1359992811-MakalahBiofarmasi

26
“BIOAVAILABILITAS OBAT” Disusun Oleh : Damayanti Kemit (21083099) Yulianti Sabatina (21083097) Erika Siringo-ringo (21083100) Arni Flora S (21091131) Intan Ginting (21092191) 1

Transcript of 1359992811-MakalahBiofarmasi

Page 1: 1359992811-MakalahBiofarmasi

“BIOAVAILABILITAS OBAT”

Disusun Oleh :

Damayanti Kemit (21083099)

Yulianti Sabatina (21083097)

Erika Siringo-ringo (21083100)

Arni Flora S (21091131)

Intan Ginting (21092191)

Jln. Soekarno-Hatta No.754 Cibiru- Bandung

2012

1

Page 2: 1359992811-MakalahBiofarmasi

Halaman

DAFTAR ISI ............................................ 2

BAB I PENDAHULUAN.................................... 3

I.1 Latar belakang

I.2 Tujuan penetapan bioavabilitas............ 5

I.3 Jenis penelitian bioavabilitas obat........ 5

I.4 Pelaksanaan penelitian bioavabilitas obat...... 6

I.5 Obat-obat yang perlu bioavabilitas................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................... 8

II.1 Uji bioavabilitas dan uji invitro

II.2 Simitidine...................... 9

II.3 Metode penelitian........... 11

II.4 Hasil penelitian.............. 13

BAB III PEMBAHASAN.................................... 16

BAB IV PENUTUP.......................................... 18

Kesimpulan

Saran

DAFTAR PUSTAKA............................................. 19

2

Page 3: 1359992811-MakalahBiofarmasi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu

pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertama

kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah

bioavailabilitas. Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960 istilah

bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh semakin

banyaknya produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya keluhan

dari pasien dan dokter di man obat yang sama memberikan efek terapeutik yang berbeda,

kemudian dengan adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang

tertulis dalam resep dengan obat merek lainnya. Penggunaan obat generik untuk terapi suatu

penyakit sering dipertanyakan dalam hal mutu. Hal ini karena harga obat generic relatif lebih

murah sekitar 24-67 % dibandingkan dengan harga obat dagang. Sehingga muncul anggapan

bahwa mutu obat generic lebih rendah dibandingkan obat paten.

Sedangkan penggunaan obat generik dapat meringankan beban masyarakat mengingat

harga relatif murah, sehingga efisiensi dan pemerataan layanan kesehatan masyarakat

meningkat. Dua hal tersebut menimbulkan dilemma tersendiri dalam masyarakat, di satu sisi

masyarakat memerlukan pelayanan kesehatan yang terjangkau secara ekonomi, di sisi lain

masyarakat kurang percaya akan mutu obat generik.Salah satu obat yang terdapat dalam

sediaan generik maupun sediaan paten, ialah cimetidine. Cimetidine merupakan antihistamin

penghambat reseptor H2 (AH2) yang digunakan untuk pengobatan tukak lambung, tukak

preptikum duodenal, esofagitis erosif. Proses kerja cimetidine adalah menghambat sekresi

cairan lambung.2-7 Seperti halnya obat generik lain penggunaan obat cimetidine generik juga

diragukan kemanjurannya untuk terapi penyakit.Untuk mengetahui perbandingan kualitas obat

sediaan generik dengan sediaan paten perlu diketahui bioekuivalensi antara dua sediaan

tersebut. Masing-masing sediaan diukur bioavailabilitasnya. Perbandingan bioavailabilitas ini

disebut bioekivalansi obat. Dasar untuk menentukan bioavailabilitas suatu obat terlebih dahulu

harus diketahui profil disolusinya.

