1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

21
1 Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya oleh Yohandromeda Syamsu Program Studi Imunologi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga 1. PENDAHULUAN Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing (Moersintowarti, 1992). Penyakit karena protozoa dan cacing mengenai jutaan masyarakat. Antibodi biasanya efektif terhadap bentuk yang ditularkan melalui darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing dan dapat menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh sel mastoid (Roitt, 2002). Kebanyakan parasit cenderung menyebabkan supresi imunologik nonspesifik pejamu. Antigen parasit yang bertahan menahun menyebabkan kerusakan jaringan imunopatologik seperti kompleks imun pada sindroma nefrotik, granulomatosa hati dan lesi autoimun pada jantung. Imunosupresi umum meningkatkan kepekaan terhadap infeksi bakteri dan virus (Roitt, 2002). Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih dikenal dengan cacing gelang yang penularannya dengan perantaraan tanah (“Soil Transmited Helminths”). Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut

description

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Transcript of 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

Page 1: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

1

Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya

oleh

Yohandromeda Syamsu Program Studi Imunologi

Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga

1. PENDAHULUAN

Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di

negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat

pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran

yang mudah terkena infeksi cacing (Moersintowarti, 1992).

Penyakit karena protozoa dan cacing mengenai jutaan masyarakat.

Antibodi biasanya efektif terhadap bentuk yang ditularkan melalui darah.

Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing dan dapat menyebabkan

masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh sel mastoid (Roitt, 2002).

Kebanyakan parasit cenderung menyebabkan supresi imunologik

nonspesifik pejamu. Antigen parasit yang bertahan menahun menyebabkan

kerusakan jaringan imunopatologik seperti kompleks imun pada sindroma

nefrotik, granulomatosa hati dan lesi autoimun pada jantung. Imunosupresi umum

meningkatkan kepekaan terhadap infeksi bakteri dan virus (Roitt, 2002).

Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau

lebih dikenal dengan cacing gelang yang penularannya dengan perantaraan tanah

(“Soil Transmited Helminths”). Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut

Page 2: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

2

Dalam tubuh sendiri, infeksi cacing Ascaris menimbulkan banyak gejala

klinik, dimulai dengan rasa mual pada saluran pencernaan sampai ditemukan

gejala diare. Infeksi inipun menimbulkan respon imunitas tubuh dengan produksi

Imunoglobulin jenis E (IgE) dalam jumlah besar.

Timbulnya gejala klinis dan respon berlebihan sel sistem imun dengan

produksi IgE akibat infestasi cacing Ascaris di usus sampai saat ini belum

diketahui secara luas hubungannya. Hal ini menyebabkan peneliti berkeinginan

menelusuri hubungan antara ascariasis dan respon IgE ini melalui penelitian

ilmiah.

Bertolak dari fakta-fakta diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini

adalah bagaimana hubungan antara ascariasis dan respon IgE.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengungkap hubungan antara

kejadian askariasis dan timbulnya respons IgE dalam tubuh.

Penulisan ini diharapkan mampu memberikan bahan diskusi dalam

membahas hal-hal yang belum jelas dalam bidang imuno-parasitologi, yang

dewasa ini berkembang cukup pesat.

2. ASCARIASIS

Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya

bersarang dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan

mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus,

mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan

penyerapan makanan.

Page 3: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

3

Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh

dunia, lebih banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa

daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya

lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 – 10 tahun sebagai host

(penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti, E,

1993).

Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karena

aktivitas otot-otot ini. Jika otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat

antelmintik, cacing akan dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal.

Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti. (1992) mengemukakan

bahwa 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa didalam usus manusia mampu

mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap hari.

Dari hal tersebut dapat diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh

infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan keadaan

kurang gizi (malnutrisi).

3. Ascaris lumbricoides

3.1 Morfologi

Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat

(conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak

melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 -

6 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan

panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang sama

dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral.

Page 4: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

4

Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan

mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup

atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Soedarto, 1991).

Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang

berdampingan dengan hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan sebagai

korda lateral. Sel otot somatik besar dan panjang dan terletak di hipodermis;

gambaran histologinya merupakan sifat tipe polymyarincoelomyarin. Alat

reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga badan, cacing

jantan mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar dari kloaka dan pada

cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah,

bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi.

