137276664 Refrat Sle Pada Kehamilan

23
1 | SLE Pada Kehamilan BAB I PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi 1 . SLE merupakan prototipe dari penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri. 2 Karakteristik primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir semua organ, namun paling sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal. 2,3 Kehamilan pada ibu dengan penyakit Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) sangat berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu serta janin. Resiko kematian ibu hamil yang menderita SLE memiliki dampak 20 kali lebih tinggi karena komplikasi yang disebabkan oleh preeklamsi, trombosis, infeksi dan kelainan darah.

description

nih

Transcript of 137276664 Refrat Sle Pada Kehamilan

1 | S L E P a d a K e h a m i l a n

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang multisistem

yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan

fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi1. SLE merupakan prototipe dari

penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya

sendiri.2 Karakteristik primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum

berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir semua organ, namun paling

sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.2,3

Kehamilan pada ibu dengan penyakit Sistemik Lupus Erithematosus (SLE)

sangat berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu serta janin. Resiko

kematian ibu hamil yang menderita SLE memiliki dampak 20 kali lebih tinggi

karena komplikasi yang disebabkan oleh preeklamsi, trombosis, infeksi dan kelainan

darah.

2 | S L E P a d a K e h a m i l a n

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian SLE

Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit reaksi

autoimun. Penyakit autoimun ini bersifat kronis dan multi sistem yang disebabkan

oleh pengendapan kompleks imun dengan manifestasi klinik yang beragam pada

beberapa organ tubuh. Antibodi yang seharusnya melindungi tubuh terhadap

berbagai antigen asing yang mengakibatkan gangguan pada tubuh malah merusak

organ tubuh itu sendiri. Beberapa organ tubuh yang terkena diantaranya kulit,

sistem syaraf, darah, muskuloskeletal, ginjal, jantung, paru dan bahkan bisa

menyebabkan terjadinya kelumpuhan.4

B. Epidemiologi

Diperkiranan penderita SLE mencapai 5 juta orang diseluruh dunia.

Prevalensi SLE di India sangat kecil ditemukan 3 kasus per 100.000 populasi yang

dilaporkan. Kejadian SLE di UK dilaporkan 49,6 kasus per 100.000 populasi.

Data tahun 2005 di Indonesia angka kejadian penderita SLE di RSU Dr. Soetomo

Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini

menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back

pain. Penderita SLE di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada bulan Januari sampai

dengan Agustus 2006 ada 14 orang dan 1 orang meninggal dunia. Data penderita

SLE di Indonesia pada pertengahan tahun 2010 meningkat sebanyak 10.314 kasus

dan angka ini terus meningkat pesat. Sebanyak 8 dari 10 kasus baru yang muncul

3 | S L E P a d a K e h a m i l a n

terjadi pada wanita usia 15-60 tahun). Tingginya kasus SLE ini merupakan salah

satu hal yang harus diwaspadai karena banyak faktor merugikan yang

mempengaruhi fungsi tubuh akibat gangguan sistem autoimun.

Penyakit SLE menyerang hampir pada 90% wanita yang terjadi pada rentang

usia reproduksi antara usia 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki-laki adalah 5 :

1.5

C. Eiologi dan Patofisiologi Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun

diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun, kelainan

genetik, faktor lingkungan, obat-obatan 3

1. Autoimun

Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks dimana

sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T menganggap sel

tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh.

Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan

antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika

antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B

menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6,

memegang peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi

oleh sel B. 3

Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi

spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe ANA,

yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting

pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE.

3 Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar

dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE terganggu yaitu berupa

gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks

imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga

4 | S L E P a d a K e h a m i l a n

menyebabkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan

menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya

menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang

menyebabkan keluhan pada organ yang bersangkutan. 1

Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi

ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel. Antifosfolipid

meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin berperan dalam

penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung darah. 3

Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi

antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri

sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal,

namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan

gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia,

kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan.

Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan

autoimun lainnya.

