1 - KATA PENGANTAR -...
Transcript of 1 - KATA PENGANTAR -...
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah, Rabb al-’izzati, Dzat yang Maha
Rohman dan Rahim. Salawat dan salam dimohonkan untuk Nabi dan Rasul akhir
zaman, Muhammad SAW, berikut keluarga, sahabat dan umatnya.
Rahmat ilahi memancar kesemesta alam, turun merayap memeluk setiap insan.
Semburat pengampunan dan pahala membuncah dengan hadirnya Ramadhan, saat
dimana syaitan di”cuti”kan, saat dimana tidur dihargai ibadah, saat ibadah berpahala
berlipat, saat pintu pengampunan dan rahmat terbuka lebar menyambut kita umat
Muhammad. Ramadhan bulan penuh berkah. Berkah Ramadhan akhirnya menetes
dengan terselesaikannya skripsi ini, setelah melewati masa-masa sulit dan terkatung-
katung sekian tahun lamanya.
Terselesaikannya skripsi dan study ini tentu tidak lepas dari peran beberapa
pihak. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih:
Kepada Bapak Prof. Dr. Qomarudin Hidayat selaku rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan bapak Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH.MA.MM.
Selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan
segenap jajarannya. Serta kepada kepala perpustakaan UIN dan jajarannya yang
sangat membantu dalam proses perkuliahan kami.
Kepada Dr. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Jurusan SJS dan khususnya kepada
Ibu Sri Hidayati selaku Sekjur, terima kasih atas bimbingan dan dukungannya. Ibu
adalah Sekjur terbaik sepanjang masa.
ii
Kepada Bapak Dr. Rumadi, M.A, saya sampaikan terima kasih atas
ketelatenannya membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga do’a bapak
agar sarjana ini membawa berkah menjadi kenyataan. Amien…
Kepada kedua orang tua ku tercinta, yang telah memberikan pengorbanan tanpa
mengenal kata lelah, yang telah mengajari tentang hidup dan arti kehidupan, yang
telah mengajari penulis menjadi seorang lelaki. Kepada Mama’ku H. Abdur Rauf
Syahid Hamim dan Umiku tercinta Hj. Annisatur Rormah, skripsi ini aku
persembahkan. Hanya surgalah tempat yang layak untuk membalas semua
pengorbanan kalian selama ini. Amien.
Kepada kakak-kakakku, abang-abangku & ade-ade: Ka Opah & Bang Sadeli,
Ka Ikoh & Pak Supriyono, Ka Ulfah & Ka Isa Anshori, Ka Farhah & Mas Haidar, Ka
Ida & Ka Hadi Ali, Bang Aji & Umi Rina, Bang Ijul & Umi Indah, Ropi-U, Riri,
Dede, Apit dan Imah, yang tak henti-hentinya memberi suport dan terus menerus
nanyain ”Pegimana skiripsi ?” ”kapan Wisuda ?”. Serta semua saudara-saudara ku,
kalian adalah lentera hidup tempat merujuk, tempat menggali sepirit, jika lentera diri
meredup dan spirit mengendur. Semoga kita tetap bisa terus saling mengisi.
Kepada kawan-kawan seperjuangan di BEM Siyasah 2004-2005; Iyan, Takin,
Febry Manende, Zaenal, Kholiq, Hadi, Topan, dan kawan-kawan SS angkatan 2002,
Lukman, Muda, Eky, Fathur, Kompor, Simon, Manzoy dll, kepada kalianlah aku
belajar banyak hal. Kepada kawan-kawan HMI dan PMII yang tidak kesebut,
percayalah kalian selalu lekat di hati ku, Trust Me. dan terima kasih, telah menjadi
kawan yang dahsyat untukku.
iii
Kepada kawan-kawan pergerakan baik di HMI, PMII, IMM, GMNI, KM
maupun KAMMI, jangan lelah berjuang. Hidup adalah perjuangan tanpa henti. Jaya
selalu.
Kepada kawan-kawan seperjuangan di PON-PES Al-Muhajirin: Om Said, Om
Acep, Wawan Ch, Inop, Asep M, Joko, Hapy, Azhar, kang Mul, bang Uce, bang
Acong, Najum, Sangaji serta kawan-kawan lainnya, Ingat perjuangan masih panjang,
masih banyak yang harus kita lakukan, semoga kita tetap bisa berjuang bersama,
meski kita kadang kala berbeda.
