10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang...

30
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pengetahuan masyarakat tentang Bali lebih banyak dikonstruksi oleh orang asing, seperti dari karya Krause Bali 1912, berupa kumpulan Foto dan dilengkapi teks yang banyak memberikan inspirasi penulis berikutnya. Seperti disebutkan Wijaya sebagai berikut. Karya klasik Miguel Covarrubias Island of Bali (1937); Gregory Bateson dan Margaret Mead, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J.L. Swellengrebel (et al.), Bali Studies in Life, Thougth and Ritual (1962); Karya Vicki Baum yang menulis A Tale from Bali (1973); dan James A. Boon, The Anthropological Romance of Bali, 1597-1972: Dynamic Perspectives in Marriage and Caste, Politics and Religion (1977). Gambaran Bali lainnya juga ditulis oleh penulis asal Amerika Ni Luh Tantri, dalam bukunya, Revolt in Paradise (1960); Fred B. Eiseman, Jr. yang menulis Bali: Sekala and Niskala (cf. Wijaya, 2009). Demikian banyaknya Bali telah ditulis oleh orang asing tidak ada yang khusus membahas Baliseering, namun semua karya di atas sangat berharga karena memberikan data dan inspirasi dalam penelitian ini. Karya Miguel Covarrubias ( 1937) Island of Bali/ diterjemahkan menjadi Pulau Bali:Temuan Yang Menakjubkan(2013) oleh Sunaryo Basuki. Merupakan karya klasik ilustrator Meksiko ini banyak menyumbangkan wawasan sejarah dan budaya Bali karya seorang orientalis di tahun 1930-an. Terutama dalam membahas Yayasan Pita Maha dan seni modern di Bali, berbeda dengan penelitian ini. Budaya Bali dikaji sebagai simbolik dan ekspresif kehidupan, ditulis Adrian Vikers buku Bali: A Paradise Created (1989) dan 10

Transcript of 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang...

Page 1: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Pengetahuan masyarakat tentang Bali lebih banyak dikonstruksi oleh

orang asing, seperti dari karya Krause Bali 1912, berupa kumpulan Foto dan

dilengkapi teks yang banyak memberikan inspirasi penulis berikutnya. Seperti

disebutkan Wijaya sebagai berikut.

Karya klasik Miguel Covarrubias Island of Bali (1937); Gregory Bateson danMargaret Mead, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J.L.Swellengrebel (et al.), Bali Studies in Life, Thougth and Ritual (1962); KaryaVicki Baum yang menulis A Tale from Bali (1973); dan James A. Boon, TheAnthropological Romance of Bali, 1597-1972: Dynamic Perspectives inMarriage and Caste, Politics and Religion (1977). Gambaran Bali lainnyajuga ditulis oleh penulis asal Amerika Ni Luh Tantri, dalam bukunya, Revoltin Paradise (1960); Fred B. Eiseman, Jr. yang menulis Bali: Sekala andNiskala (cf. Wijaya, 2009).

Demikian banyaknya Bali telah ditulis oleh orang asing tidak ada yang khusus

membahas Baliseering, namun semua karya di atas sangat berharga karena

memberikan data dan inspirasi dalam penelitian ini.

Karya Miguel Covarrubias ( 1937) Island of Bali/ diterjemahkan menjadi

“Pulau Bali:Temuan Yang Menakjubkan” (2013) oleh Sunaryo Basuki.

Merupakan karya klasik ilustrator Meksiko ini banyak menyumbangkan

“wawasan sejarah dan budaya Bali karya seorang orientalis di tahun 1930-an.

Terutama dalam membahas Yayasan Pita Maha dan seni modern di Bali, berbeda

dengan penelitian ini. Budaya Bali dikaji sebagai simbolik dan ekspresif

kehidupan, ditulis Adrian Vikers buku Bali: A Paradise Created (1989) dan

10

Page 2: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

11

Travelling to Bali, Four Hundred Years of Journeys (1994). Penelitian ini

memperluas pemitosan Bali sampai ke seluruh dunia, bahwa Pulau Bali sebagai

surga terakhir. Karya Vikers dilanjutkan oleh Michel Picard (2006) Bali

Parwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, (KPG-Forum Jakarta-Paris: Jakarta).

Buku ini mengawali pembahasan melalui asal-usul munculnya gagasan pariwisata

dengan program “Museum Hidup” yang dijadikan latar pariwisata budaya Bali.

Berbagai mitos dibahas tentang proyek Balinisasi, bagaimana kolonial Belanda

membangun “proyek mesin dollarnya” dengan membuka Bali sebagai daerah

wisata budaya eksotik, melalui kapitalisme dalam dunia pariwisata telah

merambah dan menghancurkan sumber daya alam Bali. Secara kultural Bali

makin kehilangan jati dirinya, karena budaya Bali bukan lagi menjadi tuan rumah

di negeri sendiri, tetapi telah dikuasai oleh sistem ekonomi neoliberalis, terutama

terlihat dalam kepemilikan sarana dan prasarana pariwisata. Tidak dibahas jejak-

jejak Baliseering di Bali Utara, walaupun banyak memberikan data dalam

membahas Balinisasi terkait dengan kebudayaan. Peneliti mengkaji jejak-jejak

Baliseering di Bali Utara dan masalah pendidikan Baliseering yang berbeda

dengan karya ini, sehingga dapat melengkapi kekurangannya.

Karya Henk Schulte Nordolt, Spell of Power: A History of Balinese Politics1650-1940 (2006) membahas dinamika kerajaan Mengwi. Dan Karya DarmaPutra, A Literary Mirror: Balinese Reflection on Modernity and Identity inthe Twentienth Century (2003), dengan pendekatan budaya (Wijaya, 2009).Melalui studi berbagai bidang ilmu, Bali mendapat identitas, seperti; “TheIsland of God”, “The Island of Thousands Tempels”, “The Paradise Island”,“The last Paradise”. Odyle Knight, dalam novelnya Bali Moon: A SpiritualOdyssey, menyebut Bali sebagai “The Mystical Island” (Burhanuddin, 2009:51).

Page 3: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

12

Karya Gepffrey Robinson (2006), “Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah

Kekerasan Politik”, mengulas tentang cengkraman kekuasaan kolonial yang

“membentuk Bali” dimulai tahun 1920-an dengan adanya sebuah monumen

puncak kekuasaan di Bali yang dibangun dengan “dominasi politik” di seluruh

kerajaan di Bali, dikukuhkan dengan jatuhnya Klungkung tahun 1908.

Membuktikan bahwa Bali tidak seperti dimitoskan orang, karena banyak terjadi

konflik dan kekerasan, namun tidak diekspos ke permukaan. Karya ini banyak

menginspirasi bahwa primodialisme di Bali sangat kuat dalam mengendalikan

konflik yang muncul, sehingga konflik itu menjadi bersifat laten.

