101070022987repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/9077/1/SITI HIK… · mempunyai l
Transcript of 101070022987repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/9077/1/SITI HIK… · mempunyai l
-
PENGARUH SELF EFFICAC'Y TERHADAP
KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA
TUNANETRA DAN TUNARUI~GU
SMUN 66 JAKARTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh
gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
Siti Hikmah 101070022987
Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 1428 H/2007 M
-
PENGARUH SELF EFFICACY TERHADAP KOMUNIKASI
INTERPERSONAL PADA SISWA TUNANETRA DAN TUNARUNGU
SMUN 66 JAKARTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Pembimbing I
lambang-Su yadi Ph.D
~IP: 150 326891
Disusun 0/eh :
Siti Hikmah
101070022987
Dibawah bimbingan
Pembimbing U
-· ura. Agustyawati M.P/1sil
NIF': 132121898
FAKUL TAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1428 H/2007 M
-
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PENGARUH SELF EFF/CACYTERHADAP KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA TUNAl\IETRA DAN TUNA RUNGU DI SMUN 66 JAKARTA ini tel ah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 Februari 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
gkap Anggota
Ora. H'. tt Hartati M.Si. NIP. 150 2 5 938
Penguj I
Pembimbing I
,_/
M.Si.
Bambang Surva i. Ph.D. NIP. 150 326 891
27 Februari 2007
Sidang Munaqasyah,
Pembantu Oekan I/ Sekretaris Merangkap Anggota
Anggota:
Penguji II
~~ NIP. 150 326 891
Pembimbing II
Ora. Agustyawati. M.Phil. Sne. NIP. 132 121 898
-
Tie.p-tie.p use.he. me.nusie. k~me.nf e.e.te.nnye. k~mbe.li k~pe.de. dirinye. s~ndiri.
~~sungguhnye. tllle.h t~le.h m~neipte.ke.n me.nusia dalam b~ntuk s~be.ik-b1e.iknge. (e.T-Tiin:6)
f{arya Sild!lrhana ini kup1Zrs1Zmbahkan untul\ 'l'l!Jah dan ibuku l!lreinta
f{akak-kakal\IZU , adikku S!lrta k~ponakanku l1Zrsayang 'E>an R.~ alas eurnhan kasih sayangnya
-
ABSTRAKSI
C) Siti Hikmah
A) Fakultas Psikologi UIN Syahid Jakarta
13) Februari 2007
D) Pengaruh self efficacy terhadap komunikasi interpersonal pada siswa tunanetra dan tunarungu di SMUN 66 Jakarta
E) +126 F) Setiap manusia dilahirkan oleh Allah SWT berbeda-beda. Setiap kekurangan
pasti ditutupi oleh kelebihan yang lainnya. Menjadi seorang tunanetra dan tunarungu, bukanlah hambatan untuk dapat meraih cita-cita yang tinggi serta mampu dipandang sama oleh individu lainnya yang normal, termasuk untuk bersekolah di sekolah umum atau inklusi. Bersekolah di sE;kolah inklusi bagi siswa tunanetra dan tunarungu diharapkan mampu melakukan hubungan atau komunikasi interpersonal yang baik dengan siswa normal lainnya. Komunikasi interpersonal ini dapat terwujud jika dalam diri siswa tunanetra dan tunarungu terdapat keyakinan diri atau self efficacy.
Menurut Bandura (1982) self efficacy adalahkeyal
-
tingkah laku, usaha yang dilakukan dan ketekunan berusaha, pola pikir dan reaksi emosional serta teori komunikasi interpersonal yan!g terdiri dari aspek mendengarkan atau memperhatikan, pernyataan, keterbukaan, kepekaan, dan umpan balik.
Berdasarkan perolehan data dan analisa kasus, kesemua siswa tunanetra dan tunarungu yang menjadi responden penelitian, mempunyai self efficacy yang positif dan yang mempengaruhinya untuk berkomunil
-
KATA PENGANTAR
Aharndulillahi Rabbil'alarnin, segala pujian hanya milik Allah maha pengasih dan
maha penyayang. Puji serta syulwr penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan kekuatan, kernudahan, kesabaran, kesempatan dan waktu
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.Shalawat serta salam tak lupa
penulis haturkan kepada junjungan baginda Rasulullah Muhammad SWT,telah
menyarnpaikan kebenaran dan penerangan di muka bumi ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini tak mungkin dapat
terselesaikan tanpa bantuan pihak-pihak terkait. Oleh karena itu izinkan penulis
berterirnakasih kepada rnereka yang telah banyak membantu, mernbirnbing,
mendukung, menasehati, menghibur, dan menernani dalam menyelesaikan skripsi
ini.
1. Kepada kedua orang tuaku tercinta. Ayah Musa H.M dan lbu Khaeriyah.
Terirnakasih atas segala doa-doanya, kesabarannya, dukungannya, dan
cinta kasih yang diberikan kepada penulis selama ini semoga Allah SWT
selalu menyayangi dan meridhaimu sepanjang hayat. Maafkan penulis
karena baru saat ini mempersembahkan hadiah sederhana ini meskipun
telah lama tertunda.
2. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatu!lah Dra. Hj. Netty Hartati,
M.Si. para pembantu dekan, seluruh dosen serta seluruh staff dan
karyawan fakultas psikologi UIN yang telah membantu penulis selama
menjadi mahasiswa psikologi UIN.
3. Bapak Bambang Suryadi Ph.D selaku pembimbing I, dan lbu Dra.
Agustyawati. M.Phil,Sne selaku pembimbing skripsi II skripsi ini yang telah
-
sabar membimbing serta dengan tulus dan ikhlas memberikan banyak
bimbingan kepada penulis.
4. Kakak-kakakku tersayang, ka' Fitri dan ka' Rico atas si,gala dukungan moril
dan materinya selama penyusunan skripsi ini, ka' iko dan mas wiwid, adikku
samwil terimakasih dengan sabar menjadi sasaran ke£1elisahan penulis
selama ini, serta keponakan mafi, bang Noufal, dan de' Farah yang
membuat hari-hari penulis penuh senyum.
5. Ramdhan Syafei, terimakasih untuk selalu menemani penulis dan
mendengarkan segala keluh kesahku.
6. Bapak Suparno dan guru-guru di SMUN 66 Pondok Labu, terimakasih
bersedia menerima penulis di sana. Aris dan keluarga, Azizah dan keluarga,
Fitri dan keluarga, serta Dimas dan keluarg, "terimaka:sih banyak ya ... ".
7. Sahabatku Irma yang selalu ada untuk penulis serta Vinanya yang selalu
membuat penulis tertawa dan bahagia. Saeni terimakasih untuk
dukungannya, lndi ayo semangat, kak Melok yang bersedia membantu
penulis, dan semua teman-teman angkatan 2001 khususnya kelas B yang
memberikan pengalaman indah selama menjadi mahasiswa . Teman-
teman KKN Parakansalak, teman-teman PKL Sumida angk. 2005.Dan
seluruh teman-teman yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana
layaknya, baik dari segi bahasa maupun materi yang tertu;~ng di dalamnya.
Besar harapan penulis, skripsi ini dapat berguna untuk menambah wawasan
baru yang lebih luas bagi pembaca sekalian.
Jakarta, Februari 2007
Penulis
-
DAFTAR ISi
Halarnan Judul ................................................................................... . Halaman Persetujuan ........................................................................ . Ha la man Pengesahan ...................................................................... .. Motto .................................................................................................. . Dedikasi ............................................................................................. . Abstraksi ............................................................................................ . Kata Pengantar .................................................................................. . Daftar lsi ............................................................................................ . Daftar Tabel ....................................................................................... . Daftar Lampiran ................................................................................. .
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... . 1.1. Latar belakang .................................................................... . 1.2. ldentifikasi rnasalah ............................................................ . 1 .3. Batasan dan rurnusan masalah .......................................... .
1.3.1. Pembatasan masalah ............................................... .. 1.3.2. Perumusan masalah .................................................. .
1.4. Tujuan dan manfaat penelitian ............................................ . 1.4.1. Tujuan penelitian ...................................................... . 1.4.2. Manfaat penelitian .................................................... .
1.4.2.1. Manfaat teoritis ............................................. .. 1.4.2.2. Manfaat praktis .............................................. .
1.5. Sistematika penulisan ......................................................... .
BAB 2 KAJIAN PUST AKA ................................................................ . 2.1. Self efficacy .................................................................. ...... .
2.1.1. Pengertian Self efficacy ....................................... ...... . 2.1.2. Aspek-aspek Self efficacy ................................... ...... . 2.1.3. Sumber lnformasi Self efficacy ....................... ......... . 2.1.4. Dimensi Self efficacy ........................................... ...... . 2.1.5. Perkembangan Selfefficacy ...................................... .
2.2. Komunikasi interpersonal.. .................................................. . 2.2.1. Pengertian komunikasi. ............................................. . 2.2.1. Pengertian komunikasi interpersonal siswa
tunanetra dan tunarungu ........................................... . 2.2.3. Faktor-faktor komunikasi interpersonal ..................... . 2.2.4. Ciri-ciri komunikasi interpersonal .............................. .
2.3. Tunanetra ........................................................................... .
ii iii iv iv v vii ix xii xiii
1-11 1 7 7 7 9 9 9 9 9 10 10
12-63 12 12 16 18 20 21 23 23
25 30 34 38
-
2.3.1. Pengertian tunanetra .............. ....................... ..... ....... 38 2.3.2. Klasifikasi anak tunanetra .............................. ..... ....... 39 2.3.3. Karakteristik siswa tunanetra ......................... .... ....... 42
2.4. Tunarungu .................................................................... ....... 46 2.4.1. Pengertian tunarungu ..................................... .... ....... 46 2.4 .. 2. Klasifikasi anak tunarungu ................................. ....... 47 2.4.3. Penyebab ketunarunguan................................... ....... 48 2.4.4. Karakteristik tunarungu ....................................... ....... 49
2.5. Sekolah inklusi.............................................................. ....... 53 2.5.1. Pengertian .......................................................... ....... 53 2.5.2. Model pendidikan inklusi di Indonesia................. ....... 54
2.5.2.1. Alternatif penempatan........................... ....... 54 2.5.2.2. Komponen yang perlu di persiapkan.. .. .. ..... .. 56
2.6. Remaja ......................................................................... ....... 57 2.6.1. Pengertian remaja.... ... ...... ... .............. ... ............ .. ..... .. 57 2.6.2. Self efficacy dan komunikasi interpersonal rernaja terhadap
penyesuaian Diri di Lingkungan Sekolah............. ....... 60 2.7. Kerangka berfikir........................................................... ....... 62
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ................................................ . 3.1. Jen is penelitian ................................................................... .
