1 - KATA PENGANTAR -...

92
i KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur hanya untuk Allah, Rabb al-’izzati, Dzat yang Maha Rohman dan Rahim. Salawat dan salam dimohonkan untuk Nabi dan Rasul akhir zaman, Muhammad SAW, berikut keluarga, sahabat dan umatnya. Rahmat ilahi memancar kesemesta alam, turun merayap memeluk setiap insan. Semburat pengampunan dan pahala membuncah dengan hadirnya Ramadhan, saat dimana syaitan di”cuti”kan, saat dimana tidur dihargai ibadah, saat ibadah berpahala berlipat, saat pintu pengampunan dan rahmat terbuka lebar menyambut kita umat Muhammad. Ramadhan bulan penuh berkah. Berkah Ramadhan akhirnya menetes dengan terselesaikannya skripsi ini, setelah melewati masa-masa sulit dan terkatung- katung sekian tahun lamanya. Terselesaikannya skripsi dan study ini tentu tidak lepas dari peran beberapa pihak. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih: Kepada Bapak Prof. Dr. Qomarudin Hidayat selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan bapak Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH.MA.MM. Selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan segenap jajarannya. Serta kepada kepala perpustakaan UIN dan jajarannya yang sangat membantu dalam proses perkuliahan kami. Kepada Dr. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Jurusan SJS dan khususnya kepada Ibu Sri Hidayati selaku Sekjur, terima kasih atas bimbingan dan dukungannya. Ibu adalah Sekjur terbaik sepanjang masa.

Transcript of 1 - KATA PENGANTAR -...

Page 1: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah, Rabb al-’izzati, Dzat yang Maha

Rohman dan Rahim. Salawat dan salam dimohonkan untuk Nabi dan Rasul akhir

zaman, Muhammad SAW, berikut keluarga, sahabat dan umatnya.

Rahmat ilahi memancar kesemesta alam, turun merayap memeluk setiap insan.

Semburat pengampunan dan pahala membuncah dengan hadirnya Ramadhan, saat

dimana syaitan di”cuti”kan, saat dimana tidur dihargai ibadah, saat ibadah berpahala

berlipat, saat pintu pengampunan dan rahmat terbuka lebar menyambut kita umat

Muhammad. Ramadhan bulan penuh berkah. Berkah Ramadhan akhirnya menetes

dengan terselesaikannya skripsi ini, setelah melewati masa-masa sulit dan terkatung-

katung sekian tahun lamanya.

Terselesaikannya skripsi dan study ini tentu tidak lepas dari peran beberapa

pihak. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih:

Kepada Bapak Prof. Dr. Qomarudin Hidayat selaku rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, dan bapak Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH.MA.MM.

Selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan

segenap jajarannya. Serta kepada kepala perpustakaan UIN dan jajarannya yang

sangat membantu dalam proses perkuliahan kami.

Kepada Dr. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Jurusan SJS dan khususnya kepada

Ibu Sri Hidayati selaku Sekjur, terima kasih atas bimbingan dan dukungannya. Ibu

adalah Sekjur terbaik sepanjang masa.

Page 2: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

ii

Kepada Bapak Dr. Rumadi, M.A, saya sampaikan terima kasih atas

ketelatenannya membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga do’a bapak

agar sarjana ini membawa berkah menjadi kenyataan. Amien…

Kepada kedua orang tua ku tercinta, yang telah memberikan pengorbanan tanpa

mengenal kata lelah, yang telah mengajari tentang hidup dan arti kehidupan, yang

telah mengajari penulis menjadi seorang lelaki. Kepada Mama’ku H. Abdur Rauf

Syahid Hamim dan Umiku tercinta Hj. Annisatur Rormah, skripsi ini aku

persembahkan. Hanya surgalah tempat yang layak untuk membalas semua

pengorbanan kalian selama ini. Amien.

Kepada kakak-kakakku, abang-abangku & ade-ade: Ka Opah & Bang Sadeli,

Ka Ikoh & Pak Supriyono, Ka Ulfah & Ka Isa Anshori, Ka Farhah & Mas Haidar, Ka

Ida & Ka Hadi Ali, Bang Aji & Umi Rina, Bang Ijul & Umi Indah, Ropi-U, Riri,

Dede, Apit dan Imah, yang tak henti-hentinya memberi suport dan terus menerus

nanyain ”Pegimana skiripsi ?” ”kapan Wisuda ?”. Serta semua saudara-saudara ku,

kalian adalah lentera hidup tempat merujuk, tempat menggali sepirit, jika lentera diri

meredup dan spirit mengendur. Semoga kita tetap bisa terus saling mengisi.

Kepada kawan-kawan seperjuangan di BEM Siyasah 2004-2005; Iyan, Takin,

Febry Manende, Zaenal, Kholiq, Hadi, Topan, dan kawan-kawan SS angkatan 2002,

Lukman, Muda, Eky, Fathur, Kompor, Simon, Manzoy dll, kepada kalianlah aku

belajar banyak hal. Kepada kawan-kawan HMI dan PMII yang tidak kesebut,

percayalah kalian selalu lekat di hati ku, Trust Me. dan terima kasih, telah menjadi

kawan yang dahsyat untukku.

Page 3: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

iii

Kepada kawan-kawan pergerakan baik di HMI, PMII, IMM, GMNI, KM

maupun KAMMI, jangan lelah berjuang. Hidup adalah perjuangan tanpa henti. Jaya

selalu.

Kepada kawan-kawan seperjuangan di PON-PES Al-Muhajirin: Om Said, Om

Acep, Wawan Ch, Inop, Asep M, Joko, Hapy, Azhar, kang Mul, bang Uce, bang

Acong, Najum, Sangaji serta kawan-kawan lainnya, Ingat perjuangan masih panjang,

masih banyak yang harus kita lakukan, semoga kita tetap bisa berjuang bersama,

meski kita kadang kala berbeda.

Terima kasih juga dihaturkan kepada Mas Moro N dan keluarga, banyak hal

yang Inu dapat dari diskusi dan silaturrahmi kita selama ini. Kepada Om Rauf (Said),

Bakhtiar (BT), Iqbal, Wahyu, Ratu, dan temen2 KKN Pandeglang. serta kepada

Faticha, Julimah, Agun, Mudin, Edy, Intan terima kasih suport dan bantuannya, tanpa

peran kalian mungkin aku tidak akan pernah wisuda. Kepada seorang perempuan

yang telah tiada letih dan lelah memberi dorongan dan doa, terimakasih...terimakasih,

semoga terbentang jalan yang indah untuk bisa kita lalui berdua.

Akhir kata, penulis berharap bahwa karya tulis ini dapat bermanfaat bagi

kalangan civitas akademika dalam pengkayaan intelektual.

Ciputat, 27 Ramadhan 1431 H

Page 4: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….. i

DAFTAR ISI…………….………………………………………………….... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………….…… 1

B. Pebatasan dan Perumusan Masalah……………………… 6

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian……………….. 7

D. Metode Penelitian………………………………………... 8

E. Landasan Teoritis………………………………………… 12

F. Review Studi Terdahulu…………………………………. 13

G. Sistematika Penulisan……………………………………. 14

BAB II ISLAM POLITIK DAN PROSES ADAPTASI DI INDONESIA

A. Pengertian Islam Politik………………………………….. 16

B. Islam politik di Indonesia………………………………… 17

1. Pada Zaman Kolonial…..…………………………….. 18

2. Menjelang Kemerdekaan Sampai Awal

Kemerdekaan………………………………………… 21

3. Orde Lama…………………………………………… 23

4. Orde Baru…………………………………………….. 27

5. Masa Reformasi……………………………………… 36

Page 5: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

v

BAB III BIOGRAFI MUNAWIR SJADZALI

A. Riwayat Hidup Munawir Sjadzali………………………… 41

B. Pendidikan Munawir Sjadzali…………………………….. 47

C. Posisi Munawir Sjadzali diantara Para Pemikir Islam

pada Masanya ……………………………………………. 49

D. Corak dan Pengaruh Pemikiran Munawir Sjadzali di

Indonesia…………………………………………………. 50

E. Karya-karya Munawir Sjadzali…………………………… 52

BAB IV ISLAM DAN POLITIK MENURUT MUNAWIR SJADZALI

A. Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan

Politik…………………………………………………….. 55

B. Analisa Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan

Sistem Pemerintahan……………………………………... 70

C. Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia

Dewasa ini………………………………………………... 72

BAB V PENUTUP

Kesimpulan…………………..……………………………….. 80

DAFTAR PUSTAKA….……………...…………………………………….. 84

Page 6: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di sejumlah negara Muslim seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko,

Pakistan, Aljazair, pada pertengahan abad ke-20an, tepatnya sejak keruntuhan

kolonialisme Barat, banyak mengalami kesulitan dalam upaya membangun

hubungan yang memugkinkan (viable) antara Islam dan negara. Tak jarang di

negara-negara itu hubungan Islam dan negara mengalami ketegangan, bahkan

permusuhan. Padahal disaat yang sama di sejumlah negara itu Islam menduduki

posisi penting, baik karena masa lalunya maupun karena Islam merupakan

agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya. Oleh karena itulah di kalangan

pengamat kemudian muncul pertanyaan krusial: apakah Islam sesuai atau tidak

dengan sistem politik modern, dimana ide tentang negara-bangsa (nation-state)

merupakan unsur terpentingnya.1

Dalam konteks Indonesia, bersitegang antara Islam dan negara tidak hanya

telah berlangsung lama. Sejak negara ini merdeka masalah tersebut telah

menyulut ketegangan, permusuhan, bahkan konflik fisik diantara kedunya.

Dalam masa-masa formatif negara ini kaum muslim tidak hanya terus menerus

menyuarakan aspirasinya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi

1 Dr. Azyumardi Azra, Saiful Umam, (ed.) Menteri-menteri Agama RI Biografi Sosial –

Politik (Jakara: Badan Litbang Agama. Departemen Agama RI bekerjasama dengan PPIM-IAIN

Jakarta, 1998), h. 385

Page 7: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

2

juga menjadikan sistem politik Islam sebagai panduan dalam mengatur negara

meskipun pada akhirnya terjadi kompromi-kompromi, aspirasi demikian itu tak

kunjung padam, setiap ada kesempatan dan peluang sekecil apapun aspirasi

demikian kembali muncul kepermukaan.

Paling sedikit terdapat dua kesempatan dan peluang resmi yang digunakan

kaum muslim Indonesia untuk mewujudkan aspirasi politiknya. Pertama, pada

saat berlangsungnya diskusi mengenai dasar negara pada 1945. Pada kesempatan

ini wakil-wakil Islam mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi atau agama

negara. Kedua, pada dekade 1950-an dalam sidang konstituante yang memberi

peluang pada setiap kelompok untuk mendiskusikan ideologi dan undang-undang

dasar. Pada kesempatan ini, melalui tokoh-tokoh Masyumi, aspirasi ideologi

Islam kembali muncul. Bahkan jika dibandingkan dengan yang terjadi pada

kesempatan pertama, kesempatan ini menyajikan perdebatan lebih luas dan

mendalam mengenai pentingnya ideologi Islam dan konsepsi sistem politik dalam

negara Indonesia. Akan tetapi, disamping peluang-peluang resmi tadi, kaum

muslim juga terus menerus menyuarakan aspirasinya dalam berbagai forum dan

kesempatan.2

Setelah jaman revolusi berakhir, tuntutan trasformasi Islam kedalam bentuk

ideologi politik semakin keras. Ini terjadi dalam dua konteks yang saling

2 Lepas dari berbagai analisis yang muncul, gerakan-geraka Islam DI/TII pada dekade 40-an

dan PRRI / Permesta pada dekade 60-an sering diidentifikasikan sebagai salah satu bentuk perjuangan

Islam ideologis melalui kekuatan bersenjata. Bahkan higga dekade 80-an, aspirasi Islam ideologis ini

masih kental disebagian kaum Muslim. Lihat Dr. Azyumardi Azra, saiful Umam, (ed.) Menteri-

menteri Agama, h. 386

Page 8: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

3

berhubungan. Pertama, formasi kekuatan-kekuatan ideologis semakin

mengkristal dengan munculnya partai-partai yang memang mendapatkan

keabsahannya berdasarkan sistem demokrasi yang diperkenalkan pada masa itu.

Dalam konteks ini, Islam dituntut untuk menunjukkan keunggulannya sebagai

ideologi politik untuk menyelesaikan masalah-masalah Indonesia. Kedua,

pencoretan kalimat-kalimat Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945—

padahal sebelumnya telah tercapai konsensus dengan susah payah dalam sidang-

sidang PPKI—dan berlakunya konsistensi yang masih bersifat sementara,

membuka peluang untuk meningkatkan persaingan kelompok-kelompok

ideologis. Pembubaran konstituante melalui dekrit 5 juli 1959 mengakhiri

perdebatan yang keras dan melelahkan.3

Jika di masa kolonial, Islam menjadi kekuatan pembebasan dan simbol

perjuangan melawan penjajahan yang kafir, maka di masa revolusi, Islam

dijadikan semangat perjuangan, dan di masa dua dasawarsa pertama kemerdekaan

Islam telah mengambil bentuk "ideologi politik", maka di masa Orde Baru, Islam

mengambil bentuk sebagai "kekuatan spiritual" untuk menghadapi arus

modernisasi, dan nilai-nilai tuntunan berprilaku dalam kehidupan berpolitik.

Islam sebagai kekuatan sejarah tidak berubah. Bahkan di tengah memudarnya

penampilan Islam dalam wajah politik kepartaian saat itu, justru diimbangi

dengan tuntutan makin meluasnya wilayah pengaruh dimensi-dimensi spiritual

3 Yusril Ihza Mahendra, “Makna dan Peranan Islam dalam Proses Sosio-Politik di

Indonesia” Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali MA. (ed.) M.

Wahyuni Nafis, dkk. (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), cet. Ke-1, h. 376-377

Page 9: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

4

dan intelektual Islam. Tuntutan agar segala sesuatu berkembang ditengah

masyarakat disesuaikan dengan nilai-nilai Islam yang semakin luas. sementara

kekuatanya juga dipertegas. Ini semua mendorong kaum Muslimin beramai-ramai

kembali kepada agamaya, dengan peningkatan yang luar biasa minat untuk

mengamalkan ibadah-ibadah yang diajarkan Islam.

Kenyataan ini penting bagi Munawir, sebab ia berpandangan bahwa

menempatkan suatu agama sebagai agama negara merupakan salah satu prasarat

penting. Untuk itu, dalam pandangannya, kenyataan bahwa Konstitusi Madinah

tidak menyebut Islam sebagai agama negara, hal ini menujukkan bahwa Nabi

Muhammd SAW, tidak menganjurkan berdirinya sebuah negara teokratis dimana

Islam akan berfungsi sebagai dasar satu-satunya.