Telur yang di buahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60-70 x

30-50 mikron. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel

ini dikelilingi suatu membran vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan

telur cacing tersebut terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan

hidup sampai satu tahun. Di sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang

dikelilingi lagi oleh lapisan albuminoid yang permukaanya tidak teratur atau

berdungkul (mamillation). Lapisan albuminoid ini kadang-kadang dilepaskan atau

hilang oleh zat kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated). Didalam

rongga usus, telur memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu. Telur yang

tidak dibuahi (unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan

mempunyai ukuran 88-94 x 40-44 mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna

coklat dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur.

Page 5: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

5

3.2 Siklus Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides,

jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan

pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam

vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung

kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa

migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari.

Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali,

kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk

sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke

osepagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglottis masuk

kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus bagian atas,

larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira

satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.

Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua

bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu

mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang

diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif.

Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur

tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari

stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif.

Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup

bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak

terkena infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang

Page 6: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

6

lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar

dan dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimana-

mana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan

atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka

siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi

larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak

dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.

Fig 1. Life Circle of Ascaris lumbricoides. Adult worms live in the

lumen of the small intestine. A female may produce approximately 200,000 eggs

per day, which are passed with the feces . Unfertilized eggs may be ingested

but are not infective. Fertile eggs embryonate and become infective after 18 days

Page 7: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

7

to several weeks , depending on the environmental conditions (optimum: moist,

warm, shaded soil). After infective eggs are swallowed , the larvae hatch ,

invade the intestinal mucosa, and are carried via the portal, then systemic

circulation to the lungs . The larvae mature further in the lungs (10 to 14 days),

penetrate the alveolar walls, ascend the bronchial tree to the throat, and are

swallowed . Upon reaching the small intestine, they develop into adult worms

. Between 2 and 3 months are required from ingestion of the infective eggs to

oviposition by the adult female. Adult worms can live 1 to 2 years.

3.3 Cara penularan

Penularan Ascariasis dapat terjadi melalui bebrapa jalan yaitu masuknya

telur yang infektif kedalammulut bersama makanan atau minuman yang tercemar,

tertelan telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama

debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada saluran pernapasan

bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan memasuki aliran

darah (Soedarto, 1991).

4. ASPEK KLINIS

Kelianan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat

pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang

kena infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup

besar (hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi,

selain itu cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan

reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan

Page 8: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

8

tanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan

bagian atas.

Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti

obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi cacing ke

organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan bronkus dapat

menyumbat pernapasan penderita. Ada kalanya askariasis menimbulkan

manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut :

1. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang

menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.

2. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam apendiks,

saluran empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus.

Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat

disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi karena

desintegrasi cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi betina

menyebabkan dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar yang dapat dikenali

dalam pemeriksaan histologi. Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan

cacing dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan

bentuk yang khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan empedu

penderita melalui pemeriksaan mikroskopik (Soedarto, 1991).

5. EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS

Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak

sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena

kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun

Page 9: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

9

mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah

diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi

melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur

Ascaris lumbricoides.

Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai

sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh

telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi

lingkungan sekitarnya.

Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena

buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga

tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga

terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang

rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang

kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva

cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah

endemik (Brown dan Harold, 1983).

Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik

dengan suhu optimal adalah 230 C sampai 300 C. Jenis tanah liat merupakan tanah

yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan

angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke

lingkungan.

Page 10: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

10

6. PENCEGAHAN DAN UPAYA PENANGGULANGAN

Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya

pencegahannya dapat dilakukan sebagai berikut :

6.1 Penyuluhan kesehatan

Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene

keluarga dan hygiene pribadi seperti :

- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

- Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci

terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.

- Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah

dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.

Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-

tahun, pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit. Adapun

upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :

1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik

ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.

2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.

3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup

cacing misalnya memakai jamban/WC.

4. Makan makanan yang dimasak saja.

5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang

menggunakan tinja sebagai pupuk.

Page 11: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

11

6.2 Pengobatan penderita

Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat beban

cacing karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi ektopik

dengan akibat yang membahayakan. Untuk pengobatan tentunya semua obat dapat

digunakan untuk mengobati Ascariasis, baik untuk pengobatan perseorangan

maupun pengobatan massal.