Sarjana dalam negeri lebih banyak menulis menggunakan sumber

penulisan asing, dengan kata lain reaksi baru muncul kemudian setelah sarjana

asing menuliskannya menjadi sebuah karya ilmiah. Seperti kajian Sidemen (1983)

tentang “Baliseering dan pengaruhnya terhadap Pariwisata Budaya di Bali”,

memberikan inspirasi untuk mengambil tema Baliseering ini, namun dalam

perpektif meragukan wacana kolonial dalam Baliseering itu. Hasil penelitian

Sidemen ini memberikan gambaran konseptual tentang Baliseering. Karya ini

ditulis dalam perpsektif sosial politik secara struktural fungsional, sehingga sangat

menarik untuk dikembangkan dalam perpsktif cultural studies. Gambaran

Buleleng sebagai masyarakat maboya dikaitkan dengan ketahanan nasional

dengan, sikap meboya terhadap tradisi yang menguntungkan elite tradisional

(ascribed status) dimiliki oleh masyarakat Bali Utara (Wingarta, 2009:54).

Konflik kasta di Bali Utara dibahas Putra Agung (2001). Sedangkan secara kultur

tahun 1930-an masyarakat Bali dipandang sangat gugon tuwon, dan penuh

Page 4: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

13

pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung

“ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar di Bali

ketika itu. Pandangan Agung (2001) ini perlu dikaji ulang dengan teori kritis,

dengan mengaitkan relasi kuasa di dalamnya (Foucaultan).

Implikasi konflik laten di Bali Utara dapat dipahami dari kekerasan yang

mewarnai masyarakat pascakemerdekaan di Bali Utara, seperti hasil kajian

Ngurah Suryawan (2010) “Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara

di Bali Utara” (Prenada: Jakarta), yang memberikan petunjuk masih banyak

subaltern di Bali Utara perlu dikaji secara akademik. Karya Nengah Bawa

Atmadja, 2010.“Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi”

(Penerbit LkiS, Yogyakarta), membahas identitas kultural “Ajeg Bali”, dengan

pendekatan kajian budaya, menguraikan dan menganalisis fenomena kontemporer

yang terjadi di Bali. Kesimpulannya bahwa Ajeg Bali merupakan usaha

etnosentrisme orang Bali untuk pemertahanan budaya Bali dari pengaruh luar,

dengan tantangan di arahkan pada orang luar Bali yang datang ke Bali. Tidak

menguraikan jejak Baliseering di dalamnya, karena tidak membahas dalam

konteks pendidikan. Disertasi Suda (2009) berjudul Merkantilisme Pengetahuan

dalam Bidang Pendidikan (Kasus SD Sukma Melati Denpasar), (Surabaya:

Penerbit Paramita). Merupakan karya kajian budaya, memberikan pembahasan

secara kritis dalam bidang pendidikan, kasusnya di Bali Selatan, memberikan

gambaran kontemporer di Bali Selatan. Sekolah telah dijadikan merkantilisme

kapitalis dengan berbagai alasan penggunaan teknologi canggih, aneka jenis

pembelajaran, namun ujung-ujungnya ada ideologi kapital (moneytheism), karena

Page 5: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

14

mekanisme kerja sekolah sama dengan mekanisme kerja pasar, terjadi simplikasi

pendidikan, dimana diberlakukan sebagai komoditas ekonomis. Disertasi Wijaya

(2009), “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan

Bali 1910-2007”, merupakan karya koprehensif (703 hal.). Penulisan

menggunakan metode regresif dalam penggambaran situasi dan kondisi budaya

Bali dari tahun 2007 ke belakang sampai tahun 1910. Karya ini ditulis

menggunakan teori Foucault (wacana relasi kuasa dan pengetahuan), Laclau dan

Hobart, juga menggunakan teori Gramsci dalam mengartikulasikan budaya Bali

kontemporer. Kritiknya sangat tajam terutama dalam mengkritisi kehidupan

budaya Bali yang feodalistik, kurang berorientasi ke masa depan, terutama dalam

mengantar kebebasan generasi muda, dari belenggu feodalisme, kasta, dan adat

yang penuh relasi kuasa dari golongan triwangsa yang hegemonik, dinilai kurang

cerdas, perlu dikaji lebih jauh dilihat dari sejarah pendidikan untuk

melengkapinya.

Banyak kalangan baik akademisi maupun birokrat mengakui dan

menerima konsep-konsep yang diurai sarjana asing dengan apa adanya, tanpa

dianalisis secara kritis makna yang terkandung didalamnya. Seperti sambutan

Presiden Susilo Bambang Yudoyono, pada saat pembukaan Pesta Kesenian Bali

(PKB) ke-30 pada Sabtu, 14 Juni 2008, memperkuat identitas Bali tersebut

dengan menyebutkan, sebagai berikut.

Bali sebagai “…the best island in the world” dan “The Island of the God”;“Bali adalah pulau yang alamnya sangat indah, yang tinggi budayanya,dan kuat agama dan spiritualnya” (Bali Post, 15 Juni, 2008:hal.1).

Page 6: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

15

Pandangan ini secara akademis sangatlah meragukan, karena sangat hegemonik

dan sarat dengan kepentingan politis, terkait dengan maraknya komodifikasi Bali

melalui industri pariwisata. Pemitosan Budaya Bali oleh sarjana dalam dan luar

negeri inilah yang mengakibatkan Bali menjadi sangat terkenal walaupun

“nyatanya tidak seindah yang dicitrakan dalam berbagai media dan karya

akademik barat dan pidato kenegaraan tersebut”. Dari kajian pustaka di atas tidak

ada yang meneliti pendidikan Baliseering, sehingga posisi penelitian ini menjadi

sangat otentik, di antara hasil penelitian sebelumnya.

2.2 Penjelasan Konsep

Beberapa konsep yang perlu dijelaskan yang digunakan dalam judul

penelitian ini adalah: (1) Genealogi Pengetahuan, (2) Membongkar

(Dekonstruksi), (3) Ideologi Pendidikan Kolonial, (4) Pendidikan Baliseering, (5)

Implikasi Era Globalisasi.

2.2.1 Genealogi Pengetahuan

Konsep genealogi pengetahuan dikembangkan oleh Michel Foucault,

sebuah konsep yang dikembangkan dalam melihat relasi asal-usul sebuah

diskursus dengan kekuasaan. Sebuah wacana memiliki asal-usul yang berelasi

dengan produksi kebenaran, sehingga menjadi sebuah arkeologi, pengetahuan

memahami asal-usul arkeologi itu dengan kekuasaan menjadi “genealogi

pengetahuan”. Inilah konsep yang dikembangkan oleh Foucault (1969), yang

kemudian berkembang menjadi salah satu metodologi dalam karya kajian budaya

(cf. Martono, 2014:36; Parchiano, 2012:163). Dengan demikian genealogi adalah

teoretisasi dari Michel Foucault, digunakan untuk membongkar kebijakan

Page 7: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

16

Baliseering dan wacana modernitas, terutama operasi dari relasi kuasa dan

pengetahuan di dalam diskursus berkaitan dengan Baliseering itu. Karena

kebenaran dapat dikonstruksi oleh penguasa, ada hubungan antara pengetahuan

dengan kekuasaan, disebut dengan “genealogi pengetahuan” oleh Foucault

(Martono, 2014). Genealogi dapat diartikulasikan makna sebuah wacana atau

arkeologi, dengan demikian metode Foucault adalah memahami relasi kuasa

dalam arkeologi. Kemudian dalam arkeologi itu dicari asal-usulnya disebut

geneologi pengetahuan, yang tersimpan dalam wacana yang diyakini benar

menjadi pengetahuan masyarakat secara permanen yang disebut episteme dalam

konsep Foucault (1969).

