137873686-DISARTRIA
-
Upload
may-maghdalena -
Category
Documents
-
view
33 -
download
5
Transcript of 137873686-DISARTRIA
DISARTRIA
A. Definisi dan Pengertian
1. “Disartria adalah gangguan bicara yang diakibatkan cidera neuromuscular,
gangguan bicara ini diakibatkan luka pada system saraf, yang pada gilirannya
mempengaruhi bekerja baiknya satu atau beberapa otot yang diperlukan untuk
berbicara.” (Rheni Dharma Perwira, 2000. 5.)
2. “Dyshartria is a disorder of articulation due to impairment of the central nervous
system which directly control the muscles of articulations.” (Lee Edward Travis,
1971. 11.)
Artinya : Disartria adalah gangguan artikulasi yang disebabkan oleh kerusakan sistem
saraf pusat yang secara langsung mengontrol aktivitas otot-otot yang berperan dalam
proses artikulasi dalam pembentukan suara pengucapan.
3. “Ataxia Dysartria associated with damage to the cerebellar system.” (L.Nicolosi,
1989, 68)
Artinya : “Disartria Ataksia berhubungan dengan kerusakan ada system cerebellum.”
4. “Dysarthria refers to a disturbance in the execution of motor patterns for speech due
to paralysis, weakness, or discoordination of the speech musculature”. (Curtis E.
Weiss, 1987, 86)
Artinya : “Menunjukkan gangguan di dalam pelaksanaan pola – pola motorik wicara
yang mengarah kepada kelumpuhan, kelemahan, atau kesalahan dalam
mengorganisasikan otot – otot wicara”.
5. Disartria spastik adalah program artikulasi yang parah tidak akan mampu memberikan
pengaturan – pengaturan secara tepat dari pergerakan bersamaan antara lidah, bibir,
dan rahang. (Ki Pranindyo, 1985, 282)
B. Penyebab
Disartia dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO) (Cerebrovascular accident (CVA) ) (stroke)
Karena trombosis, emboli atau pendarahan, saluran darah ke sebagian otak terhambat.
2. Gangguan Biokimia
Pembuatan neurotransmitor tidak cukup atau neutransmitor terlalu cepat dihanyutkan
sehingga penyampaian rangsangan terganggu. Penyakit Myasthenia gravis misalnya
diakibatkan diakibatkan kurangnya asetikolin sehingga otot-otot cepat capai. Penyakit
Parkinson disebabkan kekurangan produksi dopamine.
3. Trauma
Karena jatuh, pukulan atau luka sebagian dari sistem saraf rusak.
4. Neoplasma (tumor)
Sebuah tumor ini membuat tekanan pada sebagian sistem saraf.
5. Keracunan
Keracunan dapat disebabkan racun, alkohol (penyakit Korsakow) atau obat.
6. Radang
Radang di otak (ensefalitis), di saraf (neuritis) atau di otot (miositis).
7. Infeksi virus atau infeksi prion
Sistem saraf diserang virus (misalnya poliomyelitis) atau prion (penyakit Creutzfeldt-
Jacob)
8. Degenerasi progresif
Semakin banyak bagian sistem saraf terkena. Penyebabkan bisa keturunan, seerti
misalnya „distrofia otot keturunan‟, penyakit Huntington atau penyakit Wilson. Pada
penyakit Wilson terdapat kekurangan putih telur pengikat tembaga, yang
mengakibatkan tembaga terendap di striatum dan di hati. Pada penyakit Multiple
Sclerose, oleh karena reaksi oto-imun, terjadi peningkatan demielinisasi (pemecahan
lapis pelindung mielin akson).
9. Kelainan Kongenital
Sejak kelahiran sedah terdapat kerusakan di sistem saraf sentral, yang menyebabkan
bicara tidak berkembang dengan baik.
(Reni Dharma Perwira-Prins, 2000. 13.)
C. Karakteristik
1. (Curtis E. Weiss, 1989; 238)
a. Articulation imprecision
b. Slurred speech
c. Phonemic Distortions
d. Shortened Vowel Duration
e. Prolongation of phonemes
f. Slow rate
g. Rapid or jerky rate
h. Inappropriate silent intervals
i. Intermittent unintelligibility
j. Articulatory conspicuousness
k. Inappropriate phrasing
l. Less articulate speech in context than in single words
m. Impaired articulator strength and control
n. Mono pitch, uncontrolled pitch and loudness, inappropriate loudness
o. Hoarseness, harshness, breathiness, and hypernasality
p. Hearing loss
q. Vegetative problems
Artinya :
a. Ketidaktepatan artikulasi
b. Kekacauan wicara
c. Kekacauan fonem
d. Durasi vokal yang pendek
e. Perpanjangan pada fonem
f. Rata-rata bicara yang lambat
g. Cepat atau tersentak-tersentak
h. Ketidaktepatan penjedahan
i. Tidak dapat dipahami
j. Artikulasi buruk/tidak jelas
k. Susunan kata tidak tepat
l. Artikulasi lebih sedikit pada konteks bicara dibandingkan pada satu kata
m. Alat artikulasi yang kurang kuat dan kurang terkontrol
n. Satu nada, nada dan kenyaringan sering tidak terkontrol dan tidak jelas
o. Suara parau, kasar/keras, breathiness, dan hipernasalitas
p. Kehilangan pendengaran
q. Masalah pertumbuhan
2. (Reni Dharmaperwira-Prins, 2000, 18)
Disartria bulber
a) Ciri gangguan
1) Kelemahan
2) Hipotoni
3) Atrofia
4) Kedutan-kedutan (fasikulasi)
b) Ciri kelainan bicara
1) Hipernasal
2) Pembentukan konsonan tidak tepat
3) Seringkali pengeluaran “angin liar”
4) Monotoni
5) Penipuan-penipuan nasal
6) Pengambilan nafas berbunyi (inspiratoire stridor)
7) Suara serak
8) Kalimat-kalimat pendek, sedikit kata dalam satu pernafasan
9) Kurang dinamis
Disartria Miogen
a) Ciri gangguan
1) Kelemahan (lemas)
2) Hipotoni
3) Atrofia
b) Ciri kelainan bicara
1) Bicara yang lemas tanpa tenaga
2) Pembentukan konsonan yang tidak tepat
3) Hipernasalitas
4) Suara parau dan lemah
5) Saat-saat tanpa suara
6) Nada bicara pelan
7) Pengheambusan nafas lemah
Disartria spastis
a) Ciri gangguan
1) Gerakan spastis
2) Gerakan lemah
3) Gerakan terbatas
4) Gerakan pelan
5) Muka tanpa ekspresi
6) Liuran
7) Gerakan bibir pelan dan terbatas
8) Refleks menyedot positif patologis (jika mengeluskan sudip dari ujung
mulut ketengah-tengah)
9) Velum bergerak pelan dan sedikit, tetapi bisa bereaksi refleks
10) Kesulitan menelan
11) Tersedak parah
12) Pengaruh inhibisi korteks terganggu, yang mengakibatkan : kelebihan
tersenyum (overflow) senyum jadi tertawa lebar
13) Menangis tersendiri/tertawa “tersendiri”. Yang dimaksud dengan
tersendiri adalah gejala motoris saja dan tidak diakibatkan emosi.
b) Ciri gangguan bicara
1) Konsonan tidak tepat
2) Monotoni
3) Kurang tekanan
4) Suara serak
5) Kurang dinamis
6) Ketinggian suara terlalu rendah
7) Nada bicara terlalu pelan
8) Hipernasalitas
9) Fonasi yang terperas
10) Kalimat-kalimat pendek, sedikit kata dalam pernapasan
11) Huruf hidup tidak benar
12) Patah suara
13) Terus menerus „angin liar‟
14) Tekanan yang berlebihan dan rata (juga pada bagian yang tidak
bertekanan).
