1 .-,, lssN u2l6-133E -'+r,'L,.r'L.{ti,...2011/06/02  · tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana...

27
1 lssN u2l6-133E 1.,' .-,, ./ /, . -'+r,'L,.r'L.{ti, L I J / l ludauoao /aurrul al /eqrblailhro Vol. 8 No. 2 - Juni 201 I B I B 1 ,l B 0 Mekanisme Penindakan terhadap Anggota DPR yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Hukum Indonesia Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Crim inal Policy Pengemba!ian Beban Pembuktian dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi DI REKTORAT JEN DERAL PERATU RAN PERU N DANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI I d 1 ffi

Transcript of 1 .-,, lssN u2l6-133E -'+r,'L,.r'L.{ti,...2011/06/02  · tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana...

  • 1 lssN u2l6-133E1.,' .-,, ./ /,. -'+r,'L,.r'L.{ti,

    L

    I

    J /lludauoao /aurrul al /eqrblailhroVol. 8 No. 2 - Juni 201 I

    B IB

    1 ,l

    B

    0

    Mekanisme Penindakan terhadap Anggota DPRyang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

    Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi dalamSistem Hukum Indonesia

    Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dalamPerspektif Crim inal Policy

    Pengemba!ian Beban Pembuktian dalam UpayaPemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    DI REKTORAT JEN DERAL PERATU RAN PERU N DANG-UNDANGANKEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

    I

    d1

    ffi

  • /4,,/lfifilEl WA Vol. 8 No. 2 - Juni 201 l ISSN:0216.1338

    Pemimpin Umum/Penanggung Jawab(Responsible person)Pemimpin Redaksi(Chief Editor)Dewan Redaksi(E,litors)

    Anggota Dewan Redaksi(Associqte Editors)

    Staf Redaksi(Stqfl Lditors)

    Mitrr Bestari( Peer Group)

    SUSUNAN DEWAN REDAKSI(Board of Editor)

    : Dr. Wahiduddin Adams, S.H.,MA.

    Cholilah, S.H..M.Hum

    Danan Pumomo, S.H.,M.SiDr. Mualimin Abdi, S.H.,M.HDrs. Zafrullah Salim, M.H.Ahmad Djafri, S.E.,S.H.,M.H.Nasrudin. S.H.,.M.M.

    Sutireh, S.H.,M.H.Onni Roslcini. S. H.,M.Hum.,M. SiSasmita, S.H.,M.H.Tri Wahyuningsih, S.H.,M.H.Nuryakin, S.H.Jutkhaidir, S.H.,M.H.

    Siamet Kumiawan, S.H.Kdstiyanto, S.H.Andi Batara, S.H.,M.H.Syahmardan, S.H.,lr{.Si.Rizki Arfah, S.H.Faisal Rahman, S.Pd.Sri Lisnawati, S.H.Ursula Nova Salmi, A.MdSatirah.Atmrnah.

    Dr. Suhariyono AR, S.H.-M.H.Linus Doludjawa, S.H.

    Jumal Legislasi Indonesia adalah media resmi publikasi ilmiah yang memuat artikel mengenaikajian dan pemikiran di bidang hukum. Selain itu memuat artikel klrusus Legislasi atau laporankineda Dkektorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang bertujuan untuk menyampaikankebijakan Pemerintah di bidang hukum dan peraturan perundang-undangarr. Diterbitkan secaraterahu empat kali tiap tahun oleh Direktorat Pengundangan, Publikasi dan Keda Sama PeraturanPerundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukumdan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

    (lndonesian Joumal of Legislation k the offcial media cf scientrfic publications includes articleson studies qnd ideas in the field o/ lau,. Also contains special articles and reports performancefrom Directorale General of Legislation that ains to deliver Government policy in thefield of lu*-and legislation. Its published regulary /our editions yearly by Directorate Promulgation, Publicdtionand Cooperation of Legislation Directorate general of Legisltion Ministry ofJustice and HumanR ig hts Repub I ic of I ndo nes ia)

    Pcrerbit:Direklorat Jenderal Peraturan Perundalg'undangan

    Kementerian Hukum dan HAM RIJl. H.R. Rasuna Said Kav. 6-7 Jakarta Selatan

    Telp. (021) 52645i'7, Fax. (021) 5205310,5267055e

  • ,4,4t lff,rit,sl l N$ta vol. 8 No. z - Juni zorr

    DAT"TAR ISI

    Dart Redaksi.....Abstro,kArtJ,keL

    Mekqnisme Penindakan terhad.ap Anggotd DPR gangMelalrrrkan Tindo,k Pido,na KorupsiOleh: T. Gagus LumbuunPenuntu+.an Perkara Tlnd.ak Pidana Korupsi dalam SistemEulstmlndonesiaOleh: RamelanPenang g ulang an Tindak Pid.ano, Perspektif

    ltl

    173 - 186

    187 - 216

    217 - 238

    239 - 266

    267 - 280

    2A1 - 296

    297 - 320

    321 - 336

    337 - 348

    s49 - 358

    CrirminalPolicgOlehr Mattnud it[ulgadi ......... ..Pengembalian Beban PePertberantasan f iadak PidaOlehr Ekn Martiana Wulan^sari...

    (/'!

    ff. Upaga

    P e mh eb ang,n P e nbuktian T e annyatOlefu Supigodi Widodo EddgonoTelaahan Progresif: Implementasi Asas PembuktianTetfuliklRewrsed. anusl terhadap Tindak Pidana KorltpsiOlehu MuLnmad ZamroniPengodiTan ?lindak Pidana Korupsl: Tindak Pidana BiasaPenang anannga Luar BiasaOlefu MudzakkirMemotong Wani.san Blrokrasi Masa La.lu, ItlenciptakanDe markasl Bebas Ko tttp slObh: WahgudiDjafar.(Bukan) Menggantang Asap Pemberantasan Kontpsi diIndonesiaOleh: A. Ahsin ThohaiBijaksana ilengtkapi RUU Tf,plkorOleh: Reza Fiki Febiansgah

    LaporanKlnerja

    Blodo,taPenulis

  • PENGADILIIN TINDAK PIDANA KORUPSI:TINDAI( PIDANA BIASA PENA]\IGANANI{YA LUAR BIASA

    (coRRwTIONCOURT:

    coIwMoN CRIME WrTH EXTRAORDT NARY REDUCTTON

    Mudzakkir'(Naskah masuk OB / 06/ 2O11, disetujui 15 / 06 I 2O11]r

    AbstrakKebijakan legislasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telahdilakuka:r sebagai bagian dari reformasi yang hendak memberantas korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN), namun demil

