146613888 Gagal Jantung Pada Neonatus
description
Transcript of 146613888 Gagal Jantung Pada Neonatus
GAGAL JANTUNG PADA NEONATUS
DEFINISI
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa sejak
lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan.1 Pada akhir kehamilan 7
minggu, pembentukan jantung sudah sempurna; jadi kelainan pembentukan jantung
terjadi pada awal kehamilan.1 Penyebab PJB seringkali tidak bisa diterangkan,
meskipun beberapa faktor dianggap berpotensi sebagai penyebab.2
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan bawaan yang sering
ditemukan, yaitu 10% dari seluruh kelainan bawaan dan sebagai penyebab utama
kematian pada masa neonatus.2 Perkembangan di bidang diagnostik, tatalaksana
medikamentosa dan tehnik intervensi non bedah maupun bedah jantung dalam 40 tahun
terakhir memberikan harapan hidup sangat besar pada neonatus dengan PJB yang
kritis.1,2
EPIDEMIOLOGI
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan penyebab kematian tersering dari
seluruh kelainan bawaan. Angka kejadian PJB terjadi sekitar 8 dari 1000 kelahiran
hidup. Angka kematian PJB, 50% terjadi dalam 6 bulan pertama kehidupan, 80% pada
usia 1 tahun kehidupan.2,3
Umumnya, neonatus dengan penyakit jantung bawaan yang
kompleks pada beberapa jam atau hari setelah lahir sering tanpa disertai gejala klinis
yang jelas.3
Sekitar 6 – 8 bayi per 1000 kelahiran menderita penyakit jantung bawaan (PJB).
Sepertiga dari bayi-bayi tersebut akan menunjukkan gejala pada minggu-minggu awal
kehidupannya dan sepertiga akan menunjukkan gejala pada masa neonatal.4
ETIOLOGI
Dalam hubungan yang luas ada dua faktor penyebab gagal jantung:2,3,5
1. Faktor mekanik (kelainan struktur jantung); kondisi miokardium normal, akan
tetapi gangguan dari beban kerja yang berlebihan, biasanya kelebihan beban
volume (preload) atau tekanan (afterload) akibat PJB atau didapat.
2. Faktor miokardium yaitu kelainan otot jantung sendiri atau insufisiensi
miokardium, misalnya:
a. Radang atau intoksikasi otot jantung pada penderita demam reumatik atau
difteri.
b. Otot jantung kurang makanan, seperti pada anemia berat.
c. Perubahan patologis dalam struktur jantung, misal kardiomiopati.
3. Faktor-faktor lingkungan. Contohnya, jika seorang ibu mendapat German measles
(rubella) selama kehamilan, maka infeksinya dapat mempengaruhi perkembangan
jantung dari bayi kandungannya (dan juga organ-organ lainnya). Jika ibunya
mengkonsumsi alkohol selama kehamilan, maka fetusnya dapat menderita fetal
alcohol syndrome (FAS) termasuk PJB. Paparan terhadap obat-obatan tertentu
selama kehamilan dapat juga menyebabkan PJB. Satu contoh adalah retinoic acid
(nama merek Accutane) yang digunakan untuk jerawat (acne). Contoh-contoh lain
adalah obat-obat anticonvulsant, terutama hydantoins (seperti Dilantin) dan
valproate5
4. Penyakit-penyakit tertentu pada ibu dapat meningkatkan risiko mengembangkan
PJB pada fetus. Bayi-bayi dari wanita dengan diabetes mellitus, terutama pada
wanita-wanita yang gula darahnya kurang optimal terkontrol selama kehamilan,
berisiko tinggi mendapat PJB. Dan wanita yang mempunyai penyakit keturunan
phenylketonuria (PKU) dan tidak berada pada special dietnya selama kehamilan,
bertendensi juga mempunyai bayi dengan PJB.2,5
Periode Neonatus
Disfungsi miokardium relatif jarang terjadi pada masa neonatus, dan bila ada biasanya
berhubungan dengan asfiksia lahir, kelainan elektrolit, atau gangguan metaholik
lainnya. Lesi jantung kiri, seperti sindrom hipoplasia jantung kiri, koarktasio aorta, atau
stenosis aorta berat adalah penyebab penting gagal jantung pada 1 atau 2 minggu
pertama.4,5
Lesi dengan pirau dan kiri ke kanan (duktus artenosus persisten, defek
septum ventrikel) biasanya belum memberi gejala gagal jantung dalam 2 minggu
pertama pascalahir, karena resistensi vaskular paru yang masih tingi. Namun pada bayi
prematur, duktus arteriosus persisten yang besar dapat menyebabkan gagal jantung pada
hari-hari pertama pascalahir.6 Pada minggu ketiga atau keempat resisten vaskular pada
mulai menurun sehingga pirau kiri ke kanan makin bertambah, akibatnya sebagian
pasien sudah mengalami gagal jantung. Pirau kiri ke kanan akan mencapai tingkat
maksimal dalam bulan ke-2 ke-3 pascalahir. Disritmia berat dan kelainan hematologik
pada neonatus mungkin dapat menyebabkan gagal jantung pada bulan pertama.5,6
KLASIFIKASI GAGAL JANTUNG
Ada empat parameter yang dapat digunakan untuk klasfikasi gagal jantung yaitu:1
1. Fungsi miokardium
2. Kapasitas fungsional; kemampuan untuk mempertahankan aktivitas harian dan
kapasitas latihan maksimal
3. Outcome fungsional (mortalitas, kebutuhan untuk transplantasi)
4. Derajat aktivasi mekanisme kompensasi (contohnya respon neurohormonal)
Tabel 1. Klasifikasi Ross untuk gagal jantung pada bayi sesuai NYHA4
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik; aktivitas biasa tidak
menimbulkan kelelahan, dispnea, atau palpitasi.
