10_pariwisata budaya.pdf

20
1 PARIWISATA BUDAYA: PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (draft buku) Oleh: I Ketut Surya Diarta, SP, MA

Transcript of 10_pariwisata budaya.pdf

Page 1: 10_pariwisata budaya.pdf

1

PARIWISATA BUDAYA: PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

(draft buku)

Oleh: I Ketut Surya Diarta, SP, MA

Page 2: 10_pariwisata budaya.pdf

2

BAB 2

PENGERTIAN PARIWISATA BUDAYA

2.1 PARIWISATA, BUDAYA, DAN PARIWISATA BUDAYA

2.1.1 PARIWISATA

Pariwisata merupakan konsep yang sangat multidimensional. Tak bisa dihindari

beberapa pengertian pariwisata dipakai oleh praktisi dengan tujuan dan perspektif

yang berbeda-beda sesuai tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, beberapa ahli

mendefinisikan pariwisata sebagai:

The study of man away from his usual habitat, of the industry which responds to his needs, and of the impacts that both he and the industry have on the host’s socio-cultural, economic, and physical environments (Jafari, 1977 dalam Richardson & Flicker, 2004: 5).

Tourism comprises the ideas and opinions people hold which shape their decisions about going on trips, about where to go (and where not to go) and what to do or not to do, about how to relate to other tourists, locals and service personnel. And it is all the behavioural manifestations of those ideas and opinions (Leiper, 1995 dalam Richardson & Flicker, 2004: 6).

The activities of persons traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes (WTO dalam Richardson & Flicker, 2004: 6).

Konsep ’usual environment’ menjadi konsep yang sangat penting sebab hal ini

menjadi kriteria pertama yang membedakan pariwisata dari tipe perjalanan lainnya.

Penglaju misalnya, mereka pergi ke tempat kerja, sekolah, atau universitas walaupun

hal tersebut menempuh jarak yang cukup jauh namun masih terkait dengan lingkungan

sehari-harinya tidak dapat dikategorikan ke dalam kegiatan pariwisata. Menurut WTO

konsep usual environment mengandung dua dimensi sebagai berikut.

Page 3: 10_pariwisata budaya.pdf

3

a. Dimensi frekuensi

Tempat yang secara rutin atau teratur dikunjungi oleh seseorang adalah bagian dari

’usual environment’ dari orang tersebut. Meskipun, tempat ini terletak sangat jauh

dari tempat tinggal/rumah orang tersebut. Oleh karenanya, kategori ini tidak dapat

dikategorikan dalam pengertian pariwisata.

b. Dimensi jarak

Tempat atau lokasi yang terletak dekat dengan tempat tinggal seseorang adalah

‘usual environment’ meskipun lokasi tersebut sangat jarang dikunjungi.

Oleh karenanya, konsep ini mengandung pengertian tempat tertentu yang terletak di

sekitar tempat tinggal orang tersebut dan tempat-tempat yang dikunjunginya secara

rutin atau teratur.

Namun demikian, pendapat Smith (2004) dapat dijadikan acuan dalam memilih

pengertian standar yang relatif bisa diaplikasikan dan dipertanggungjawabkan secara

akademis. Menurut Smith (2004: 28), pengertian pariwisata haruslah: (a) dapat

diterima dan diterapkan secara global, (b) sesederhana dan sejelas mungkin, (c) dapat

diaplikasikan secara statistik, dan (d) sedapat mungkin konsisten dengan standar

internasional. Salah satu definisi yang dicontohkan oleh Smith (ibid) yaitu definisi

WTO tahun 1994 dimana pariwisata didefinisikan sebagai berikut.

…the set of activities engaged in by persons temporarily away from their usual environment, for a period not more than one year, and for a broad range of leisure, business, religious, health, and personal reasons, excluding the pursuit of remuneration from within the place visited or long-term change of residence (Smith, 2004: 29)

Tidak seperti pengertian wisatawan, pada pengertian pariwisata di atas lebih

ditekankan pada segi aktifitas atau kegiatan wisatawannya. Ada beberapa elemen dari

definisi WTO tersebut.

a. Definisi tersebut lebih bersifat demand-side. Dalam konteks ini pariwisata

dipandang sebagai sesuatu yang orang (wisatawan) lakukan, bukan sebagai sesuatu

yang dihasilkan oleh aktifitas bisnis (businesses produce). Konsekuensinya, ketika

mengukur magnitud pariwisata sebagai aktifitas ekonomi kita harus fokus pada

pengeluaran wisatawan dalam perjalanan wisatanya. Bukan sebaliknya, dengan

memasukkan aktifitas bisnis oleh hotel dan tur operator yang menjual sebuah

paket wisata siap jual. Konsekuensinya, hal-hal yang tidak terhitung dalam definisi

tersebut sebenarnya sama pentingnya dengan hal-hal yang dimasukkan dalam

Page 4: 10_pariwisata budaya.pdf

4

perhitungan. Investasi pemerintah, bisnis di bidang penyediaan infrastruktur,

penyedia layanan pariwisata, biaya konstruksi kapal, gaji karyawan pada

perusahaan penyelenggara usaha pariwisata tidak tercakup dalam definisi

pariwisata ini.

b. Definisi WTO tersebut merujuk pada usual environment. Dalam konteks

pariwisata internasional, hal ini didefinisikan sebagai melewati perbatasan

internasional yang memisahkan dua negara. Jarak aktual dari perjalanan menjadi

tidak relevan sebab penekanan pada perbatasan nasional sebagai karakteristik

definisi pariwisata menjadi problematik di Uni Eropa di mana formalitas batas

nasional sudah “hilang” bagi penduduk Uni Eropa yang tiap hari ulang alik

melintasi batas nasional negaranya dengan negara tetangganya.

c. Definisi WTO tersebut tidak menyebutkan secara spesifik lama tinggal di tempat

tujuan. Menurut definisi WTO ini, bisa saja perjalanan dalam sehari adalah

perjalanan wisata sebagaimana perjalanan beberapa bulan sampai kurang dari

setahun (Smith, 2004: 29-30). Sebagai solusinya, WTO merevisi perngertian

wisatawan dalam konsep pariwisata dengan mengklasifikasikan menjadi visitor

(orang yang terlibat dalam pariwisata sebagai konsumer), tourist (visitor yang

tinggal lebih dari semalam/menginap), dan same-day visitor (visitor yang tidak

menginap).

