[MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

43
Gejala, Pemeriksaan, dan Pengobatan Morbus Hansen Zebri Yandi 102010102 Celine Martino 102011005 Adrian Jonathan Tanudarma 102011235 Grace Stepahanie Manuain 102011266 Jessyca Agustia 102011291 Heribertus Edo Tigit 102011350 Felicia Ananda Baeha Waruwu 102011410 Silvia Witarsih 102012520 1 | Page

description

fff

Transcript of [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Page 1: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Gejala, Pemeriksaan, dan Pengobatan Morbus Hansen

Zebri Yandi 102010102

Celine Martino 102011005

Adrian Jonathan Tanudarma 102011235

Grace Stepahanie Manuain 102011266

Jessyca Agustia 102011291

Heribertus Edo Tigit 102011350

Felicia Ananda Baeha Waruwu 102011410

Silvia Witarsih 102012520

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

1 | P a g e

Page 2: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Pendahuluan

Kusta (lepra) termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha,

dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Kata kusta disebut dalam kitab Injil, terjemahan

dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya.

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae

yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa

traktus respiratorius bagian atas, kemudian ke organ lain, kecuali SSP. Selain daripada segi

medis, penyakit kusta juga menjadi masalah psikososial si penderitanya. 1,2 Penyakit yang

kusta banyak terdapat dinegara-negara berkembang dan sebagian besar penderitanya adalah

masyarakat golongan ekonomi rendah. Hal ini adalah sebagai keterbatasan negara dalam

memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan

ekonomi pada masyarakat. Pada skenario ini, akan dibahas mengenai perjalanan penyakit,

gejala, dan pengobatan dari morbus hansen.

Tinjauan Pustaka

Anamnesis

Pada anamnesis yang yang perlu ditanyakan yaitu: identitas, keluahan utama, riwayat

penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat obstri dan ginekologi (khusus wanita).

Riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi

keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaaan, obat-obatan dan lingkungan).

Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua atau anggota keluarga

terdekat sebagai penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.

Identitas perlu ditanyakan untuk memeastikan bahwa pasien yang dimaksud dan sebagai data

penelitian.

Keluahan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien ke dokter

atau mencari pertolongan. Dari hasil anamnesa didapatkan data bahwa pasien datang dengan

keluhan adanya bercak putih pada lengan kiri, sejak 1 bulan, dan tidak ada rasa gatal.

2 | P a g e

Page 3: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas

mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang

berobat. Berdasarkan skenario kasus dalam melakukan anamnesis, harus diusahaka data

sebagai berikut: 3,4

- Waktu dan lamanya keluhan berlangsung, pada kasus ini keluhan berupa bercak putih

dan berlangsung sejak 1 bulan yang lalu.

- Sifat dan berat serangan, warna bercak, adanya gatal, adanya baal pada bercak/lesi

- Lokaisasi dan penyebaranya, menetap,menjalar, berpindah-pindah,

- Hubungan nya dengan waktu,

- Hubungannya dengan aktivitas,

- Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali,

- Faktor resiko dan pencatus serangan, termasuk faktor yang memperberat atau

meringankan keluhan,

- Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang mengalami keluahan yang sama,

- Riwayat perjalanan ke daerah endemis untuk penyakit tertentu,

- Perkembangan penyakit, kemungkinan telah tejadi komplikasi atau gejala sisa,

- Upaya yang telah dilakuakn dan bagai mana hasilnya, jenis obat-obatan yang telah

diminum pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan penyakit yang

saat ini diderita

Riwayat penyakit terdahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya

hubungan penyakit yang pernah ia derita dengan penyakitnya sekarang. Riwayat obstetri

harus ditanyakan pada setiap pasien wanita. Tanyakan mengenai menstruasinya, kapan

manrche, apakah menstruasi teratur atau tidak, apakah disertai rasa nyeri atau tidak, dan

riwayat kehamilan, persalinan dan keguguran. 3,4

Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulakan data posistif dan negatif yang

berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien berdasarkan alat tubuh yang sakit.3

Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,

familial atau penyakit infeksi. 3,4

Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu

ditanyakan apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti masaah

keuangan, pekerjaan dan sebagainya. Kebiasaan pasien yang harus ditanyakn kebiasaan

3 | P a g e

Page 4: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

merokok, minum alkohol dan obat-obatan termasuk obat-obatan terarang. Pasien yang sering

melakukan perjalanan juga harus ditanyakan tujuan perjalannan yang telah ia lakukan untuk

mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Bila

ada indikasi, riwayat perkawinan dan kebiasaan seksual juga harus di tanyakan. Yang tidak

kalah penting adalah menanyakan tentang lingkungan tempat tinggal, termasuk keadaan

rumah, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya. 3,4

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang kita lakukan adalah dengan memastikan status lokalisasi

dari bercak putih tersebut. Kita perlu melakukan pemeriksaan pada seluruh bagian tubuh, jika

memang bercak putih sudah menyebar ke seluruh tubuh. Selain itu, kita juga memeriksa

eflouresensi atau sifat dari luka tersebut. Pada setiap kriteria dari lepra, eflouresensinya juga

mempunyai sifat yang berbeda. Pada lepra tipe I (tipe interdeminan), eflouresensi yang

muncul adalah berupa makula hipopigmentasi berbatas tegas, anestesi, dan anhidrasi,

pemeriksaan bakteriomologi negatif, dan tes lepromin positif. Lepra tipe TT (tuberkolusis),

eflouresensi berupa makula eritematosa bulat atau lonjong, permukaan kering, batas tegas,

anestesi, bagian tengah sembuh, bakteriologi negatif, tes lepromin positif kuat. Tipe BT

(bordeline tuberculoid), eflouresensi berupa makula eritrematousa tak teratur, batas tak tegas,

kering, mula-mula akan ada tanda kontraktur, anestesi, bakteriologi bisa negatif atau positif,

tes lepromin juga bisa menunjukan hasil positif atau negatif. Tipe BB (mid-borderline)

makula eritromatosa, menonjol, bentuk tidak teratur, kasar, ada lesi satelit, penebalan saraf

dan kontraktur, pemeriksaan bakteriologi positif, tes lepromin negatif. Tipe BL (boderline

lepramatosa) berupa makula infiltrat merah mengkilat, tak teratur, batas tak tegas,

pembengkakan saraf, pemeriksaan bakteriologi ditemukan banyak basil, tes lepromin negatif.

Tipe LL (lepromatosa) berupa infiltrasi difus berupa nodula simetri, permukaan mengkilat,

saraf terasa sakit, anestesi, pemeriksaan bakteriologi positif kuat, tes lepromin negatif.5

Selain pemeriksaan fisik kulit, kita harus pula melakukan pemeriksaan saraf tepi

pasien (nervus ulnaris, nervus radialis, nervus aurikulas magnus, dan nervus poplitea), mata

(lagoftalmus), tulang (kontraktur atau absorbsi), dan rambut (alis mata, kumis, dan pada lesi

sendiri). Pemeriksaan anestesi (baal) dan sensitifitas bisa dilakukan dengan tes panas dingin

ataupun dengan jarum. Tes keringet dengan melakukan tes Gunawan, yaitu dengan pensil

tinta dibuat garis pada lesi hingga keluar lesi, lalu pasien melakukan olahraga sampai

4 | P a g e

Page 5: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

berkeringat. Selanjutnya dilihat pada bagian mana tinta melebur karena keringat dab bagian

tinta yang tidak melebur karena anhidrasi.5 Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan makula

hipopigmentasi positif dengan anestesi.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis penunjang dibagi menjadi tiga macam yaitu pemeriksaa bakterioskopik

(kerokan jaringan kulit), pemeriksaan histopatologik, dan pemeriksaan serologik.