Pada waktu yang lalu obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak

chenopodium, hetrazan dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan

efek samping dan sulitnya pemberian obat tersebut, maka obat cacing sekarang ini

berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping yang lebih kecil dan

mudah pemakaiannya (Soedarto, 1991)

Adapun obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah :

1. Mebendazol.

Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes yang

baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari, tanpa

melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus

terjadi migrasi ektopik.

2. Pirantel Pamoat.

Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk

menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah

ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (“welltolerated”). Obat ini

mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing

tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi

multipel berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.

Page 12: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

12

3. Levamisol Hidroklorida.

Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang

menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam

dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang

dengan berat badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel

pamoat dan mebendazol.

4. Garam Piperazin.

Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk Enterobius

vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat diberikan

dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750 mg

piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan

mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti

berjalan tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.

7. IMUNITAS TERHADAP INFEKSI PARASIT

Akibat dari infeksi parasit dapat disebabkan oleh tidak adanya reaksi imun

sehingga terjadi superinfeksi berat di satu pihak dan di pihak lain terjadi reaksi

imunopatologik yang berlebihan sehingga mengancam jiwa. Parasit harus berada

di antara kedua ekstrem ini untuk menghindari kematian pejamu dan pada saat

yang sama menghindar dari reaski imun, supaya ia sendiri tetap hidup. Pada

kenyataannya, setiap parasit mempunyai mekanisme yang sangat kompleks

sampai terjadinya kematian.

Page 13: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

13

7.1 Respons Imunitas Humoral

Antibodi yang spesifik ditemukan dalam konsentrasi dan afinitas cukup

memadai efektif untuk memberikan proteksi terhadap parasit. Gambaran reaksi

imun terhadap infeksi cacing adalah eosinofilia dan peningkatan jumlah IgE.

Pada manusia, jumlah IgG dalam serum dapat meningkat dari normal 100

ng/ml menjadi 10.000 ng/ml. Perubahan ini merupakan tanda dari adanya reaksi

terhadap limfokin tipe Th2.

Kenaikan yang luar biasa dari IgE memperkuat pandangan bahwa IgE

mereupakan parameter penting dalam pertahanan. Rangsangan antigen spesifik

untuk untuk terbentuknya sel mastoid yang dilapisi IgE menyebabkan terjadinya

eksudasi serum protein dengan konsentrasi antibodi protektif yang tinggi untuk

semuan kelas imunoglobulin dan dilepaskannya faktor kemotaktik eosinofil

(Roitt, 2002).

Dalam perjalananya, protein utama pembentuk inti dari granula eosinofil

padat elektron dilepaskan ke parasit dan mengakibatkan kerusakan. Peran

imunitas seluler tampak menonjol karena eosinofil dapat mengekspresikan MHC

kelas II dan IgG-mediated ADCC ditingkatkan oleh GM-CSF dan TNF.

Bukti lain tentang keterlibatan sel ini terlihat dari penelitian bahwa

proteksi menggunakan transfer pasif dengan antiserum in vivo dapat dihambat

dengan pemberian serum antieosinofil sebelumnya.

Reaksi yang diperantarai IgE mungkin penting dalam penyembuhan dari

infeksi, sedangkan resisitensi pada iundividu yang telah divaksinasi mungkin

lebih tergantung pada adanya antibodi IgG dan IgA. Selanjutnya kemampuan

Page 14: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

14

untuk mengatasi cacing tertentu dapat diarahkan kepada produksi limfokin tipe

Th1 seperti IFN dari TH2 yang menghasilkan IgE (Roit, 2002).

7.2 Respons Imunitas Seluler

Seperti halnya mikroba, banyak parasit beradaptasi untuk hidup dalam

makrofag, meskipun makrofag mempunyai kemampuan mikrobisidal ampuh

termasuk adanya peran NO (nitric oxide). Seperti pada infeksi mikrobakteri, sel T

penghasil sitokin sangat penting untuk makrofag melaksanakan kemampuan

membunuh dan menyingkirkan pengganggu yang tidak diinginkan. Efek ini bisa

dilihat secara in vitro bila IFN- dengan penambahan TNF, ditambahkan dalam

biakan makrofag, yang mendukung pertumbuhan intrasel parasit.