Menurut WTO (Theobald, 2005: 18-19), terdapat tiga elemen dasar dalam

pengertian pariwisata secara holistik sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1 yaitu:

• domestic tourism (residen/penduduk yang mengunjungi/mengadakan perjalanan

wisata dalam wilayah negaranya)

• inbound tourism (non residen/bukan penduduk yang mengadakan perjalanan

wisata masuk ke negara tertentu)

• outbound tourism (residen/penduduk yang melakukan perjalanan wisata ke

negara lain).

Ketiga bentuk pariwisata ini dapat dikombinasikan sedemikian rupa sehingga dapat

diturunkan tiga kategori lagi yaitu:

• internal tourism (termasuk domestic tourism dan inbound tourism).

• national tourism (termasuk domestic tourism dan outbound tourism).

• international tourism (termasuk inbound dan outbound tourism).

Page 5: 10_pariwisata budaya.pdf

5

Gambar 1. Bentuk-bentuk pariwisata

Perlu dipahami bahwa walaupun Gambar 1 di atas merujuk kepada sebuah negara

tertentu, tetapi dapat diterapkan pada setiap unit geografis.

2.1.2 BUDAYA

Budaya merupakan sebuah konsep yang lebih kompleks dibandingkan dengan

pariwisata. Hal ini dibuktikan oleh berkembangnya selama bertahun-tahun debat

mengenai definisi budaya dari berbagai disiplin ilmu. Buku ini tidak dimaksudkan untuk

me-review berbagai macam definisi tersebut. Namun, lebih ditekankan pada

bagaimana pendefinisian budaya tersebut dipergunakan dalam konteks pariwisata.

Berdasarkan bagaimana definisi budaya dipergunakan, maka dapat

dikategorikan ke dalam tiga kategori utama sebagai berikut.

(i) as a general process of intellectual, spiritual and aesthetic development; (ii) as indicative of a particular ‘way of life’; and (iii) as the works and practices of intellectual and artistic activity (William dalam McDonald, 2004: 19)

Menurut kategori di atas, ranah penggunaan pengertian ‘budaya’ mencakup ranah

kognitif (serangkaian pengetahuan) berupa proses intelektual, spiritual dan estetika.

Selanjutnya, mencakup ranah afektif (serangkaian sikap) berupa tatanan hidup dan

Sumber: WTO (Theobald, 2005: 18)

Domestic

Inbound Outboundd

international

National Internal

Page 6: 10_pariwisata budaya.pdf

6

terakhir mencakup ranah psikomotorik (serangkaian keterampilan) berupa hasil karya

atau produk yang menjadi ‘wujud’ dari kedua ranah di atas.

Seiring perjalanan waktu, terjadi pergeseran pemahaman ‘budaya’ dari konsep

budaya sebagai ‘proses’ ke arah konsep budaya sebagai ‘produk.’ Pertama, budaya

sebagai proses umumnya menjadi pendekatan dalam kajian Antropologi dan Sosiologi

yang menekankan pengertian budaya sebagai konsep sistem simbolik atau code of

conduct yang menjadi wahana masyarakat memproduksi dan mereproduksi nilai,

kepercayaan, dann perilaku yang memungkinkan masyarakat pendukungnya memaknai

keberadaan dan pengalamannya sebagaimana dideskripsikan sebagai berikut.

Culture...is seen as a set of practices, based on forms of knowledge, which encapsulate common values and act as general guiding principles. It is through these forms of knowledge that distinctions are creaed and maintained, so that, for example, one culture is marked off as different from another (Meethan dalam McDonald, 2004: 20).

Budaya menurut pemahaman di atas merupakan seperangkat kebiasaan

berdasarkan pengetahuan yang berasal dari kristalisasi nilai-nilai yang disepakati

bersama sebagai prinsip-prinsip atau tuntunan hidup bersama. Karena budaya

disususn dari pengetahuan lokal atau kearifan lokal yang beragam, maka sebuah

budaya dapat dibedakan dengan budaya yang lainnya. Misalnya, budaya orang Bali

dapat dibedakan dengan budaya orang Sunda.

Kedua, pendekatan budaya sebagai produk merujuk pada hasil karya dari

aktifitas individu atau masyarakat dimana makna tertentu melekat pada produk

tersebut. Dalam pendekatan ini, sering dikategorikan lagi menjadi high culture dan low

culture. High culture termasuk di dalamnya seperti theater, museum, arsitektur yang

mengimplikasikan ’elitisme’ dan memerlukan apresiasi estetika yang tinggi. Dalam

tataran ini, budaya berkaitan dengan kemampuan sensibilitas estetika yang

memungkinkan seseorang mengapresiasi sebuah produk (seni) dan selanjutnya

memungkinkannya untuk menilainya sebagai sesuatu yang ’bagus’ atau ’jelek’

berdasarkan pengetahuan memadai yang dimilikinya. Sebaliknya low culture atau

budaya massal merupakan lawan dari pengertian sebelumnya yang bisa mencakup

musik pop, opera sabun, sinetron, Disneyland, Dufan Ancol, dan sejenisnya. Low

culture tidak dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang elit, tidak juga mensyaratkan

pengetahuan memadai sebelumnya untuk bisa menikmatinya. Konsep budaya sebagai

produk juga bersifat deskriptif dan preskriptif. Deskriptif berarti budaya

Page 7: 10_pariwisata budaya.pdf

7

memberitahukan apa yang dicakup didalamnya, sedangkan preskriptif mensyaratkan

penilaian sebagai wahana untuk memberitahu kita apa yang boleh dan apa yang tidak

boleh dilakukan.

2.1.3 PARIWISATA BUDAYA

Berdasarkan dua pendekatan budaya di atas, pariwisata budaya juga dapat

didekati melalui pendekatan proses dan pendekatan produk. Pertama, menurut

Bonink (dalam McDonald, 2004: 22) pariwisata budaya berdasarkan pendekatan

proses mengacu pada pendekatan konseptual atau pendekatan eksperiensial.