1. Pemeriksaan bakterioskopik: dibuatlah suatu sediaa dari kerokan jaringan kulit atau

usapan dan kerokan mukosa hidung bagian septum lalu diwarnai dengan pewarnaan

BTA (Basil Tahan Asam), antara lain Ziehl-Neelsen. Jika hasilnya negatif, maka

orang tersebut belum tentu tidak mengandung kuman M. leprae. Bagian tubuh yang

pasti dikerok jaringan kulitnya adalah dibawah cuping telinga berdasarkan

pengalaman, tempat tersebut diharapkan mengandung kuman lebih banyak. Cara

pengambilannya dengan menggunakan skalpel steril, lalu pada kulit yang terkena lesi

didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik,

sehingga kerokan mengandung sedikit mungkin darah yang bisa mengganggu

pemeriksaan. Kerokan skalpel harus sampai di dermis yang diharapkan banyak

mengandung kuman M. leprae (sel leprae = sel Virchow). Dan dari mukosa hidung

diambil dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari dan ditampung

pada sehelai plastik. Namun sediaan dari mukosa hidung jarang dipakai karena

kemungkinan adanya M. atipik, M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit

negatif, bila diobati hasil pemeriksaan mukosa hidung negatif negatif lebi dahulu

dibandingkan kerokan jaringan kulit, dan rasa nyeri saat pemeriksaan. Lalu bahan

5 | P a g e

Gambar 1. Makula Hipopigmentasi6

Page 6: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

sediaan dioleskan pada gelas alas, difiksasi diatas api, lalu diwarnai dengan

pewarnaan Ziehl Neelsen. M. Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada

sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmen), dan

butiran (granulasi). Bentuk solid adalah bentuk dari kuman hidup, sedangkan bentuk

fragmen dan granulasi adalah bentuk dari kuman yang mati. Kepadatan BTA tanpa

memebedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks

Bakteri (IB) dengan nila 0-6+ menurut Ridley.1

2. Pemeriksaan histopatologik: makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di

dalam darah ada yang mempunyai nama khusus dan fungsi berbeda-beda dalam

menjalankan imunitas tubuh. Saat ada kuman M. leprae yang masuk, akan

bergantung pada sistem imunitas seluler orang tersebut. Jika sistem imunnya bagus,

maka akan banyak ditemukan sel datia Langhans tetapi sayangnya jika ada massa

epiteloid berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi

penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Sebaliknya jika sistem imunitas

seluler orang tersebut rendah, maka M. leprae akan berkembang biak dalam sel tubuh

manusia lalu menjadi sel Virchow sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Contohnya

adalah gambaran histopatologik tipe tuberkeloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf

yang lebih nayta, tidak ada kuman, atau hanya sedikit dan non-solid.1

3. Pemeriksaan serologik: pemeriksaan ini didasarkan atas terbentuknya antibodi pada

tubuh yang terinfeksi M. leprae. Ternyata ada antibodi spesifik kuman ini yaitu anti

phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.

Sedangkan antobodi non-spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah untuk mendiagnosis penyakit kusta yang

meragukan seperti kusta yang subklinis (hampir tidak ada lesi kulit). Disamping itu

dapat menentukan kusta subklinis, karena tidak didapatinya lesi kulit, misalnya

narakontak serumah. Uji serologik tersebut terdiri dari Uji MLPA, ELISA, dipstick

test, dan flow test.1

6 | P a g e

Page 7: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Diagnosis Banding

1. Pteriasis Versikolor

Pteriasis Versikolor atau panu adalah penyakit jamur superfisial kronik yang

disebabkan oleh Malassezia furfur. Biasanya tidak akan menimbulkan keluhan yang

subyektifm hanya berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat

hitam. Bercak meliputi badan dan kadang-kadang menyeang ketiak, lipat paha, lengan ,

tungkai atas, leher, muka, kulit kepala yang berambut. Infeksi bisa terjadi karena kontak

langsung dari penempelan jamur ke kulit manusia. Jamur bertumbuh karena faktor kulit

yang berminyak, prematuritas, pengobatan anti mikrobial, kortikosteroid, penumpukan

glikogen ekstraseluler, infeksi kronik, keringat berlebihan, pemakaian pelumas kulit, dan

kadang karena kehamilan.7

Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama di

badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur

sampai teratur, batas jelas dan difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila di lihat

dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan

biasanya asimtomatik sehingga ada kalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia

berpenyakit tersebut. Lesi kulit berupa bercak putih sampai coklat, merah, dan hitam. Di

atas lesi terdapat sisik halus. Bentuk lesi tidak teratur, dapat berbatas tegas atau difus.

Sering didapatkan lesi bentuk folikular atau lebih besar, atau bentuk numular yang meluas

membentuk plakat, kadang-kadang dijumpai bentuk campuran, yaitu folikular dengan

numular, folikular dengan plakat ataupun folikular, atau numular dengan plakat. Kadang-

kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan berobat.

Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh toksik

jamur terhadap pembentukan pigmen, sering di keluhkan penderita. Biasanya penderita

datang berobat karena alasan kosmetik yang disebabkan bercak hipopigmentasi. Variasi

warna lesi pada penyakit ini tergantung pada pigmen normal kulit penderita, paqparan

sinar matahari, dan lamanya penyakit. Kadang-kadang warna lesi sulit dilihat, tetapi

skuamanya dapat dilihat dengan pemeriksaan goresan pada permukaan lesi dengan kuret

atau kuku jari tangan (coup d’angle dari Beisner).1,7

7 | P a g e

Page 8: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

2. Pteriasis Alba

Sering di jumpai pada anak-anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Lesi berbentuk

bulat, oval atau plakat yang tidak beraturan. Warna merah muda atau sesuai warna kulit

dengan skuama halus. Setelah eritema hilang, lesi yang dijumpai hannya depigmentasi

dengan skuama halus. Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara ½-2

cm. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering disekitar mulut,

dagu, pipi, serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Dapat simteris

pada bokong, paha atas, punggung, ekstensor lengan. Umunya lesi bersifat asimtomatik,

meskipun kadang-kadang penderita mengeluhkan panas atau gatal.1

3. Vitiligo

Makula berwarna putih dengann diameter beberapa milimeter sampai beberapa

sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis lain.

Kadang ada makula hipomelanotik selain makula apigmentasi. Daerah yang sering

terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama diatas jari, periorifisial sekitar mata,

hidung, mulut, tibialis anterior, dan pergelangan tangan bagian fleksor. Lesi bilateral

dapat simetris atau asimetris. Mukosa jarang terkena, kadang mengenai genital eksterna,

putting susu, bibir, dan gingitiva.1

8 | P a g e

Gambar 2. Pitiriasis Versikolor5Gambar 2. Pitiriasis Versikolor8

Gambar 3. Pitiriasis Alba8

Gambar 4. Vitiligo6

Page 9: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

4. Morbus Hansen

Lesi dengan bercak putih bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian

melebar dan meluas. Jika sudah terkena saraf perifer, penderita akan mengelih kesemutan

dan baal pada bagian tertentu, ataupun kesukaran menggerakan anggota badan yang

berlanjut dengan kaku sendi. Rambut alispun dapat rontok.5

Diagnosis Kerja

Ditemukan basil tahan asam pada sediaan apus kulit yang dibuat dengan cara insisi-

potong merupakan bukti kuat untuk lepra, tetapi pada penyakit penyakit tuberkuloid basil

mungkin tidak tampak. Bila mungkin, spesimen biopsi kulit dari daerah yang terkena

sebaiknya dikirim untuk pemeriksaan patologik yang banyak berguna untuk lepra.