3.1.1. Pendekatan penelitian ............................................. .. 3.1.2. Metode penelitian ..................................................... .
3.2. Subyek penelitian ............................................................... . 3.2.1. Teknik pengambilan subyek ..................................... . 3.2.2. Karakteristik subyek .................................................. .
3.3. Pengurnpulan data .............................................................. . 3.3.1. Metode dan instrumen penelitian ............................. .. 3.4.2. Alat bantu pengumpulan data ................................... .
3.4. Teknik analisa data ............................................................ .. 3.5. Prosedur penelitian ............................................................. .
3.5.1. Prosedur persiapan penelitian .................................. . 3.5.2. Prosedur pelaksanaa penelitian ............................... ..
BAB IV PRESENTASI DAN ANALISA DATA .................................. . 4.1. Gambaran um um subyek .................................................. .. 4.2. Observasi dan wawancara .................................................. . 4.3. Analisa individual subyek .................................................... .
4.3.1. Kasus Andi. ............................................................... . 4.3.2. Kasus lcha ............................................................... ..
64-75 64 64 65 66 66 6] 67 67 .•
71 72 73 73 74
76-116 76 78 79 79 89
-
4. 3. 3. Kasus Bayu ............................................................. .. 4.3.4. Kasus Ind ah ............................................................. .
4.4. Perbandingan kasus .......................................................... ..
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ................................. . 5.1. Kesimpulan ........................................................................ .. 5.2. Diskusi ................................................................................ . 5.3. Saran .................................................................................. .
DAFTAR PUSTAKA LAMPI RAN
98 105 112
117-121 117 119 120
-
Daftar Skema dan Tabel
1 . Skema gambaran kerangka berfikir......................................... . . . . . . . 63
2. Tabel gambaran umum subyek .......................................... .... ....... 77
3. Gambaran self efficacy antar kasus..................................... .... ....... 114
4. Gambaran komunikasi interpersonal antar kasus.................... ....... 116
-
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran ·1. Pernyataan kesediaan
Lampiran 2 Lembar Observasi
Lampiran 3. Panduan wawancara self efficacy
Lampiran 4 Panduan Wawancara Komunikasi Interpersonal
Lampiran 5. Surat keterangan penelitian dari SMUN 66 Jakarta
-
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT berbeda-beda. Baik clari segi fisik
maupun psikis mereka. Kelebihan dan kekurangan pasti terdapat didalam
diri manusia. Jika mau disadari bahwa kekurangan dalam diri manusia selalu
ditutupi oleh kelebihan-kelebihan yang lain. Seperti pada penderita tunane!ra
dan tunarungu meskipun mereka tidak dapat melihat dan berbicara mereka
mempunyai l
-
2
seperti SLB tidak memuaskan dirinya, karena SLB biasanya hanya
memberikan suatu praktek-praktek keahlian saja. Bahkan seorang guru SLB
tunanetra di Yogyakarta bernama SetiadiPurwanta yang juga penderita
tunanetra mengatakan (seperti dikutip Jacinta Rini, 2004) bahwa SLB
merupakan proses diskriminasi bagi siswa berkelainan.
Menurut Setiadi (dalam Jacinta Rini, 2004) anak-anak itu bersekolah, tapi
apa yang bisa mereka dapat. Akan jadi apa mereka, apakah hanya akan jadi
tukang pijat. Dunia pendidikan formal, dimata Setia, sering menampilkan
salah satu bentuk diskriminasi yang paling mencolok. la meyakini, tanpa
proses pembelajaran yang baik pola eksklusif rehabi/itat.if yang diterapkan
pemerintah, misalnya pada sekolah sejenis SLB, hanya menjadi sebentuk
iso/asi bagi anal
-
intemasional. Di Indonesia, penerapan pendidil
-
pikiran, perasaan, kemauan dan penolakan diri tentang sesuatu dan menjadi
sarana mengekspresikan diri.
4
Komunikasi interpersonal merupakan pengiriman pesan-pesan dari
seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek
dan umpan balik yang langsung (De Vito, 1997). lnformasi tidak selalu
diperoleh melalui komunikasi verbal. Tetapi juga memb•entuk kesan dari
petunjuk proksemik, kinesik, para linguistik, dan ertifaktua/ (Jalaludin Rahmat,
2000). Yaitu dapat melalui gerak jari, tangan, penampilan di!.
Ketika mereka bersekolah disekolah umum (inklusi), tentu mereka melakukan
komunikasi atau hubungan dengan teman-teman mereka yang normal.
Dalam berkomunikasi interpersonal dengan teman-teman mereka yang
normal, tentu siswa tunarungu dan tunanetra membutuhkan adanya
keyakinan diri. Kepercayaan diri dan keyakinan diri dapat menjadi modal
utama mereka, agar mereka mampu menyesuaikan diri dengan individu
normal lainnya. Menurut A.A Schneiders (1988) bilamana seseorang dapat
menerima keadaan dirinya sendiri, maka ia juga mudah menerima keadaan
orang lain termasuk kekurangan atau hal-hal yang positif dari orang tersebut.
Singgih Gunarsah (2001) juga menyebutkan bahwa sebelum seseorang
dapat menerima diri sendiri, ia harus mengenal terlebih dahulu kemampuan
-
serta keterbatasannya, sehingga ia mudah mengatasi kE9sukaran yang
dialaminya dalam usaha untuk menyesuaikan diri terhaclap lingkungannya.
5
Keyakinan diri dapat disebut juga clengan self efficacy. Self efficacy yaitu
keyakinan seseorang bahwa dirinya akan mampu melafi:sanakan tingkah laku
yang dibutuhkan dalam suatu tugas yang berarti keyakinan individu pada
kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi dan mengatasi situasi tertentu.
Anak tunanetra dan tunarungu yang mampu mengatasi hambatan tersebut
dan mampu menyelesaikan tugas tersebut, tidal< pantang menyerah
menunjukkan bahwa self efficacy mereka tinggi. Sedangkan pad a anal<
tunanetra dan tunarungu yang mudah menyerah dan tidal< mampu mengatasi
hambatan-hambatan yang di hadapinya menunjukkan SE9/f efficacy mereka
rend ah.
Dalam pergaulan dengan lingkungan yang berbeda tentu dibutuhkan
kesiapan mental dan konsep diri. Keyakinan diri atau self efficacy pada
siswa berkelainan dalam hal ini siswa tunanetra dan tunarungu di sekolah
inklusi haruslah tinggi. Karena ketika harus bergaul dengan teman-teman
yang normal, guru yang normal, maupun orang-orang di sekitar lingkungan
sekolah, mereka tidal< minder atau rendah diri. Terutama ketika siswa
tunanetra dan tunarungu bersekolah di sekolah inklusi d:an dalam tahap
-
remaja, tentu self efficacy yang tinggi diperlukan agar mereka mampu
bergaul atau berkomunikasi interpersonal dengan baik.
6
Pada masa perkembangan, usia memasuki sekolah menengah dan lanjutan
berada pada masa remaja, antara usia 12 -18 tahun (Monks & Rahayu,
2001). Dalam mempersiapkan diri untuk masa dewasa, remaja harus belajar
bergaul dengan teman sebaya dan tidal< sebaya, sejenis maupun tidal<
sejenis. Tugas perkembangan ini selalu ditunjang oleh hasil perkembangan
lainnya. Salah satunya adalah adanya suatu penyesuaian diri pada remaja.
MenurutAA. Scheiders (1988) penyesuaian diri adalah reaksi seseorang
terhadap ransangan-ransangan dari dalam diri sendiri maupun reaksi
seseorang terhadap situasi yang berasal dari lingkungannya.
Pada masa remaja terjadi keinginan bergaul atau berteman yang sangat
besar. Disekolah keinginan ini sangat dipenuhi, karena disekolah remaja
menemui teman-teman mereka yang sebaya dan orang-orang yang tidal<
sebaya dengan mereka. Begitupun yang terjadi pada siswa tunanetra dan
tunarungu yang sedang mengalami masa remaja, dan bersekolah di sekolah
inklusi. Keyakinan diri yang tinggi dituntut untuk mampu menyesuaikan diri di
lingkungan yang sangat berbeda dengan mereka, karena di sekolah inklusi
mereka menemui teman-teman dan orang yang normal, yang tidal< bernasib
sama dengan mereka, yaitu tidal< meyandang cacat netna dan cacat rungu.
-
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti
Pengaruh self efficacy pada siswa tunanetra dan tunanmgu terhadap
komunikasi interperscmalnya di SMU Negeri 66 Jakarta ..
1.2. ldentifikasi Masalah
Untuk lebih memudahkan penulis dalam meneliti masal
-
1. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menempatkan anak berl
-
5. Ramaja adalah masa transisi pada tahap perkembangan seseorang
dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. IVlasa remaja
berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Pada penelitian ini
peneliti melihat pada masa remaja madya, diantara masa ini adalah
masa seseorang mengecam pendidikan menengah atas.
1.3.2. Perumusan Masalah
9
Berdasarkan uraian masalah diatas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah apakah ada pengaruh self efficacy terhadap komunikasi interpersonal
pada siswa tunanetra dan tunarungu SMU Negeri 66 Jakarta?
1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujw:m
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh self efficacy terhadap
komunikasi interpersonal pada siswa tunarungu dan tunanetra di SMUN
Negeri 66 Jakarta ( sekolah inklusi).
1.4.2. Manfaat Penelitian
1.4.2.1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan gambaran mengenai self efficacy pada siswa tunanetra
dan tunarungu dapat mempengaruhi mereka ketika harus berkomunikasi
-
interpersonal dengan lingkungannya di sekolah inklusi, khususnya dengan
orang-orang disekitar mereka yang normal. Serta dapat menambah dan
memperkaya khasanah keilmuan psikologi.