  • **a/ LEGtsuLst tNDoNEslI Vol.8 No. 2 - Juni 20

    AbstractLegisl6rlion policg in the frameuork of the eradication of corruption haue beenconducted as part of reformation that uould eradicate (orntption, collusion andnepotism (KKN), howeuer, the ch.oices of legislatiue policg that adopted in formaljuidicol uiews has shown 'enthusiastic' anti-corruption, but othenlise in mateialjuidical contoir,-s a proulsion that could weoken tlrc efforts ta combot corruption. Thisueaken can be seen from a seies of legislation policies which culminate to thepublication of La u-t Number 46 Year 2OO9 on the Special Court Corruption, thereplacement of preuious comtption court lanu, as a follou.t-up from the ConstitutionalCourt Verdict Number 019/ PW-IV/ 2OO6 December 19, 2O06 has brought changesto some things against corruption and comaption murt, tLDt is corn etion as a ct;mmoncrime (general) and, there-fore the handling of corntption coses are done throughtheregulur/ nortnaL ptocedure. There is no longer a Corntption Couit specfcellA examtne,hear and decide thc corntption case u.thich proseantion proposed bg CorntptionDradicatir.n Commission (KPK) and bqsed on relatiue competence of aurts, ConuptionEradication Commission (KPK) filed corntption cases lo the co11rt u.)here the cimeoccurred (locus de,lict[). Common Crime Reduction thrcugh Ettraordinary procedureand tial through special court has a potential to uioLate the ights ofthe suspected.Ciminal lout politics and prosecution political of comtption needs to be reuisited inorder to distingulsh" tLre eradiantlon of amtption policies (exentiue) and lau enforenentagainst cimirlal dcts (judicial), because both are in tfLe dilferent settings. CarruptionEradication Commission should onlg giue an authcrization to conduct the inquiry,inuestigation, and prcsecutton of the etraordino.ry am.Lption, subnitteC to tlw specialcourt for iLuesttgating, judgirg and decidinq ertraordinary conuption cases cntjresped tlLe legal nghts of the slLspect, because this is the constitutional obligatiottfor the lau.t enforcement offcers into all leuel.Keguords: amtption, Comtption Eradication Commission, special comtption @utt,

    specla! crininGl lair, extraordinary cime, speaal court, tegal ights ofasuspect/ defendant

    A. PendahuluanTindak pidana korupsi sebagai salah satu tindak pidana yang

    nenyedot perhatian masyarakat dan bahkan menjadi icon gerakanreformasi dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Gerakanreformasi telah berhasii menggugah perhatian masyarakat mengenaiarti pentingnya pencegahan dan penindakan pelaku tindak pidanakorupsi. Oleh sebab itu, gerakan nasional penghapusan KKN dilanjutidengan kebijakan legislasi yaitu mengubah dan mengganti undang-undang yang melakukan pembahan pada hukum pidana materiil danhukum pidana formil dan menambah lembaga baru yang bertugas untukmencegah dan menangani perkara tindak pidala korupsi.

    Perubahan undang-undang yang mengatur tindali pidana korupsitersebut terus berianjut, di samping mengatur langsung mengenaipemberantasan tindak pidana korupsi, juga mengatur secara tidak

    294

  • Pengadilan Tindak Pidana Kr\rLipsi: tindak Pidana Biasa Penanganagnya Luar Biasa

    langsung tindak pidana korupsi, sebagi:rn yang menekankan pada aspekpencegahan terjadinya tindak pidana korupsi dan sebagian di antaranyamengatur hal-hal lain yang berkaitan langsung dengan penanganan danpenegakan hukum tindak pidana korupsi yang berfungsi untukmendukung efektivitas pemberantsan tindak pidana korupsi. Bahkan,sebagian di antaranya adalah mengadopsi konvenan anti korupsi.

    Pada awalnya, masyarakat sangat antusias terhadap kinerjapemberantasan tindak pidana korupsi karena hampir semua linikekuasaan memiliki komitmen untuk mendukung dan melakukanpencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi. Semangatpen l-.erantasan korupsi mulai rnembawa hasil yang dibuktikan dengansemakin bertambahnya pejabat tinggi yang diajukan ke pengadilankarerra melakukan tindak pidana korupsi yang sebelumnya sulit untukdijerat dan diajukan ke pengadilan karena alasan-alasan tertentu.DaIam perkembangannya, citra efektivitas perrrberantasar-r tindak pidanakorupsi tersebut mulai menurun, ketika muncul dugaan terjadinyatindal< pidana korupsi sernakin meningkat dan teiah merambah padasemua lini penyelenggaraan llegara dan lebih lagi dugaan itu ditujukankcpada aparat penegak hukum i,ang diberi tugas untuk meiakukanpernberantasan tindak pidana korupsi.

    Hasil evaluasi terhadap praktik pemberantasan dan penegakanhukum tindak pidana korupsi dan perkembalgan hukum nasiona-l daninternasional telah mendorong perubahan hukum pidana materiil danhukum piciana formil dalam penanganan tindak pidana korupsi darr yangterakhir adalah diundangkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahnn 2009tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengadilan khususyang mengadili perkara tindak pidana korupsi dan perubahan tersebuttelah membawa implikasi hukum pada ketentuan undang-undang lain.Tulisan ini hendak membahas mengenai beberapa permasalahan yangberkaitan dengan undang-undang yalg mengatur pemberantasan tindakpidana korupsi ditujukan pada 3 (tiga) hal, yaitu:1. Bagaimanakah perkembangan pengaturan penanganan tindak

    pidana korupsi di Indonesia?2. Bagaimanakah implikasi hukum dihapuskannya pasal-pasal tindak

    pidana suap dan tindak pidanajabatan dari KUHP?3. Bagaimanakah pengaruh dibentuknya Pengadilan Khusus Tipikor

    terhadap hukum acara piciana untuk pengadilan tindak pidanakorupsi dan kewenangan KPK?

    299

  • b14 LEGtst st l mtaEsta vol.8 No. 2 - Juni 2orr

    B. Perkembangatr Pengaturan Penanganan Tindak Pidana KorupsiProblem tindak pidana korupsi menjadi perhatian hampir semua

    regim yang berkuasa di Republik Indonesia. Masing masing regim telahmenempuh upaya pemberantasan tindak pidana kompsi secara berbeda-beda sesuai dengan tantangan yang sedang dihadapi pada masanya.Meneiusuri sejarah hukum pemberantasan tindak pidana korupsimembuktikan bahwa semua rezim yalg berkuasa di Indonesia sama-samamemiliki kornitmen untuk melakukan pemberantasan tindak pidanakorupsi, tetapi kebijakan yang ditempuh berbeda-beda. Perbedaankebijakan hukurrr dalarn melakukan pemberantasan tindak pidana korupsipada masing-masing rezirr. rersebut dideskripsikan sebagai berikut:

    Pertarna, pada masa orde lama, pendekatan yang dilakukan padaawalnya menekalkan pada kebijakan penegakan hukum dengan caramengefektifkan penegakan hukum dengan menggurrakan instrumenhukum pidana materiil dan hukum pidana formil yang ada pada saatitu, yaitu mengefektifkan penerapan pasal-pasal tindak pidana yangterkait dengan penyelenggaraan negara oleh pegawai negeri yangberhubungan dengan pengelolaan keuangan negara. Pada masa ini,tema besarnya adalah penyelamatan keuangan negara.