Kelas II Ada pembatasan ringan dari aktivitas fisik : aktivitas biasa
menimbulkan kelelahan, dispnea, palpitasi, atau angina
Kelas III Pembatasan pada aktivitas fisik : walaupun pasien nyaman saat
istirahat, sedikit melakukan aktivitas biasa saja dapat
menimbulkan gejala.
Kelas IV Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas. Gejala gagal
jantung timbul saat istirahat
Klasifikasi untuk anak tidak mudah dibuat karena luasnya kelompok umur
dengan variasi angka normal untuk laju nafas dan laju jantung, rentang kemampuan
kapasitas latihan yang lebar (mulai dari kemampuan minum ASI sampai kemampuan
mengendarai sepeda), dan variasi etiologi yang berbeda pula. Ross dkk tahun 1922
mempublikasikan sistem skor untuk mengklasifikasikan gagal jantung secara klinis
pada bayi (Tabel 2). Skor Ross ini disejajarkan dengan klasifikasi New York Heart
Association (NYHA) (Tabel 1) dapat memberikan gambaran yang lebih rinci oleh
karena peningkatan derajat beratnya gagal jantung sesuai dengan peningkatan kadar
norepinefrin plasma dan kadar ini akan menurun setelah dilakukan koreksi ataupun
setelah pemberian obat anti gagal jantung.4
Tabel 2. Sistem skor Ross untuk gagal jantung pada bayi4
0 poin 1 poin 2 poin
Volume sekali minum (cc) >115 75-115 <25
Waktu persekali minum (menit) <40 menit <40 menit
Laju nafas <50/menit 50-60/menit >60/menit
Pola nafas Normal Abnormal
Perfusi perifer Normal Menurun
S3 atau diastolik rumble Tidak ada Ada
Jarak tepi hepar dari batas kostae <2 cm 2-3 cm >3 cm
TOTAL:
Tanpa gagal jantung : 0-2 poin
Gagal jantung ringan : 3-6 poin
Gagal jantung sedang : 7-9 poin
Gagal jantung berat : 10-12 poin
PEMBAGIAN PJB
Penyakit Jantung Bawaan Sianotik (Cardiac Cyanosis)
Sianosis adalah manifestasi klinis tersering dari PJB simptomatik pada neonatus.
Sianosis tanpa disertai gejala distres nafas yang jelas hampir selalu akibat PJB, sebab
pada kelainan parenkhim paru yang sudah sangat berat saja yang baru bisa memberikan
gejala sianosis dengan demikian selalu disertai gejala distres nafas yang berat. 6
Pada neonatus normal, pelepasan oksigen ke jaringan harus sesuai dengan
kebutuhan metabolismenya. Jumlah oksigen yang dilepaskan ke jaringan bergantung
kepada aliran darah sistemik, kadar hemoglobin dan saturasi oksigen arteri sistemik.
Pada saat lahir, kebutuhan oksigen meningkat sampai 3 kali lipat untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme agar menghasilkan energi untuk bernafas dan termoregulasi.
Untuk ini diperlukan peningkatan aliran darah sistemik 2 kali lipat dan saturasi oksigen
25% sehingga pelepasan dan pengikatan oksigen di jaringan juga meningkat sesuai
kebutuhan. sianosis perifer (acrocyanosis) sering dijumpai pada neonatus, hal ini akibat
tonus vasomotor perifer yang belum stabil. Tampak warna kebiruan pada ujung jari
tangan dan kaki serta daerah sekitar mulut, disertai suhu yang dibawah normal dan
hiperoksia tes menunjukkan hasil yang negatip. 5,6
Pada neonatus dengan PJB sianosis, tidak mampu meningkatkan saturasi
oksigen arteri sistemik, justru sangat menurun drastis saat lahir, sehingga pelepasan dan
pengikatan oksigen di jaringan menurun. Kondisi ini bila tidak segera diatasi
mengakibatkan metabolisme anaerobik dengan akibat selanjutnya berupa asidosis
metabolik, hipoglikemi, hipotermia dan kematian. 5
Sianosis sentral akibat penyakit jantung bawaan (Cardiac cyanosis) yang
disertai penurunan aliran darah ke paru oleh karena ada hambatan pada jantung kanan,
yaitu katup trikuspid atau arteri pulmonalis. Kondisi ini mengakibatkan kegagalan
proses oksigenasi darah di paru sehingga darah dengan kadar oksigen yang rendah
(unoxygenated) akan beredar ke sirkulasi arteri sistemik melalui foramen ovale atau
VSD (pada tetralogy Fallot). Seluruh jaringan tubuh akan mengalami hipoksia dan
menimbulkan gejala klinis berupa sianosis sentral tanpa gejala gangguan pernafasan.
Kesulitan akan timbul, bila sianosis disertai tanda-tanda distres pernafasan. Terdapatnya
anemia berat mengakibatkan jumlah Hb yang tereduksi tidak cukup menimbulkan
gejala sianosis. Adanya pigmen yang gelap sering mengganggu sianosis sentral yang
berderajat ringan akibat PJB. Sianosis perifer bila disertai bising inoccent dapat
menyesatkan dugaan adanya PJB sianotik. 7
Beberapa kondisi klinis yang memberikan dugaan cardiac cynosis pada
neonatus dan sudah merupakan alasan yang cukup untuk merujuk ke rumah sakit yang
lebih lengkap, didasari beberapa alasan tambahan sebagai berikut : 6
1. Hipoksemia sistemik menimbulkan gejala sianosis sentral
2. Sianosis sentral akibat PJB tidak timbul segera setelah lahir
3. Sianosis sentral tidak tampak selama saturasi oksigen arteri masih diatas 85
4. Sianosis sentral dengan frekuensi pernafasan yang cepat (hiperventilasi) tanpa
disertai pernafasan cuping hidung dan retraksi ruang iga serta kadar CO2 yang
rendah.