Pada era awal 80-an Munawir pernah melontarkan gagasan tentang

reaktualisasi ajaran Islam yang ditanggapi beragam oleh berbagai lapisan

masyarakat. Titik sentral dari agenda reaktualisasi Munawir itu adalah untuk

menegaskan kembali gagasan tentang ijtihad. Ide-ide Munawir sebenarnya

diarahkan untuk mendorong para pemikir atau aktifis politik Islam agar (1)

merumuskan kembali dasar-dasar ideologi baru politik Islam; (2) mendefinisi

ulang cita-cita politik Islam; dan (3) menilai kembali pendekatan politik Islam

yang pada dasarnya lebih berorientasi pada masalah-masalah keagamaan dan

teologis.4

4 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara di Indonesia: Munawir Sjadzali dan Pengembangan

Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis, (ed.) Kontekstualisasi Ajaran

Page 10: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

5

Gagasan Munawir di atas, sejatinya hendak meninjau kembali sejarah para

pemimpin dan aktifis politik Islam Indonesia. Pijakan-pijakan dari semangat

politik saat itu menggunakan pandangan holistik Islam—Islam dianggap melulu

memberikan pandagan terhadap setiap aspek kehidupan. Dalam konteks tersebut

dapat dimengerti jika Islam senantiasa dijadikan sebagai patokan sebuah konsepsi

yang final dan konvrehensif tentang negara atau sistem pemerintahan. Lebih dari

itu, sebagian bahkan beranggapan bahwa negara merupakan bagian integral, atau

perpanjangan dari Islam. Hal ini merupakan suatu posisi politik-keagamaan, yang

disejumlah belahan dunia dikemas dalam jargon inn al-Islam al-din wa al-

dawlah—bahwa Islam adalah agama negara.5 Tetapi pada kenyataanya keinginan

tersebut gagal.

Saat partai-partai Islam sudah tidak hadir lagi di panggung percaturan politik

nasional (pada masa Orde Baru), ternyata ada capaian-capaian yang diharapkan

kalangan umat Islam dapat terwujud, seperti penetapan Undang-undang Peradilan

Agama. Hal ini adalah jasa-jasa Munawir saat beliau menjadi Menteri Agama RI.

Kiranya aspirasi politik semacam itu pulalah yang diingikan oleh Munawir

Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan, "tanpa partai politik

Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan".

Untuk itulah dalam skripsi ini, kami akan mengkaji pemikiran Munawir

Sjadzali tentang Islam dan Politik khususnya dalam kaca mata keIndonesiaan.

Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali MA (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), cet. Ke-1,

h. 412 5 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 413

Page 11: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

6

Dan studi ini dilakukan selain karena ketertarikan penulis terhadap pemikiran

juga atas pertimbangan posisi dan sosok Munawir sebagai cendikiawan,

intelektual, diplomat, dan juga sebagai menteri Agama RI selama dua periode

berturut-turut (1983-1988 dan 1988-1993). Beliau telah beberapa kali

mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupan keagamaan dan lembaga-

lembaga keagamaan. Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada

dibawah semangat Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara

Islam dan negara.6 Penulis berharap bahwa hasil skripsi ini dapat bermanfaat

dalam upaya membangun hubungan Islam dan Politik di negeri yang demokratis

ini.

Berdasarkan latar belakang ini penulis sangat tertarik dan optimis untuk

melakukan penelitian dengan judul “Islam dan Politik dalam Pemikiran Politik

Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dengan mengajukan skripsi ini maka peneliti memperoleh kesempatan untuk

melakukan historical insight, tentang seorang tokoh besar Indonesia yaitu Prof.

Dr. H Munawir Sjadzali, MA. Selain sebagai cendikiawan beliau juga

berpengalaman sebagai diplomat, Menteri Agama, dan sebagai pengajar. Tak

6 Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo, Arief Subhan, “Munawir Sjadzali, Pencairan

Ketegangan Ideologis”, dalam Azyumardi Azra, (ed.) Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial

Politik. (Jakarta: PPIM, 1998), h. 411

Page 12: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

7

diragukan lagi banyak sekali pengalaman yang menginspirasikan pemikiran-

pemikirannya untuk diterapkan di Indonesia. Dari sekian banyak dari pemikiran

Munawir Sjadzali. Penulis ingin memfokuskan kajian penelitiannya terhadap

Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali semasa beliau menjabat sebagai

Menteri Agama RI selama dua periode berturut-turut (1983-1988 dan 1988-1993).

2. Perumusan Masalah

Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa

persoalan yang terangkum dalam identifikasi masalah yang diteliti sebagai

berikut:

1. Bagaimana hubungan Islam dan politik dalam pemikiran Munawir Sjadzali ?

2. Bagaimana relevansi pemikiran Munawir Sjadzali, bagi Indonesia dewasa ini?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui hubungan Islam dan politik dalam pemikiran Munawir

Sjadzali.

b. Menjelaskan relevansi pemikiran Munawir Sjadzali ini, bagi Indonesia

dewasa ini.

2. Manfaat Akademis

a. sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi studi-studi yang akan

datang, judul skripsi yang penulis angkat diharapkan akan menambah

jumlah studi mengenai politik Islam.

Page 13: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

8

b. secara akademis untuk mendapatkan jawaban terhadap berbagai persoalan

yang terkait dengan perpolitikan Islam dan hubungannya antara Islam dan

politik.

3. Manfaat Praktis.

a. sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan

dibidang ilmu politik

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

1. Jenis dan Pendekatan penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian

kepustakaan ( labrery research ) dengan pendekatan kualitatif. Penulis mencoba

mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang

diangkat. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang di alami oleh subyek penelitian, misalnya prilaku,

persepsi, motivasi tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam

bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan

dengan manfaat berbagai metode alamiah. Adapun dari segi tujuan, penelitian ini

juga menggunakan pendekatan analitis, yang bertujuan menggambarkan keadaan

sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data-

data.7

7 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Rajawali Pres, 2003) cet ke 14, h. 75.

Page 14: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

9

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan dua pendekatan.

Pertama pendekatan sejarah (historical approach) dalam hal ini peneliti

mengeksplorasi perkembangan konsep ataupun pemikiran serta aksi politik objek

penelitian secara kronologis. Dengan mengungkap perkembangan politik Islam

secara kronologis, dari itu akan dapat diketahui dengan lebih mudah perihal

sebab-sebab lahir dan berkembangnya kebijakan-kebijakan pada masa itu. Pada

akhirnya penulis dapat menemukan orisinalitas dan inti dari pemikiran Munawir

tersebut.

Kedua, pendekatan penafsiran (hermeneutical approach), yakni sebuah

metode yang dengan mudah didefinisikan sebagai filsafat penafsiran makna.

Dengan pendekatan ini penulis membahas inti atau pokok bahasan berupa

eksplorasi gagasan-gagasan atau ide Munawir Sjadzali. Kemudian, dari hasil

eksplorasi tersebut penulis mencoba memahaminya dengan penafsiran kritis

terhadap ide dan gagasan Munawir Sjadzali tersebut. Penafsiran dilakukan dengan

mengamati hasil eksplorasi terhadap perkembangan Islam politik secara

kronologis. Hasil yang diharapkan kemudian bisa menjawab seluruh pertanyaan

yang dikemukakan dalam rumusan masalah diatas dan memberikan kesimpulan

yang akurat dan bermanfaat.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Pengumpulan Data

Sebagai implikasi dari pendekatan yang digunakan, maka metode

penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif,

Page 15: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

10

dengan metode ini penulis mengkaji bahan atau data dari sumber tulisan yang

terkait, baik dari sumber primer maupun sekunder. Adapun sumber data yang

bersifat primer adalah dokumen atau karya tulis yang merupakan karya asli

dari Munawir Sjazdali, diantaranya adalah: (1) Mungkinkah Negara Indonesia

Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha Taruna, 1950. (2) Partisipasi Umat

Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Humas,

1984. (3) Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila, 1984. (4)

Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motifasi Kemajuan Bangsa, 1988.

(5) Reaktualisasi Ajaran Islam, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik

Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, 1988. (6) AspirasiUmat Islam

terpenuhi Tanpa Partai Islam, 1992. (7) Islam dan Tata Negara: Ajaran,

Sejarah dan Pemikiran, 1993. (8) Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa

Depan Bangsa, 1993. (9) Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini, 1994.

(10) “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.)

Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan

Paramadina, 1995. (11) Ijtihad dan Kemaslahatan Umat, dalam Haidar Bagir

dan Syafiq Basri (ed) Ijtihad Dalam Sorotan, 1996.

Adapun sumber data yang bersifat sekunder adalah dokumen atau karya

tulis yang ditulis oleh orang atau suatu lembaga tentang sosok objek yang

sedang dikaji. Dengan memberikan kategorisasi dan pengelompokan kualitas

pada data yang diperoleh, baik yang berasal dari dokumen pustaka ataupun

dari data lainnya (internet), kemudian data-data tersebut dianalisis dengan

Page 16: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

11

kritis secara akademis. Oleh karena itu, penulis akan merujuk pada pengkajian

pustaka, baik karya asli maupun terjemahan, juga karya-karya yang sesuai

atau mendukung dengan tema bahasan.

b. Pengolahan data

Metode pengolahan data yang di gunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan hasil-hasil penelitian

yang bersumber dari data primer dan skunder. Kemudian dianalisa dengan

cara menginterpretasikan dari hasi-hasil data yang telah didapatkan.

Kemudian data-data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan tema dan sub-

sub bab yang akan dibahas oleh penulis, kemudian penulis

mendeskripsikannya dengan memeparkan secara sistematis yang disertai

dengan membuat analisis, kritik dan kesimpulan. Analisis yang digunakan

penulis adalah analisis hubungan, yaitu memberikan analisis dengan

menghubungkan uraian dan penjelasan yang terdapat pada bab-bab

sebelumnya diakhir pembahasan.

c. Teknik analisis data

Analisis data dengan metode analisis induktif yaitu dengan melakukan

analisis secara menyeluruh terhadap data-data yang telah didata, kemudian

akan dihasilkan kesimpulan penelitian terhadap permasalahan yang diangkat.

Metode ini dilakukan penulis dengan berbagai langkah, yaitu dengan cara

menghimpun seluruh data-data tersebut dijadikan beberapa bab dan sub bab,

setelah semunya terdata dengan baik, langkah selanjutnya data-data tersebut

Page 17: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

12

dianalisa oleh penulis sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang sesuai

dengan informasi dan data-data yang didapatkan.

d. Teknik penulisan skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi

fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum

(FSH) Universitas Islam Negri (UIN) Jakarta tahun 2007.

E. Landasan Teoritis

Dalam sub bab ini, akan dibahas mengenai landasan teoritis mengenai kajian

yang akan diteliti. Teori yang akan digunakan dalam kajian ini adalah agama dan

negara, seperti yang dijelaskan dalam buku “Fikih Mazhab Negara”. LKIS, 2001.

Menurut buku ini, dalam hubungan agama dan negara terdapat tiga

paradigma; Pertama, paradigma integralistik (unified paradigm), yaitu dimana

agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi politik atau

negara. Dimana negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.

Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan

agama dan kekuasaan politik. Paradigma ini kemudian melahirkan paham negara-

agama, di mana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-

prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa daulah (Islam

agama dan [sekaligus] negara). Sumber hukum positifnya adalah sumber hukum

agama.

Page 18: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

13

Kedua, paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), dimana agama dan negara

berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik

dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan

negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara juga memerlukan agama,

karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan

moral-spiritual.

Ketiga, paradigma sekularistik (secularistic paradigm), paradigma ini

menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik

mengajukan pemisahan (dis-paritas) agama atas negara dan pemisahan negara

atas agama. Konsep ad-dunya al-akhirah, ad-din ad dawlah atau umur ad-dunya

umur ad-din didikhotomikan secara diametral. Dalam konteks Islam, paradigma

ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak

determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara.8

F. Review Studi Terdahulu

Ma'mur, TB Agus, pembaharuan pemikiran di Indonesia tahun 70-an; Studi

Pemikiran Munawir Sjadzali. SPI, Adab IAIN Jakarta, 2002

Abdila, Reaktualisasi Ajaran Islam Analisis Pemikiran Muawir Sjadzali

Tentang Waris, SJAS, Syari'ah IAIN Jakarta 2004.

8 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di

Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 23-33.

Page 19: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

14

Nilayatul Maula, Tinjauan Hukum Islam terhadap Konsep pembagian Waris

laki-laki dan perempuan menurut Prof. Dr. Munawir Sjadzali. MA. PMH

Syari'ah. UIN Syahid Jakarta, 2006. Pembahasan skripsi lebih pada konsep waris

Munawir.

Oktari Liyus, Kontibusi Muawir Sjadzali dalam Peranan Islam dan Kaitanya

dengan Politik di Indonesia. PPI, Ushuludin 2007. Didalam skripsi ini dibahas

mengenai titik sentral dari agenda reaktualisasi Munawir Sjadzali. Yaitu gagasan

tentang konsep ijtihad. Serta lebih fokus pada keterlibatan Munawir Sjadzali

dalam upaya mengembangkan misi untuk meyakinkan lembaga kemasyarakatan

dan keagamaan untuk menjadikan pancasila sebagai Ideologinya.

Dari paparan skripsi yang membahas tentang sosok Munawir Sjadzali di atas,

penulis melihat belum ada yang menggali mengenai Islam dan politik dalam

pemikiran politik Munawir Sjadzali.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Merupakan bab Pendahuluan yang diuraikan tentang Latar Belakang

Masalah, Pemabatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penelitian, Metode Penelitian, Landasan Teoritis, Review Studi

Terdahulu dan Sistematika Penulisan.

Bab II Pada bagian ini akan dibahas mengenai Pengertian Islam Politik, serta

pergulatan sejarah Islam politik di Indonesia dimulai dari zaman

Page 20: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

15

kolonial, menjelang kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru dan juga era

Reformasi.

Bab III Membahas mengenai Riwayat Hidup, Pendidikan, Karya-karya

Munawir Sjadzali, Corak dan Posisi Munawir Sjadzali diantara para

Pemikir Islam pada masanya, serta Pengaruh Pemikiran Munawir

Sjadzali di Indonesia.

Bab IV Membahas dan menjelaskan Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang

Hubungan Islam dan Politik, Pandangan Munawir Sjadzali Tentang

Bentuk dan Sistem Pemerintahan yang ideal, serta Analisa Pemikiran

Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem Pemerintahan, serta

Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia dewasa ini.

Bab V Penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.

Page 21: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

16

BAB II

ISLAM POLITIK DAN PROSES ADAPTASI DI INDONESIA

A. Pengetian Islam Politik

Pengertian Islam politik, menurut M. Rusli Karim dengan mengutip

pendapat dari Syamsuddin1 bahwa yang dimaksud dengan Islam Politik adalah

sebuah pencerminan dari ajaran Islam mengenai hubungan manusia dengan

kekuasaan yang yang diilhami oleh adanya petunjuk dari tuhan, yang tentunya

disini telah tercampuri dengan adanya kepentingan manusia.

Dengan kata lain, bahwa antara agama, syariah dengan negara menurut

paham ini bisa dikatakan nyaris tidak boleh dipisahkan. Bahkan seorang seperti

Imam Syafi’i-pun mengatakan, “…tidak ada politik kecuali ia sesuai syara’—

undang-undang Islam”.2 Tentu saja pandangan serta pemahaman tentang Islam

politik dari banyak pakar Islam banyak yang berbeda, akan tetapi penulis pikir

pada intinya sama. Yaitu, mencoba untuk menghubungkan antara kekuasaan

negara dengan agama.

Intisari dari al-Qur’an sendiri setidaknya ada dua ajaran yang terkandung

didalamnya yaitu, Akidah dan Syari’ah. Yang antara keduanya berhubungan.

1 M. Rusli Karim dalam Bukunya, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu Kajian

Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era

1970-an s/d 1980-an. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 02 2 Shafi L. Dalam, Al-Aqidah wal Siyasah. (harndon: The International Institut of Islamic

Thought, 1996), h. 86

Page 22: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

17

Artinya, tidak ada akidah kalau tidak ada syariah, begitupun sebaliknya. Dari

pemaham syariah disini, banyak para pemikir Islam pada akhirnya memperoleh

satu instrumen yang melatar belakangi kenapa misalkan antara kekuasaan yang

ada di dunia harus tidak boleh terpisahkan.3 Demikianlah kira-kira secara umum

apa yang dimaksud dengan pengertian Islam Politik itu.