Genealogi dalam penelitian ini adalah membongkar kebenaran apreori

(episteme) dari fakta sejarah, berupa cerita sejarah, relief, praktek budaya dalam

pendidikan Baliseering, khususnya dalam artikulasi budaya dalam dunia

pendidikan, dengan berbagai bentuk kebijakan rebalinisasi, dan implikasinya.

Kajian diskursus orientalisme memiliki peranan penting dalam melakukan

sistematis keilmuan barat, bahkan “menciptakan dunia Timur secara politis,

sosiologis, militer, ideologis, ilmiah, dan imajinatif selama masa pencerahan”

(Said, 2012:4).

2.2.2 Membongkar

Membongkar dalam karya ini mengacu pada konsep dekonstruksi Derrida

(1967:85). Dekonstruksi menurutnya bukanlah program sistematis, melainkan

cara membaca teks yang menunjukkan pengaruh dan ketergelincirannya berupa

detail-detail kecil yang terlampaui, yang kemudian menyugestikan pandangan lain

Page 8: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

17

dan tafsiran lain yang lebih memungkinkan, secara argumentatif sehingga dapat

mengantar pluralisme kritis dalam pengetahuan. Oleh karena itu, bagi Derrida

dekonstruksi bersifat positif, yaitu menggoyang, menjungkir balikkan,

mencemaskan, tetapi mengobrak-abrik dengan tujuan memberi peluang

membangun hal-hal baru dan menunda makna yang sudah ada dengan

menemukan makna baru dari artikulasi budaya yang salah kaprah, karena ada

relasi kuasa di dalamnya, dan membuka pikiran masyarakat yang tertutup,

menjadi terbuka (Sumaryono, 2013:115). Dekonstruksi bagi Derrida adalah

sebuah metode penelitian dengan memperbaiki sistem yang rusak dari dalam

sistem itu (O’Donnell, 2009:58). Derrida melihat peran bahasa yang menurutnya

bukan hanya sekadar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga

melihat bahwa lembaga sosial tidak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tidak

mampu memaksa orang. Akibatnya sistem bahasa tidak mempunyai kekuatan

memaksa yang menurut pandangan teoretisi strukturalis justru memaksa. Oleh

karena itu mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang

mendasari bahasa. Kritik pasangan-pasangan atau oposisi biner strukturalisme

dengan mempertanyakan dasar pasangan-pasangan itu, Montefiore menyebut

sebagai berikut.

Saya yakin bahwa setiap kemajuan konseptual akan sama hakikinya denganperubahan konsep ke usaha memperburuk hubungan yang diakui sah, antarasebuah kata dengan sebuah konsep, antara kiasan dengan sesuatupenggunaannya sudah tidak akan diubah lagi, lazim ditetapkan orang.Semua pengelompokan ini ada di bawah pengertian deconstruction, gambartentang diferrence (pemisahan karena berbeda), tentang kesan, unsurtambahan, dan sebagainya (Montefiore, 1983) dalam Sumaryono,1993:120).

Page 9: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

18

Untuk menemukan makna yang tersembunyi orang harus membuka selubungnya,

membuang semua hubungan yang ada dalam sebuah kata dengan konsep. Jadi

dikonstruksi merupakan sebuah cara untuk memberikan penjelasan baru makna

dari sebuah diskursus. Derrida lebih jauh mengatakan dalam Sumaryono (2013)

bahwa:

Yang menjadi primordial (yang asli, mula-mula) mestinya gagasandidasarkan atas jejak, dan bukan sebaliknya. Proto-writing ini mulai bekerjasebagai asal-usul arti. Karena bersifat sementara di alam ini, arti tidak pernahtampil begitu saja; tetapi selalu dalam keadaan terbawa dalam ‘gerak’ jejak,yaitu dimaksudkan sebagai “yang memberi arti” (Derrida, 1967:85).

Membongkar di dalam judul karya ini mengacu pada pandangan Derrida

yaitu menunda sebuah makna dari sebuah jejak-jejak sejarah yang telah diberikan

makna berbeda dengan makna baru yang didapatkan dari hasil penelitian ini.

Tujuan pembongkaran lebih tegas dapat ditafsirkan agar dapat menemukan

asumsi-asumsi, strategi-strategi retorika dan ’titik-titik tersembunyi’ dari sebuah

ideologi dalam diskursus jejak sejarah dalam pendidikan nonformal atau formal

dalam Baliseering, seperti jejak berupa relief, teks orientalis, hegemoni dan

implikasi artikulasi budaya dalam pendidikan di Bali Utara.

2.2.3 Ideologi Pendidikan

Preire mengolongkan kesadaran manusia menjadi tiga kesadaran, yaitu

kesadaran magis, kesadaran naïf dan kesadaran kritis. (a) Kesadaran magis adalah

kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor

lainnya. Semua peristiwa dikaitkan dengan faktor yang ada di luar manusia

(kekuatan supranatural).

Page 10: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

19

(b) Kesadaran naïf adalah lebih melihat “aspek manusia” yang menjadi akar

permasalahan di masyarakat. Pada tingkat kesadaran ini “masalah etika,

kreativitas, ‘need for acheivement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial.

Satu-satunya diharapkan sebagai pemicu perubahan adalah penguasa “man power

to be all development in a society life”. Tugas pendidikan adalah mengarahkan

peserta didik agar masuk sekolah dan beradaptasi dengan sistem yang sudah ada.

(c) Kesadaran kritis/radikal adalah lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai

sumber masalah. Kesadaran ketiga ini dijadikan dasar pembahasan di Bali Utara.

Ideologi dalam praktik pendidikan sangat terkait, karena mempengaruhi

cara berpikir, bertindak, bersikap, dan berbuat seseorang. Ideologi Pendidikan

Baliseering dapat mempengaruhi berbagai hal terkait dengan praktik pendidikan

di Bali, seperti dalam masalah kurikulum, metode, sarana-prasarana pendukung,

pendidikan sebagai berikut (Tabel 2.1).

Tabel 2.1: Paradigma Pendidikan dan Implikasi Kesadaran

Paradigma/Metode Konservatif Liberal Radikal Implikasi

Sentralistik 1 2 3 MagisPartisipatif 4 5 6 NaifEgaliter 7 8 9 Kritis

Sumber: Topasang, dkk. (2005) dalam Nanang Martono, Pendidikan Bukan Tanpa Masalah:Mengungkap Problematik dari Perspektif Sosiologis (Yogyakarta: 2010:42).

Pendidikan sentralistik diberikan pada peserta didik usia dini, pendekatan

partisipatif antara guru dan murid sudah sejajar, pendekatan egaliter pendekatan

kesetaraan digunakan pada peserta didik yang sudah dapat belajar mandiri.