5. Sianosis sentral dengan tes hiperoksia positip.
6. Harus dicari apakah aliran darah sistemik berasal dari ventrikel kanan atau kiri,
adanya duktus yang masih terbuka mengakibatkan aliran darah aorta asenden dan
disenden berasal dari ventrikel yang tidak sama. Pada kondisi ini diperlukan
pemasangan pulse oxymetri pada tangan kanan dan kaki. 2
Penyakit Jantung Bawaan Non Sianosis
Pada neonatus neonatus normal, saat lahir masih disertai tahanan arteri
pulmonalis yang tinggi. Setelah 4-12 minggu terjadi penurunan tahanan arteri
pulmonalis sampai menuju nilai normal. Pada neonatus dengan PJB non sianotik,
selama tahanan arteri pulmonalis masih tinggi, defek jantung yang ada belum
menimbulkan perubahan aliran darah dari sistemik ke paru. Setelah 4-12 minggu
postnatal, pada saat terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis sampai menuju nilai
normal, defek jantun yang dan akan menimbulkan perubahan aliran darah yaitu yang
seharusnya ke sistemik berubah menuju ke paru. Pada saat inilah baru terjadi pirau kiri
ke kanan disertai gejala klinis berupa mulai terdengarnya bising sampai gagal jantung
dengan gejala utama takipnea. 8
Harus dibedakan takipnea akibat PJB dan akibat kelainan parenkhim paru,
Takipnea akibat PJB non sianosis pada neonatus baru timbul bila peningkatan aliran
darah ke paru sampai lebih dari 2,5 kali aliran normal. Takipnea akibat penyakit paru
pada neonatus sudah timbul walaupun peningkatan aliran darah ke paru masih ringan-
ringan saja. Adanya penyakit pada paru akan memperjelas gejala takipnea pada PJB
usia neonatus. 8
Peningkatan aliran darah ke paru mengakibatkan peningkatan tekanan prekapiler
di paru dan aliran limfatik sehingga terjadi peningkatan cairan intersisial di parenkhim
paru dan terutama di peribronkhial. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi bronkhioli
dan terjadi penurunan aliran udara serta peningkatan tekanan udara, kondisi ini
meningkatkan work of breathing dan terdengarnya wheezing expiratoir. 7,8
PJB asianotik dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologi beban pengisian
(load) jantung predominan. Sebagian besar kelainan akan meningkatkan beban volum
(volume load), yaitu dari kelompok PJB asianotik dengan pirai kiri ke kanan (LTRS)
(misalnya VSD, ASD, AVSD, dan PDA). Kelompok kedua adalah penyakit jantung
bawaan dengan peningkatan beban tekanan (pressure load), yang sebagian besar
merupakan bentuk kelainan obstruktif sekunder dari sirkulasi ventrikular (misalnya
stenosis pulmonal dan stenosis aorta) atau penyempitan salah satu arteri besar (misalnya
koarktasio aorta). 8
Penyakit Jantung Bawaan Yang Disertai Penurunan Aliran Darah Ke Sistemik
Penurunan aliran darah ke sistemik akibat PJB pada neonatus berupa:
hambatan aliran darah dari paru atau atrium kiri ke ventrikel kiri
ventrikel kiri tidak adekuat memompa darah ke aorta. Kedua kondisi ini
mengakibatkan peningkatan tekanan vena paru dan edema paru serta penurunan
perfusi organ-organ vital. 9
Gejala klinis tampak segera setelah lahir dan berat, berupa penurunan suhu kulit
dan perubahan warna kulit yang pucat, penurunan tekanan darah sampai tidak terukur,
sulit atau tidak terabanya denyut nadi perifer, hiperaktif RV, dan penurunan capillary
refill, metabolik asidosis berat serta distres nafas sedang sampai berat.6,9
Denyut nadi dan tekanan darah harus diukur pada ektremitas atas dan bawah,
normal tekanan darah ekstremitas bawa lebih tinggi. Bila ada perbedaan denyut nadi
tanpa disertai perbedaan tekanan darah, harus diraba pulsasi arteri karotis. Perbedaan
pulsasi arteri karotis dengan pulsasi ekstremitas bawah dan ekstremitas bawah
menunjukkan kemungkinan koartasio aorta, interrupted aorta atau arteri subklavia
berasal dari aorta d Ada keadaan pada neonatus yang baru lahir dengan penrunan
perfusi perifer disertai gejala distres nafas derajat sedang sampai berat yang disertai
retraksi ruang iga, subkosta, nafas cuping hidung dan grunting, yaitu persistent
pulmonary hypertension dan total anomalous pulmonary venous return. Kedua kondisi
ini sulit dibedakan, pada persistent pulmonary hypertension sering disertai riwayat
prenatal berupa ketuban pecah dini, sindroma aspirasi mekonium atau asfiksia berat.5,6
MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung adalah karena curah jantung
rendah, adaptasi sistemik terhadap keadaan curah jantung rendah dan/atau kongesti
vena sistemik atau vena pulmonalis. 9 Manifestasi klinis ini tergantung pada tingkat
cadangan jantung pada berbagai keadaan. Bayi yang sakit berat atau anak yang
mekanisme kompensasinya telah sangat lelah pada saat dimana ia tidak mungkin lagi
memperoleh curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal
tubuh, akan bergejala pada saat istirahat.6,9
Walaupun fisiologi yang mendasari serupa,
manifestasi klinik gagal jantung pada masa bayi dan masa anak-anak berbeda.9,11
Manifestasi Klinis Gagal Jantung pada Masa Bayi
Pada bayi, gagal jantung mungkin lebih sukar ditentukan.4 Manifestasi
klinis yang menonjol adalah takipnea, kesukaran makan, pertambahan berat yang tidak
optimal, keringat berlebihan, iritabilitas, menangis lemah, dan pernapasan berisik, berat
dengan retraksi interkostal dan subkostal serta cuping hidung mengembang.