2. Genetik

Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi

penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita

SLE. 1 Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi

klinik yang berbeda) 4 sedangkan non-identik 2-9%.1 Jika seorang ibu menderita

SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang sama

adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan adanya

peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan

haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q ,

C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti. 1

Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur

apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa

5 | S L E P a d a K e h a m i l a n

terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya

kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal. 3

3. Faktor Lingkungan

Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun

pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan,

stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan. 3

Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah

virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-Barr,

cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain menyebutkan

adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya cytomegalovirus

yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan fenomena Raynaud

(kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal. 3

Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu

tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di

bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing

dan memberikan respon autoimun. 3

Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan

tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini

adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan

gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan

manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium.

Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan

menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin

berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki

hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki

level androgen yang abnormal.3 Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon

prolaktin dapat merangsang respon imun. 1

6 | S L E P a d a K e h a m i l a n

D. Manifestasi Klinis

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset penyakit

dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi.

1. Sistemik

Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti

demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan

iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

2. Muskulosketal Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia dan biasanya

mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi

yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya

tanpa deformitas4, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang ditemukan.

Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan

miositis. 1 Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP) dan

metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut.

3. Hematologi Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia, antikoasalan lupus.

4. Gejala mukokutan Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk

kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi. Pada bagian

tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena

hipersensitivitas.

Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan

atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh

7 | S L E P a d a K e h a m i l a n

sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan

terbentuk sikatriks. 1

Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan

ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau

vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan

pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari.3 Alopesia dapat pulih kembali

jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak

dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan

setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. 1

5. Sistem saraf Disfungsi mental ringan merupakan gejala yang paling umum, namun dapat

pula mengenai setiap daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala

yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome, dan sakit

kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf dan mielin.

Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan

dan konsentrasi ringan.

6. Kardiopulminal Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi

perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa.3 Keadaan tersebut dapat

menimbulkan nyeri dan arithmia.

Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis

lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti infeksi,

virus jamur, tuberkulosis.1 Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam.

Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan

pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut.

8 | S L E P a d a K e h a m i l a n

7. G i n j a l Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan

komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas

terjadinya kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan pengikatan

DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler. Dengan mikroskop

elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin di daerah mesangeal,

subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin yang paling sering

tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak IgG, IgA, IgM, C3, C4

dan  C1q  pada  glomerulus  yang  sama  (pola  “full house“).2

8. Saluran pencernaan Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk

nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare.3 Radang traktus

intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut,

muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan

pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal. 3

9. Mata Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke

retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya perdarahan

retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada retina. Sekitar

5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tiba-tiba.3 Kelainan

lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis

dan adanya badan sitoid di retina. 1

10. Kehamilan

Abortus berulang, preeklamsia dan kematian janin

9 | S L E P a d a K e h a m i l a n

Tabel 1.1 Persentase spektrum klinis SLE6

Sistem Organ Manifestasi Klinik %

Sistemik Lemah, demam, anoreksia, penurunan berat badan 95

Muskuloskeletal Artralgia, mialgia, poliartritis, miopati 95

Hamatologi Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia,

antikoasalan lupus.

85

Kulit Ras kupu-kupu, ruam kulit, fotosensivitas, ulkus mulut,

hopesia, ras kulit

80

Neurologik Disfungsi kongenital, gangguan berpikir, sakit kepala,

kejang

60

Kardiopulmonal Pleuritis, perikarditis, miokarditis, endokarditis Libman-

Sacks

60

Ginjal Proteinuria, sindroma nefrotik, gagal ginjal 60

Gastrointestinal Anoreksia, mual, nyeri, diare 45

Mata Infeksi konjungtiva 15

Kehamilan Abortus berulang, preeklamsia, kematian janin 30

E. Diagnosis

Tabel 1.2 Kriteria Diagnosis SLE menurut American College of Rheumatology, revisi tahun 1997.6

Kriteria untuk Kelainan Kulit

1. Ruam Malar (butterfly rash) Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar

dan cenderung tidak melibatkan lipatNasolabial

2. Ruam/ lesi discoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan

folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukanparut atrofik

3. Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar

matahari, baik dari anamnesis pasien atauyang dilihat oleh

dokter pemeriksa

10 | S L E P a d a K e h a m i l a n

4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat

oleh dokter pemeriksa

Kriteria Sistemik

5. Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,

ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusi

6. Serositis, yaitu Pleuritis

Perikarditis

Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang

didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi

pleura.Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction

rub atau terdapat bukti efusiperikardium.