    Kemudian setelah dievaluasi, problem efektivitas pemberatasantindak pidana koi:upsi untuk menyelamatkan keuangan negara terse'outmembutuhkan prosedur hukum acara pidana yang lebih efektif, maka-pilihan kebijakan hukurr, yalg ditempr"rh ada-lah mengatur hukr-lrrr acarakhusus pemberantasan tindak pidana korupsi ciengan menerbitkanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 196Otentang Pengusutan, Penuntutal dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

    Kedua, masa Orde Baru. Pada masa ini telah dilakukan eva.luasiproduk hukum pada masa Pemerintahan Orde Lama. Kebijakan legislasidalam rangka pemberantasan tindak pidala korupsi muncul Tahun 1971ketika Pemerintah Orde Baru hendak melaksanakan pembangunanyang dirancang secara periodik, jangka pendek (lima tahun) dan jangkapanjang (25 tahun). Persoalan korupsi diantisipasi dengan menerbitkanUndang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi sebagai langkah penyempurnaan dan penguatar terhadapPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaal Tindak Pidana Korupsi.

    Pada masa Orde Baru telah menempuh kebijakan hukum di bidangpemberantasan tindak pidana korupsi dengan menerbitkan hukumpidana yang secara khusus mengatur tentang pemberantasan tindak

    300

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Ti[dak Pidana Biasa Penanganannya [,uar Biasa

    pidana korupsi dalam bidang hukum pidana materiil dan hukum pidanaformil. I{ebijakan ini hendak menempatkan tindak pidana korupsisebagai suatu tindak pidana yang khusus dan memeriukan perhatiandan penanganan secara khusus, kemudian dikenal dengan hukumpidana khusus. Kekhususan dari hukum pidana khusus adalah tindakpidana yang diatur dalam hukum pidana khusus sebagai tindak pidanayang dalam bahasa kebijakan hukum disebut kejahatan luar biasa(extra ordinaru/ seious crirnesl yang penanganannya memerlukandukungan hukum pidana yang khusus lertra ordinary ciminal laul yangmenyirnpangi dari ketentuan umum hukum pidana, baik di bidanghukum pidana formil maupun hukum pidaua materiil.

    Substansi hukum pidana materiil tindak pidana korupsi yang diaturdalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun i 97 1 dibedakan menjadi tigayaitu;pertama, ketentuan umum (genus) tindak pidana pidana korupsi dimuatdalam Pasal 2 dan Pasal 3; kedua, ketentuan khusus tindak pidanakorupsi dimuat dalam rumusan tindak pidananya merujuk kepada pasal-pasal KUHP vang ancaman pidana diperberat; dan, ketiga, ketentuantanbahan, yaitu tindak pidana yang terkait dengan penegakan tinda-kpidana korupsi, perluasan tindak pidana korupsi dan subjek hukumtindak pidana korupsi.

    Model pengat'rran tindak pidana kompsi dengan cara merujuk pasal-pasal KUHP yang dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi kemudianmemperberat anc€unan pidana, sebagai model pengaturan yang lebihtepat, apabila pasal-pasal KUHP tersebut dikaitkan dengan tindak pidanatertentu yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP. Ada beberapamodel pengaturan norma hukum pidana dalam KUHP yang dikaitkandengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP:1. merujuk tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP tanpa

    mengubahnya;2. merujuk tindak pidanayang dimuat dalam pasal-pasa1 KUHP dengan

    memperberat ancaman pidananya;3. merujuk tindak pidana yang dimuat daJam pasal-pasa1 KUHP dengan

    menambah unsur-unsur baru baik secara eksplisit dalam rumusandelik atau secara diam-diam dan rnemperberat ancaman pidananya;

    4. menggandakan rumusan tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP dengan menambah unsur baru dan memperberatancaman pidana; dan

    5. Menghapus tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP danmenempatkan dalam undang-undang di luar KUHP.

    301

  • ,e44/ LEotsIAst t tDotJfsta vol. 8 No.2'Juni 2rl u

    Yang terakhir ini tid::k menunjukkan adanya keterkaitanpemberla-kuan pasal-pasal KUHP dengan tindak pidana dalam undang-undang baru, tetapi penghapusan pasal-pasal KUHP yang kemudianmateri hukumnya dipindahkan ke dalam undang-undang tersebutumumnya dilakukan untuk membentuk sistem hukum pidanatersendiri di luar KUHP. Kebijakan legislasi seperti ini tidak tepat dalamsistem hukum pidana nasional _vang menganut kodifikasi.

    Ketiga, masa Reformasi. Pada masa reformasi ini perubahanUr-rdang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak dilal

  • Pengadilan Tindak l'iLl :,.r K.rrupsi: Tindak Pidana Biasa Pcnanganannya Luar Eiasa

    ancaman pidana minimum khusus penjara atau nilai kerugian yangrelatif kecil yang tidak seiml)ang dengan ancarnan minimum denda.

    Permasalahan hukum terscbut telah membawa problem tersendiridalam praktik penegakan hukrrrn pidana tindak pidana korupsi, di satupihak dituntut untuk menegakkan hukum terhadap pelaku tindakpidana korupsi secara tegas dan konsisten sesuai dengan tuntutanreformasi, tetapi di pihak lain, jika hukum ditegakkan secara tegasdan konsisten dapat menimbulkan ketidakadilan bagi pelanggar hukumpidana yang dijadikan tersangka/ terdakwa/ terpidana. Acapkali pilihanuntuk tidak mengajukan pelanggar hukum pidana ke pengadilan dinilaioleh aparai- penegak hukum lebih tepat dan bijaksana riaripadamernproses dan mengajukan ke pengadilan yang sudah jelas berpotensiterjadinya pelanggaran terhadap prinsip penega-kan hukum dan keadilansebagaimana yang diamanatka.rr oleh Pasal 24 ayat (1) Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    C. Lahirnya Undang-Undang Nomor 2O Tahun 2OOlDiterbitkannya Undang-Undang llomor 2O Tahun 20O 1 menyisakan

    ciua problcm hukum yaitu ;nemuat ketentuan peraiihan -vang merujukpada Undarig-Undang Nomor 3 Tahun 197 1 dan pencabutan pasal-pasalKUHP yang kemudian normanya dipindahkan ke dalam Undang-UndangNornor 20 Tahun 20O1.

    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dinilai masih banyakkekurangan yang rnemerlukan perubahan yang mendesak, terutamatidak adanya ketenttran peralihan yang menyebabkan terjadinyainterpretasi bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak lagiberlaku dan tidak dapat diberlakukan iagi karena tidak ada ketentuanperalihan sebagai hukum peralihan. Tidak adanya ketentuan peralihantersebut menurut hukum administrasi perundang-undangan adalahjangga.l, apalagi terbitnya undang-undang baru tersebut berisi perubahanterhadap undang-undang lama. Semestinya hal itu tidak terjadi,meksipun dengan dalih telah diatur dalam Pasal 1 ayat (21 KUHP yangisinya menyatakan bahwa:

    Pasal 1

    (1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkankekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

    (2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudahperbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkanketentuan yang paling menguntungkannya.