Terima kasih juga dihaturkan kepada Mas Moro N dan keluarga, banyak hal
yang Inu dapat dari diskusi dan silaturrahmi kita selama ini. Kepada Om Rauf (Said),
Bakhtiar (BT), Iqbal, Wahyu, Ratu, dan temen2 KKN Pandeglang. serta kepada
Faticha, Julimah, Agun, Mudin, Edy, Intan terima kasih suport dan bantuannya, tanpa
peran kalian mungkin aku tidak akan pernah wisuda. Kepada seorang perempuan
yang telah tiada letih dan lelah memberi dorongan dan doa, terimakasih...terimakasih,
semoga terbentang jalan yang indah untuk bisa kita lalui berdua.
Akhir kata, penulis berharap bahwa karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
kalangan civitas akademika dalam pengkayaan intelektual.
Ciputat, 27 Ramadhan 1431 H
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. i
DAFTAR ISI…………….………………………………………………….... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………….…… 1
B. Pebatasan dan Perumusan Masalah……………………… 6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian……………….. 7
D. Metode Penelitian………………………………………... 8
E. Landasan Teoritis………………………………………… 12
F. Review Studi Terdahulu…………………………………. 13
G. Sistematika Penulisan……………………………………. 14
BAB II ISLAM POLITIK DAN PROSES ADAPTASI DI INDONESIA
A. Pengertian Islam Politik………………………………….. 16
B. Islam politik di Indonesia………………………………… 17
1. Pada Zaman Kolonial…..…………………………….. 18
2. Menjelang Kemerdekaan Sampai Awal
Kemerdekaan………………………………………… 21
3. Orde Lama…………………………………………… 23
4. Orde Baru…………………………………………….. 27
5. Masa Reformasi……………………………………… 36
v
BAB III BIOGRAFI MUNAWIR SJADZALI
A. Riwayat Hidup Munawir Sjadzali………………………… 41
B. Pendidikan Munawir Sjadzali…………………………….. 47
C. Posisi Munawir Sjadzali diantara Para Pemikir Islam
pada Masanya ……………………………………………. 49
D. Corak dan Pengaruh Pemikiran Munawir Sjadzali di
Indonesia…………………………………………………. 50
E. Karya-karya Munawir Sjadzali…………………………… 52
BAB IV ISLAM DAN POLITIK MENURUT MUNAWIR SJADZALI
A. Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan
Politik…………………………………………………….. 55
B. Analisa Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan
Sistem Pemerintahan……………………………………... 70
C. Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia
Dewasa ini………………………………………………... 72
BAB V PENUTUP
Kesimpulan…………………..……………………………….. 80
DAFTAR PUSTAKA….……………...…………………………………….. 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di sejumlah negara Muslim seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko,
Pakistan, Aljazair, pada pertengahan abad ke-20an, tepatnya sejak keruntuhan
kolonialisme Barat, banyak mengalami kesulitan dalam upaya membangun
hubungan yang memugkinkan (viable) antara Islam dan negara. Tak jarang di
negara-negara itu hubungan Islam dan negara mengalami ketegangan, bahkan
permusuhan. Padahal disaat yang sama di sejumlah negara itu Islam menduduki
posisi penting, baik karena masa lalunya maupun karena Islam merupakan
agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya. Oleh karena itulah di kalangan
pengamat kemudian muncul pertanyaan krusial: apakah Islam sesuai atau tidak
dengan sistem politik modern, dimana ide tentang negara-bangsa (nation-state)
merupakan unsur terpentingnya.1
Dalam konteks Indonesia, bersitegang antara Islam dan negara tidak hanya
telah berlangsung lama. Sejak negara ini merdeka masalah tersebut telah
menyulut ketegangan, permusuhan, bahkan konflik fisik diantara kedunya.