Keterlibatan saraf perifer secara histologik bersifat patognomonik, bahkan dengan tidak

adanya basi. Sekarang sedang berlangsung perkembangan uji dengan pemeriksaan genetik

untuk identifikasi dan spesiasi yang cepat terhadap mikobakterium pada spesimen klinis. 1,2

Uji serologik spesifik untuk lepra telah dikembangkan. Berdasarkan deteksi antibodi

terhadap glikolipid fenolat I, esai ini memiliki sensitivitas lebih dari 95 persen pada penyakit

lepramatosa poler dan sekitar 30 persen pada penyakit tuberkuloid. Kadar antibodi

tampaknya berkaitan engan beban basier, yang menerangkan angka negatif palsu yang tinggi

pada penyakit tuberkuloid poler. Meski terdapat keterbatasan ini. Spesifitas esai ini yang

hampir 100 persen membuatnya potensial bergun untuk menguatkan diagnosis lepra dan

sebagai alat epidemologik untuk meneliti penularan dan inkubasi penyakit. 1,2

Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sudah

dilakukan, bapak usia 40 tahun ini didiagnosa mengalami penyakit lepra (Morbus Hansen).

Etiologi

Lepra (penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatosa kronik pada manusia yang

menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer. Kuman penyebab adalah

Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia.

9 | P a g e

Page 10: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Kuman ini berukuran 3-8 µm x 0,5 µm berbentuk batang tahan asam dan alkohol positif-

gram yang termasuk familia Mycobacteriaceae atas dasar morfologik, boikimiawi, antigenik

dan kemiripan genetik dengan mikobakterium lainya. Walaupun belum berhasil

dikembangbiakan pada media buatan atau buakan jaringan, kuman ini dapat diperbanyak

pada hewan armadilo dan pada talapak kaki mencit. Basil ini berbiak sangat lambat, dengan

perkiraan waktu penggadaaan waktu optimal 11 hingga 13 hari selama pertumbuhan

logaritmik pada telapak kaki mencit. Model mencit telah digunakan secara uas untuk studi

obat antilepra, dan hasil bakteri yang tinggi dari armadilo sangat penting untuk uji genetik

dan imunologik. Komponen seluler M. leprae yang berperan pada patogenesitas dan

kemampuan hidupnya daam penjamu masih belum dipahami. Faktor virulensi yang diketahui

baik adalah fenolat glikolipid I, suatu lemak permukaan yang menonjol yang khas untuk M.

leprae. Fenolat glikolipid I dapat mengikat komponen komplemen C3, yang pada akhirnya

memperantai fagositosis bakteri oleh fagosit mononuklear melalui reseptor CR1, CR3 dan

CR4 pada permukaan selnya. Sekali berada dalam fagosit, fenolat glikolipid I membantu

melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil

yang dapat menghancurkan seara kimiawi. 1,2

Epidemiologi

Morbus hansen lebih sering di negara-negara beriklim tropis, yang banyak di

antaranya memiliki angka prevalensi 1-2 persen populasi. Lingkungan yang hangat tidak

terlalu penting untuk penularanya, dan lepra juga terjadi pada daerah tertentu yang beriklim

lebih dingin, seperti Korea dan Meksiko tengah. Penyebaran individu yang terinfeksi di

negara-negara sangat tidak homogen dan dapat ditemukan wilayah yang 20 persen

penduduknya terinfeksi. Penyebaran kasus melalui spektrum lepra juga beragam antar negara,

dengan penyakit leramatosa yang dominan pada beberapa negara, seperti Meksiko dan,

10 | P a g e

Gambar 6. Mycobacterium Leprae6

Page 11: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

penyakit tuberkoloid lainya seperti India. Sembilan puluh persen kasus yang didiagnosis di

Amerika Serikat pada dua dasawarsa yang lalu terjadi pada imigran dari negara endemik-

lepra. Penularan yang sejati terjadi di Hawai, teritorial Kepulauan Pasifik, dan seara sporadik

di sepanjang Gulf Coast. Insiden lepra di Amerika Serikat telah turun dari puncaknya 360

kasus pada tahun 1985, yang berkaitan dengan masuknya imigran dari Asia Tenggara

menjadi 139 kasus pada tahun1991. 1,2

Pada tahun 1991 Word Heath Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta

sebagai probem kesehata masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta

menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di indonesia hal ini dikenal sebagai

Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT) 1

Jumlah kasus kusta yang tercata di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah

menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada

permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan

jumah kasus baru tahun 2008 baru tercatat 249.007. Di indonesia jumlah kasus lepra yang

tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668

orang. Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Mauku dan

Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73. 2

Penyebaran penyakit lepra dar suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh

dunia, tampaknya disebabkan oelh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.

Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh

orang-orang Cina. 1

Lepra dapat menyerang semua umur, walaupun kasus pada bayi yang berusia kurang dari

1 taun sangat jarang. Insidensi spesifik usia memuncak salama masa kanak-kanak pada

sebagian besar negara berkembang, sampai 20 persen kasus terjadi pada anak di bawah 10

tahun. Karean paling banyak didapati pada kelompok sosial ekonomi lemah, hal ini dapat

secara sederhana mencerminkan penyebaran usia pada populasi risiko tinggi. Rasio jenis

kelamin penyakit lepra yang tampak pada masa kanak-kanak adalah 1:1, tetapi laki-laki lebih

menonjol dengan rasio pada orang dewasa sekitar 2:1. 2

Dengan sederhana kita menyadari betapa sedikitnya yang diketahui tentang cara penularan

dan terkannya lepra, mengingat sifat infekasi yang dapat menular telah diketahui selama

ribuan tahun dan bahwa agen etiologinya telah diidentifikasi selama lebih dari 100 tahunyang

lalu. Penularan langsung manusia-ke-manusia dipercaya berperan pada kebanyakan kasus

lepra, walaupun pada anamnesis kurang dari separuh pasien dapa disingkirkan kontak

sebeumnya. Reservoir hewan terdapat di antara armadio liar dan mungkin di antara primata

11 | P a g e

Page 12: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

nonmanusia, tetapi hanya pada sedikit kasus manusia yang melibatkan penuaran secara

zoonosis. Di antara pasien leptomatosa yang tidak diobati yang terdapat kontak keluarga erat,

resiko penyakit meningkat sekitar delapan kali, dan angka penyerangan penyakit dapat

setingga 10 persen. Timbunya penyakit klinis pada kontak dengan pasien tuberkoloid lebih

jarang, walaupun uji imunologik mengesankan kebanyakan kontak ini telah tersensitasi

dengan M. leprae. Tempat masuk kuman masih diduga-duga, tetapi mungkin kuit atau

mukosa saluran nafas atas. Jalan keluar utama yang diperkirakan adaah mukosa hidung pada

pasien lepromatosa yang tidak diobati, 1,2 cara inhalasi ini memungkinkan sebab M. leprae

masih dapat bertahan hidup beberapa hari dalam droplet. 1

Masa inkubasi seringkali 3 hingga 5 tahun tetapi telah dilaporkan bahwa masa inkubasi

ini berkisar dari 6 bulan ( bahkan bisa 40 hari) hingga beberapa dasawarsa( kurang lebih 40

tahun).1, 2

Patogenesis

Sebenarnya Mycobacterium leprae mempunyai patogenesis dan daya inhasi yang

rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan

gejala yang lebih berat. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit,

tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi

granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena

itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih

sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.1

Peristiwa awal setelah masuknya M. leprae ke dalam tubuh manusia belum

diungkapakan. Basil dikelilingi oleh kapsul yang padat dan lemak yang hampir tidak aktif,

yang tidak menghasilkan eksotoksin, dan menimbulkan sedikit respons peradangan.