    303

  • hd LtGlSlaSt fitOOlESLt Vol. 8 No.2, Juni 2011

    Ketentuan Pasal 1 ayat (2) memuat asas hukum yang menyatakanbahwa apabila perubahan undang-undang diberlakukan ketentuan yangpaling menguntungkan bagi tersangka/terdakwa adalah asas huku.myang murni berlaku untuk pemberlal

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidam Biasa Penanganannya Luar Biasa

    Permasalahan hukum yang muncul, undang-undang yang manadiberlakukan ketentuan peralihan yang dimuat cia.lam Pasal 43A ayat(11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2O01? Ketentuan Pasal 43A ayat(1) dikutip selengkapnya:

    Pasal 43 A

    (1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-UnCangNomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindal< PidanaKorupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkanketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentangPemberantasan Tinclak Pida-na Kcrupsi, dengan ketentuanmaxsimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakrvadiberlakukan ketentuan dalar,r Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,Pasal 9, dan Pasal 10 Undang Undang ini dan Pasa-1 13 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TindakPidara Korupsi.

    Ketentrran tersebut jelas men-rjuk kepada Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 dan Undalg Urrdang Nomor 3 Tahun 1971 yang berartiperalihan dimaksud adalah darr Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971kcpada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2O01. Kaitannya dengarr Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 menurut doktrin hukum tidak lazin, karena undang-undang tersebut telah dinyatakan dicabut (tidak berlaku lagi)berdasarkarr kei.entuan Pasal 44 Bab VII Ketcntuan Penutup Undang-Llndang 3l Tahun 1999:

    Pasal 44

    Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, TambahanLembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tida-k berlaku.

    Berdasarkan Pasai 44 tersebut, sejak 16 Agustus 1999 tanggaJdiberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-UndangNomor 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian,undang-undang tersebut tidak bisa dihidupkan lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 2O Tahun 2001 melalui Pasal 43A ayat (1). Ketentuanperalihan tersebut hanya berlaku terhadap peralihan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 kepada Undalg-Undang Nomor 20 Tahun20O1. Mengenai permasalahan hukum ini pembentuk hukum melaluiPenjelasan Umumnya menyatakan:

    305

  • ,-.4 LEctstasl l Dol/fJtA vol.8 No. 2 - Juni 2or1

    Sejak Undang-Undang Nr-rmor 31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 14O, Tambahan l,embaran Negara RepublikIndonesia Nomor 387 4\ diundangkan, terdapat berbagai interpretasi ataupenafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenaipenerapan undang-undalg tersebut terhadap tindak pidana kompsi yangterjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan.Ha1 ini disebabkan Pasal 44 undang-undang tersebut menyatakan ba-hwaUndang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi dinyatakan tidak beriaku sejak Undang-Undang Nomor31 'I'ahun 1999 diundangkan, sehingga tinbul suatu anggapan adanyakekosongan hukum untuk rnemp,roses tindak pidana korupsi yangterjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

    Persoalan ketiadaan ketentuan peralihan tersebut jelas dilakukansecara sengaja oleh pembentuk hukum, dan baru kemudran setelahaCa protes, dilakukan ralat mela.lui Undang-Undang Nomor 20'Iahun 2OOi .

    Atas dasar permasalatral hukum tersebut, pertanyaan hukum yangmendasar ada-Iah mengapa pembentuk hukum pada masa reformasi yangscmestinya rnengambil kebijakan hukum yang ketat dan tegas dalampemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi justru mengambilkebijakan hukum yang longgar yaitu tidak mencatumkan ketentuanperalihan ke dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memberipeluang kepada terduga pelaku tindak pidana korupsi yang terjadisebelum tanggal 16 Agustus 1999 yalg melanggar Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 meloloskan diri atau tidak dapat diproses dan diajukan kepengadilan? Akibat ketiadaaan ketentuan peralihan tersebut, banyakperkara tindak pidana korupsi tidak diproses dan yang sedang diprosesdiberhentikan dan sebagian diputus lepas dari tuntutan hukum.

    Bagian lain diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2O Tahun 2O01adalah dicabutnya beberapa pasal KUHP dan normanya dimuat dalamundang-undang ini. Pencabutan pasal-pasal KUHP tersebut didasaridengan maksud penegasan bahwa tindak pidana suap adalah tindak pidanakorupsi, maka pasal-pasal yang mengatur tindak pidana suap dicabutdari KUHP dan dipindahkan ke dalam undang-undang pemberantasantindak pidana korupsi. Pencabutan tersebut diatur dalam Pasal 43B:

    Pasal 43 B

    Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 2O9, Pasal210, Pasa-l 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418,Pasal 419, Pasal 42O, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab

    306

  • Pcngadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa

    undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-Undang Nomor I Tahun1946 tentang Peraturar Hukum Pidana (Berita Republik IndonesiaII Nomor 9), Unrlang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentangMenyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun i946tentang Peraturan Hukum Pidara untuk Seluruh Wilayah RepublikIndonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan LembaranNegara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terathirdengan t-lndang-Undang Nomor 27 Tahun i999 tentang PerubahanKitab Undang-Undarrg Hukum Pidana Yang Berkaitan DenganKejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.

    Pencabutan sebanyak 13 pasal KUHP dan dipindahkan ke dalamundang-urrdang di luar KUHP tersebut tidak lazim, karena di sampingrnaknanya men-iadi berubah dan kebijakan tersebut telah mengubahsistern hukum pidar,a nasional Indonesia yang berbasis kodifikasimenjadi hukum pidana yang parsial dan serba eksepsional.

    Pencabutan dan pemindahan tersebut telah membawa akibathukum lain terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubahdengan Undang-Unciang Nomor 2O Tahun 2OOI tentang PemberantasalTindali Pidara Korupsi, yaitu:

    1. Semua tindak pidana suap dengal segala bentuknya adaiah tindakpidana kon-rpsi dan tidak ada iagi suap yang brrkan tindak pidanakorupsi. SebelumnSra, tindak pidana dibedakan men-iaCi dua, Yaitutindak pidana suap yang terrrrasuk delik umum (KUHP) dan tindakpidana suap yang termasuk sebagai tindak pidana k

  • ,dt LEGtsIAst tDoNEs,r vol. 8 No. 2 - Juni 20

    hanya disebabkan karena ditempatkan dalam undang-undangkhusus di luar KUHP;

    3. Nilai kemgian keuanga-n negara tidak dibatasi jumlalr minimumnya,sedangkan nilai suap dibatasi hanya untuk kepentingan pembuktiandan dalam hal tertentu dijadikan dasar pemidanaan. Akan tetapikebijakan umum perumusan ancaman pidananya dinaikkandisertai dengan ancaman pidana minimum khusus, menunjukkanarah perubahan politik hukum pidana dan politik pemidanaarr yangtidak jelas dan tidak konsisten. Sebagai contoh, ketentuan gratifikasiyang diberi batasan sebesar Rp 1O.OOO.OOO,- (sepuluh juta rupiah)yang dijadikan dasar penentuan kewajiban perr.buktian, tetapi tidakacia batasan minimum gratifikasi, menunjukkan bahwa pembentukhukum hendak menempatkan sifat j ahatnya tindak pidanagrati{ikasi terletak pada perbuatar dan, oleh karena itu, ditempatkansebagai kejahatan yang luar biasa. Ancaman pidana terhadap tindakpidana gratifikasi adalah sama berapapun jumlah gratifikasi yangditerima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara berupapidana penjara seurnur hidup atau pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling Iama 2O (dua puluh) tahun, dan pidanadenda paling sedikit Rp 2OO.0OO.000,O0 (dua ratus juta rupiah) danpaling banyak Rp 1.OO0.OOO.OOO,00 (satu miiiar rupiah).