B. Islam Politik di Indonesia

Indonesia sebagai mana menurut Ahmad Syafii Ma’arif4 dikenal sebagai

bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sekitar 88 persen rakyat

Indonesia beragama Islam5, namun walupun agama ini tidak resmi menjadi

agama negara seperti yang terjadi di negara Malaysia. Namun terlepas dari

kurangnya sofistikasi intelektual sebagian besar rakyat dalam memahami ajaran

Islam. Baik karena faktor sejarah maupun kultural. Islam di Indonesia adalah

suatu agama yang hidup dan begitu vital, yang kini sedang terlibat dalam proses

transformasi dari posisi kuantitas ke posisi kualitas.

3 Menurut Musa, M.Y. dalam bukunya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, (Khairah: Dar al-Katib

al-Arabi Littaba’ah wa al-Nasyr, 1963). Sebagai mana yang dikutib oleh M. Rusli karim dalam

bukunya, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu kajian mengenai Implikasi kebijakan

pembangunan bagi keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era 1970-an sam 1980-an. Mengatakan,

bahwa akidah-lah yang menghubungkan antara seorang hamba dengan tuhannya. Ia tidak berubah

karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan syari’at juga menghubungkan manusia dengan

tuhannya. Yang biasa di sebut dengan Ibadah. Hubungan antara sesama manusia di sebut Mu’amalah, sedangkan hubungannya antara yang di perintah dengan yang memerintah disebut dengan Siyasah.

4Ahmad Syafii Ma’arif, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah

Ketatanegaraan, (Jakarta; LP3ES, 1985), h. 63 5 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,

2005), h. 56

Page 23: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

18

Dengan kata lain, Islam di Indonesia bukanlah suatu produk sejarah yang

telah rampung, namun merupakan suatu proses yang akan terus berjalan.

Berikut penulis akan menjelaskan secara singkat bagaimana sesungguhnya

Islam Politik dalam sejarahnya di Indonesia, di mulai dari zaman Kolonial

sampai zaman Reformasi.

1. Zaman Kolonial

Bahtiar Effendy6 pernah mengatakan bahwa sebenarnya sejarah politik

Islam Indonesia modern merupakan salah satu khasanah perbandingan yang

cukup lumayan untuk di perbandingkan dengan pemikiran-pemikiran politik

keIslaman yang pernah dikembangkan dikawasan Timur Tengah atau dunia

Islam lainya.

Sepanjang sejarahnya yang telah berumur kira-kira setengah abad lamanya

tersebut, pemikiran politik Islam telah mengalami perkembangan kedalam

batas-batas tiga mazhab, dan pada dasawarsa antara tahun 1940-an sampai pada

awal 1960-an, eksperimen, artikulasi dan detik pemikirannya tampak lebih

kurang telah bersifat absolutis dan atagonistik antara pemikir yang berada di

kubu “golongan agama” dan “golongan nasionalis”

Selanjutnya sebagai mana yang di ungkap oleh Ahmad Syafii Ma’arif juga

mengatakan kalau sesungguhnya sebuah penilaian yang pantas terhadap

6 Bahtiar Effendy, dalam Pengantar Gagalnya Islam Politik, Karya Oliver Roy, (Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 63

Page 24: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

19

berbagai pengalaman dan kegiatan politik Islam pada masa muta’akhir

Indonesia terutama tergantung terhadap pengertian yang cukup terhadap Islam

sebagai kekuatan pembebas didalam berhadapan dengan politik kolonial

belanda terhadap umat Islam pada empat dekade pertama abad ini.

Masih menurut Ahmad Syafii Ma’arif semenjak kedatangan Kompeni

India Timur Belanda ke Nusantara yang diperkirakan datang pada permulaan

abad ke-17, tak dapat tersangkalkan bila saat itu umat Islam sudah melakukan

perlawanan yang cukup keras terhadap mereka dan pada tahun 1936, melalui

wawancara dengan koresponden Deli Courent, Gubernur Jenderal B.C de Jonge

nampaknya masih berharap agar kekuasaan kolonial Belanda akan berlangsung

lama di Indonesia.7

Akan tetapi enam tahun kemudian tepatnya pada bulan maret 1942.

Kekuasaan kolonial Belanda di usir dari Indonesia oleh pasukan Jepang tanpa

adanya perlawanan yang berarti dari pihak penjajah Belanda. Kedatangan

Jepang pada mulanya disambut dengan sangat antusias bukan saja oleh umat

Islam melainkan juga oleh seluruh bangsa Indonesia.

Lantaran kesadaran yang mendalam terhadap pentingnya memperbaiki

komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang berasaskan Islam, maka

7 Bahkan dengan sangat pongahnya ia berucap, “Kami sudah berkuasa di sini selama kurang

lebih tiga ratus tahun dengan Cambuk dan Cemeti, dan kami akan berbuat begitu lagi untuk tiga ratus

tahun kedepan” dikutip dari Sutan Sjahrir, Out of Exile, terjemahan dari bahasa belanda oleh Charles

Wolf Jr. (New York: The John Day Company, 1949), h. 122 Lihat A Syafii Ma’arif, Studi Tentang

Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah Ketatanegaraan, (Jakarta; LP3ES, 1985), h. 163

Page 25: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

20

KH. Mansur (Muhamdiyah), KH. Achmad Wahab Hasbullah (NU) dan

pemimpin-pemimpin Islam lainya dari SI, Al-Irsyad, Al-Islam (organisasi Islam

di Solo), Persyerikatan Ulama (Majalengka Jawa Barat) dan lain-lain telah

berhasil membentuk suatu badan federasi MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) di

Surabaya pada tanggal 20 Septermber 1937.8 Inisiatif kearah persatuan dan

saling pengertian ini juga di dorong oleh dua kenyataan.

Pertama, usaha-usaha politis yang bercorak Islam pada saat itu masih

sangat berserakan dan karena itu persatuan amat perlu dilakukan dalam

kerangka perjuangan melawan Belanda. Pentingnya persatuan dikalangan umat

juga sangat dituntut secara tegas oleh al-Qur’an di dalam QS. Ali-‘Imron (3):

103

(#θ ßϑ ÅÁ tGôã $#uρ È≅ö7 pt¿2 «!$# $Yè‹ Ïϑ y_ Ÿωuρ (#θ è%§� x s? 4 (#ρã� ä. øŒ$#uρ |Myϑ ÷èÏΡ «!$# öΝ ä3 ø‹ n=tæ øŒÎ) ÷ΛäΖä.

[ !#y‰ôã r& y# ©9r' sù t÷ t/ öΝ ä3 Î/θ è=è% Λäóst7 ô¹ r' sù ÿϵ ÏFuΚ ÷èÏΖÎ/ $ZΡ≡uθ ÷z Î) ÷ΛäΖä. uρ 4’n? tã $x x© ;ο t� ø ãm zÏiΒ

Í‘$̈Ζ9$# Ν ä. x‹s)Ρr' sù $pκ÷]ÏiΒ 3 y7Ï9≡x‹x. ßÎi t6 ムª!$# öΝ ä3 s9 ϵ ÏG≈ tƒ#u ÷/ ä3 ª=yès9 tβρ߉tGöκsE ) ان� ٣ /�ل �

:١٠٣(

Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan

janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika

kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan

hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang

bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah

8 KH. Mas Mansyur, “Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi” dalam Amir Hamjah,

“Rangkaian Mutu Manikam: Buah pikiran Budiman Kyai Mas Mansur (Surabaya: Penyebar Ilmu &

Ikhsan, 1968), h. 85

Page 26: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

21

menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-

Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”

Ayat ini telah membimbing pemimpin-pemimpin Islam pada waktu

mereka membentuk MIAI, adanya faksi-faksi dibidang politik dan perbedaan-

perbedaan paham dalam soal khilafiyah di kalangan umat perlu dibenahi di atas

dasar semangat persaudaraan dalam MIAI.

Kedua, adanya contoh yang kompotitif dari golongan nasionalis sekuler

yang juga berusaha mempersatukan dirinya. Kenyataan ini telah makin

mendorong pemimpin umat untuk menatap posisi politik mereka secara lebih

kritis, dan persatuan lewat MIAI dipandang cukup memberi harapan pada waktu

itu. Dengan persatuan diharapkan dapat memobilisasi seluruh gerakan-gerakan

Islam untuk menghadapi pihak penjajah. Belum lima tahun setelah kehadiran

MIAI, pasukan Belanda mendarat di Indonesia dan dengan mudah dapat diusir

kembali.

Dari penjelasan sejarah tersebut bisa kita ambil pemahaman, bahwa umat

Islam di dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini sangat kuat sekali,

terbukti dengan banyaknya inisiatif-inisiatif yang mereka lakukan seperti

pembentukan MIAI dan lain sebagainya.

2. Menjelang Kemerdekaan Sampai Awal Kemerdekaan

Seperti yang telah penulis katakan diatas, dua hari setelah pasukan Jepang

menyerah kepada pasukan sekutu, pada tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia

dibawah pimpinan Soekarno dan Mohammad Hata menyatakan

Page 27: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

22

kemerdekaannya. Tetapi negara yang baru lahir ini harus melalui jalan terjal

dalam mempertahankan kemerdekaannya, karena Belanda masih belum puas

dengan masa penjajahannya. Kolonialisme ingin dilanjutkan setelah perang

dunia ke dua. Belanda terlalu sedih meninggalkan Nusantara yang cantik ini.

Sebagaimana Kemal Attatruk, Bung Karno sebagai pejuang pemersatu

bangsa, pejuang melawan kolonialisme dan imperialisme, proklamator

kemerdekaan bangsa Indonesia dan presiden RI pertama juga mempunyai

agenda utama dalam membangun Indonesia modern. Karena itu yang menjadi

agenda utama adalah tentang sistem politik Indonesia. Di awal-awal

kemerdekaan bukanlah hal yang sangat mudah untuk merumuskan hal tersebut.9

Seperti diketahui, semenjak Soekarno menjabat sebagai presiden

Indonesia modern, yang segera menjadi persoalan utama ketika itu adalah tarik

menariknya ideologi negara antara proyek sekularisasi dan Islamisasi.10

Terlebih lagi jika tarik menarik itu dilihat dari persfektif religio-politik, maka

akan semakin nampak bahwa sejarah Indonesia modern memang merupakan

perseteruan abadi antara dua kutub yang saling berlawanan tersebut.

Akibat perseteruan abadi tersebut muncul dua kelompok dikotomis

dengan sederetan tokoh intelektual pendukungnya. Kelompok pertama disebut

9 Herbet Feith dan Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta:

LP3ES, 1988), h. xvii-xxxviii 10

Yudi Latif, “Sekularisasi Masyarakat dan Neagara Indonesia,” dalam Komarudin Hidayat

dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam

Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 115

Page 28: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

23

kelompok teokratis, suatu kelompok yang menginginkan prinsip-prinsip agama

dijadikan ideologi negara. Kelompok kedua disebut kelompok sekuler, suatu

kelompok yang menolak prinsip-prinsip agama dimasukkan dalam ideologi

negara. Dalam hal ini, Soekarno yang memiliki otoritas untuk menentukan

ideologi negara bisa dimasukkan kedalam kelompok yang kedua. Sebab, secara

eksplisit ia selalu menolak formalisasi agama terhadap negara.

Hal ini tercermin dalam perdebatan Bung Karno dengan para petinggi-

petinggi negara dalam pengaturan ideologi dan konstitusional negara. Seperti

dijelaskan, dari perdebatan-perdebatan tersebut memunculkan polarisasi

ideilogi-ideologi kelompok besar, Golongan Nasionalis dan Golongan Agama.11

3. Masa Orde Lama

Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk

dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat

penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai

perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang

membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta

mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan

instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada

pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai

11

Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam :pertautan Agama, h. 68

Page 29: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

24

titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan

koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih

terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional

berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.12

Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa

Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan

berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur

pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah

pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat

mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem

yang otoriter sebagai esensi feodalisme.

Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri

tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas

landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang

berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap

kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa

yang adil dan makmur.

Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden

yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam

12

Suhardiman, Pembangunan Politik Satu Abad, (Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996), h.

50

Page 30: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

25

Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan

penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS

1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan

dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante

melaksanakan tugasnya.13

Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi

terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959

dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut

UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak

memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit.

Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang

dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang

perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham

politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat

berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang

bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar,

tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas

objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan

secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan

13

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Diktat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999,

(Yogyakarta: penerbit UII, 1998), h. 133-134

Page 31: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

26

kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti

“Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment”

tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam

bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang

dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung

(verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi

(gekwalificeerde democratie).14

Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan

multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini

terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan

theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955

melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara

perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini

berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:

(1). Gerakan separatis pada tahun 1957;

(2). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam,

sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada

tahun 1959.

Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam

fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17

14

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2004), h. 141

Page 32: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

27

Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan

tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang

seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata

politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya

memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah

Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu

sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang

sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada

tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga

walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.15

4. Masa Orde Baru

Peralihan kekuasaan dan pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru

ditandai dengan turunnya Soekarno dan kursi kepresidenan pasca kudeta

G30/S/PKI pada tahun 1965.16

Peristiwa politik tersebut telah berimplikasi

kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan

massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan sistem

15

Sebagian pengamat sejarah asing berpendapat bahwa peristiwa Jakarta 1965 merupakan

skenario hebat dari sebuah kup yang didalangi oleh Dinas Intelijen AS, CIA 16

Mochtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, h.

47-53.

Page 33: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

28

politik dan pemulihan keamanan negara.17

Puncaknya terjadi pada tahun 1966,

di mana pada saat itu situasi dan stabilitas dalam negeri Indonesia semakin carut

marut. Pada gilirannya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret

(Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang pada intinya berisi perintah untuk

pemulihan kamanan dan ketertiban nasional, konsolidasi semua aparat militer

dan sipil, serta pelaporan atas segala tugas dan tanggung jawab surat perintah

tersebut.18

Proses politik dalam negeri saat itu berjalan sangat cepat. Jenderal

Soeharto secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemegang kendali

atas setiap proses politik. Ia mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi

percepatan dan pemulihan kondisi sosial, politik dan ekonomi saat itu, hingga

digelarnya Sidang Umum MPRS pada bulan Juni - Juli 1966. Ketetapan MPRS

No, TX/MPRS/1966 rnenjadi landasan konstitusinal bagi Supersemar dan

sekaligus digelarnya Sidang Umum MPRS tahun 1967 berhasil menggusur

Soekarno dari kursi kepresidenan berupa pencabutan mandat presiden oleh

MPRS dalam Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Hal ini telah memuluskan

jalan bagi Soeharto untuk naik ke puncak kekuasaan yakni diangkat menjadi

17

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), Ke-

3, h. 140. 18

Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1978

Bab. VII.

Page 34: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

29

presiden kedua yang ditetapkan dalam ketetapan MPRS

No.XLITI/MPRS/1968.19

Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh kalangan pelajar dan mahasiswa

yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan

Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) yang para anggotanya

mayoritas beragama Islam. Dapat dikatakan, mereka menjadi ujung tombak

runtuhnya pemerintahan Orde Lama. Pada awal Orde Baru banyak dilakukan

perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggung jawab

yang merupakan warisan Orde Lama. Dengan memakai format politik yang

berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk tujuan

melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintah yang stabil dan kuat.