Disartria ataksis
a) Ciri gangguan
1) Gerakan tidak tepat
2) Gerakan pelan
3) Hipotoni
4) Tremor-tremor, karena kehilangan kontrol gerakan
b) Ciri kelainan bicara
1) Konsonan tidak tepat
2) Tekanan yang berlebihan dan rata (juga pada bagian yang tidak bertekanan)
3) Artikulasi yang tidak menentu memburuk
4) Suara serak
5) Fonem diperpanjang
6) Istirahat diperpanjang
7) Monotoni
8) Kurang dinamis
9) Nada bicara terlalu pelan
Disartria hipokinetis
a) Ciri gangguan
1) Kekakuan otot
2) Kelangkaan gerakan
3) Muka topeng
4) Permulaan gerakan pelan
5) Tenaga dan pencapaian gerakan terbatas
6) Tremor
b) Ciri kelainan bicara
1) Monotoni
2) Tekanan yang berkurang
3) Kurang dinamis
4) Huruf mati tidak tepat
5) Istirahat pada tempat yang salah
6) Bagian-bagian bicara pendek dan cepat
7) Suara serak
8) Terus menerus “angin liar”
9) Nada bicara rendah
10) Kecepatan bervariasi
Disartria hiperkinetis
a) Ciri gangguan
1) Hiperkinesia cepat : benturan-benturan mioktonik (dari otot-otot palatum,
laring, diafragma), tik/grenyet (sidrom gilles dela tourette), korea (gerakan
yang tidak teratur yang bertambah parah pada gerakan-gerakan sadar dan
jika beremosi), Hemibalisme (gerakan kacau dari kaki, tangan dan otot
muka).
2) Hiperkinesia lambat : atetosis (gerakan-gerakan sembmarang yang pelan
berliuk-liuk), diskinesia (gerakan berulang dan berputar pelan), distoni
(posisi badan, leher, dan kepala sedikit demi sedikit semakin bungkuk).
b) Ciri kelainan bicara
1) Hiperkinesia cepat
o Huruf mati yang tidak tepat
o Istirahat yang diperpanjang
o Kecepatan yang bervariasi
o Monotoni
o Suara yang serak
o Istirahat pada saat yang tidak tepat
o Huruf hidup yang tidak benar
o Fonem-fonem diperpanjang
o Kurang dinamis
o Kalimat-kalimat pendek, sedikit kata dalam satu pernafasan
o Artikulasi yang bergantian memburuk
o Tekanan berlebihah
o Hipernasalitas
o Tekanan berkurang
o Fonasi terperas
2) Hiperkinesia lambat
o Huruf mati yang tidak tepat
o Huruf hidup yang tidak benar
o Suara serak
o Artikulasi yang bergantian memburuk
o Fonasi terperas
o Monotoni
o Kurang dinamis
o Istirahat pada waktu yang tepat
o Kalimat-kalimat yang pendek, sedikit kata dalam satu pernafasan
o Istirahat diperpanjang
o Fonem-fonem diperpanjang
o Tekanan berkurang
o Bicara yang lambat
3) Tremor : karena tremor terjadi disfonia
3. (Charles Van Riper, 1984, 378)
Karakteristik Disartria Ataktis menurut Charles Van Riper adalah “The Ataxic finds it
very difficults to perfoms any complex activity – walking, writing, speaking – in a
smooth, integrated series of motions”.
Artinya : “Ataksik mendapati sangat kesulitan untuk melakukan aktivitas apa saja
yang komplek – berjalan, menulis, berbicara – secara lancar, mengintegrasikan
rangkaian dari gerakan”.
DAFTAR PUSTAKA
1. Charles Van Riper. Speech Correction An Introduction to Speech Pathology and Audiology.
New Jersy : Prentice – Hall. 1984.
2. Curtis E. Weiss. Clinical Management Of Articulatory and Phonologic Disorders. Baltimore :
Library of Congress Cataloging in Publication Data. 1987.
3. Ki Pranindyo H. A.. Perilaku Komunikasi Normal. Jakarta : Akademi Terapi Wicara. 1985.
4. Lee Edward Travis. Handbook of Speech Pathology and Audiology. New York : Appleton –
Century – Crofts Educational Division Meredith Corporation. 1971.
5. Lucille Nicolosi, Elizabeth Harryman, Janet Kresheck. Terminology of Communication
Disorders. Baltimore : Wiliams & Wilkins. 1989.
6. Reni I.I Dharmaperwira – Prins. Disartria – Apraksia Verbal dan TEDYVA. Jakarta :
Indomedika. 1985.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Afasia merupakan gangguan berbahasa. Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan
dalam memproduksi dan / atau memahami bahasa. Defek dasar pada afasia ialah pada
pemrosesan bahasa tingkat integratif yang lebih tinggi. Gangguan artikulasi dan praksis mungkin
ada sebagai gejala yang menyertai.
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemisfer dominan, trauma
kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya digolongkan sesuai lokasi
lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca,
ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda.
B. Etiologi
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak. Kata
afasia perkembangan (sering disebut sebagai disfasia) digunakan bila anak mempunyai
keterlambatan spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal ini, perkembangan
kemampuan berbahasa yang tidak sebanding dengan perkembangan kognitif umumnya.
Strok, tumor di otak, cedera otak, demensi dan penyakit lainnya dapat mengakibatkan gangguan
berbahasa.
Tabel Algoritma Klasifikasi Afasia Kortika
Kelancaran Pemahaman Mengulang Jenis Afasia
(Komprehensi) (Repetisi)
C. Manifestasi Klinis
Gejala dan Gambaran klinik Afasia
Afasia global. Afasia global ialah bentuk afasia yang paling berat. Koadaan ini
ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah
kata yang diucapkan secara stereotip (itu-itu saja, berulang), misalnya : "iiya, iiya, iiya", atau:
"baaah, baaaah, baaaaah" atau: "amaaang, amaaang, amaaang". Komprehensi menghilang atau
sangat terbatas, misalnya hanya mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi
(mengulangi) juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga
terganggu berat.
Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar atau semua
daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri
serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan pulih ialah buruk. Afasia global hampir
selalu disertai hemiparese atau hemiplegia yang menyebabkan invaliditas khronis yang parah.
Afasia Broca. Bentuk afasia ini sering kita lihat di klinik dan ditandai oleh bicara
yang tidak lancar, dan disartria, serta tampak melakukan upaya bila berbicara. Pasien sering atau
paling banyak mengucapkan kata-benda dan kata-kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa
tata-bahasa (tanpa grammar). Contoh: "Saya....sembuh....rumah....kontrol....ya..kon..trol."
"Periksa...lagi...makan... banyak.."
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya seperti berbicara
spontan. Pemahaman auditif dan pemahaman membaca tampaknya tidak terganggu, namun
pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks sering terganggu (misalnya memahami
kalimat: "Seandainya anda berupaya untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud
ini").
