1109-1121

download 1109-1121

of 13

Transcript of 1109-1121

  • 1109 Distribusi kebutuhan kapur berdasarkan nilai Spos tanah ... (Akhmad Mustafa)

    ABSTRAK

    Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat telah ditetapkan sebagai salah satu Wilayah PengembanganKawasan Minapolitan di Indonesia, namun tanah tambaknya yang tergolong tanah sulfat masam yangdicirikan oleh pH tanah yang rendah serta potensi kemasaman dan unsur toksik yang tinggi dapat menjadifaktor pembatas dalam peningkatan produktivitas tambaknya. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yangbertujuan untuk menentukan distribusi kebutuhan kapur berdasarkan nilai SPOS tanah tambak agarproduktivitas tambak di Kabupaten Mamuju dapat meningkat dan berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan dikawasan pertambakan Kabupaten Mamuju dengan metode survai. Peubah kualitas tanah yang diukur adalah:pHF, pHFOX, SP, SKCl, SPOS, pirit, bahan organik, dan bobot volume tanah. Kapur pertanian (kaptan) dan dolomityang ada di pasaran diuji nilai netralisasi dan efisiensi netralisasinya untuk dipertimbangkan dalam penentuanfaktor konversi dan kebutuhan kapur. Kebutuhan kapur didasarkan pada nilai SPOS tanah denganmempertimbangkan bobot volume tanah serta nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi kapur. ProgramArcView 3.2 digunakan untuk pembuatan peta distribusi SPOS tanah, bobot volume tanah, dan kebutuhankapur dengan memanfaatkan citra ALOS AVNIR-2 akuisisi 28 Juli 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwatanah tambak di Kabupaten Mamuju dicirikan oleh bobot volume tanah berkisar antara 0,30 dan 1,71 g/cm3

    dengan rata-rata 0,884 g/cm3 dan SPOS tanah berkisar antara 0,15% dan 19,28% dengan rata-rata 7,614%.Nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi dolomit dan kaptan yang beredar di pasaran masing-masing 95,09%dan 90,02% serta 44,60% dan 36,78% sehingga memiliki faktor konversi berturut-turut sebesar 2,36 dan3,02. Kebutuhan kapur CaCO3 untuk tambak di Kabupaten Mamuju berkisar antara 1,32 dan 113,29 ton/hadi mana kebutuhan kapur yang tinggi dijumpai di bagian utara dan selatan Kabupaten Mamuju.

    KATA KUNCI: kebutuhan kapur, SPOS, tanah, tambak, Kabupaten Mamuju

    PENDAHULUAN

    Sesuai Peraturan Menteri KP NOMOR KEP.41/MEN/2009, Kabupaten Mamuju telah ditetapkansebagai salah satu Wilayah Pengembangan Kawasan Minapolitan di Indonesia dengan komoditasunggulan rumput laut (Trobos, 2010). Luas tambak di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Baratmencapai 7.639,8 ha, ternyata 27,0 ha tergolong sangat sesuai (kelas S1), 1.339,1 ha tergolongcukup sesuai (kelas S2) dan 6.273,7 tergolong sesuai marjinal (kelas S3) (Mustafa et al., 2010b). Salahsatu faktor pembatas budidaya tambak di Kabupaten Mamuju yang menyebabkan luas tambak yangsangat sesuai relatif sempit adalah kualitas tanah yang memiliki pH rendah dan potensi kemasamanyang tinggi serta kandungan unsur toksik yang tinggi pula. Jenis tanah yang dijumpai di kawasanpertambakan Kabupaten Mamuju didominasi oleh tanah sulfat masam dan sebagian kecil tanahsulfat masam yang berasosiasi dengan tanah gambut. Berdasarkan pada Taksonomi Tanah (Soil Sur-vey Staff, 2001), tanah di kawasan pesisir Kabupaten Mamuju diklasifikasikan sebagai Sulfaquent,Hydraquent, dan Sulfihemits untuk kategori Kelompok Besar (Great Groups) (Mustafa et al., 2010a).

    Tanah sulfat masam mencapai luas 6,7 juta hektar di Indonesia. Tanah sulfat masam adalah namaumum yang diberikan kepada tanah atau sedimen yang mengandung bahan sulfidik atau pirit (FeS2)(Dent, 1986; Sammut & Lines-Kelly, 2000; Lin et al., 2004; Schaetzl & Anderson, 2005). Pirit merupakanhasil persenyawaan antara besi yang merupakan penyusun mineral liat silikat dalam bahan induktanah dengan sulfat yang berasal dari air laut. Pirit dalam kondisi alami yaitu dalam keadaan anaerobtidak menimbulkan masalah bagi organisme (Madsen et al., 1985; White et al., 1995; 1997; Smith etal., 2003; Shamshuddin et al., 2004; Orndorff et al., 2008). Ketika tanah sulfat masam yangmengandung pirit terekspos atau teroksidasi, misalnya digali untuk dijadikan tambak, akanmenyebabkan terjadinya penurunan pH tanah, peningkatan kelarutan unsur atau senyawa toksik

    DISTRIBUSI KEBUTUHAN KAPUR BERDASARKAN NILAI SPOS TANAH UNTUK TAMBAKTANAH SULFAT MASAM DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

    Akhmad Mustafa, Rachmansyah, dan Anugriati

    Balai Riset Perikanan Budidaya Air PayauJl. Makmur Dg Sitakka No.129 Maros 90512, Sulawesi Selatan

    E-mail: [email protected]

  • Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 1110

    dan pengikatan unsur hara makro sehingga berdampak pada produktivitas tambak yang sangatrendah dan bahkan tidak berproduksi sama sekali.