3

Page 4: 1359992811-MakalahBiofarmasi

Disolusi tablet ialah jumlah atau persen zat aktif dari sediaan padat yang larut pada

waktu tertentu dalam kondisi baku. Kondisi yang dimaksud misalnya, dalam suhu, kecepatan,

pengadukan, dan komposisi media tertentu. Uji disolusi merupakan suatu metode fisika kimia

yang penting sebagai parameter dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan

obat yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan melarut zat aktif dari

sediaannya.1,2 Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in vitro, karena hasil uji

disolusiberkorelasi dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh.Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui perbandingan bioavailabilitas (bioekivalensi) Cimetidine sediaan generik berlogo

dan sediaan paten secara in vitro.

Pengertian bioavalabilitas

Bioavailabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan jumlah obat dalam

persen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk aktif/utuh. Sedangkan

bioekuivalensi atau kesetaraan biologis dapat diartikan sebagai kesetaraan kadar/jumlah obat

bentuk aktif dalam darah dan jaringan antara satu sediaan obat dengan sediaan obat lain yang

memiliki zat berkhasiat sama. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia tetapi tidak

berekuivalensi biologik dikatakan bioinekuivalensi. Perbedaan bioavailabilitas sampai dengan

10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan yang berarti dalam efek kliniknya artinya

memperlihatkan ekuivalensi terapi. Jadi obat yang memiliki ekuivalensi biologis atau

bioekuivalensi (BE) dengan obat inovatornya (obat pendahulu, dan dijadikan referensi untuk

sediaan-sediaan obat yang diproduksi berikutnya oleh perusahaan farmasi lain) dapat diklaim

sebagai obat yang memiliki kualitas setara dengan obat innovator.

Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang

bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas

adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat

yang perlu dipertimbangkan, yaitu :

1) kecepatan absorpsi obat

2) jumlah obat yang diabsorpsi

4

Page 5: 1359992811-MakalahBiofarmasi

Ke dua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan

dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimana

seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang

relative lebih sesuai dengan kedua faktor di atas adalah:

Definisi 1: Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan

jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam

sirkulasi sistemik.

Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan

jumlah obat tersebut yang diabsorpsi.

I.2 TUJUAN PENETAPAN BIOAVAILABILITAS

Dengan mengetahui jumlah relatif obat yang diabsorpsi dan kecepatan obat berada dalam

sirkulasi sistemik, dapat diperkirakan tercapai tidaknya efek terapi yang dikehendaki menurut

formulasinya. Dengan demikian, bioavailabilitas dapat digunakan untuk mengetahui faktor

formulasi yang dapat mempengaruhi efektivitas obat. Beberapa manfaat studi bioavailabilitas

yang berkaitan dengan mutu produk obat yaitu :

1) bagi apoteker dalam bidang penelitian kefarmasian, bioavailabilitas merupakan uji yang

penting dalam penelitian peningkatan mutu obat

2) bagi dokter dan apoteker di apotek, bioavailabilitas merupakan pertimbangan kritis yang

digunakan untuk pemilihan obat yang bermutu baik

I.3 JENIS PENELITIAN BIOAVAILABILITAS OBAT

Penelitian bioavailabilitas obat dapat merupakan :

1) Penelitian bioavailabilitas absolut, yaitu membandingkan bioavailabilitas suatu bentuk

sediaan obat per oral dengan pemberian secara intravena.

5

Page 6: 1359992811-MakalahBiofarmasi

2) Penelitian bioavailabilitas relatif, yaitu membandingkan secara relatif bioavailabilitas suatu

bentuk sediaan obat per oral dengan bentuk sediaan obat sejenis lainnya. Sebagai produk

standar dapat digunakan :

1) produk larutan oral

2) produk inovator/originator, yaitu produk yang dibuat oleh pabrik penemunya, yang dianggap

mempunyai bioavailabilitas terbaik yang sudah teruji secara klinik dengan hasil terapi yang

baik (biasanya ditentukan oleh lembaga resmi, misalnya FDA).

Penelitian bioavailabilitas relatif dapat diterapkan untuk :

1) memilih satu dari alternatif dua atau lebih bentuk sediaan yang sama dengan formulasi yang

berbeda yang akan diproduksi oleh suatu pabrik, sehingga diketahui pengaruh komponen

formulasi terhadap bioavailabilitas.