1.4.2.2. Manfaat Praktis
Dapat memberikan sumbangsih bagi para guru yang mengajar di sekolah
inklusi dalam mendidik para siswanya khususnya siswa tunarungu dan
tunanetra yaitu self efficacy mereka terhadap komunikasi interpersonalnya.
Dan kepada para siswa tunarungu dan tunanetra ketika memaharni self
efficacy mereka yang positif guna menciptakan komunikasi interpersonal
yang baik. Hal ini sangatlah penting bagi setiap individu khususnya siswa
tunarungu dan tunanetra di dalam menyelami perkembangan kehidupan
selanjutnya, sehingga diharapkan para siswa tersebut dapat tumbuh dan
berkembang menjadi individu dewasa yang lebih realistii> dan bermanfaat
bagi semua.
1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada skripsi ini berpedornan pada sistematika
penulisan American Psychological Assosiation (APA) style. Untuk
memudahkan penulisan skripsi ini, penulis menyusunnya dalam bentuk
beberapa bab sebagai berikut:
10
-
11
Bab 1 pendahuluan : Berisi latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan
masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,
serta sistematika penulisan laporan.
Bab 2. landasan teori: Berisi teori self efficacy, komunil
-
2.1. Self Efficacy
BAB2
KAJIAN PUSTAl
-
13
Teori kognisi sosial memandang bahwa persepsi tentan!~ self efficacy
berperan sebagai sebuah mekanisme yang memungkinkan individu
mengendalikan reaksi terhadap tekanan. Apabila individu percaya merasa
mampu menghadapi tekanan otensial dengan afektif, maka individu tidak
akan merasa gelisah. Sebaliknya bila individu percaya bahwa dirinya tidak
dapat mengendalikan lingkungan yang mengancam, individu akan menderita
karena tertekan. Hal tersebut karena individu cenderun!~ memikirkan ketidak
mampuannya dan melihat lingkungan sebagai sesuatu yang penuh ancaman.
Dengan demikian individu merasa tertekan dan tidal< be1iungsi secara
normal (Yatmi, 2005).
Self efficacy dianggap sebagai bagian dari proses kognitif yang
mempengaruhi prilaku atau kinerja dengan memberikan informasi tersebut
individu memilih tindakan yang sesuai dengan tuntutan tugas atau lingkungan
tertentu. Apabila informasi tentang kemampuan dalam menghadapi tugas
cukup negatif (merasa kurang mampu) maka individu cimderung
menghindari tugas yang dianggapnya sulit (Yatrni, 2005).
Self efficacy juga merupakan bagian dari konsep diri yang lebih
menunjukkan pada bakat dan kemampuan yan~1 dimiliki seseorang terhadap
tugas yang diberikan ( Bandura, 1977). Self efficacy yaitu keyakinan
seseorang bahwa dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang
-
14
dibutuhkan dalam suatu tugas yang berarti keyakinan individu pada
kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi dan mengatasi situasi tertentu.
Menurut Bandura (1982) " Self efficacy adalah keyakinan individu mengenai
seberapa besar kemampuan untuk menampilkan perilaku yang dibutuhkan
dalam mengatasi situasi atau tugas tertentu". Self efficacy tidak
berhubungan dengan ketrampilan yang dimiliki individu tetapi dengan
penilaiannya mengenai mampu atau tidaknya individu melaksanakan suatu
aktivitas dengan ketrampilan yang ada pada dirinya. S€'/f efficacy ini juga
akan menentukan sampai seberapa besar usaha yang akan dilakukan dan
sampai berapa lama individu mampu bertahan dalam menghadapi hambatan
atau pengalaman yang kurang menyenangkan. Semakin tinggi self efficacy
individu maka semakin besar usaha yang dilakukan dan semakin besar pula
daya tahan dalam menghadapi hambatan. Bila menghadapi hambatan,
individu yang ragu-ragu tentang kemampuan dirinya, akan mengurangi usaha
dan rnudah menyerah. Sebaliknya individu yang memiliki self efficacy yang
tinggi akan mengeluarkan usaha yang besar untuk men~ihadapi hambatan
tersebut.
Sedangkan menurut Schunk (1992) self efficacy adalah penilaian mengenai
sebaik apa individu dapat mengorganisasikan dan melakukan serangkaian
-
15
tingkah laku yang diperlukan dalam situasi yang ambigius, tidal< terduga dan
mengandung tekanan.
Woolkfolk (dalam Bandura, 1995) mengatakan definisi self efficacy yang tidak
berbeda yaitu, "Keyakinan individu mengenai kemampuan yang dimilikinya
dalam menghadapi situasi tertentu".
Sementara Shell dan Murphy ( 1989) mengatakan "self •:lfticacy adalah
penilaian individu terhadap kemampuan dirinya dalam mengorganisasikan
ketrampilan-ketrampilan yang dimilikinya ke dalam satu tindal
-
16
yang ragu akan kemampuannya atau dengan kata lain individu yang memiliki
self efficacy yang rendah akan mengurangi usahanya dan menyerah.
Sedangkan orang yang memiliki self efficacy yang kuat akan mengerahkan
usaha yang lebih besar mengatasi tantangan.
Jadi self efficacy adalah suatu bagian dari konsep diri individu yang
mengukur kemampuan diri dalam menghadapi hambatan yang dihadapinya.
lndividu yang mampu mangatasi hambatan tersebut dan mampu
menyelesaikan tugas tersebut, tidak pantang menyerah menunjukkan bahwa
self efficacy individu tersebut tinggi. Sedangkan pada individu yang mudah
menyerah dan tidak mampu mengatasi hambatan-hambatan yang di
hadapinya menunjukkan self efficacy individu tersebut rendah.
2.1.2. Aspek-aspek self efficacy
Menurut Bandura (1986) aspek-aspek dari self efficacytersebut adalah:
a. Pengambilan keputusan untuk menentukan tingkah laku
lndividu dalam· kehidupan sehari-harinya harus mengambil keputusan
mengenai kegiatan yang dipilihnya. Pengambilan keputusan yang
melibatkan pilihan tingkah laku ini adalah bagian dari ketentuan penilaian
self efficacy pada masing-masing individu. lndividu ce,nderung akan
menghindari tugas atau situasi yang diyakini berada di luar kemampuannya
dan individu akan menangani kegiatan atau tugas yang dinilainya mampu
-
ditanganinya. Penilaian diri akan keyakinan yang dimilikinya itu berguna
dan mempengaruhi perkembangan individu selanjutnya.
b. Usaha yang dikeluarkan dan daya tahan dalam menghadapi kesulitan
pengalaman yang tidak menyenangkan.
17
Seberapa usaha seseorang dan seberapa lama individu dapat bertahan
dalam menghadapi rintangan atau pengalaman yang tidak menyenangkan
(Bandura, 1986). lndividu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan
berusaha bertahan dari segala tantangan yang dihadapinya. Segala
kegagalan yang dihadapinya dianggap suatu cobaan dan kurangnya usaha
yang ada. Tetapi individu yang memiliki self efficacy yang rendah
mempunyai usaha yang kecil dan menganggap segala kegagalan adalah
suatu kesalahan dirinya.
c. Pola pikir dan reaksi emosional
Penilaian mengenai kemampuan seseorang mempengaruhi juga pola
reaksi emosionalnya. lndividu yang menilai dirinya sendiri tidak mampu
dalam mengatasi suatu masalah atau tuntutan lingkungan ternyata memiliki
personal deficiency dan kesulitan dalam menggunakan potensi kognitifnya
(Beck 1976,Lazarus Launier, 1978: Meinchenbaum, 1977; Serason, 1975,
dalam Bandura, 1976). Sebaliknya individu yang memiliki keyakinan diri
yang kuat rnengeluarkan usaha yang lebih besar terhadap situasi yang
-
18
dihadapinya. Keyakinan diri juga membentuk atribusi penyebab
(Collins, 1982,dalam Bandura , 1986) dalam menyelesaikan persoalan yang
sulit, individu yang memiliki keyakinan diri tinggi menganggap kegagalan
sebagai dari kurangnya usaha, sedangkan yang memiliki keyakinan rendah
menganggap kegagalan sebagai akibat dari kurangnya kemampuan.
Beck ( dalam Bandura, 1982) mengatakan bahwa individu yang menilai
dirinya tidak mampu mengatasi lingkungan, akan memandang kesulitan-
kesulitan yang dihadapinya lebih menakutkan dibandingkan dengan
kenyataan yang sebenarnya.
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan diatas, self efficacy
siswa tunanetra dan tunarungu dalam penelitian ini adalah seberapa besar
usaha yang akan dilakukan oleh mereka dalam menghadapi hambatan di
sekolah inklusi. Untuk itu digunakan pengukuran pada pengambilan
keputusan untuk menentukan tingkah laku, usaha yng dilakukan dan
ketekunan berusaha, dan pola pikir serta reaksi emosionalnya.
2.1.3. Sumber lnformasi Self efficacy
Menurut Bandura (1986) informasi mengenai kemampuan seseorang dapat
diperoleh melalui empat sumber, yaitu:
-
19
1. Hasil yang dicapai secara nyata (Enactive Attainment)
Merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap tinggi rendahnya self
efficacy. Hal ini l
-
diyakinkan secara verbal oleh lingkungannya bahwa ia memiliki
kemampuan untuk menguasai tugas-tugas yang diberikan terlihat
mengeluarkan usaha yang lebih besar dibandingkan jika ia memiliki
keragu-raguan akan kemampuan dirinya (Bandura, 1986).
4. Keadaan fisiologi (Physiological state)
20
Physiological state atau keadaan fisiologis pada tanda-tandanya biasanya
menjadikan individu menilai kemampuan dirinya. Misalnya dalam situasi
yang menahan, individu cenderung menjadikan ketegangan yang timbul
sebagai pertanda dimana ia tidak cukup mampu untuk menguasai
keadaan, padahal bisa jadi sebenarnya ia mampu. Dalam ha! kekuatan
dan stamina tubuh individu menilai keletihan dan rasa sakit sebagai tanda-
tanda kelemahan fisik (Evert dalam Bandura, 1986).