    Pasal 12 B

    (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaranegara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan denganjabatannya dan yang ber'lawanan dengan kewajiban atautugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:a. yang nilainya Rp 1O.00O.OOO,OO (sepuluh juta rupiah) atau

    lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukanmerupakan suap dilakukan oleh penerima gratilikasi;

    b. yang nilainya kurang dari Rp 1O.00O.000,0O (sepuluh jutarupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suapdilakukan oleh penuntut umum.

    (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negarasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjaraseumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahundan paling la.:rr,a 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda palingsedikit Rp 2O0.O0O.0O0,00 (dua ratus juta rupiah) dan palingbanyak Rp 1.OOO.000.O00,00 (satu miliar rupiah).

    308

  • Pengadilan Tindak Pi(lana Korupsi: Tindak Pidam Biasa Penanganan4ya Luar Biasa

    Pembentuk hukum mengabaikan ketentuan Pasal 12C yangmenunjukkan corak hukum administrasi dari tindak pidana gratifikasiyaitu melapor atau tidak melapor kepada KPK (laporan hanya disampaikarrkepada KPK). Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara setelahnenerima gratifikasi dalam jangka waktu 30 hari tidak melapor kepadaKPK,maka perbuatan menerima gratifikasi tersebut sebagai tindakpidana (melawan hukum). Sebaliknya, jika penerima gratifikasi melaporsebelum batas waktu 30 hari perbuatan tersebut adalah bukan sebagaitindak pidana (tidak melawan hukum). Jadi sifat melawan hukumperbuatan gratifikasi terletak pada tidak melapor penerimaan gratifikasitersebut kepada KPK dalam jangka waktu 3O hari sejak diterimanyagratifikasi. Sulit dimengerti, mengapa ancaman pidana terhadap tindakpidana gratifikasi termasuk kategori sangat berat dan tidak proporsionaldibandingkal dengan sifat tercelanya atau melawan hukumnlla tindakpidana gratifikasi yang bcrsumber dari hukurrr administrasi. Sementarapemberi gratifikasi tidak dikenakan sanksi pidana, sebagai salah satubentuk pidana suap. Semestinya pemberi gratifikasi yang menjadipasangan dal am tindak pidala suap gratifikasi juga dikenai sa-nksi pidanayang sama dengan penerima gratifikasi, rnengingat niat untukmcmberikan gratifikasi sepenuhnya bersumber dari pemberi gratifikasi.Hal ini juga untuk menghindari kemungkinan disalahgunakannyagratifikasi untuk merusak kehormatan atau nama baik pegawai negeriatau penyelenggara negara penerima gratifikasi, pada hal yangbersangkutan tida-k ada niat dao rnaksud untuk mendorong orang lainmenyerahkal gratilikasi kepacia dirinya.

    Terkait dengan nilai kerugian, dari beberapa ketentuan pidanayang berasal dari KUHP, dikelompokkan berdasarkan nilainya lebih dariRp 5.0O0.00O,- (lima juta rupiah) dan kurang dari Rp 5.OOO.O00,O0 (limajuta rupiah) yang dijadikan dasar penentuan perbedaan ancaman pidana,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A:

    Pasal 12 A

    ( 1) Ketentua:r mengenai pidara penjara dan pidana denda sebagaimanadimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal10, Pasal 1 1 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsiyang nilainya kurang dari Rp 5.OOO.O0O,OO (lima juta rupiah).

    l2l Bagt pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.0O0.O00,OO (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun danpidana denda paling banyak Rp 5O.OOO.OO0,O0 (lima puluh juta rupiah).

    309

  • /aral lEeIl/.ASt l{DottEsrl vol. B No. 2 .runi 2o1r

    Tindak pidana kompsi yang nilainya lebih dari Rp 5.000.OOO,O0 (limajuta rupiah) diancam dengan pidana sebagaimana yang ditentukandalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12, sedangkan tindak pidana yangnilainya kurang dari Rp 5.OOO.0OO,OO (lima juta rupiah) diancam denganpidana yang sama yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun danpidana denda paling banyak Rp 50.000.0OO,0O (lima puluh juta rupiah).Perlu diketahui bahwa ancaman pidana dalam Pasal 5 sampai denganPasa-l 12 ancaman pidananya dari paling lama pidana penjara 5 tahunsampai dengan pidana penjara seumrrr hidup. Jadi, Pasal 124 dalammerumuskan arrcarnan pidana Cilakukan berdasarkan nilai ualg yangdijadikan transaksi (diserahkan'. -iimaftan dalam suap) dengan arlcamanpidana yaitu lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) lebih beratdan kurang dari Rp 5.O0O.O00,00 (lima juta rupiah) diancam denganpidana yang lebih ringan tetapi ancaman pidananya sama (paiing lama3 tahun penjara).

    Politik pemidanaan dalam pasal-pasal yang dikutip tersebut di atas,ternyata tidak sama dengan politik pemidanaan dalam ketentuan yeilgdimuat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang menyarnaratakanancaman piciana terhadap semua pelaku, tanpa membedakan r,ilaikerugian keuangan negara akibat tindak pidana.

    Politik pemidanaan tersebut menunjukkan bahwa adanyakeinginan untrrk menyamaratakan ancaman tindak pidana korupsisebagai bentuk konsekuensi tindak pidana korupsi sebagai kejahatanyang luar biasa, tetapi di sisi lain mengakui bahwa adanya perbedaanyang signifikan nilai atau jumlah materi dalam tindak pidana suap yangtermasuk kategori ringan.

    Berdasarkan argumen hukum tersebut, menunjukkan bahwasetelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 2O Tahun 2OO1 fiugadiperkuat dengan diterbitkannya Undalg-Undang Nomor 46 Tahun 20O9),tindak pidana kompsi tidak lagi dipandang sebagai tindak pidana ataukejahatan yang luar biasa, melainkan tindak pidana biasa dan sebagiandi antaranya adalah tindak pidana yang diperberat atau yang dikualifisir.Perubahan hukum pidana khusus untuk menangani kejahatan yangluar biasa menjadi hukum pidana biasa yang dipergunakan untukmenangani tindak pidana biasa tersebut merupakan konsekuensi logikdari politik hukum pidana dan politik pemidanaan yang dipilih olehpembentuk hukum sebagaimana yang dimuat dalam undang-undangperubahan, meskipun hal ini tidak dikehendaki oleh pembentuk hukum.