2) memilih bentuk sediaan yang mempunyai bioavailabilitas terbaik dari beberapa alternatif

bentuk sediaan yang akan dikembangkan.

3) mengontrol variabilitas yang mungkin terjadi antar batch dari bentuk sediaan yang sama dari

batch yang berlainan.

4) membandingkan secara komparatif produk pabrik mana yang mempunyai bioavailabilitas

terbaik.

I.4 Pelaksanaan Penelitian Bioavabilitas Obat

Penelitian bioavailabilitas obat memerukan fasilitas laboratorium analisis/bioanalitik

yang canggih dengan tenaga ahli yang profesional dan harus memenuhi persyaratan tertentu.

Untuk beberapa macam obat, persyaratan pelaksanaannya telah dikeluarkan oleh American

Pharmaceutical Association dalam bukunya The Bioavailability of Drug Products. Protokol

penelitian bioavailabilitas obat hendaknya memuat tujuan percobaan, latar belakang obat yang

hendak diteliti, bahan obat, pemilihan sukarelawan, disain penelitian, penanganan sampel,

metoda analisis kadar obat dalam darah, dan hal-hal lain. Secara garis besar pelaksanaan

suatu penelitian bioavailabilitas obat dilakukan sebagai berikut :

1) Pemilihan sukarelawan yang mencakup pemeriksaan kesehatan, penandatanganan informed

consent.

6

Page 7: 1359992811-MakalahBiofarmasi

2) Periode puasa dari minum obat apapun (1 minggu)

3) Puasa 1 malam sebelum pemberian obat

4) Pemberian obat

5) Pengambilan sampel material hayati (darah dan/atau urin) pada interval waktu tertentu.

I.5 Obat-obat yang Perlu Diteliti Bioavabilitasnya

1) Obat-obat yang batas keamanannya sempit

2) Obat-obat yang absorpsinya berfluktuasi

3) Obat-obat yang variasi individunya besar dalam kadar plasma pada dosis biasa

4) Diperlukan untuk mempertahankan MEC/MIC obat dalam cairan hayati selama terapi

5) Obat-obat baru

7

Page 8: 1359992811-MakalahBiofarmasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 UJI BIOAVAILABILITAS DAN UJI IN-VITRO

Untuk menjamin ekivalensi terapeutik dan klinik dari suatu produk obat dalam berbagai

batch produksi, secara ideal penting untuk mengukur secara tepat efek klinik dan potensi dari

sampel yang representatif dari masing-masing batch produk obat tersebut. Walaupun demikian,

pada prakteknya hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena adanya pertimbangan praktis dan

aspeketis seperti :

1) Uji klinik memerlukan populasi penderita yang ekstensif dengan jenis dan keparahanpenyakit

yang seragam

2) Uji klinik pelaksanaannya kompleks dan mahal

3) Teknik pengukuran yang obyektif sulit ditemukan dan seringkali tidak sensitif terhadap

berbagai kondisi penyakit.

Cara pendekatan yang terbaik untuk memperkirakan efek klinik suatu obat adalah

dengan pengukuran kadar obat dalam darah, karena ada hubungan yang erat antara kadar

obat dalam darah dengan efek klinik obat tersebut. Tetapi dalam hal ini

juga ditemukan beberapa kelemahan seperti :

1) Uji kadar obat dalam darah biayanya mahal, memerlukan peralatan analitis yang canggih,

tenaga ahli yang terampil, dan sejumlah sukarelawan sehat. Dengan demikian kelayakan

untuk melakukan uji bioavailabilitas dari setiap batch produk obat patut dipertanyakan.