Ciri klinik afasia Broca:
bicara tidak lancar
tampak sulit memulai bicara
kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)
pengulangan (repetisi) buruk
kemampuan menamai buruk
Kesalahan parafasia
Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat
yang sintaktis kompleks)
Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
Irama kalimat dan irama bicara terganggu
Menamai (naming) dapat menunjukkan jawaban yang parafasik. Lesi yang
menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodmann 44 dan sekitarnya. Lesi yang
mengakibatkan afasia Broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area Brodmann 45 dan 44)
dan massa alba frontal dalam (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba
paraventrikular tengah). Selain itu, ada pasien dengan lesi dikorteks peri-rolandik, terutama
daerah Brodmann 4; ada pula yang terganggu di daerah peri-rolandik dengan kerusakan massa
alba yang ekstensif.
Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya di area Broca di
korteks, tanpa melibatkan jaringan di sekitarnya, maka tidak akan terjadi afasia.
Penderita afasia Broca sering mengalami perubahan emosional. seperti frustasi dan
depresi. Apakah hal ini disebabkan oleh gangguan berbahasanya atau merupakan gejala
yang menyertai lesi di lobus frontal kiri belum dapat dipastikan.
Pemulihan terhadap berbahasa (prognosis) umumnya lebih baik daripada afasia
global. Karena pemahaman relatif baik, pasien dapat lebih baik beradaptasi dengan keadaannya.
Afasia Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Di klinik, pasien
afasia Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan, dan bila ia menjawab
iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. la tidak mampu memahami kata yahg
diucapkannya, dan tidak mampu mengetahui kata yang diucapkannya, apakah benar atau salah.
Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong, berisi parafasia, dan neologisme. Misalnya
menjawab pertanyaan: Bagaimana keadaan ibu sekarang ? Pasien mungkin menjawab: "Anal
saya lalu sana sakit tanding tak berabir".
Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai {naming) umumnya parafasik.
Membaca dan menulis juga terganggu berat.
Gambaran klinik afasia Wernicke:
Keluaran afasik yang lancar
Panjang kalimat normal
Artikulasi baik
Prosodi baik
Anomia (tidak dapat menamai)
Parafasia fonemik dan semantik
Komprehensi auditif dan membaca buruk
Repetisi terganggu
Menulis lancar tapi isinya "kosong"
Penderita afasia jenis Wernicke ada yang menderita hemiparese, ada pula yang tidak.
Penderita yang tanpa hemiparese, karena kelainannya hanya atau terutama pada berbahasa, yaitu
bicara yang kacau disertai banyak parafasia, dan neologisme, bisa-bisa disangka menderita
psikosis.
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian
posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan lesi
mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata tunggal
terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah lobus parietal,
ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi
subkortikal yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen inferior ke korteks
temporal.
Penderita dengan defisit komprehensi yang berat, pronosis penyembuhannya buruk,
walaupun diberikan terapi bicara yang intensif. Afasia konduksi. Ini merupakan gangguan
berbahasa yang lancar (fluent) yang ditandai oleh gangguan yang berat pada repetisi, kesulitan
dalam membaca kuat-kuat (namun pemahaman dalam membaca baik), gangguan dalam menulis,
parafasia yang jelas, namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara. Anomianya berat.
Terputusnya hubungan antara area Wernicke dan Broca diduga menyebabkan
manifestasi klinik kelainan ini. Terlibatnya girus supramarginal diimplikasikan pada beberapa
pasien. Sering lesi ada di massa alba subkortikal - dalam di korteks parietal inferior, dan
mengenai fasikulus arkuatus yang menghubungkan korteks temporal dan frontal.
Afasia transkortikal. Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan yang baik
(terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Ada pasien yang mengalami kesulitan
dalam memproduksi bahasa, namun komprehensinya lumayan.
Ada pula pasien yang produksi bahasanya lancar, namun komprehensinya buruk.
Pasien dengan afasia motorik transkortikal mampu mengulang (repetisi), memahami dan
membaca, namun dalam bicara -spontan terbatas, seperti pasien dengan afasia Broca.
Sebaliknya, pasien dengan afasia sensorik transkortikal dapat mengulang (repetisi) dengan baik,
namun tidak memahami apa yang didengarnya atau yang diulanginya. Bicara spontannya dan
menamai lancar, tetapi parafasik seperti afasia jenis Wernicke. Sesekali ada pasien yang
menderita kombinasi dari afasia transkortikal motorik dan sensorik. Pasien ini mampu
mengulangi kalimat yang panjang, juga dalam bahasa asing, dengan tepat. Mudah mencetuskan
repetisi pada pasien ini, dan mereka cenderung menjadi ekholalia (mengulang apa yang
didengarnya).
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal:
Keluaran (output) lancar (fluent)
Pemahaman buruk
Repetisi baik
Ekholalia
Komprehensi auditif dan membaca terganggu
Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai
Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.
Gambaran klinik afasia motorik transkortikal:
Keluaran tidak lancar (non fluent)
Pemahaman (komprehensi) baik
Repetisi baik
Inisiasi ot/fpunerlambat
Ungkapan-ungkapan singkat
Parafasia semantik
Ekholalia
Gambaran klinik afasia transkortikal campuran:
Tidak lancar (nonfluent)
Komprehensi buruk
Repetisi baik
Ekholalia mencolok
Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan
sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral mayor (misalnya di lobus frontal
antara daerah arteri serebri anterior dan media). Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di
perbatasan anterior yang menyerupai huruf C terbalik (gambar 9-1). Lesi ini tidak mengenai atau
tidak melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan
sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk
kemampuan mengulang yang baik.
Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:
Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang
dijumpai pada henti-jantung (cardiac arrest).
Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.
Anoksia oleh keracunan karbon monoksida.
Demensia.
Afasia anomik. Ada pasien afasia yang defek berbahasanya berupa kesulitan dalam
menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya. Keadaan ini
disebut sebagai afasia anomik, nominal atau amnestik. Berbicara spontan biasanya lancar dan
kaya dengan gramatika, namun sering tertegun mencari kata dan terdapat parafasia mengenai
nama objek.
Gambaran klinik alasia anomik:
Keluaran lancar
Komprehensi baik
Repetisi baik
Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.
Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia anomik,
dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia dapat demikian ringannya
sehingga hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau dapat pula demikian beratnya
sehingga keluaran spontan tidak lancar dan isinya kosong. Prognosis untuk penyembuhan
bergantung kepada beratnya defek inisial. Karena output bahasa relatif terpelihara dan
komprehensi lumayan utuh, pasien demikian dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada
jenis afasia lain yang lebih berat.
Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal saja. Lesi di
talamus, putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh perdarahan atau infark, dapat
menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya afasia dalam hal ini belum jelas, mungkin
antara lain oleh berubahnya input ke serta fungsi korteks di sekitarnya.