Penekanannya pada motivasi dan pengalaman. Berdasarkan pendekatan proses ini,

beberapa definisi pariwisata budaya dapat disusun sebagai berikut.

The movement of persons to cultural attractions away from their normal place of residence, with the intention to gather new information and experiences to satisfy their cultural needs (European Association for Tourism and Leisure Educations (ATLAS) dalam McDonald, 2004: 22).

Posisi definisi ATLAS di atas sangat sentral dan sangat menekankan komponen

pendidikan dan pembelajaran yang dianggap sangat penting dalam pariwisata budaya.

Definisi lainnya yang menekankan pentingnya komponen motivasi adalah definisi

pariwisata budaya oleh The Canadian Tourism Commission (CTC) sebagai berikut.

Cultural...tourism occuurs when participation in a cultural or heritage activity is a significant factor of traveling (CTC dalam McDonald, 2004: 22).

Definisi CTC ini menempatkan komponen motivasi wisatawan untuk berpartisipasi

dalam kegiatan budaya dan/atau motivasi mengunjungi tempat peninggalan budaya

sebagai sentral dari perjalanan wisata yang dilakukan.

Sisi lain, definisi pariwisata budaya yang menekankan sisi pengalaman sebagai

sentralnya diajukan oleh ahli lain sebagai berikut.

…that activity which enables people to explore or experience the different ways of life of other people, reflecting the social customs, religious traditions and the intellectual ideas of a cultural heritage which may be unfamiliar (Borley dalam MacDonald, 2004: 22)

Dari definisi di atas, terlihat bahwa pariwisata budaya menekankan aktifitas wisatawan

untuk mengekplorasi cara dan kebiasaan hidup masyarakat lain yang merefleksikan

tradisi, budaya, dan kehidupan releginya termasuk di dalamya beragam ide dan

peninggalan budaya yang mungkin saja tidak familiar bagi wisatawan dari tempat lain.

Page 8: 10_pariwisata budaya.pdf

8

Mengingat sebagian pariwisata bisa dianggap sebagai kegiatan budaya dalam

derajat tertentu (dimana beberapa perjalanan atau kunjungan yang dilakukan

melibatkan pengalaman untuk mengetahui dan memahami budaya lain), melibatkan

motivasi dalam melakukan wisata sebagai elemen pokok dalam pengertian pariwisata

budaya menjadi sangat penting. Oleh karenanya, ketika memahami pariwisata budaya

maka kegiatan mengunjungi sebuah museum tidak cukup dikatakan sebagai sebuah

pengalaman dalam pariwisata budaya. Namun, yang terpenting adalah adanya

‘motivasi’ untuk mengunjungi museum tersebut dalam memenuhi hasrat dan

kebutuhan untuk ikut merasa ‘terlibat’, ‘mengkonsumsi’, dan ‘mengalami’ budaya yang

diminati sebagai bagian terpenting dari dan kepada wisatawan.

Kedua, konsep pariwisata budaya yang berhubungan dengan pendekatan

produk (ibid, hal. 21-22) mengacu pada pendekatan deskriptif (’situs dan monumen’

ketimbang ’motivasi dan pengalaman’). Pendekatan produk ini lebih menekankan pada

berbagai tipe atraksi wisata budaya yang dikunjungi oleh wisatawan. Menurut World

Tourism Organization (WTO) pariwisata budaya dalam pendekatan produk

didefinisikan sebagai berikut.

Cultural tourism refers to a segment of the industry that places special emphasis on cultural attractions. These attractions are varied, and include performances, museums, displays, and the like. In developed areas, cultural attractions museums, plays, and orchestral and other musical performances….In less developed areas, they might include traditional religious practices, handicrafts, or cultural performances (dikutip McDonald, 2004: 21).

Sebagaimana dapat disimak definisi WTO di atas, pariwisata budaya dikategorikan

sebagai sebuah segmen industri yang sama seperti industri lainnya tetapi produk yang

dihasilkan dan dijual menekankan pada atraksi budaya. Atraksi budaya yang dimaksud

bisa beragam mulai dari pertunjukan seni, museum, pameran, permainan rakyat,

orkestra, musik, ritual agama, kerajinan, dan pertunjukan budaya lainnya. Pendekatan

produk dalam pariwisata budaya sangat berguna bagi penelitian kuantitatif mengingat

memungkinkan kita untuk mengidentifikasi, menghitung dan mewawancarai

pengunjung pada atraksi wisata tertentu.

Pertanyaan berikutnya adalah definisi pariwisata mana yang dianut dalam buku

ini? Untuk menyediakan bingkai berpikir mengenai pariwisata budaya dalam

Page 9: 10_pariwisata budaya.pdf

9

memahami uraian selanjutnya dalam buku ini, akan dielaborasi kedua pendekatan

tersebut di atas menjadi sebagai berikut.

Cultural tourism is a segment of the industry occurring when people are motivated wholly or in part to explore or experience the different ways of life and/or ideas of other people, reflecting the social customs, religious traditions and cultural heritage which may be unfamiliar (Borley dalam McDonald, 2004: 23).

Jadi, pariwisata budaya harus menyangkut pendekatan proses dan produk sekaligus.

Pariwisata budaya adalah sebuah segmen industri pariwisata yang terjadi

ketika wisatawan yang terlibat digerakkan oleh motivasinya untuk

mengekslorasi atau menikmati atau mengkonsumsi cara hidup, ide,

tradisi, relegi dan warisan budaya yang mungkin kurang familiar dari

kesehariannya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya.

Ahli lain, Gee dan Fayos-Sola (1997: 3-9) mengatakan bahwa pendefinisian

pariwisata budaya tidaklah mudah agar bisa memuaskan semua pihak. Bahkan

ICOMOS (The International Council on Monuments and Sites) berpendapat bahwa

”pariwisata budaya sebagai sebuah nama yang berarti banyak hal dengan segala

kekuatan dan kelemahan makna yang melekat padanya.” Umumnya orang akan

memakai definisi tertentu yang paling sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.