2) Konsep bioavailabilitas berpijak pada asumsi bahwa parameter biologis suatu obat (kadar

obat dalam darah dan jarringan, ekskresi obat dalam urin atau pengukuran produk

metabolit) secara langsung berkaitan dengan efek klinik obat. Sementara asumsi ini

mungkin saja absah, tetapi sulit untuk memperkirakan ketepatan korelasinya. Misalnya, jika

dua produk menunjukkan perbedaan bioavailabilitas sebesar 20%, apakah perbedaan ini

secara klinik bermakna Sementara saat ini tidak mungkin untuk melakukan uji kadar obat

dalam darah untuk setiap batch produk obat, industry obat dapat menggunakan uji

bioavailabilitas untuk menentukan bahwa produk obatnya dengan formulasi dan proses

8

Page 9: 1359992811-MakalahBiofarmasi

produksi yang spesifik akan memberikan efek klinik yang sebanding dengan produk obat

sejenis yang diproduksi industry obat lain (produk originator atau produk inovator), yang

pada uji kliniknya memberikan hasil yang baik. Sebagai salah satu alternatif untuk

melakukan uji bioavailabilitas pada setiap batch produk obat, uji in vitro telah

dikembangkan sebagai indikator bioavailabilitas, atau untuk menetapkan bahwa batch

produk obat selanjutnya akan menunjukkan bioavailabilitas dan efek klinik yang sebanding

dengan batch sebelumnya yang telah ditetapkan uji kadar obat dalam darah dan uji

kliniknya.

Uji laju disolusi dan uji difraksi sinar X merupakan 2 contoh prosedur laboratoris yang

dapat merefleksikan perilaku obat in-vivo. Uji ini telah dimasukkan dalam USP dan NF dan telah

diterapkan pada sejumlah obat. Uji laju disolusi mengukur laju disolusi sejumlah obat dalam

medium tertentu dan pada kondisi tertentu. Uji difraksi sinar X melengkapi beberapa indikasi

dari laju dan jumlah obat yang melarut, dengan demikian akan bermanfaat dalam

memperkirakan absorpsi obat. Sementara kedua uji ini bukan merupakan uji bioavailabilitas

yang sebenarnya, maka kedua uji ini hanya merupakan indikator yang dapat digunakan untuk

memperkirakan bioavailabilitas obat. Suatu industri obat yang mempunyai data klinik atau

informasi yang menunjukkan bahwa produk obatnya secara klinik efektif, dan bila data ini

dikorelasikan dengan uji in vitro dengan tepat, dan bila formulasi serta prosedur produksi tidak

berubah, maka konsistensi dari batch ke batch dapat dijamin dengan melakukan uji laju

disolusi, uji difraksi sinar X atau uji in vitro lainnya yang relevan.

II. 2 SIMITIDINE

Dosis Dewasa :

Pengobatan Tukak duodenal : 800 mg per oral pada malam hari, 400 mg per oral sehari 2 kali,

atau 300 mg per oral sehari 4 kali atau 300 mg IM/ IV setiap 6-8 jam.

Pemeliharaan tukak duodenal : 400 mg per oral atau IM/ IV pada malam hari.

Pengobatan Tukak peptik per oral : 800 mg pada malam hari atau 300 mg sehari 4 kali. Secara

IV/IM 300 mg diberikan setiap 6-8 jam hingga maksimum 2400 mg/hari.

Pemeliharaan tukak peptik : 400 mg per oral pada malam hari.

Refluks esofageal : 1600 mg per oral sehari dalam 2 atau 4 dosis terbagi. Perdarahan

gastrointestinal bagian atas, profilaksis: 50 mg/jam infus IV kontinyu sampai 7 hari.

9

Page 10: 1359992811-MakalahBiofarmasi

Zollinger-Ellison syndrome : 300 mg per oral sehari 4 kali atau 300 mg IM/IV setiap 6-8 jam,

dosis maksimum 2400 mg/ hari.

Dosis anak-anak :

Pemeliharaan tukak peptik untuk anak usia >= 16 tahun : 400 mg per oral pada malam hari.