    Pemanfaatan tambak tanah sulfat masam agar berdaya guna dan berhasil guna dapat dilakukanmelalui pendekatan: perbaikan kualitas tanah, pemilihan komoditas, dan teknologi budidaya sertarekayasa tambak (Mustafa & Rachmansyah, 2008). Perbaikan tanah sulfat masam berupa peningkatanpH tanah dan penurunan kandungan unsur-unsur toksik dapat dilakukan melalui remediasi. Remediasiadalah suatu aktivititas atau proses yang dilakukan untuk mengurangi unsur-unsur toksik dalamtanah. Remediasi yang dapat dilakukan berupa proses oksidasi dan pembilasan tanah sertapengapuran. Pengapuran pada tambak dimaksudkan untuk menetralisir kemasaman tanah danmeningkatkan total alkalinitas dan total kesadahan dalam air (Boyd et al., 2002). Keuntunganpenggunaan kapur dalam bidang akuakultur adalah: mematikan banyak mikroorganisme, terutamaparasit; meningkatkan pH air yang masam ke netral; meningkatkan cadangan alkalin dalam air danlumpur yang dapat mencegah perubahan pH yang ekstrem; meningkatkan produktivitas biologidengan mempertinggi dekomposisi bahan organik oleh bakteri; meningkatkan oksigen dan cadangankarbon; mempercepat suspensi dan kelarutan bahan organik; menurunkan kebutuhan oksigen secarabiologi; meningkatkan penetrasi cahaya, meningkatkan nitrifikasi sebagai akibat kebutuhan kalsiumoleh bakteri nitrifikasi, menetralisir bahaya toksik dari senyawa tertentu seperti sulifida dan asamserta secara tidak langsung memperbaiki tekstur tanah dasar dengan keberadaan bahan organik(Pudadera, 1984).

    Berbagai metode dalam penentuan kebutuhan kapur di bidang pertanian telah diperkenalkan.Metode kebutuhan kapur dari Adams-Evans (Adams & Evans, 1962) untuk pertanian telah diadopsiuntuk tanah tambak (Swingle, 1968). Khusus untuk tambak, juga telah diperkenalkan metodekebutuhan kapur yang didasarkan pada pH dan tekstur tanah (Boyd, 1974; Boyd, 1982; Boyd &Hollerman, 1982; Pillai & Boyd, 1985; Boyd & Tucker, 1992). Selanjutnya Boyd et al. (2002) dan Boyd(2008) menyatakan bahwa banyak laboratorium tidak mengukur kebutuhan kapur, tetapi dapatmengestimasi dosis kapur berdasarkan pH tanah. Namun demikian, dosis kebutuhan kapur tersebuttidak dapat diaplikasikan pada tambak tanah sulfat masam, sebab pH tanah yang jadi acuan berkisarantara 5,07,5 sedangkan pH tanah sulfat masam biasanya kurang dari 4,0. Selain itu, potensikemasaman yang ada pada tanah sulfat masam perlu menjadi perhatian dalam penentuan kebutuhankapur. Pada tanah sulfat masam, nilai SPOS (Peroxide Oxidation Sulfur) tanah yang diketahui denganmetode POCAS (Peroxide Oxidation Combined Acidity and Sulfate) telah digunakan oleh Ahern et al.(1998) untuk menentukan kebutuhan kapur. Orndorff et al. (2008) telah menentukan kebutuhankapur tanah sulfat masam dengan metode yang berdasarkan nilai PPA (Peroxide Potential Acidity)tanah. Telah dilaporkan pula bahwa SPOS tanah dari metode POCAS memiliki nilai yang relatif samadengan menggunakan metode POSA (Peroxide Oxidisable Sulfuric Acidity) dari Lin & Melville (1993)yang juga telah digunakan dalam menentukan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam. Aplikasikebutuhan kapur berdasar nilai SPOS tanah dari metode POCAS telah dilakukan pada skala laboratorium(Mustafa, 2007; Mustafa & Sammut, 2007) dan skala lapangan (Mustafa, 2007; Tarunamulia & Mustafa,2009). Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menentukandistribusi kebutuhan kapur berdasarkan nilai SPOS tanah pada tambak tanah sulfat masam denganmempertimbangkan kualitas kapur yang ada di pasaran agar produktivitas tambak di KabupatenMamuju Provinsi Sulawesi Barat dapat meningkat dan berkelanjutan.

    BAHAN DAN METODE

    Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Lokasi penelitian adalahwilayah pesisir Kecamatan Mamuju, Simkep, Kalukku, Papalang, Sampaga, Budong-budong, Pangale,Topoyo, dan Karossa (Gambar 1). Peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000 dengan nomor indeks201312 (Tapalang), 201314 (Mamuju), 201323 (Balawa Kalumpang), 201351 (Papalan), 201353 (Budong-budong) dan 201422/21 (Karossa) yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahuludipindai dan didijitasi. Selanjutnya dilakukan analisis spasial dengan menggunakan teknologi SistemInformasi Geografis (SIG). Peta awal berupa peta penutup/penggunaan lahan diperoleh dari hasilklasifikasi tidak terbimbing Citra ALOS (Advanced Land Observing Satellite) AVNIR-2 (The AdvancedVisible and Near Infrared Radiometer type 2) akuisisi 28 Juli 2009 dengan Program ER Mapper 7.1

  • 1111 Distribusi kebutuhan kapur berdasarkan nilai Spos tanah ... (Akhmad Mustafa)

    yang diintegrasikan dengan peta dasar dari peta Rupabumi Indonesia. Data dan referensi yangdiperoleh dari cek lapangan digunakan untuk melakukan reinterpretasi citra hasil klasifikasi danpeta awal. Reinterpretasi terutama dilakukan untuk mengoreksi bias-bias poligon tambak pada citrahasil klasifikasi dan peta awal sehingga diperoleh hasil luas tambak aktual yang akurat. Prosesreinterpretasi menghasilkan luasan tambak terkoreksi, selanjutnya dibuat peta akhir yangmenggambarkan secara spasial sebaran tambak dan penggunaan/penutup lahan lainnya di KabupatenMamuju.