Namun, dari studi literatur yang dilakukan oleh Gee dan Fayos-Sola (ibid: 3) definisi

pariwisata budaya dapat digolongkan ke dalam empat kategori yaitu: tourism derived,

motivational, experiential dan operational. Beberapa definisi bersifat komprehensif

sementara yang lainnya bersifat sederhana dan praktis.

a. Tourism-derived definition

Definisi dalam konteks ’tourism-derived definition’ menempatkan pariwisata

budaya dalam kerangka pariwisata dan manajemen pariwisata yang lebih luas. Sebagai

contoh, pariwisata didefinisikan sebagai ’sebuah bentuk pariwisata dengan minat

khusus, dimana budaya dengan segala bentuk atau manifestasinya menjadi dasar baik

dlam menarik wisatawan atau memotivasi orang untuk melakukan perjalanan wisata’

(McIntosh & Goeldner 1990; Zeppel 1992; Ap 1999 dalam McKercher & du Cros,

2002: 4).

Definisi lain menempatkan pariwisata budaya dalam konteks sistem budaya

dimana pariwisata budaya merupakan pariwisata yang melibatkan orang, tempat, dan

warisan budaya (Zeppel & Hall 1991 dalam McKercher & du Cros, 2002: 4) atau

Page 10: 10_pariwisata budaya.pdf

10

menempatkannya dalam konteks pergerakan sementara orang (Richards 1996 dalam

McKercher & du Cros, 2002: 4).

Pengertian pariwisata budaya dalam perspektif bisnis melibatkan

pengembangan dan pemasaran dari beragam situs atau atraksi budaya kepada

wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun domestik (Goodrich 1997 dalam

McKercher & du Cros, 2002: 4).

b. Motivational definition

Beberapa ahli melihat bahwa sebagian wisatawan mempunyai motivasi

tertentu yang berbeda dengan wisatawan lainnya dan oleh karenanya faktor motivasi

harus dipandang sebagai elemen penting ketika mendefinisikan pariwisata budaya.

WTO mendefinisikan pariwisata budaya sebagai berikut.

Movement of persons essentially for cultural motivations such as study tours, performing arts and cultural tours, travel to festivals and other events, visit to sites and monuments, travel to study nature, folkflore or art, and pilgrimages (WTO 1985 dalam McKercher & du Cros, 2002: 4). Dari definisi WTO di atas sangat jelas bahwa pariwisata budaya dimulai dari

adanya motivasi atau alasan-alasan budaya yang menyebabkan wisatawan melakukan

perjalanan wisatanya ke daerah tujuan wisata yang diinginkan. Motivasi budaya

tersebut dapat beragam bentuknya seperti pertunjukan seni, studi tur, festival,

berziarah dan sebagainya.

Senada dengan definisi WTO di atas, Provinsi Ontario di Kanada

mendefiniskan pariwisata budaya sebagai berikut.

Visits by persons from outside the host community motivated wholly or in part by interest in the historical, artistic, scientific, or lifestyle/heritage offerings of the community, region, group, or institution (Silberberg 1995 dalam McKercher & du Cros, 2002: 4)

Berdasarkan definisi di atas, wisatawan melakukan perjalanan dalam konteks

pariwisata budaya juga dipicu oleh adanya motivasi/hasrat baik secara keseluruhan

maupun sebagian oleh alasan-alasan budaya misalnya gaya hidup masyarakat yang

dituju, kesenian artistic atau situs bersejarah dan sebagainya.

c. Experiential/Aspirational definition

Motivasi, kalau tanpa pengaruh faktor lain, tidak akan mampu menggambarkan

magnitud pariwisata budaya secara utuh. Pariwisata budaya juga menyangkut aktifitas

eksperiensial dan elemen aspirasi. Setidaknya, pariwisata budaya melibatkan

pengalaman khusus atau kontak dengan intensitas tertentu dengan sistem sosial lain di

Page 11: 10_pariwisata budaya.pdf

11

daerah tujuan wisata, warisan budaya, dan karakter khusus dari tempat atau daerah

tujuan wisata tersebut (Blackwell 1997; Schweitzer 1999 dalam McKercher & du

Cros, 2002: 5). Dengan konsep ini, dengan mengalami dan bersentuhan langsung

dengan budaya lain diharapkan wisatawan semakin mendapat pembelajaran dari

pengalamannya disamping juga semakin merasa terhibur, mempunyai kesempatan

untuk belajar tentang komunitas yang dikunjunginya, atau memiliki kesempatan

mempelajari arti penting suatu tempat atau kawasan dan bagaimana hubungan

kawasan tersebut dengan komunitas yang mendiaminya, peninggalan yang dimilikinya,

budaya, dan lingkungan di sekitarnya. Beberapa wisatawan bahkan menilai pariwisata

budaya sebagai wahana untuk menumbuhkan rasa saling memahami dengan budaya

dan peradaban masyarakat lainnya.

d. Operational definition

Pendekatan definisi pariwisata budaya yang paling umum dipakai adalah definisi

operasional. Menurut pendekatan operasional, pariwisata budaya diartikan sebagai

berikut.

Cultural tourism is defined by participation in any one of an almost limitless array of activities or experiences. Indeed, it is common to avoid defining cultural tourism, instead stating that “cultural tourism includes visits to…” By inference, if someone visits of these attractions, that person must be a cultural tourist; thus the activity must be a cultural tourism activity. Motivation, purpose or depth of experience count less than participation (McKercher & du Cros, 2002: 5) Menurut definisi di atas, pariwisata budaya mencakup semua aktitifitas

pariwisata berupa partisipasi pada hampir semua kegiatan atau pengalaman wisata.

Luasnya cakupan definisi pariwisata budaya tersebut dimaksudkan justru untuk

menghindari pendefinisian pariwisata budaya itu sendiri. Argumentasinya adalah,

daripada mendefinisikan “pariwisata budaya mencakup kunjungan ke….” Maka secara

tersirat jika seseorang mengunjungi atau berpartisipasi pada semua kegiatan wisata,

mengunjungi atraksi wisata dapat dikatakan wisatawan tersebut melakukan kegiatan

pariwisata budaya sehingga kegiatan tersebut otomatis dapat dikatakan sebagai

kegiatan pariwisata budaya. Motivasi, tujuan, atau kedalaman pengalaman dari

kegiatan tersebut haruslah didasari oleh adanya partisipasi aktif wisatawan.