Dalam masa-masa formatif negara ini kaum muslim tidak hanya terus menerus
menyuarakan aspirasinya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi
1 Dr. Azyumardi Azra, Saiful Umam, (ed.) Menteri-menteri Agama RI Biografi Sosial –
Politik (Jakara: Badan Litbang Agama. Departemen Agama RI bekerjasama dengan PPIM-IAIN
Jakarta, 1998), h. 385
2
juga menjadikan sistem politik Islam sebagai panduan dalam mengatur negara
meskipun pada akhirnya terjadi kompromi-kompromi, aspirasi demikian itu tak
kunjung padam, setiap ada kesempatan dan peluang sekecil apapun aspirasi
demikian kembali muncul kepermukaan.
Paling sedikit terdapat dua kesempatan dan peluang resmi yang digunakan
kaum muslim Indonesia untuk mewujudkan aspirasi politiknya. Pertama, pada
saat berlangsungnya diskusi mengenai dasar negara pada 1945. Pada kesempatan
ini wakil-wakil Islam mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi atau agama
negara. Kedua, pada dekade 1950-an dalam sidang konstituante yang memberi
peluang pada setiap kelompok untuk mendiskusikan ideologi dan undang-undang
dasar. Pada kesempatan ini, melalui tokoh-tokoh Masyumi, aspirasi ideologi
Islam kembali muncul. Bahkan jika dibandingkan dengan yang terjadi pada
kesempatan pertama, kesempatan ini menyajikan perdebatan lebih luas dan
mendalam mengenai pentingnya ideologi Islam dan konsepsi sistem politik dalam
negara Indonesia. Akan tetapi, disamping peluang-peluang resmi tadi, kaum
muslim juga terus menerus menyuarakan aspirasinya dalam berbagai forum dan
kesempatan.2
Setelah jaman revolusi berakhir, tuntutan trasformasi Islam kedalam bentuk
ideologi politik semakin keras. Ini terjadi dalam dua konteks yang saling
2 Lepas dari berbagai analisis yang muncul, gerakan-geraka Islam DI/TII pada dekade 40-an
dan PRRI / Permesta pada dekade 60-an sering diidentifikasikan sebagai salah satu bentuk perjuangan
Islam ideologis melalui kekuatan bersenjata. Bahkan higga dekade 80-an, aspirasi Islam ideologis ini
masih kental disebagian kaum Muslim. Lihat Dr. Azyumardi Azra, saiful Umam, (ed.) Menteri-
menteri Agama, h. 386
3
berhubungan. Pertama, formasi kekuatan-kekuatan ideologis semakin
mengkristal dengan munculnya partai-partai yang memang mendapatkan
keabsahannya berdasarkan sistem demokrasi yang diperkenalkan pada masa itu.
Dalam konteks ini, Islam dituntut untuk menunjukkan keunggulannya sebagai
ideologi politik untuk menyelesaikan masalah-masalah Indonesia. Kedua,
pencoretan kalimat-kalimat Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945—
padahal sebelumnya telah tercapai konsensus dengan susah payah dalam sidang-
sidang PPKI—dan berlakunya konsistensi yang masih bersifat sementara,
membuka peluang untuk meningkatkan persaingan kelompok-kelompok
ideologis. Pembubaran konstituante melalui dekrit 5 juli 1959 mengakhiri
perdebatan yang keras dan melelahkan.3
Jika di masa kolonial, Islam menjadi kekuatan pembebasan dan simbol
perjuangan melawan penjajahan yang kafir, maka di masa revolusi, Islam
dijadikan semangat perjuangan, dan di masa dua dasawarsa pertama kemerdekaan
Islam telah mengambil bentuk "ideologi politik", maka di masa Orde Baru, Islam
mengambil bentuk sebagai "kekuatan spiritual" untuk menghadapi arus
modernisasi, dan nilai-nilai tuntunan berprilaku dalam kehidupan berpolitik.
Islam sebagai kekuatan sejarah tidak berubah. Bahkan di tengah memudarnya
penampilan Islam dalam wajah politik kepartaian saat itu, justru diimbangi
dengan tuntutan makin meluasnya wilayah pengaruh dimensi-dimensi spiritual
3 Yusril Ihza Mahendra, “Makna dan Peranan Islam dalam Proses Sosio-Politik di
Indonesia” Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali MA. (ed.) M.