Eliminasi infestasi cacing usus merupakan pendekatan yang khusus berupa

gabungan reaksi seluluer dan humoral untuk menghilangkan infeksi yang masuk.

Penelitian pada tikus (ogilvie) menunjukkan bahwa meskipun antibodi

menyebabkan kerusakan pada cacing, sel T donor imun juga diperlukan untuk

terjadinya ekspulsi kuat yang mungkin terjadi melalui kombinasi stimulasi

motilitas usu oleh sel mastoid dan aktivasi sitokin dari sel goblet usus yang

berjumlah banyak. Kedua jenis sel ini menghasilkan campuran molekul

glycosilated dengan berat molekul tinggi yang membentuk gel viskoelastik

disekeliling cacing, sehingga terjai proteksi permukaan kolon dann usus halus dari

invasi (Roitt, 2002).

Pada parasit yang bertahan bertahun-tahun mengahadapi reaksi

imunologik, interaksi dengan antigen asing sering menyebabkan kerusakan

jaringan. Reaksi hipersensitivitas lambat yang disebabkan adanya TNF yang

Page 15: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

15

memungkinkan telur meloloskan diri dari kapiler intestinal kedalam lumen usus

untuk meneruskan siklus hidup di luar pejamu.

8. PERAN IgE PADA INFEKSI CACING USUS

Peradangan dikendalikan oleh protein pengatur komplemen PGE2, TGF,

glukokortikoid, dan IL-10. LPS ditangkap oleh reseptor spesifik, IL-1, IL-8 dan

TNF terlibat dalam proses terjadinya peradangan. Sementara itu,

ketidakmampuan menyingkirkan penyebab terjadinya reaksi radang menahun

yang biasanya dilakukan oleh makrofag, seringkali membentk granuloma (Roitt,

2002).

Berbagai mekanisme pertahanan dilancarkan oleh pejamu, pada dasarnya

dapat digambarkan bahwa reaksi humoral terbentuk pada organisme yang masuk

peredaran darah. Sedangkan parasit yang hidup di jaringan biasanya merangsang

imunitas seluler.

Antibodi akibat infeksi cacing biasanya efekstif terhadap bantuk yang

ditularkan melalui darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing dan

dapat menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh sel mastoid

(Roitt, 2002)

Infeksi cacing yang kronik akan menimbulkan rangsangan antigen

persisten yang meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan

pembentukan kompleks imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga

berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen.

Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel

Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan

Page 16: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

16

permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan

mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Produksi IgE dan eosinofil

sering ditemukan pada infeksi cacing. (Baratawijaya, 2004)

Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel

CD4+, yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5

merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih efektif

dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih

toksik dibanding enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang

diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang

produksi IgE yang non-spesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga

dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. (Baratawijaya,

2004)

Cacing biasanya terlalu besar untuk difagositosis. Degranulasi sel

mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang

menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing

melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, dan neurotoksin. PMN dan

makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan

enzim yang membunuh cacing. (Baratawijaya, 2004)

9. PEMBAHASAN

Peradangan merupakan reaksi pertahanan yang utama dari tubuh, dimulai

dengan adanya infeksi atau kerusakan jaringan oleh infeksi parasit. Mediator yang

dilepaskan akan meningkatkan adhesi molekul pada sel endotel dan lekosit yang

Page 17: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

17

bersama-sama menyebabkan bergeraknya lekosit sepanjang dinding pembuluh

darah menuju tempat peradangan.

Peradangan dikendalikan oleh protein pengatur komplemen PGE2, TGF,

glukokortikoid, dan IL-10. LPS ditangkap oleh reseptor spesifik, IL-1, IL-8 dan

TNF terlibat dalam proses terjadinya peradangan. Sementara itu,

ketidakmampuan menyingkirkan penyebab terjadinya reaksi radang menahun

yang biasanya dilakukan oleh makrofag, seringkali membentk granuloma.

Berbagai mekanisme pertahanan dilancarkan oleh pejamu, pada dasarnya

dapat digambarkan bahwa reaksi humoral terbentuk pada organisme yang masuk

peredaran darah. Sedangkan parasit yang hidup di jaringan biasanya merangsang

imunitas seluler.