Kekuatan militer dan birokrasi merupakan mesin politik untuk menata

kehidupan sosial dan politik masyarakat, sehingga Orde Baru melalui dua

komponen tersebut menjadi kekuatan politik tunggal di Indonesia.20

Adapun format politik yang tercipta antara lain21

: Pertama, peranan

birokrasi sangat kuat karena dijalankan oleh militer setelah ambruknya

demokrasi terpimpin, sehingga ia menjadi satu-satunya pemain utama di pentas

politik nasional. Kedua, upaya membangun sebuah kekuatan organisasi sosial

19

Fuad Hasan, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto,

(Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991), h. 26 1-262. 20

Lance Castle, Birokrasi dan Masyarakat Indonesia, (Surakarta: Hapsara, 1983), h. 27. 21

Affan Gaffar, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1999), h. 37.

Page 35: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

30

politik sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah dalam wujud

lahirnya Golkar sebagai mayoritas tunggal organisasi politik di masa Orde Baru.

Ketiga, penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi massa,

seperti menerapkan konsep floating mass dan NKK/BKK di lingkungan

pendidikan tinggi. Keempat, lebih menekankan pendekatan keamanan (Security

Approach) dan pendekatan kesejahteraan (Welfare Approuch) dalam

pembagunan sosial politik; kelima, menggalang dukungan masyarakat melalui

organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan yang berbasis korporatis.

Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah

diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma

perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses

transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang

pernah terjadi di negara-negara Barat. Kiblat pembangunan di Indonesia yang

sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan

Amerika. Serta banyaknya kalangan cendekiawan dan kalangan intelektual yang

mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat. Sementara itu, bagi kalangan

Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni

apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung

Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan

Page 36: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

31

kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan

nasional.22

Sikap pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi

modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu

bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar

pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa

modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif,

yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak

bertentangan dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap

dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi

modernisasi. Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih

dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan

modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam

modern di Indonesia. Hal ini terjadi sebagai antitesa dari kalangan Islam

konservatif yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi

Islam secara formal yang mengakibatkan lahirnnya ketegangan dengan rezim

Orde Baru.

Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik

bagi Islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya

22

M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung:

Mizan, 1993), h. 381-382.

Page 37: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

32

umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada

gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi urnat Islam

untuk tetap memainkan perannya dalam pentas politik nasional Paling tidak,

kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya

jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun

1970-an.23

Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam

posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan

berbagai ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa

dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami

pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif.

Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang

hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang

kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah

telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan

konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.24

Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982- 1985) kaum santri

berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya

23

M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru:

Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 32-235; Lihat juga Fachry Ali dan

Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde

Baru, (Bandung: Mizan, 1985), h. 108-110. 24

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang

Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 9.

Page 38: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

33

untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada

tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian

akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu

1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam

landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan

akomodatif (1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di

mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan

birokrasi, Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya

aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan

budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa

yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945.25

Namun demikian, khusus dalam sudut pandang perkembangan hukum

Islam di Indonesia kesempatan umat Islam untuk mendapatkan hak-haknya

pada pola hubungan antagonistik lebih tampak. Posisi umat Islam yang begitu

lemah, seperti ketika merumuskan UU Perkawinan No.1 tahun 1974, aliran

kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), isu

ekstrim kanan, isu suku, agama dan ras (SARA), isu kristenisasi dan kebijakan

ekonomi kapitalistik. Protes umat Islam atas UU Perkawinan No.1/1974 yang

disusul dengan PP No.9/1975, dianggap sebagai usaha Orde Baru untuk

25

Ibid., h. 238-239.

Page 39: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

34

menggeser Hukum Islam dari akar tatanan sosial masyarakat Islam di

Indonesia.26

Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada tahap

antagonistik lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan yang

tidak harmonis berupa konflik ideologis. Jika sebelumnya pada masa Orde

Lama Islam lebih nampak mengkristal dalam bingkai organisasi politik

Masyumi, tegas berhalapan dengan ideologi nasionalis sekuler (PNI

Soekarnois) dan ekstrim kiri PKI, selanjutnya pada masa Orde Baru Islam

terbelah dan terpecah-pecah dari bingkai Masyumi. Hal ini terjadi karena

kebijakan ketat pemerintah Orde Baru dalam merespon munculnya ideologi

Islam politik yang menguat kembali.

Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak

perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU

Perkawinan No.1/1974 yang kemudian disusul dengan PP No.9/1975.

Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No.28/1977.

Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali

mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama

resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam

untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-undang Peradilan Agama

26

Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1996), h. 88-90.

Page 40: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

35

(RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.27

Kemudian pada

pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk

menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini,

kalangan cendekiawan dan politisi Islamharus berani bersentuhan langsung

dengan pemerintahan Orde Baru.28

Melalui pendekatan struktural-fungsional,

umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam

dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan

sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil

Islam dan militer.

Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya

Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat

realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di

pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak

baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika

diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UUPA No.7/1989 sekaligus

menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur

dalarn UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14/1970, disusul dengan UU

Perbankan No.10/1998 (pengganti UU No.7/1992), UU Zakat No.38/ 1999,

27

Ahmad Sukarja, ‚Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, dalam Cik

Hasan Bisri (ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), h. 24-25. 28

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi, h. 241.

Page 41: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

36

KHI Inpres No.1/1991.29

Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam

demikian tampak mulai dan pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis

sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan

Islam sebagai kakuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni

secara represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini

merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam

dan negara di Indonesia.

5. Masa Reformasi

Transisi demokrasi Indonesia pasca reformasi mengubah wajah

perpolitikan Indonesia. Kondisi negara yang tidak karuan menuntut berbagai

pihak merasa perlu untuk mendesakkan demokrasi, kebebasan, transparansi,

akutanbilitas publik, atas persoalan-persoalan bangsa, berkaitan dengan seluruh

tananan masyarakat. Tak ayal pertentangan dan konflik sosial terus terjadi.

Berbagai kepentingan, baik yang mendasari atas nama bangsa dan kelompok

tertentu, juga ikut mewarnai. Terbukanya katub-katub kebebasan dalam

berpendapat, berkumpul, dan berserikat menjadi salah satu pendorong

menguatnya gerakan masyarakat sipil. Di satu sisi, gerakan ini menjadi harapan

karena mampu mendorong dan menjadi stabilisator pemerintahan, namun di saat

yang lain semakin mengancam. Kegetiran masyarakat atas berbagai persoalan

29

20 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama dan Peradilan Islam, dalam Cik Hasan Bisri. h. 116-

117.

Page 42: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

37

terutama dalam hal ekonomi, politik, dan degradasi moral menjadikan

masyarakat mencari alternatif baru. Salah satunya adalah munculnya berbagai

pemikiran politik Islam yang kemudian melahirkan banyak gerakan. Konsolidasi

di tingkatan negara terus dilakukan, namun pada saat yang sama, terdapat

konsolidasi internal di kalangan umat Islam. Fenomena ini dapat dibaca dari

munculnya gerakan politik Islam dengan berbagai isu aktual. Penegakan syariat,

negara Islam, khilafah Islamiyah, masyarakat madani, dan gerakan-gerakan

pelegal-formalan Islam dalam kehidupan politik.

Selama Orde Baru (Orba), kekuatan politik Islam mengalami pasang surut.

Pada masa awal Orba, Islam mengalami peminggiran dari negara. Umat Islam

merasa kesulitan mengembangan gagasan-gagasan mengenai sosial-politik

karena rezim Orba yang represif. Islam sedikit memperoleh angin segar saat

masuk masa pertengahan akhir rezim Orba, namun kepentinganya juga masih

banyak dikooptasi negara.30

Pada era reformasi, menguat pemikiran politik Islam dan juga muncul

reaksi balik dari berbagai kelompok yang bersebrangaan. Kondisi ini

memunculkan tiga kubu dalam masyarakat. Pertama, menginginkan legalitas

politik Islam dalam sistem negara. Kelompok ini dikenal dengan kelompok

simbolis, yakni berpegang pada model legalitas simbol-simbol Islam. Kedua,

30

Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia; Pertautan Negara, Khilafah,

Masyarakat Madani, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet Ke-I h. 18-20

Page 43: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

38

kelompok yang menolak masuknya sistem Islam dalam negara, namun merasa

perlu memasukan etos atau spirit Islam dalam mendasari sistem negara.

Kalangan ini dikenal dengan kelompk subtansialis. Ketiga, adalah kelompok

yang membedakan antara kawasan pribadi dan publik dalam kenegaraan. Agama

adalah wilayah pribadi yang tidak dapat dicampurkan dalam sistem publik,

negara. Kelompok ini kemudian dikenal dengan kelompok liberal.

Kelompok pertama menyakini bahwa kegagalan bangsa Indonesia

membangun negara yang kuat adalah karena sistem yang dianut adalah sistem

negara sekuler. Islam menjadi solusi atas segala krisis bangsa; kepemimpinan,

ekonomi, relasi sosial dalam masayarakat dan moralitas. Masyarakat Indonesia

perlu mengambil pedoman hidup dari inti sari nilai-nilai Islam dan praktik

kenegaraan Islam masa Rasulullah. Pemahanan ini sendiri melahirkan banyak

model gerakan Islam di Indonesia saat ini.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front

Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim

Indonesia (KAMMI) merupakan gerakan sosial-politik keagamaan Indonesia

kontemporer. Gerakan-gerakan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena

pada masa Orde Lama juga sudah muncul gerakan politik Islam serupa. Model

pemikiran gerakan Islam Indonesia memiliki kemiripan karekteristik, yakni

menuntut adanya legalisasi Islam dalam sistem sosial ataupun politik Indonesia.

Bahkan, HTI sangat getol untuk meng-goal-kan khilafah Islamiyah atau

pemeritahan Islam di Indonesia. Bagi HTI, pemerintahan Islam merupakan suatu

Page 44: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

39

keharusan yang wajib ditegakkan. Model negara yang diimpikan HTI adalah

transnasional yang membatasi wilayah geografis atau melintasi batas-batas

negara yang sudah ada. Pemikiran negara HTI banyak terinspirasi pemikiran

tokohnya Taqiyuddin an-Nabanyy dari Palestina. Pemikiran politik HTI banyak

terispirasi model pemerintahan Rasulullah di Madinah dan kemudian

berkembang pada sistem khilafah Islamiyah. Sementara, khilafah Islamiyah

sendiri runtuh pada 1924, masa kepemipinan Turki Usmani dihancurkan

kekuatan kapitalisme Barat.31

Berbeda dengan HTI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) memandang

bahwa pentingnya formalisasi agama dalam sistem sosial politik Indonesia.

Sepintas, MMI tidak memiliki ide pendirian negara agama, namun lebih

mengedepankan simbolisasi agama dalam negara. Inilah yang membedakan

antara HTI dan MMI dalam menegakkan Islam.

Bagi MMI, siapa pun yang menentang penegakan syariat harus ditentang

dan dilawan, sekalipun dengan kekerasan. Doktrin ini kemudian banyak menjadi

pemicu ketegangan di antara umat Islam, terutama kalangan moderat dan liberal.

Tidak jarang, perbedaan pemahanan ini menimbulakan gesekan dan konflik

keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini. Laskar Jihad, FPI, dan KAMMI

memiliki orietasi yang kurang lebih sama dengan MMI. Namun, masing-masing

memiliki karakter yang berbeda dalam gerakan keagamaannya. Gerakan-gerakan

31

Ibid, h. 386

Page 45: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

40

ini pun sering menimbulkan gesekan ketegangan di antara umat Islam dewasa

ini. Pertikaian antara FPI dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan di Lapangan Monas Jakarta (1/06/08) merupakan

fakta atas hal ini.

Page 46: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

41

BAB III

BIOGRAFI MUNAWIR SADZALI

A. Riwayat Hidup Munawir Sjadzali

Dilahirkan di sebuah desa bernama Karanganom sekitar delapan kilometer

dari ibu kota Klaten, Jawa Tengah. Ibunya bernama Tas`iyah sedangkan

ayahnya bernama Abu Aswad Hasan Sjadzali yang biasa dipanggil Mughaffir.1

Keluarganya merupakan keluarga yang tergolong miskin, sehingga tidak

jarang ketika masih di Sekolah Rakyat, Munawir kecil berangkat sekolah pada

pagi hari tanpa sarapan terlebih dahulu, kecuali setelah satu hari sebelumnya

ibunya menjual kelapa dan dengan hasil menjual kelapa itu dibelikan bahan

makanan untuk sarapan keesokan paginya. Pengiriman uang saku yang tertunda

bahkan sering kali dikurangi serta biaya sekolah (SPP) yang selalu menunggak

saat menimba ilmu di Manba`ul `Ulum, serta mungkin yang tidak pernah dia

lupakan adalah ketika ibunya harus menjual jarit (kain panjang) bekas yang

masih lumayan bagus untuk menebus ijazah aliyahnya.

Meskipun secara ekonomi keluarganya sangat kekurangan, namun secara

agama keluarganya tergolong baik, dikarenakan ayahnya yang pernah mondok

di berbagai pesantren tradisional yang cukup terkenal saat itu, seperti Pesantren

1 Nama Tua, yaitu nama yang diberikan karena tradisi masyarakat Desa Karanganom kepada

setiap pasangan laki-laki dan perempuan yang baru menikah, dengan nama tua itulah pasangan itu

dipanggil baik oleh keluarga maupun oleh kawan dekat.

Page 47: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

42

Jamsaren (Solo, Jawa Tengah), Pesantren Tebu Ireng (Jombang, Jawa Timur),

dan Pesantren Termas (Pacitan, Jawa Timur).

Selain itu, ayahnya juga seorang yang aktif di organisasi Muhammadiyah.

Bahkan ayahnya pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Ranting

Muhammadiyah di kampungnya. Selain itu, ayahnya juga termasuk pengamal

atau pengikut tarekat Sjadzaliyah yang merupakan salah satu ordo mistik dalam

mistisisme Islam.

Di lingkungan masyarakat Desa Karanganom, ayahnya juga mendapatkan

panggilan Kyai, sebuah panggilan kehormatan untuk seseorang yang dianggap

memiliki wawasan ilmu-ilmu agama yang luas sekaligus pengakuan sebagai

pemimpin informal bagi masyarakatnya.

Munawir Sjadzali adalah anak sulung dari delapan bersaudara, lahir pada

pukul 10 pagi hari Sabtu Pon, tanggal 19 Bakdo Mulud (Robi`ul Akhir) tahun

Be, menurut ibunya yang buta aksara latin. Ketika Munawir Sjadzali duduk di

bangku Madrasah Aliyah Manba`ul Ulum, ia mendapatkan pelajaran Ilmu

Falak, dengan ilmu itu ia menemukan bahwa tanggal kelahirannya adalah 7

November 1925.2

Karir Munawir dimulai sebagai guru SD Islam di Unggaran, Semarang

(1944-1945) selepas dari Manba`ul `Ulum. Proklamasi kemerdekaan di bulan

Agustus 1945, membawa perubahan besar di Gunungpati yang perbatasannya

2 Konversi ini sesuai dengan yang terdapat dalam buku Almanak 130 Tahun, 1870 – 2000,

terbitan PT. Citra Jaya Murti. Lihat M. Wahyuni Nafis, et.al., Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun

Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), Cet. I, h. 7.

Page 48: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

43

dengan Kota Semarang hanya dibatasi oleh aliran Kali Garang yang dangkal.

Sehingga Gunungpati, secara langsung atau tidak langsung menerima dampak

pertama dari apa yang terjadi di Kota Semarang, terlebih ketika terjadi

“Pertempuran Lima Hari” yang dengan sendirinya menimbulkan masalah-

masalah politik, keamanan, ekonomi, dan sosial.

Dan seperti yang terjadi di banyak daerah di republik yang masih sangat

muda saat itu, di Gunungpati juga segera terbentuk Gerakan Angkatan Muda

guna mempertahankan kemerdekaan. Munawir segera bergabung di dalamnya

dan terpilih sebagai ketuanya. Inilah kiprah politik yang pertama kali

digelutinya.