    310

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak l,i,Jxna Biasa Penanganannya Luar Biasa

    Irnplikasi hukum dihapuskannya pasal-pasal suap dan tindakpidana jabatan dari KUHP menjadi tindak pidara korupsi melalui Undang-Undang Nomor 2O Tahun 2OO1 telah menimbulkan problem hukumtersendiri, yaitu menghilangkan sifat eksepsionalitas tindak pidanakorupsi yang semula sebagai tindak pidana yang sangat berat danmemiliki kualitas sebagai tidak pidana luar biasa lertra ordinary cimeslmenjadi tindak pidana biasa (ordinary). Di sarnping itu, memperlemahpenanganan tindak pidana suap yang semula sebagai tindak pidanaunrum dimuat dalam KUHP yang ancaman pidananya relatif ringan,menjadi tindak pidana yang ancamarr pidana berat, sehingga aparatpenegak hukum cenderung menempuh untuk tidak memproses danmengajukan ke pengadilan yarrg disebabkan oleh beratnya ancannanpidana (minimum dan maksimum khusus) yalg dinilai tidak proporsionaldengan nilai materi suap. Dalam praktiknya, praktis hampir tidak adapasal-pasal suap yang relatif kecil tersebut

  • ,a,at LEaB,L,f/ lNDo,JEsta Vol. 8 No. 2 - Juni 2o1r

    1. Pengadilan Tipikor dibentuk berdasarkan Undang-udang Nomor 30Tahun 20O2 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsidimuat dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 62. Undang-UndangNomor 3O Tahun 2002 mengatur tentang kekuasaan eksekutif tetapidi dalamnya mengatur kekuasaan yudikatif. Dalam pembentukanPengadilan Tipikor tersebut, konsideran hukumnya tidak merujukkepada Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 197O sebagaiundang-undang organik dari Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 yang me4gatur lebih lanjut penggunaankekuasaan kehakir:ran. Akibat teknik pembentukan perundang-undangan lrang demikian ini, Pengadilan Tipikor tidak memperolehmandat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 darr rnenjadi alasan ketidakabsahan Pengadilan Tipikor dalammenjalankan kekuasaan kehakiman.

    2. Pengadilan Tipikor dibentuk hanya untuk memeriksa dan memutustindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Halini berarti bahwa Pengadilan Tipikor hanya melayani kebutuhanhukum i(PK, pada hal pembentukannya diatrrr dalam Undang-UndangNomor 30 tahun 20O2 tentang Komisi Pemberaltasan Tindak PidanaKorupsi. Model pengaturan vang demikian ini, dapat mempengaruhiindependensi atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang harusdijalankan oleh para hakim di Pengadilan Tipikor daJam rangkamenegakkan hukum dan keadilan dan mengesankan bahwaPengadilan Tipikor berada di bawah kekuasaan eksekutif KPK.

    3. Ketentuan yang mengatur pembentukan Pengadilan Tipikor yangditempatkan sebagai bagran dari lembaga pemberantas tindak pidanakorupsi tersebut di atas telah mempengaruhi cara kerja PengadilanTipikor yang harus menghukum terdakwa tindak pidana korupsidemi pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran pengaclilan Tipikoryang demikian ini tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraanperadilan dalam rangka perryelenggaraan kekuasaan kehakimanuntuk menegakkan hukum dan keadilan.

    Pembentukan Pengadilan Tipikor melalui Undang-Undang Nomor3O Tahun 2O02 tersebut telah diuji materiil dan hasil pengujian materiiltersebut dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-Ol9 /PUU -IV /20O6 tanggal 19 Desember 2006 yang intinya menyatakanbahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimuat dalam Pasal53-62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2OO2 adalah inskonstitusiona.l.

    3t2

  • Atas dasar Putusan MK tersebut telah diterbitkan produk hukum baruyaitu Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2O09 tentang Pengadilan TindakPidana Korupsi dal ketentuan Pasal 39 telah mencabut berlakunya Pasal53-62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2O02. Pengadilan Tipikor iniberbeda dengan Pengadilan Tipikor sebelumnya yang hanya memeriksadan mengadili perkara tindak pidana yang penuntutannya diajukan olehKPK.

    Ada beberapa perubahan dalam pembentukan Pengadilal Tipikor,yaitu:1. Pengadilan Tipikor merr:pakan pengadilan khusus di lingkungan

    peradilan umunr Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khususdiatur da-lam Pasal 2: Pengadiian Tindak Pidana Korupsi merupakanpengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.Berarti tidak ada lagi pengaCilan umum atau khusus larn yangmemiliki wewenang memeriksa dan mengadili perkara tindakpidana kcrupsi seiain pengadilal khusus yang dibentuk berdasarkanUndang-tlndang Nomor 46 Tahun 2OO9 yang berada pada pengadilanumum. Berbeda dengan sebelumnya, Pengadilan Tipikor han5,aberada pada Pengadilan Negeri Jakarta Rrsat.

    2. Pengadilan Tipikor diberi wewenang untuk mengadiii darr memutusperkara tindak pidana kcrupsi dan tindak pidana pencucian uangyang tindak pidana asa-lnya dari Tindak Pidana Kor.rpsi.Kewenangan Pengadilan Tipikor diperluas bukan hanya berwenangmengadili perkara tindak pidana korupsi tetapijuga diberi wewenangmemeriksa, mengadili dan merrrutus perkara tindak pidanapencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidanakorupsi.

    3. Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yangmemeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.Pengadilan Tipikor merupakan "satu-satunya pengadilan" yang diberiwewenang untuk merrreriksa, mengadili dan memutus perkaratindak pidana korupsi. Perkara tindak pidana korupsi tidak lagidiproses melalui pengadilan ganda seperti sebelumnya yaituPengadilan Umum yang memeriksa, mengadili, dan memutusperkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukanpenuntut umum dari kejaksaan dan Pengadilal Tipikor di PengadilanJakarta Pusat yang penuntutannya diajukan oleh KPK, melainkanmenjadi satu-satunya pengadilan yang memeriksa, mengadili, danmemutus perkara yang penuntutannya diajukan oleh penuntutumum, baik penuntut umum yang berada di bawah manajemen

    313

  • /oad Lictstls toofflEs,r vol. 8 No. 2 - Juni 2o1r

    Kejaksaan Agung maupun penuntut umum di bawah manajernenKPK.

    Penataan ulang penyelenggaraan peradilan tindak pidana korupsimelalui Undang-Llndang Nomor 46 Tahun 2OO9 tersebut telah membawaimplikasi hukum:1. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjadi pengadilan khusus yang

    mengadili (semua) perkara tindak pidana korupsi. Sebagaipenyelenpgaraan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukumdan keadilan telah membav:a perubahan ke arah yang positif, yaitupenegakan asas persamaan di depan hukum (equality befure the lautldarr rnemberi peiuang penyelenggaraan peradilan yang adil lfai.r tialldan non-diskriminatif.

    2. Karena Pengadilan Tipikor sudah menjadi pengadilan khusus yangmengadili semua perkara tindak pidana korupsi, maka semuaperkara tindak pidana korupsi memiliki kedudukan yalg sama, dansemestinya diprcses dengan menggunakan prosedur hukum acarapidana yang sama. Tidak lagi diperbolehkan adanya prosedur hukumacara pidana yang berbeda terhadap semlla tersangka/terdak';iaperkara tindak pidana korupsi yang dapat diperiksa dan diajukan kePengadilar Tipikor, meskipun diproses oleh lembaga atau instansiyang berbeda.