Wahyuni Nafis, dkk. (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), cet. Ke-1, h. 376-377
4
dan intelektual Islam. Tuntutan agar segala sesuatu berkembang ditengah
masyarakat disesuaikan dengan nilai-nilai Islam yang semakin luas. sementara
kekuatanya juga dipertegas. Ini semua mendorong kaum Muslimin beramai-ramai
kembali kepada agamaya, dengan peningkatan yang luar biasa minat untuk
mengamalkan ibadah-ibadah yang diajarkan Islam.
Kenyataan ini penting bagi Munawir, sebab ia berpandangan bahwa
menempatkan suatu agama sebagai agama negara merupakan salah satu prasarat
penting. Untuk itu, dalam pandangannya, kenyataan bahwa Konstitusi Madinah
tidak menyebut Islam sebagai agama negara, hal ini menujukkan bahwa Nabi
Muhammd SAW, tidak menganjurkan berdirinya sebuah negara teokratis dimana
Islam akan berfungsi sebagai dasar satu-satunya.
Pada era awal 80-an Munawir pernah melontarkan gagasan tentang
reaktualisasi ajaran Islam yang ditanggapi beragam oleh berbagai lapisan
masyarakat. Titik sentral dari agenda reaktualisasi Munawir itu adalah untuk
menegaskan kembali gagasan tentang ijtihad. Ide-ide Munawir sebenarnya
diarahkan untuk mendorong para pemikir atau aktifis politik Islam agar (1)
merumuskan kembali dasar-dasar ideologi baru politik Islam; (2) mendefinisi
ulang cita-cita politik Islam; dan (3) menilai kembali pendekatan politik Islam
yang pada dasarnya lebih berorientasi pada masalah-masalah keagamaan dan
teologis.4
4 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara di Indonesia: Munawir Sjadzali dan Pengembangan
Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis, (ed.) Kontekstualisasi Ajaran
5
Gagasan Munawir di atas, sejatinya hendak meninjau kembali sejarah para
pemimpin dan aktifis politik Islam Indonesia. Pijakan-pijakan dari semangat
politik saat itu menggunakan pandangan holistik Islam—Islam dianggap melulu
memberikan pandagan terhadap setiap aspek kehidupan. Dalam konteks tersebut
dapat dimengerti jika Islam senantiasa dijadikan sebagai patokan sebuah konsepsi
yang final dan konvrehensif tentang negara atau sistem pemerintahan. Lebih dari
itu, sebagian bahkan beranggapan bahwa negara merupakan bagian integral, atau
perpanjangan dari Islam. Hal ini merupakan suatu posisi politik-keagamaan, yang
disejumlah belahan dunia dikemas dalam jargon inn al-Islam al-din wa al-
dawlah—bahwa Islam adalah agama negara.5 Tetapi pada kenyataanya keinginan
tersebut gagal.
Saat partai-partai Islam sudah tidak hadir lagi di panggung percaturan politik
nasional (pada masa Orde Baru), ternyata ada capaian-capaian yang diharapkan
kalangan umat Islam dapat terwujud, seperti penetapan Undang-undang Peradilan
Agama. Hal ini adalah jasa-jasa Munawir saat beliau menjadi Menteri Agama RI.
Kiranya aspirasi politik semacam itu pulalah yang diingikan oleh Munawir
Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan, "tanpa partai politik
Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan".
Untuk itulah dalam skripsi ini, kami akan mengkaji pemikiran Munawir
Sjadzali tentang Islam dan Politik khususnya dalam kaca mata keIndonesiaan.
Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali MA (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), cet. Ke-1,
h. 412 5 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 413
6
Dan studi ini dilakukan selain karena ketertarikan penulis terhadap pemikiran
juga atas pertimbangan posisi dan sosok Munawir sebagai cendikiawan,
intelektual, diplomat, dan juga sebagai menteri Agama RI selama dua periode
berturut-turut (1983-1988 dan 1988-1993). Beliau telah beberapa kali
mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupan keagamaan dan lembaga-
lembaga keagamaan. Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada
dibawah semangat Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara
Islam dan negara.6 Penulis berharap bahwa hasil skripsi ini dapat bermanfaat
dalam upaya membangun hubungan Islam dan Politik di negeri yang demokratis
ini.