Tanda-tanda kongesti kardiopulmonal mungkin tidak dapat dibedakan dengan
tanda-tanda bronkiolitis, termasuk mengi sebagai tanda yang paling mencolok.
Pneumonitis dengan atau tanpa atelektase sering ada, terutama lobus medius dan bawah
kanan, karena kompresi bronkus oleh jantung yang membesar.5 Hepatomegali hampir
selalu terjadi, dan selalu ada kardiomegali. Walaupun takikaria mencolok, irama
gallop seringkali dapat dikenali. Tanda-tanda auskultasi lain adalah tanda-tanda yang
dihasilkan oleh lesi jantung yang mendasari. Penilaian klinis tekanan vena
jugularis pada bayi mungkn sukar karena leher pendek dan sukar diamati pada
keadaan relaks. Edema dapat menyeluruh, biasanya melibatkan kelopak mata serta
sacrum, dan jarang, kaki maupun telapak kaki. Diagnosis bandingnya tergantung
umur.5,6
Kesukaran makan adalah gejala yang paling mencolok pada bayi dengan gagal
jantung. Sementara bayi normal makan dengan penuh semangat, sering menyelesaikan
makan dalam 15 atau 20 menit, bayi dengan gagal jantung makan lebih sukar.9
Perawatan diperpanjang dan dihubungkan dengan takipnea yang nyata dan keringat
bertambah. Beberapa bayi berjuang selama 5-10 menit dan tertidur, hanya bangun satu
jam atau lebih lama dengan tidak puas-puasnya lapar lagi. Yang lain agaknya lelah dan
tertidur sesudah makan hanya 1 atau 2 oz. Agaknya kesukaran makan akibat dari
gabungan antara upaya mengisap dan mempertahankan frekuensi pernapasan cepat,
juga akibat dari cadangan jantung yang terbatas. Masukan kalori total pada keadaan ini
dapat turun sampai dibawah 75 kkal/ kg/ hari, ini tidak cukup untuk mempertahankan
pertumbuhan.9
Orangtua sering melihat keringat berlebihan (terutama ketika makan) yang
tidak sebanding dengan suhu sekeliling atau pakaian. Ini disebabkan oleh
bertambahnya aktivitas sistem saraf autonom dalam upaya memperbaiki kinerja
(performance) miokardium.9,10,11
Pada pemeriksaan fisik anak hampir selalu takikardi dengan frekuensi
jantung anak istirahat lebih dari 160 denyut permenit pada neonatus dan lebih dari 120
pada bayi yang lebih tua. Takikardi juga merupakan akibat bertambahnya katekolamin
yang bersirkulasi yang memperbesar curah jantung dengan menambah
kontraktilitas miokardium dan frekuensi jantung.9,11
Takipnea (frekuensi pernapasan istirahat lebih dari 60 pada neonatus atau lebih
dari 40 pada bayi lebih tua) biasanya ada dan dikaitkan dengan bertambah kakunya
paru-paru akibat bertambahnya cairan interstitial dari tekanan venosa paru-paru yang
naik (udem pulmonal) atau aliran pirau besar dari kiri ke kanan. Ketika gagal jantung
menjadi lebih berat, fungsi ventilasi dapat menjadi lebih terganggu dan dapat
ditemukan kembang kempis cuping hidung (alae nasi), retraksi interkostal, dan
dengkur. distensi vena leher tidak sering ditemukan pada neonatus, tetapi mungkin
ditemukan pada bayi yang lebih besar. Tekanan vena sistemik naik akibat pembesaran
hati, tetapi udem perifer tidak sering pada bayi dan hanya bersama dengan gagal
jantung yang amat berat. Ekstrimitas dingin, nadi teraba lemah, dan tekanan darah
arterial rendah dengan tekanan nadi sempit dapat ditemukan sebagai manifestasi dari
curah jantung rendah. Ekstrimitas berbintik-bintik dan pengisian kembali kapiler
lambat merupakan tanda-tanda gangguan vaskular yang lebih berat.9,11
Kadang-kadang, pemeriksaan dada menunjukkan mengi (wheezing) ringan
yang dapat dirancukan dengan bronkiolitis atau pneumonia dan dapat diperburuk dari
penekanan jalan nafas oleh pembuluh darah paru yang mengembang. Ronki tidak sering
kecuali bersama pneumonia, suatu hubungan yang tidak jarang.7
Penemuan pada pemeriksaan jantung bervariasi tergantung pada etiologi gagal
jantungnya. Bayi dengan penyakit primer otot jantung biasanya dengan
perikardium tenang: seseorang dengan gagal jantung dari beban volume
berlebihan biasanya perikardium sangat aktif; seseorang dengan beban tekanan
berlebihan dapat mempunyai thrill sistolik. Seringkali ada irama galop tetapi
sukar dinilai pada frekuensi jantung yang cepat.7,9
Sinar-x dada hampir selalu menunjukkan kardiomegali; bila tidak ada
harus merupakan tantangan diagnosis yang cukup serius. Pengecualian utama
termasuk lesi obstruksi atrium kiri seperti kor triatriatum dan anomali total muara vena
pulmonalis dengan obstruksi. Aliran darah pulmonal yang berlebihan ada pada mereka
dengan gagal jantung akibat shunt besar dari kiri ke kanan, dan kekaburan difus karena
kongesti vena paru ditemukan pada kebanyakan lainnya. Distribusi kembali aliran darah
paru-paru ke lobus bagian atas tidak sering terjadi pada diafragma yang hiperekspansi
dan datar, dan pembesaran atrium kiri dapat menyebabkan kolaps lobus bawah kiri.5,9
Elektrokardiogram jarang berguna dalam diagnosis, tetapi hampir selalu
abnormal, dengan kelainan spesifik tergantung pada lesi penyebab gagal jantung.