    Pada saat pelaksanaan cek lapangan juga dilakukan pengambilan contoh tanah secara acak padakedalaman 025 cm dengan menggunakan bor tanah. Kualitas tanah yang diukur secara in situadalah pHF (pH tanah yang diukur langsung di lapangan) dengan pHmeter (Ahern & Rayment,1998) dan pHFOX (pH tanah yang diukur di lapangan setelah dioksidasi dengan hidrogen peroksida(H2O2) 30%) (Ahern & Rayment, 1998). Untuk analisis peubah kualitas tanah lainnya, maka contohtanah yang ada dalam kantong plastik dimasukkan dalam cool box yang berisi es sesuai petunjukAhern & Blunden (1998a). Sebelumnya, sisa tumbuhan segar, kerikil, dan kotoran lainnya dibuangdan bongkahan besar dikecilkan dengan tangan. Karena seluruh contoh tanah adalah tanah sulfatmasam, maka contoh tanah diovenkan pada suhu 80C85C selama 48 jam (Ahern et al., 1996).Setelah kering, contoh tanah dihaluskan dengan cara ditumbuk pada lumpang porselin dan diayakdengan ayakan ukuran lubang 2 mm dan selanjutnya dianalisis di Laboratorium Tanah Balai RisetPerikanan Budidaya Air Payau Maros. Kualitas tanah yang dianalisis di laboratorium meliputi SP (sul-fur peroksida) (Melville, 1993; Ahern et al., 1998; McElnea & Ahern, 2004c), SKCl (sulfur yang diekstrakdengan KCl) (Melville, 1993; Ahern et al., 1998b; McElnea & Ahern, 2004d), SPOS (SP-SKCl) (Ahern et al.,1998b; Ahern & McElnea, 2004), pirit (Ahern et al., 1998a, 1998b), dan bahan organik dengan metodeWalkley dan Black (Sulaeman et al., 2005).

    Bobot volume tanah ditentukan dengan menggunakan ring berbentuk silinder (metode ring)yang berukuran tinggi 4,0 cm dan diameter 7,6 cm pada tanah yang tidak terganggu (Blake & Hartge,1986; Melville, 1998; Agus et al., 2006). Bobot volume tanah juga diketahui berdasarkan persamaanyang didapatkan oleh Mustafa (2007) yaitu:

    Bobot volume (g/cm3) = 1,7397 0,936 log bahan organik (%)

    Bobot tanah hanya diperhitungkan sampai kedalaman 4 cm, sesuai yang dilaporkan oleh deQueiroz et al. (2004) bahwa kapur yang diberikan hanya memberikan pengaruh yang nyata sampaikedalaman tersebut.

    Oleh karena penentuan kebutuhan kapur setara CaCO3 oleh Ahern et al. (1998) diasumsikan bahwabahwa CaCO3 itu memiliki ukuran yang sangat halus sehingga tingkat efisiensinya juga sangat tinggi,tetapi kapur yang tersedia di pasaran Indonesia termasuk di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatansangat bervariasi secara kimia dan fisik, maka nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi kapurdiperhitungkan dalam penentuan kebutuhan kapur dengan menggunakan rumus (Boyd & Hollerman,1982):

    Nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi kapur diketahui melalui pengujian terhadap kapur yangumum dipasarkan di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Nilai netralisasi kapur diketahui denganpereaksi HCl dan dititrasi dengan NaOH sesuai petunjuk (Ahern et al., 1998a). Dalam penentuanefisiensi netralisasi kapur, maka dilakukan pengujian melalui penyaringan bertingkat (10 mesh =diameter 2 mm, 20 mesh = diameter 850 m dan 60 mesh = diameter 250 m) sesuai petunjukBoyd & Hollerman (1982). Nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi kapur digunakan untuk menentukanfaktor konversi atau faktor keamanan atau faktor koreksi kapur (Anonim, tanpa tahun).

    Karena pengambilan contoh tanah di lapangan dilakukan secara acak (Gambar 1), maka secaraspasial data tersebar secara tidak teratur, maka dilakukan proses interpolasi terhadap titik-titik yang

    100inetralisas Efisiensi

    x 100

    inetralisas NilaiCaCO setara kapur Kebutuhan

    kapur Kebutuhan 3=

  • Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 1112

    Gambar 1. Titik-titik pengambilan contoh tanah di tambak Kabupaten MamujuProvinsi Sulawesi Barat

  • 1113 Distribusi kebutuhan kapur berdasarkan nilai Spos tanah ... (Akhmad Mustafa)

    memiliki data. Metode IDW (Inverse Distance Weighted) dalam Program Arc View 3.2 digunakanuntuk proses interpolasi (Soleimani & Modallaldoust, 2008). Kebutuhan kapur di tambak tanah sulfatmasam Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat disajikan dalam bentuk peta.

    HASIL DAN BAHASAN

    Telah disebutkan sebelumnya bahwa tambak di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barattergolong tanah sulfat masam dan tanah sulfat masam yang berasosiasi dengan tanah gambut.Tambak tanah sulfat masam tersebut dicirikan dengan pHF dan pHFOX yang masing-masing sebesar6,0270,5112 dan 2,3091,7315 (Tabel 1). Selisih antara pHF dan pHFOX (pHF-pHFOX) berkisar antara0,20 dan 6,23 yang dapat digunakan untuk memprediksi potensi kemasaman tanah sulfat masam.Dalam hal ini, semakin besar nilai pHF-pHFOX menunjukkan potensi kemasaman tanah yang lebihtinggi. Salah satu peubah kunci tanah sulfat masam adalah keberadaan pirit. Kandungan pirit tanahtambak di Kabupaten Mamuju berkisar antara 0,03% dan 10,50% dengan rata-rata 2,561%. Kandunganpirit ini relatif sama dengan kandungan pirit di berbagai tambak tanah sulfat masam di ProvinsiSulawesi Selatan. Rata-rata kandungan pirit di berbagai tambak tanah sulfat masam di SulawesiSelatan berkisar 0,45% di Kecamatan Maros Utara (Kabupaten Maros) sampai dengan 3,76% diKecamatan Keera (Kabupaten Wajo) (Mustafa & Rachmansyah, 2008). Secara umum, semakin tingginilai pHF-pHFOX dan pirit, maka kebutuhan kapur juga semakin tinggi. Pirit yang teroksidasi akanmenghasilkan Fe2+, SO4

    2- dan H+ yang merupakan sumber kemasaman yang harus dinetralisir olehkapur. Reaksi oksidasi dari pirit digambarkan oleh Simn et al. (2005):

    ++ +=++ H 4 SO 4 Fe OH 2 O 7 FeS 2 -242222Dari reaksi tersebut terlihat bahwa 2 mol FeS2 akan menghasilkan 1 mol Fe

    2+, 4 mol SO42- dan 4

    mol H+. Oleh karena itu, semakin tinggi kandungan pirit tanah, maka kebutuhan kapur juga semakintinggi.