Untuk anak usia < 16 tahun, tidak dianjurkan kecuali dengan persetujuan dokter setelah

mempertimbangkan manfaat dan risikonya.

Dalam beberapa pengalaman telah digunakan dosis 20-40 mg/kg/hari. Penyesuaian dosis1 :

Gangguan ginjal, CrCL kurang dari 30 ml/mnt, setengah dosis yang dianjurkan.

Gangguan ginjal parah, 300 mg tiap 12 jam, dapat ditingkatkan menjadi tiap 8 jam. Penyakit

liver berat: pengurangan 50% dosis.

indikasi

Benign gastric, tukak lambung, tukak duodenal, refluks esofagitis, Zollinger-Ellison syndrome.

kontraindikasi

Hipersensitif terhadap Simetidine atau komponen lain dalam produk

efek samping

Kemerahan, diare, pusing, sakit kepala, gynaecomastia

interaksi

Dengan Obat Lain : 

Penggunaan bersama antacid tidak direkomendasikan, karena antacid dapat mengganggu

absorpsi Simetidine. Simetidine menghambat / memperlambat metabolisme oxidative hepatic

drug melalui ikatan dengan microsomal cytochrome P450; sehingga sebaiknya dihindari pada

pasien yang telah rutin menggunakan warfarin, fenitoin, dan teofilin. Simetidine mengurangi

absorpsi Ketoconazole, Itraconazole, dimana absorpsinya tergantung pada pH asam lambung

Dengan Makanan : -

mekanisme kerja

Pengeblok reseptor H2 yang bekerja menyembuhkan tukak peptik dan duodenal dengan cara

pengeblokan reseptor H2 sehingga mengurangi sekresi asam lambung dan pepsin.

bentuk sediaan

Tablet/Kaplet 200 mg dan 400 mg, Kapsul 200 mg, Ampul 100 mg/ml, Ampul 200 mg/2 ml

10

Page 11: 1359992811-MakalahBiofarmasi

parameter monitoring

Berkurangnya rasa  tidak nyaman pada bagian perut/abdomen atau gastroesofageal, perbaikan

hasil endoskopik, CBC (Complete Blood Count).

stabilitas penyimpanan

Simetidine tablet, Simetidine HCl larutan oral dan injeksi disimpan pada suhu 15-30°C, dalam

wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya. Sediaan injeksi cimetidine tidak boleh disimpan

dalam freezer karena dapat mengendap. Simetidine HCl secara fisik dapat tercampurkan

dengan sebagian besar cairan infus IV (NaCl 0,9%, Dextrose 5% atau 10%, Ringer lactate,

Sodium Bicarbonate 5%). Sediaan Simetidine HCl injeksi dalam NaCl 0,9% stabil selama 24

bulan setelah tanggal produksi. Wadah yang digunakan terbuat dari PVC.

informasi pasien

Jika diperlukan satu kali minum, maka cimetidine diminum malam hari. Jika diperlukan dua kali

dalam sehari, dosis pertama diminum pagi hari dan berikutnya malam hari.  Cimetidine bisa

diminum bersama dengan makanan.

II.3 Metode Penelitian (jurnal PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS ( BIOEKIVALENSI

OBAT CIMETIDINE DALAM SEDIAAN GENERIK DAN PATEN SECARA IN VITRO;ARTIKEL

KARYA TULIS ILMIAH)

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro Semarang dan BPOM Jawa Tengah. Disiplin ilmu yang terkait adalah Farmasi dan

Farmakologi.Jenis penelitian adalah analitik observasional dengan sampel 1 jenis tablet

cimetidine 200 mg sediaan generik dan sediaan paten. Masing - masing sediaan 6 tablet.