Ekokardiogram jarang berguna dalam penilaian fungsi ventrikel kiri. Fraksi
pemendekan ventrikel kiri, interval waktu sistolik sisi kiri, dan angka pemendekan
serabut melingkar sebagai fungsi stres dinding akhir sistolik telah digunakan
untuk mengevaluasi fungsi otot. Ekhokardiogram dapat juga mengesampingkan efusi
perikardial. Dengan lesi beban volume berlebih kinerja miokardium mungkin
normal; tanda-tanda dan gejala gagal jantung pada kasus ini disebabkan oleh beban
volume jantung yang sangat besar bersama dengan fungsi miokardium normal atau
bahkan meningkat.3
DIAGNOSIS
Anamnesis.
Famili dengan penyakit herediter, saudaranya dengan PJB
Kehamilan dan perinatal : infeksi virus, obat yang dikonsumsi si ibu terutama
saat kehamilan trimester I.
Postnatal : kesulitan minum, sianosis sentral. 2
Pemeriksan Fisik.
Auskultasi : harus dilakukan pertama kali sebelum bayi menangis. Frekuensi
meningkat dan irama denyut jantung tidak teratur, suara jantung II mengeras atau
tidak terdengar, terdengar bising jantung (kualitas, intensitas, timing, lokasi), gallop.
Tidak semua bising jantung pada neonatus adalah PJB dan tidak semua neonatus
dengan PJB terdengar bising jantung.
Sianosis sentral, penurunan perfusi perifer, hiperaktivitas prekordial, thrill, pulse
dan tekanan darah ke 4 ekstremitas berbeda bermakna, takipnea, takikardia, edema.
Tidak semua gejala tersebut timbul pada masa neonatus dan tidak semua neonatus
dengan gejala tersebut memerlukan tindakan spesifik yang harus segera
dilaksanakan tapi memerlukan pemeriksaan tambahan. 2
Pemeriksaan tambahan
Foto thoraks: adanya kelainan letak, ukuran dan bentuk jantung, vaskularisasi paru,
edema paru, parenkim paru, letak gaster dan hepar.
Elektrokardiografi : adanya kelainan frekuensi, irama, aksis gelombang P dan QRS,
voltase di sandapan prekordial. 2
Pada monitoring, ditemukan kelainan berupa
Perbedaan saturasi O2 arteri dengan pulse oksimetri pada preduktal (tangan kanan)
dan postduktal (kaki).
pH arteri, dan analis gas darah terhadap hipoksemia dan asidosis metabolik (pada
neonatus dengan gagal jantung ada peningkatan CO2). 2
Berdasarkan riwayat prenatal, natal dan postnatal yang cermat serta pemeriksaan
fisis yang sistematis dan teliti serta pemeriksaan tambahan dan monitoring, maka gejala
sianosis sentral, penurunan perfusi perifer dan takipnea akibat PJB kritis pada neonatus
bisa ditegakkan. Dengan demikian dapat segera diberikan terapi awal untuk mencegah
kematian dini dan sekaligus dapat direncanakan tatalaksana lanjutan yang tepat,
rasional dan adekuat. Bilamana fasilitas kesehatan yang memadai tidak tersedia dan
neonatus sudah dalam kondisi yang relatif stabil maka dapat dipersiapkan pelaksanaan
rujukan ke pusat pelayanan jantung yang terjangkau. 2
Peningkatan impuls parasternal dan subxyphoid sering dijumpai pada PJB
sianosis, terabanya impuls ventrikel kiri menunjukkan adanya dilatasi ventrikel kiri
akibat peningkatan beban volume. Bising jantung sering ditemukan pada neonatus
normal dan sering tidak ditemukan pada neontus dengan PJB. Bising jantung yang
bersifat sistolik ejeksi yang menjalar ke leher akibat lesi obstruksi jantung kiri atau bila
terdengar penjalarannya ke punggung maka curiga adanya lesi obstruksi jantung kanan.
Pembesaran dan lokasi hepar sangat membantu adanya peningkatan volume darah dan
tekanan atrium kanan, aliran darah ke paru dan adanya situs inversus. 2
Gejala sianosis sentral pada penyakit jantung bawaan biru (Cardiac cyanosis)
sering belum terdeteksi pada saat neonatus keluar rumah sakit. Terdapat beberapa
keadaan yang juga memberikan gejala hampir sama yaitu : penyakit parenkhim paru,
sirkulasi fetal persisten, kelainan sisitem saraf sentral dan kelainan hematologi.
Penyakit parenkhim paru selalu disertai distres nafas yang segera memerlukan
ventilator dan ditemukan kelainan pada pemeriksaan foto polos dada. 2
Sirkulasi fetal yang persisten akibat faktor intrauterin sehingga dinding arteria
pulmonalis tetap menebal dan tekanannya tetap tinggi yang sering ditandai distres nafas
yang ringan atau sedang, riwayat asfiksia, sindroma aspirasi mekonium dan
prematuritas serta riwayat ibu mengkonsumsi steroid pada bulan terakhir kehamilan. 2
Tetap terbukanya duktus pada beberapa jam atau hari setelah lahir akan
mempertahankan pasokan darah ke sistem sirkulasi paru tetap normal (ductus
dependent pulmonary circulation). Kondisi ini meniadakan gejala sianosis sentral
(masking effect) sehingga tidak ada persangkaan adanya PJB biru pada neonatus yang
sedang kita hadapi. Peningkatan kebutuhan oksigen oleh tangisan atau aktivitas minum
serta peningkatan saturasi oksigen kearah nilai normal mengakibatkan rangsangan
penutupan duktus. Pada saat ini baru timbul gejala sianosis sentral walaupun kadang
masih bersifat transient, yaitu terutama pada saat menangis atau aktivitas minum.