Beberapa bentuk afasia mayor
Bentuk Afasia Ekspresi Komprehensi
verbal Repetisi Menamai
Komprehensi
membaca Menulis Lesi
Ekspresi
(Broca)
Tak lancar Relatif
terpelihara
Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Frontal Inferior
posterior
Reseptif
(Wermicke)
Lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Temporal Superior
Posterior (Area
Wernicke)
Global Tak lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Fronto temporal
Konduksi Lancar Relatif
terpelihara
Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Fasikulus arkualtus,
girus supramarginal
Nominal Lancar Relatif
terpelihara
Terpelihara Terganggu Bervariasi Bervariasi Girus angular, temporal
superior posterior
Transkortikal
motor
Tak lancar Relatif
terpelihara
Terpelihara Terganggu Bervariasi Terganggu Peri sylvian anterior
Transkortikal
sensorik
Lancar Terganggu Terpelihara Terganggu Terganggu Terganggu PerisylvianPosterior
D. Penatalaksanaan Medis
DASAR-DASAR REHABIL1TASI
Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada :
1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah
memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan
pertama sejak mula sakit mempunyai hasil yang paling baik.
3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
4. Program terapi yang dibuat oieh terapis sangat individual dan tergantung dari latar
belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.
5. Program terapi berlandaskan pada penurnbuhan motivasi pasien untuk mau belajar (re-
learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien metnberikan
tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan atau pun taktil. Materi yang teiah
dikuasai pasien perlu diulang-ulang(repetisi).
6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan pasien
afasi yang lain.
7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila bicara
spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang diinginkan. Kelancaran
berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini
diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang
ringan iiImii pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes knlnncaran,
menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat dlproduksi selama jangka waktu yang
terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu
satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S atau
huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin nama
hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada, misalnya parafasia.
Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan selama 60 detik,
dengan variasi I 5 - 7.
Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini. Orang
normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan dengan
simpang baku 4,5.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi 15,5 (±
4,8) pada usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di bawah usia 70 tahun, perlu
dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Skor yang dibawah 10 pada usia
dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin
merupakan batas normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat juga
diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S, A atau P.
Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal umumnya dapat menyebutkan
sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi dan tingkat pendidikan. Kemampuan
yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya
penurunan kelancaran berbicara verbal. Namun kita harus hati-hati monginterpretasi tes ini
pada pasien dengan tingkat pendidikan tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal Pemeriksaan
klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan dapat memberikan hasil
yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan untuk mengevaluasi pemahaman
(komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi, suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan
menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya
memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah) sampai
pada yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien memahami.
Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya, misalnya:
mengambil pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas kursi (suruhan ini dapat gagal pada
pasien dengan apraksia dan gangguan motorik, walaupun pemahamannya baik; hal ini harus
diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit, arloji,
vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut, misalnya arloji. Kemudian
suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela, setelah itu arloji, kemudian vulpen.
Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih
objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu menunjuk
sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah
objek yang hams ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan
yang dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah ialah 50%, jumlah
pertanyaan harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian
meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian "tunjukkan gelas yang
ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang mampu
menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat memberikan gambaran kasar
mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis dengan komprehensi adalah kompleks.
Pemeriksaan repetisi (mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-mula
kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat).
Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh mengulanginya.
Cara pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula sederhana kemudian
lebih sulit. Contoh:
Map
Bola
Kereta
Rumah Sakit
Sungai Barito
Lapangan Latihan
Kereta api malam
Besok aku pergi dinas
Rumah ini selalu rapi
Sukur anak itu naik kelas
Seandainya si Amat tidak kena influensa
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan parafasia, salah
tatabahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi), namun
ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang, dan sering lebih baik
daripada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan
mengulang mempunyai kelainan patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian. Bila
kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah -sylvian bebas dari kelainan patologis.
Umumnya daerah ekstra-sylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek
repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (area water-shed).
Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi herbahasa. Hal ini sedikit-
banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang digunakan
untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata
erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek,
bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik atau nama suatu
tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang sering digunakan (misalnya sisir, arloji) dan
yang jarang ditemui atau digunakan (misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang masih
mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun
lamban dan tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau parafasia
pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan memberikan suku
kata pemula atau dengan menggunakan kalimat
penuntun. Misalnya: pisau. Kita dapat membantu dengan suku kata pi
Atau dengan kalimat: "kita memotong daging dengan ". Yang penting kita nilai ialah
sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama objek). Ada pula
pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya (sirkumlokusi) namun tidak
dapat menamainya. Misalnya bila ditunjukkan kunci ia mengatakan : "Anu ... itu...untuk masuk
rumah...kita putar".
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama
beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan
memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian bagian dari arloji (jarum
menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan: Objek yang
ada di ruangan: meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh: mata, hidung, gigi, ibu
jari, lutut
Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek: jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca
mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban atau
tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme dan apakah ada perseverasi.
Disamping menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama objek tersebut
dari antara beberapa nama objek.
Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami bahasa lisan.
Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada kesepakatan. Area bahasa
bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area Brodmann 44 merupakan area Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme glukosa pada
penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun demikian, pada hampir
semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya, didapat pula bukti adanya hipometabolisme
di daerah temporal kiri. Penelitian ini memberi kesan bahwa sistem bahasa sangat kompleks
secara anatomi-fisiologi, dan bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat kortikal dengan
tugas-tugas terbatas atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.
Pemeriksaan sistem bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan bagaimana pasien
berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi (mengulang) dan menamai (naming).
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain itu, perlu pula
diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan (kidal atau kandal).
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat
diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering aleksia,
dengan demikian pengetesan membaca dan menulis dapat dipersingkat. Namun demikian, pada
pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya,
karena aleksa atau agrafia atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).
Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat Sebelum menilai
bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan. Mula-
mula tanyakan kepadn p irsion apakah ia kandal (right handed) atau kidal. Banyak orang kidal
telah illnjarkan sejak kecil untuk menulis dengan tangan kanan. Dengan ilcmikian,
mengobservasi cara menulis saja tidak cukup untuk menentukan npakah seseorang kandal atau
kidal. Suruh pasien memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang pisau,
melempar bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang lainnya. Spektrum
penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan sedikit lebih kuat dari kiri; kiri
sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada individu yang kecenderungan kandal dan
kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)
Pemeriksaan berbicara - spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien berbicara
spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara spontan atau bercerita, kita dapat
memperoleh data yang sangat berharga mengenai kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak
kalah pentingnya dari tes-tes bahasa yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan berikut : Coba
ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba ceritakan mengenai pekerjaan anda
serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
1. Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu). Pada afasia sering ada gangguan ritme dan
irama (disprosodi).
2. Apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata
(parafasia, neologisme), dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai
pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia, yaitu parafasia
semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu
kata dengan kata yang lain misalnya: "kucing" dengan "anjing". Parafasia fonemik, ialah
mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi yang lain, misalnya bir dengan kir, balon dengan galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya sangat terbatas atau
hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa, ayaa, aaai, Hi".
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan bicaranya, namun bila ia
marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang disebabkan oleh
gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas yang dapat
dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa tes sederhana.
Pada semua pasien dengan afasia didapatkan juga gangguan membaca dan menulis
(aleksia dan agrafia)
Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit-banyak terganggu, yaitu bicara spontan,
mengulang (repetisi), namai (naming), pemahaman bahasa, membaca dan menulis.
Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan mengalami kesulitan atau
memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu gramatikanya miskin (sedikit) dan
menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi yang salah, serta terdapat perseverasi. Pasien
sadar akan kekurangan atau kelemahannya. Pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan kurang
terganggu dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis sering tidak
mungkin atau sangat terganggu, baik motorik menulis maupun isi tulisan.
Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak, cara mengucapkan baik dan
irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada, mem-formulasi dan menamai
sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti. Bahasa fisan dan tulisan tidak atau
kurang difahami, dan menulis secara motorik terpelihara, namun isi tulisan tak menentu. Pasien
tidak begitu sadar akan kekurangannya.
Afasia jenis yang disebutkan pertama disebut afasia Broca, atau afasia motorik atau afasia
ekspresif. Afasia jenis ke dua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau reseptif.
Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas bahasa. Pasien
sama sekali tidak bicara atau hanya bicara sepatah kata atau frasa, yang selalu
diulang-ulang, dengan artikulasi (pengucapan) dan irama yang buruk dan tidak bermakna.
Hal ini disebut afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa di sekitar fisura
sylvii.
Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama, sedangkan modalitas lainnya relatif
utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai sesuatu benda. Pada pasien demikian kita dengar
ungkapan seperti : "anu, itu, kau, kau tahu kan, ya anu itu". Afasia amnestik ini sering
merupakan sisa afasia yang hampir pulih, pada afasia yang tersebut terdahulu, namun dapat juga
dijumpai pada berbagai gangguan otak yang difus. Afasia amnestik mempunyai nilai lokalisasi
yang kecil.
Adakalanya digunakan kata afasia campuran. Sebetulnya kata ini kurang tepat, karena di klinik
semua jenis afasia adalah campuran, hanya bidang tertentu lebih menonjol atau lebih berat.
Berbagai tes wawabcara, membaca, menulis, menggambar, ataupun melakukan tugas-tugas
tertentu bias digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan otak, dan tinggal dicocokkan
dengan pemeriksaan CT-Scan pada otak. Pemeriksaan ini sangat penting untuk terapi dan
rehabilitasi pasien.
F. Asuhan Keperawatan
1. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan lesi area bicara otak (Afasia)
2. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan dasar-dasar terapi rehabilitasi
3. Harga diri rendah kronik yang berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat
kehilangan fungsi bicara
4. Kerusakan interaksi sosial yang berhubungan dengan gangguan bicara atau penurunan fungsi
KERUSAKAN KOMUNIKASI VERBAL
Data :
Mayor
Ketidakmampuan untuk mengucapkan kata-kata tetapi dapat mengerti orang lain atau
Minor
Napas Pendek
Yang Berhubungan Dengan Iskimea Dari Lobus Temporal Atau Trontal
Kriteria Hasil
Individu akan :
1. Memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk mengekspresikan diri
2. Mengungkapkan penurunan frustsi dengan komunikasi
Intervensi
1. Identifikasi metoda alternatif yang dapat digunakan orang tersebut untuk
mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan dasar.
2. Jangan ubah ucapan, intonasi, atau jenis pesan Anda, karena pada tingkat orang dewasa
3. Anjurkan Keluarga untuk membagi perasaan-perasaan mengenai masalah-masalah dalam
berkomunikasi
4. Untuk individu dengan hambatan bahasa
a. Berkomunikasi tanpa tergesa-gesa, cara yang halus. Sopan dan format
b. Berbicara dengan suara pelan, sedang,. Dengarkan dengan cermat; validasikan pemahaman
mutualisme
c. Gunaikan gerakan tubuh dan gambar-gambar
d. Pertahankan agar pesan tetap sederhana; jangan gunakan istilah medis atau teknis
e. Jika diperlukan interpreter
Klarifikasi bahasa apa yang digunakan di rumah
Upayakan untuk menggunakan jender dan usia yang sama dengan klien
Hindari interpreter dari Negara yang berlawanan, berbeda kebangsaan
Mintalah untuk menerjemahkan dengan kata yang tepat.
KURANG PENGETAHUAN
DATA :
Mayor
Mengungkapkan kurang pengetahuan atau keterampilan-keterampilan/permintaan informasi
Mengekspresikan suatu ketidakuratan persepsi status kesehatan melakukan dengan tidak tepat
perilaku kesehatan yang dianjurkan atau yang diinginkan
Minor
Memperlihatkan atau mengekspresikan perubahan psikologi (mis, ansietas, depresi)
mengakibatkan informasi atau kurang informasi
INTERVENSI :
Beri tahu tentang penatapelaksanaan terapi/rehabilitasi
HARGA DIRI RENDAH KRONIK
Mayor
Jangka panjang atau kronik:
Pengungkapan diri yang negative
Ekspresi rasa bersalah/malu
Evaluasi diri karena tidak dapat menangani kejadian
Menjauhi rasionalisasi/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik negative
mengenai diri
Ragu untuk mencoba hal-hal/situasi baru
Minor
Sering kurang berhasil dalam kerja atau kejadian hidup lainnya
Penyelesaian diri berlebihan, bergantung pada pendapat orang lain
Buruknya penampilan tubuh (Kontak mata, postur, gerakan)
Tidak asertif/pasif
Keragu-raguan
Mencari jaminan secara berlebihan
Yang berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat : Kehilangan fungsi tubuh
KRITERIA HASIL
Individu akan :
1. Memodifikasi harapan diri yang berlebihan dan tidak realistis
2. Mengungkapkan penerimaan keterbatasan
3. Mengidentifikasi aspek positif dari diri
Intervensi
1. Bantu individu untuk mengurangi tahapan ansietas yang ada
2. Tingkat perasaan individu terhadap diri
a. Penuh perhatian
b. Menghargai ruang pribadi individu
c. Pastikan interpretasi Anda terhadap apa yang dikatakan ataudialami (“Apakah ini yang anda
maksud?”)
3. Tidak membiarkan individu untuk mengisolasi diri
KERUSAKAN INTERAKSI SOSIAL
DATA :
Mayor
Melaporkan ketidakmampuan untuk menetapkan dan/atau mempertahankan hubungan suportif
yang stabil
Ketidakpuasan dengan jaringan sosial
Minor
Isolasi sosial
Hubungan superficial
Menyalahi orang lain untuk masalah-masalah interpersonal
Menghindari orang lain
Kesulitan Interpersonal di tempat kerja
Orang lain melaporkan tentang pola interaksi yang bermasalah
Perasaan teng\tang tidak dimengerti
Perasaan tentang penolakan
KRITERIA HASIL
Individu akan :
1. Menyatakan masalah dengan sosialisasi
2. Mengidentifikasi perilaku baru untuk meningkatkan sosilaisasi efektif
3. Melaporkan atau bermain peran terhadap penggunaan perilaku pengganti kontstruktif
Intervensi Generik
1. Berikan individu hubungan suportif
2. Bantu untuk mengidentifikasikan bagaimana stress dapat mencetuskan masalah
3. Dukung pertahanan kesehatan
4. Bantu untuk mengidentifikasi alternative tindakan
5. Bantu dalam menganalisa pendekatan yang berfungsi paling baik
6. Bermain peran situasi bermasalah. Diskusikan perasaan-perasaan
2.1 Definisi
Kanker nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring di rongga belakang
hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Kanker ini merupakan tumor ganas daerah
kepala dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas dan leher
merupakan kanker nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%),
laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.
Pada banyak kasus, nasofaring carsinoma banyak terdapat pada ras mongoloid yaitu penduduk
Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di daerah India. Ras
kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan
jenis kanker yang diturunkan secara genetik.
2.2 Etiologi
Terjadinya Ca Nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup
banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah:
1. Kerentanan Genetik
Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap Ca
Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena
agrregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gan HLA ( Human luekocyte antigen ) dan gen
pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca
Nasofaring, mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian
menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan , sehingga
lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit.