2.1.4. Dimensi self efficacy
Menurut Bandura ( 1986) dimensi self efficacy adalah:
1. Tingkat kesulitan tugas.
Penilaian keyakinan diri setiap orang tergantung pada tingkat kesulitan
tugas yang dihadapi. Kesulitan tugas tersebut dimulai dari tugas yang
sederhana sampai ke tugas yang lebih sulit.
-
21
2. Situasi yang dihadapi.
Seseorang mungkin hanya memiliki keyakinan pada suatu situasi tertentu,
namun tidak memiliki keyakinan diri pada situasi umum.
3. Derajat kekuatan keyakinan.
Keyakinan diri yang lemah pada seseorang mudah dikalahkan oleh
masalah-masalah pada situasi sedangkan orang yang memiliki keyakinan
diri yang kuat akan mampu bertahan menghadapi masalah yang timbul
dalam suatu situasi.
2.1.5. Perkembangan Self efficacy
Sejak lahir individu belajar banyak hal dengan melihat individu lain
melakukan suatu kegiatan mencoba atau gaga!, atau berhasil dengan baik.
Pengalaman belajar sosial tersebut memerankan pola prilaku yang dibentuk
sejak kecil. lnstruksi verbal dari orang tua yang beriringan dengan berbagai
pengalaman mencoba dan gaga! (trial and error) atau berhasil, membantu
individu untuk secara bertahap belajar tentang batas-batas bakat dan
kemampuannya. Hal itulah yang mengarahkan individu kepada penilaian
tentang self efficacy yang adekuat (Bandura, 1986).
-
Menurut Bandura lingkungan yang mempengaruhi perkembangan self
efficacy antara lain:
a. Lingkungan keluarga
22
Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama bagi perkembangan self
efficacy. Hal ini karena merupakan tempat pertama bagi individu untuk
mengembangkan, menilai, dan menguji kemampuan fisik, kompetensi
sosial, kemampuan bahasa dan kemampuan kognitifnya untuk memahami
dan mengatasi berbagai situasi yang dihadapi sehari-hari.
b. Lingkungan sebaya
Lingkungan teman sebaya sebagai tempat selanjutnya yang dapat
mempengaruhi perkembangan self efficacy individu setelah lingkungan
keluarga. Dalam berinteraksi dengan teman sebaya, terjadi proses
belajar sosial yaitu dengan cara membandingkan dan meniru teman
sebaya yang lebih mampu dan lebih berpengalaman. lndividu
beranggapan apabila teman sebaya yang memiliki banyak persamaan
dengan dirinya mampu melakukan sesuatu hal, maka tentu individu juga
akan melakukan hal serupa.
c. Lingkungan sekolah
Menurut Bandura sekolah dapat menjadi lembaga bagi penanaman self
efficacy individu. Hal ini karena sekolah merupakan tempat utama yang
sangat penting bagi individu untuk menciptakan pengetahuan dan
mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan konatifnya. Dengan
-
23
adanya kegiatan yang dilakukan di sekolah maka individu akan
mengetahui sejauh mana kemampuan kognitif, afektif dan konatif yang
dimiliki, sehingga hal inilah yang dapat mempengaruhi perkembangan self
efficacy.
Ketiga lingkungan diatas merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi
perkembangan self efficacy individu. Dan ketiga lingkungan tersebut memiliki
keterkaitan satu sama yang lain.
2.2. Komunikasi Interpersonal
2.2.1 Pengertian komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia.
Sejak lahir manusia telah melakukan komunikasi yang sangat sederhana.
Seiring dengan perkembangan individu komunikasipun menjadi lebih
sempurna. Sehingga terjadi suatu proses antara pemberi pesan dengan
penerima pesan.
Menurut Onong Uchyana Effendy (1988} komunikasi berasal dari bahasa
latin "communication" yang bersumber dari kata "communis" yang berarti
"sama", dalam hal ini berarti "sama makna".
-
24
Onong Uchyana Effendy (1988) juga menyebutkan bahwa komunikasi adalah
"Proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk
memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik langsung
secara lisan, maupun tidak langsung melalui media".
Widjaja (1998) menyebutkan komunikasi sebagai hubungan kontak antara
dan antar manusia baik individu maupun kelompok. Selanjutnya menurut
Ludlow dan panton (dalam Widjaja,1988), komunikasi dapat dipandang
sebagai suatu proses pribadi yang meliputi pengalihan informasi dan input
perilaku. Pandangan senada dikemukakan oleh James Adf Stoner (dalam
Widjaja, 1988) yang mendefinisikan komunikasi sebagai proses dimana
seseorang berusaha memberikan pengertian dengan pemindahan pesan.
Menurut Riyono Pratikto (1992) komunikasi merupakan pengoperan
lambang-lambang yang berarti, yang merupakan penuangan semua pikiran,
perasaan, kekecewaan, harapan, dan sebagian dari seseorang dengan
tujuan yang dapat mempengaruhi orang lain.
Kesimpulan definisi dari komunikasi adalah bagaimana caranya agar suatu
pesan yang disampaikan komunikator dapat menimbulkan dampak atau efek
tertentu pada komunikan. Maksud dari efek komunikasi adalah berbagai
-
perubahan yang timbul pada diri komunikan disebabkan terjadinya kegiatan
komunikasi.
2.2.2 Pengertian komunikasi interpersonal siswa tunanetra dam
tunarungu
25
Secara umum komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai proses
pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Pengertian
proses mengacu pada perubahan dan tindakan (action) yang berlangsung
terus menerus, komunikasi antar pribadi juga merupakan suatu pertukaran
yaitu tindakan menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik;
sedangkan makna yaitu sesuatu yang dipertukarkan dalam proses tersebut
adalah kesamaan pemahaman diantara orang-orang yang berkomunikasi
terhadap pesan-pesan yang digunakan dalam proses komunikasi.
Komunikasi yang dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap,
pendapat dan perilaku seseorang adalah komunikasi interpersonal.
Dikatakan paling efektif karena prosesnya yang memungkinkan bersifat
dialogis. Komunikasi yang berlangsung secara dialogis selalu lebih baik dari
pada secara monologis.
Dialog merupakan bentuk komunikasi antar pribadi yang menunjukkan
terjadinya interaksi, yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi
-
26
ganda, masing-masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian.
Dalam proses komunikasi dialogis tampak adanya upaya dari para perilaku
komunikasi untuk terjadinya pengertian bersama dan empati. Disitu terjadi
rasa saling menghormati bukan disebabkan status sosial ekonomi, melainkan
didasarkan pada anggapan bahwa masing-masing adalah manusia wajib,
berhak, pantas, dan wajar dihargai dan dihormati sebagai manusia.
Komunikasi interpersonal sering juga dikatakan sebagai komunikasi antar
pribadi, karena pengertian interpersonal antar pribadi. Keduanya
dipergunakan dalam ilmu komunikasi.
Komunikasi antar pribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial dimana
orang-orang yang terlibat didalamnya sering mempengaruhi. Sebagaimana
diungkapkan oleh Devito (1997) menyebutkan:
"Interpersonal communication is the process of sending and receiving
messages between two persons or among a small group of persons with
some effect and some immediate feedbaclf'. (komunikasi interpersonal
adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang, atau
diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa
umpan balik seketika).
-
27
Menurut Tan (dalarn Allo Liliweri, 1991) bahwa "komunikasi antar pribadi
adalah komunikasi tatap muka antara dua orang atau lebih". Sedangkan
Everet M. Rogers ( dalarn Allo Liliweri, 1991) rnengernukakan bahwa
"Komunikasi antar pribadi adalah merupakan komunikasi dari mulut ke mulut
yang tetjadi da/am interaksi tatap muka antara beberapa pribadi". Dalarn
kornunikasi antar pribadi, kornunikator mengetahui pasti apakah kornunikasi
yang dilakukannya berhasil atau tidak, jika tidak penerima pesan diberi
kesernpatan untuk bertanya sebanyak-banyaknya. Dalarn rnelakukan
komunikasi ini pesan dari komunikator langsung diterirna oleh komunikan dan
tanggapan langsung diterirna dari kornunikan tanpa tunda. Kornunikator
rnengetahui tanggapan kornunikan saat itu juga ketika komunikasi dilakukan.
berhasil atau tidak berhasil dari kornunikasi itu, tarnpak pada tanggapan
yang rnuncul.
Dalam melakukan kornunil
-
l---;;.~llST/!i', 1.---,:.~1~~~--1 UIN SYAr1!l· . . · J!~Klif!T,~ 1 --·-----.--.... ~·--- i ------··--·-·---·---·--··-·--!
28
pada proses interaksi atau komunikasi, misalnya interaksi sosial di sekolah,
dimana terjadi komunikasi antara siswa dengan siswa yang lain.
Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan
bahasanya tidak akan berkembang bila ia tidak dididik atau dilatih secara
khusus. Bicara dan bahasa anak tunarungu pada awalnya seringkali sukar
ditangkap, akan tetapi bila bergaul lebih lama dengan mereka kita akan
terbiasa dengan cara bicara mereka sehingga akan mempermudah kita
dalam memahami maksud bicara anak itu.
Begitupun yang terjadi pada siswa tunanetra. Menurut Tilman dan Osborne
(dalam Anastasi, 1995) menyimpulkan bahwa siswa tunanetra kurang dapat
mengembangkan penguasaan kosa katanya. Tetapi Kepzhart san Schwartz
(dalam Anastasi, 1995) dalam studinya menunjukkan bahwa anak tunanetra
berat mempunyai kemampuan berkomunikasi secara lisan dan mereka
mampu berprestasi seperti anak normal.
Faktor kemahiran berkomunikasi sangatlah penting untuk dimiliki oleh setiap
siswa tunanetra dan tunarungu. Komunikasi yang selaras antar siswa
tunanetra dan tunarungu terhadap orang-orang yang normal dilingkungan
sekolah inklusi hanya akan tercapai apabila orang-orang normal di
-
lingkungan sekolah inklusi dapat mengembangkan sikap demokratif dan
terbuka, serta perlu adanya keaktifan dari pihak tunanetra dan tunarungu.