    3. Di hadapan Pengadilan Tipikor, penuntut umum baik di bawahmanajemen kejaksaan maupun di bawah manajemen KPK memilikikedudukan yang sarna, tidak ada yang istimewa atau diistimewakan,tetapi semua perkara tindak pidana korupsi adalah perkara pidanayang menjadi prioritas untuk diperiksa, diadili, dan diputus olehpengadilan. Keberadaan Pengadilan Tipikor ini telah menggeserkedudukan penuntut umum pada KPK (karena telah menjadi samadengan penuntut umum pada kejaksaan) mengenai beberapa hal:a. Mengajukan perkara pidana tindak pidana korupsi di seluruh

    wilayah Pengadilan Tipikor y'ang ada di seluruh wilayah Indonesiasesuai dengan dasar penetapan kompetensi relatif PengadilanTipikor.

    b. Tunduk kepada prosedur beracara pidana khusus pada PengadilanTipikor sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor46 Tahun 2OO9, di samping harr- s tindak kepada hukum acarapidana umum yang diatur dalam KUHAP.

    c. Perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan olehpenuntlrt umum pada KPK menjadi sama kedudukannya dengan

    3r4

  • perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan olehpenuntut umum pada kejaksaan dan berlaku pada semuatingkatan pengadilan sampai dengan Mahkamah Agung.

    d Ketentuan Pasal i 1 Undang Undang Nomor 3O Tahun 2002 yangmengatur kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutanyang dilakukan KPK sebagai kompetensi penanganan perkaratindak pidana korupsi oleh KPK bukanlah kompetensi absolut,karena perkara tindak pidana korupsi tersebut dapat -lugaditangani oleh penf idik polisi dan penyidik jaksa, danpenuntutannya dapat dilakukan oleh penuntut um.rm padakejak-saan. Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 11:

    Pasal 1 1

    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dima}sud dalam Pasai 6huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukanpenyelidikan, penyidikan. dan penuntutan tindak pidana korupsiyang :a. melibatkal aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan

    oralg lain yang ada kaitannya dengal tindak pidana korupsi yangdiiakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

    b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/ atauc. menyangkut kemgian negara paling sedikit Rp. 1 .OOO.00O.O0O,OO

    (satu milyar rrpiah).menjadi kehilangan 'jiwa' hukumnya dan tidak lagi memiliki sifateksepsiona,litas proseCur penegakan hukumnya sebagai suatu tindakpidana korupsi yang memiliki kualifikasi khusus yang memerlukanproses peradilan yang khusus.

    E. Penanganan Tindak Pidana Korupsi oleh KPKBerdasarkan analisis hukum tersebut di atas menunjukkan bahwa

    tindak pidana korupsi yang semula dipersepsi sebagai tindak pidanayalg luar biasa, dengal dihapuskannya pasal-pasal KUHP yang kemudianmaterinya dimasukkan sebagai materi Undang-Undang Nomor 2O Tahun2OO1, maka menghilangkan sifat keluarbiasaan dari tindak pidanakorupsi. Permasalahan hukumnya adalah apakah masih diperlukanprosedur yang luar biasa dalam menangani tindak pidana korupsi?

    Sesuai dengan doktrin hukum, prosedur penanganan suatukejahatan diukur dari sifat kejahatan itu sendiri, prosedur yang luarbiasa hanya cocok untuk menangani kejahatan yang luar biasa dantidak cocok untuk menangani kejahatan yang biasa. Penanganan

    3r5

  • H L;clsltsl, oorl$ta vol. 8 No. 2 - Juni 2ou

    dengan menggunakan prosedur yang luar biasa dapat berpotensimelanggar hak-hak tersangka/terdakwa yaitu hak untuk diproses dandiadili secara adil (Jair tiat1.

    Berdasarkan asumsi yalg menjadi dasar pembentukan undang-undang tindak pidana korupsi dan undang Pengadilan Tipikor bahwasemua perkara tindak pidana korupsi ada-lah sama, diproses melaluiprosedur yang sama, diajukan oleh lembaga yang berbeda, dal diadilioleh pengadilan yang sama, maka ada beberapa alternatif pengaturantindak pida;ra korupsi:

    1. Semua tindak pidana yang termasuk kategori tindak pidana korupsiadalah tin dak pidana biasa (umum) , tempat pengaturannyadikembalikan ke dalam KUHP, tetapi penegakan hukumnya menjadiperhatian yang khusus dan kebijakan penegakan hukumnyadiprioritaskan (kembali kepada kebijakan legislasi pada tahap awalyaitu mengefektilkan pasal-pasal KUHP untuk nemberantas perkaratindak pidana korrpsi).

    2. Dari tindak pidala korupsi yang biasa tersebut dibuat kriteria sebagaitindak pidana korupsi yang dikua-lifrkasikan sebagai tindak pidanakorupsi yang iuar biasa'sehingga perlu ketentuan terscndiri sebagaihukum pidana khusus (efira orciinary criminal laul untuk menanganikejahatan korupsi yang 'luar biasa'. Sifat eksepsionalitaspenanganan tindak pidana korupsi hanya ditoleransi kepada tindakpidana korupsi yang termasuk ketegori 'luar biasa'.

    3. Semua aparat penegak hukum yang menangani perkara tindakpidana korupsi diberi wewenang yang sama dan tunduk kepadahukum prosedur/acara yang sama, kecuali terhadap penangan€rntindak pidana korupsi yang termasuk kategori 'luar biasa'.

    4. Oleh sebab itu, kewenangan KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 perlu diubah denganmenempatkan KPK diberi tugas untuk rneiakukan penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan hanya terhadap perkara tinclak pidanakorupsi yang termasuk kategori 'luar biasa' dengan menggunakanprosedur hukum acara pidana yang menyimpangi dari hukum acarapidana yang umum sebagai bentuk pengecualian (eksepsional).Eksepsionalitas prosedur penanganan perkara tindak pidana korupsiyang termasuk ketegori yang 'iuar bisa' tersebut hanya dimiliki olehKPK (sebagai satu-satunya lernbaga), sedangkan polisi dan jaksadiberi wewenang untuk menangani perkara tindak pidana korupsiyang termasuk kategori biasa/umum dengan menggunakan prosedurhukum acara pidana umum.

    5

    a

    {

    316

  • Pengad an I rnoal( Proana Korupsr: I tnqaK rtoana blasa relanganaurya Lur ux]sa

    Tidak bijaksana jika tetap mcmpertahankan bahwa semua tindakpidana korupsi sebagai tindak pidana yang luar biasa dan ditanganidengan menggunakan prosedur yang luar biasa. Sesungguhnya dalammenangani perkara tindak korupsi agar memiliki daya cegah yangefektif adalah terletak pada "greget" aparat perregak hukum dalampenegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, bukal terletak padasifat eksepsionalitas hukum pidana materiil atau hukum pidana formil.Ketersediaan sumber daya manusia aparat penegak hukum yangberkualitas, jujur, memiiiki komitrnen dan berani merupakan hal lebihpenting dan utama da-lam penegakan hukum terhadap tindak pidanakorupsi di masa sekarang dan cii masa datang, dibanding d:nganmelakukan kebijakan pembaruan hukum pidana materiil dan hukumpidana formil, sebagaimana kebijakan yang ditempuh selama ini. HaIyang perlu diperhatikan, bahwa hukum yalg baik dan sempurna al

  • ,..-/ LEatsLASt iND0,NES,A \nt '{ \.. , 'lx. uU

    dihandingkan dengan polisi dan jaksa sebagaimana dimuat dalam Pasal6, yaitu:

    Pasal 6

    Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

    pemberantasan tindak pidana kon-rpsi;b. supervisi tertradap instansi yang berwenang melakukan

    pemberantasan tindak pidana korupsi;c. mclakukan penyeiidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap

    tindak pidana korupsi;d melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana

    korupsi; dane. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan

    Negara.

