bagian lateral alis mata sering terjadi. Lebih lanjut, kulit wajah dan dahi menebal dan bergelombang (fasies leonina), dan cuping telinga menggantung.Kekakuan hidung, epistaksis, dan obstruksi jalan nafas merupakan gejala awal yang sering didapati. Obstruksi hidung total, laringitis, dan suara parau juga sering didapati. Perforasi septum dan kolaps nasal menyebabkan hidung pelana. Invasi bagian anterior dapat menyebabkan keratitis dan iridosiklitis. Terjadi limfadenopati aksila dan inguinal yang tidak nyeri. Pada laki-aki dewasa, infiltrasi dan pembentukan jaringan parut pada testis menyebabkan kemandulan. Sering terjadi ginekomastia.Keterlibatan serat saraf mayor kurang nyata pada bentuk lepra matosa, tetapi sering terjadi hipestesia difus yang mengenai bagian perifer ekstremitas pada penyakit yang sudah lanjut. Secara patologis, saraf perifer terinfeksi lebih berat tetapi sering di pertahankan degan lebih baik daripada bentuk tuberkuloid.Secara histologis, terdapat reaksi granulomastos dengan makrofagsel busa (Virchow atau lepra) yang besar dan banyak basilus intraseluler, sering dalam massa yang bulat (bundar). Tidak ditemukan sel raksasa dan sel epiteloid. 2

Lepra perbatasan (borderline) 2Bagian spektrum perbatasan terletak antara kutub lepramatosa dan tuberkuloid dan biasanya dibagi lagi menjadi golongan tuberkuloid perbatasan, perbatasa (atau dimorfi), dan lepramatosa perbatasan. Penggolongan dalam daeran spektrum pertengahan kuran tepat bila dibandingkan dengan golongan kutub. Lesi cenderung meningkat jumlah dan heterogenisitasnya tetapi tercapai penurunan ukuran masing-masing lesi seperti kutub lepra matosa. Lesi kulit pada lepra tuberkuloid perbatasan umumnya meyerupai lesi pada penyakit tuberkuloid tetapi lebih besar jumlahnya dan memiliki batas yang kurang tegas. Keterlibatan saraf perifer multiper lebih sering dibandingkan pada penyakit tuberkuloid poler.Peningkatan keragaman penampakan lesi kulit karakteristik untuk lepra perbatasan. Papula dan bercak dapat timbul bersama dengan lesi makula. Anestesia kurang menonjol dibandingkan pada penyakit tuberkuloid. Cuping telinga mungkin sedikit menebal, tetapi alis dan daerah hidung tidak terkena. Lesi kulit bahkan menjadi lebih banyaj pada penyakit lepramatosa perbatasan, tetapi penyebarannya tidak memiliki kekhasan yang biateral simetris seperti pada penyakit lepra matosa poler.Histopatoogi granuloma pada lepra perbatasan berubah dari sel epiteloid yang dominan pada tuberkuloid perbatasan menjadi makrofag yang dominan bila menjadi kutub lepramatosa. Keberasaan dan jumlah lifosit beragam dan tidak berkaitan dengan golongan penyakit. Basii terdapat dalam jumlah beasr di granuloma kulit pasien lepramatosa perbatasan. Karena itulah golongan-golongan ini, bersama dengan lepra lepramatosa poler, disebut lepra multibasiler. Golongan tuberkuloid perbatasan, tuberkuloid poler, dan kelas yang tidak dapat ditentukan dikelompokan bersama sebagai lepra pausibasiler.Penyakit perbatasan keadaanya tidak stabil dan dapat bergeser menuju bentuk lepramatosa pada pasien yang tidak diobati atau menuju kutub tuberkuloid selama pengobatan. Perubahan kedua jenis poler menjadi bentuk yang lainya sangan jarang terjadi.Pada semua bentuk lepra, gambaran yang selalu ada adalah keterlibatan saraf tepi. Pada tiap potongan histologik, keterlibatan saraf akan menjadi lebih barat daripada keterlibatan jaringan lainnya. tampaknya banyak desktruksi neutral yang disebabkan oleh reaksi granulomatosa pada pejamu dan bukannya akibat sifat neurotoksik bawaan pada basil. Walaupun jarang, keterlibatan saraf dapat terjadi tampa adanya lesi kulit (lepra saraf sejati). 2Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu Tipe tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid (BT), Tipe borderline- borderline (BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe lepromatous- lepromatou(LL) berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,histopatologis, dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. Untuk program pengobatan, WHO membaginya atas kelompok Pausibasiler (PB) dan kelompok multibasiler (MB). Saat mengkelompokkan lepra, sangat penting untuk menjamin bahwa pasien dengan multibasiler tidak diobati menggunakan sediaan yang diperuntukkan bagi bentukan pausibasiler. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.1Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai. Bila kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh maka dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkoloid, dan sebaliknya bila SIS rendah maka gambarannya adalah lepromatosa. Kusta dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe indeterminatee dan tipe determinate. Yang termaksud dalam tipe determinate yaitu : 11. TT : Tuberkuloid polar (bentuk yang stabil)1. Ti : Tuberkuloid indefinite (bentuk yang labil)1. BT : Borderline tuberculoid (bentuk yang labil)1. BB : Mid borderline (bentuk yang labil)1. BL : Borderline lepromatous (bentuk yang labil)1. Li : Lepramatosa indefinite (bentuk yang labil)1. LL : lepromatosa polar (bentuk yang stabil)Bentuk yang stabil artinya berarti bentuk yang 100% tidak dapat berubah, sedangkan tipe Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya sedangkan tipe BL dan Li lebih banyak lepromaosanya. Tipe labil berarti tipe ini bebes beralih tipe baik ke arah TT atau LL. Tipe LL,BL dan BB merupaka tipe multibasilar yaitu mengandung banyak kuman sedangkan tipe TT,BT, dan I merupakan tipe pausibasilar yaitu tipe yang mengandung sedikit kuman.1