Ideologi pendidikan zaman kolonial memiliki keterkaitan dengan praktik

pendidikan lihat Bagan 2.1 berikut.

Page 11: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

20

Gambar 2.1: Hubungan Ideologi Pendidikan dengan Praktik Pendidikan dalam PerspektifSosiologis Kolonial

Bagi Althussers (2010) ideologi lebih merupakan partisipasi segenap kelas sosial,

terhadap kelas sosial lainnya. Roger Eatwell (2004:3) menjelaskan lebih jauh,

bahwa ideologi cenderung menjadi istilah negatif terutama digunakan untuk

mengelompokkan ide-ide yang bias atau ekstrim, dapat diklasifikasi menjadi: (1)

kategori ideologi sebagai pemikiran politik, (2) ideologi sebagai kepercayaan dan

norma, (3) ideologi sebagai bahasa, simbol, dan mitos, serta (4) ideologi sebagai

kekuasaan elite.

Fakta bahwa segenap kelas berpartisipasi di dalam praktik tersebut tidakberarti bahwa praktik tersebut sendiri tidak lagi melayani kepentingan kelassosial dominan. Yang dimaksudkan oleh Althussers adalah ideologi bersifatlebih efektif dibandingkan apa yang dijelaskan oleh Marx, karena ideologibekerja dari dalam, bukan dari luar, dan secara mendalam menginspirasikancara berpikir dan cara hidup tertentu pada segenap kelas (Althussers,2010:ix).

Model ideologi bekerja dalam masyarakat dapat dipahami dari pandangan

John B. Thompson (2015) menyatakan:

Model–model cara kerja ideologi dibagi ke dalam model umum sepertiadanya legitimasi, penipuan, unifikasi, fragmentasi, dan reifikasi.Legitimasi dengan bentuk strategi konstruksi simbol disebutkan“rasionalisasi, universalisasi, narativikasi’; penipuan dengan bentukpemindahan, eufemisasi, kisan (sinekdot, etomini, metafora); unifikasidengan bentuk standardisasi, simbolisasi dari kesatuan; fragmentasi dengan

Ideologi Pendidikan Praktik Pendidikan

Perspektif SosiologisPendidikan Kolonial

Page 12: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

21

bentuk diferensiasi, ekspurgasi yang lain; reifikasi dengan bentuknaturalisasi, eternalisasi, nominalisasi/pasivikasi (Thompson, 2015:84).

Demikian luasnya pengertian ideologi, terkait dengan tulisan ini ideologi

kapitalis lebih didominasi oleh ideologi pasar dalam tulisannya Nyoman Dhana

(2010) menyebutkan ideologi pasar atau disebut pula agama pasar mengacu pada

gagasan yang tidak saja berbeda tetapi sekaligus bertolak belakang dengan

karakteristik Agama Hindu (2010:29), terutama digunakan dalam menilai

materialisasi gagasan mitologi timur dalam relief dan catus pata. Di samping itu

digunakan konsep ideologi bervariasi disesuaikan dengan topik yang dikaji dalam

tulisan ini.

2.2.4 Pendidikan Baliseering

Pendidikan Baliseering Kolonial Belanda adalah usaha sadar dari kolonial

Belanda dalam menyelenggarakan pendidikan modern untuk pegawai rendahan

dalam birokrasi modern yang diterapkan di Bali. Dengan melakukan pendidikan

memuseumkan Bali, melaksanakan pendidikan dengan filosofis konservatif agar

Bali tidak berubah. Karena Bali dirancang untuk menjadi “mesin dollar” dalam

wisata budaya eksotis. Namun sistem pendidikan barat tetap dilaksanakan dengan

membatasi pengembangan intelektual peserta didiknya, dengan melakukan

dominasi dan hegemoni dalam pendidikan. Pendidikan Baliseering, baik

pendidikan formal maupun nonformal, terutama kolonisasi melalui hegemoni

pada masyarakat Bali dengan memasukkan ideologi barat dalam inti budaya dan

pendidikan formal seperti yang pemerintah kolonial Belanda inginkan.

Page 13: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

22

Pendidikan di masyarakat, dalam konteks animal educandum diperlukan

adanya: (a) transformasi dari organisme biologis ke organisme yang berbudaya;

(b) transmisi budaya; (c) internalisasi budaya; (d) kontrol sosial untuk pelestarian

budaya; (e) pendidikan sama dengan personalisasi peran sosial budaya/

personalisasi peradaban. Pendidikan sebagai “usaha sadar terstruktur dalam kultur

dan ideologis penyelengaranya” dengan kata lain adalah pembentukan, rekayasa

pola tingkah laku, internalisasi, dan pembiasaan pada generasi yang lebih muda

untuk dapat menjadi manusia dewasa, bertanggung jawab pada diri, keluarga, dan

masyarakat, bangsa dan negara (Mudyahardjo, 2009:2001). Sistem Pendidikan

Nasional dalam UU No. 20 tahun 2003 dijelaskan,

bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan,membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangkamencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensipeserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri danmenjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Sardiman,2010:86).

Rumusan tujuan pendidikan di atas sangat ideal, lengkap tetapi

implementasinya dalam dunia pendidikan, melalui kurikulum sekolah yang sering

berubah terkesan sangat semerawut, bahkan citranya “ganti mentri ganti

krikulum”. Kurikulum 2013 dengan menggunakan perbedaan standar terkesan

penuh dengan hegemoni modal asing, sulit diterapkan dalam pendidikan secara

rial, sehingga terjadi tarik-ulur penerapannya.

2.2.5 Implikasi Era Globalisasi

Implikasi dalam KBBI disebutkan “(1) keterlibatan atau keadaan terlibat; (2)

yang termasuk atau tersimpul; yang disugestikan tetapi tidak dinyatakan”

Page 14: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

23

(1977:374). Sejalan dengan Keraf (1985) seperti dikutif oleh Nyoman Dhana

menyebutkan:

bahwa implikasi berarti melibat atau merangkum, yaitu sesuatu dianggap adakarena sudah dirangkum dalam fakta atau evidensi itu sendiri. Istilahimplikasi diartikan sebagai “keterlibatan atau keadaan terlibat; yang termasukatau tersimpul, tetapi tidak dinyatakan” (2010:251).

Pembahasan implikasi ideologi Baliseering dipilih yang memiliki

keterkaitan dengan apa yang secara tersembunyi dikembangkan dalam pendidikan

Baliseering pada akhir zaman kolonial Belanda di tahun 1920-an, namun rentang

durasi yang agak panjang didasari oleh pemahaman bahwa keberhasilan dalam

sebuah pendidikan baru tampak setelah 1-2 generasi berikutnya. Karena sebuah

ideologi beroperasi tersembunyi di bawah alam sadar masyarakat, di era

globalisasi secara tidak sadar muncul kembali implikasinya di era globalisasi.