Penutupan duktus masih terjadi secara anatomis tetapi secara fungsionil masih terbuka.
Pada kondisi seperti ini pemeriksaan saturasi oksigen secara serial dengan cara pulse
oxymetri memang diperlukan. Hyperoxic-test, pemberian oksigen 100 % dengan
kecepatan 1 liter/menit selama 10 menit, bila saturasi O2 >98% bukan PJB sianosis,
bila saturasi O2 >90% kemungkinan suatu PJB sianosis, tapi bila saturasi O2 tetap
dibawah 90% hampir dipastikan suatu PJB sianosis. 2
Kondisi hipoksemia ini merangsang kemoreseptor sehingga menimbulkan gejala
takipnea ringan dengan ventilasi yang tetap normal. Dengan demikian tidak disertai
gejala pernafasan cuping hidung, retraksi ruang iga maupun suara pernafasan grunting.
Hipoksemia akan berjalan progresif dalam beberapa hari dengan terjadinya penutupan
duktus yang sudah persisten yaitu secara anatomis maupun fungsional. Gejala sianosis
sentral semakin nyata dan tampak menetap, yaitu walaupun pada saat tidur maupun
beraktivitas. 2
Gejala penurunan perfusi perifer akibat terganggunya aliran darah ke perifer
karena tidak terbentuknya struktur jantung kiri, obstruksi di tingkat aorta atau disfungsi
miokard akibat sepsis, hipoglikemia, hipokalsemia, asidosis metabolik, anemia dan
polisitemia. Dalam beberapa jam pertama setelah lahir, oleh pengaruh duktus yang
masih terbuka akan meniadakan gejala (masking effect) penurunan perfusi perifer
(ductus dependent systemic circulation). Penutupan duktus akan menimbulkan
penurunan aliran darah ke sistem arteri perifer, hal ini mengakibatkan penurunan
perfusi perifer dengan gejala berupa tidak mau minum, pucat dan berkeringat disertai
distres nafas. 2
Gejala takipnea pada neonatus dengan PJB non sianotik (terdapat pirau kiri ke
kanan) baru terjadi beberapa hari atau minggu kehidupan, yaitu setelah terjadi
penurunan tahanan pembuluh darah paru dan penurunan hemoglobin kearah normal.
Oleh karena itu, takipnea yang timbul segera setelah lahir tanpa disertai gejala sianosis
sentral dan penurunan perfusi perifer menunjukkan suatu kelainan paru, bukan PJB.
Neonatus normal bernafas lebih cepat daripada bayi, namun tidak lebih dari 60 kali per
menit untuk periode waktu yang lama.2
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan neonatus dengan dugaan PJB kritis tidak jauh berbeda dengan
kondisi kritis pada neonatus akibat penyakit diluar jantung. Faktanya, ada
kecenderungan para dokter untuk melepaskan tanggung jawab dan menyerahkan ke
dokter konsultan jantung. Hal ini tidak boleh terjadi dan alur penatalaksanaannya
menjadi tidak efektif sehingga akhirnya merugikan pasien. 2
Penatalaksanaan awal pada setiap neonatus dengan PJB kritis sangat berperan
dalam mencegah memburuknya kondisi klinis bahkan kematian dini. Diawali dengan
penatalaksanaan kegawatan secara umum kemudian dilanjutkan penatalaksanaan
kegawatan jantung secara khusus sesuai dengan masalah kritis yang sedang dihadapi
(sianosis sentral, peningkatan aliran darah ke paru atau penurunan aliran darah ke
sistemik) sebagai berikut : 2
1. Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5-37oC dan
kelembaban sekitar 50%). 2
2. Pemberian oksigen.
Oksigen sering diberikan pada neonatus yang dicurigai menderita PJB tanpa
mempertimbangkan tujuan dan dampak negatifnya. Pemberian oksigen pada neonatus
mengakibatkan vasokonstriksi arteria sistemik dan vasodilatasi arteria pulmonalis, hal
ini memperburuk PJB dengan pirau kiri ke kanan. Pemberian oksigen pada neonatus
ductus dependent sistemic circulation atau ductus dependent pulmonary circulation
malah mempercepat penutupan duktus dan memperburuk keadaan. Pada kedua kondisi
tersebut lebih baik mempertahankan saturasi oksigen tidal lebih dari 85% dengan udara
kamar (0,21% O2). 2
Saturasi oksigen neonatus dengan PJB sianotik selalu rendah dan tidak akan
meningkat secara nyata dengan pemberian oksigen. Namun demikian, pada neonatus
yang mengalami distres, akan mengganggu ventilasinya dan gangguan ini dapat akan
berkurang dengan pemberian oksigen yang dilembabkan dengan kecepatan 2-4 liter per
menit dengan masker atau kateter nasofaringeal. Pada neonatus dengan distres nafas
yang berat maka bantuan ventilasi mekanik sangat diperlukan. 2
3. Pemberian cairan dan nutrisi
Harus dipertahankan dalam status normovolemik sesuai umur dan berat badan.