Kontak

Infeksi

Subklinis

SembuhIndeterminate

Determinate

ITTTiBTBBBLLiLL

Patogenesis kusta

Perjalan umum penyakit lepra sangat lambat tetapi dapat diselingi oleh dua jenis reaksi. Kedua bentuk reaksi dapat terjadi pada pasien yang tidak diobati tetapi lebih sering timbul penyulit pemberian kemoterapi. 1,2

Eritema nodusum leprosum2Eritema nodosum leprosum (ENL), atau reaksi tipe 1, terjadi pada pasien lepra perbatasan (borderline) dan lepramatosa, paling sering pada paruh terakhir tahun awal pengobatan. Timbul nodul subkutan yang nueri tekan dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satu atau dua minggu, tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Eritema nodosum leprosum bisa berlangsung hanya satu atau dua minggu, atau bertahan untuk waktu yang lama. Demam, limfadenopati, dan artralgia dapat menyertai eritema nodosum leprosum yang berat. Secara histologis, eritema nodosum leprosum ditandai infiltrasi sel polimorfonuklear serta timbunan IgG dan komplemen, yang menyerupai reaksi Arthus. 2

Reaksi yang merugikan1,2Reaksi yang merugikan, atau reaksi tipe1, dapat menjadi penyulit ketiga goongan perbatasan (borderline). Lesi kulit yang ada menjadi eritema dan bengkak, serta bisa timbul lesi baru. Masuknya limfosit yang dini ke lesi yang ada diikuti oleh endema dan bergeser menjadi histologi tuberkuloid. Imunitas seluler meningkat. Reaksi yang merugikan dapat dibedakan dari pemburukan penyakit atau relaps dengan cara inokulasi pada mencit untuk menguji viabilitas basil dan dengan uji histologik. Reaksi yang menurun, yang secara klinis menyerupai reaksi merugikan, paling sering terjadi pada pasien tidak diobati dan pada perempuan selama kehamilan trimester ketiga. Biopsi kulit mengungkapkan adanya pergeseran menjadi histologi lepramatosa dan mencerminkan penurunan kekebalan seluler. 1,2

Berikut adalah tabel yang mejelaskan secara singkat manifestasi dari klasifikasi lepra: 1SIFATLEPROMATOSA(LL)BORDERLINE LEPROMATOSA (BL)MID BORDERLINE(BB)

Lesi1. Bentuk

1. Jumlah

1. Distribusi1. Permukaan

1. Batas

1. Anestesia

BTA1. Lesi kulit1. Sekret hidungTes Lepromin

MakulaInfiltrat difusPapulNodusTidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehatSimetrisHalus berkilat