Jadi implikasi terkait dengan penelitian ini, dimaksudkan adalah hal yang

tersimpul, terangkum tidak tersurat tetapi tersirat dalam bukti yang ditunjukkan

dalam dari makna ideologis dalam pendidikan Baliseering yang dilaksanakan oleh

kolonial Belanda di tahun 1920-an, dan secara tersirat secara kontemporer yang

secara tidak sadar ideologi yang dikembangkan zaman kolonial kembali

menampakan diri dalam makna ideologi kolonialis di era globalisasi ini.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Poststrukturalisme, Postmodernisme, dan Globalisme

Strukturalisme itu dikembangkan dari linguistik (Saussrean), bahwa

hubungan ‘penanda-petanda’ yang disebut ‘Langage dan Parole’ menghasilkan

makna yang jelas dengan deskriptif bersifat stabil dan ajeg. Pandangan struktural

Page 15: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

24

itu dikritik habis-habisan oleh kelompok poststrukturalis yang memandang bahwa

hubungan dualisme itu menghasilkan makna yang tidak tetap bahkan berkembang

deskripsi liar dan dinamis di masyarakat (Piliang, 2010 dan 2003:53). Istilah

“poststrukturalisme” berarti “setelah strukturalisme”, yaitu menyangkut

penerimaan dan kritik. Maksudnya dalam penerimaan dilanjutkan dengan

melakukan kritik di dalamnya, terutama terhadap produk teks (arsip, buku, dan

jurnal), seperti disebutkan R. Barthers dalam C. Barker (2004:75):

Teks bukanlah sebatas kata yang membebaskan makna “teologi tunggal(wahyu dari Tuhan sebagai pengarang), melainkan suatu ruang multidimensidalam berbagai ragam tulisan, yang satupun tidak ada yang asli, namunmelebur dan berbenturan. Teks adalah isu tulisan yang diambil dari pusatkebudayaan yang tiada batas.

Jadi poststrukturalisme muncul akibat ketidakpuasan atau ketidaksetujuan

pada pemikiran sebelumnya, yang termasuk sebagai tokoh-tokoh

poststruktturalisme adalah Michel Foucault, J. Derrida, Gilles Deleuze, Jean-

Francois Lyotard, Roland barthes, J. Lacan, Louis Althussers, Jean Budrillard,

Ernesto Laclau, Julia Kristeva, Chantal Mouffe, Judith Butler, Helene Cixous, dll.

(Wikipedia, diunduh 23 Agustus 2015).

Poststrukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan.

Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai

kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Singkatnya,

poststrukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna

melalui oposisi biner. Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selalu

tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks

tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antarteks. Sama seperti

Page 16: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

25

pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek

manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.

Salah satunya ialah filsuf poststrukturalisme J. Lacan. Konsep alam-

bawah-sadar, ego, ketakutan akan kastrasi oleh ayah, dan proses identifikasi dari

Freud mendasari buah pemikiran Lacan. Dalam upaya meninjau kembali teori

tentang subjektivitas yang diturunkan dari karya Sigmund Freud, Lacan membaca

ulang Freud untuk memperjelas dan menghidupkan sekumpulan konsep,

khususnya konsep ketidaksadaran. Teori tentang ego dalam diri manusia yang

memunculkan ketidaksadaran manusia itu meluas ke berbagai bidang sosial dan

kemanusiaan. Pada masa setelah perang besar, gerakan humanism menjadi

penting, dan muncul pemahaman betapa pentingnya kesadaran manusia, suatu

keyakinan bahwa ego itu, baik maupun buruk- berada di pusat kehidupan

psikologis manusia.

Jean-Francois Lyotard (1924-1998) pemikir postmodernisme kontemporer,

menyebutkan, bahwa postmodernisme merupakan kelanjutan dari zaman modern.

Bagi Lyotard ada dua alasan dalam pengkajian postmodernisme:

(1) mengkaji status keilmuan dari postmodernisme dalam karyanya“Postmodern Condition: A Report on Knowledge”, Lyotard memfokuskan diripada keilmuan postmodern dan tema-tema yang dibahas di dalamnya. (2)Pemeriksaan atas modernitas yang berhubungan erat dengan zamanpencerahan (Aufklarung) pada abad pertengahan di Eropa (Sarup, 2011:201).

Pemahaman posisi modernitas dan postmodernisme memiliki sedikit

perbedaan di antara para teoretisi ilmu sosial-budaya; (1) pembahasan

postmodernisme harus dikaitkan dengan modernitas, karena postmodernisme

mengacu pada hal-hal prasis dalam tatanan kemasyarakatan, politik, dan ekonomi

Page 17: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

26

mutakhir sebagai kelanjutan dari modernisme. (2) Berbeda dengan Rosenberg

menyebut dunia postmodern menempati posisi yang tidak jelas, karena

menawarkan segala-galanya atau tidak menawarkan apa-apa (nothing) dalam

Ritzer (2011). (3) Menurut Drucker, postmodern akan menyaksikan berakhirnya

kelaparan dan kebodohan, kemorosotan negara bangsa, berakhirnya ideologi, dan

proses modernisasi dunia secara luas. (4) Sementara Wright Mill melakukan

kritik terhadap modernisme yang menawarkan kebebasan yang lebih tinggi lagi,

namun tidak dapat dipercaya karena keyakinan modernisme bahwa realitas tertata

melalui hukum-hukum yang sepenuhnya dapat dipahami oleh akal-budi manusia.

(5) Tahun 1971 George Steiner menunjukkan situasi dan realitas sosial yang

ditandai oleh berakhirnya struktur pencerahan dan kultur modernitas. Dalam

tulisan ini lebih memilih bahwa postmodern itu kelanjutan dari modernism atau di

sisi lain melihat sebagai dialektik darinya.

Kritik postmodernisme terhadap modernism memiliki ciri-ciri utama: (1)

kesangsian terhadap optimisme modernisme; (2) cara pandang holistik, terhadap

kegala kemampuan manusia yang mengintegrasikan emosi dan intuisi manusia ke

dalamnya; (3) gagasan kebenaran yang menyebar, penolakan terhadap kebenaran

tunggal; (4) penolakan terhadap universalisme dan totalisme, menghargai

perbedaan, partikularitas, lokalitas, dan fragmentasi realitas; (5) penolakan atas

metafisika dan fundamentalisme, penolakan terhadap pemaknaan realitas bersifat

tunggal dan tetap; (6) perspektif organis penekanan pada relasionalitas dan proses.

Hal ini dijadikan solusi dalam difrensiasi, diskontinuitas, dari cara pandang

dualistik kekhasan modernisme, realitas adalah saling berhubungan satu sama lain

Page 18: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

27

secara egaliter ; (7) cara pandang terhadap alam menawarkan model kooperatif

terhadap alam, alam bukan untuk dikuasai (dieksploitasi), alam memiliki nilai

intrinsik, bukan nilai diintrumentalisasikan dan dimanipulasikan; (8) kebangkitan

kembali spiritualitas dan relegiositas, hidup akan terjamin kalau nilai-nilai ini

mendapat perhatian umat manusia (Gaut, 2011:28-40).

Globalisasi menurut Arjun Appandurai dalam karyanya “Modernity at

Large: Cultural Dimentions of Globalization (1996:33) dalam Ritzer (2011)

menyebutkan ada lima arus Lanskap utama globalisasi, antara lain: (1)

Ethnoscapes, berpindahnya aktor dari satu tempat ke tempat lain; (2)

Tecnhoscape, arus teknologi; (3) Finanscape, arus modal dan finansial; (4)

Mediascape, arus media cetak dan elektronik; dan (5) Ideoscape, arus ideologi.