    Kandungan bahan organik tanah sulfat masam di Kabupaten Mamuju berkisar antara 1,09% dan34,12% dengan rata-rata 12,056%. Kandungan bahan organik yang tinggi dijumpai pada tanah sulfatmasam yang berasosiasi dengan tanah gambut. Tanah gambut adalah tanah yang mengandungkarbon organik lebih besar 15% (bahan organik lebih besar 26%) (Boyd et al., 2002). Soil Survey Staff(2001) mendefinisikan tanah gambut sebagai tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 20%(bila tanah tidak mengandung liat) atau lebih dari 30% (bila tanah mengandung liat lebih besar atausama dengan 60%). Bahan organik yang sangat tinggi, dapat mencapai 29,85% pada tambak tanahsulfat masam yang berasosiasi dengan tanah gambut (Mustafa & Rachmansyah, 2008). Rata-ratakandungan bahan organik tambak di tanah sulfat masam di Kabupaten Luwu sebesar 8,50% (Mustafa,2007). Telah dilaporkan oleh Mustafa & Pantjara (2009) bahwa kandungan bahan organik tanah ditambak tanah sulfat masam Kecamatan Anggrek dan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara ProvinsiGorontalo masing-masing 20,807,42% dan 13,496,56%.

    Dalam penentuan kebutuhan kapur berdasarkan SPOS tanah dibutuhkan data bobot tanah, olehkarena itu, dilakukan pengukuran bobot volume tanah. Bobot volume tanah tambak tanah sulfatmasam di Kabupaten Mamuju berkisar antara 0,30 dan 1,71 g/cm3 dengan rata-rata 0,884 g/cm3

    seperti terlihat pada Tabel 1, sedangkan distribusinya dapat dilihat pada Gambar 2. Pada tambaktanah sulfat masam Kabupaten Luwu, Mustafa (2007) mendapatkan bobot volume tanah antara 0,89dan 1,16 g/cm3. Menurut Ahern & Blunden (1998), bahwa bobot volume tanah berkisar antara 0,22,0 g/cm3, bobot volume tanah yang rendah dijumpai pada tanah gambut. Dikatakan pula bahwaapabila bobot volume tanah lebih besar 1,0 g/cm3, maka faktor koreksi kapur akan meningkat. Dalamhal ini kebutuhan kapur meningkat dengan meningkatnya bobot volume tanah. Bobot volume tanahyang tinggi umumnya dijumpai pada tanah yang mengandung bahan organik yang rendah. Bahanorganik adalah faktor utama yang mempengaruhi bobot volume tanah, terutama pada tanah yangtidak terganggu (Pitty, 1979). Telah dilaporkan pula oleh Mustafa (2007), bahwa terdapat hubunganyang sangat erat antara kandungan bahan organik dan bobot volume tanah pada tanah sulfat masam,di mana kandungan bahan organik tinggi dijumpai tanah dengan bobot volume rendah.

  • Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 1114

    Peubah Minimum Maksimum Rataan Standar deviasi

    pHF 3,96 7,45 6,027 0,5112pHFOX 0,01 5,95 2,309 17,315pHF-pHFOX 0,20 6,23 3,718 18,934Bahan organik (%) 1,09 34,12 12,056 99,208Bobot volume (g/cm3) 0,30 1,71 0,884 0,3811SKCl (%) 0,21 7,26 0,909 12,685SP (%) 0,42 22,07 8,523 63,120SPOS (%) 0,15 19,28 7,614 57,987Pirit (%) 0,03 10,50 2,561 25,427Kebutuhan kapur setara CaCO3 (ton/ha) 1,32 113,29 33,210 283,321

    Tabel 1. Nilai peubah-peubah kualitas tanah dan kebutuhan kapur untuk tambak tanahsulfat masam di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat (n = 90)

    Gambar 2. Peta distribusi bobot volume tanah di tambak tanah sulfat masamKabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

  • 1115 Distribusi kebutuhan kapur berdasarkan nilai Spos tanah ... (Akhmad Mustafa)

    Kandungan SPOS tanah di tambak Kabupaten Mamuju berkisar antara 0,15% dan 19,28% denganrata-rata 7,614% seperti terlihat pada Tabel 1, sedangkan distribusinya dapat dilihat pada Gambar 3.Dari Gambar 3 terlihat bahwa kandungan SPOS tanah yang tinggi dijumpai di Kecamatan Sinkep(Simboro dan Kepulauan), Mamuju, Tommo, Budong-budong, Topoyo, dan Karossa. Di tambakKecamatan Anggrek dan Kwandang (Kabupaten Gorontalo Utara) dijumpai tanah sulfat dengankandungan SPOS tanah masing-masing berkisar 0,31%61,31% (rata-rata 7,09%) dan 0,06%17,37%(rata-rata 9,77%) (Mustafa & Pantjara, 2009).