Penelitian epidemologik dan imunologik mengesankan bahwa hanya sebagian kecil, mungkin

10 hingga 20 persen, dari individu yang terinfeksi yang akan menampakan tanda lepra yang

tidak dapat ditentukan dan hanya sekitar 50 persen dari individu yang menderita lepra klinis

yang berkembang penuh. 1,2

Intensitas respon imun spesifik diperantarai sel terhadap M. leprae berkaitan kelas

penyakit histologik dan klinis. Individu dengan penyakit tuberkuloid poler memiiki respon

seluler yang lebih jkuat terhadap M. leprae dan beban basiler yang rendah sedangkan pasien

lepra lepramatosa tidak memiliki respon seuler yang dapat didektesi terhadap basil lepra.

Terdapat bukti dari penelitian keluarga bahwa gen terkait-HLA yang khas mungkin

12 | P a g e

Page 13: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

berhubungan dengan berbagai kelas penyakit, Hla-DR2 diturunkan secara istimewa pada

anak-anak dengan penyakit tuberkuloid poer, sedangkan HLA-MT1 berkaitan dengan

penyakit lepramatosa poler. Pengaruh gen terkait HLA terbatas hanya dalam mempengaruhi

jenis lepra; tidak terdapat hubungan antara haplotip. HLA dan kepekaan terhadap lepra secara

keseluruhan.

Defek pada imunitas yang diperantarai sel (imunitas seluler) pada pasien epramatos

sangatlah khas. Mereka tidak menderita kareana peningkatan morbiditas yang menyertai

infeksi oleh patogen seperti virus, protozoa, atau jamir yang memerlukan imunitas seluler,

dan mereka tidak memiliki peningkatan risiko neoplasma. Pasien lepra lepramatosa memiliki

peningkatan jumlah limfosit CD8+ (supresor) dalam sirkulasi yang dapat diaktifkan oleh

antigen M. leprae secara spesifik, dan limposit yang ada pada granulomanya hampir semata-

mata CD8+. Sebaliknya, sel CD4+4B4+ (penolong) dominan diantara sel T pada lesi kuit

pasien tuberkoloid. Pada lepra lepramatosa, sel dari keluarga monosit-makrofag dipenuhi M.

leprae dan tidak mampu membunuh atau mencerna organisme. Namun, bila diteliti secara in

vitro, monosit dari pasien ini berespon normal terhadap sitokin dan memperlihatkan aktivitas

mikrobisidal dan fagosit normal.

Hasil ini mengesankan bahwa terdapat defek yang mendasar pada pengaturan subpoulasi

limposit T yang berperan pada karakteristik toleransi imunologi lepra lepramatosa.

Bakterimia berat sangat sering pada epramatosa, dan organisme sering dapat dilihat pada

sediaan apusan darah tepi atau buffy coat yang diwarnai, tetapi, tetapi tidak ada demam tinggi

dan tanda toksistas sistemik. Walaupun pada kasus yang sangat lanjut, lesi dekstruktif

terbatas pada kulit, saraf tepi, bagia anterior mata, saluran nafas bagian atas di atas laring,

testis, dan struktur di tangan dan kaki. Suatu tanda yang sering pada tempat ini adalah bahwa

semuanya biasanya beberapa derajat lebih dingin dari 37 C. dua tempatutama yang terkena⁰

adalah saraf ulnaris dekat siku dan saraf peroneus yang melingkari kaput fibula; di atas dan

dibawah daerah ini, tempat saraf-saraf ini berjalan lebih dalam, tidak terkena terlalu hebat.

Pada pasien lepra lepramatosa, kumpuan basilus juga ditemukan di hati, limpa dan sumsum

tulang, tetapi tidak ada disfungsi sistem organ viseral yang terkait dengan adanya basil ini. 1,2

Manifestasi Klinik

Respons imun yang beragam terhadap infeksi M. leprae menyebabkan spektrum

manisfestasi klinis dan histologik yang luas. Terdapat persesuaian yang kuat antara temuan

klinis dan histologik kulit, dan hal ini akan dibahas bersama-sama

13 | P a g e

Page 14: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Tanda lepra yang pertama biasanya dikulit. Lesi lepra yang tidak dapat ditentukan sangat

halus dan paing sering didiagnosis pada pemeriksaan kontak pasien yang diketahui menderita

lepra. Dapat terlihat satu atau lebih makula hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Seringkali

bercak yang bersifat anastetik atau parestetik merupakan gejala pertama yang dinyatakan

pasien, tapi pada pemeriksaan yang teliti, bisa ditemuka keterlibatan kulit. Pada lesi dini ini

seringkali masih dapat merasa, terutama di wajah. Lesi dapat menjadi bersih secara spontan

dalam setahun atau dua tahun, tetapi dianjurkan untuk memberikan pengobatan spesifik. 1,2

Lepra tuberkuloid2

Lesi awal lepra tuberkuloid, yang merupakan satu dari “kutub-kutub” spektrum

imunologik dan klinis, sering berupa makula hipopigmentasi yang berbatas tegas dan

hipestetik. Kemudian lesi meluas dengan penyebaran tepi dan tepinya jadi meninggi serta

menyerupai cincin atau berputar. Daerah ditengahnya kemudian menjadi atrofi dan tertekan.

Lesi yang telah berkembang sempurna sangat anestetik dan kehilangan organ kulit yang

normal (kelenjar keringat dan folikel rambut). Jumlah lesi tunggal atau sedikit. Keterlibatan

saraf timbul dini, dan saraf superficial yang berasal dari lesi munkin menebal. Saraf perifer

besar (terutama saraf ulnaris, peronealis, dan aurikularis magna) bisa teraba dan terlihat

menebal, terutama yang paling dekat dengan lesi kulit. Mungkin terdapat nyeri neuritis berat.

Keterlibatan saraf menyebabkan atrofi otot, terutama otot kecil di tangan. Sering terjadi

kontraktur tangan kaki. Teruma, terutama akibat luka bakar dan patah serta akibat tertekan

yang berlebihan, menyebabkan infeksi sekunder pada tangan dan menyebabkan tukak pada

telapak tangan. Kemudian, responsi dan hilangnya falang bisa terjadi. Bia saraf fasialis

terkena, mungkin terdapat lagoftalmos, keratitis akibat pajanan, dan tukak kornea yang

menyebabkan kebutaan.