29
Perlu diingat bahwa komunikasi antara siswa tunanetra dan tunarungu
terhadap orang-orang yang normal dilingkungan sekolah inklusi bersifat
edukatif bahwa komunikasi yang berlangsung dalam rangka untuk mencapai
tujuan pendidikan. Dalam hal ini membantu pribadi siswa tunanetra dan
tunarungu untuk mengembangkan potensi dalam dirinya.
Diharapkan proses komunikasi siswa tunanetra dan tunarungu terhadap
orang-orang yang normal dilingkungan sekolah inklusi ini berlangsung efektif,
dengan terciptanya kesamaan makna antara komunikator dan komunikan.
Jika seseorang salah komunikasinya (misscommunication) maka orang yang
dijadil
-
30
siswa tunanetra dan tunarungu terhadap orang-orang yang normal di
lingkungan sekolah inklusi, yang bertujuan untuk mempengaruhi komunikan.
2.2. 3 Faktor-faktor komunikasi interpersonal
Dalam berkomunikasi individu dipengaruhi oleh beberapa hal yang pada
akhirnya menjadi faktor penentu dalam mencapai komunikasi interpersonal
yang baik. Menurut Jalaludin Rakhmat (1992) akan lebih baik lagi bila
dilandasi beberapa faktor dan faktor yag mempengaruhi komunikasi
interpersonal adalah :
a) Persepsi Interpersonal
Yaitu penangkapan makna terhadap seseorang yang menjadi obyek
persepsi dalam konteks hubungan sosial. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang adalah pengalaman, motivasi, dan
kepribadian.
b) Konsep diri
Yaitu bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya. Seseorang yang
mempunyai konsep diri positif akan berperilaku positif pula. Konsep diri
merupakan faktor yang menentukan dalam komunikasi interpersonal dan
faktor tersebut terdiri dari mernbuka diri, percaya diri dan selektif.
-
31
c) Atraksi interpersonal
Yaitu daya tarik yang dimiliki seseorang sehingga orang menjadi suka
padanya. Atraksi interpersonal dipengaruhi oleh daya tarik fisik, ganjaran,
familiar, kedekatan dan kemampuan.
d) Hubungan Interpersonal
Seperti dekat dan akrab turut menentukan proses komunikasi
interpersonal. Hubungan interpersonal ditentukan oleh sikap percaya,
sikap sportif, dan sikap terbuka yang nantinya menentukan efektivitas
komunikasi interpersonal.
Sedangkan menurut Lunandi (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi
komunikasi interpersonal adalah:
a) Mendengarkan
Telinga bisa mendengar segala suara tetapi mendengarkan suatu
komunikasi harus dilakukan dengan pikiran dan hati serta segenap indera
yang diarahkan kepada si pembicara.
b) Pernyataan
Komunikasi pada hakekatnya adalah kegiatan menyatakan suatu gagasan
(isi hati dan pikiran) dan menerima umpan balik yang berarti menafsirkan
pernyataan tentang gagasan orang lain.
-
'J 1"
c) Keterbukaan
Keterbukaan dalam hal ini melibatkan perasaan terhadap penyampaian
informasi. Perasaan yang dilibatkan dalam komunikasi ini seperti
kecemasan, harapan, kebanggaan, dan kekecewaan.
d) Kepekaan
32
lndividu sangat perlu memiliki kepekaan untuk mampu membaca gerakan
tubuh lawan bicaranya yang tidak diucapkan lewat kata-kata.
e) Urnpan balik
Komunikasi baru dapat bermakna apabila adanya suatu tanggapan yang
dikirim kembali atau mendapatkan jawaban.
Seseorang yang kondisi emosinya tidak stabil komunikasi yang dilakukannya
cenderung kurang stabil artinya orang yang bersangkutan tidak dapat
memberi respon yang sesuai dengan stimulus yang diterima.
Ada kalanya manusia mengalami kegagalan dalam berkomunikasi.
Kegagalan dalam berkomunikasi yang timbul karena adanya kesenjangan
antara apa yang sebenarnya dimaksud oleh pengirim dengan apa yang oleh
penerima diduga oleh pengirim (A. Supratiknya, 1995), faktor-faktor
kegagalan tersebut adalah :
a. Sumber-sumber harnbatan yang bersifat emosional dan sosial atau
kultural, misalnya karena tidak suka pada seseorang, maka semua
kata-katanya kita tafsirkan negatif.
-
33
b. Sering mendengar dengan maksud sadar maupun tidak sadar untuk
memberikan penilaian dan menghakimi pembicara. Akibatnya ini
menjadi bersikap defensive atau menutup diri dan sangat berhati-hati
dalam berkata-kata.
c. Sering gaga! dalam menangkap maksud konotatif dibalik ucapanya
kendati tahu arti denotatif kata-kata yang digunakan oleh seorang
pembicara.
d. Kesalah pahaman atau distorsi dalam komunikasi sering terjadi karena
tidak saling mempercayai.
Komunikasi interpersonal pada umumnya dilaksanakan karena adanya
berbagai faktor pendorong dari komunikan. Siswa tunanetra dan tunarungu
membutuhkan siswa lain yang normal untuk mendengarkan perasaan dan
pendapatnya, dan siswa lain mampu memberikan nasehat dan saran kepada
siswa tunanetra dan tunarungu tersebut. Selain itu juga dalam
berkomunikasi terjadi akibat yang disengaja atau tidak, seperti komunikan
merasa tersinggung oleh perkataan lawan bicaranya, atau kelakuan maupun
pendapat seorang siswa tunanetra dan tunarungu berubah setelah berbicara
dengan siswa yang normal. Akibat-akibat ini menunjukkan keterpengaruhan
pada individu yang berkomunikasi.
-
34
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan komunikasi interpersonal dalam penelitian ini adalah komunikasi
yang dilakukan antar pribadi dengan berbagai faktor pendorong, dan
suasana hubungan yang bebas, bervariasi dan ada keterpengaruhan.
Pesan-pesan dan tanggapan yang muncul dapat secara verbal maupun non
verbal, yang dapat berakibat disengaja atau tidak terhadap komunikan. Hal
itu menunjukan bahwa komunikasi interpersonal memberikan pengaruh pada
hubungan antara komunikan dan komunikatornya.
2.2.4 Ciri-ciri komunikasi interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang diambil dengan tetap
memperhatikan kedinamisannya. Menurut Hardjana (2003) komunikasi
interpersonal mempunyai ciri-ciri yang tetap sebagai berikut :
a. Komunikasi interpersonal adalah verbal dan non verbal
Dalam komunikasi pada umumnya mencakup dua unsur pokok yaitu isi
pesan dan bagaimana isi itu dikatakan atau dilakukan, baik secara verbal
maupun non verbal.
b. Komunikasi interpersonal mencakup perilaku tertentu
Perilaku dalam komunikasi meliputi perilaku verbal dan non verbal. Ada
tiga perilaku dalam komunikasi interpersonal, yaitu:
-
35
1. Perilaku spontan
Adalah perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa
sensor serta revisi secara kognitif, artinya perilaku itu terjadi begitu
saja. Jika verbal, perilaku spontan, bernada asal bunyi, misalnya,
"hai", "aduh", atau "hore". Perilaku spontan non verbal, misalnya
meletakkan telapak tangan pada dahi waktu kita sadar bahwa berbuat
keliru atau lupa, melambaikan tangan pada waktu berpapasan dengan
teman.
2. Perilaku menurut kebiasaan (script behaviour)
Adalah perilaku yang kita pelajari dari kebiasaan kita. Perilaku itu
khas, dilakukan pada situasi tertentu, dan dimengerti orang. Misalnya,
ucapan "selamat datang" kepada teman yang datang. Dalam bentuk
non verbal, misalnya berjabat tangan dengan teman atau mencium
tangan orang tua.
3. Perilaku sadar (contrived behaviow]
Adalah perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi
yang ada.
c. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berproses
pengembangan
Komunikasi itu berkembang berawal dari saling pengenalan yang
dangkal, berlanjut makin mendalam, dan berakhir dengan saling
-
pengenalan yang amat mendalam. Tetapi juga dapat putus, sampai
akhirnya saling melupakan.
d. Komunikasi interpersonal mengandung umpan balik, interaksi, dan
koherensi.
36
Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi tatap muka, karena itu,
kemungkinan umpan balik (feedback) besar sekali. Dalam komunikasi
interpersonal penerima pesan dapat langsung menanggapi dan
menyampaikan umpan balik, dengan demikian diantara pengirim dan
penerima pesan terjadi interaksi yang satu mempengaruhi yang lain, dan
kedua-duanya saling mempengaruhi dan memberi serta menerima
dampak. Pengaruh itu terjadi pada dataran kognitif-pengetahuan, efektif-
perasaan, dan behaviour-perilaku.
e. Komunikasi interpersonal berjalan menurut peraturan tertentu.
Peraturan itu ada yang instrinsik dan ada yang ekstrinsik. Peraturan
instrinsik adalah peraturan yang dikembangkan oleh masyarkat untuk
mengatur cara orang harus berkomunikasi satu sama lain. Peraturan ini
menjadi patokan perilaku dalam komunikasi interpersonal. Peraturan
instrinsik misalnya, meski sama-sama sopan, hormat, menghargai, tetapi
bentuknya berbeda antara orang jawa dengan orang jepang. Peraturan
ekstrinsik adalah peraturan yang ditetapkan oleh situasi atau masyarakat,
misalnya pada waktu melayat, nada bicara interpersonal berbeda dengan
ketika pesta.
-
37
f. komunikasi interpersonal adalah kegiatan aktif
komunikasi interpersonal bukan hanya komunikasi dari pengirim kepada
penerima pesan dan sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara
pengirim pesan dan penerima pesan.
g. Komunikasi interpesonal saling mengubah
Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat komunikasi
dapat saling memberi inspirasi, semangat dan dorongan untuk mengubah
pemikiran, perasaan, dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas
bersama. Karena itu, komunikasi interpersonal dapat merupakan wahana
untuk saling belajar dan mengembangkan wawasan, pengetahuan dan
kepribadian.