    Ada empat jenis kapur yang banyak didapatkan di pasaran Provinsi Sulawesi Barat dan SulawesiSelatan adalah kapur bakar, kapur bangunan, kapur pertanian (kaptan), dan dolomit. Namun demikian,jenis kapur yang banyak digunakan di tambak adalah dolomit dan kaptan. Ada empat jenis kapuryang digunakan sebagai kapur awal dan 3 jenis kapur yang digunakan sebagai kapur susulan dalambudidaya udang vaname di tambak Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung (Mustafa et al., 2009).Di Filipina, kapur bangunan (Ca(OH)2) digunakan pada tambak yang baru beroperasi dan tambakyang memiliki pH < 5,0 (Cruz-Lacierda et al., 2000). Kapur bakar (CaO), selain digunakan oleh usaha

    Gambar 3. Peta distribusi SPOS tanah di tambak tanah sulfat masamKabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

  • Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 1116

    budidaya udang sebagai disinfektan, juga digunakan untuk perbaikan tanah dan air yang diaplikasikansebagai kapur awal di tambak Kabupaten Pesawaran (Mustafa et al., 2009).

    Nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi adalah faktor utama yang dipertimbangkan dalam memilihbahan penetral atau kapur, sedangkan faktor lainnya adalah: kelarutan, pH, kandungan kimia, kadarair, adanya kontaminan, ukuran butiran, harga, biaya pengiriman, dan biaya pengaplikasian (ASSMAC,1998). Nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi kedua jenis dolomit dan kaptan yang ada di pasaranterlihat pada Tabel 2. Nilai netralisasi dolomit maupun kaptan yang didapatkan dalam penelitian inilebih rendah daripada nilai netralisasi kapur standar yang dilaporkan oleh Tisdale & Nelson (1975).Nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi dolomit yang besarnya masing-masing 90,00% dan 30,48%telah didapatkan oleh Tarunamulia & Mustafa (2009). Telah dilaporkan pula bahwa kapur yang umumdigunakan di tambak memiliki nilai netralisasi sebesar 85%109% (Anonim, tanpa tahun). Dikatakanpula bahwa, nilai netralisasi kapur sangat tergantung pada komposisi dan ketidakmurniannya.Sebelumnya, Mustafa (1996) telah mendapatkan efisiensi netralisasi dolomit sebesar 63,0%. Hal inimenunjukkan bahwa dolomit dan kaptan yang beredar di pasaran relatif bervariasi kualitasnya dantermasuk berkualitas rendah. Kaptan yang memiliki nilai netralisasi 98,0% dan efisiensi netralisasi99,5% tergolong berkualitas tinggi (Conyers et al., 2003). Berdasarkan nilai netralisasi dan esiensinetralisasi maka didapatkan faktor konversi atau faktor keamanan atau faktor koreksi kapur sepertiterlihat pada Tabel 2. Dalam hal ini, untuk menentukan jumlah kapur yang akan diaplikasikan makanilai kebutuhan kapur CaCO3 yang didapatkan dari nilai SPOS tanah harus dikalikan nilai faktor konversiyaitu sebesar 2,36 bila menggunakan dolomit dan 3,02 bila menggunakan kaptan. Strategi pengelolaantanah sulfat masam yang termasuk proses oksidasi secara berangsur-angsur dan pengapuran untukmenetralisir kemasaman yang diproduksi untuk waktu yang cukup lama, faktor konversi kapur adalahminimal 1,5 sampai 2,0 kali yang secara teoritikal dari kebutuhan kapur yang dapat digunakanuntuk mempertimbangkan reaktivitas lambat dari kapur dan ketidakhomogenan pada saatpercampuran di lapangan (ASSMAC, 1998).

    Tabel 2. Rata-rata nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi berbagai jenis kapuryang umum digunakan untuk budidaya tambak

    Penelitian ini

    Tisdale & Nelson (1975)

    Dolomit (CaMg(CO3)2) 95,09 109,00 44,60 2,36Kapur pertanian (CaCO3) 90,02 100,00 36,78 3,02

    Jenis kapur

    Nilai netralisasi (%) Efisiensi netralisasi

    (%)

    Faktor konversi

    Tanah dengan kandungan SPOS dan bobot volume tanah, maka dibutuhkan dolomit dalam jumlahyang lebih rendah daripada kaptan. Secara umum, tingginya faktor konversi kapur menunjukkanbahwa kapur yang ada tergolong berkualitas rendah. Dolomit dan kaptan adalah kapur yang lebihaman digunakan, terkadang lebih murah dan dipertimbangkan lebih efektif sebagai bahan kapuruntuk tambak di bawah kondisi normal. Namun demikian, pada tambak yang sering terserang penyakitdan dilakukan pencegahan sebelum penebaran, maka aplikasi kapur bakar atau kapur hidrat padatanah dasar tambak yang kosong mungkin lebih efektif dalam membasmi organisme penyebabpenyakit dalam tanah sebelum penebaran berikutnya (Boyd & Massaut, 1999).

    Kebutuhan kapur di tambak tanah sulfat masam berkisar antara 1,32 dan 113,29 ton/ha denganrata-rata 33,210 ton/ha (Tabel 1). Distribusi kebutuhan kapur di tambak Kabupaten Mamuju terlihatpada Gambar 4, di mana kebutuhan kapur yang tinggi dijumpai di Kecamatan Sinkep, Mamuju,Tommo, Budong-budong, Topoyo, dan Karossa. Distribusi kebutuhan kapur yang tinggi ini relatifsama dengan distribusi kandungan SPOS tanah yang juga tinggi. Kebutuhan kapur tersebut termasukkondisi pengelolaan tinggi karena akan membutuhkan lebih besar 14 kg CaCO3 untuk menetralkan 1ton tanah yang terganggu (Ahern & McElnea, 2004). Terlihat bahwa kuantitas kebutuhan kapurtergolong tinggi, namun demikian pengaplikasian dosis ini dapat memberikan pengaruh terhadap

  • 1117 Distribusi kebutuhan kapur berdasarkan nilai Spos tanah ... (Akhmad Mustafa)

    tanah untuk waktu yang cukup lama. Selain itu, dalam penentuan kebutuhan kapur berdasarkannilai SPOS tanah ini dapat tergolong cukup besar, sebab bahan penetral atau kapur diperhitungkancukup untuk mengurangi potensial yang dapat merusak lingkungan (ASSMAC, 1998). Pada tanahtambak dengan pH tanah 4,0 pada tanah bertekstur berat, Boyd (1995) menyarankan penggunaankaptan sebanyak 14.320 kg/ha yang diaplikasikan setiap persiapan tambak.