1. Virus EB
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen
kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ), antigen dini ( EA ), antigen nuklir ( EBNA ) ,
dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , alasannya adalah :
1. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB ( termasuk
VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer
geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker
lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer antibodi dapat
menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila
penyakitnya rekuren atau memburuk.
2. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan
EBNA.
3. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB,
ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti
juga banyak.
4. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan
karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.
1. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut
berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
1. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring ,
kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih
tinggi dari keluarga di area insiden rendah.
2. 2. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses
timbulnya kanker nasofaring .
3. 3. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan
kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin volatil
yang berefek mutagenik.
2.3 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
1. Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien datang
berobat dengan gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari rongga
hidung atau nasofaring , bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan permukaan
tumor , sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan epiktasis.
Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat timbul hemoragi nasal masif.
2. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini
disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior.
3. Tinitus dan pendengaran menurun: penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan
di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba eustaki, menyebabkan tekana
negatif di dalam kavum timpani , hingga terjadi otitis media transudatif . bagi pasien
dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan sementara.
Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa
penuh di dalam telinga.
4. Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal atau
oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf kranial atau os
basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh darah yang
menyebabkan sefalgia reflektif.
5. Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk ke superior ,
dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah alami kranial
masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk foramen sfenotik, apeks
petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus spongiosus ) membuat saraf kranial
III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot
mata ( temasuk paralisis saraf abduksi tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area
temporal akibat iritasi meningen ( sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa
saraf kranial II, disebut sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
6. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe
kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut
permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka pada
mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya perama
kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli posterior.
7. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati . metastasi
tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Manifestasi metastasis
tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat, lokasi tetap dan tidak berubah-
ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu terdapat perubahan
pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat membantu diagnosis. Metastasis hati ,
paru dapat sangat tersembunyi , kadang ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin
dengan rongsen thorax , pemeriksaan hati dengan CT atau USG
2.4 Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat
dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang
terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi
dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan
sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1
adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut
mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen
yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi
differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel
kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.
Penggolongan Ca Nasofaring :
1. T1 : Kanker terbatas di rongga nasofaring.
1. T2 : Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah
parafaring di anterior dari garis SO ( garis penghubung prosesus stiloideus dan
margo posterior garis tengah foramen magnum os oksipital ).
2. T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis
kranial, fosa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial
kelompok anterior atau posterior.
3. T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau
kanker mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.
4. N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .
5. N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter <4 cm,.
6. N2 : Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm .
7. N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter >7 cm
8. M0 : Tak ada metastasis jauh.
9. M1 : Ada metastasis jauh.
Penggolongan stadium klinis, antara lain :
1. Stadium I : T1N0M0
2. Stadium II : T2N0 – 1M0, T0 – 2N1M0
3. Stadium III : T3N0 - 2M0, T0 – 3N2M0
4. Stadium IVa : T4N0 – 3M0, T0 – 4N3M0
5. Stadium IVb :T apapun, N Apapun, M1
2.5 Pemeriksaan Diagnosis
Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut :
1. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.
Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral, limfadenopati
leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang tak jelas, dan keluhan lain
harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik.
1. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus aksesorius dan
arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.
1. Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai prosedur rutin satu
persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah kadang perlu
diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil yang positif
1. Pemeriksaan serologi virus EB
Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah VCA-IgA,
EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan dengan kadar dan
perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap
memilki resiko tinggi kanker nasofaring :
1. Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80
2. Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator
tersebut positif.
3. Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi
kontinyu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan nasofaringoskop
elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah perubahan serologi virus Eb
dapat menunjukkan reaksi positif 4 – 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.
1. Diagnosis pencitraan.
1. Pemeriksaan CT : makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis, memastikan
luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan zona target terapi,
merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaa
tingkat lanjut.
2. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat
serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari pada
CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi,
juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara
fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat .
3. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan
metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih
dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya
tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai area defek
radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun tidak spesifik .
maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat
penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang,
pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll.
4. PET ( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan biokimia molukelar
metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa dari zat
kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat
gambar PET-CT . itu memberikan informasi gambaran biologis bagi dokter klinisi,
membantu penentuan area target biologis kanker nasofaring , meningkatka akurasi
radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan
normal berkurang.
1. Diagnosis histologi
Pada pasien kanker nasofaringn sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer nasofaring
untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh diagnosis histologi yang
jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan diagnosis patologik pasti barulah
dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.
2.6 Penatalaksanaan
a. Radioterapi
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila ada infeksi
mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher (
benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran
dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik),
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
b. Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan kemoradioterapi
konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF ( DDP + 5FU ), kaboplatin
+5FU, paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan DDP gemsitabin , dll.
DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum kemoterapi , lakukan
hidrasi 3 hari )
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu intravena.
Ulangi setiap 21 hari atau:
Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.
5FU : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu. Ulangi setiap 21 hari.
c. Terapi Biologis
Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
d. Terapi Herbal TCM
Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi radiokemoterapi ,
fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) , kasus stadium lanjut tertentu yang
tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih dapat dipertimbangkan hanya diterapi
sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini
masih dalam penelitian lebih lanjut.
1. Terapi Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat bervariasi. Oleh
karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan memperbaiki kualitas hidupnya.
1. Rehabilitas Psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang untuk
disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi depresi.
1. Rehabilitas Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya merasakan kekuatan
fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi nutrisi ,
berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan meningkat secara
bertahap.
1. Pembedahan
Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
1. Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.
2. 3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring
1. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
2. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa
grade I, II, adenokarsinoma.
3. Komplikasi radiasi.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Identitas/ biodata klien
1. Nama
2. Tempat tanggal lahir
3. Umur
4. Jenis Kelamin
5. Agama
6. Warga Negara
7. Bahasa yang digunakan
Penanggung Jawab
1. Nama
2. Alamat
10. Hubungan dengan klien
b. Keluhan Utama
Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, badan merasa
lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
d. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
g. Keadaan Lingkungan
3.2 Observasi
3.2.1 Keadaan Umum
1. Suhu
2. Nadi
3. Tekanan Darah
4. RR
5. BB
6. Tinggi badan
3.2.2 Pemeriksaan Persistem
B1 (breathing) : RR meningkat, sesak nafas, produksi sekret meningkat.
B2 (blood) : normal
B3 (brain) : Pusing, nyeri, gangguan sensori
B4 (bladder) : Normal
B5 (bowel) : Disfgia, Nafsu makan turun, BB turun
B6 (bone) : Normal
3.3 Diagnosa
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
2. Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan gangguan status
organ sekunder metastase tumor
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang.
4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
5. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit, pengobatan
penyakit.
3.4 Intervensi
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
Tujuan : Rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil :
Mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri
Melaporkan penghilangan nyeri maksimal/kontrol dengan pengaruh minimal pada AKS
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi,
frekuensi, durasi
1. Informasi memberikan data dasar untuk
mengevaluasi kebutuhan/keefektivan
intervensi
2. Meningkatkan relaksasi dan membantu
1. Berikan tindakan kenyamanan dasar
(reposisi, gosok punggung) dan
aktivitas hiburan.