Berdasarl
-
38
2.3. Tunanetra
2.3.1. Pengertian tummetra
Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, '1990) tuna artinya rusak, Iuka, kurang, tidak
memiliki, sedangkan netra artinya mata (Departemen pendidikan dan
kebudayaan, 1990).
Dan menurut pendidikan kebutaan (dalam anastasia, 1995) tunanetra
difokuskan pada kemampuan siswa dalam menggunakan penglihatan
sebagai suatu saluran untuk belajar. Anak yang tidak dapat menggunakan
penglihatannya dan bergantung pada indera lain seperti pendengaran,
perabaan, inilah yang disebut buta secara pendidikan.
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya
berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi
pertolongan dengan alat-alat bantu khusus, mereka masih tetap memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
Jadi tunanetra adalah kemampuan siswa dalam menggunakan penglihatan
sebagi suatu saluran untuk belajar. Anak tunanetra adalah anak yang tidak
-
39
dapat menggunakan penglihatannya dan bergantung pada indera lain seperti
pendengaran, penciuman dan perabaannya.
2.3.2. Klasifikasi anak tummetra
Anastasia (1995) mengelompokkan tunanetra menjadi 4 kriteria yaitu:
1. Tunanetra berdasarkan ketajaman dan penglihatannya
a. 6/6 - 6/16 m atau 20/20 -20/50 feet. Klasifikasi ini masih dikatakan
sebagai tunanetra ringan atau masih dapat dikatakan normal, mampu
mempergunakan peralatan pendidikan di sekolah umum.
b. 6120 -60160 m atau 20/70 - 201200 feet. Pada tingkat ketajaman ini
sering disebut tunanetra kurang lihat atau low vision disebut juga
partially sight atau tunanetra ringan, taraf ini mampu melihat dengan
bantuan kacamata.
c. 6/60m lebih atau 20/200 lebih. Pada tingkat ini dikatakan juga
tunanetra berat. Taraf ini masih dapat menghitung dengan jari,
menggerakkan tangan, dan dapat membedakan terang dan gelap.
d. Mereka yang memiliki visus 0, atau sering disebut buta. Tingkat
terakhir ini sudah tidak mampu melihat ransangan cahaya clan tidak
dapat melihat apapun.
-
40
2. Saat terjadinya kebutaan
a. Tunanetra sebelum dan sesudah lahir. Pada tahap ini anak belum
mempunyai konsep terang atau gelap, peran oran1J tua dan lingkungan
sekitar sangat penting , untuk membimbing anak mengenali
lingkungannya.
b. Tunanetra balita. Tahap ini anak yang mengalami kebutaan ketika usia
3 tahun. Pada tahap ini konsep terang dan gelap telah ada, tetapi
mudah hilang, sehingga masih perlu bimbingan orang tua dan
lingkungan sekitar.
c. Tunanetra balita. Yaitu anak yang mengalami kebutaan ketika usia 5
tahun. Konsep tidak hilang tetapi selalu dihidupkan, butuh peran orang
tua dan guru taman kanak-kanak dalam membina dan mengarahkan
konsep yang telah dimiliki anak.
d. Tunanetra pada usia sekolah. Tahap ini anak mengalami kebutaan
ketika usia 6 tahun sampai 12 tahun. Konsep dan kesan-kesan visual
sangat bermanfaat bagi perkembangan pendidikan. Tidak jarang
mereka mengalami goncangan jiwa akan lebih hebat bila dibandingkan
balita sebab masa sekolah adalah masa bermain. Tugas pendidik
adalah menyadarkannya agar mau menerima kenyataan.
e. Tunanetra remaja. Yaitu anak yang mnegalami kebutaan l
-
dua konflik batin dan konflik jasmani. Butuh bimbingan dari orang tua
dan orang-orang terdekat agar mereka mau menerima kenyataan dan
dapat berinteraksi sosial dengan lingkungan sosial.
41
f. Tunanetra dewasa. Yaitu individu yang mengalami kebutaan ketika usia
19 tahun keatas. Pada tahap ini tidak sedikit yang frustasi dan putus
asa. Bimbingan jasmani diperlukan agar mereka mampu bekerja dan
bimbingan rohani sangat diperlukan untuk mempertebal iman mereka
agar dapat menerima keadaannya.
3. Tunanetra berdasarkan tingkat kelemahan visual
a. Tidak ada kelemahan visual. Ketajaman lebih dari 20/25 m dan luas
lantang pandang 120 derajat.
b. Kelemahan visual ringan. Ketajaman kurang dari 20/25 m dan luas
lantang pandang 120 derajat tidak ada pengaruh kegiatan sehari-hari.
c. Kelemahan visual ringan. Ketajaman 20/60 m dan luas pandang 60
derajat, membutuhkan penggunaan kacamata.
d. Kelemahan visual parah. Ketajaman 20/60 m dan luas pandang 20
derajat, penggunaan kacamata tidak dapat berfungsi
f. Kelemahan visual total. Sudah tidak dapat lagi menerima ransangan
cahaya disebut dengan buta.
-
42
2.3.3. Karakteristik siswa tunanetra
Abu Ahmadi dan widodo supriyono (1991) menyebutkan bahwa siswa
tunanetra memiliki ciri-ciri tersendiri dalam menyesuaikan diri. Adapun
bermacam-macam jenis tingkah laku siswa cacat itu sebenarnya merupakan
mekanisme pertahanan diri anak cacat untuk sosial atau adjusment.
Anastasia (1995) menyebutkan bahwa siswa tunanetra yang mengalami
kebutaan total mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Rasa curiga
2. Perasaan mudah tersinggung
3. Ketergantungan yang berlebihan
4. Blind ism
5. Rasa rendah diri
6. Suka melamun
7. Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu objek
8. Kritis
9. Pemberani
10. Perhatian terpusat (konsentrasi)
Sedangkan menurut Somantri (2006) karakteristik anak tunanetra dapat
dilihat dari:
-
43
1. Perkembangan kognitifnya
Akibat dari ketunanetraannya, maka pengenalan atau pengertian terhadap
dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya
perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan
dengan anak-anak normal umumnya. Bagi anak tunanetra setiap bunyi
yang didengarnya, bau yang diciumnya, kesan yang dirabanya, dan rasa
yang dicecapnya memiliki potensi dalam pengembangan kognitifnya. Anak
tunanetra cenderung memiliki daya ingat yang tinggi namun rendah dalam
pengembangan konsep. Pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya
juga cenderung tidak tersusun secara terintegrasi tetapi cenderung
terpisah-pisah.
2. Perkembangan motorilmya
Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat dibandingkan
dengan anak awas pada umumnya. Kelambatan ini terjadi karena dalam
perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional
antara sistem persyarafan dan otot dengan fungsi psikis (kognitif, afektif,
dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Secara
fisik mungkin anak mampu mencapai kematangan sama dengan anak
awas pada umumnya, tetapi karena fungsi psikisnya seperti pemahaman
akan bahaya terhadap sesuatu, mengakibatkan kematangan fisiknya
kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktifitas
-
gerak motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau
tidak langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam
me Ii hat.
3. Perkembangan emosinya
44
Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan
dibandingkan dengan anak awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan
oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada
masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses
belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap
dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan pengamatan
terhadap reaksi lingkungan secara tapat. Akibatnya pola emosi yang
ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh diri maupun lingkungannya. Perkembangan emosi anak
tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi
emosi, yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki
kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan
seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Perasaan
takut yang berlebihan pada anak tunanetra biasanya berhubungan dengan
meningkatnya kemampuan anak untuk mengenal bahaya serta penilaian
kritis terhadap lingkungannya.
-
45
4. Perkembangan sosialnya
Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk
bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat, anak tunanetra lebih
banyak menghadapi masalah dalam perkembangan sosial. Kurangnya
motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau
baru, perasaan-perasaan rendah diri menyebabkan terhambatnya
perkembangan sosial pada anak tunanetra. Kesulitan lain adalah
keterbatasan anak tunanetra untuk belajar sosial melaui proses identifikasi
dan imitasi. la juga memiliki keterbatasan untuk mengikuti bentuk-bentuk
permainan sebagai wahana penyerapan norma-norma atau aturan-aturan
dalam bersosialisasi.
5. Perkembangan kepribadiannya
Pertahanan diri yang kuat sering dijumpai pada anak tunanetra terutama
usia dewasa. Anak tunanetra cenderung bertahan dengan ide atau
pendapatnya yang belum tentu benar menurut penilaian umum. lni terjadi
karena adanya kompensasi dari rasa inferior untuk me,ncapai rasa superior.
-
46
2.4. Tunarungu
2.4.1. Pengertian tunanmgu
Menurut Moores (dalam Bunawan, 1995) yang dimaksud dengan tunarungu
adalah individu yang tidak mampu mendengar dan hat ini tampak dalam
wicara atau bunyi-bunyi lain, dalam derajat frekuensi dan intensitas.
Secara medis kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang
disebabkan oleh kerusakan dan mal/dis/non fungsi dari sebagian atau
seluruh alat-alat pendengaran.
Menurut Somantri (2006) tunarungu dapat diartikan sebagai sesuatu keadaan
kehilangna pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat
menangkap berbagai ransangan, terutama melalui indera pendengarannya.
Walaupun ketulian dapat mempengaruhi berbagai aspek perilaku seseorang,
fungsi otak mereka sebenarnya masih utuh dan kesukaran utama terletak
dalam memasukkan informasi kebahasaan ke pusat syaraf. Namun seperti
anak dengar, kaum tunarungu tetap memiliki potensi untuk berbahasa dan
banyak diantara mereka masih memiliki sisa pendengaran yang dapat
dimanfaatkan untk memperoleh informasi kebahasaan. Suasana emosional,
cara penanganan, dan kualitas lingkungan kebahasaan keluarga anak
tunarungu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif, bahasa dan
emosi anak (Bunawan, 1995).
-
Lani Bunawan (1995) menjelaskan bahwa anak tunarungu mengalihkan
pengamatannya kepada mata, anak tunarungu sering disebut "insan
permata". Melalui mata anak tunarungu memahami bahasa lisan atau oral,
selain gerakan dan ekspresi wajah lawan bicaranya mata anak tunarungu
juga digunakan untuk membaca gerak bibir orang yang berbicara.