Tidak jelas

Tidak ada sampai tidak jelas

Banyak (ada globus)Banyak (ada globus)Negatif

MakulaPlakatPapul

Sukar dihitung, masih ada kulit sehat

Hampir simetrisHalus berkilat

Agak jelas

Tak jelas

BanyakBiasanya negatifNegatifPlakatDome-shaped (kubah)Punched-out

Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada

AsimetrisAgak kasar, agak berkilatAgak jelas

Lebih jelas

Agak banyakNegatifBiasanya negatif

Tabel 1: Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta multibasilar (MB)1

SIFATTUBERKULOID(TT)BORDERLINETUBERCULOID (BT)INDETERMINATE(I)

Lesi1. Bentuk

1. Jumlah

1. Distribusi1. Permukaan1. Batas

1. Anestesia

BTA1. Lesi kulitTes Lepromin

Makula saja; makula dibatasi infaltratSatu, dapat beberapa

AsimetrisKering bersisikJelas

Jelas

Hampir selalu negatifPositif kuat (3+)Makula dibatasi infiltrat; infiltrat sajaBeberapa atau satu dengan satelitMasih asimetrisKering bersisikJelas

Jelas

Negatif atau hanya 1+Positif lemahHanya makulaSatu atau beberapa

VariasiHalus, agak berkilatDapat jelas atau dapat tidak jelasTak ada sampai tidak jelas

Biasanya negatifDapat negatif lemah atau negatif

Tabel 2: Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta Pausibasilar (PB)1

Untuk mempermudah diagnosis, WHO membuat bagan diagnosis berdasarkan klasifikasi Lepra.PBMB

Lesi kulit- 1s/d5 lesi-Hipopigmentasi- Asimetris- Anastetik jelas- > 5 lesi- Simetris- Anastetik kurang jelas

Kerusakan sarafHanya 1 cabang saraf yang terkenaBanyak cabang saraf yang terkena

Tabel 3: Gambaran klinis menurut WHO1

Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh. Untuk saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah pembesaran, konsistensi, ada/tidaknya nyeri spontan, dan ada/tidanya nyeri tekan. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Bagi tipe yang kearah lepromatousa, kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid, kelainan saraf lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas sekunder dan primer. Cacat primer adalah akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulot, mukosa, tr. Respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terajdi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf, antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan , dan kaki.1Gejala-gejala kerusakan saraf adalah sebagai berikut : N. ulnaris : anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawling kelingking, dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. N. medianus : anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral. N. radialis : anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. N. poplitea lateralis : anestesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus. N. tibialias posterior : anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intirinstik kaki dan kolaps arkus pedis. N. fasialis : cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus, cabang bukal, mandibular, servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. N. trigeminus : anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateralis.Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata. Sekunder karena rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian mata lainnya. Secara sendiri atau bersama dapat sebabkan kebutaan.1