Titik ekstrim, globalisasi dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode

dan praktik bersama (homoginitas) atau terjadi saling mempengaruhi antara

budaya lokal dan global, sehingga muncul semacam pencangkokan kultur yang

sering disingkat budaya glocalization atau Robertson menyebut keragaman

budaya, dan Friedman (1994) menyebutnya percampuran budaya (pastiche

cultural) (Ritzer dan Goodman, 2011:588). Menurut Babha dan Loomba

menyebutnya budaya hibrid, mimikri, dan sama sekali tercipta budaya baru, tetapi

budaya campuran yang sangat samar bentuk aslinya. Richard Osborne dan Borin

van Loon (2005:125) menjelaskan aspek-aspek kunci globalisasi antara lain: (1)

saling keterkaitan seluruh masyarakat; (2) perusahan transnasional dalam ekonomi

global; (3) integrasi ekonomi internasional, produksi global; (4) sistem media

transnasional; (5) konsumerisme dan budaya global; (6) tourisme global.

Page 19: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

28

Globalisasi juga berimplikasi pada munculnya bentuk/ragam budaya di daerah

koloni, seperti yang diteorikan oleh pemikir postkolonial. Edward Said memang

bukan satu-satunya pemikir poskolonial, sebelumnya terkenal tokoh Aime Cesaire

dan Frantz Fanon melakukan hal yang sama dalam bukunya From Discurse on

Colonialism (1955) dan The Fact of Blackness (1952), hanya saja Saidlah yang

melakukan kritik terhadap ideologi kolonial adalah buku Orientalisme. Seperti

disebutkan oleh Achmad Fawaid, sebagai berikut.

Bagi Said, hanya dengan mengkaji teks-teks orientalis melalui operasidiskursif yang berlangsung di dalamnya, penulis bisa menyingkap relasiideologi yang terdapat dalam orientalisme, tidak sedikit “pewaris Said”yang memberikan aplaus. Sebut misalnya Homi K. Bhaba lewatkonsepnya mimikri dan ambivalensi, dan Gayatri Sivak lewat gagasansubaltern-nya (2012:ix).

Relasi ini beroperasi menurut Said, mengikuti model ideologi yang dikonsepkan

oleh Antonio Gramsci yang disebut hegemoni – pandangan bahwa gagasan

tertentu lebih berpengaruh dari gagasan lain, sehingga kebudayaan tertentu

menjadi dominan dari kebudayaan lain. Sehingga orientalisme lebih merupakan

“legitimasi” atas superior barat (Fawaid, 2012:x). Jejak sejarah di Bali Utara

dicoba juga dalam beberapa hal dilihat dalam konteks ini.

2.3.2 Genealogi Pengetahuan Michel Foucault

Michel Foucault adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori

poststrukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori

poststrukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh

dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah universal, yang tergantung

pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan)

Page 20: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

29

bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda.

Menurut Foucault aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi

modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu berada dalam ranah ekonomi

kapitalis (seperti Marx) atau suatu bentuk baru solidaritas atau bersikap rasional

(seperti Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang

tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan

kehidupan modern. Salah satu karya Foucault adalah 'Archeology of Knowledge'

yang merupakan tujuan dari studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan

modus dari diskursus. Ia mempertentangkan arekeologi dengan sejarah atau

sejarah ide-ide. Foucault juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan

maupun tertulis sehingga dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan

sebuah diskursus bisa berlangsung. Konsep kunci dari Foucault adalah Arkeologi,

genealogi, dan kekuasaan. Bila arkeologi memfokuskan pada kondisi historis

yang ada, sementara geneologi lebih mempermasalahkan tentang proses historis

yang merupakan jaringan diskursus, dimana diskursus dikaitkan dengan relasi

kuasa di dalamnya.

Foucault kembali pada tahun 1969 menerbitkan buku berjudul

“L’archeologie du Savoir” (Arkeologi Pengetahuan) yang dialih-bahasakan ke

Bahasa Inggris menjadi “The Archeology of Knowledge” (1972). Dari karyanya

inilah muncul metode pengujian arkeologi kemungkinannya untuk berubah, dan

faktor-faktor penyebab yang mungkin dapat menyebabkan berubah dan

mengembangkan ide-idenya.Tahun 1970 dia diangkat menjadi Profesor Sejarah

dengan karya monumentalnya berjudul “ Sejarah Sistem Pemikiran”.

Page 21: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

30

Sejarah dalam pandangan Foucault bukanlah seperti dipahami bersama, diamemiliki pandangan bahwa sejarah tidak seperti sejarah konvensionalumumnya. Dalam menjelaskan sejarah digunakan konsep “diskontinuite,rupture, seuil, limite, serie, and transformation” (diskontinuitas, patahan,ambang, batas, seri, dan transformasi) (Martono, 2014: 36).

Konsep ini juga dijadikan dasar pembahasan jejak sejarah dalam tulisan ini tidak

kawatir kalau melanggar kronologis yang menjadi tradisi dalam penulisan sejarah

konvensional.

Metodologi Foucault disebut genealogi pengetahuan, yaitu setiap

pengetahuan yang sudah dianggap final kebenarannya (disebut Episteme) dan

telah menjadi sebuah arkeologi memiliki relasi dengan kekuasaan dalam

produksinya, sehingga memiliki potensi untuk dibongkar relasi kebenaran dari

sebuah pengetahuan itu, dengan menemukan genealogi pengetahuan, relasinya

dengan kekuasaan. Metodologi foucault berhasil mengembangkan metodologi

sejarah yang dinamakan arkeologi dan genealogi. Foucault (1969) melihat

masalah pendidikan di masyarakatnya dengan mengaitkan realitas sejarah untuk

menjelaskan praktik pendidikan. Hal ini didukung oleh pemikirannya yang

filosofis, modernis, neokonservatif, strukturalis, rasionalis, dan kritis (Allen, 2012

dalam Martono, 2014:3).

Subyek pendidikan seperti siswa, guru dan sebagainya, dalam Foucaultan

adalah merupakan subyek sejarah dan investigasi geneologi, sehingga

memungkinkan bagi pengkaji untuk memahami implikasi pendidikan dan

pengajaran sebagai disiplin dan praktik, dengan demikian praktik pendidikan

dalam pandangan Foucault adalah sebuah pedagogik kritis (cf. Widja, 2012).

Page 22: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

31

Foucault menyatakan budaya adalah artikulasi yang sangat kuat. Teori

analisis kekuasaan Foucault menyatakan setiap wacana menyatu operasi relasi

kuasa yang tersembunyi di baliknya, yang merupakan produk dari praktik

kekuasaan. Pengetahuan adalah kekuasaan dengan demikian dalam wacana

pengetahuan sangat penting untuk dilihat bagaimana relasi kuasa yang terkandung

di baliknya. Perhatian Foucault terpusat pada bagaimana pengetahuan dihasilkan

dan digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kekuasaan dan wacana berelasi

dengan pengetahuan.