    Selain itu, diperlukan upaya untuk mengurangi kebutuhan kapur dengan melakukan remediasitanah dasar tambak. Prinsip remediasi melalui oksidasi dan pembilasan tanah adalah pengeringantanah untuk mengoksidasi pirit, perendaman untuk melarutkan dan menetralisir kemasaman ataumenurunkan produksi kemasaman lanjut dan pembilasan untuk membuang hasil oksidasi danmeminimumkan cadangan unsur-unsur toksik dalam tanah (Mustafa, 2007; Mustafa & Rachmansyah,2008). Tanah dasar tambak sebaiknya dicangkul terlebih dahulu sedalam 0,2 m agar permukaantanah bertambah luas sehingga proses oksidasi dapat lebih baik. Pengeringan tanah dasar tambakdilakukan selama 2 minggu pada keadaan terik matahari atau tergantung pada keadaan iklim selamapengeringan. Tambak dibiarkan terendam selama 1 minggu dengan air bersalinitas tinggi (lebihbesar 15 ppt) dan selanjutnya air rendaman dibuang. Air bersalinitas tinggi mengandung Ca, Mg,

    Gambar 4. Peta distribusi kebutuhan kapur CaCO3 tanah di tambak tanahsulfat masam Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

  • Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 1118

    dan Na yang tinggi pula, sehingga lebih banyak pula Fe dan Al yang dapat tergantikan unsur yangbersifat basa tersebut yang berdampak pada pengurangan Fe dan Al yang juga lebih banyak. Prosestersebut diulang 2 atau 3 kali sampai didapatkan kondisi tanah yang lebih baik. Disarankan prosestersebut dilakukan pada musim kemarau di mana curah hujan relatif rendah dan suhu udara relatiftinggi dan pada saat surut rendah agar pengeringan dapat lebih baik, salinitas air rendaman dapatlebih tinggi dan selanjutnya pembilasan air rendaman juga dapat lebih sempurna. Dalam pengeringantambak, diharapkan juga proses dekomposisi bahan organik dapat lebih cepat sehingga kandunganbahan organik yang tinggi dapat menurun, di samping mengurangi senyawa-senyawa toksik. Denganremediasi tanah dasar tambak seperti ini, maka akan terjadi penurunan nilai SPOS tanah, sehinggakebutuhan kapur juga menjadi berkurang. Remediasi tanah dasar tambak melalui pengeringan 14hari, perendaman 3 hari dan pembilasan 3 kali yang kemudian seluruh proses remediasi tersebutdiulang 3 kali dapat menurunkan SPOS tanah dari 1,85180,0858 menjadi 1,42750,1209% (Mustafa,2007).

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Tanah sulfat masam di tambak di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dicirikan oleh bobotvolume tanah berkisar antara 0,30 dan 1,71 dengan rata-rata 0,884 g/cm3 dan SPOS tanah berkisarantara 0,15% dan 19,28% dengan rata-rata 7,614%. Nilai netralisasi dan efisiensi netralisasi dolomitdan kaptan yang beredar di pasaran masing-masing 95,09% dan 90,02% serta 44,60% dan 36,78%sehingga memiliki faktor konversi berturut-turut sebesar 2,36 dan 3,02. Kebutuhan kapur CaCO3untuk tambak di Kabupaten Mamuju berkisar antara 1,32 dan 113,29 ton/ha di mana kebutuhankapur yang tinggi dijumpai di Kecamatan Sinkep, Mamuju, Tommo, Budong-budong, Topoyo, danKarossa. Disarankan untuk memperbaiki kualitas tanah tambak terlebih dahulu melalui remediasidalam bentuk oksidasi dan pembilasan tanah agar SPOS tanah dapat menurun sehingga kebutuhankapur juga dapat berkurang.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Terima kasih diucapkan kepada Muhammad Arnold dan Darsono atas bantuannya dalampengambilan contoh tanah di lapangan dan Rosiana Sabang, Kamariah, dan Rahmiyah atas bantuannyadalam analisis tanah di laboratorium.

    DAFTAR ACUAN

    Adams, F. & Evans, C.E. 1962. A rapid method for measuring lime requirement of red-yellow podzolicsoils. Soil Sci. Soc. Proc., 26: 355357.

    Ahern, C.R. & McElnea, A. 2004. Calculated sulfur parameters. In: Acid Sulfate Soils Laboratory MethodsGuidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly,Queensland, Australia, p. B11-1B11-2.

    Ahern, C.R., McElnea, A., & Baker, D.E. 1996. To dry or not to dry? That is the question for sulfidicsoils. In: Proceedings of the Australian and New Zealand National Soil Conference, 14 July 1996. Aus-tralian Soil Science Society, Melbourne.

    Ahern, C.R., McElnea, A., & Baker, D.E. 1998. Peroxide Oxidation Combined Acidity & Sulfate. In:Ahern, C. R., Blunden, B., & Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. AcidSulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW, p. 4.14.17.

    Ahern, C.R. & Blunden, B. 1998a. Designing a soil sampling and analysis program. In: Ahern, C.R.,Blunden, B., & Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate SoilManagement Advisory Committee, Wollongbar, NSW, p. 2.12.6.

    Ahern, C.R. & Blunden, B. 1998b. Introduction. In: Ahern, C.R., Blunden, B., & Stone, Y. (eds.), AcidSulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee,Wollongbar, NSW, p. 1.12.4.

    Ahern, C.R. & Rayment, G.E. 1998. Codes for acid sulfate soils analytical methods. In: Ahern, C.R.,Blunden, B., & Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate SoilManagement Advisory Committee, Wollongbar, NSW, p. 3.13.5.