Bahan yang diperlukan adalah cimetidine tablet 200 mg 6 buah masing – masing dalam

sediaan generik dan paten,aquades 7200 ml untuk mengisi 8 vessel sebagai media disolusi dan

sebanyak 16 liter sebagai penangas air pada disolusi tester, dan baku pembanding cimetidine

BPFI yang telah mengalami pengeringan selama 2 jam pada suhu 1100C.Pada tahap pertama

sampel akan mengalami uji disolusi. Alat uji disolusi yang digunakan adalah Disolution Tester

11

Page 12: 1359992811-MakalahBiofarmasi

tipe 1 ERWEKA DT600HH, diset pada suhu 370C, kecepatan 100 rpm selama 20 menit.5

Kemudian tablet Cimetidine 200 mg dimasukkan dalam 6 vessel masing – masing 1 buah.

Sampel diambil dengan spuit tiap 5 menit sehingga dalam waktu 20 menit total data yang

didapat untuk Cimetidine sediaan generik dan sediaan paten adalah 48 data.

Setelah semua data didapat kemudian dilanjutkan dengan pembacaan hasil uji disolusi

melalui aspirasi pada spektrofotometer. Alat yang digunakan adalah Spektrofotometer UV. Alat

diatur pada panjang gelombang 218 kemudian dilihat absorbansinya dengan memasukkan

media disolusi pada sel 1 dan 2. media disolusi ini sebagai blanko.5 Blanko diambil dari sel ke-2

lalu diganti dengan cuvet yang berisi 1 ml larutan larutan baku pembanding , dilihat grafik dan

absorbansi larutan baku. Kemudian pada sel ke-2 diganti dengan sampel, lihat grafik dan

absorbansi sampel. Pengukuran dilakukan untuk semua sampel. Dari hasil tersebut dapat

dihitung kadar zat

aktif yang terlarut (%)17.

Kadar zat aktif yang terlarut (%) =

V x Mb x Fu/Fb x Au/Abx Cb/Ke x 100 %

Dimana;

V = volum media disolusi (dalam ml)

Mb = penimbangan baku (dalam mg)

Fu = faktor pengenceran sampel

Fb = faktor pengenceran larutan baku

Au = absorbansi larutan sampel

Ab = absorbansi larutan baku

Cb = kadar larutan baku yang diukur (dalam mg per ml)

Ke = kadar Cimetidine per tablet yang tertera pada etiket ( mg)

Dari hasil perhitungan tersebut didapat data yang diolah dengan menggunakan SPSS 13,00 For

Windows dengan derajat kemaknaan p>0,05.

12

Page 13: 1359992811-MakalahBiofarmasi

II.4 Hasil Penelitian

Hasil perhitungan kadar zat aktif yang terlarut sebagai berikut.

Kadar zat aktif yang terlarut (dalam % )

Waktu

(menit)

Jumlah zat aktif yang melarut (dalam %)

Generik paten

5 56.17251 80.14459

10 80.49131 78.01548

15 82.91342 99.90728

20 80.21784 96.07878

13

Page 14: 1359992811-MakalahBiofarmasi

14

Page 15: 1359992811-MakalahBiofarmasi

15

Page 16: 1359992811-MakalahBiofarmasi

BAB III

PEMBAHASAN

Bioavailabilitas merupakan kecepatan dan jumlah zat aktif yang terkandung dalam suatu

sediaan untuk lepas mencapai sirkulasi.Berdasarkan definisi tersebut maka dengan mengetahui

bioavaibilitas suatu obat dapat diketahui bagaimana daya terapeutik, aktivitas klinik serta

aktivitas toksik suatu obat. Absorbsi berperan penting dalam menentukan bioavailabilitas

terapetik yang sesuai. Perjalanan obat dalam tubuh diawali dengan proses absorpsi yaitu

disintegrasi, deagregasi dan disolusi. Penelitian ini bertujuan menguji proses awal perjalanan

obat Cimetidine compressi sediaan generik dan paten yaitu disolusi, untuk kemudian dapat

ditentukan bioavailabilitasnya, sehingga dapat diketahui bioekivalensinya. Pada tabel 1 tampak

bahwa rata-rata kadar zat aktif Cimetidine yang terlarut pada sediaan generik lebih kecil

daripada sediaan paten. Hal ini diperjelas pada profil disolusi pada tiap-tiap pengambilan yang

berjarak 5 menit ( gambar 2-5 ). Pabrik sebagai produsen obat akan menentukan formulasi

obat.