PenatalaksanaanPenangan lepra meiputi pendekatan multidisiplin yang luas, antara lain pelayanan konsultasi seperti bedah ortopedi, oftalmologi dan terapis fisis selain kemoterapi antimikroba.2Dapson (4,4-diamonodifenilsulfon, DDS, difenilsulfin), dsuatu antagonis folat, merupakan terapi utama. Dosis harianya adalah 50 hingga 100 mg pada orang dewasa. Dapson sangat murah, aman pada kehamilan dan memiliki waktu-paruh serum yang panjang sekitar 24 jam, sehingga pemberianya hanya sekali sehari. Efek samping utamanya, yang relatif jarang, antara lain hemolisis, agranulositosis, hepatitis, dan dermatitis ekfoiatif yang potensial mematikan. Pada penyakit lapromatosa, cukup banyak basil mati selama 10 hingga 12 minggu pertama monoterapi dapson, membuat inokulasi di telapak kaki mencit negatif. Namun, pada bentuk penyakit ini basil nonviabel hilang dengan lambat dan dapat ditemukan pada jaringan selama 5 hingga 10 tahun. Disamping itu, sebagian basil viabel (yang bertahan) bisa hidup dalam jaringan selama beberapa tahun dan menyebabkan relaps bila terapi dihentikan. 1,2,9Monoterapi dapson selama bertahun-tahun menyebabkan munculnya strain M. leprae yang resisten terhadap dapson. Resistensi sekunder timbul dalam 2 hingga 30 persen pasien lepramatosa yang mendapat monoterapi dapson. Resistensi ini terjadi sebagai relaps bakteriologik dan klinis setelah beberapa tahun terapi teratur yang tampaknya berhasil. Resistensi dapson primer pada pasien yang sebelumnya tidak diobati menjadi penyulit terapi empiris pada berbagai bagian dunia tetapi tetap jarang (kurang dari 3 persen) di Amerika Serikat. Untuk mengatasi masalah ini, WHO pada taun 1982 menganjurkan penggunaan terapi multi obat untuk semua pasien lepra.Rifampin merupakan obat mikobaterisidal paling cepat yang diketahui untuk M. leprae. Viabilitas basil kulit turun sampai kadar yang tidak dapat dideteksi dalam 5 hari setelah pemberian dosis 1500 mg rifampin per oral. Dosis yang lazim adalah 600mg/hari. Harga rifampin yang tinggi menjadi hambatan penggunaannya di negara berkembang dan menjadikan regimen pemberiannya dengan dosis 600 atau 900 mg sebulan. Banyak ahli epra lebih menyukai mengobati dengan rifampin setiap hari atau dua kali seminggu bila harga bukanla yang terpenting. Telah dilaporkan adanya M. leprae resisten-rifampin (jarang). Rifampin belum diakui untuk pengobatan lepra intermiten oleh Foo and Drug Administretion (FDA). Klofazimin merupakan senyawa turunan zat warna fenazin. Klofazimin sangat liofilik dan berkumpul dikulit, saluran makanan dan makrofag serta monosit. Klofazimin biasanya diberikan dengan dosis 50 hingga 200 mg/hari dan memiliki waktu paruh lebih dari 70 hari. Toksisitas utamanya terbatas pada kulit dan saluran makanan . pigmentasi kulit yang kemeraha, yang sering disertai dengan ikitosis, sangat menggangu banyak pasien yang berkulit terang dan menyebabkan penampilan kurang baik. Toksisitas intestinal juga tergantung dosis dan bermanisfestasi sebagai diare dan nyeri perut kram. Klofazimin tidak aman untuk digunakan selama kehamilan. 1,2,9Amitiozon adalah obat turunan tuosemikarbazon lebih efektif pada lepra jenis tuberkuloid dibandingkan dengan jenis lepromatosis. Resistensi pada obat ini sangat cepat yaitu dalam 3 tahun pasien sudah mengalami resisten terhadap obat ini, karena itulah obat ini dianjurkan untuk pasien yang tidak dapat menerima dapson. Efek sampingnya adalah anoreksia, mual, dan muntah serta anemia karena terjadi depresi sumsum tulang terlihat pada sebagian besar pasien. Ruam kulit dan albuminuria tidak jarang pula terlihat. Kejadian ikterus cukup tinggi dan gejala obat ini menandakan obat bersifat hepatotoksik tetapi sifatnya reversibel. Dosis awal ialah 50 mg setiap hari selama 1-2 minggu, kemudian dosis dinaikan perlahan-lahan sampai mencapai 200 mg.9Terdapat beberapa obat lama yang telah digunakan dalam situasi klinis waaupun kemampuanya terbatas dalam mengobati M. leprae yaitu etionaamid, protionamid, tiambutosin dan amitiozon. Seluruh obat tersebut terbukti toksik dan tidak stupun yang disetujui penggunanya oleh Food an Drug Administration (FDA) perkembangan yang menarik dan sangat penting beberapa tahun terakhir ini adalah identifikasi beberapa antimikroba baru dengan aktivitas yang mengesankan terhadap M. leprae. Obat yang paling menjajikan harapan adalah minosiklin, oflosiklin dan klaritromisin. Asam fusidat, ampisilin/asam kavulanat, dan bodrimoprim juga memperlihatkan aktivitas terhadap M. leprae in vitro atau pada mencit. Uji kliinis terhadap banyak obat-obatan baru ini sekarang sedang dilakukan, tetapi semuanya sebaiknya dianggap dalam tahap investigasional, dan tidak satupun yang digunakan untuk pengobatan lepra yang diakui atau diizinkan oleh FDA. 1,2,9Terapi untuk penyakit multibasiler sebaiknya terdiri dari tiga obat, biasanya dapson, rifampin dan klofazimin. Bila oraganisme diketahui peka terhadap dapson, kombinasi dapson dan rifampin mungkin memadai untuk kasus borderline dan lepramatosa borderline. Namun adanya kemungkinan terjadinya resistensi dapson sekunder membuat perlunya tambahan obat ketiga pada pengobatan peyakit eproamtosa. Pengukuran respon terhadap terapi secara objektif, antara lain biopsi dan goresan kulit, harus dipantau dan morfologis tidak ada lagi dan infiltrat sel peradangan telah menyembuh. Lama terapi yang optimal tidak diketahui, tetapi dianjurkan minimal 2 tahun. Terapi yang tidak terbatas mungkin diperlukanpada beberapa kasus penyakit lepromatosa. 1,2,9Regimen terapi terdiri dari dua obat, biasanya dapson dan rifampin, memadai untuk lepra pausibasiler. WHO menganjurkan pemberian terapi 6 bulan dan melaporkan angka kegagalan tahunan setelah terapi selesai hanya 0,1 persen. Praktik standar di Amerika Serikat adalah untuk mengobati dengan dapson dan rifampin selama 6 hingga 12 bulan pertama (tergantung dari respons klins), yang diikuti dengan dapson saja untuk menyelesaikan total 24 bulan terapi.Bukti perbaikan klinis harus terlihat dalam bulan kedua atau ketiga pengobatan. Respon klinis terhadap terapi bisa diklirukan dengan status reaksional yang sedang berlangsung, tetapi penyakit berhenti berkembang dengan lesi kulit perlahan-lahan membaik. Pemulihan dari cacat neurologik terbatas. 1,2,9Terapi reaksional. Eritema nodosum leprosum ringan ditangani dengan antipiretik dan analgesik. Kasus yang berat bisa cepat dikendalikan dengan prednison dosis tinggi (60 hingga 120 mg/hari). Terapi antimikroba harus diteruskan, karena terapi glukokortikoid oleh hati, membuat pemberiannya dalam dosis yang lebih besar untuk mencapai efek terapeutik tertentu. Talidomid merukanan obat yang paling efektif untuk eritema nodosum leprosum. Dosis awa lazim adalah 200 mg dua kali sehari, yang bisa diturunkan perlahan-lahan sampai dosis pemeliharaan 50 hingga 100 mg/hari pada pasien dengan ENL kronik. Talidomid amat dikontraindikasikan pada perempuan yang dalam usia reproduksi karena efek teragenik, tetapi dibuktikan relatif tidak ada efek samping yang berati pada pasien lepra lainya. Obat ini belum dianjurkan oleh FDA, tetapi tersedia di Pusat Penyakit Hansen, Carvile, Louisiana, sebagai pusat penelitian. Klofazimin memiliki sifat anti peradangan maupun aktivitas antimikroba dan dapat digunakan untuk pengobatan eritema nodosum leprosum kronik tetapi memerlukan sedikitnya 3 hingga 4 minggu untuk mencapai kadar yang efektif, yang membuat sedikit kegunaannya pada serangan akut. Obat anti peradangan lainnya, antara lain klorokuin, siklosporin dan obat sitotoksik, telah digunakan pada kasus sulit secara umum, keadaan yang tidak biasa ini harus ditangani dengan konsultasi pada individu ahli lepra. 1,2Reaksi yang merugikan seringkai akut dan dapat menyebabkan kerusakan neurologi yang cepat dan tidak reversibe, glukokortikoid diindikasikan untuk reaksi merugikan yang berat. Klfazimin digunakan juga pada keadaan kronik, tetapi umumnya perlu melanjutkan glukokortikoid juga. Reaksi yang merugikan tidak merespon terhapad talidomid.Tindakan lainnya. banyak deformitas dan kecacatan akibat lepra dapat dicegah. Tukak plantar, yang sangat sering terjadi, bisa dicegah dengan alas kaki yang bersol keras atau pembalut gips untuk berjalan, dan kontraktur tangan dapat dicegah dengan terapi fisis dan pemasangan gips. Bedah rekonstruksi kadang-kadang berguna. Transplantasi saraf dan tenson serta pelepasan kontraktur bisa lebih mengembalikan kemampuan fungsional pasien. peatihan kejuruan seringkali perlu untuk pasien dengan kecacatan permanen. Bedah plastik untuk deformitas wajah membantu penerimaan pasien dalam masyarakat. Trauma psikologis yang disebabkan pemisahan yang lama sekarang diminimalkan dengan terapi rumah yang sebenarnya meliputi semua kasus. 1,2