  • 1119 Distribusi kebutuhan kapur berdasarkan nilai Spos tanah ... (Akhmad Mustafa)

    Agus, F., Yustika, R.D., & Haryati, U. 2006. Penetapan berat volume tanah. Dalam: Kurnia, U., Agus, F.,Adimihardja, A., & Dariah, A. (eds.), Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar LitbangSumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, hlm. 2534.

    Ahern, C.R. & Blunden, B. 1998. Designing a soil sampling and analysis program. In: Ahern, C.R.,Blunden, B., & Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate SoilManagement Advisory Committee, Wollongbar, NSW, p. 2.12.6.

    Ahern, C.R., McElnea, A., & Baker, D.E. 1998. Acid neutralizing capacity methods. In: Ahern, C.R.,Blunden, B., & Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate SoilManagement Advisory Committee, Wollongbar, NSW, p. 6.16.4.

    Anonim. tanpa tahun. Lime Application for Improved Fish Production. http://www.luresext.edu/aquac-ulture/Lime%20application.pdf. Diakses 12/02/2010.

    ASSMAC (Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee). 1998. Acid sulfate soil managementguidelines. In: Ahern, C.R., Blunden, B., & Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory MethodsGuidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW, p. III.128.

    Blake, G.R. & Hartge, K.H. 1986. Bulk density. In: Klute, A. (ed.), Methods of Soil Analysis: Part I, Physicaland Mineralogical Methods. American Society of Agronomy and Soil Science Society of America,Madison, Wisconsin, p. 363375.

    Boyd, C.E. 1974. Lime Requirements of Alabama Fish Ponds. Alabama Agricultural Experiment Station,Auburn University, Alabama, Bulletin 459, 19 pp.

    Boyd, C.E. 1982. Liming fish ponds. Journal of Soil and Water Conservation, 37(2), 8688.Boyd, C. E. 1995. Bottom Soil, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and Hall, New York, 348 pp.Boyd, C.E. 2008. Pond bottom soil analyses. Global Aquaculture Advocate September/October, 9192.Boyd, C.E. & Tucker, C.S. 1992. Water Quality and Pond Soil Analyses for Aquaculture. Alabama Agricul-

    tural Experiment Station, Auburn University, Alabama, 183 pp.Boyd, C.E. Wood, C.W., & Thunjai, T. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil Quality Management. Pond

    Dynamics/Aquaculture Collaborative Research Support Program Oregon State University, Corvallis,Oregon, 41 pp.

    Boyd, C.E. & Massaut, L. 1999. Risks associated with the use of chemicals in pond aquaculture.Aquacultural Engineering, 20: 113132

    Boyd, C.E. & Hollerman, W.D. 1982. Influence of particle size of agricultural limestone on pondliming. Proceedings of Annual Conference Southeast Association of Fish and Wildlife Agencies, 36: 196201.

    Conyers, M.K., Heenan, D.P., McGhie, W.J., & Poile, G.P. 2003. Amelioration of acidity with time bylimestone under contrasting tillage. Soil & Tillage Research, 72: 8594.

    Cruz-Lacierda, E.R., de la Pea, L.D., & Lumanlan-Mayo, S.C. 2000. The use of chemicals in aquacul-ture in the Philippines. In: Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., & Subasinghe, R.P. (eds.), Use of Chemi-cals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department,Tigbauan, Iloilo, Philippines, p. 155184.

    Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A Baseline for Research and Development. ILRI Publication 39. Interna-tional Institute for Land Reclamation and Improvement, Wageningen, 204 pp.

    Lin, C. & Melville, M.D. 1993. Control of soil acidification by fluvial sedimentation in an estuarinefloodplain, eastern Australia. Sedimentary Geology, 85: 113.

    Lin, C., Wood, M., Heskins, P., Ryffel, T., & Lin, J. 2004. Controls on water acidification and de-oxygen-ation in an estuarine waterway, eastern Australia. Estuarine Coastal and Shelf Science, 61: 5563.

    Madsen, H.B., Jensen, N.H., Jakobsen, B.H., & Platou, S.W. 1985. A method for identification andmapping potentially acid sulfate soil in Jutland, Denmark. Catena, 12: 363371.

    McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004a. KCl extractable pH (pHKCl) and titratable actual acidity (TAA). In:Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Minesand Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia. p. B2-1B2-3.

    McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004b. Peroxide pH (pHOX), titartable peroxide acidity (TPA) and excessacid neutralising capacity (ANCE). In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland

  • Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 1120

    Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia, p. B3-1B3-7.

    McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004c. Sulfur-peroxide oxidation method. In: Acid Sulfate Soils LaboratoryMethods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly,Queensland, Australia, p. B7-1B7-2.

    McElnea, A.E. & Ahern, C.R. 2004d. Sulfur 1M KCl extraction (SKCl). In: Acid Sulfate Soils LaboratoryMethods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly,Queensland, Australia, p. B8-1B8-2.

    Melville, M.D. 1993. Soil Laboratory Manual. School of Geography, The University of New South Wales,Sydney. 74 pp.

    Melville, M.D. 1998. Moisture content, bulk density, specific gravity, pore space relationships. In:Ahern, C.R., Blunden, B., & Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. AcidSulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW, p. 7.17.3.

    Mustafa, A. 1996. Pendederan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) di Tanah Gambut Melalui PengapuranDasar dan Susulan dengan Dosis Berbeda. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, UniversitasHasanuddin, Makassar. 181 hlm.

    Mustafa, A. 2007. Improving Acid Sulfate Soils for Brackishwater Aquaculture Ponds in South Sulawesi,Indonesia. Doctor of Philosophy Thesis. Faculty of Science, The University of New South Wales,Sydney, 418 pp.

    Mustafa, A. & Sammut, J. 2007. Effect of different remediation techniques and dosages of phosphorusfertilizer on soil quality and klekap production in acid sulfate soil-affected aquaculture ponds.Indonesian Aquaculture J., 2(2): 141157.