Gambaran histologik terdiri dari granuloma nonkaseosa yang terdiri dari limfosit, sel

epiteloid, dan mungkin sel raksasa; basilus sering tidak ada atau sulit terlihat. 2

Lepra lepramatosa2

Lepra lepramatosa merupakan bentuk poler lainya. Keterlibatan kulit luas dan kurang

lebih simetris bilateral melintasi garis tengah pejamu. Lesi kulit tersendiri sangat variabel dan

dapat meliputi makula, nodul, plak, atau papu. Tepi lesi tidak tegas, dan bagian tengah lesi

yang menimbul berindurasi dan cembung (bukanya konkaf, seperti pada penyakit

tuberkuloid). Terdapat infiltrasi dermais yang difus antara lesi-lesi yang diskret, dan

tampaknya kulit normal biasanya akan mengandung basilus yang tampak dengan pewarnaan .

14 | P a g e

Page 15: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

tempat predileksinya adalah wajah (pip, hidung, alis), telinag, pergelangan tangan, siku,

bokong, dan lutut. Saat ini keterlibatan dengan infiltrasi dan nodulasi yang sedikit atau tidak

ada sama sekali dapat berkembang dengan begitu halusnya sampai-sampai perjalanan

penyakit tidak menjadi perhatian. Hilangnya bagian lateral alis mata sering terjadi. Lebih

lanjut, kulit wajah dan dahi menebal dan bergelombang (fasies leonina), dan cuping telinga

menggantung.

‘Kekakuan’ hidung, epistaksis, dan obstruksi jalan nafas merupakan gejala awal yang

sering didapati. Obstruksi hidung total, laringitis, dan suara parau juga sering didapati.

Perforasi septum dan kolaps nasal menyebabkan hidung pelana. Invasi bagian anterior dapat

menyebabkan keratitis dan iridosiklitis. Terjadi limfadenopati aksila dan inguinal yang tidak

nyeri. Pada laki-aki dewasa, infiltrasi dan pembentukan jaringan parut pada testis

menyebabkan kemandulan. Sering terjadi ginekomastia.

Keterlibatan serat saraf mayor kurang nyata pada bentuk lepra matosa, tetapi sering terjadi

hipestesia difus yang mengenai bagian perifer ekstremitas pada penyakit yang sudah lanjut.

Secara patologis, saraf perifer terinfeksi lebih berat tetapi sering di pertahankan degan lebih

baik daripada bentuk tuberkuloid.

Secara histologis, terdapat reaksi granulomastos dengan makrofagsel busa (Virchow atau

lepra) yang besar dan banyak basilus intraseluler, sering dalam massa yang bulat (bundar).

Tidak ditemukan sel raksasa dan sel epiteloid. 2

Lepra perbatasan (borderline) 2

Bagian spektrum perbatasan terletak antara kutub lepramatosa dan tuberkuloid dan

biasanya dibagi lagi menjadi golongan tuberkuloid perbatasan, perbatasa (atau dimorfi), dan

lepramatosa perbatasan. Penggolongan dalam daeran spektrum pertengahan kuran tepat bila

dibandingkan dengan golongan kutub. Lesi cenderung meningkat jumlah dan

heterogenisitasnya tetapi tercapai penurunan ukuran masing-masing lesi seperti kutub lepra

matosa. Lesi kulit pada lepra tuberkuloid perbatasan umumnya meyerupai lesi pada penyakit

tuberkuloid tetapi lebih besar jumlahnya dan memiliki batas yang kurang tegas. Keterlibatan

saraf perifer multiper lebih sering dibandingkan pada penyakit tuberkuloid poler.

Peningkatan keragaman penampakan lesi kulit karakteristik untuk lepra perbatasan. Papula

dan bercak dapat timbul bersama dengan lesi makula. Anestesia kurang menonjol

dibandingkan pada penyakit tuberkuloid. Cuping telinga mungkin sedikit menebal, tetapi alis

dan daerah hidung tidak terkena. Lesi kulit bahkan menjadi lebih banyaj pada penyakit

lepramatosa perbatasan, tetapi penyebarannya tidak memiliki kekhasan yang biateral simetris

15 | P a g e

Page 16: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

seperti pada penyakit lepra matosa poler.

Histopatoogi granuloma pada lepra perbatasan berubah dari sel epiteloid yang dominan pada

tuberkuloid perbatasan menjadi makrofag yang dominan bila menjadi kutub lepramatosa.

Keberasaan dan jumlah lifosit beragam dan tidak berkaitan dengan golongan penyakit. Basii

terdapat dalam jumlah beasr di granuloma kulit pasien lepramatosa perbatasan. Karena itulah

golongan-golongan ini, bersama dengan lepra lepramatosa poler, disebut lepra multibasiler.

Golongan tuberkuloid perbatasan, tuberkuloid poler, dan kelas yang tidak dapat ditentukan

dikelompokan bersama sebagai lepra pausibasiler.

Penyakit perbatasan keadaanya tidak stabil dan dapat bergeser menuju bentuk

lepramatosa pada pasien yang tidak diobati atau menuju kutub tuberkuloid selama

pengobatan. Perubahan kedua jenis poler menjadi bentuk yang lainya sangan jarang terjadi.

Pada semua bentuk lepra, gambaran yang selalu ada adalah keterlibatan saraf tepi.

Pada tiap potongan histologik, keterlibatan saraf akan menjadi lebih barat daripada

keterlibatan jaringan lainnya. tampaknya banyak desktruksi neutral yang disebabkan oleh

reaksi granulomatosa pada pejamu dan bukannya akibat sifat neurotoksik bawaan pada basil.

Walaupun jarang, keterlibatan saraf dapat terjadi tampa adanya lesi kulit (lepra saraf sejati). 2

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi

menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu Tipe

tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid (BT), Tipe borderline- borderline

(BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe lepromatous- lepromatou(LL) berdasarkan

gambaran klinis, bakteriologis,histopatologis, dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga

secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. Untuk program pengobatan, WHO

membaginya atas kelompok Pausibasiler (PB) dan kelompok multibasiler (MB). Saat

mengkelompokkan lepra, sangat penting untuk menjamin bahwa pasien dengan multibasiler

tidak diobati menggunakan sediaan yang diperuntukkan bagi bentukan pausibasiler. Yang

termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling

dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT

dengan IB kurang dari 2+.1

Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai. Bila

kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh maka dapat timbul gejala klinis sesuai

dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler

(SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkoloid, dan

sebaliknya bila SIS rendah maka gambarannya adalah lepromatosa. Kusta dibagi menjadi dua

16 | P a g e

Page 17: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

tipe yaitu tipe indeterminatee dan tipe determinate. Yang termaksud dalam tipe determinate

yaitu : 1

- TT : Tuberkuloid polar (bentuk yang stabil)

- Ti : Tuberkuloid indefinite (bentuk yang labil)

- BT : Borderline tuberculoid (bentuk yang labil)

- BB : Mid borderline (bentuk yang labil)

- BL : Borderline lepromatous (bentuk yang labil)

- Li : Lepramatosa indefinite (bentuk yang labil)

- LL : lepromatosa polar (bentuk yang stabil)