Literatur pariwisata mengidentifikasi beberapa contoh kegiatan atau aktifitas

dalam pariwisata budaya termasuk di dalamnya penggunaan asset warisan budaya

termasuk situs arkeologi, museum, kastil, istana, pura, masjid, gereja, tempat suci,

bangunan bersejarah, bangunan terkenal, barang seni, patung, kerajinan, festival, even,

Page 12: 10_pariwisata budaya.pdf

12

musik dan tari, seni tradisional, theater, budaya primitif, komunitas etnik, dan semua

hal yang mewakili dan menggambarkan hugungan suatu komunitas dengan budayanya

(Richards 1996, Goodrich 1997, Miller 1997 dan Jamieson 1994 dalam McKercher &

du Cros, 2002: 5).

Definisi operasional menyoroti semua potensi cakupan dari aktifitas

pariwisata namun saat bersamaan mengandung potensi masalah yaitu bagaimana

menentukan suatu parameter apa yang termasuk dan apa yang tidak termasuk ke

dalam pariwisata budaya. Pariwisata budaya mempunyai batas-batas yang tidak jelas

sehingga hampir mustahil menjelaskan parameter absolutnya atau menentukan

sumberdaya apa saja yang dipergunakan atau digunakan oleh wisatawan dalam

pariwisata budaya. Sejatinya, pariwisata budaya telah menjadi istilah payung dari

aktifitas pariwisata yang sangat luas termasuk dan tak terbatas di dalamnya seperti

pariwisata etnik, pariwisata sejarah, pariwisata seni, pariwisata museum, dan

sebagainya.

2.2 ELEMEN-ELEMEN DALAM PARIWISATA BUDAYA

Berbagai pendekatan definisi pariwisata budaya seperti telah dibahas

sebelumnya bukannya tanpa kelemahan. Definisi pariwisata budaya tersebut bukannya

jelek, tetapi lebih diakibatkan karena hampir mustahil untuk merekam semua esensi

dari pariwisata budaya dalam sebuah atau dua buah kalimat dalam definisi tertentu.

Oleh karenanya, daripada menambah daftar panjang definisi pariwisata budaya yang

akan jatuh pada kelemahannya sendiri atas batasan definisi yang diberikan, lebih baik

menempatkan pada beberapa tema umum yang tercakup dalam beberapa definisi yang

telah ada yang membangun pengertian kita tentang pariwisata budaya.

Menutut McKercher & du Cros (2002: 6), pariwisata budaya mencakup empat

elemen sebagai berikut.

a. Pariwisata

Untuk mengatakan bahwa pariwisata budaya merupakan bagian dari pariwisata

kelihatannya tidak akan menjelaskan apa-apa karena sudah benar dengan sendirinya.

Tetapi kalau dianalisa padanan kata ‘pariwisata budaya’ terdiri dari kata ‘pariwisata’

yang merupakan kata benda dan ‘budaya’ sebagai kata sifat yang menjelaskan tipe

‘pariwisata’ yang dijelaskannya. Namun, bagaimanapun juga sebagai salah satu bentuk

pariwisata maka seharusnya penekanannya pada pariwisatanya terlebih dahulu baru

diikuti oleh penekanan budayanya. Lebih spesifik, keputusan yang akan diambil dalam

Page 13: 10_pariwisata budaya.pdf

13

kerangka pariwisata budaya harus berdasarkan alasan-alasan pariwisata baru alasan-

alasan lainnya termasuk alasan budaya.

Alasan penekanan alasan pariwisata terlebih dahulu kadang tidak mendapat

apresiasi dari beberapa komunitas. Bagi yang konsen di bidang budaya yang mungkin

memandang pariwisata sebagai wahana untuk mencapai agenda lain termasuk di

dalamnya pelestarian budaya sehingga penekanan pada pariwisata menjadi kurang

tepat. Atau, pihak yang kurang mengerti bagaimana mengelola sebuah aset budaya

sehingga bisa bekerja sebagai atraksi wisata. Sebagai sebuah aktifitas pariwisata,

pariwisata budaya akan menarik wisatawan dari luar yang melakukan perjalanan

utamanya untuk menyenangkan diri dengan dana yang terbatas dan mungkin

mengetahui sedikit hal tentang pentingnya aset wisata yang akan dikunjunginya.

Suksesnya produk pariwisata budaya haruslah diletakkan pada konsep berpikir akan

’apa yang dipikirkan wisatawan’.

b. Penggunaan aset/warisan budaya

Secara prinsip, bangun pariwisata budaya menggunakan aset budaya suatu

komunitas atau bahkan suatu negara. The International Council on Monuments and

Sites (ICOMOS) mendefinisikan warisan budaya sebagai sebuah konsep yang luas yang

mencakup aset warisan budaya yang terlihat dan nyata (tangible) seperti lingkungan

alam dan budaya, tempat bersejarah, lanskap, situs, bangunan dan sejenisnya.

Berikutnya adalah aset warisan budaya yang tidak dapat terlihat tetapi dapat dirasakan

seperti tata nilai, norma, pengetahuan, pengalaman hidup, legenda, dan sejenisnya.

Aset warisan budaya ini mula-mula biasanya diidentifikasi dan dikonservasi

karena nilai intrinsiknya atau arti pentingnya bagi suatu komunitas dibandingkan

dengan nilai ekstrinsiknya sebagai atraksi wisata. Biasanya, potensi pariwisata dari

suatu aset budaya jarang disadari ketika pertama kali ditemukan. Pada titik ini,

umumnya dokumentasi arti penting aset budaya terkonsentrasi pada nilai estetikanya,

bentuk arsitekturnya, sejarahnya, fungsi sosialnya, nilai spiritualnya, nilai

pendidikannya dimana unsur pariwisata menempati bagian yang kurang penting di

bawah subset nilai pendidikan atau subset nilai sosial.