7. Gangguan renal a.. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak

dilakukan pemeriksaan kuantitatifatau

b. Silinder seluler : – dapat berupa silinder eritrosit,

hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

8. Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau

gangguan metabolik ( misalnya uremia, ketoasidosis, atau

ketidak-seimbangan elektrolit).atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau

gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau

ketidak-seimbangan elektrolit).

Kriteria Laboratorium

9. Kelainan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosisatau

b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau

lebih atau

c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau

lebih atau

d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh

obat-obatan

10. Kelainan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang

abnormal atau

b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm

atau

c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang

didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin

abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif

menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes serologi positif

11 | S L E P a d a K e h a m i l a n

palsu terhadap sifilis paling tidak selama 6 bulan dan

dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau

tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.

11. Antibodi antinuklearpositif

(ANA)

Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan

pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada

setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat

yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang

diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas

85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA

positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan

klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya

tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan

observasi jangka panjang diperlukan. 6

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus

Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil

pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan adanya anemia hemolitik,

trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate

(ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG

mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat.

Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya

proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme

granular atau sel darah merah pada urin. 7

b. Pemeriksaan Autoantibodi.

Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai

proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya

terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya SLE,

12 | S L E P a d a K e h a m i l a n

Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi

termasuk autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan

diagnosis maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.

Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang

mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula

halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan

terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper

dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan

atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide

terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan

sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan

mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan

ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya

usia seseorang.

Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh

karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses

patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun

dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi.

Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian

penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi

baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik

autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.7

c. Antibodi Antinuklear.

Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang

spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective

tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease

(MCTD) dan   sindrom   sjogren’s   primer.   ANA   pertama   kali   ditemukan   oleh  

Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita LES. Dengan

perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang

baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B.

ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA

digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.

13 | S L E P a d a K e h a m i l a n

Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan

yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita

skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun. 7

F. Penatalaksanaan LES secara umum. Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam

penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal

ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan

membentuk kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan

masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitivitas

sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh

sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung

sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang

hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela.

Selain itu, penderita LES juga harus menghindari rokok. 1

Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu

diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada

penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,

penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.

Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan

menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.

Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita

dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan

kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid.

Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan 23

14 | S L E P a d a K e h a m i l a n

memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas

penyakit harus lebih ketat selama kehamilan. 1

Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah

penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang

agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak

berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila

penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka

dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi

dan imunosupresan lainnya. 1

G. SLE Pada Kehamilan

1. Pengaruh Kehamilan terhadap SLE

Masih belum dapat dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan SLE,

eksaserbasi SLE pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi SLE

Keterlibatan organ organ vital seperti ginjal. Penderita LES yang telah

mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai risiko 25%

eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilannya baik. Tetapi

sebaliknya bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka

risiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi 50% dengan luaran

kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat SLE sedang aktif

maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi

10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan maka risiko eksaserbasi juga

meningkat, yaitu 13% pada trimeseter I, 14% pada trimester II, 53% pada

trimester III serta 23% pada masa nifas.6

15 | S L E P a d a K e h a m i l a n

2. Pengaruh LES terhadap Kehamilan

Nasib kehamilan penderita LES sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya,

konsepsi yang terjadi pada saat remisi mempunyai luaran kehamilan yang

baik. Beberapa komplikasi kehamilan yang biasa terjadi pada kehamilan

yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal,

bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin menjadi

50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 30-50% kehamilan dengan

LES yang sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin. Infark

plasenta yang terjadi pada penderita LES dapat menigkatkan risiko

terjadinya Pertumbuhan janin Terhambat sekitar 25% demikian juga risiko

terjkadinya preeklamsia . eklamsia meningkat sekitar 25-30% pada penderita

LES yang disertai lupus nepritis kejadian preeklamsia menjadi 2 kali lipat.