Berdasarkan latar belakang ini penulis sangat tertarik dan optimis untuk
melakukan penelitian dengan judul “Islam dan Politik dalam Pemikiran Politik
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dengan mengajukan skripsi ini maka peneliti memperoleh kesempatan untuk
melakukan historical insight, tentang seorang tokoh besar Indonesia yaitu Prof.
Dr. H Munawir Sjadzali, MA. Selain sebagai cendikiawan beliau juga
berpengalaman sebagai diplomat, Menteri Agama, dan sebagai pengajar. Tak
6 Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo, Arief Subhan, “Munawir Sjadzali, Pencairan
Ketegangan Ideologis”, dalam Azyumardi Azra, (ed.) Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial
Politik. (Jakarta: PPIM, 1998), h. 411
7
diragukan lagi banyak sekali pengalaman yang menginspirasikan pemikiran-
pemikirannya untuk diterapkan di Indonesia. Dari sekian banyak dari pemikiran
Munawir Sjadzali. Penulis ingin memfokuskan kajian penelitiannya terhadap
Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali semasa beliau menjabat sebagai
Menteri Agama RI selama dua periode berturut-turut (1983-1988 dan 1988-1993).
2. Perumusan Masalah
Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa
persoalan yang terangkum dalam identifikasi masalah yang diteliti sebagai
berikut:
1. Bagaimana hubungan Islam dan politik dalam pemikiran Munawir Sjadzali ?
2. Bagaimana relevansi pemikiran Munawir Sjadzali, bagi Indonesia dewasa ini?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui hubungan Islam dan politik dalam pemikiran Munawir
Sjadzali.
b. Menjelaskan relevansi pemikiran Munawir Sjadzali ini, bagi Indonesia
dewasa ini.
2. Manfaat Akademis
a. sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi studi-studi yang akan
datang, judul skripsi yang penulis angkat diharapkan akan menambah
jumlah studi mengenai politik Islam.
8
b. secara akademis untuk mendapatkan jawaban terhadap berbagai persoalan
yang terkait dengan perpolitikan Islam dan hubungannya antara Islam dan
politik.
3. Manfaat Praktis.
a. sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan
dibidang ilmu politik
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Jenis dan Pendekatan penelitian
Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan ( labrery research ) dengan pendekatan kualitatif. Penulis mencoba
mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang
diangkat. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang di alami oleh subyek penelitian, misalnya prilaku,
persepsi, motivasi tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan
dengan manfaat berbagai metode alamiah. Adapun dari segi tujuan, penelitian ini
juga menggunakan pendekatan analitis, yang bertujuan menggambarkan keadaan
sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data-
data.7
7 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Rajawali Pres, 2003) cet ke 14, h. 75.
9
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan dua pendekatan.
Pertama pendekatan sejarah (historical approach) dalam hal ini peneliti
mengeksplorasi perkembangan konsep ataupun pemikiran serta aksi politik objek
penelitian secara kronologis. Dengan mengungkap perkembangan politik Islam
secara kronologis, dari itu akan dapat diketahui dengan lebih mudah perihal
sebab-sebab lahir dan berkembangnya kebijakan-kebijakan pada masa itu. Pada
akhirnya penulis dapat menemukan orisinalitas dan inti dari pemikiran Munawir
tersebut.
Kedua, pendekatan penafsiran (hermeneutical approach), yakni sebuah
metode yang dengan mudah didefinisikan sebagai filsafat penafsiran makna.
Dengan pendekatan ini penulis membahas inti atau pokok bahasan berupa
eksplorasi gagasan-gagasan atau ide Munawir Sjadzali. Kemudian, dari hasil
eksplorasi tersebut penulis mencoba memahaminya dengan penafsiran kritis
terhadap ide dan gagasan Munawir Sjadzali tersebut. Penafsiran dilakukan dengan
mengamati hasil eksplorasi terhadap perkembangan Islam politik secara
kronologis. Hasil yang diharapkan kemudian bisa menjawab seluruh pertanyaan
yang dikemukakan dalam rumusan masalah diatas dan memberikan kesimpulan
yang akurat dan bermanfaat.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Pengumpulan Data
Sebagai implikasi dari pendekatan yang digunakan, maka metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif,
10
dengan metode ini penulis mengkaji bahan atau data dari sumber tulisan yang
terkait, baik dari sumber primer maupun sekunder. Adapun sumber data yang
bersifat primer adalah dokumen atau karya tulis yang merupakan karya asli
dari Munawir Sjazdali, diantaranya adalah: (1) Mungkinkah Negara Indonesia
Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha Taruna, 1950. (2) Partisipasi Umat
Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Humas,
1984. (3) Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila, 1984. (4)
Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motifasi Kemajuan Bangsa, 1988.