Salah satu paradok dari pariwisata budaya adalah di satu sisi keputusan untuk

pengembangan sektor ini harus dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan pariwisata,

tetapi di sisi lain aset budaya yang dijadikan modal dasarnya justru sering dikelola

dengan prinsip-prinsip manajemen warisan budaya. Konsekuensinya, sering muncul

Page 14: 10_pariwisata budaya.pdf

14

ketidaksinkronan antara manajemen pariwisata dengan manajemen perlindungan aset

budaya. Berbagai kelompok masyarakat (termasuk wisatawan, etnis lokal dan

penduduk lokal lainnya) memandang aset budayanya dari berbagai perspektif dengan

beragam alasan tertentu dan oleh karenanya mengambil manfaat yang berbeda pula.

Konsekuensinya, usaha untuk memadukan konsep manajemen pariwisata dengan

manajemen perlindungan aset budaya menjadi lebih rumit. Pendekatan yang berlainan

ini dapat menjadi sumber masalah di lapangan.

c. Konsumsi produk dan pengalaman

Semua kegiatan pariwisata melibatkan aktifitas konsumsi baik berupa

’konsumsi pengalaman/kegiatan wisata’ atau ’konsumsi produk wisata’ (Urry 1990;

Richards 1996 dalam McKercher & du Cros, 2002: 8) dan pariwisata budaya dalam

hal ini tidak ada bedanya. Wisatawan yang terlibat dalam pariwisata budaya

menginginkan menikmati beragam pengalaman budaya. Untuk menfasilitasi hal ini, aset

dan warisan budaya harus ditransformasi ke dalam produk pariwisata. Proses

transformasi ini memerlukan sebuah proses mengubah atau mengkonversi sebuah

aset yang potensial menjadi sesuatu yang dapat berguna atau dapat dinikmati oleh

wisatawan.

Proses transformasi ini merupakan bagian integral dari keberhasilan dan

keberlanjutan dari produk pariwisata budaya. Tegasnya, transformasi ini perlu karena

terdapat perbedaan substantif antara aset budaya/warisan budaya dengan produk

pariwisata budaya. Aset budaya/warisan budaya merupakan aset yang belum

mengalami komodifikasi atau komersialisasi yang masih berupa aset mentah (bahan

baku) yang dapat diidentifikasi karena nilai intrinsiknya. Di sisi lain, produk pariwisata

budaya merupakan aset yang sudah ditransformasi atau dikomodifikasi secara spesifik

untuk dapat dikonsumsi atau dinikmati oleh wisatawan.

d. Wisatawan

Elemen terakhir dalam konsep pariwisata budaya adalah wisatawan. Beberapa

definisi pariwisata budaya menyangkut elemen wisatawan yang mempunyai

karakteristik khusus dimana motivasi utamanya dalam melakukan perjalanan wisata

adalah untuk mempelajari, memahami, mengalami, atau mengekplorasi budaya lain.

Beberapa pihak menyadari bahwa motivasi wisatawan dalam melakukan kegiatan

dalam pariwisata budaya terletak dari kontinum secara khusus memang untuk alasan-

Page 15: 10_pariwisata budaya.pdf

15

alasan seperti di atas sampai pada kondisi dimana pariwisata budaya ’secara tidak

sengaja’ menjadi bagian elemen tertentu dari paket wisata yang diikutinya.

Kualitas pariwisata budaya sangat tergantung pada bagaimana kita menangani

elemen wisatawan ini. Harapan dan bayangan yang ada di pikiran wisatawan sebelum

mereka melakukan perjalanan wisata budaya sangat menentukan bagaimana

perilakunya terhadap budaya atau warisan budaya di tempat yang ingin dikunjunginya.

Oleh karenanya, penyediaan informasi yang benar, jujur, akurat dan handal mengenai

segala aspek yang menyangkut pariwisata budaya kepada calon wisatawan menjadi

sangat penting. Jika hal ini dilakukan dengan baik, terkadang justru memainkan peran

lebih penting dibandingkan keberadaan aset budaya itu sendiri. Hal inilah yang sering

dilakukan oleh pengelola pariwisata di luar negeri padahal aset budaya yang dijadikan

modal dalam industri pariwisata budayanya tidaklah selalu lebih baik dari yang kita

miliki karena pada hakekatnya setiap budaya memiliki kehususan dan sangat bersifat

unik.

2.3 PARIWISATA DAN BUDAYA: KOLABORATOR ATAU KOMPETITOR?

Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pariwisata budaya adalah

mencari keseimbangan antara manajemen pariwisata dengan manajemen

budaya/warisan budaya. Lebih operasional, bagaimana memadukan sisi konsumsi akan

nilai ekstrinsik oleh wisatawan dengan upaya konservasi nilai intrinsik dari aset

budaya tersebut. Konflik kadang terjadi mengingat kedua aspek tersebut

menggunakan satu sumber daya yang sama yaitu aset budaya/warisan budaya.

Dalam bangun yang ideal, pariwisata budaya hanya bisa dibangun dengan baik

jika ada kolaborasi yang saling menguntungkan antara kedua elemen tersebut.

ICOMOS menyadari hal ini melalui statemennya sebagai berikut.

Tourism can capture the economic characteristics of heritage and harness these for conservation by generating funding, educating the community and influencing policy (ICOMOS 1999).

Dalam prakteknya, kemitraan antara elemen pariwisata dan elemen budaya bukanlah

sesuatu yang mudah terkadang bahkan tidak kompatibel. Kemitraan umumnya akan

berhasil ketika pemangku kepentingan yang terlibat terbatas dan mempunyai

pemahaman dan nilai yang sama akan permasalahan yang dihadapinya. Sebaliknya,

Page 16: 10_pariwisata budaya.pdf

16

konflik atau potensi konflik lebih cenderung terjadi ketika begitu banyaknya

pemangku kepentingan terlibat dan mempunyai pemahaman beragam atau tindakan

salah satu pemangku kepentingan yang tidak diinginkan oleh yang lainnya karena

menghambat kemajuan atau merugikan pihak lain.