2. Dorong penggunaan ketrampilan
manajemen nyeri (teknik relaksasi,
visualisasi, bimbingan imajinasi)
musik, sentuhan terapeutik.
3. Evaluasi penghilangan nyeri atau
control
Kolaborasi
1. Berikan analgesik sesuai indikasi
misalnya Morfin, metadon atau
campuran narkotik
memfokuskan kembali perhatian
1. Memungkinkan pasien untuk
berpartisipasi secara aktif dan
meningkatkan rasa kontrol
1. Kontrol nyeri maksimum dengan
pengaruh minimum pada AKS
1. Nyeri adalah komplikasi sering dari
kanker, meskipun respon individual
berbeda. Saat perubahan penyakit atau
pengobatan terjadi, penilaian dosis dan
pemberian akan diperlukan
1. Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan gangguan status
organ sekunder metastase tumor
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi.
Kriteria Hasil: mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.
Intervensi Rasional
1. Tentukan ketajaman
pendengaran, apakah satu
atau dua telinga terlibat .
2. Orientasikan pasien terhadap
lingkungan.
3. Observasi tanda-tanda dan
gejala disorientasi.
1. Mengetahui perubahan dari hal-hal
yang merupakan kebiasaan pasien .
2. Lingkungan yang nyaman dapat
membantu meningkatkan proses
penyembuhan.
3. Mengetahui faktor penyebab
1. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil : 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.
2. Pasien mematuhi dietnya.
3. Kadar gula darah dalam batas normal.
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Intervensi Rasional
1. Kaji status nutrisi dan
kebiasaan makan.
1. Anjurkan pasien untuk
mematuhi diet yang telah
1. Untuk mengetahui tentang
keadaan dan kebutuhan nutrisi
pasien sehingga dapat
diberikan tindakan dan
pengaturan diet yang adekuat.
1. Kepatuhan terhadap diet
dapat mencegah komplikasi
terjadinya
hipoglikemia/hiperglikemia.
gangguan persepsi sensori yang lain
dialami dan dirasakan pasien.
diprogramkan.
1. Timbang berat badan setiap
seminggu sekali.
4. Identifikasi perubahan pola makan.
1. Mengetahui perkembangan
berat badan pasien (berat
badan merupakan salah satu
indikasi untuk menentukan
diet).
1. Mengetahui apakah pasien
telah melaksanakan program
diet yang ditetapkan.
1. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan
pasien/keluarga tentang
penyakit DM dan Ca.
Nasofaring
1. Untuk memberikan informasi
pada pasien/keluarga, perawat
perlu mengetahui sejauh mana
informasi atau pengetahuan yang
diketahui pasien/keluarga.
1. Kaji latar belakang pendidikan
pasien.
1. Jelaskan tentang proses
penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan pada pasien
dengan bahasa dan kata-kata
yang mudah dimengerti.
1. Jelasakan prosedur yang kan
dilakukan, manfaatnya bagi
pasien dan libatkan pasien
didalamnya.
1. gambar-gambar dalam
memberikan penjelasan (jika
ada / memungkinkan).
1. Agar perawat dapat memberikan
penjelasan dengan menggunakan
kata-kata dan kalimat yang dapat
dimengerti pasien sesuai tingkat
pendidikan pasien.
1. Agar informasi dapat diterima
dengan mudah dan tepat
sehingga tidak menimbulkan
kesalahpahaman.
4. Dengan penjelasdan yang ada dan
ikut secra langsung dalam tindakan yang
dilakukan, pasien akan lebih kooperatif
dan cemasnya berkurang.
1. Gambar-gambar dapat
membantu mengingat penjelasan
yang telah diberikan.
5.Harga diri Rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit, pengobatan
penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 3×24 jam klien menerima keadaan dirinya
Kriteria Hasil :
1) Menjaga postur yang terbuka
2) Menjaga kontak mata
3) Komunikasi terbuka
4) Menghormati orang lain
5) Secara seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan dalam kelompok
6) Menerima kritik yang konstruktif
7) Menggambarkan keberhasilan dalam kelompok social
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh
pasien.
Beri kesempatan pada pasien untuk
mengungkapkan rasa cemasnya.
1. Gunakan komunikasi terapeutik.
Beri informasi yang akurat tentang proses
penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta
dalam tindakan keperawatan.
Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat,
dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha
memberikan pertolongan yang terbaik dan
1. Untuk menentukan tingkat kecemasan
yang dialami pasien sehingga perawat
bisa memberikan intervensi yang cepat
dan tepat.
1. Dapat meringankan beban pikiran
pasien.
Agar terbina rasa saling percaya antar
perawat-pasien sehingga pasien kooperatif
dalam tindakan keperawatan.
Informasi yang akurat tentang penyakitnya
dan keikutsertaan pasien dalam melakukan
tindakan dapat mengurangi beban pikiran
pasien.
Sikap positif dari timkesehatan akan
membantu menurunkan kecemasan yang
seoptimal mungkin.
1. Berikan kesempatan pada keluarga untuk
mendampingi pasien secara bergantian.
1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan
nyaman.
dirasakan pasien.
1. Pasien akan merasa lebih tenang bila
ada anggota keluarga yang menunggu.
1. Lingkung yang tenang dan nyaman
dapat membantu mengurangi rasa
cemas
1.
ii.
DOWNLOAD : WOC KANKER NASOFARING
Askep Tinnitus
TINNITUS
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI
Tinnitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan mendengar bunyi tanpa
rangsangan bunyi dari luar. Keluhannya bisa berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis, atau
berbagai macam bunyi lainnya. Gejalanya bisa timbul terus menrus atau hilang timbul.(Putri
Amalia dalam artikel Gangguan Pendengaran ”Tinnitus”.FK Universitas Islam Indonesia)
Tinnitus merupakan gangguan pendengaran dengan keluhan selalu mendengar bunyi, namun
tanpa ada rangsangan bunyi dari luar. Sumber bunyi tersebut berasal dari tubuh penderita itu
sendiri, meski demikian tinnitus hanya merupakan gejala, bukan penyakit, sehingga harus di
ketahui penyebabnya.(dr. Antonius HW SpTHT dalam artikel Suara Keras Sebabkan Telinga
Mendenging . Indopos Online)
2. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya tinnitus sangat beragam, beberapa penyebabnya anatara lain:
a) Kotoran yang ada di lubang telinga, yang apabila sudah di bersihkan rasa berdenging akan
hilang
b) Infeksi telinga tengah dan telinga dalam
c) Gangguan darah
d) Tekanan darah yang tinggi atau rendah, dimana hal tersebut merangsang saraf pendengaran
e) Penyakit meniere‟s Syndrome, dimana tekanan cairan dalam rumah siput meningkat,
menyebabkan pendengaran menurun, vertigo, dan tinnitus
f) Keracunan obat
g) Penggunaan obat golongan aspirin ,dsb.
3. PATOFISIOLOGI
Menurut frekuensi getarannya, tinnitus terbagi menjadi dua macam, yaitu:
- Tinnitus Frekuensi rendah (low tone) seperti bergemuruh
- Tinnitus frekuensi tinggi (high tone)seperti berdenging
Tinnitus biasanya di hubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi karena
gangguan konduksi, yang biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika di sertai dengan
inflamasi, bunyi dengung akan terasa berdenyut (tinnitus pulsasi) dan biasanya terjadi pada
sumbatan liang telinga, tumor, otitis media, dll.