Selama masa mempertahankan kemerdekaan, Munawir menjadi

penghubung antara Markas Pertempuran Jawa Tengah dengan Badan-badan

Kelaskaran Islam yang ada saat itu (1945-1949). Pada hal tugasnya sebagai

penghubung berawal dari ketidaksengajaan, hal ini bermula ketika

diselenggarakan Kongres Pemuda di Yogyakarta. Seusai kongres Munawir dan

kawan-kawannya kembali ke Gunungpati, namun truk yang mereka tumpangi

terhenti di Ambarawa lantaran jalannya terhalang oleh potongan-potongan

pohon yang ditebang oleh para pejuang. Saat itulah muncul keinginan dari

kawan-kawannya untuk bergabung dengan kesatuan-kesatuan para pejuang.

Akhirnya, Gerakan Angkatan Muda yang dipimpinnya membubarkan diri. Dan

Page 49: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

44

Munawir sendiri, memilih untuk bergabung dengan kesatuan pejuang Islam

Hizbullah.3

Selain Hizbullah, organisasi lain yang juga memilki peran yang sama

dalam mempertahankan kemerdekaan dan sama besar pengaruhnya di Jawa

adalah Sabilillah, namun antara keduanya tidak ada koordinasi sehingga sering

terjadi misskomunikasi. Maka untuk menjembatani keduanya, dibentuklah

Markas Pimpinan Pertempuran Hizbullah-Sabilillah (MPHS) yang berfungsi

sebagai forum komunikasi dan koordinasi. Ternyata, MPHS tidak hanya

menjadi jembatan bagi komunikasi dan koordinasi antara Hizbullah dan

Sabillah, tetapi juga dengan sesama badan-badan kelaskaran lainnya. Dan

Munawir sebagai orang yang dianggap piawai dalam berdiplomasi

diikutsertakan dalam tugas ini.

Pada Mei 1947, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi

tentang peleburan semua badan kelaskaran, termasuk Hizbullah dan Sabilillah,

ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal Tentara Nasional

Indonesia (TNI). Karena menyadari tidak memiliki memiliki bakat dalam dunia

militer, memilih kembali ke Solo dan kemudian aktif dalam Gerakan Pemuda

Islam Indonesia (GPII). Ketika meletus Peristiwa Madiun, saat itu Munawir

tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Surakarta mewakili GPII. Dan ketika

Belanda menduduki Solo dalam Agresi Militer II, Munawir kembali ke medan

3 Hizbullah adalah semacam unit militer bagi pemuda Islam yang dibentuk pada masa

pendudukan Jepang, tepatnya pada akhir tahun 1944. Lihat Ahmad Syafi`i Ma`arif, Islam dan Masalah

Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 98

Page 50: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

45

pertempuran bergabung dengan kesatuan-kesatuan yang memilih tetap

beroperasi di daerah pendudukan.

Tahun 1949 setelah perang mempertahankan kemerdekaan dan

terlaksananya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, Munawir

kembali ke Kota Semarang, di kota itu ia sering keluar-masuk perpustakaan

pribadi milik KH. Munawar Cholil guna mencari pemuas dahaganya terhadap

ilmu pengetahuan, dengan latar belakang madrasah ia merasa memiliki akses

terhadap kitab-kitab klasik Islam4 dan di tahun 1950 dia menulis sebuah buku

yang berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam ?. Bukunya

kemudian menarik perhatian Bung Hatta, sehingga akhirnya Munawir di

panggil Bung Hatta. Menurut Bung Hatta, secara kualitas buku tersebut perlu

dikembangkan dan berani menentang klise.

Lewat Bung Hatta pulalah, pada 1950 itu Munawir memperoleh pekerjaan

di seksi Arab / Timur Tengah Departemen Luar Negeri dengan tugas pokok

menulis ringkasan surat kabar-surat kabar yang berasal negera-negara timur

tengah. Pekerjaan itu semakin menambah pemahaman globalnya terutama

segala hal yang berkaitan dengan timur tengah.

Setelah satu tahun berada di Inggris dalam rangka melanjutkan studi ilmu

politiknya, maka pada tahun 1954 dia kembali ke tanah air dan segera

ditempatkan di Direktorat Eropa.

4 Dr. Azyumardi Azra, Saiful Umam, (ed.) Menteri-menteri Agama RI Biografi Sosial –

Politik (Jakara: Badan Litbang Agama. Departemen Agama RI bekerjasama dengan PPIM-IAIN

Jakarta, 1998), h. 371

Page 51: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

46

Awal tahun 1955 dia ditarik ke Sekretariat Bersama Konferensi Asia-

Afrika yang membuatnya terlibat penuh dalam urusan kesekretariatan pada

konferensi bersejarah itu.

Pertengahan tahun 1955 untuk pertama kalinya Munawir ditugaskan ke

luar negeri, yakni diperbantukan di Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar

Republik Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat.

Tahun 1959-1963, Munawir diangkat menjadi Kepala Bagian Amerika

Utara, Deplu RI. Kemudian tahun 1963-1965, dipindahtugaskan menjadi

Sekretaris I KBRI di Colombo, Sri Lanka. Tahun 1965-1968 diangkat menjadi

Kuasa Usaha KBRI di Colombo. Selama lima tahun kurang dua bulan dia di

Colombo, sehingga ketika di tanah air terjadi peristiwa G30S / PKI, Munawir

sedang bertugas di sana.

Kemudian tahun 1969-1070, dia menjabat Kabiro Tata Usaha Sekjen

Deplu, lalu antara tahun 1971-1976 menjabat sebagai Minster / Wakil Kepala

Perwakilan RI di London.

Karir Munawir semakin meningkat, sehingga pada 1971-1980 dia

diangkat menjadi Duta Besar Reoublik Indonesia untuk Emirat Arab, yang

meliputi Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab. Tahun 1980, dia

menjabat Staf Ahli Mentri Luar Negeri Republik Indonesia, lalu tahun 1980-

1983 dia menjabat sebagai Dirjen Politik Deplu. Dan di puncak karirnya,

Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Menteri Agama Republik Indonesia

Page 52: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

47

pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), dan pada Kabinet Pembangunan V

(1988-1993).

Prof. Dr. Munawir Sjadzali M.A yang dikenal sebagai seorang diplomat,

birokrat, pendidik, dan sekaligus sebagai pemikir, telah berpulang ke

rahmatullah pada hari Jum`at, 23 Juli 2004 di Rumah Sakit Pondok Indah,

Jakarta, akibat serangan penyakit stroke dan kompilasi dari beberapa penyakit

lainnya.

B. Pendidikan Munawir Sjadzali

Munawir Sjadzali kecil menerima pengajaran dan pendidikan dari

ayahnya sendiri, kemudian ia juga mendapatkan pengajaran dan pendidikan

dari Sekolah Rakyat (selama tiga tahun), kemudian dari Pondok Pesantren dan

Madrasah, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasatul Islam, dan Madrasah

Manba`ul Ulum5 yang terletak di Solo.

Ketika di Madrasah yang juga Pondok Pesantren Manbaul `Ulum inilah

dia mulai belajar Bahasa Arab yang meliputi mata pelajaran Nahwu (Imrithi,

Mutammimah, dan Alfiyah), Shorof, Bayan, Ma`ani, Badi’, dan Arudl. Serta

Theologis, Hadits, Tafsir (Al Jalalain), Fiqih (Fathul Qarib, Safinatunnajjah,

Fathul Mu`in, Fathul Wahhab, dan Al Muhadzab), Ushul Fiqh (Irsyadul Fuhul,

5 Manbaul Ulum dikenal sebagai perintis dan pelopor pembaharu pendidikan Islam modern

secara selektif mempergunakan sistam pendidikan barat. Didirikan tahun 1905 oleh R. Adipati

Sosrodiningrat dan R. Penghulu Tafsirul Anam. Pada mulanya, lembaga pendidikan ini hanya

berbentuk pesantren tradisional, kemudian pada 1916 diadakan modernisasi dengan sistem kelas, dari

kelas I sampai XI. Lihat Mahmud Yunus, Pendidikan Agama dan Pengembangan Pemikiran

Keagamaan, (Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI, 1985), h. 23.

Page 53: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

48

dan Waroqot), Falaq, Balaghah, dan Ilmu Hitung.6 Intelektualitas Munawir

semakin teguh ketika pada masa berkarir dia tidak hanya menguasai bahasa

Jawa, Melayu, dan Arab. Tetapi juga menguasai bahasa Inggris, dan Prancis.

Pada tahun 1953, Munawir berangkat ke Inggris untuk belajar ilmu politik

di Universitas College of Sout West Of England, Exter. Dan sekembalinya dari

Inggris, dia sempat ditempatkan di Direktorat Eropa, kemudian terlibat penuh

dalam urusan kesekretariatan pada Konferensi Asia-Afrika yang

diselenggarakan di kota Bandung pada awal tahun 1955.

Setelah konferensi Asia-Afrika selesai, dia diperbantukan di

Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC,

Amerika Serikat. Kesempatan ini dia manfaatkan untuk melanjutkan studinya

sambil meniti karir, sehingga pada 1959 Munawir menyandang gelar Master of

Arts dalam Bidang Ilmu Politik di Universitas Goergetown dengan tesis

“Indonesia’s Moslem Pasties and Their Political Concept”.

Setelah mendapatkan gelar M.A, karirnya terus meroket, berpindah dari

satu tugas ke tugas yang lain, sampai akhirnya oleh Presiden Soeharto dia

diangkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia selama dua periode, yakni

pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), dan pada Kabinet Pembangunan V

(1988-1993).

6 Munawir Sjadzali, Pendidikan Agama dan Pengembangan Pemikiran Keagamaan, (Jakarta:

Biro Hukum dan Humas Depag RI, 1985), h. 23

Page 54: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

49

Di sela-sela kesibukannya dalam melaksanakan tugas negara, dia juga

dipercaya sebagai Guru Besar pada Program Pascasarjana IAIN, Jakarta.7

C. Posisi Munawir Sjadzali Diantara Para Pemikir Islam Pada Masanya

Sekembalinya dari luar negri, dan menjabat sebagai Menteri Agama,

ketika itu pula, ia mulai melancarkan pemikiran-pamikirannya mengenai Islam.

Agaknya Munawir tidak mengetahui perkembangan pemikiran Islam di tanah

airnya sendiri. Ia kurang menyadari bahwa pembaharuan atau penyegaran

pemikiran tentang Islam telah dimulai oleh orang-orang muda, seperti Nurcholis

Madjid pada tahun 1970, Ahmad Wahid dan Djohan Effendi yang diikuti oleh

Abdurrahman Wahid dari sayap tradisional. Serta dari kalangan yang lebih

senior yaitu Harun Nasution, yang menyebarkan paham pembaharuan

pemikiran Islam Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di IAIN.8

Sejak aktif dalam pemikiran di Indonesia, Munawir boleh dikatakan

menjadi fenomena “Kembalinya Si Anak Hilang” ia memilih jalan kritik,

bahkan kritik tajam dan langsung, dari pada jalan persuasif. Ini disebabkan

karena ia merasa memiliki penguasaan literatur keagamaan langsung dari

bahasa Arab yang dijalin dengan pendekatan ilmu politik Barat yang tidak

7 Munawir Sjadzali; “Dari Lembah Keminskinan; Meniti Karir Merangkap Belajar”, M.

Wahyuni Nafis, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A.,

(Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), cet. I. h. 42-74. 8 M Dawam Rahardjo, Pulangnya Si Anak Hilang: Posisi Munawir Sjadzali di Tengah

Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Islam, Komarudin Hidayat, Ahmad Gaus AF, (ed.), Negara dan

Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet. Ke-I, h.

10

Page 55: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

50

kentara, yang ia pelajari secara akademis di AS, namun ia lebih menampilkan

diri dan percaya diri sebagai seorang ahli fikih lulusan Manba’ul Ulum, Solo.

Pendekatannya yang konfrontatif, antara lain karena ia mendapat

dukungan politik yang kuat dari rezim Orde Baru yang berkuasa dan merasa

sangat kuat otoritas politiknya itu, menyebabkan ia mendapatkan perlawanan

yang sangat sengit sebagaimana dialami oleh Nurcholish Madjid, Ahmad Wahid

dan Harun Nasution. Namun Munawir merasa sama sekali tegar untuk terus

menerus mengemukakan pendapatnya yang “kontroversial” itu.

Dalam menjalankan misinya, Munawir telah menulis berbagai artikel,

ceramah dan pidato resmi sebagai Menteri Agama. Dalam setiap pidato,

ceramah dan artikelnya, ia selalu bersikap polemis, buktiya telah mengundang

komentar lisan maupun tulisan terutama dari tokoh-tokoh Islam. Jika

dibandingkan dengan Nurcholis Madjid yang dikenal Kritis dan juga polemis

itu, tokoh yang lebih muda itu jauh lebih santun. Disamping kritik, Nurcholis

Madjid masih membawa dakwah yang memberikan semangat, yaitu semangat

peradaban Islam. Tapi Munawir lebih mengarah kepada kritik dan perubahan.9

D. Corak dan Pengaruh Pemikiran Munawir Sjadzali di Indonesia

Munawir Sjadzali adalah seorang pemikir yang lebih maju dari

kebanyakan orang dimasanya, terbukti pada tahun 1950-an seusai mengikuti

Muktamar GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia) di Semarang. Munawir

9 Ibid, h. 14

Page 56: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

51

Sjadzali—yang seorang lulusan Madrasah Islam, Manba’ul Ulum—menulis

sebuah buku kecil setebal 80 halaman yang ternyata sangat orisinal mengenai

pemerintahan dan negara Islam, dengan judul “Mungkinkah Negara Indonesia

Bersendikan Islam?”10

Tulisan yang mungkin kurang ia sadari pentingnya itu,

dengan takdir Tuhan jatuh ketangan Bung Hatta.

Karangan itu menarik perhatian Hatta, seorang cendekiawan nasionalis,

dan salah seorang Proklamator Kemerdekaan RI yang menjabat Wakil Presiden

RI pada waktu itu, sehingga mengundang anak muda itu untuk datang ke

Jakarta dan menanyakan apa cita-citanya. Ternyata pemuda lulusan Madrasah

itu berkeinginan untuk menjadi seorang diplomat. Maka ia pun atas

rekomendasi Bung Hatta memasuki Departemen Luar Negeri, dan kemudian

sambil berkerja sempat bersekolah d Kursus Diplomatik dan Konsuler Deplu

dan dilanjutkannya di Universitas Exter, Inggris (1953-1954). Sambil bekerja

sebagai diplomat, ia sempat melanjutkan pelajarannya di bidang politik dan

berhasil meraih gelar MA di Universitas Georgetown, AS, dengan tesis yang

berjudul “Indonesia’s Muslim Parties and Their Political Consepts” sebuah

tema yang aktual mengenai Islam Politik di Indonesia, sebuah tema yang

ternyata dikembangkan lebih lanjut atara lain oleh Dr. A. Syafi’i Ma’arif, Dr.

10

Nafis, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A, h.

45.

Page 57: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

52

Bahtiar Effendy dan Dr. Masykuri Abdillah pada generasi berikutnya dalam

disertasi mereka.11

E. Karya-karya Munawir Sjadzali

Beberapa karya yang telah Munawir Sjadzali tulis mengenai beberapa

bidang, mulai dari pengalamannya sebagai menteri agama, wawasan keislaman,

ketatanegaraan, pendidikan agama, pemerintahan dan tentu saja tentang

perkembangan pemikiran Islam. Adapun beberapa judul tulisan Munawir

Sjadzali antara lain adalah sebagai berikut:

1. Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha

Taruna, 1950

2 Partisipasi Umat Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro

Hukum dan Humas Departemen Agama RI, 1984

3 Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila. Jakarta: Depag RI, 1984

4. Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motifasi Kemajuan Bangsa.