Bentuk yang stabil artinya berarti bentuk yang 100% tidak dapat berubah, sedangkan tipe Ti

dan Li disebut tipe borderline atau campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah

campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya

sedangkan tipe BL dan Li lebih banyak lepromaosanya. Tipe labil berarti tipe ini bebes

beralih tipe baik ke arah TT atau LL. Tipe LL,BL dan BB merupaka tipe multibasilar yaitu

mengandung banyak kuman sedangkan tipe TT,BT, dan I merupakan tipe pausibasilar yaitu

tipe yang mengandung sedikit kuman.1

Kontak

Infeksi

Subklinis

Sembuh

Indeterminate

Determinate

I TT Ti BT BB BL Li LL

17 | P a g e

Page 18: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Patogenesis kusta

Perjalan umum penyakit lepra sangat lambat tetapi dapat diselingi oleh dua jenis

reaksi. Kedua bentuk reaksi dapat terjadi pada pasien yang tidak diobati tetapi lebih sering

timbul penyulit pemberian kemoterapi. 1,2

Eritema nodusum leprosum2

Eritema nodosum leprosum (ENL), atau reaksi tipe 1, terjadi pada pasien lepra

perbatasan (borderline) dan lepramatosa, paling sering pada paruh terakhir tahun awal

pengobatan. Timbul nodul subkutan yang nueri tekan dan meradang, biasanya dalam

kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satu atau dua minggu, tetapi bisa timbul kumpulan

nodul baru. Eritema nodosum leprosum bisa berlangsung hanya satu atau dua minggu, atau

bertahan untuk waktu yang lama. Demam, limfadenopati, dan artralgia dapat menyertai

eritema nodosum leprosum yang berat. Secara histologis, eritema nodosum leprosum ditandai

infiltrasi sel polimorfonuklear serta timbunan IgG dan komplemen, yang menyerupai reaksi

Arthus. 2

Reaksi yang merugikan1,2

Reaksi yang merugikan, atau reaksi tipe1, dapat menjadi penyulit ketiga goongan

perbatasan (borderline). Lesi kulit yang ada menjadi eritema dan bengkak, serta bisa timbul

lesi baru. Masuknya limfosit yang dini ke lesi yang ada diikuti oleh endema dan bergeser

menjadi histologi tuberkuloid. Imunitas seluler meningkat. Reaksi yang merugikan dapat

dibedakan dari pemburukan penyakit atau relaps dengan cara inokulasi pada mencit untuk

menguji viabilitas basil dan dengan uji histologik. Reaksi yang menurun, yang secara klinis

menyerupai reaksi merugikan, paling sering terjadi pada pasien tidak diobati dan pada

perempuan selama kehamilan trimester ketiga. Biopsi kulit mengungkapkan adanya

pergeseran menjadi histologi lepramatosa dan mencerminkan penurunan kekebalan seluler. 1,2

18 | P a g e

Page 19: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Berikut adalah tabel yang mejelaskan secara singkat manifestasi dari klasifikasi lepra: 1

SIFAT LEPROMATOSA

(LL)

BORDERLINE

LEPROMATOSA

(BL)

MID

BORDERLINE

(BB)

Lesi

- Bentuk

- Jumlah

- Distribusi

- Permukaan

- Batas

- Anestesia

BTA

- Lesi kulit

- Sekret hidung

Tes Lepromin

Makula

Infiltrat difus

Papul

Nodus

Tidak terhitung,

praktis tidak ada kulit

sehat

Simetris

Halus berkilat

Tidak jelas

Tidak ada sampai

tidak jelas

Banyak (ada globus)

Banyak (ada globus)

Negatif

Makula

Plakat

Papul

Sukar dihitung,

masih ada kulit sehat

Hampir simetris

Halus berkilat

Agak jelas

Tak jelas

Banyak

Biasanya negatif

Negatif

Plakat

Dome-shaped

(kubah)

Punched-out

Dapat dihitung, kulit

sehat jelas ada

Asimetris

Agak kasar, agak

berkilat

Agak jelas

Lebih jelas

Agak banyak

Negatif

Biasanya negatif

Tabel 1: Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta multibasilar (MB)1

19 | P a g e

Page 20: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

SIFAT TUBERKULOID

(TT)

BORDERLINE

TUBERCULOID

(BT)

INDETERMINATE

(I)

Lesi

- Bentuk

- Jumlah

- Distribusi

- Permukaan

- Batas

- Anestesia

BTA

- Lesi kulit

Tes Lepromin

Makula saja; makula

dibatasi infaltrat

Satu, dapat beberapa

Asimetris

Kering bersisik

Jelas

Jelas

Hampir selalu

negatif

Positif kuat (3+)

Makula dibatasi

infiltrat; infiltrat saja

Beberapa atau satu

dengan satelit

Masih asimetris

Kering bersisik

Jelas

Jelas

Negatif atau hanya

1+

Positif lemah

Hanya makula

Satu atau beberapa

Variasi

Halus, agak berkilat

Dapat jelas atau dapat

tidak jelas

Tak ada sampai tidak

jelas

Biasanya negatif

Dapat negatif lemah

atau negatif

Tabel 2: Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta Pausibasilar (PB)1

Untuk mempermudah diagnosis, WHO membuat bagan diagnosis berdasarkan klasifikasi Lepra.

  PB MBLesi kulit - 1 s/d 5 lesi

-Hipopigmentasi- Asimetris- Anastetik jelas

- > 5 lesi

- Simetris- Anastetik kurang jelas

Kerusakan saraf Hanya 1 cabang saraf yang terkena

Banyak cabang saraf yang terkena

Tabel 3: Gambaran klinis menurut WHO1

20 | P a g e

Page 21: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat

tubuh. Untuk saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah pembesaran, konsistensi,

ada/tidaknya nyeri spontan, dan ada/tidanya nyeri tekan. Hanya beberapa saraf superfisial

yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N.

ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Bagi tipe yang kearah

lepromatousa, kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe

tuberkuloid, kelainan saraf lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Deformitas atau cacat

kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas sekunder dan primer.

Cacat primer adalah akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap

M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulot, mukosa, tr.

Respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terajdi sebagai akibat adanya

deformitas primer, terutama kerusakan saraf, antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan ,

dan kaki.1

Gejala-gejala kerusakan saraf adalah sebagai berikut :

- N. ulnaris : anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawling

kelingking, dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot

lumbrikalis medial.

- N. medianus : anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari

tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu

jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

- N. radialis : anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan

gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.

- N. poplitea lateralis : anestesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis, kaki

gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.

- N. tibialias posterior : anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intirinstik kaki

dan kolaps arkus pedis.

- N. fasialis : cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus, cabang bukal,

mandibular, servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan

mengatupkan bibir.

- N. trigeminus : anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata, atrofi otot tenar

dan kedua otot lumbrikalis lateralis.

21 | P a g e

Page 22: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan

alopesia pada alis mata dan bulu mata. Sekunder karena rusaknya N. fasialis yang dapat

membuat paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan

lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian mata lainnya. Secara sendiri

atau bersama dapat sebabkan kebutaan.1

Penatalaksanaan

Penangan lepra meiputi pendekatan multidisiplin yang luas, antara lain pelayanan

konsultasi seperti bedah ortopedi, oftalmologi dan terapis fisis selain kemoterapi

antimikroba.2

Dapson (4,4’-diamonodifenilsulfon, DDS, difenilsulfin), dsuatu antagonis folat,

merupakan terapi utama. Dosis harianya adalah 50 hingga 100 mg pada orang dewasa.

Dapson sangat murah, aman pada kehamilan dan memiliki waktu-paruh serum yang panjang

sekitar 24 jam, sehingga pemberianya hanya sekali sehari. Efek samping utamanya, yang

relatif jarang, antara lain hemolisis, agranulositosis, hepatitis, dan dermatitis ekfoiatif yang

potensial mematikan. Pada penyakit lapromatosa, cukup banyak basil mati selama 10 hingga

12 minggu pertama monoterapi dapson, membuat inokulasi di telapak kaki mencit negatif.