Formulasi obat yang baik harus memenuhi standar penilaian tertentu. Salah satu

parameter yang gunakan adalah kelarutan. Kelarutan zat aktif ini dapat dipengaruhi berbagai

faktor, antara lain sifat fisikokimia obat dan sifat bahan tambahan obat. Sifat fisikokimia dapat

dilihat dari segi luas permukaan partikel obat. Semakin luas permukaan partikel makin cepat

pelarutan. Hal ini dikarenakan semakin luas pemukaan partikel semakin luas pula daerah yang

kontak langsung dengan pelarut, sehingga partikel tersebut akan menjadi lebih mudah larut

dalam pelarut. Saat tablet kontak dengan pelarut,tablet akan pecah menjadi partikel-partikel

kecil atau granul.15 Formulasi menentukan perubahan ini menjadi bentuk partikel-partikel kecil

atau granul. Luas permukaan tablet yang pecah menjadi partikel-partikel kecil lebih luas

daripada tablet yang pecah menjadi granul sehingga proses kelarutan tablet yang pecah

menjadi partikel-partikel kecil lebih cepat. Dari dasar pemikiran ini, dapat diasumsikan bahwa

luas permukaan partikel tablet Cimetidine sediaan paten lebih besar daripada sediaan generik.

Bahan tambahan dalam suatu tablet yang mempengaruhi proses kelarutan obat adalah bahan

pengisi, bahan pengikat dan bahan penghancur. Bahan pengisi adalah bahan yang inert yang

ditambahkan untuk membuat bulk agar dapat dibuat tablet yang acceptable. Sebuah pabrik

dapat saja memilih bahan pengisi yang berbeda untuk zat aktif yang sama dengan pabrik lain.

Salah satu dasar pertimbangan pemilihan bahan pengisi adalah kecepatan kelarutan bahan

pengisi, disamping faktor harga.

16

Page 17: 1359992811-MakalahBiofarmasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelarutan Cimetidine sediaan paten lebih baik

daripada sediaan generik. Berarti, hal ini dapat pula dikarenakan kelarutan bahan pengisi untuk

tablet Cimetidine sediaan paten lebih baik daripada sediaan generic Bahan pengikat adalah

bahan yang digunakan untuk meningkatkankan kualitas kohesi tablet. Seperti pada bahan

pengisi maka tiap-tiap pabrik berhak menentukan jenis bahan pengikat, asalkan tidak

mempengaruhi zat aktif (inert). Jenis bahan pengikat dapat mempengaruhi proses kehancuran

tablet. Ada beberapa jenis bahan pengikat yang memiliki daya ikat yang sangat kuat, misalnya

gom arab dan tragakan. Jenis ini dapat menghambat kehancuran tablet. Oleh karena itu, dapat

diasumsikan bahwa tablet Cimetidine sediaan generik menggunakan bahan pengikat dengan

daya ikat yang lebih kuat dari pada sediaan paten. Bahan penghancur adalah bahan yang

ditambahkan untuk memudahkan tablet hancur atau pecah ketika kontak dengan pelarut.

Kemampuan tiap-tiap bahan penghancur berbeda. Pada Cimetidine sediaan paten mungkin

memiliki bahan penghancur dengan kemampuan penghancuran yang lebih baik daripada bahan

penghancur dari Cimetidine sediaan generik. Hal ini menyebabkan proses kelarutan Cimetidine

sediaan paten lebih cepat sehingga tercapai bioavailabilitas yang diharapkan. Dari pembahasan

di atas dapat dirangkum bahwa tablet Cimetidine sediaan paten memiliki formulasi obat yang

lebih baik daripada tablet Cimetidine sediaan generik.