Antibodi akibat infeksi cacing biasanya efekstif terhadap bantuk yang

ditularkan melalui darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing dan

dapat menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh sel mastoid.

(Roitt, 2002)

Berbagai cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus

hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respons imun yang berbeda pula.

Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan

parasit sendiri. Infeksi yang kronik itu akan menimbulkan rangsangan antigen

persisten yang meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan

pembentukan kompleks imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga

berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen. (Baratawijaya,

2004)

Page 18: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

18

Meskipun berbagai cacing mengaktifkan imunitas non-spesifik melalui

mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut biasanya dapat tetap hidup dan

berkembangbiak dalam pejamu oleh karena dapat beradaptasi dan menjadi

resisten terhadap sistem imun pejamu. Respon imun non-spesifik utama terhadap

cacing adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut yang resisiten terhadap

efek bakterisidal makrofag, bahkan beberapa diantaranya dapat hidup dalam

makrofag. Banyak cacing memiliki lapisan permukaan tebal sehingga resisten

terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Beberapa cacing juga

mengaktifkan komplemen jalur alternatif. Banyak parasit ternyata

mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen.

Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel

Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan

permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan

mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Produksi IgE dan eosinofil

sering ditemukan pada infeksi cacing. (Baratawijaya, 2004)

Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel

CD4+, yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5

merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih efektif

dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih

toksik dibanding enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang

diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang

produksi IgE yang non-spesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga

dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. (Baratawijaya,

2004)

Page 19: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

19

Cacing biasanya terlalu besar untuk difagositosis. Degranulasi sel

mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang

menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing

melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, dan neurotoksin. PMN dan

makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan

enzim yang membunuh cacing. (Baratawijaya, 2004)

10. KESIMPULAN

Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penulisan terhadap

tema ascariasis dan respons IgE ini, antara lain :

1. Peradangan akibat infestasi cacing usus dikendalikan oleh protein pengatur

komplemen PGE2, TGF, glukokortikoid, dan IL-10.

2. Antibodi akibat infeksi cacing biasanya efekstif terhadap bantuk yang

ditularkan melalui darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing

dan dapat menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh sel

mastoid.

3. Berbagai cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup

dan patogenitasnya. Respons imun berbeda pada setiap infeksi cacing,

4. Infeksi kronik itu akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang

meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan

kompleks imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi

sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen.

5. Respon imun non-spesifik utama terhadap cacing adalah fagositosis.

Page 20: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

20

6. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2

yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil.

7. Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel CD4+,

yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5

merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil.

11. SARAN

Untuk lebih jauh dalam upaya pemecahan masalah seperti tema yang

ditulis dalam makalah ini, perlu dikembangkan kajian mengenai aspek imuno-

parasitologi. Yang pada akhirnya mampu menyandingkan paradigma imunologis

pada sertiap infeksi-infeksi parasit pada tubuh manusia. Atau sebaliknya, pola-

pola sistem imunitas tubuh mampu menjawab permasalahan seputar akibat infeksi

parasit pada tubuh.

Page 21: 1012_Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya.pdf

21

DAFTAR PUSTAKA

Brown HW, 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta Faust EC., Beaver PC., and Jung RC, 1975. Animal Agents and Vector of Human

diasease 4th edition, Lea & Febiger, Philadelphia. Hoeprich, PD, 1977. Infections Diseases. 2nd Edition, Harper and Row,

Maryland. Baratawijaya KG, 2004. Imunologi Dasar. Edisi ke-6, Penerbit FKUI, Jakarta. Haryanti E, 1993. Helmitologi Kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas

Kedokteran USU, Medan. Moersintowarti B, 1992. Pengaruh cacingan Pada Tumbuh Kemabang Anak.

Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Penanggulangan Cacingan. Fakultas Kedokteran Unair. Surabaya

Roitt I, 2000. Imunologi, Essential Immunology. Edisi 8, Penerbit Widya Medika, Jakarta.

Viqar Z., Loh AK, 1999. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Penerbit Binacipta.

Rangkuman laporan Penelitian Tentang Anak Indonesia. Dicetak Pusat

Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI Jakarta. Soedarto, 1995. Helmintologi Kedokteran. Edisi ke 2. EGC. Jakarta.