(5) Reaktualisasi Ajaran Islam, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, 1988. (6) AspirasiUmat Islam
terpenuhi Tanpa Partai Islam, 1992. (7) Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, 1993. (8) Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa
Depan Bangsa, 1993. (9) Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini, 1994.
(10) “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.)
Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan
Paramadina, 1995. (11) Ijtihad dan Kemaslahatan Umat, dalam Haidar Bagir
dan Syafiq Basri (ed) Ijtihad Dalam Sorotan, 1996.
Adapun sumber data yang bersifat sekunder adalah dokumen atau karya
tulis yang ditulis oleh orang atau suatu lembaga tentang sosok objek yang
sedang dikaji. Dengan memberikan kategorisasi dan pengelompokan kualitas
pada data yang diperoleh, baik yang berasal dari dokumen pustaka ataupun
dari data lainnya (internet), kemudian data-data tersebut dianalisis dengan
11
kritis secara akademis. Oleh karena itu, penulis akan merujuk pada pengkajian
pustaka, baik karya asli maupun terjemahan, juga karya-karya yang sesuai
atau mendukung dengan tema bahasan.
b. Pengolahan data
Metode pengolahan data yang di gunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan hasil-hasil penelitian
yang bersumber dari data primer dan skunder. Kemudian dianalisa dengan
cara menginterpretasikan dari hasi-hasil data yang telah didapatkan.
Kemudian data-data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan tema dan sub-
sub bab yang akan dibahas oleh penulis, kemudian penulis
mendeskripsikannya dengan memeparkan secara sistematis yang disertai
dengan membuat analisis, kritik dan kesimpulan. Analisis yang digunakan
penulis adalah analisis hubungan, yaitu memberikan analisis dengan
menghubungkan uraian dan penjelasan yang terdapat pada bab-bab
sebelumnya diakhir pembahasan.
c. Teknik analisis data
Analisis data dengan metode analisis induktif yaitu dengan melakukan
analisis secara menyeluruh terhadap data-data yang telah didata, kemudian
akan dihasilkan kesimpulan penelitian terhadap permasalahan yang diangkat.
Metode ini dilakukan penulis dengan berbagai langkah, yaitu dengan cara
menghimpun seluruh data-data tersebut dijadikan beberapa bab dan sub bab,
setelah semunya terdata dengan baik, langkah selanjutnya data-data tersebut
12
dianalisa oleh penulis sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang sesuai
dengan informasi dan data-data yang didapatkan.
d. Teknik penulisan skripsi
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi
fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum
(FSH) Universitas Islam Negri (UIN) Jakarta tahun 2007.
E. Landasan Teoritis
Dalam sub bab ini, akan dibahas mengenai landasan teoritis mengenai kajian
yang akan diteliti. Teori yang akan digunakan dalam kajian ini adalah agama dan
negara, seperti yang dijelaskan dalam buku “Fikih Mazhab Negara”. LKIS, 2001.
Menurut buku ini, dalam hubungan agama dan negara terdapat tiga
paradigma; Pertama, paradigma integralistik (unified paradigm), yaitu dimana
agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi politik atau
negara. Dimana negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan
agama dan kekuasaan politik. Paradigma ini kemudian melahirkan paham negara-
agama, di mana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-
prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa daulah (Islam
agama dan [sekaligus] negara). Sumber hukum positifnya adalah sumber hukum
agama.
13
Kedua, paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), dimana agama dan negara
berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik
dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan
negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara juga memerlukan agama,
karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan
moral-spiritual.