Jakarta: Departemen Agama RI, 1988

5. Reaktualisasi Ajaran Islam”, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik

Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988

6. Sjadzali, Munawir. Aspirasi Umat Islam terpenuhi Tanpa Partai Islam.

Jakarta: Departemen Agama RI, 1992

11

M Dawam Rahardjo, Pulangnya Si Anak Hilang: Posisi Munawir Sjadzali di Tengah

Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Islam, Komarudin Hidayat, Ahmad Gaus AF, (ed.), Negara dan

Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), cet I, h. 4

Page 58: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

53

7. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press,

1993

8. Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. Jakarta: UI Press

1993

9. Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: UI Press. 1994

10. “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.)

Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI

dan Paramadina, 1995.

11. Ijtihad dan Kemaslahatan Umat”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri

(ed) Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1996

12. Partisipasi umat beragama dalam pembinaan nasional.

Munawir adalah seorang pemimpin pembaharu pemikiran Islam dan

mempunyai banyak gagasan. Dialah yang menggagas pertemuan tahunan

Menteri-Menteri Agama Negara Brunei Darussalam, Republik Indonesia,

Malaysia dan Singapura. Ide dan gagasannya dalam kongres Menteri-Menteri

Agama seluruh dunia di Jeddah pada tahun 1988, telah diterima beberapa

negara, sehingga diadakan empat kali pertemuan tahunan untuk meningkatkan

pembaharuan pemikiran perihal Islam di kalangan negara anggota.

Dalam pengabdiannya, ia telah mendapatkan sejumlah penghargaan,

termasuk dari sejumlah negara sahabat. Antara lain, penghargaan Bintang

Mahaputra Adipradana dan Satyalencana Karya Satya Kelas II dari Pemerintah

Indonesia, Great Cordon of Merit dari Pemerintah Qatar, Medallion of the

Page 59: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

54

Order of Quwait-Special Class dari Kuwait, dan Heung in Medal-Second Class

dari Korea Selatan.

Page 60: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

55

BAB IV

ISLAM DAN POLITIK MENURUT MUNAWIR SJADZALI

A. Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan Politik

Ketika pertama sekali pada akhir 80-an, Munawir Sjadzali melontarkan

isu tentang reaktulisasi ajaran Islam yang berkaitan dengan gugatan yang cukup

fundamental pada nas-nas syari’ah. Pada saat itulah ia mulai memasuki

persoalan dilematis antara syari’ah yang bersifat holistik dan realitas ke-

Indonesiaan yang bersifat domestik.

Namun di luar dari pengemukaan ide tersebut, ia telah mencoba

membangun karakter baru syari’ah, yang dalam lontaran politik, dikenal dengan

istilah “membangun peradaban dan karakter masyarakat yang khas Indonesia

(nation state and character building), yang pluralistik dan anti diskriminasi

berdasarkan apapun”. Persamaan equalitas pria dan wanita dalam pandangan

berbangsa, seperti terumuskan dalam UUD 1945, tidak hanya dalam urusan

waris, tetapi hampir pada seluruh aspek kehidupan. Sementara itu dalam tafsir

al-Qur’an dan al-Hadis dilema tersebut hampir terjadi di setiap aspek

kehidupan. Dilema yang sama juga terjadi pada pergaulan antar umat beragama,

antara muslim dan non muslim. UUD 1945 anti terhadap diskriminasi

berdasarkan gender, agama dan lainnya, sedangkan syari’ah memberlakukan

sebaliknya.

Page 61: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

56

Menghadapi realitas seperti demikian, umat Islam Indonesia dihadapkan

pada dua pilihan; antara menggunakan syari’ah yang ada secara fundamental,

dengan konsekuensi umat Islam termarginalkan dalam pergaulan masyarakat

modern yang berkembang dengan sangat kompleks, atau menyerahkan kepada

hukum sekuler secara absolut tanpa bantahan, yang berarti meninggalkan

doktrin al-Qur’an dan al-Hadis. Kemungkinan lain adalah menjadikan al-Qur’an

dan al-Hadis sejalan dengan semangat perkembangan masyarakat, dengan tetap

konsisten, tanpa mengubah identitas dasar Islam. Pilihan inilah yang kemudian

didengungkan oleh beberapa pembaharu modern Islam termasuk Munawir

Sjadzali.

Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tidak

disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran

politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan

baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika

berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya secara genial ia mampu

memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda

berdasarkan beberapa kerangka teoritisnya.

Sebagai Menteri Agama, Munawir telah beberapa kali mengeluarkan

kebijakan berkenaan dengan kehidupaan keagamaan dan lembaga keagamaan.

Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada di bawah semangat

Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara.

Rumusan yang diajukan Munawir memiliki afinitas dengan mainstream

Page 62: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

57

kebijakan negara yang ingin meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas

bagi seluruh organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk

yang berhaluan keagamaan. Konsep-konsep yang dibawa Munawir mendapat

dukungan sepenuhnya dari negara. Tidak heran jika semasa Munawir menjabat

Menteri Agama pemerintah Orde Baru mengakomodasi banyak kepentingan

umat Islam. Tercatat beberapa peraturan-peraturan yang nampaknya

menguntungkan Umat Islam sebagai hasil konsesi pemerintah terhadap keadaan

umat Islam dan Departemen Agama seperti UU No. 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama dan Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam.1

Dalam pemikiran politik Munawir Isu negara Islam itu sebenarnya sangat

modern—artinya pada zaman nabi tidak pernah ada perdebatan apakah perlu

negara Islam atau tidak. Tetapi begitu ada konsep tentang negara, dan ada

pengertian baru tentang pemerintahan modern, maka wacana tentang negara

Islam mulai lahir. Maka wacana negara—seperti Islam—sebenarnya berkaitan

dengan perkembangan baru dunia Islam pasca-kolonial, bukan wacana

berdasarkan syari’ah yang abadi dan tidak berubah. Tema melawan teokrasi ini

biasanya dibicarakan dengan cara silent syari’ah.2 Kunci utama dari pendukung

1Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan

Ketegangan Ideologis” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI;

Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, 1998), h. 411 2 Dalam perspektif pemikiran ada tiga cara pembacaan syari’ah golongan Islam Liberal ini:

(1) The liberal syari’ah (suatu model yang menganggap bahwa syari’ah itu sendiri berwatak liberal

jika ditafsirkan secara tepat); (2) The silent syari’ah ( Islam menjadi liberal karena syari’ah

mendiamkan topik-topik tertentu, sehingga umat Islam bebas mengadopsi watak liberalisme); dan (3)

Page 63: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

58

tema ini adalah penolakan terhadap apa yang disebut “mitologi negara Islam”,

yaitu sebuah negara yang berdasar pada pemahaman total hukum Islam

(syari’ah) dan peleburan monopolistik kekuasaan dan agama. Gerakan ini juga

mendesakkan dialog antar agama dan perjuangan untuk menciptakan sebuah

masyarakat politik demokratis dan pluralistik.

Dalam konteks Indonesia, masih menurut Munawir, mengkaji gerakan

Islam politik tidak bisa dinilai secara apriori sebagai bentuk tentatif dari tarik

menarik kepentingan di ranah politik saja. Gerakan Islam politik di Indonesia

tidaklah hadir secara spontan. Paling tidak ada empat hal yang melatarinya.

Pertama, globalisasi, dengan medium kecanggihan teknologi komunikasi,

seperti televisi, internet dan sebagainya, telah menyingkap tabir-tabir

penindasan dan kekerasan yang dialami sebagian masyarakat Islam di berbagai

belahan dunia seperti Pelestina, Afganistan, Irak, sehingga memunculkan

solidaritas umat Islam Global.

Kedua, Islam politik sebenarnya merupakan gejala politik keagamaan

yang tidak bisa dipisahkan dari konteks power struggle. Di dalamnya terjadi

perkawinan yang sempurna antara politik dan agama. Motif-motif politik yang

The interpreted syari’ah (Islam menjadi liberal jika syari’ah ditafsirkan secara liberal, sebab

pemaknaan syari’ah dikembalikan pada penafsiran manusia). Hermeneutika yang paling kontroversial

dari tiga konsep tersebut ialah konsep interpretasi syari’ah, di mana menurut mereka syari’ah perlu

ditafsirkan kembali. Itulah sebabnya golongan ini mencoba melakukan penafsiran. Ketiga istilah ini cukup menarik, karena sejauh ini belum pernah ada yang membuat kategori pembacaan syari’ah yang

tajam seperti ini, yang bisa menyadarkan kita bahwa di kalangan Islam liberal sekalipun ada konflik

penafsiran mengenai Islam dan semuanya dalam koridor klaim mencari otentisitas hukum Islam yang

mampu berdialektika dengan realitas keindonesiaan. Lihat Maksum Fuad, Hukum Islam Di Indonesia:

Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: LKIS, 2005), h. 19

Page 64: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

59

berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaan negara, sebagai sistem

yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya,

sistem ekonomi, dan tata hubungan internasional, mendapatkan legitimasinya

dalam bahasa agama.

Ketiga, “pengalaman” politik Indonesia di awal kemerdekaan, mengenai

rasionalisasi birokrasi yang berimplikasi pada “perampingan” laskar rakyat

hanya pada laskar yang mendapat pendidikan dan pelatihan dari Belanda dan

Jepang sedangkan yang berasal dari “inisiatif” rakyat seperti laskar di bawah

komando Ibnu Hajar di Kalimantan, Kahar Muzakar di Makasar dan sebagainya

tidak mendapat ruang politik dalam pemerintahan yang baru. Akibatnya,

kelompok yang tersingkirkan ini menjadi gerakan “pemberontak” yang

mengusung negara Islam dan penegakan syariat Islam., karena sejak awal

mereka memang menjadikan Islam sebagai simbol perlawanan terhadap

penjajah.

Keempat, adanya “pengalaman” penerapan syariat Islam di masa-masa

kerajaan dahulu, seperti pernah termaktub dalam Undang-undang Sultan Adam

tahun 1835 yang dikeluarkan oleh Sultan Adam al-Watsiq billah, di masa

kerajaan Banjar ataupun yang terjadi Aceh dan Padang-Minangkabau. Hal ini

tentunya menjadi “ingatan“ yang tetap hidup dalam bawah sadar sosial

masyarakat tertentu.

Keempat realitas ini tidak dilihat dalam kerangka “tradisionalis” yang

beranggapan bahwa Indonesia memiliki legitimasi historis dalam penerapan dan

Page 65: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

60

penegakan syariat Islam di Indonesia. Juga bukan dalam kerangka “liberalis”

yang mengganggap bahwa “pengalaman” penerapan syariat Islam tidak

memiliki akar historisnya di Indonesia.

Kerasnya sikap kaum muslim dalam memperjuangkan aspirasi politik

ternyata membawa implikasi negatif—jika tidak boleh dikatakan merugikan—

masyarakat Islam sendiri, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Di

kalangan pemerintah tidak hanya muncul kecurigaan terhadap kaum muslim,

tetapi mereka juga dipandang sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya

bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Situasi demikian pada

gilirannya menimbulkan respons balik. Tidak sedikit pemikir dan aktivis politik

Islam yang memandang negara dengan curiga. Dalam kaitan ini dapat dikatakan

bahwa dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam berkembang

rasa saling curiga antara kelompok Islam dan negara.

Dalam situasi sosial politik seperti inilah Munawir diangkat sebagai

Menteri Agama. Di sini Munawir segera dihadapkan kepada kelompok-

kelompok Islam lama yang masih memperjuangkan ideologi Islam dan secara

apriori menolak Pancasila sebagai asas tunggal; kalangan intelektualisme baru

yang tidak lagi memperjuangkan ideologi Islam atau negara Islam, sebaliknya

malah bersemboyan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan kalangan ormas-ormas

Islam yang lain masih bersikap menunggu.

Perkembangan-perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam

Indonesia tersebut tidak terlepas dari pengamatan Munawir, meskipun secara

Page 66: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

61

formal ia bekerja di Departemen Luar Negeri. Bahkan karena tidak terlibat

langsung dalam organisasi-organisasi Islam, Munawir mengakui dapat

sepenuhnya mendudukkan diri sebagai pengamat. Bahkan dengan posisinya ini,

ia dapat berpikir dan menganalisis secara “objektif” perkembangan yang terjadi

di kalangan umat Islam Indonesia.3

Problematika hubungan Islam dan negara di tanah air sebenarnya setua

Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante pasca kemerdekaan (akhir

tahun 1950-an), masalah ini meruncing dan tidak pernah terselesaikan.

Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang hendak diciptakan, apakah

teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrim yang sulit dipertemukan. Akhirnya jalan

tengah yang paling baik ditempuh yaitu negara yang non teokratis tetapi agama

dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara

oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya.

Pada dasarnya dalam perspektif pemikiran politik Islam, setidaknya ada

tiga paradigma hubungan antara agama dan negara yaitu:

Pertama, paradigma integralistik. Dalam konsep ini agama dan negara

menyatu (integral). Agama Islam dan negara, dalam hal ini tidak dapat

dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah negara (din wa dawlah).

Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan

keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar

3Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan

Ketegangan Ideologis” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI;

Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, 1998), h. 392.

Page 67: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

62

“kedaulatan ilahi” (devine sovereignity) karena memang kedaulatan itu berasal

dan berada di tangan Tuhan.4

Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Hanya saja dalam term politik

Syi’ah, untuk menyebut negara (ad-dawlah) diganti dengan istilah imamah

(kepemimpinan). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi

keagamaan dan mempunyai fungsi menyeleggarakan “kedaulatan Tuhan”,

negara dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis, salah satu wacana yang

dikritik oleh kaum Islam liberal. Negara teokratis mengandung unsur pengertian

bahwa kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan, dan konstitusi negara

berdasarkan pada wahyu Tuhan (syari’ah).

Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham negara

agama, di mana praktek ketatanegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-

prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa dawlah. Sumber

hukum positipnya adalah sumber hukum agama. Selain kelompok Syi’ah,

pendukung paradigma ini juga berasal dari kelompok Suni seperti Hasan al-

Banna, Sayyid Quthb, Sekh Muhammad Rasyid Rida dan Maulana Al-

Maududi.5

Kedua, Paradigma Simbiotik. Menurut pandangan ini agama versus

negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat

4 Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik

Islam” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV (tahun 1993), h. 5. 5 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 130. Baca juga

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 24.

Page 68: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

63

timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara

karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan

agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan

moral dan etika. Paradigma simbiotik ini dapat ditemukan dalam pemikiran al-

Mawardi dalam bukunya al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dalam buku ini ia

mengatakan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen

untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia

(harasah al-din wa al-dunya). Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia

merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan

secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.6

Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syari’ah mempunyai posisi

sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain

al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik

seperti disyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi

kepantasan atau kepatutan politik. Dengan demikian, al-Mawardi sebenarnya

mengenalkan sebuah pendekatan pragmatik dalam menyelesaikan persoalan

politik ketika diperhadapkan dengan prinsip-prinsip agama. Pemikir-pemikir

lain juga berpendapat demikian adalah al-Ghazali (w. 1111) dalam karyanya

Nasihat al-Mulk, Kimiya-yi al-Sa’adat dan al-Iqtisad fi al-I’tiqad.7

6 Dien Syamsuddin, Usaha ., h. 6

7 Ibid., h. 7

Page 69: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

64

Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan

integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai

gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan

negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran

negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk

tertentu dari negara. Pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd al-Raziq,

seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Dalam bukunya al-Islam wa Usul al-

Hukm, Raziq mengatakan bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak

mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem

pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalihan Khulafa’ al-Rasyidin,

bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem

yang duniawi. Ali Abd Raziq sendiri menjelaskan pandangan pokok

pandangannya bahwa:

”Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula

mendasarkan kepada kaum muslim suatu sistem pemerintahan tertentu

lewat mana mereka harus diperintah; tetapi Islam telah memberikan

kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan

kondisi-kondisi intelektual, sosial, ekonomi yang kita miliki dan

dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan

zaman”.8

Pandangan Raziq ini tentu saja menyulut kontroversial bahkan hingga

sekarang. Rashid Ridha merasa gerah dengan pikiran Raziq sehingga menulis

8 Dikutip dari M. Din Syamsuddin, Usaha…,h. 7. Penjelasan lain mengenai pemikiran Ali

‘Abd al-Raziq ini lihat pula Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis

(Chicago: Chicago of University Press, 1988), h. 128-169.