    Mustafa, A. & Pantjara, B. 2009. Karakteristik lahan budidaya tambak di Kabupaten Gorontalo Utara,Provinsi Gorontalo. Dalam: Permadi, E., Sipahutar, Y.H., Saifurridjal, Basith, A., Sugriwa, E., Siregar,A.N., Thaib, E.A., Surya, R., & Wulandari, N.S. (eds.), Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2009;Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta. hlm. 4453.

    Mustafa, A., Hasnawi, & Tarunamulia. 2010a. Karakteristik, keseuaian dan pengelolaan lahan untukbudidaya tambak di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Laporan Penelitian. Balai RisetPerikanan Budidaya Air Payau, Maros.

    Mustafa, A., Rachmansyah, dan Kamariah. 2010b. Kararketistik tanah di bawah tegakan jenis vegetasidan kedalaman tanah berbeda di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Laporan Penelitian.Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros.

    Mustafa, A., Sapo, I., & Paena, M. 2009. Studi penggunaan produk kimia dan biologi pada budidaya(Litopenaeus vannamei) di tambak Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Laporan Penelitian.Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros.

    Mustafa, A. & Rachmansyah. 2008. Kebijakan dalam pemanfaatan tanah sulfat masam untuk budidayatambak. Dalam: Sudradjat, A., Rusastra, I W., & Budiharsono, S. (eds.), Analisis Kebijakan PembangunanPerikanan Budidaya. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta, hlm. 111.

    Orndorff, Z.W., Daniels, W.L., & Fanning, D.S. 2008. Reclamation of acid sulfate soils using lime-stabilized biosolids. Journal of Environmental Quality, 37: 14471455.

    Pillai, V.K. & Boyd, C.E. 1985. A simple method for calculating liming rates for fish ponds. Aquaculture,46: 157162.

    Pitty, A.F. 1979. Geography and Soil Properties. Methuen & Co. Ltd., London.Pudadera, B.J. 1984. Liming and Fertilization. UNDP/FAO Network of Aquaculture Centres in Asia

    Philippine Lead Centre, Philippine.Sammut, J. & Lines-Kelly, R. 2000. An Introduction to Acid Sulfate Soils. Natural Heritage Trust, Austra-

    lia.Schaetzl, R.J. & Anderson, S. 2005. Soils: Genesis and Geomorphology. Cambridge University Press, Cam-

    bridge, 817 pp.Shamshuddin, J., Muhrizal, S., Fauziah, I., & Husni, M.H.A. 2004. Effect of adding organic materials to

    an acid sulfate soil on the growth of cocoa (Thebroma cacao L.) seedlings. Science of the Total

  • 1121 Distribusi kebutuhan kapur berdasarkan nilai Spos tanah ... (Akhmad Mustafa)

    Environment, 323: 3345.Simn, M., Martin, F., Garcia, I., Bouza, P., Dorronsoro, C., & Aguilar, J. 2005. Interaction of limestone

    grains and acidic solutions from the oxidation of pyrite tailings. Environmental Pollution, 135: 6572.

    Smith, J., van Oploo, P., Marston, H., Melville, M.D., & Macdonald, B.C.T. 2003. Spatial distributionand management of total actual acidity in an acid sulfate soil environment, McLeods Creek, north-eastern NSW. Catena, 51: 6179.

    Soil Survey Staff. 2001. Soil Taxonomy, a Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting SoilSurvey. United State Department of Agriculture, Washington D.C., 734 pp.

    Sulaeman, Suparto, & Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Dieditoleh: Prasetyo, B.H., Santoso, D., & Widowati, L.R. Balai Penelitian Tanah, Bogor, 136 hlm.

    Swingle, H.S. 1968. Standardization of chemical analysis for waters and pond muds. FAO FisheriesReport, 44(4): 397406.

    Tarunamulia & Mustafa, A. 2009. Peningkatan produktivitas tambak tanah sulfat masam melaluiperbaikan metode pengapuran. Dalam: Djumanto, Dwiyitno, Chasanah, E., Heruwati, E.S., Irianto,H.E., Saksono, H., Lelana, I.Y.B., Basmal, J., Murniyati, Murwantoko, Probosunu, N., Peranginangin,R., Rustadi, & Ustadi (eds.), Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan danKelautan Tahun 2009; Jilid I : Budidaya Perikanan. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas PertanianUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Indonesian Network on Fish Health Management, Bogordan Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta, hlm. RB-08: 19.

    Tisdale, S.L. & Nelson, W.L. 1975. Soil Fertility and Fertilizers. Third edition. MacMillan Publishing Co.Inc., New York.

    Trobos. 2010. Minapolitan: Kembangkan kawasan perikanan, tumbuhkan perekonomian. Trobos, 125Februari, 8081.

    de Queiroz, J.F., Nicolella, G., Wood, C.W., & Boyd, C.E. 2004. Lime application methods, water andbottom soil acidity in fresh water fish ponds. Scientia Agricola 61(5) Piracicaba Sept./Oct.

    Soleimani, K. & Modallaldoust, S. 2008. Production of Optimized DEM Using IDW Interpolation Method(Case Study; Jam and Riz Basin-Assaloyeh). J. of Applied Science, 8(1): 104111.

    White, I., Melville, M.D., Lin, C., van Oploo, P., Sammut, J., & Wilson, B.P. 1995. Identification andmanagement of acid sulphate soils. In: Hazelton, P.A. and Koppi, A.J. (eds.), Soil Technology - AppliedSoil Science - A Course of Lecturer. Third edition. Australian Society of Soil Science Inc., NSW Branchand Department of Agricultural Chemistry & Soil Science, The University of Sydney, Sydney, p.463497.

    White, I., Melville, M.D., Wilson, B.P., & Sammut, J. 1997. Reducing acidic discharges from coastalwetlands in eastern Australia. Wetlands Ecology and Management, 5:5572.