Perspektif pendidikan kritis perlu dilakukan, sejalan dengan pandangan

Michel Foucault, untuk melihat wacana sebagai produksi pengetahuan dalam

kaitannya dengan praktik cultural dan struktural di Bali Utara. Panggilan utama

kajian budaya kritis adalah menjawab tantangan untuk mengurai atau

menganalisis hubungan kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran dalam wacana

pendidikan. Orang tidak akan terbungkam oleh tradisi, norma, aturan yang

cenderung menghambat perubahan menuju pluralisme masyarakat sipil. Hanya

dalam kebebasan kekuasaan yang tersembunyi di dalamnya dapat diketahui dan

digunakan untuk mengadakan perlawanan, karena banyak terselubung di balik

tradisi di masyarakat. Ilmuan harus jeli melihat bagaimana kekuasaan bergeser

menggunakan cara-cara baru yang dikembangkan untuk mencapai, menembus dan

mengontrol orang. Institusi agama, keluarga, dan pendidikan terangsang untuk

berbicara, berjuang karena kepentingannya. Dengan demikian cenderung memiliki

efek produksi wacana kemunafikan dan kebohongan, karena dalam wacananya

juga terungkap menjadi penopang dan intrumen kekuasaan, sehingga perlu

Page 23: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

32

diartikulasikan secara seksama dan hati-hati. Jadi arkeologi adalah metodologi

sejarah pemikiran khas Foucault yang bersifat diskursip, lokal, kontemporer,

dalam mencari relasi episteme (pengetahuan apreori) dengan kekuasaan

(genealogi pengetahuan). Paradigma ini sedapat mungkin dijadikan dasar dalam

pembahasan pendidikan kritis.

2.3.3 Teori Hegemoni Anthonio Gramsci

Hegemoni sebagai sebuah konsep pertama dicetuskan oleh Plakanov

seorang Marxis Rusia pada tahun 1880. Hegemoni dalam pandangan Plakanov

mengacu pada pengertian kepemimpinan hegemonik kelas proletariat,

kepemimpinan aliansi dengan kelompok lain, seperti kelompok borjuis kritis,

buruh, petani dan golongan intelektual yang sama-sama memiliki visi untuk

menjatuhkan pemerintah diktator Tsar Nicolas di Rusia ketika itu (Suda,

2009:34). Hegemoni dalam bahasa Yunani Kuno disebut eugemonia dipahami

sebagai dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (Cities State)

secara individual, seperti Polis Athena dan Sparta, terhadap negara-negara

saingannya (Hendarto, 1993:73). Inilah secara genealogi awal munculnya istilah

hegemoni Gramsci, yang intinya mengatakan bahwa suatu kelas dan anggotanya

menjalankan kekuasaan terhadap kelas di bawahnya tidak dengan cara kekerasan,

tetapi dengan cara persuasif, persetujuan (Fakih, 2013:19; Suda, 2009:35).

Dengan rumusan lain, hegemoni adalah bentuk supremasi dengan memakai

kepemimpinan moral dan intelektual, sehingga sampai pada konsensus dimana

yang dikuasai ikut memperjuangkan kekuasaan itu, dan tidak merasa dirinya

dikuasai.

Page 24: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

33

Konsep hegemoni Antonio Gramsci ditempatkan pada dialektik atau

dikotomi pemikiran politik Italia (Mechavellian), dan beberapa bagian lainnya

dari Lenin. Konsep Macheavelli diadopsi dari konsep kekuasaan (force) dan

persetujuan (concern) atau konsensus kelas dominan dengan yang didominasi.

Bagi Gramsci kelas sosial yang berkuasa memiliki keunggulan (supremasi)

melalui dua cara, yaitu: (1) cara dominasi (domination) atau paksaan (coercion);

dan (2) hegemoni yaitu melalui kepemimpinan intelektual dan moral, bahkan

membuat konsensus kesepakatan-kesepakatan dengan kelas yang dikuasai, sampai

mereka tidak sadar dikuasai bahkan ikut menguatkan hegemoni itu, di luar

kesadarannya.

Sumbangan Gramsci dalam pendidikan menekankan pendekatan pluralis,

menghindari tendensi reduksionaisme dalam supersruktur ideologi, politik,

pendidikan, sosial-budaya, seperti Marxisme, karena hal ini dipandang

memungkinkan terabaikannya gerakan civil society, and new social movement

(Simon,2004:xiv). Sumbangan terbesarnya melawan pendidikan politik

indoktrinasi, yaitu pendidikan sebagai sarana penindasan dan tidak membebaskan

dalam pandangan Paulo Preire. Gagasan lain dalam pendidikan, mengembangkan

populer educationand participatory training (1970-an). Dengan:

metodologi pendidikan dialogis, pendidikan penyadaran kritis, danpaticypatory research. Pendidikan war of position and war of manuver,counter hegemony merupakan “aksi kultural” terhadap kultur dan strukturdominan untuk membangkitkan kesadaran kritis masyarakat (critics civilconsciousness) terhadap sistem, struktur, kultur dominan yang menindas,eksploitatif, relasi gender, struktur kelas, rasisme, tidak adil, dan sebagainya.

Pengorganisiran superstruktur ideologi itu ada pada golongan intelektual,

yang dikategorikan menjadi dua (1) intelektual tradisional dan (2) intelektual

Page 25: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

34

organik. Yang terakhir dipilah menjadi intelektual hegemonik dan intelektual

kontra-hegemonik. Melalui berbagai sarana intelektual organik dan kontra

hegemonik, memastikan bahwa ideologi yang ditanamkan telah dapat diterima,

kalau ada kelompok kecil yang belum menerima dilakukan operasional

organisasional agar tidak berkembang. Jadi bentuk perebutan kekuasaan

merupakan perebutan terhadap tatanan pandangan-pandangan dunia (world view)

di masyarakat.

2.3.4 Teori Pendidikan Kritis

Pierre Boudieu sangat populer dalam pengembangan pemikiran

pendidikan kritis. Bourdieu dilahirkan di kota kecil Prancis pada tahun 1930.

Bourdieu banyak mendapat pengaruh dari Levi-Strauss di College de France dan

menjadi asisten dari Raymon Aron, ketika Raymon Aron pensiun dia menjadi

penggantinya tahun 1981, sejak itu Bourdieu memegang peranan kunci di

Sosiologi Perancis.

Sumbangan terbesar dari Bourdieu terhadap sosiologi pendidikan adalah:idenya tentang kapital hubungannya dengan pendidikan. Bourdieu melihatbahwa terdapat hubungan antara pendidikan dan kapital budaya dan simbolik.Kedua kapital ini direproduksi dan dilanjutkan melalui sekolah (Harker, et al.,1990: 9).

Budaya merupakan pokok yang sangat penting dalam pikiran Bourdieu.

Dari budaya menuju dunia pengetahuan, ide, objek-objek dasar dari aktivitas

manusia, termasuk di dalamnya adalah budaya pendidikan di sekolah.