Pada neonatus yang dengan distres ringan dengan pertimbangan masih dapat diberikan
masukan oral susu formula dengan porsi kecil tapi sering. Perlu perhatian khusus pada
PJB kritis terhadap gangguan reflex menghisap dan pengosongan lambung serta risiko
aspirasi. Pemberian melalui sonde akan menambah distres nafas dan merangsang reflex
vagal. Pada kondisi shock, pemberian cairan 10 – 15 ml/kgBB dalam 1-2 jam,
kemudian dilihat respons terhadap peningkatan tekanan darah, peingkatan produksi
urine dan tanda vital yang lain. Disfungsi miokard akibat asfiksia berat memerlukan
pemberian dopamin dan dobutamin. 2
Pemberian diet pada penderita penyakit jantung bawaan untuk mengatasi
gangguan pertumbuhan seharusnya dengan pemberian komponen diet yang lebih tinggi
dibanding anak normal agar dapat mencapai pertumbuhan optimal. Recommended
Dietary Allowances (RDA) yang dibutuhkan oleh anak umur kurang dari 6 bulan
dengan PJB berat adalah 40 % lebih besar dari kebutuhannya. 9
Namun penelitian ini tidak membedakan tipe dari PJB dan beratnya gangguan
hemodinamiknya. Pada anak dengan PJB asianotik membutuhkan nutrien lebih tinggi
daripada anak normal. Energi yang dibutuhkan 20-30 % di atas RDA agar dapat
mencapai tumbuh kejar. 9
Penelitian dilakukan oleh Bougle dkk pada bayi berumur 2-14 minggu dengan
PJB asianotik yang mengalami gagal jantung dan gagal tumbuh serta memperoleh
digitalis dan diuretik. Mereka diberi minum melalui sonde lambung secara kontinyu
selama 40 hari. Cairan susu formula bayi yang diperkaya energi dalam bentuk MCT dan
karbohidrat, diberikan mulai 40 ml/kgBB/hari ditingkatkan secara progresif sampai
terjadi kenaikan berat badan. Jumlah kalori yang diberikan rata-rata 137
kkal/kgBB/hari. Terjadi peningkatan berat badan yang bermakna. 9
4. Pemberian prostaglandin E1
Merupakan tindakan awal yang harus diberikan, sebagai life-saving dan
sementara menunggu kepastian diagnosis, evaluasi dan menyusun terapi rasional
selanjutnya, prostaglandin E1 diberikan pada :
Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang dicurigai dengan PJB sianosis (ductus
dependent pulmonary circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah ke paru
(Atresia pulmonal, pulmonal stenosis yang berat, atresia trikuspid) atau
meningkatkan tekanan atrium kiri agar terjadi pirau kiri ke kanan sehingga
oksigenasi sistemik menjadi lebih baik (transposisi pembuluh darah besar). 2
Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang disertai syok, pulsasi perifer lemah
atau tak teraba, kardiomegli dan hepatomegali (ductus dependent systemic
circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah ke arteri sistemik (aorta stenosis
yang kritis, koartasio aorta, transposisi pembuluh darah besar, interrupted arkus
aorta atau hipoplastik jantung kiri). 2
Dosis awal 0,05 mikrogram/kgBB/menit secara intravena atau melalui kateter
umbilikalis, dosis bisa dinaikkan sampai 0,1 sampai 0,15 mikrogram/kgBB/menit
selama belum timbul efek samping dan sampai tercapai efek yang optimal. Bila terjadi
efek samping berupa hipotensi atau apnea maka pemberian prostaglandin segera
diturunkan dosisnya dan diberikan bolus cairan 5-10 ml/kgBB intravena. Bila terjadi
apnea maka selain menurunkan dosis prostaglandin E1, segera dipasang intubasi dan
ventilasi mekanik dengan O2 rendah, dipertahankan minimal saturasi oksigen mencapai
65 %.2
Bila keadaan sudah stabil kembali maka dapat dimulai lagi dosis awal, bila tidak
terjadi efek samping pada pemberian dosis 0,05 mikrogram/kgBB/menit tersebut, maka
dosis dapat diturunkan sampai 0,01 mikrogram/kgBB/menit atau lebih rendah sehingga
tercapai dosis minimal yang efektif dan aman. Selama pemberian prostaglandin E1
perlu disiapkan ventilator dan pada sistem infusion pump tidak boleh dilakukan flushed.
Harus dipantau ketat terhadap efek samping lainnya yaitu : disritmia, diare, apnea,
hipoglikemia, NEC, hiperbilirubinemia, trombositopenia dan koagulasi intravaskular
diseminata, perlu juga diingat kontraindikasi bila ada sindroma distres nafas dan
sirkulasi fetal yang persisten. Bila ternyata hasil konfirmasi diagnosis tidak
menunjukkan PJB maka pemberian prostaglandin E1 segera dihentikan. 2
Telah dicoba pemakaian prostaglandin E2 per oral, mempunyai efek yang
hampir sama dengan prostaglandin E1, lebih praktis dan harganya lebih murah. Pada
awalnya diberikan setiap jam, namun bila efek terapinya sudah tercapai, maka obat ini
dapat diberikan tiap 3-4 jam sampai 6 jam. Dapat mempertahankan terbukanya duktus
dalam beberapa bulan, namun duktus akan menutup bila pemberiannya dihentikan. 2
Untuk neonatus usia 2-4 minggu, walaupun angka kesuksesan rendah , masih
dianjurkan pemberian prostaglandin E1 . Bila dalam 1-2 jam setelah pemberian dosis
maksimum (0,10 mikrogram/kgBB/menit) ternyata tidak terjadi reopen duktus, maka
pemberiannya harus segera distop dan direncanakan untuk urgent surrgical intervention.
2
5. Koreksi terhadap gagal jantung dan disritmia
Bila gagal jantung telah dapat ditegakkan, maka obat pertama yang harus
diberikan adalah diuretik dan pembatasan cairan, biasanya furosemid dengan dosis awal
1 mg/kgBB yang dapat diberikan intravena atau per oral, 1 sampai 3 kali sehari. 11
Cedilanid dapat ditambahkan untuk memperkuat kontraksi jantung (inotropik
dan vasopresor) dengan dosis digitalisasi total untuk neonatus preterm 10
mikrogram/kgBB per oral, untuk neonatus aterm 10 – 20 mikrogramkgBB per oral.