    Berdasarkan ketentuan di atas, KPK perlu segera melakukanlangkah-langkah strategik dan melakukan peninjauan ulang kebijakarselama ini guna menyesuaikan dengan perkembairgan hukum yangterjadi bark langsung atau tidak langsung berkaitan dengan tindakpidana korupsi, khususnya telah dibentuknya Pengadilan Tipikor.

    Berdasarkan pertirabangan perkenrbangan hukum yang terjadi,pilihan menempatkan tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, danpenuntutan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalamPasal 1 t huruf c sebagai alternatif pilihan yang terakhir (ultirutm remedittmlsetelah melaksanakan tugas huruf a, b, d dan huruf e hasilnya tidakefektif dalam melakukan pemberantasan dan penegakan hukumterhadap tindak pidana korupsi. Pilihan tersebut tidak mengurangieksistensi lembaga KPK yang dibentuk sebagai lembaga khusus yangfokus menangani pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi justrudengan pilihan tersebut, KPK dapat menjalankan pelaksalaan tugas danfungsinya secara efektif dan efisien dalam melakukan pemberantasantindak pidana korupsi secara total dengan menggerakkan lembaga lainyang diberi wewenang untuk melakukan pencegahan dan penegakanhukum terhadap tindak pidana korupsi. Jika KPK tetapmempertahalkan kebij akan melakukan penyelidikan, penyidikai, danpenuntutan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalamPasal 1 t huruf c sebagai pilihan utama dan diutamakan {sepertisekarang), maka selama itu pula KPK telah menjadi kcmpetitor denganlembaga lain yang diberi wewenang untuk melakukan penegakanhukum terhadap tindak pidana korupsi. Keadaan seperti ini justru

    318

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa

    menjadi faktor yang memperiemah kebijakan pemberantasan tindatpidana korupsi secara nasional dan KPK kehilangan jiwanya sebagailembaga independen yang fungsi dan tugasnya untuk menggerakkansemua lembaga yang diberi tugas ur-rtuk melakukan pencegahan danpenegakan hukum terhadap tinclak pidana korupsi. Apabila semualembaga tersebut telah berfungsi secara efektif, peran KPK dikurangidan bahkan dipertimbangkan untuk dihapuskan.

    F. Kesimpulan dan RekomendasiKebijakan legislatif rialam ranglca pemberantasan tindak pidana

    korupsi dalam rangka menjalankan amanat reformasi secara yr-rridisformal telah menghasilkan terbitnya beberapa undang-undang yangdirnaksudkan untuk memperkuat dan mengefektifkan upayapemberzmtasan tindak pidana korupsi. Namun demikian, secara yuridismateriil mengandung kelemahan dan ciapat memperlemahpemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi.Perlemahan tersebut dapat clilihet dari serangkaian kebijakan legislasiyang kemudian berujung pada tertritnya Undang-Undarrg Nomor 46Tahun 2OO9 tentang Pengadilan Khusus Tir-rdak Pidana Korupsi,pengganti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya, merupakantindak ianjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor O12-Ol6-019lPUU-IV /2006 tanggal 19 Desember 2O06 telah membawa per.rbahanterhadap beberapa ha1 terhadap tindali pidana korupsi dan pengadilantindak pidana kompsi, yaitu tinda-k pidana korupsi sebagai tindak pidanabiasa (umum) dan, oleh sebab itu, penanganan tindak pidana korupsidilakukan melalui prosedur biasa/normal. Dengan demikian lagi adaPengadilan Tipikor yang khusus memeriksa, mengadili dan memutusperkara tindak pidana korupsi yang penuntututannya diajukan oleh KPKdan berdasarkan asas kompetensi relatif pengadilan, KPK mengajukanperkara tindak pidana korupsi ke pengadilan di tempat tindak pidanaterjadi.

    Dalam kaitannya dengan hukum pidana materiii, politik hukumpidala dan politik pemidanaan pembentukan Undang-Undang Nomor 31Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2O Tahun2OO1 perlu ditinjau kembali agar dibedakan kebijakan pemberantsantindak pidana korupsi dan penegakan hukum terhadap tindak pidana,karena keduanya berada dalam wilayah pengaturan yang berbeda yangtidak boleh disatukan. Pemberantasan tindak pidana korupsi menjadikompetensi kekuasaan eksekutif dan penegakan hukum menjadikompetensi kekuasaan yudikatif yang terkait dengan penggunaan

    319

  • /o,.4t LEGtStaStl/ioo fsfA vol.8 No. 2 - Juni 2orr

    kekuasaan kehakiman dalam rangkana penegakan hukum dankeadilan sebagaimala yang diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Dalam rangka untuk mengefektifkan pemberantasan tindak pidanakorupsi di masa datang perlu dipikirkan mengenai beberapa hal, yaitu:

    Pertama, kelemahan dan ketidakefektifan penegakan hukumterhadap tindak pidana korupsi yang bersumber dari sumber daya aparatpenegak hukum tidak tepatjika direspon dengan melakukan perubahanmateri hukum pidana rnaterii dan memberikan wewenang eksepsionaldalam bidang hukum pidana formil. Perubahan dengan cara yangdemikian ini dapat merusak tatanan sistem hukum pidana materiildan hukum pidana formil. Memperkuat peran aparat penegak hukumdengan cara mengatur pemberian \i/ewenang yang melebihi dariketentuan hukum pidana formil atau pemberian wewenang khusus yangmenyimpang dari ketentuan urnum hukum pidana formil (eksepsional)dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum, tetapi keadaantersebut berpotensi melanggar hak-hak hukum tersangka/terdakwayang jrtga dilindungi oleh hukum dan konstitusi.

    Kedua, tidak semua tindak pidarra korupsi yang dimuat da-lamUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yalg telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 20C1 adalah tindak pidana yang termasukkategori tindak pidana yang luar biasa, maka perlu dipikirkan secaramendalam mengenai tindak pidana korupsi yang mana yang termasukkategori tindak pidana yang luar biasa (exfra ordinary ciminal lana dar'extra ordinary crimes) yang memerlukan penanganan khusus yangmenyimpangi dari prosedur hukum acara biasa (extra ordinary ciminalla u.t procedure).

    Ketiga, dalam penegakan.hukum tindak pidana korupsi, KPKsebaiknya hanya diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang termasuk luarbiasa dan merupakan satu-satunya lembaga yang diberi wewenanguntuk itu, diajukan ke pengadilan yang dibentuk secara khusus untukmemeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana kompsiyang luar biasa. Meskipun demikian, hak-hak tersangka/ terdakw'adalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi tetap harusdihormati dan ditegakkan, karena hal ini menjadi kewajibankonstitusional bagi aparat penegak hukum manapun pada semuatingkatan.

    320