Pada tuli sensorineural, biasanya timbul tinnitus subjektif nada tinggi (4000Hz). Terjadi dalam
rongga telinga dalam ketika gelombang suara berenergi tinggi merambat melalui cairan telinga,
merangsang dan membunuh sel-sel rambut pendengaran maka telinga tidak dapat berespon lagi
terhadap frekuensi suara. Namun jika suara keras tersebut hanya merusak sel-sel rambut tadi
maka akan terjadi tinnitus, yaitu dengungan keras pada telinga yang di alami oleh
penerita.(penatalaksanaan penyakit dan kelainan THT edisi 2 thn 2000 hal 100). Susunan telinga
kita terdiri atas liang telinga, gendang telinga, tulang-tulang pendengaran, dan rumah siput.
Ketika terjadi bising dengan suara yang melebihi ambang batas, telinga dapat berdenging, suara
berdenging itu akibat rambut getar yang ada di dalam rumah siput tidak bisa berhenti bergetar.
Kemudian getaran itu di terima saraf pendengaran dan diteruskan ke otak yang merespon dengan
timbulnya denging.
Kepekaan setiap orang terhadap bising berbeda-beda, tetapi hampir setiap orang akan mengalami
ketulian jika telinganya mengalami bising dalam waktu yag cukup lama. Setiap bising yang
berkekuatan 85dB bisa menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu di Indonesia telah di tetapkan
nilai ambang batas yangn di perbolehkan dalam bidang industri yaitu sebesar 89dB untuk jangka
waktu maksimal 8 jam. Tetapi memang implementasinya belum merata. Makin tinggi paparan
bising, makin berkurang paparan waktu yang aman bagi telinga.
4. GEJALA
Pendengaran yang terganggu biasanya di tandai dengan mudah marah, pusing, mual dan mudah
lelah. Kemudian pada kasus tinnitus sendiri terdapat gejala berupa telinga berdenging yang dapat
terus menerus terjadi atau bahkan hilang timbul. Denging tersebut dapat terjadi sebagai tinnitus
bernada rendah atau tinggi. Sumber bunyi di ataranya berasal dari denyut nadi, otot-otot dala
rongga tellinga yang berkontraksi, dan juga akibat gangguan saraf pendengaran.
5. DIAGNOSIS
Tinnitus merupakan suatu gejala klinik penyakit telinga, sehingga untuk memberikan
pengobatannya perlu di tegakkan diagnosa yang tepat sesuai dengan penyebab, dan biasanya
memanng cukup sulit untuk di ketahui.
Untuk memastikan diagnosis perlu di tanyakan riwayat terjadinya kebisingan, perlu
pemerikasaan audio-metri nada murni (pure tone audiometry). Pada pemeriksaan nada murni
gamabaran khas berupa takik (notch) pada frekuensi 4kHz. Anamnesis merupakan hal utama dan
terpenting dalam menegakkan diagnosa tinnitus. Hal yang perlu di gali adalah seperti kualitas
dan kauantitas tinnitus, apakah ada gejala lain yangmenyertai, seperti vertigo, gangguan
pendengaran, atau gejala neurologik. Pemeriksaan fisik THT dan otoskopi harus secara rutin di
lakukan, dan juga pemeriksaan penala, audiometri nada murni, audiometri tutur, dan bila perlu
lakkukan ENG.
6. PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap tinnitus adalah sebagai berikut:
a. Hindari suara-suara yang bising, jangan terlalu sering mendengarkan suara bising(misalnya
diskotik, konser musik, walkman, loudspeaker, telpon genggam)
b. Batasi pemakaian walkman, jangan mendengar dengan volume amat maksimal
c. Gunakan pelindung telinga jika berada di tempat bising.
d. Makanlah makanan yang sehat dan rendah garam
e. Minumlah vitamin yang berguna bagi saraf untuk melakukan perbaikan, seperti ginkogiloba,
vit A dan E
f. Lain-lain
7. PENGOBATAN
Pada umumnya pengobatan gejala tinnitus dibagi dalam 4 cara, yaitu :1. Elektrofisiologik, yaitu
memberi stimulus elektroakustik (rangsangan bunyi) dengan intensitas suara yang lebih keras
dari tinnitusnya, dapat dengan alat bantu dengar atau tinnitus masker.2. Psikologik, yaitu dengan
memberikan konsultasi psikologik untuk meyakinkan pasien bahwa penyakitnya
tidakmembahayakan dan bisa disembuhkan, serta mengajarkan relaksasi dengan bunyi yang
harus didengarnya setiap saat.3. Terapi medikametosa, sampai saat ini belum ada kesepakatan
yang jelas diantaranya untuk meningkatkan aliran darah koklea, transquilizer, antidepresan
sedatif, neurotonik, vitamin dan mineral.4. Tindakan bedah, dilakukan pada tumor akustik
neuroma. Namun, sedapat mungkin tindakan ini menjadi pilihan terakhir, apabila gangguan
denging yang diderita benar-benar parah.
(http://www.radarlampung.co.id/edisi_minggu/keluarga/denging,_efek_listrik_tubuh.radar)
Pasien juga di berikan obat penenang atau obat tidur, untuk membantu memenuhi kebutuhan
istirahat, karena penderita tinnitus biasanya tidurnya sangat terganggu oleh tinnitus itu sendiri,
sehingga perlu di tangani, juga perlu di jelaskan bahwa gangguat tersebut sulit di tanangi,
sehingga pasien di anjurkan untuk beradaptasi dengan keadaan tersebut, karena penggunaan obat
penenang juga tidak terlalu baik dan hanya dapat di gunakan dalam waktu singkat.
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a) Aktivitas
- Gangguan keseimbangan tubuh
- Mudah lelah
b) Sirkulasi
- Hipotensi , hipertensi, pucat (menandakan adanya stres)
c) Nutrisi
- Mual
d) Sistem pendengaran
- Adanya suara abnormal(dengung)
e) Pola istirahat
- Gangguan tidur/ Kesulitan tidur
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
a) Cemas b/d kurangnya informasi tentang gangguan pendengaran (tinnitus)
Tujuan/kriteria hasil:
- Tidak terjadi kecemasan, pengetahuan klien terhadap penyakit meningkat
Intervensi:
- Kaji tingkat kecemasan / rasa takut
- Kaji tingkat pengetahuan klien tentang gangguan yang di alaminya
- Berikan penyuluhan tentang tinnitus
- Yakinkan klien bahwa penyakitnya dapat di sembuhkan
- Anjurkan klien untuk rileks, dan menghindari stress
b) Gangguan istirahat dan tidur b/d gangguan pendengaran
Tujuan /kriteria hasil:
Gangguan tidur dapat teratasi atau teradaptasi
Intervensi:
- Kaji tingkat kesulitan tidur
- Kolaborasi dalam pemberian obat penenang/ obat tidur
- Anjurkan klien untuk beradaptasi dengan gangguan tersebut
c) Resiko kerusakan interaksi sosial b/d hambatan komunikasi
Tujuan/kriteria hasil:
Resiko kerusakan interaksi sosial dapat di minimalkan
Intervensi:
- Kaji kesulitan mendengar
- Kaji seberapa parah gangguan pendengaran yang di alami klien
- Jika mungkin bantu klien memahami komunikasi nonverbal
- Anjurkan klien menggunakan alat bantu dengar setiap di perlukan jika tersedia