Namun, pada bentuk penyakit ini basil nonviabel hilang dengan lambat dan dapat ditemukan

pada jaringan selama 5 hingga 10 tahun. Disamping itu, sebagian basil viabel (yang bertahan)

bisa hidup dalam jaringan selama beberapa tahun dan menyebabkan relaps bila terapi

dihentikan. 1,2,9

Monoterapi dapson selama bertahun-tahun menyebabkan munculnya strain M. leprae

yang resisten terhadap dapson. Resistensi sekunder timbul dalam 2 hingga 30 persen pasien

lepramatosa yang mendapat monoterapi dapson. Resistensi ini terjadi sebagai relaps

bakteriologik dan klinis setelah beberapa tahun terapi teratur yang tampaknya berhasil.

Resistensi dapson primer pada pasien yang sebelumnya tidak diobati menjadi penyulit terapi

empiris pada berbagai bagian dunia tetapi tetap jarang (kurang dari 3 persen) di Amerika

Serikat. Untuk mengatasi masalah ini, WHO pada taun 1982 menganjurkan penggunaan

terapi multi obat untuk semua pasien lepra.

Rifampin merupakan obat mikobaterisidal paling cepat yang diketahui untuk M. leprae.

Viabilitas basil kulit turun sampai kadar yang tidak dapat dideteksi dalam 5 hari setelah

pemberian dosis 1500 mg rifampin per oral. Dosis yang lazim adalah 600mg/hari. Harga

rifampin yang tinggi menjadi hambatan penggunaannya di negara berkembang dan

22 | P a g e

Page 23: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

menjadikan regimen pemberiannya dengan dosis 600 atau 900 mg sebulan. Banyak ahli epra

lebih menyukai mengobati dengan rifampin setiap hari atau dua kali seminggu bila harga

bukanla yang terpenting. Telah dilaporkan adanya M. leprae resisten-rifampin (jarang).

Rifampin belum diakui untuk pengobatan lepra intermiten oleh Foo and Drug Administretion

(FDA).

Klofazimin merupakan senyawa turunan zat warna fenazin. Klofazimin sangat liofilik

dan berkumpul dikulit, saluran makanan dan makrofag serta monosit. Klofazimin biasanya

diberikan dengan dosis 50 hingga 200 mg/hari dan memiliki waktu paruh lebih dari 70 hari.

Toksisitas utamanya terbatas pada kulit dan saluran makanan . pigmentasi kulit yang

kemeraha, yang sering disertai dengan ikitosis, sangat menggangu banyak pasien yang

berkulit terang dan menyebabkan penampilan kurang baik. Toksisitas intestinal juga

tergantung dosis dan bermanisfestasi sebagai diare dan nyeri perut kram. Klofazimin tidak

aman untuk digunakan selama kehamilan. 1,2,9

Amitiozon adalah obat turunan tuosemikarbazon lebih efektif pada lepra jenis

tuberkuloid dibandingkan dengan jenis lepromatosis. Resistensi pada obat ini sangat cepat

yaitu dalam 3 tahun pasien sudah mengalami resisten terhadap obat ini, karena itulah obat ini

dianjurkan untuk pasien yang tidak dapat menerima dapson. Efek sampingnya adalah

anoreksia, mual, dan muntah serta anemia karena terjadi depresi sumsum tulang terlihat pada

sebagian besar pasien. Ruam kulit dan albuminuria tidak jarang pula terlihat. Kejadian ikterus

cukup tinggi dan gejala obat ini menandakan obat bersifat hepatotoksik tetapi sifatnya

reversibel. Dosis awal ialah 50 mg setiap hari selama 1-2 minggu, kemudian dosis dinaikan

perlahan-lahan sampai mencapai 200 mg.9

Terdapat beberapa obat lama yang telah digunakan dalam situasi klinis waaupun

kemampuanya terbatas dalam mengobati M. leprae yaitu etionaamid, protionamid,

tiambutosin dan amitiozon. Seluruh obat tersebut terbukti toksik dan tidak stupun yang

disetujui penggunanya oleh Food an Drug Administration (FDA) perkembangan yang

menarik dan sangat penting beberapa tahun terakhir ini adalah identifikasi beberapa

antimikroba baru dengan aktivitas yang mengesankan terhadap M. leprae. Obat yang paling

menjajikan harapan adalah minosiklin, oflosiklin dan klaritromisin. Asam fusidat,

ampisilin/asam kavulanat, dan bodrimoprim juga memperlihatkan aktivitas terhadap M.

leprae in vitro atau pada mencit. Uji kliinis terhadap banyak obat-obatan baru ini sekarang

sedang dilakukan, tetapi semuanya sebaiknya dianggap dalam tahap investigasional, dan

tidak satupun yang digunakan untuk pengobatan lepra yang diakui atau diizinkan oleh FDA. 1,2,9

23 | P a g e

Page 24: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Terapi untuk penyakit multibasiler sebaiknya terdiri dari tiga obat, biasanya dapson,

rifampin dan klofazimin. Bila oraganisme diketahui peka terhadap dapson, kombinasi dapson

dan rifampin mungkin memadai untuk kasus borderline dan lepramatosa borderline. Namun

adanya kemungkinan terjadinya resistensi dapson sekunder membuat perlunya tambahan obat

ketiga pada pengobatan peyakit eproamtosa. Pengukuran respon terhadap terapi secara

objektif, antara lain biopsi dan goresan kulit, harus dipantau dan morfologis tidak ada lagi

dan infiltrat sel peradangan telah menyembuh. Lama terapi yang optimal tidak diketahui,

tetapi dianjurkan minimal 2 tahun. Terapi yang tidak terbatas mungkin diperlukanpada

beberapa kasus penyakit lepromatosa. 1,2,9

Regimen terapi terdiri dari dua obat, biasanya dapson dan rifampin, memadai untuk

lepra pausibasiler. WHO menganjurkan pemberian terapi 6 bulan dan melaporkan angka

kegagalan tahunan setelah terapi selesai hanya 0,1 persen. Praktik standar di Amerika Serikat

adalah untuk mengobati dengan dapson dan rifampin selama 6 hingga 12 bulan pertama

(tergantung dari respons klins), yang diikuti dengan dapson saja untuk menyelesaikan total 24

bulan terapi.

Bukti perbaikan klinis harus terlihat dalam bulan kedua atau ketiga pengobatan.

Respon klinis terhadap terapi bisa diklirukan dengan status reaksional yang sedang

berlangsung, tetapi penyakit berhenti berkembang dengan lesi kulit perlahan-lahan membaik.

Pemulihan dari cacat neurologik terbatas. 1,2,9

Terapi reaksional. Eritema nodosum leprosum ringan ditangani dengan antipiretik dan

analgesik. Kasus yang berat bisa cepat dikendalikan dengan prednison dosis tinggi (60 hingga

120 mg/hari). Terapi antimikroba harus diteruskan, karena terapi glukokortikoid oleh hati,

membuat pemberiannya dalam dosis yang lebih besar untuk mencapai efek terapeutik

tertentu. Talidomid merukanan obat yang paling efektif untuk eritema nodosum leprosum.