Membedakan preeklamsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya

mengalami hipertensi, protenuria, edema dan perburukan fungsi ginjal.

Kriteria dibawah ini dapat dipakai untuk membedakan kedua keadaan

diatas.6

Tabel 1.3. Perbedaan preeklamsia dengan eksaserbasi lupus renal. 6

Preeklamsia Gagal Gijall Kadar C3/C4

Kadar Anti-dsDNA

Sedimen urin

Respon terhadap steroid

Membaik

Tidak ada perubahan

Ringan

Memburuk

Menurun

Meningkat

Aktif

Membaik

3. Sindroma Lupus Eritematosus Neonatal (LEN) LEN, merupakan komplikasi kehamilan dengan LES yang mengenai janin

dimana sindroma tersebut terdiri dari, blok jantung kongenital, lesi kutaneus

sesaat, sitopenia, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya

pada neonatus yang lahir dari seorang ibu yang menderita LES pada saat

16 | S L E P a d a K e h a m i l a n

hamil. Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research Registry for

Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :

a. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La

pada serum ibu.

b. Adanya blok jantung atau ras pada kulit neonatus.11

Kelainan konduksi jantung/blok jantung congenital ditemukan 1 diantara 20

000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti

SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka

risiko bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai

20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan

distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita. Patogenesis blok jantung

congenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro dan Anti

SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini

adalah adanya transfer antibody melalui plasenta yang terjadi pada trimester

ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem

konduksi jantung janin. Sekali terjadi transfer antibodi ini maka kelainan

yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha

untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti pemberian

kortiokosteroid, gammaglobulin intravenous atau plasmaparesis telah gagal

mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu

pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita

LES dan ingin hamil. 6

4. Kapan Seorang SLE bisa hamil

Disarankan bagi wanita dengan penyakit SLE sebaiknya

merencanakan kehamilan bila kondisinya sudah stabil, dan sebaiknya

menunda kehamilan hingga penyakit SLE telah mencapai masa remisi

selama minimal 6 bulan sebelum konsepsi untuk mencegah resiko terjadinya

dampak yang buruk terhadap ibu dan janin.6

17 | S L E P a d a K e h a m i l a n

Penderita SLE yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan

sebelumnya mempunyai resiko 25% terjadinya eksaserbasi pada saat hamil

dan 90% kehamilannnya baik. Tetapi bila masa remisi SLE sebelum hamil

kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi

50 %. Akibatnya terjadi komplikasi selama kehamilan baik pada ibu maupun

janin dengan prognosis yang jelek. Dampak terhadap ibu yaitu meningkatnya

resiko preeklamsi dan eklamsi dengan prediktor diantaranya nefritis dan

tingginya skor Systemic Lupus Erythmatosus Disease Activity Index

(SLEDAI). Dampak buruk pada janin berakibat resiko kelahiran prematur,

kelainan pertumbuhan janin dan kematian janin dan syndrom neonatal lupus.

5. Prenatal care

Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa

memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah lengkap,

panel elktrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti DNA, anti

bodi anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti SSA/R0 dan Anti

SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap trimester, apabila

antti SSA/Ro dan Anti SSB/La positif maka dilakukan pemeriksaan

ekokardiograpi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu untuk mendeteksi

adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan adanya blok jantung janin