2.4.2. Klasifikasi anak tunanmgu
Secara garis besar tunarungu dibagi menjadi dua (Bunawan, 1995) yaitu:
1. Orang tuli, adalah seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan
mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui
pendengarannya, baik itu memakai ataupun tidak memakai alat bantu.
2. Orang kurang dengar, adalah seseorang yang mengalami kehilangan
sebagian kemampuan mendengar, akan tetapi ia masih mempunyai sisa
pendengaran dan pemakaian alat bantu mendengar memungkinkan
keberhasilan serta membantu proses informasi bahasa melalui
pendengaran.
47
Didalam buku pedoman pendidikan inklusi Direktorat pendidikan Luar Biasa
(2004) ciri-ciri anak tunarungu sebagai berikut :
1 . Secara nyata tidak mampu mendengar
2. Terlambat perkembangan bahasa
3. Sering menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi
-
4. Kurang atau tidak tanggap bila diajak bicara
5. Ucapan kata tidak jelas
6. Kualitas suara aneh atau monoton
7. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar
8. Banyak perhatian terhadap getaran
9. Keluar cairan nanah dari kedua telinga
2.4.3. Penyebab ketunanmguan
Trybus (dalam Bunawan, 1995) mengemukakan penyebab l
-
2. Faktor dari luar diri anak
a. Radang selaput otak (meningitis), ketunarunguan yang disebabkan
oleh meningitis adalah sebanyak 8, 1 %.
b. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah), telinga akan
bernanah dan nanah tersebut akan mengumpul clan menghambat
hantaran bunyL Otitis media adalah salah satu penyakit yang sering
terjadi pada masa anak-anak sebelum mencapai usia 6 tahun. otitis
media dapat ditimbulkan karena infeksi pernafasan atau pilek dan
penyakit anak-anak seperti campak.
49
c. Penyakit anak-anak, radang dan Iuka-Iuka yang dapat mengakibatkan
kerusakan alat-alat pendengaran bagian tengah dan dalam.
2.4.4. Karakteristik anak tunanmgu
Lani Bunawan (1995) menjelaskan karakteristik anak tunarungu dari segi
emosi dan sosialnya adalah sebagai berikut :
1. Egosentrisme yang melebihi anak normal
Anak tunarungu mendapat sebutan permata karena pendengarannya tidak
dapat menolong mereka dalam bicara bahasa, maka anak tunarungu
mempelajari lingkungannya melalui mata. Karena besarnya peranan
penglihatan dalam pengamatan, maka anak tunarungu mempunyai sifat
sangat ingin tahu, seolah-olah mereka haus untuk melihat, dan hal itu
semakin menambah egosentrismenya.
-
2. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang luas
Anak tunarungu lebih sering mengalami ketakutan, hal tersebut
dikarenakan mereka sering merasa kurang menguasai keadaan yang
diakibatkan oleh pendengaran yang tergangggu, sehingga ia merasa
khawatir dan menimbulkan ketakutan.
3. Ketergantungan terhadap orang lain
50
Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah
dikenalnya dengan baik, merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus
asa dan selalu mencari bantuan serta bersandar pada orang lain.
4. Perhatian mereka sulit dialihkan
Suatu hal yang biasa terjadi pada anak tunarungu ialah menunjukkan
keasyikan bila mengerjakan sesuatu, apalagi jika ia menyukai benda atau
pandai mengerjakan sesuatu. Kesempitan bahasa menyebabkan
kesempitan berpikir seseorang. Anak tunarungu sukar diajak berpikir
tentang hal-hal yang belum terjadi artinya anal< tunarungu lebih miskin
akan fantasi.
-
5.Lebih mudah marah dan cepat tersinggung
Karena seringnya mengalami kekecewaan yang timbul dari kesukaran
menyampaikan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dan sulitnya
dia mengerti apa yang disampaikan oleh orang lain kepadanya, ha! ini
biasa diekspresikan dengan kemarahan.
Sedangkan menurut Soemantri (2006) karakteristik anak tunarungu dapat
dilihat dari:
1. Perkembangan kognitifnya
51
Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama
dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya
dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan
informasi, dan kiranya daya abstrak anak, dengan demikian perkembangan
intelegensi secara fungsional terhambat. Perkembangan kognitif anak
tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, sehingga
hambatan pada bahasa akan menghambat perkembangan intelegensi
anak tunarungu. Kerendahan tingkat intelegensi anak tunarungu bul
-
2. Perkembangan emosinya
Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali
menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau
salah dan ini seringkali menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada
emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan
menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya
menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan.
3. Perkembangan sosialnya
52
Lingkungan melihat mereka sebagai individu yang memimliki kekurangan
dan menilainya sebagai seseorang yang kurang berkarya. Dengan
penilaian lingkungan yang demikian, anal< tunarungu merasa benar-benar
kurang berharga dan besar terhadap perkembangan fungsi sosialnya.
Dengan adanya hambatan dalam perkembangan sosial ini mengakibatkan
pula pertambahan minimnya penguasaan bahasa dan kecenderungan
menyendiri serta memiliki sifat egosentris.
4. Perkembangan kepribadiannya
Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau perluasan
pengalaman pada umumnya dan diarahkan pada faktor anak sendiri.
Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu
ketidakmampuan menerima rangsang pendengaran, kemiskinan
-
berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi
dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat
perkembangan kepribadiannya.
2.5. Sekolah inklusi
2.5.1. Pengertian
53
Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan
Staiback (dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004) mengemukakan
bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di
kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa,
maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar
anak-anak berhasil (Direktorat pendidikan luar biasa, 2004). Lebih dari itu,
sekolah inklusi juga merupakan ternpat setiap anak dapat diterirna, rnenjadi
bagian dari kelas tersebut, dan saling rnernbantu dengan guru dan ternan
sebayanya, rnaupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya
dapat terpenuhi.
Sedangkan rnenurut Staub dan Peck (dalam Direktorat Pendidikan Luar
Biasa, 2004) rnengernukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penernpatan
anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas
reguler (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004).
-
54
Di Dunia landasan yuridis dari pendidikan inklusi adalah pada deklarasi
Salamanca (dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004), dan di Indonesia
adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan
pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar
biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus (Direktorat
Pendidikan Luar Biasa, 2004).
2.5.2. Model pendidikan inklusi di indonesia
2.5.2.1 Alternatif penempatan
Melihat kondisi dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia, model
pendidikan inklusi lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa
inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat Vaugh, Bos & Schum
(dalam Ditektorat Pendidikan Luar Biasa, 2004).
Dalam buku pedoman pendidikan inklusi Direktorat Pendidikan Luar Biasa
(2004) penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan
dengan berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di
kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
-
55
2. Kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler
dalam kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal} di kelas reguler
namun dalam waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber
untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas reguler dengan clusterdan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler
dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas
reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasia
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler,
namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain
(normal} di kelas reguler.
6. Kelas khusus penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan,
terutama bergantung kepada :
1. Jumlah anak berkelainan yang akan dilayani
2. Jenis kelamin masing-masing anak
-
56
3. Gradasi (tingkat) kelainan anak
4. Ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan,
5. Sarana dan prasarana yang tersedia.
2.5.2.2. Komponen yang perlu disiapkan
Mutu pendidikan (lulusan) dipengaruhi oleh mutu proses belajar-mengajar,
sementara itu mutu proses belajar-mengajar ditentukan oleh berbagai faktor
(komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:
1. Input siswa
2. Kurikulum (bahan ajar)
3. Tenaga kependidikan (guru/instruktur/pelatih)
4. Sarana-prasarana
5. Dana
6. Manajemen (pengelolaan)
7. Lingkungan (sekolah,masyarakat,dan keluarga)
Dalam hal ini, bila dalam suatu kelas terdapat perubahan pada input siswa,
yakni tidak hanya menampung anak normal tetapi juga anak berkelainan,
maka menuntut penyesuaian (modifikasi), kurikulum (bahan ajar), peranserta
guru, sarana-prasarana, dana, manajemen (pengelolaan kelas), lingkungan
serta kegiatan belajar-mengajar.
-
57
2.6. Remaja
2.6.1. Pengertian Remaja
Remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.
remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak
termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara
penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Monks dan kawan-kawan
(1989) menyebutkan remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Oleh
karena itu, remaja seringkali dekenal dengan fase "mencari jati diri" atau fase
"topan dan badai''. Remaja masih belum mampu menguasai dan
memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya.
Zakiah Dradjat (1990) menyebutkan remaja adalah suatu masa dari umur
manusia yang mengalami perubahan, sehingga membawanya pindah dari
masa anak-anak ke masa dewasa. perubahan-perubahan yang terjadi ini
meliputi segala aspek kehidupan manusia yaitu jasmani, rohani, pikiran,
perasaan dan sosial. Biasanya dimulai dengan perubahan jasmani yang
menyangkut organ seksual, yang terjadi pada umur 13 tahun atau 14 tahun.
Perubahan ini disertai perubahan lainnya yang berjalan sampai sekitar usia
20 tahun.
-
Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah
berusaha:
1. Mampu menerima keadaan fisiknya
2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa
3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang
berlainan jenis
4. Mencapai kemandirian emosional
5. Mencapai kemandirian ekonomi
6. Mengembangkan konsep dan ketrampilan intelektual yang sangat
diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat
7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan
orang tua
8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan
untuk memasuki usia dewasa
9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
58
10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan
keluarga
Kesepuluh tugas perkembangan yang telah disebutkan terlihat bahwa remaja
mempersiapkan dirinya untuk menerima keadaan fisiknya sehingga mampu
mempersiapkan dirinya untuk terjun kedalam hubungan sosial di masyarakat,
-
59
ini dapat terjadi dengan baik dalam diri remaja dengan ditunjang oleh faktor-
faktor tugas perkembangan yang lainnya.