Dosis awa lazim adalah 200 mg dua kali sehari, yang bisa diturunkan perlahan-lahan sampai

dosis pemeliharaan 50 hingga 100 mg/hari pada pasien dengan ENL kronik. Talidomid amat

dikontraindikasikan pada perempuan yang dalam usia reproduksi karena efek teragenik,

tetapi dibuktikan relatif tidak ada efek samping yang berati pada pasien lepra lainya. Obat ini

belum dianjurkan oleh FDA, tetapi tersedia di Pusat Penyakit Hansen, Carvile, Louisiana,

sebagai pusat penelitian. Klofazimin memiliki sifat anti peradangan maupun aktivitas

antimikroba dan dapat digunakan untuk pengobatan eritema nodosum leprosum kronik tetapi

memerlukan sedikitnya 3 hingga 4 minggu untuk mencapai kadar yang efektif, yang

membuat sedikit kegunaannya pada serangan akut. Obat anti peradangan lainnya, antara lain

klorokuin, siklosporin dan obat sitotoksik, telah digunakan pada kasus sulit secara umum,

24 | P a g e

Page 25: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

keadaan yang tidak biasa ini harus ditangani dengan konsultasi pada individu ahli lepra. 1,2

Reaksi yang merugikan seringkai akut dan dapat menyebabkan kerusakan neurologi

yang cepat dan tidak reversibe, glukokortikoid diindikasikan untuk reaksi merugikan yang

berat. Klfazimin digunakan juga pada keadaan kronik, tetapi umumnya perlu melanjutkan

glukokortikoid juga. Reaksi yang merugikan tidak merespon terhapad talidomid.

Tindakan lainnya. banyak deformitas dan kecacatan akibat lepra dapat dicegah. Tukak

plantar, yang sangat sering terjadi, bisa dicegah dengan alas kaki yang bersol keras atau

pembalut gips untuk berjalan, dan kontraktur tangan dapat dicegah dengan terapi fisis dan

pemasangan gips. Bedah rekonstruksi kadang-kadang berguna. Transplantasi saraf dan tenson

serta pelepasan kontraktur bisa lebih mengembalikan kemampuan fungsional pasien. peatihan

kejuruan seringkali perlu untuk pasien dengan kecacatan permanen. Bedah plastik untuk

deformitas wajah membantu penerimaan pasien dalam masyarakat. Trauma psikologis yang

disebabkan pemisahan yang lama sekarang diminimalkan dengan terapi rumah yang

sebenarnya meliputi semua kasus. 1,2

Pencegahan

Bentuk penemuan kasus (case finding) dan kemoterapi merupakan dasar pengendalian

yang ada sekarang. Derajat infeksi dapat dengan cepat ditekan dengan kemoterapi, yang

membuat deteksi dini pada kasus merupakanhal yang penting. Di daerah endemik, hal ini

berarti membentuk klinik setempat atau tim safari. Keluarga dan individu yang berhubungan

erat perlu diperiksa secara teratur terhadap lepra. Keuntungan pengobatan multiobat jangka

pendek (6 hingga 24 bulan) adalah pasien dapat dinyatakan bebas penyakit lebih awal

daripada dengan monoterapi dapson. Hal ini memungkinkan pekerja kasus lepra

mencurahkan lebih banyak usaha secara sebanding antara skrining kontak dan detaksi kasus.

Di Amerika Serikat, para penderita dapat dipilih oleh Pelayanan Kesehatan Masyarakat untuk

mendapatkan pengobatan dan klinik khusus ditempatkan di beberapa kota besar. Risiko

penularan sangat rendah, bahkan pada pasien yang tidak diobati, dan tidak diperlukan

tindakan pencegahan pengendalian infeksi yang tidak lazim bia pasien masuk rumah sakit.

Kemoprofilaksis dengan dapson dosis rendah bisa efektif, tetapi skrining kontak dengan

pemeriksaan fisis setiap tahun merupakan tindakan terpilih untuk terapi empiris pada

sebagian besar keadaan. Uji vaksin dengan basil Calmette-Guerin pada daerah endemik

memberikan hasil yang bertentangan, dan terutama, efisiensi sedang. Sedikitnya empat

vaksin percobaan baru belakangan ini sedang dalam lapangan uji di India dan Amerika

25 | P a g e

Page 26: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Selatan. 1,2

Prognosis

Dengan adanya obat-obatan kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih

singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada ulkus dan kontraktur kronik,

prognosis kurang baik.2,3

Komplikasi

Didunia, lepra mungkin merupakan penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan

infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari-jemari ataupun ekstremitas bagian

distal, juga sering terjadi kebutaan.

Fenomena Lucio, yang ditandai oleh atritis, terbatas pada pasien penyakit lepramatosa

difus, infiltratif, dan non-noduler. Kasus klinis yang berat menyerupai bentuk lain vaskulitis

nekrotikans dan menyebabkan tingginya angka mortalitas.

Amiloidosis sekunder merupakan penyakit pada penyakit lepramatosa berat, terutama pada

eritema nodosum leprosum kronik.

Lepra dan infeksi virus imunodefisiensi manusia (human immunodeficiency virus)

amatilah mengejutkan, dengan adanya pengalaman dengan penyakit mikrobakterium lain dan

respon imun yang rumit terhadap M. leprae, infeksi HIV yang menyertai tampaknya hanya

memiliki sedikit pengaruh pada manifestasi klinis atau perjalan alamiah penyakit lepra.

Laporan yang bersifat anekdot mengesankan bahwa angka kekambuhan setelah selesainya

terapi yang terifeksi HIV, dan pasien positif HIV dengan lepra dini atau subklinis bisa

kemungkinan lebih besar untuk mengalami penyakit yang nyata. Bila terjadi bersamaan, lepra

juga bisa mempercepat perjalanan penyakit HIV. 1,2

Penutup

26 | P a g e

Page 27: [MORBUS HANSEN]_makalah Pleno Blok 15_ f9

Bapak usia 40 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putih pada

lengna kiri sejak 1 bulan. Tidak ada rasa gatal. Pada pemeriksaan dermatologis : makula

hipopigmentasi (+) dan anestesi (+), didiagnosa menderita Morbus Hansen (lepra/kusta).

Morbus hansen (Lepra atau kusta) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang

menyebabkan munculnya efloresensi pada kulit disertai dengan gangguan pada saraf-saraf

tepi. Pengobatan yang adekuat serta deteksi dini dapat mencegah prognosis yang buruk yang

timbul dari komplikasi penyakit kusta itu sendiri.

Daftar Pustaka

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:

FKUI; 2011.h.73-88.1

2. Ahmad H, Asdie. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed ke-13. Jakarta:

EGC; 2002.h.133.799-808, 963-74,1060-3.2

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam . Edisi V.

Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.25-76. 2871-80.3

4. Houghton RA, Gray D, editor. Chamberlain’s gejala dan tanda dalam kedokteran

klinis. Ed ke-13. Jakarta:PT Indeks; 2010.h.3-45, 362-86.4

5. Siregar RS. Kusta (lepra). Dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2004.h.154-58.5

6. Wolf K, Johnson RA. Leprosi. In Fritz Patrick’s Color Atlas and Sypnosis of Clinical

Dermatology. 6th ed. USA : The McGraw-Hill Companies ; 2009.p.665-71.6

7. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Mikosis superfisial. Dalam Buku Ajar

Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia ; 2011.h.311-26.7

8. Pityriasis versicolor. Diunduh dari www.webmd.com, 20 April 2013.8

9. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Edisi V. Jakarta:

FKUI; 2011.h.633-5.

27 | P a g e