Namun perlu diingat walaupun jumlah zat aktif yang larut (%) cimetidine sediaan generik

lebih rendah daripada sediaan paten, sediaan generiknya tetap layak untuk terapi penyakit.

Karena telah memenuhi standar Q1, yaitu rata-rata kadar zat aktif yang larut (%) 6 sampel pada

titik puncak 75% + 5%= 80%. 5,15 Dengan 80% ini telah memenuhi standar yang ditetapkan

Farmakope Indonesia. Pada hasil penelitian ini Cimetidine sediaan generik kadar zat aktif yang

terlarut adalah 82,91342%. Dengan kata lain obat ini memenuhi standar untuk terapi.

BAB IV

17

Page 18: 1359992811-MakalahBiofarmasi

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Obat cimetidine sediaan paten memiliki daya kelarutan zat aktif yang lebih besar

daripada obat cimetidine sediaan generic dengan implikasi obat Cimetidine sediaan

paten mempunyai bioavailabilitas yang lebih tinggi dibanding sediaan generiknya dan

kedua obat tidak bioekivalensi. Namun Cimetidine sediaan generik tetap memenuhi

standar sesuai Farmakope Indonesia.

2. SARAN

Sebaiknya dilakukuan penelitian serupa yang menguji bioekivalensi sediaan generik

dan sediaan paten secara in vivo.

18

Page 19: 1359992811-MakalahBiofarmasi

Daftar pustaka:

1. V. Hosiana, M.H Mukhtar, N. Wahid. Ujicoba antimikroba secara invivo dan studi

farmakokinetik amoksisilin generic dan merek dagang. Jurnal Sains dan Teknologi

Farmasi Vol. 5, No 1, 2000.hal 5

2. . S Udin dan D Hedi R. Histamin dan Antialergi dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi IV.

Bagian Farmakologi Universitas Indonesia. Jakarta. 2003. hal 256-258

3. Burkhalter Alan, David Julius, Oscar L Frick. Histamin, Serotonin & Alkaloid Ergot dalam

Farmakologi Dasar dan Klinik Bertram G Katzung Edisi IV. EGC. 1998. hal 273-276

4. Editorial. MIMS Indonesia 2002: Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Infomaster,2002. hal

1-3 dan 14

5. Soesilo S, dkk. Farmakope Indonesia, edisi keempat. Jakarta : Depkes RI, 1995. hal

224-225

6. Editorial. British National Formulary. Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.

London.1999. pages 35-36

7. . Berardi Rosemary. Peptic Ulcer Disease and Zollinger-Ellison Syndrome in

Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Book Two Third Edition. Appleton &

Lange. 1997. pages 705-706

8. Sunoko, Henna Rya. Calculations Associated with Drug Availability and

Pharmacokineticsin Strategy to Improve Drug Rationality. Medical Faculty Diponegoro

University. Semarang. 2004. pages 26-40

9. S. Alegantina, P Lastari, D Mutiatikum. Penelitian disolusi dan penetapan kadar

isosorbid dinitrat dalam sediaan generic dan sediaan inovator. Media Litbang Kesehatan

Vol. XIII No 4. 2003.hal 3-5

10. A Isnawati, S Alegantina, KM Arifin. Profil disolusi dan penetapan kadar tablet

kotrimoksazol generik berlogo dan tablet dengan nama dagang. Media Litbang

Kesehatan Vol. XIII No 2. 2003. hal 21

11. Editorial. Metode Analisis PPOMN 2000 : OBAT, Badan POM, Jakarta : 2000. hal 250

12. Leon Shargel, Andrew B.C. YU. Biofarmasetika dan farmakokinetika terapan, Edisi

kedua, Leon Shargel, Andrew B.C. YU Surabaya: Airlangga University Press, 1988.hal

85.

13. . Martin. A et al. Farmasi Fisik; Dasar-Dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetik,

Jakarta : UI Press, 1993. Hal 846h

19