Berkaitan dengan pariwisata budaya, menurut Kerr (1994 dalam McKercher &

du Cros, 2002: 12), ketidaksinkronan antara kepentingan pariwisata dan kepentingan

konservasi sering terjadi sebagaimana tersirat sebagai berikut, ”what is good for

conservation is not necessarily good for tourism and what is good fo tourism is rarely good

for conservetion.” Dalam prakteknya, nilai-nilai budaya telah banyak yang

dikompromikan untuk keuntungan komersial dimana asset-aset budaya disajikan

sebagai produk-produk pariwisata yang bersifat komersial agar dapat dengan mudah

dikonsumsi oleh wisatawan. Sebaliknya, nilai-nilai pariwisata dikompromikan untuk

kepentingan konservasi asset budaya ketika nilai-nilai pariwisata dianggap akan

merusak eksistensi asset budaya tersebut. Menurut McKercher & du Cros (2002: 12),

dalam sejarah pariwisata budaya lebih banyak diwarnai oleh kompetisi pemakaian

sumberdaya yang sama dibandingkan dengan kolaborasi untuk mencapai keuntungan

bersama. Hal ini bersumber dari perbedaan substantif antara manajemen pariwisata

yang dianut dalam pengelolaan pariwisata budaya dengan manajemen warisan budaya

sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Perbandingan Manajemen Warisan Budaya dengan Manajemen Pariwisata

No Issues Cultural Heritage Management

Tourism Management

1 Structures • Public sector oriented

• Not for profit

• Private sector oriented

• Profit making 2 Goals • A broader social goal • Commercial goals 3 Key stakeholders • Community groups

• Heritage groups

• Minority ethnic/indigenious groups

• Local residents

• Organizations for heritage professional/local historical/religious leaders

• Business groups

• Nonlocal residents

• National tourism trade association, other industries bodies

4 Economic attitude to assets

• Existence values

• Conserve for their intrinsic values

• Use values

• Consume for their intrinsic or extrinsic appeal

5 Key user groups • Local residents • Non local residents

6 Employment background

• Social science/arts degrees • Business/marketing degrees

7 Use of asset • Value to community as a representation of tangible and intangible heritage

• Value to tourist as product or activity that can help brand a destination

Page 17: 10_pariwisata budaya.pdf

17

8 International political bodies/NGOs

• ICOMOS/UNESCO (promote conservation of culture)

• WTO/WTTC (promote development of tourism)

Sumber: diadopsi dari McKercher & du Cros (2002: 14),

Berdasarkan perbandingan di atas, terlihat bahwa manajemen warisan budaya

bertujuan untuk melindungi dan memproteksi budaya/warisan budaya sebagai

representasi dari suatu komunitas tertentu untuk kepentingan masa depan. Tujuannya

adalah untuk melindungi kepentingan umum yang lebih luas. Manajemen budaya/

warisan budaya biasanya dikelola oleh organisasi nirlaba (misalnya oleh dinas

kebudayaan) yang dijalankan oleh pemerintah, kelompok masyarakat atau kelompok

etnik tertentu yang memperlakukan aset budaya lebih karena nilai intrinsik aset

budaya tersebut bagi masyarakat dibandingkan dengan pertimbangan komersial.

Sebaliknya, dalam manajemen pariwisata, kegiatan yang dilakukan lebih berupa

aktifitas-aktifitas komersial yang didominasi oleh sektor swasta yang didorong oleh

hasrat mendapatkan keuntungan atau keinginan pemerintah untuk mencapai tujuan-

tujuan ekonomi tertentu. Oleh karenanya, dalam manajemen pariwisata lebih

cenderung menggunakan nilai aset budaya untuk tujuan komersial.

Hubungan antara manajemen budaya/warisan budaya dengan manajemen

pariwisata memungkinkan beberapa kemungkinan. Menurut Budowksi (1977 dalam

McKercher & du Cros, 2002: 15) terdapat tiga kemungkinan hubungan yaitu:

1. Coexistence

Hubungan ini cenderung terjadi pada tahap awal pengembangan pariwisata

ketika hanya beberapa operator pariwisata membawa wisatawan dalam jumlah kecil.

Karena jumlah wisatawan masih sedikit maka kontak antara wisatawan dengan

kebudayaan lokal juga kurang intensif dan masif. Konsekuensinya, pariwisata

dipandang sebagai aktifitas yang tidak mengandung potensi ancaman yang besar.

2. Conflict

Seiring bertambahnya jumlah kunjungan wisatawan, potensi konflik mulai

nampak terutama jika tidak adanya perencanaan manajemen pariwisata dan

manajemen pengelolaan budaya/warisan budaya yang terpadu. Konflik mulai

meningkat eskalasinya ketika pariwisata dianggap mulai mempunyai potensi merusak

atau mengancam keberadaan budaya/warisan budaya suatu komunitas.

Page 18: 10_pariwisata budaya.pdf

18

3. Symbiotic

Hubungan ini muncul ketika pariwisata dipandang sebagai bagian

komplementer yang tidak terpisahkan dari manajemen pengelolaan budaya/warisan

budaya untuk mencapai tujuan manajemen secara terpadu. Hubungan yang simbiotik

ini jarang terjadi walau bukan mustahil dan terjadi sebagai hasil dari campur tangan

manajemen secara langsung dan terpadu.

Kemitraan antara sisi pariwisata denan sisi konservasi budaya tidaklah terjadi

secara spontan dan begitu saja melainkan mesyaratkan intervensi dari penentu

kebijakan baik dari sisi pariwisata maupun dari sisi konservasi budaya. Sebaliknya,

absennya sisi manajemen yang baik cenderung menjadi pemicu hubungan yang

konfliktual antara pariwisata dengan budaya.

Menurut McKercher & du Cros (2002: 17-21), terdapat tujuh tahapan sifat

hubungan antara pariwisata dengan budaya bergerak dari kontinum full parthnership

ke kontinum open conflict sebagai berikut.

1. Full cooperation

Kondisi ini merupakan kondisi ideal dimana pariwisata dan budaya saling

mendukung untuk mencapai tujuan bersama. Umumnya lebih mudah dicapai jika

pemangku kepentingan tidak terlalu banyak, baik dalam jumlah maupun dalam

melakukan persaingan. Tujuan manajemen, baik dari sisi manajemen pariwisata

maupun manajemen konservasi budaya dapat didefiniskan dengan jelas dan bersifat

saling dukung dan disetujui oleh semua pihak. Tujuan-tujuan ekonomi dihargai dan

berjalan secara harmonis dengan tujuan-tujuan konservasi.