Havighurst (dalam Hurlock, 1991) menyebutkan ada sejumlah tugas
perkembangan yang harus di selesaikan dengan baik oleh remaja, yaitu:
1. Mencapai hubungan baru yang lebih baik dan matang dengan teman
sebaya baik pria maupun wanita
2. Mencapai peran sosial dan wanita
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif
4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang
dewasa lainnya
5. Mencapai jaminan kebebasan ekonomis
6. Memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan
7. Persiapan untuk memasuki kehidupan keluarga
8. Mengembangkan l
-
60
Masing-masing tugas perkembangan itu membawa implikasi yang berbeda
dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan non akademik
berkenaan dengan penyesuaian peran sosial, pemahaman terhadap kondisi
fisik dan psikologis, serta pemahaman dan penghayatan peran jenis kelamin.
2.6.2. Self efficacy dan komunikasi interpersonal remaja terhadap
penyesuaian diri di lingkungan sekolah
Self efficacy mempunyai pengaruh yang posistif terhadap motivasi
(Bandura,1986) begitu pula ketika remaja melakukan penyesuaian diri
disekolah mereka membutuhkan adanya motivasi. Yatrni (2005)
menyebutkan motivasi mempunyai pengaruh kuat terhadap penyesuaian diri
pada remaja. Motivasi itu bisa didapat secara internal yaitu dari dalam diri
remaja itu sendiri, atau secara eksternal atu diluar diri remaja itu sendiri
seperti dari guru dan teman-teman mereka.
Komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk menjalin
hubungan sosial. Dalam hubungan sosial tentu akan adanya penyesuaian
diri. Penyesuaian diri pada remaja akan berjalan lancar jika tiga kemampuan
dalam diri remaja menjalin kerjasama yang baik. Mohammad ali (2004)
menyebutkan tiga kemampuan tersebut adalah:
-
1. Kemampuan kognitif seperti pengamatan, perhatian, tanggapan,
fantasi dan berfikir, merupakan sarana dasar untuk pengambilan
keputusan oleh remaja dalam melakukan penyesuaian diri.
2. Kemampuan afeksi seperti sikap, perasaan emosional, dan
penghayatan terhadap nilai-nilai dan moral akan menjadi dasar
perlindungan bagi kognisi dalam proses penyesuaian diri remaja.
61
3. Kemampuan psikomotorik menjadi sumber kekuatan yang mendorong
remaja untuk melakukan penyesuaian diri disesuaikan dengan
dorongan dan kebutuhannya.
Kehadiran di sekolah merupakan perluasan lingkungan sosialnya dalam
proses sosialisasinya dan sekaligus merupakan faktor lingkungan baru yang
sangat menantang atau bahkan mencemaskan dirinya. Selama tidak ada
pertentangan, selama itu pula anak tidak akan mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan dirinya. Namun, jika salah satu kelompok lebih kuat dari
lainnya, anal< akan menyesuaikan dirinya dengan kelompok dimana dirinya
dapat diterima dengan bail
-
2.7. l
-
63
dirinya berperan untuk mempengaruhinya mampu berkomunikasi
interpersonal dengan lingkungan yang normal bagi siswa tunanetra dan
tunarungu di sekolah inklusi.
Pada penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah pengaruh self efficacy
terhadap adanya komunikasi interpersonal pada siswa tunanetra dan
tunarungu yang bersekolah di sekolah inklusi yaitu SMUN 66 Jakarta.
Maka agar timbul komunikasi interpersonal yang efektif pada siswa tunanetra
dan tunarungu yang bersekolah di sekolah inklusi SMUl\I 66 Jakarta, harus
terdapat self efficacy yang tinggi karena mereka harus berusaha sekuatnya
agar teman-teman serta lingkungan mereka yang normal mampu memahami
dan mengerti apa maksud dan keinginan mereka.
Skema 2.7. Gambaran kerangka berfikir
.f efficacy: Mamp11 mengambil kep11t11s:m Besarnya 11saha yang dikelnarkan dan keteknmm ber11saha Pola pil
-
BAB3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
3.1.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif. Strauss dan
Juliet (dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa penelitian kualitatif
pada dasarnya lebih tepat digunakan pada penelitan yang berupaya
mengungkap sifat pengalaman seseorang dengan fenomena. Bogdan
(dalam Munandir, 1990) mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.
Dalam menjalankan penelitian ini, peneliti berupaya untuk memahami situasi
dalam keunikannya, yaitu sebagai bagian dalam konteks tertentu dan
interaksi di dalamnya. Untuk mencapai pemahaman dari proses situasi yang
unik ini maka dalam penelitian kualitatif digunakan data yang bersifat
deskriptif. Seperti transkip wawancara, catatan lapangan, foto, rekaman
video, dan sebagainya. Hal ini yang membedakan penelitian kualitatif
dengan kuantitatif yang menampilkan data dalam bentuk angka-angka
(Poerwandari, 2001 ).
-
65
3.1.2. Metode Peneliti
-
Pola yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus multiple case
design karena menggunakan lebih dari satu kasus. Dengan pola ini
diharapkan dapat diperoleh gambaran secara rnenyeluruh tentang
penghayatan terhadap keadaan yang dialarninya. Oleh karena itu rnaka
diperlukan data yang bersifat khusus individual untuk rnemdapatkan hasil
yang cukup rnendalarn.
3.2. Subyek penelitian
66
Menurut Strauss (dalarn Porwandari, 2001) dalarn penelltian kualitatif tidak
ada ketentuan baku rnengenai subyek yang harus dipenuhi. Satu subyek
dapat digunakan dalam suatu penelitian studi kasus asalkan data yang
didapatkan sudah cukup. Karena dalarn penelitian ini menggunakan pola
multiple case design, maka jurnlah subyek yang digunakan terdiri dari 4
orang. Subyek atau responden penelitian adalah siswa tunanetra dan
tunarungu kelas tiga , yaitu dua orang siswa tunanetra dan dua orang siswa
tunarungu, yang bersekolah di SMUN 66 Jakarta.
3.2.1. Teknik pengambilan subyek
Dalarn penelitian ini teknik pengambilan sarnpel yang digunakan non
probability sampling, yaitu dengan jenis purposive sampling. Purposive
sampling dilakukan dengan rnengarnbil orang-orang terpilih betul oleh peneliti
-
menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel itu. Sampling yang
purposive adalah sample yang dipilih dengan cermat sehingga relevan
dengan desain penelitian (Nasution, 2001).
3.2.2. Karakteristik Subyek
Subyek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah para siswa yang
bersekolah di SMUN 66 Jakarta kelas tiga yang menyandang ketunaan.
Karakteristik khusus dari subyek yang diteliti adalah sebagai berikut:
a. Subyek yang menyandang ketunaan yaitu tunanetra dan tunarungu
yang tidal< disertai dengan kelainan mental.
67
b. Subyek bersekolah di SMUN 66 Jakarta kelas tiga pada tahun ajaran
200612007.
c. Laki-laki dan perempuan
3.3. Pengumpulan Data
3.3.1. Metode clan instrumen penelitian
Menu rut Poerwandari (2001) metode pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian
serta sifat obyek yang diteliti. Metode pengumpulan data yang digunakan
antara lain wawancara, studi riwayat hidup, dan observasi. Menurut Moleong
-
(1990) pengumpulan data kualitatif menggunal
-
69
tunanetra dan tunarungu dan memahami komunikasi interpersonal mereka
dengan teman-teman mereka yang normal di sekolah inklusi SMUN 66
Jakarta. Sehingga dapat diketahui apakah self efficacy pada siswa tunanetra
dan tunarungu mempengaruhi mereka dalam berkomunikasi interpersonalnya
dengna siswa lainnya yang normal di sekolah inklusi SMUN 66 Jakarta.
Menurut Danim (2002) pada penelitian kualitataif, wawancara bermakna
sebagai strategi utama mengumpulkan data, dan strategi penunjang teknik
lain seperti observasi partisipan, analisis dokumen, dan fotografi.
lnstrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara mendalam
dengan menggunakan pedoman wawancara. Menurut Danim (2002) kaidah-
kaidah penyusunan instrumen penelitian kuantitif dapat clipakai clalam
penelitian kualitatif , meski dua pendekatan itu berbecla filosofi clasarnya.
Wawwancara yang digunakan berpecloman pacla aspek self efficacy yaitu
aspek pengambilan keputusan untuk menentukan tingkah laku pada individu,
aspek besarnya usaha clan ketekunan berusaha pacla indiviclu, dan aspek
pola pikir serta reaksi emosional individu. Wawancara juga berpedoman
pacla faktor-faktor komunikasi interpersonal yaitu mendengarkan orang lain,
memberi pernyataan, membuka diri, kepekaan, dan umpan balik saat
berkomunikasi.
-
2. Metode observasi
Peneliti juga menggunakan metode observasi sebagai rnetode penunjang
dalam penelitian ini, dengan rnaksud ingin mencatat semua yang terjadi di
lapangan tempat wawancara berlangsung.
Observasi disebut pula dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan
perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh indera,
observasi bertujuan sebagai alat yang mendukung alat lainnya
(Moeloeng, 1990).
70
Observasi terhadap subyek dapat dilakukan terhadap faktor-faktor yang ada
dalam diri subyek, seperti informasi tinggi atau rendahnya suara subyek
dalam memberikan keterangan, penekanan pada informasi tertentu, gerakan
tubuh dan menjawab pertanyaan atau memberi informasi sesuai dengan
pandangannya dan keadaan yang sesungguhnya .
Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipan. Faktor-faktor yang
diamati adalah:
a) Penampilan fisik, diantaranya pal
-
c) Lingkungan tempat itnggal, diantaranya keluarga subyek meliputi
hubungan dengan orang tua adik atau kakak, hubungan subyek
dengan teman-teman subyek dalam pergaulannya diluar sekolah.
3.3.2. Alat bantu pemgumpulan data
71
Untuk membantu peneliti dalam proses pengumpulan data, diperlukan alat-
alat yang dapat membantu dan mempermudah tugas peneliti agar
pengolahan data bisa dilakukan dengan mudah. Alat bantu yang
dipergunakan adalah pedoman wawancara, lembar observasi, catatan
wawancara, tape recorder dan camcorder untuk merekam hasil wawancara,
serta pendamping untuk menerjemahkan bahasa isyarat yang digunakan
oleh siswa tunarungu selama proses wawancara berlangsung.
Pedoman wawancara adalah daftar sebuah pertanyaan mengenai tema-tema
atau topik