PencegahanBentuk penemuan kasus (case finding) dan kemoterapi merupakan dasar pengendalian yang ada sekarang. Derajat infeksi dapat dengan cepat ditekan dengan kemoterapi, yang membuat deteksi dini pada kasus merupakanhal yang penting. Di daerah endemik, hal ini berarti membentuk klinik setempat atau tim safari. Keluarga dan individu yang berhubungan erat perlu diperiksa secara teratur terhadap lepra. Keuntungan pengobatan multiobat jangka pendek (6 hingga 24 bulan) adalah pasien dapat dinyatakan bebas penyakit lebih awal daripada dengan monoterapi dapson. Hal ini memungkinkan pekerja kasus lepra mencurahkan lebih banyak usaha secara sebanding antara skrining kontak dan detaksi kasus. Di Amerika Serikat, para penderita dapat dipilih oleh Pelayanan Kesehatan Masyarakat untuk mendapatkan pengobatan dan klinik khusus ditempatkan di beberapa kota besar. Risiko penularan sangat rendah, bahkan pada pasien yang tidak diobati, dan tidak diperlukan tindakan pencegahan pengendalian infeksi yang tidak lazim bia pasien masuk rumah sakit. Kemoprofilaksis dengan dapson dosis rendah bisa efektif, tetapi skrining kontak dengan pemeriksaan fisis setiap tahun merupakan tindakan terpilih untuk terapi empiris pada sebagian besar keadaan. Uji vaksin dengan basil Calmette-Guerin pada daerah endemik memberikan hasil yang bertentangan, dan terutama, efisiensi sedang. Sedikitnya empat vaksin percobaan baru belakangan ini sedang dalam lapangan uji di India dan Amerika Selatan. 1,2