Digambarkan adanya dua tradisi dalam kebudayaan: (1) Tradisi struktural,

kebudayaan merupakan instrumen komunikasi dan ilmu pengetahuan. (2) Tradisi

fungsionalisme, tradisi yang melihat kebudayaan sebagai kekuatan-kekuatan

Page 26: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

35

biologis atau politis (power) dalam memaksakan suatu keteraturan sosial (social

order). Bourdieu melakukan kritik terhadap kedua tradisi itu. Bourdieu

selanjutnya mengembangkan teori baru yaitu teori praksis (theory of practice)

dalam mengatasi dikotomi yang berkembang setelah Perang Dunia II. Dengan

mengembangkan konsep habitus, field, dan modal budaya.

Habitus merupakan tindakan manusia dialektik antara pemikiran, dengan

aktivitas pada dunia objektif. Hubungan dialektik ini merupakan hubungan

habitus dengan lapangan/field/ ranah. Terkenal dengan rumusnya “Habitus X

Modal + Ranah= Praktik” (Harker, et al., 1990:19). Habitus mengimplikasikan

adanya pengalaman masa lalu sebagai makhluk menyejarah, yang di dalamnya

ditemukan adanya bentuk-bentuk skema persepsi, pemikiran , dan perbuatan yang

menjamin adanya ketepatan dari praksis dalam waktu. Habitus mengonstruksi

memproduksi secara bebas berbagai persepsi, pemikiran dan tindakan dalam

kondisi-kondisi tertentu. Jadi inti dari habitus adalah struktur. Struktur, kemudian

merupakan penghubung antara objektivitas dan subjektivitas, dalam hal ini

individu melupakan pelaku dari tindakan-tindakan praksis individu dalam habitus

tertentu yang diaktualisasikan dalam lapangan objektif. Habitus merupakan sistem

kebiasaan yang tahan lama berisi disposisi-disposisi yang berubah-ubah, dan

struktur-struktur yang menstruktur (structure-structuring) dalam praktik atau

tindakan. Habitus dapat tampak dalam hal-hal berikut: (1) gaya hidup (life style),

(2) motivasi/preferensi/citarasa dan emosi, (3) prilaku yang sudah mendarah

daging, (4) kosmologi, (5) keterampilan dan kemampuan sosial praktis, (6)

aspirasi-aspirasi berkaitan dengan perubahan hidup serta karya seseorang. Ranah

Page 27: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

36

(Lapangan/field) merupakan adalah wilayah kehidupan sosial seperti industri,

hukum, seni, pendidikan, pasar, dan sebagainya, dalam bidang-bidang tersebut

pelaku berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status quo.

Bourdieu menguraikan ada tiga jenis modal yang sangat menentukan

kekuasaan dan ketidaksetaraan sosial, yaitu modal capital atau ekonomi; modal

sosial berupa hubungan-hubungan sosial seperti industri, hukum, seni; dan modal

kultur, kemudian bertransformasi menjadi modal simbolik yang dalam pendidikan

ditunjukkan dengan gelar kesarjanaan, dan keintelektualan yang diakui oleh

budaya dominan.

Tokoh pendidikan kritis lainnya adalah Paulo Preire (1921-1977),

memiliki pendekatan baru dalam pendidikan, yang dikenal dengan pedagogik

transformatif, kiprahnya di dunia pendidikan sangat terkenal di kancah

internasional, dengan konsep pendidikan pembebasan. Slogannya adalah

“pendidikan untuk orang tertindas adalah pendidikan yang harus dilaksanakan

dengan baik untuk keseluruhan kaum tertindas, dan merupakan perjuangan tanpa

henti untuk memperoleh kembali kemanusiaan, kebebasan (liberalization) mereka

yang terpinggirkan, untuk ikut berpartisipasi dalam masyarakatnya. Menurut

Paulo Preire pendidikan modern barat disebut pendidikan tradisional telah

mengungkung perkembangan pribadi manusia. Untuk membebaskan peserta didik

dari berbagai tekanan luar itu maka perlu adanya kesadaran dari dalam diri

manusia akan kebebasannya. Proses penyadaran terhadap otonomi individu,

menyadarkan hak-haknya, dan menyadarkan dirinya sebagai bagian dari

masyarakatnya, karena manusia tidak dapat lepas dari masyarakatnya yang

Page 28: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

37

membedakan dari pendidikan liberalisme sebelumnya. Sistem pendidikan Paulo

Preire lahir dalam keadaan sosial masyarakat kolonialis, yaitu masyarakat dalam

keadaan pemerintahan otoriter, kemiskinan, kebodohan yang menimpa rakyat

Brazil pada saat itu. Kondisi ini hampir sama dengan keadaan Bali awal abad ke-

20, dimana individu tidak menyadari hak-haknya termasuk hak-hak istimewanya

yang dikuasai oleh kelompok kecil elite politik.

Paulo Preire memandang perubahan dan pendidikan dalam dunia modern

tidak dapat dihindari, dan tidak dapat menyembunyikan diri dari perubahan

terutama di era globalisasi ini. Namun diharapkan perubahan tersebut haruslah di

arahkan pada perubahan untuk meningkatkan seluruh kehidupan rakyat, dengan

memberikan hak-hak dan kewajiban dari warga negaranya untuk berbuat demi

kepentingan umum dan dirinya. Konsep pendidikan Paulo Priere “mengetahui”

bukanlah mengumpulkan fakta dan informasi sebanyak-banyaknya, seperti

nasabah menyimpan uangnya sebanyak-banyaknya seperti “Sistem Banking”,

untuk mendapatkan untung berupa bunga (rentsecking) (Atmadja, 2010b).

Tegasnya mengetahui adalah menjadikan subjek didik sebagai subjek dan aktif di

dunia pendidikan. Pesertadidik mengalami masalah hidup dan ikut terlibat di

dalamnya adalah suatu keniscayaan. Proses selanjutnya “mengetahui” berarti

manusia sedang menjalankan tugas untuk melakukan analisis yang cukup panjang,

lama, dan kritis terhadap konstruksi masyarakat yang sedang terbentuk maupun

dibentuk oleh lingkungannya, baik disadari maupun tidak disadari dalam

masyarakat. Jadi pendidikan adalah pembebasan terhadap belenggu kekuasaan,

Page 29: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

38

politik, ideologi, dan perubahan zaman yang tidak dapat dipungkiri di era

globalisasi ini (Knight, 2007; Kartodirdjo, 1996).

Page 30: 10 BAB II - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung “ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar

39

2.4 Model Penelitian

IMPLIKASI PENDIDIKANBALISEERING ERA

GLOBALISASI

PRAKTEK DOMINASI DANHEGEMONI KEBIJAKAN

BALISEERING DIBALI UTARA

LATAR BELAKANGIDEOLOGI PENDIDIKAN

BALISEERING

PROSES PENDIDIKANBALISEERING DI

BALI UTARA

TEORIPOSTSTRUKTURALISME,POSTMODERNISME DAN

GLOBALISME

TEORI DOMINASIDAN HEGEMONI

TEORI ENDIDIKANKRITIS

PEMERINTAHKOLONIAL BELANDA DI

BALI UTARA