Hirarki manajemen didefinisikan dengan jelas sehingga menjamin tujuan kedua

belah pihak tercapai secara seimbang. Kemitraan yang sungguh-sungguh antara

manajemen pariwisata dengan manajemen budaya/warisan budaya sangat sulit

diwujudkan tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Dalam beberapa kasus, salah

satunya—apakah dari sisi pariwisata atau sisi budaya—harus mendominasi dari sisi

manajemen sehingga sisi yang lain harus dimodifikasi untuk mendukung tercapainya

tujuan manajemen secara keseluruhan.

Di satu sisi, manajemen pariwisata menjamin sedemikian rupa sehingga semua

fasilitas pendukung pariwisata (termasuk aset budaya) tersedia untuk dapat

dikonsumsi wisatawan. Di sisi lain manajemen konservasi budaya menjaga agar

Page 19: 10_pariwisata budaya.pdf

19

konsumsi oleh wisatawan tersebut diijinkan sebatas pada konsumsi yang tidak

menimbulkan degradasi atau kerusakan pada aset budaya yang dilindungi.

2. Working relationship

Baik pemangku kepentingan dari manajemen pariwisata maupun dari

manajemen warisan budaya menyadari mereka berbagi aset bersama. Masing-masing

menyadari walau mereka di satu sisi mempunyai visi yang berbeda juga memiliki

banyak persamaan. Seiring perjalanan waktu, working relationship terbentuk diantara

keduanya dengan masing-masing pemangku kepentingan mencoba mengakomodasi

kepentingan pihak lain agar saling menguntungkan.

3. Peaceful coexistence

Bentuk hubungan ini timbul jika pemangku kepentingan baik untuk

kepentingan manajemen pariwisata maupun manajemen warisan budaya menggunakan

sumberdaya yang sama tetapi belum merasakan perlunya bekerjasama. Kondisi ini

memungkinkan terjadi jika kunjungan wisatawan masih rendah atau wisatawan

menkonsumsi produk wisata masih di bawah ambang kapasitas maksimumnya. Atau,

aktivitas manajemen warisan budaya tidak bertentangan dengan penggunaannya untuk

pariwisata. Misalnya, suatu peninggalan budaya berupa bangunan bersejarah yang

dikunjungi wisatawan dalam jumlah besar. Disini, kunjungan wisatawan berdampak

kecil terhadap upaya pelestariannya. Sebaliknya, adanya kunjungan wisatawan justru

dijadikan justifikasi untuk keberlanjutan perlindungan dan pelestariannya. Hal ini

memungkinkan karena manajemen warisan budaya mempunyai larangan yang minimal

bagi wisatawan di obyek wisata tersebut.

4. Parallel existence

Tipe hubungan ini terjadi ketika pariwisata dan manajemen warisan budaya

berjalan secara independen atau mandiri. Di sisi lain, wisatawan memiliki minat yang

kecil terhadap aset budaya di wilayah obyek wisata berada. Situasi ini berjalan jika

aktifitas pariwisata masih sedikit atau jika aktifitas pariwisata terfokus pada atribut

selain aset budaya seperti pantai, resor, rekreasi, judi, pemandangan alam dan

sejenisnya. Pariwisata budaya tidak dianggap sebagai produk pariwisata sehingga tidak

dipromosikan sehingga aset budaya tersebut sangat kecil dimanfaatkan.

5. Mild annoyance

Hal ini terjadi jika tindakan satu pemangku kepentingan konta-produktif

terhadap tujuan pemangku kepentingan lainnya. Situasi ini kemungkinan akan berakhir

Page 20: 10_pariwisata budaya.pdf

20

pada situasi konflik. Jika situasi ini terjadi tidak membuat seseorang menghentikan

aktifitas wisatanya tetapi tingkat kepuasan yang didapat sangat rendah. Pemangku

kepentingan merasa perkembangan situasi mengarah pada keadaan yang tidak

diinginkan. Misalnya, jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu obyek wisata atau

aset budaya semakin banyak sedangkan dilain pihak mulai mengganggu kenyamanan

yang dirasakan oleh masyarakat setempat.

6. Nascent conflict

Merupakan situasi antara mild annoyance dan open conflict. Situasi ini terjadi jika

aktifitas satu pemangku kepentingan yang terlibat mempunyai dampak negatif atau

bahkan menghancurkan eksistensi pihak lain. Situasi ini juga dipicu jika hubungan

antara manajemen pariwisata dan manajemen warisan budaya berubah secara

fundamental. Misal, keputusan untuk memasukkan suatu warisan budaya dalam paket

wisata budaya tanpa konsultasi dengan pengelolanya akan memicu situasi nascent

conflict. Demikian juga jika keputusan suatu pihak untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu tindakan yang nampaknya menguntungkan pihaknya menjadi biaya

langsung yang harus ditanggung pihak lainnya. Hal ini juga akan memicu kondisi

nascent conflict.

7. Full-scale/open conflict

Merupakan situasi yang menjadi puncak pertentangan antara dua kepentingan

pariwisata dan warisan budaya. Konflik cenderung terjadi ketika terdapat perbedaan

cara pandang (baik yang nyata maupun yang diyakini ada) bagaimana seharusnya

mereka mengelola aset yang ada. Hal lain yang memicu konflik diantaranya perbedaan

cara pandang mengenai hal eksklusifitas atas aset budaya, perbedaan bentuk aktifitas

yang dilakukan, dan perbedaan niat dan motivasi dalam menjalankan suatu aktifitas.

Kebangkitan pariwisata sebagai pemakai dominan dari suatu aset budaya yang

cenderung mengalahkan kepentingan manajemen warisan budaya juga cenderung

memicu konflik. Sebaliknya, pembatasan kunjungan wisatawan yang terlalu ketat pada

suatu obyek budaya sebagai daya tarik wisata juga cenderung memicu konflik.