PrognosisDengan adanya obat-obatan kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada ulkus dan kontraktur kronik, prognosis kurang baik.2,3

KomplikasiDidunia, lepra mungkin merupakan penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari-jemari ataupun ekstremitas bagian distal, juga sering terjadi kebutaan.Fenomena Lucio, yang ditandai oleh atritis, terbatas pada pasien penyakit lepramatosa difus, infiltratif, dan non-noduler. Kasus klinis yang berat menyerupai bentuk lain vaskulitis nekrotikans dan menyebabkan tingginya angka mortalitas.Amiloidosis sekunder merupakan penyakit pada penyakit lepramatosa berat, terutama pada eritema nodosum leprosum kronik.Lepra dan infeksi virus imunodefisiensi manusia (human immunodeficiency virus) amatilah mengejutkan, dengan adanya pengalaman dengan penyakit mikrobakterium lain dan respon imun yang rumit terhadap M. leprae, infeksi HIV yang menyertai tampaknya hanya memiliki sedikit pengaruh pada manifestasi klinis atau perjalan alamiah penyakit lepra. Laporan yang bersifat anekdot mengesankan bahwa angka kekambuhan setelah selesainya terapi yang terifeksi HIV, dan pasien positif HIV dengan lepra dini atau subklinis bisa kemungkinan lebih besar untuk mengalami penyakit yang nyata. Bila terjadi bersamaan, lepra juga bisa mempercepat perjalanan penyakit HIV. 1,2

PenutupBapak usia 40 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putih pada lengna kiri sejak 1 bulan. Tidak ada rasa gatal. Pada pemeriksaan dermatologis : makula hipopigmentasi (+) dan anestesi (+), didiagnosa menderita Morbus Hansen (lepra/kusta). Morbus hansen (Lepra atau kusta) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang menyebabkan munculnya efloresensi pada kulit disertai dengan gangguan pada saraf-saraf tepi. Pengobatan yang adekuat serta deteksi dini dapat mencegah prognosis yang buruk yang timbul dari komplikasi penyakit kusta itu sendiri.

Daftar Pustaka1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2011.h.73-88.11. Ahmad H, Asdie. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed ke-13. Jakarta: EGC; 2002.h.133.799-808, 963-74,1060-3.21. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam . Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.25-76. 2871-80.31. Houghton RA, Gray D, editor. Chamberlains gejala dan tanda dalam kedokteran klinis. Ed ke-13. Jakarta:PT Indeks; 2010.h.3-45, 362-86.41. Siregar RS. Kusta (lepra). Dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2004.h.154-58.51. Wolf K, Johnson RA. Leprosi. In Fritz Patricks Color Atlas and Sypnosis of Clinical Dermatology. 6th ed. USA : The McGraw-Hill Companies ; 2009.p.665-71.61. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Mikosis superfisial. Dalam Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2011.h.311-26.71. Pityriasis versicolor. Diunduh dari www.webmd.com, 20 April 2013.81. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Edisi V. Jakarta: FKUI; 2011.h.633-5.

1 | Page