Page 70: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

65

buku “al-Khilafah au al-Imamah al-Uzma” dan “Yusr al-Islam wa Usul al-

Tasyri’ al-Am”. Munculnya karya Khalid Muhammad Khalid “Min Huna

Nabda’”, karya al-Gazali “Min Huna Na’lam”, karya Sayyid Qutb “al-‘Adalah

al-Ijtimaiyyah”, Muhammad ‘Imarah “al-Islam Wa Usul al-Ahkam Li ‘Ali ‘Abd

al-Raziq”, semuanya merupakan diskusi lebih lanjut tentang perbedaan

pendapat mengenai Islam versus negara.9 Tokoh lain yang mengikuti pendapat

ini adalah Thaha Husein.10

Namun yang menarik adalah hasil penelitiannya Muhammad Qasim

Zaman di mana setelah melacak kembali data-data sejarah awal Islam akhirnya

ia sampai pada kesimpulan bahwa “tidak ada bukti sejarah yang kuat yang

mengindikasikan adanya pemisahan agama dari politik dalam sejarah Islam”11

Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir

setelah menganalisa ketiga pemikiran yang berkembang akhirnya ia

berkesimpulan: Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada

dua aliran (integralistik dan sekularistik), kiranya bertanggung jawab terhadap

9 Akh. Minhaji, “Sekali Lagi: Kontroversi Negara Islam” dalam Majalah Asy-Syir’ah No. 6

(tahun 1999), h. 12. 10

Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 137. Informasi

lebih lanjut tentang pemikiran dan kritik atas ide Husein ini dapat dibaca pada Syahrin Harahap, Al-

Qur’an dan Sekularisasi; Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1994). 11

Muhammad Qasim Zaman, “The Caliph, The Ulama, and The law: Defining the Role

and Function of the Caliph in the Early ‘Abbasidh Period,” Islamic Law and Society 4 (January 1997),

h. 1-36.

Page 71: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

66

Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran simbiotik yaitu

paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma sekularistik.12

Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya

umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan

Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat

Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan

Pancasila ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini

dapat dikemukakan, baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat

persamaan antara Republik Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara

Islam yang ada di dunia sekarang ini, sama-sama mengikuti pola politik barat,

dengan adaptasi dan modifikasi, dan sama dalam hal, selain dalam bidang-

bidang perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan, sistem hukum di

negara-negara tersebut tidak sepenuhnya bersumberkan hukum Islam.13

Pandangan Munawir ini diperkuat oleh Ibrahim Hosen dengan

mengatakan bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah

termasuk Dar al-Islam yang pemerintahannya wajib ditaati oleh warga negara

RI yang beragama Islam, sejalan dengan firman Allah di dalam QS. An-Nisa

(4): 59

12

Munawir Sjadzali, Islam dan . , h. 235-336. 13

Munawir Sjadzali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. (Jakarta: UI

Press 1993), h. 61-66.

Page 72: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

67

$pκš‰ r' ‾≈ tƒ t Ï%©!$# (#þθ ãΨ tΒ#u (#θ ãè‹ ÏÛr& ©!$# (#θ ãè‹ ÏÛr&uρ tΑθ ß™§�9$# ’Í<'ρé&uρ Í÷ö∆F{ $# óΟä3ΖÏΒ ( β Î*sù ÷Λäôã t“≈ uΖs?

’Îû & óx« çνρ–Šã� sù ’n<Î) «!$# ÉΑθ ß™§�9$#uρ β Î) ÷ΛäΨ ä. tβθ ãΖÏΒ÷σ è? «!$$Î/ ÏΘöθ u‹ ø9$#uρ Ì� Åz Fψ$# 4 y7Ï9≡sŒ ×�ö�yz

ß|¡ ômr&uρ ¸ξƒ Íρù' s? ) ٥٩: ٤/ أ��ـ�ـ�ء(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat

tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul

(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.

yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Alasan Hosen adalah bahwa di Indonesia mayoritas penduduknya adalah

beragama Islam. Umat Islam bukan saja dilindungi dan dijamin hak-haknya,

akan tetapi juga diberi kebebasan berdasarkan undang-undang untuk

mengamalkan ajaran agamanya, bahkan mengembangkan dan menyebar

luaskannya. Lebih dari itu malah, pemerintah membantu dan ikut aktif

mengembangkan, memajukan dan menyemarakkan syi’ar agama Islam.14

Alasan lain adalah bahwa dalam proses penyusunan UUD 1945 dan

Pancasila sebagai dasar negara serta isinya sesuai dengan teori dan konsepsi

siyasah Islam yang mengedepankan musyawarah dan tidak ada satu butirpun

yang merugikan atau mempersulit, prinsip-prinsip keadilan juga tercermin di

sana serta semangat dan jiwanya relevan dengan prinsip-prinsip umum

pensyari’atan hukum Islam. Untuk itu dilihat dari sisi ini pun menurut Ibrahim

14

Panitia Penyusunan Biografi KH. Ibrahim Hosen, Prof. KH. Ibrahim Hussein dan

Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Putra Harapan, 1990), h 137-138.

Page 73: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

68

Khosen, pemerintahan RI tidak diragukan lagi bahwa eksistensinya cukup

Islami dan oleh sebab itu kebijakannya wajib ditaati selama untuk

kemaslahatan.15

Tokoh lain yang memperkuat pandangan politik Munawir ini adalah KH.

Sahal Mahfud (Mantan Rois Am NU). Sahal berpandangan bahwa Islam dan

politik mempunyai titik singgung yang erat, bila keduanya dipahami sebagai

sarana menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya

dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat

semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekedar sebagai sarana menduduki

posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.

Menurut Sahal dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga

menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa

dan bernegara. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan

unsur Islam dalam percaturan politik di tanah air. Sejauh mana unsur Islam

mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh

mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat

mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan

dan menganalisis transformasi sosial.16

Jadi dalam rumusan Sahal, Islam dipandang sebagai kekuatan integratif

terhadap negara. Islam adalah faktor komplementer bagi komponen-komponen

15

Ibid ., h. 139. 16

Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 207-208.

Page 74: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

69

lain bukan sebagai faktor tandingan yang justru berpotensi menciptakan

disintegrasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya

sebagai faktor integratif, maka Islam harus difungsikan sebagai pendorong

tumbuhnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat,

demokratis dan berkeadilan.17

Pemenuhan keadilan dan kesejahteraan inilah yang harus bagi suatu

pemerintahan yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya

memberikan isyarat, bahwa kekuasaan memang bukan tujuan dari politik kaum

muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik

atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin

terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjaga moralitas politik.18

Disaat umat Islam dengan semangat kepartaiannya tidak dapat hadir lagi

di panggung politik nasional, serta semakin membaiknya hubungan Islam dan

Orde Baru saat itu, ternyata banyak lahir sejumlah kebijakan politik pemerintah

yang mengakomodasi aspirasi umat Islam. Antara lain kebijakan mengenai

Undang-Undang Pendidikan Nasional (1988), Undang-Undang Peradilan

Agama (1989), dukungan terhadap berdirinya wadah Ikatan Cendikiawan

Muslim se-Indonesia (1990), Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam

Negeri dan Menteri Agama tentang Efektiifitas Pengumpulan Zakat (1991), dan

17

Ibid., h. 249. Nampaknya pandangan Sahal tentang Islam dan negara Pancasila ini sejalan pemikiran yang sudah lama berkembang dalam NU yang notabene menjadi tempat berkiprahnya

Sahal. Bagi NU, negara Pancasila merupakan bentuk final bangsa Indonesia yang pluralaristik ini.

Informasi lebih lanjut bagaimana proses penerimaan Nu terhadap Pancasila sebagai asas tunggal, baca

Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 233-249. 18

Ibid. h. 256

Page 75: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

70

surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah P&K tentang

diizinkannya Pemakaian Jilbab bagi Pelajar Putri.19

Hal ini merupakan jasa-jasa

Munawir Sjadzali saat beliau menjadi Menteri Agama RI.

Kiranya apresiasi “politik” semacam itulah yang yang diinginkan oleh

Munawir Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan ”Tanpa partai

poltik Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan.”20

B. Analisa Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem

Pemerintahan

Pada akhir 1990, Munawir Sjadzali mempersembahkan kepada

masyarakat sebuah buku dengan judul Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah,

dan Pemikiran. Buku tersebut semula ditulisnya sebagai buku panduan bagi

mahasiswa S3 yang mengambil mata kuliah al-Fiqh al-Siyasi. Dengan sikap

rendah hati dan kejujuran diakuinya bahwa pemikiran yang ditulisnya itu

merupakan hasil akhir sementara dari suatu pengembaraan intelektual yang

cukup panjang dan penjelajahan ilmiah yang lumayan luasnya yang terdorong

oleh obsesi untuk dapat menjawab tentang ada atau tidak adanya teori atau

konsep politik / ketatanegaraan dalam Islam.

19

M Safi’I Anwar, “Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia”, “Sebuah Kajian Politik Tentang

Cendikiawan Muslim Orde Baru” (Jakarta: Paramadina, 1995), h.12 20

Munawir Sjadzali, Aspirasi Umat Islam Terpenuhi Tanpa Partai Islam (Jakarta:

Departemen Agama, 1992) h. 118

Page 76: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

71

Pendekatan yang ditempuh Munawir Sjadzali agak berbeda dengan

ilmuwan lain dan menunjukkan sikap intelektual muslim yang langka

ditemukan di masyarakat kita dewasa ini. Beliau menyatakan;

''Tanpa dibebani misi untuk membuktikan sesuatu, serta sama

sekali tanpa praduga dan prakonsepsi, saya masuk ke khazanah

kepustakaan Islam termasuk karya-karya klasik, dengan kepala

terbuka mengkaji apa pun yang saya jumpai dan mempunyai kaitan

dengan pencarian saya itu, dengan menjunjung tinggi kejujuran

tentang dan terhadap Islam, dan menaati kaidah-kaidah keilmuwan

dan objektivitas intelektual.''

''Kemudian pada akhir kajian nanti akan saya susun hasil-

hasil penggalian saya itu, dan akan saya katakan: Inilah Islam

sejauh yang saya temukan sampai hari ini. Kalau misalnya di

kemudian hari saya menemukan fakta-fakta baru yang tidak

senapas dengan apa yang selama ini saya miliki, tetapi mempunyai

dasar ilmiah yang cukup kuat untuk diperhatikan, maka demi Islam

dan demi ilmu, saya tidak akan segan-segan meninjau kembali apa

yang selama ini saya yakini. Itulah sebabnya mengapa di muka tadi

saya menyatakan bahwa buku Islam dan Tata Negara itu

merupakan hasil akhir sementara. Artinya, sementara sampai saya

menemukan fakta-fakta baru yang lebih menguatkan isi buku itu

atau sebaliknya yang berbeda dari hasil pencarian saya selama

ini.”21

Tidak semua orang sependapat dengan kesimpulan penelitiannya itu.

Seorang ilmuwan dan tokoh politik Islam ketika itu setelah membaca tesisnya,

menyatakan penyesalannya bahwa Munawir Sjadzali menulis tesis itu atas dasar

ilmu untuk ilmu dan kurang memperhatikan tuntutan perjuangan Islam.22

Hal

yang sangat mengesankan pada Munawir Sjadzali ialah ungkapan yang sering

21

Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, (Jakarta: UI Press, 1994),

h 45-46 22

http://groups.yahoo.com/group/IslamProgresif/message/601 diakses pada 1 september

2010.

Page 77: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

72

disitirnya dalam berbagai tulisan dan pemikirannya, "Sebagai seorang muslim

saya ingin mengikuti tradisi keilmuwan Imam Abu Hanifah. Merupakan suatu

kebiasaan yang sangat terpuji bahwa beliau selalu menutup fatwa dengan

ucapan: Apa yang baru saja saya katakan itu (hanyalah) suatu pendapat, dan

inilah yang terbaik yang dapat saya berikan. Kalau kemudian ada orang (lain)

yang datang dan memberikan pendapat yang lebih baik dari pendapat saya ini,

maka (pendapat) dialah yang lebih tepat untuk dianggap sebagai yang benar

daripada (pendapat) saya."

C. Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia Dewasa ini

Gerakan Islam yang memperjuangkan formalisasi Syariat Islam dalam

Institusi negara / pemerintah merupakan arus baru dalam perkembangan Islam

mutakhir di Indonesia karena menampilkan Islam serba syariat dengan orientasi

yang formalistik ideologis. Gerakan ini berbeda dengan gerakan Islam politik

lama yang diwakili oleh gerakan kultural seperti NU, Muhammadiyah, maupun

kelompok intelektual baru, dengan coraknya yang inklusif-subtantif. Kelompok

Islam politik masa reformasi ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok

Tarbiyah, Hizbutahrir Indonesia, FPI, Majlis Mujahidin dan lainnya.

Secara umum, Islam politik Pasca Orde Baru, dapat dikategorikan kedalam

dua kelompok besar yaitu kelompok yang bertipe struktural dan kelompok yang

bertipe kultural. Kelompok pertama, diwakili oleh partai-partai politik Islam,

baik yang secara eksplisit merupakan partai Islam PBB, PKS, PKNU, PPP dan

Page 78: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

73

yang lainnya. Serta partai-partai yang basis masanya lebih dominan berbasiskan

masyarakat muslim seperti PAN, dan PKB. Kelompok kedua, diwakili oleh

Fron Pembela Islam, Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal Jamaah atau biasa

dikenal sebagai Laskar Jihad, MMI, HAMMAS, Ikwanul Muslimin maupun

Hizbutahrir. Kelompok ini di tengarai berhaluan puritan, berkarakter militan,

radikal, skriptualis, konserpatif dan ekslusif. Meski memiliki platform berbeda,

tapi mereka memiliki satu visi yitu pembentukan negara Islam (daulah

Islamiyah) dan formalisasi syariat Islam merupakan muara dari semua aktifitas

mereka.

Menarik untuk dicatat, bahwa belakangan ini bermunculan perda-perda di

beberapa daerah yang bernuansa syariah. Yang mana ketika lahirnya perda-

perda yang bernuansa syariat ini, melalui dialektika politik yang cukup

dramatis. Pertama, bahwa lahirnya perda yang bernuansa syariat ini mustahil

terwujud jika hanya dimainkan oleh kelompok Islam kultural tanpa adanya

sumbangsih dari beberapa kekuatan politik lain. Kekuatan politik yang

dimaksud adalah sokongan dari partai politik dan pihak ekslusif. Lahirnya.

Lahirnya perda syariat tidak bisa lepas dari peran optimal partai-partai

sekuler—lebih khusus partai Golkar. Dan partai partai sekuler lainnya

menunjukan paradigma yang cunderung pragmatis pada masa reformasi ini.