Diberikan loading dose sebesar 1/2 dari dosis digitalisasi total, disusul 1/4 dosis
digitalisasi total 6 -12 jam kemudian dan 1/4 dosis sisanya diberikan 12-24 jam
kemudian. Disusul dosis rumatan 5-10 mikrogram/kgBB per oral. Pemberian intravena
dilakukan bila per oral tidak memungkinkan, dosis 80% dari dosis per oral. Dosis per
oral maupun intravena diturunkan sampai 60% nya bila ada penurunan funsi ginjal. 11
Dopamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip (dilatasi renal vascular
bed)dikombinasi dengan Dobutamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip
(meningkatkan kontraktilitas miokard) merupakan kombinasi yang sangat baik untuk
meningkatkan penampilan jantung dengan dosis yang minimal. 11
Captopril sebagai vasodilator (menurunkan tahanan vaskuler sistemik dan
meningkatkan kapasitas sistem vena) ) sangat berperan pada neonatus dengan gagal
jantung kongestif. Dosis 1 mg/kgBB per oral dosis tunggal disusul dosis yang sama
untuk rumatan. Sangat efektif pada kondisi neonatus dengan:
penurunan fungsi ventrikel
pirau kiri ke kanan yang masif regurgitasi katup
hipertensi sistemik
hipertensi pulmonal. 11
Dengan meningkatkan kontraktilitas miokard, menurunkan sinoatrial node rate,
dilatasi renal vascular bed, dan menurunkan tahanan sistemik, maka penampilan
jantung dapat ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan sirkulasi perifer dan
mengurangi hipoksia jaringan. 11
Disritmia jantung sering menyertai hipoksemia berat, bila hipoksemia berat
telah dikurangi dan kelainan metabolik lainnya dikoreksi, maka disritmianya biasanya
akan menghilang dengan sendirinya. Tidak dianjurkan memberikan obat anti disritmia
tanpa memperbaiki hipoksemia dan kelainan metabolik lainnya yang menyertai, selain
tidak bermanfaat juga malah menimbulkan disritmia jenis lain yang lebih
membahayakan. 2
6. Koreksi terhadap kelainan metabolik
Hipoksia jaringan akan menyebabkan asidosis metabolik yang seringkali sukar
dikoreksi. Untuk kondisi ini harus diberikan Na-bikarbonat, dosis 1-2 ml/kgBB
intravena perlahan-lahan atau disesuaikan dengan hasil analisis gas darah. 11
Hipoglokemia dan gangguan keseimbangan elektrolit yaitu kalium, natrium,
magnesium dan kalsium sering menyertaikondisi hipoksemia, koreksi secepatnya bila
pada pemantauan klinis ditemukan hal-hal tersebut. 11
7. Terapi Genetik
Sebuah penelitian baru membuktikan bahwa KCNQ1 adalah gen utama yang
menyandi fungsi jantung. Mutasi yang terjadi pada gen tersebut akan menyebabkan
penyakit jantung bawaan pada ratusan ribu anak dan akan menimbulkan gangguan
rhytm atau irama jantung dengan penderitaan seumur hidup. Kondisi ini pada akhirnya
bisa menyebabkan gagal jantung atau Cardiac suddent dan kematian. Penelitian di
Cardiac Research Center, Niigata University Hospital, Jepang telah melakukan uji gene
screening pada lebih dari seratus keluarga dengan penderita penyakit jantung bawaan. 10
Dari hasil penelitian ini menggambarkan sesuatu yang sangat baru dalam ilmu
genetika kedokteran, bahwa mutasi gen KCNQ1 menjadi dasar timbulnya kelainan
jantung bawaan LQTS, dan diturunkan secara dominan autosomal. Keparahan penyakit
tersebut ditentukan bukan hanya oleh lokasi terjadinya mutasi, namun yang lebih
penting lagi adalah jenis asam amino pembentuk mutan tersebut. Sehingga tentunya,
hasil ini dimasa depan dapat digunakan sebagai dasar ilmiah teknik pengobatan genetik
(gene therapy) bagi penderita penyakit jantung bawaan, yaitu dengan cara
mentransgenikkan asam amino mutant pada pasien kearah asam amino normal. 10
DAFTAR PUSTAKA
1. Ontoseno, T., Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis
Pada Neonatus ( Diagnosis And Management Of Critical Congenital Heart Disease
In The Newborn), Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK Unair – RSU
Dr. Soetomo, Surabaya, 2005.
2. Bernstein, Daniel. 2003. Heart Failure dalam Nelson Textbook of Pediatrics 17th
edition. USA: Elsevier Science.
3. Pusponegoro, H. D dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisi I.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
4. Dwi, Deteksi dini penyakit jantung bawaan pada bayi, dalam simposium, Majalah
Farmacia Edisi Maret, 2007.
5. Wahab, Samik. 2003. Penyakit Jantung Anak Edisi 3. Jakarta: EGC.
6. Wilkinson JL, Cooke RWI. Cardiovascular disorders. In: Robertson NRC, Ed. Textbook of Neonatology. Edinburgh: Churchill Livingstone,1996; Chapter 17.
7. Braudo M, Rowe RD. Auscultation of the heart-early neonatal period. Am J Dis Child 1991; 101: 575-86
8. Rahmawan, A., Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Pada Anak, Bagian/Ilmu Kesehatan Anak, FK UNLAM – RSUD Ulin,
Banjarmasin, 2008.
9. Fred, M, D. 1996. Gagal Jantung Kongestif dalam Kardiologi Anak
Nadas.Yogyakarta: Gajah Mada University press.
10. Arnold, J. M. O. 2008. Heart Failure. http://www.merckmanuals.com.
11. Ontoseno, T., Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis
Pada Neonatus ( Diagnosis And Management Of Critical Congenital Heart Disease
In The Newborn), Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK Unair – RSU
Dr. Soetomo, Surabaya, 2005