kongenital maka diberikan dexametason 4 mg per-oral/hari selama 6

minggu/sampai gejala menghilang kemudian dosis diturunkan sampai lahir. 8

6. Penatalaksanaan Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan

kehamilan yaitu : a. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES

18 | S L E P a d a K e h a m i l a n

b. Plasenta dan janin dapat menjadi target dari otoantibodib maternal

sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya

Lupus Eritematosus Neonatal.6

Pada umumnya penderita LES mengalami fotosensitifitas, sehingga

disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Mereka

disarankan untuk menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan

panjang, topi atau payung bila akan berjalan dibawah sinar matahari. Karena

infeksi mudah terjadi maka penderita juga dinasehatkan agar memeriksakan

diri bila mengalami demam. Pada penderita yang akan menjalani prosedur

infasif diberikan antibiotika profilaksis. Modalitas utama pengobatan LES

adalah pemberian kortikosteroid,antiinflamasi nonsteroid, aspirin,

antimalaria, dan Imunosupresan.6

Pemberian kortikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada

kehamilan dengan LES karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita

LES yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid

jangka panjang seperti prednisone dan prednisolon, hidrokortison pada

kehamilan umunya aman, karena glukokortikoid itu segera akan mengalami

inaktivasi oleh enzim 11-beta-hidroksidehidrogenase menjadi metabolic 11-

keto yang inaktif, sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat

memasuki janin. Pada manifestasi klinik LES yang ringan, umumnya diberi

prednisone oral dalam dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada

manifestasi klinis yang berat diberikan prednisolon dosis 1 mg – 1,5

mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau15

mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti

glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak memberikan

respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu,

harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap, 5-10% setiap

minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul eksaserbasi dosis

dikembalikan seperti dosis sebelumnya.

Pemakaian glukokortikoid yang berkepanjangan pada waktu

hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan janin yang

19 | S L E P a d a K e h a m i l a n

terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional, hipertensi, dan

osteoporosis. 6

Imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak responsive

terhadap terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofostamid diberikan

bolus intravena 0,5 g/m2 body surface dalam 150 cc NaCl 0,9 selama 60

menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Indikasi peberian

Siklofosfamid adalah sebagai berikut :

a. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi

b. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.

c. Penderita LES yang kambuh setelah terapi steroid jangka

panjang/berulang

d. Glomerulonefritis difus awal

e. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.

f. Penurunan laju fitrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa

disertai denganfaktor ekstra renal lainnya.

g. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat

Pemberian siklofosfamid pada perempuan hamil tersebut tidak

dianjurkan secara rutin kecuali benar-benar atas indikasi yang kuat dan dalam

keadaan dimana keselamatan ibu merupakan hala yang utama. Dilaporkan

bahwa pemakaian siklofosfamid dalam waktu yang lama dapat menyebabkan

kegagalan ovarium premature dan kelainan bawaan pada janin.6

Obat imunosupresan lainnya yang cukup aman diberikan pada

perempuan hamil adalah azatioprin dan siklosporin.

Untuk mengantisispasi kemungkinan terjadinya eksaserbasi pada saat

persalinan atau pembedahan, sebaiknya penderita dipayungi dengan metal

prednisolon dosis tinggi sampai 48 jam pascapersalinan, setelah itu dosis obat

diturunkan.

Hampir semua obat untuk penderita LES diekskresikan bersama air

susu dalam jumlah yang bervariasi antara 0,1%-2% dosis obat, kecuali

Imunosupresan yang dikontraindikasikan untuk ibu menyusui. Pemberian

aspirin dalam dosis besar (>3 gr/hari) berhubungan dengan peningkatan

kejadian kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan. Dosis tinggi

20 | S L E P a d a K e h a m i l a n

salisilat juga dilaporkan telah menyebabkan oligohidramnion, penutupan

prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus.

Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum

persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan LES dan

sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.6

7. Pemilihan kontarsepsi pasca persalinan Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang sangat

penting dalam penanganan penderita LES pasca persalinan. Kadar estrogen

dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapat mencetuskan

LES. Risiko tromboemboli pada penderita LES yang memakai kontrasepsi

oral juga meningkat terutama apabila aPLnya positif. Kontrasepsi oral yang

hanya mengandung progestogen dan depot progestogen merupakan alternatif

yang lebih aman untuk penderita LES pasca persalinan. Pemakaian alat

kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang baik karena dapat meningkatkan

risko infeksi terutama pada penderita yang memakai imunosupresan yang

lama.6

8. Prognosis Prognosa ibu hamil yang menderita SLE ditentukan pada saat

konsepsi, bila konsepsi terjadi pada masa remisi maka prognosanya akan

lebih baik. bila dalam waktu kurang dari 6 bulan sebelum konsepsi terdapat

riwayat nefritis dan penyakit SLE aktif dengan skor SLEDAI 4 atau lebih

akan beresiko berdampak buruk terhadap janin. Penderita SLE yang telah

mengalami masa remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai resiko

25% eksaserbasi pada masa hamil dibandingkan dengan bila masa remisi

SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi SLE pada

saat hamil menjadi 50% dengan dampak kehamilan yang buruk.

Hal ini menunjukan bahwa kehamilan pada penderita SLE

sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat

21 | S L E P a d a K e h a m i l a n

remisi mempunyai dampak kehamilan yang baik dibandingkan dengan

sebelum mencapai remisi. Dengan penyakit yang stabil atau menderita flare

yang relatif jarang atau hanya sedikit dalam kehamilan akan melahirkan bayi

yang sehat.7

22 | S L E P a d a K e h a m i l a n

BAB III PENUTUP

Kehamilan pada ibu dengan penyakit Sistemik Lupus Erithematosus (SLE)

sangat berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu serta janin. Resiko

kematian ibu hamil yang menderita SLE memiliki dampak 20 kali lebih tinggi

karena komplikasi yang disebabkan oleh preeklamsi, trombosis, infeksi dan kelainan

darah.

Disarankan bagi wanita dengan penyakit SLE sebaiknya merencanakan

kehamilan bila kondisinya sudah stabil, dan sebaiknya menunda kehamilan hingga

penyakit SLE telah mencapai masa remisi selama minimal 6 bulan sebelum konsepsi

untuk mencegah resiko terjadinya dampak yang buruk terhadap ibu dan janin. 7

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di Indonesia terkait dengan SLE

dalam kehamilan, sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian dalam

memberikan penatalaksanaan yang tepat seperti deteksi dini kehamilan dengan

penyakit SLE, konseling sebelum kehamilan, perawatan antenatal, perawatan dan

pemantauan selama kehamilan dan masa post partum terkait dengan upaya

menurunkan kematian perinatal 7

23 | S L E P a d a K e h a m i l a n

DAFTAR PUSTAKA

1. Albar Z. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Noer MS, editor kepala. Ilmu

penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. h: 150-9.

2. Rubin E, editor. In: Essential pathology: Lupus eritematosus sistemik. 3th

edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2001. p: 86-8,468-

9,650.

3. Simon H, editor-in-chief. Sistemic Lupus Erythematosus. 2000 March.

Available from:http://wellness.ucdavis.edu/medical_conditions_az/sistemic

lupus63.html. Accessed: 2004 September 17.

4. Varghese stephy, Crocker Ian, Bruce N Ian & Tower Clare. 2011. Systemic

Lupus Erythematosus, Regulatory T Cells and Pregnancy. From

www.expert-reviews.com/toc/eci/7/5. Diunduh tanggal 10 Februari 2012.

5. Kusuma Jaya Ngurah Agung. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik Pada

Kehamilan. dipublikasikan dalam Jurnal Penyakit Dalam 2011. Diunduh

tanggal 21 Maret 2012.

6. Dkdkd

7. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S, Stankovic

A. The significance of cytokines in diagnosis of autoimmune diseases.

Jugoslov Med Biohem 2006;25:363-372.

8. Branch WD, Porter TF, autoimune disease. In: DK james, PJ Steer, CP

Wefer, B Gonk, editor.High risk pregnancy, management options. Second

edition.London, W.b saunders.1999. p : 853-864.