Ditangan mereka isu syariat menjadi isu yang seksi untuk ditunggangi bagi

kepentingan akumulasi kekuatan mereka. Perda syariat ditangan mereka

menjadi terpolitisasi.

Page 79: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

74

Kedua, faktor sejarah (romantisme masa lalu) daerah-daerah yang masih

mengkampanyekan perda syariat ini dahulu kala merupakan daerah yang

berbasis kelompok perlawanan DI/TII. Pasca lengsernya Soeharto, sebagian

yang telah diberangus oleh Orde baru berharsat menemukan kembali identitas

diri mereka. Untuk itu, dari mana mereka memulai dan harus dengan kendaraan

politik apa mereka menyambungkan identitas diri. Dalam hal ini mereka telah

terperangkap oleh nostalgia masa lalu.

Ketiga, kegagalan negara dalam memberikan kesejahteraan dan rasa

adil terhadap rakyatnya. Menjamurnya korupsi dan nepotisme dipemerintahan

yang membuka jurang pemisah yang cukup signifikan yang berimplikasi pada

tingginya angka kemiskinan di masyarakat. Serta kebebasan yang terlalu dalam

semua segala hal, maka melahirkan dekandensi moral. akhirnya mereka merasa

harus melahirkan perda syariat itu. Hal ini juga merupakan mekanisme yng

ditempuh untuk mempertahankan diri. Pertahanan dalam arti satu-satunya cara

yang tidak hanya membentengi umat Islam, tetapi sekaligus untuk

menyelesaikan berbagai masalah dan penyakit sosial di masyarakat.

Pelaksanaan syariat pun diyakini sebagi obat yang paling manjur untuk itu.

Dalam kondisi sosial dan politik seperti ini, sangat bertolak belakang

dengan semangat yang selalu diusung oleh Munawir Sjadzali. Karena, yang

paling penting menurut Munawir adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam,

bukan memformalisasikannya.

Page 80: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

75

Islam menurut Munawir Sjadzali merupakan sumber inspirasi dan

motifasi, Islam sebagai landasan etika dan moral, bukan sebagai sistem sosial

dan politik secara keseluruhan, tetapi coba ditangkap sepirit dan ruhnya.

Oleh sebab itu, yang menjadi dasar Pemikiran Politik Islam Munawir

Sadzali adalah kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan aktualisasi ajaran

Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah terjadinya perubahan-

perubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi ajaran Islam. Menurut

Munawir Reaktualisasi adalah upaya re-interpretasi terhadap doktrin Islam yang

memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan

hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak persama jika dilihat dari

sudut pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk

merumuskan ulang nilai-nilai normatif yang langsung dalam konteks

relevansinya bagi kebutuhan hidup. Prinsip-prinsip teori metodologi hukum

(usul al-fiqh) dan kaidah-kaidah hukum agama (qawa’id al-fiqh) akan menjaga

agar proses penafsiran kembali itu tidak menyimpang dari prinsip yang

terkandung dalam hal yang ingin ditafsirkan ulang statusnya, dan tidak

bertentangan dengan maksud dan tujuan status hal itu sendiri semula.23

Secara tidak disadari, proses reaktualiasasi itu telah menjadi alami dalam

kehidupan kaum muslimin. Konfigurasi antara nilai-nilai normatif dan

reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata, selama

23 Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Pengantar Editor dalam Islam, Negara dan

Civil Society, Ed. Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Jakarta: Paramadina, 2005), h.xxi

Page 81: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

76

kaum muslimin tetap pada pendirian untuk tidak “melangkahi” ketentuan

sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan

yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, konfigurasi itu merupakan upaya

menjaga kontinuitas (persambungan tradisi) di tengah perubahan, agar tidak

kehilangan akar-akar budaya dan keagamaan mereka. Dalam jangka panjang,

sikap ini akan mematangkan fungsi doktrin Islam dalam hidup mereka. Doktrin

Islam, yang semula berarti kerangka hidup normatif dengan perwujudannya

sendiri sebagai doktrin formal, lalu berubah menjadi etika masyarakat yang

diserahkan sepenuhnya kepada pilihan-pilihan oleh warga masyarakat. Ia tidak

berkembang menjadi hipokritas, karena pada dasarnya kemunafikan haruslah

dilihat adanya pada kesengajaan untuk menggelapkan ajaran. Dalam proses

reaktualisasi, yang terjadi adalah upaya penafsiran kembali dari satu orang ke

lain orang di kalangan kaum muslimin, tanpa mengubah pandangan formal

masyarakat muslim secara keseluruhan.

Terjadinya proses reaktualiasi, dan konsekuensinya perubahan ketentuan,

hal-hal yang telah diterima sebagai konsensus itu menunjukkan vitalitas nilai-

nilai normatif Islam. Tidak mudah dilakukan perubahan atasnya, tetapi tetap

tidak tertutup kemungkinan bagi perubahan.

Dasar lain yang menjadi landasan pemikiran politik Munawir adalah

ijtihad. Pemikiran politik Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam

rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik

yang sedang berlangsung. Munawir memandang bahwa semua proses politik

Page 82: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

77

dalam sejarah, termasuk suksesi kekuasaan baik yang dilakukan oleh Abu

Bakar, Umar, Ustman maupun Ali, sepenuhnya adalah inisiatif dan ijtihad

manusia (para sahabat Nabi) belaka. Tak ada pentunjuk dari Nabi, apalagi dari

Tuhan, tentang bagaimana seharusnya sebuah tata politik (polity) diciptakan.

Dengan kata lain masalah politik sepenuhnya adalah rasional.

Menurut Munawir, ijtihad merupakan wujud kegiatan akal untuk berpikir,

yang inherent dengan inti ajaran Islam sendiri (al-Qur’an maupun al-Hadis).

Ijtihad bukan lahir dari proses sejarah sebagaimana terjadi di Barat, tetapi lebih

dikarenakan oleh dorongan al-Qur’an dan al-Hadis agar manusia

mempergunakan pikirannya dalam menghadapi problema kehidupan.

Penggunaan ijtihad tidak terbatas wilayahnya, baik terhadap masalah-masalah

yang sudah ada ketentuannya dalam Nas maupun yang tidak ada ketentuannya

dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Seperti hadis Mu’adz Bin Jabal yang diutus oleh

Nabi ke negri Yaman untuk menjadi qadi, menunjukkan perijinan yang luas

untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi

bersabda:

��� ������ � ��� � �� � � �� �� ���� ����� �� � ! "#$%� �� ��� ���

&'(� �� �� �� )(�* !+� �� �&'( ���� &� ,- .�( �/�0� �� �� �&'( "#' 1 �� �

�� �&'( ��2 3�/+�� �&'( 4� - 56� � � �37 � � ��- ) .69:�� )�-((

Artinya: “Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum

terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya

akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran).

Page 83: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

78

Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Jawab Mu’az, saya akan

mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Raulullah.

Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya

akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk

dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi

taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya”.

(HR. Attirmidzi)24

Dalam Hadits ini secara tersirat jelas nabi telah memberikan keluasan

dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat

dalam Al-Quran dan Sunnah. Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam

melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas

yang kuat terhadap para sahabat.

Lebih lanjut Munawir mendorong tokoh-tokoh intelektual sesama muslim

untuk melakukan ijtihad secara jujur, untuk menjadikan Islam lebih tanggap

terhadap berbagai kebutuhan situasi lokal dan temporal Indonesia. Menurut

Munawir, dalam perkembangan sejarah doktrin Islam terdapat banyak penguasa

Islam yang berani menempuh kebijakan hukum yang tidak sesuai secara

harfiyah dengan bunyi ayat-ayat al-Qur’an dan atau ucapan maupun tindakan

Nabi Muhammad SAW. Maka kalau kita berusaha memahami ajaran Islam

dengan akal budi, dan tentu saja dengan rasa penuh tanggungjawab kepada

Islam, kita bukanlah yang pertama dalam berijtihad. Munawir menyebutkan

bahwa pelopor “penyimpangan” itu tidak lain ialah Umar bin Khattab sendiri.25

24

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 1995,

h.119. Dan baca Mukhtar Yahya dkk, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, PT.Al Ma?arif,

Bandung, 1999, h.119. 25

Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), h.57.

Page 84: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

79

Diilhami oleh keberanian dan kejujuran Umar, Munawir menyatakan

bahwa harus dilakukan langkah-langkah yang berani dan jujur dalam

memberlakukan ajaran-ajaran Islam. Seraya meyakini dinamisme dan vitalitas

doktrin Islam, ia mengusulkan agar kaum muslim melaksanakan agenda-agenda

reaktualisasi lewat ijtihad,untuk menjadikan Islam lebih sesuai dengan kekhasan

lokal dan temporal Indonesia. Formalisasi Islam menjadi RUU atau Perda-perda

akan menghilangkan kekhasan Indonesia yang merupakan negara bineka

tunggal ika, dan rentan menimbulkan konflik.

Page 85: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

80

BAB V

PENUTUP

KESIMPULAN

Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah

diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma

perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses

transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang pernah

terjadi di negara-negara Barat

Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir

setelah menganalisa ketiga pemikiran yang berkembang dan memperhatikan

kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran (integralistik dan sekularistik),

kiranya bertanggung jawab terhadap Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti

aliran simbiotik yaitu paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma

sekularistik.

Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya

umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan

Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat Islam

Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini

sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan,

baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat persamaan antara Republik

Page 86: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

81

Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara Islam yang ada di dunia sekarang

ini, sama-sama mengikuti pola politik barat, dengan adaptasi dan modifikasi.

Disinilah Munawir Sadzali tampil dengan pemikirannya yang original.

Dengan mengacu pada konsep kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan

aktualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah terjadinya

perubahan-perubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi ajaran Islam.

Menurut Munawir Reaktualisasi adalah upaya re-interpretasi terhadap doktrin Islam

yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan

hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak persama jika dilihat dari sudut

pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk merumuskan

ulang nilai-nilai normatif yang langsung dalam konteks relevansinya bagi kebutuhan

hidup. Sehingga tidak terjadi kejumudan dalam menyikapi segala permasalahan yang

ada

Kemudian akibat krisis multidimensional yang menimpa Indonesia,

khususnya ekonomi politik. Agaknya perubahan nilai yang menyertai proses

sekularisasi dan modernisasi yang meminggirkan agama di berbagai bidang

kehidupan sosial menyebabkan sebagian umat Islam merasa terancam dan kehilangan

maknanya. Situasi tersebut tampaknya membuat mereka merasa terpanggil untuk

merekonstruksi identitas mereka atas dasar agama serta mencari makna yang hilang

dalam kehidupan sosial mereka. Dengan mencoba mengembalikan syariat keruang

politik, dengan dalih untuk pemenuhan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Ternyata pemikiran Munawir Sjadzali sudah dianggap usang oleh politikus dan

Page 87: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

82

birokrat pada saat ini, karena formalisasi Islam sudah menjadi keharusan. Karena

kurangnya kemampuan untuk menterjemahkan ruh atau sepirit Islam kedalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal disaat umat Islam dengan semangat kepartaiannya, tidak hadir di

panggung politik nasional, serta semakin membaiknya hubungan Islam dengan Orde

Baru saat itu, ternyata banyak lahir sejumlah kebijakan politik pemerintah yang

mengakomodasi aspirasi umat Islam. Antara lain kebijakan mengenai Undang-

Undang Pendidikan Nasional (1988), Undang-Undang Peradilan Agama (1989),

dukungan terhadap berdirinya wadah Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia

(1990), Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama

tentang Efektiifitas Pengumpulan Zakat (1991), dan surat Keputusan Dirjen

Pendidikan Dasar dan Menengah P&K tentang diizinkannya Pemakaian Jilbab bagi

Pelajar Putri. Hal ini merupakan jasa-jasa Munawir Sjadzali saat beliau menjadi

Menteri Agama RI.

Kiranya apresiasi “politik” semacam itulah yang yang diinginkan oleh

Munawir Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan ”Tanpa partai poltik

Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan.”

Untuk itulah diperlukan pemikiran-pemikiran dan eksen konkrit seperti sosok

Munawir Sjadzali yang mampu membaca fenomena dan menterjemahkan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan bermodalkan kejujuran akan ilmu dan

Islam sera politik yang mampu menjembatani umat secara keseluruhan tanpa ada

Page 88: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

83

yang merasa terasingkan, terlebih lagi merasa kehilangan identitas dirinya. Semoga

kita bisa meneladaninya.

Page 89: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

84

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. Ilmu Politik Islam : Sejarah Islam dan Umatnya Sampai

Sekarang, Perkembangan Dari Zaman Kezaman. Jakarta : Bulan Bintang

1997, Cet Ke-1

Ali, Fahri dan Bakhtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi

Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan 1986

Anwar, M. Syafi`i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995,

Cety Ke-1

Effendy, Bakhtiar. Islam Dan Negara. Transpormasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998, Cet Ke-1

_____ , Re-Politisasi Islam : Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?. Bandung :

Mizan, 2000, Cet Ke-1

Gaffar Affan, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1999

Hasan, Fuad, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak

Harto, Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991

Page 90: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

85

IAIN syarif Hidayatullah. Penganugrahan Gelar Doktor Kehormatan ( Doctor

Honoris Causa) dalam Ilmu Agama Islam Kepada H. Munawir Sjadzali,

Jakarta, IAIN. 1994

Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu Kajian Mengenai

Implikasi Kebijakan Pembangunan bagi Keberadaan “Islam Politik” di

Indonesia Era 1970-an s/d 1980-an. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990

Ma`arif, Ahmad Syafi`I, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan

dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985

Mansyur, KH. Mas, “Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi” dalam Amir

Hamjah, “Rangkaian Mutu Manikam: Buah pikiran Budiman Kyai Mas

Mansur (Surabaya: Penyebar Ilmu & Ikhsan, 1968), h. 85

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam

di Indonesia. Yogyakarta: LKIS, 2001, Cet. Ke-1

Masoed, Mochtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta:

LP3ES, 2000

Natsir, M. Agama dan Negara: Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Dakwah,

2001, Cet Ke-1

Noer, Deliar. Islam, Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta : Yayasan

Perkhidmatan. 1983

Page 91: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

86

Panduan Skripsi Fakultas Syariah, UIN. Jakarta, 2007

Proyek. Keagamaan. Badan Litbang Agama. Peranan Agama dalam Pemantapan

Ideologi Negara Pancasila. Jakarta: Departemen Agama RI, 1984/1985

Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa,

Bandung: Mizan, 1993

Sjadzali, Munawir. Aspirasi Umat Islam terpenuhi Tanpa Partai Islam. Jakarta:

Departemen Agama RI, 1992

______, Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: UI Press. 1994

______, “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.)

Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI

dan Paramadina, 1995. Cet Ke-1

______, Ijtihad dan Kemaslahatan Umat”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed)

Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1996

______, Reaktialisasi Ajaran Islam”, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik

Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988

______, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press,

1993. Edisi 5

Page 92: 1 - KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2587/1/HISNUDDIN... · Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis,

87

______, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. Jakarta: UI Press

1993

______,Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motifasi Kemajuan

Bangsa.Jakarta: Departemen Agama RI, 1988

______, Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha

Taruna, 1950

______, Partisipasi Umat Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro

Hukum dan Humas Departemen Agama RI, 1984

______, Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila. Jakarta: Depag RI, 1984

______, Pokok-pokok Kebijakan Menteri Agama dalam Pembinaan Kehidupan

Beragama. Jakarta: Depag RI

Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Rajawali Pres, 2003) cet ke 14

Syamsudin, M. Din. “ Mengapa Pembaharuan Islam”. Jurnal Ulumul Qur`an. Jakarta:

Vol IV. 1993

http://groups.yahoo.com/group/IslamProgresif/message/601