Ketiga, paradigma sekularistik (secularistic paradigm), paradigma ini
menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik
mengajukan pemisahan (dis-paritas) agama atas negara dan pemisahan negara
atas agama. Konsep ad-dunya al-akhirah, ad-din ad dawlah atau umur ad-dunya
umur ad-din didikhotomikan secara diametral. Dalam konteks Islam, paradigma
ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak
determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara.8
F. Review Studi Terdahulu
Ma'mur, TB Agus, pembaharuan pemikiran di Indonesia tahun 70-an; Studi
Pemikiran Munawir Sjadzali. SPI, Adab IAIN Jakarta, 2002
Abdila, Reaktualisasi Ajaran Islam Analisis Pemikiran Muawir Sjadzali
Tentang Waris, SJAS, Syari'ah IAIN Jakarta 2004.
8 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di
Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 23-33.
14
Nilayatul Maula, Tinjauan Hukum Islam terhadap Konsep pembagian Waris
laki-laki dan perempuan menurut Prof. Dr. Munawir Sjadzali. MA. PMH
Syari'ah. UIN Syahid Jakarta, 2006. Pembahasan skripsi lebih pada konsep waris
Munawir.
Oktari Liyus, Kontibusi Muawir Sjadzali dalam Peranan Islam dan Kaitanya
dengan Politik di Indonesia. PPI, Ushuludin 2007. Didalam skripsi ini dibahas
mengenai titik sentral dari agenda reaktualisasi Munawir Sjadzali. Yaitu gagasan
tentang konsep ijtihad. Serta lebih fokus pada keterlibatan Munawir Sjadzali
dalam upaya mengembangkan misi untuk meyakinkan lembaga kemasyarakatan
dan keagamaan untuk menjadikan pancasila sebagai Ideologinya.
Dari paparan skripsi yang membahas tentang sosok Munawir Sjadzali di atas,
penulis melihat belum ada yang menggali mengenai Islam dan politik dalam
pemikiran politik Munawir Sjadzali.
G. Sistematika Penulisan
Bab I Merupakan bab Pendahuluan yang diuraikan tentang Latar Belakang
Masalah, Pemabatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, Landasan Teoritis, Review Studi
Terdahulu dan Sistematika Penulisan.
Bab II Pada bagian ini akan dibahas mengenai Pengertian Islam Politik, serta
pergulatan sejarah Islam politik di Indonesia dimulai dari zaman
15
kolonial, menjelang kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru dan juga era
Reformasi.
Bab III Membahas mengenai Riwayat Hidup, Pendidikan, Karya-karya
Munawir Sjadzali, Corak dan Posisi Munawir Sjadzali diantara para
Pemikir Islam pada masanya, serta Pengaruh Pemikiran Munawir
Sjadzali di Indonesia.
Bab IV Membahas dan menjelaskan Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang
Hubungan Islam dan Politik, Pandangan Munawir Sjadzali Tentang
Bentuk dan Sistem Pemerintahan yang ideal, serta Analisa Pemikiran
Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem Pemerintahan, serta
Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia dewasa ini.
Bab V Penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.
16
BAB II
ISLAM POLITIK DAN PROSES ADAPTASI DI INDONESIA
A. Pengetian Islam Politik
Pengertian Islam politik, menurut M. Rusli Karim dengan mengutip
pendapat dari Syamsuddin1 bahwa yang dimaksud dengan Islam Politik adalah
sebuah pencerminan dari ajaran Islam mengenai hubungan manusia dengan
kekuasaan yang yang diilhami oleh adanya petunjuk dari tuhan, yang tentunya
disini telah tercampuri dengan adanya kepentingan manusia.
Dengan kata lain, bahwa antara agama, syariah dengan negara menurut
paham ini bisa dikatakan nyaris tidak boleh dipisahkan. Bahkan seorang seperti
Imam Syafi’i-pun mengatakan, “…tidak ada politik kecuali ia sesuai syara’—
undang-undang Islam”.2 Tentu saja pandangan serta pemahaman tentang Islam
politik dari banyak pakar Islam banyak yang berbeda, akan tetapi penulis pikir
pada intinya sama. Yaitu, mencoba untuk menghubungkan antara kekuasaan
negara dengan agama.
Intisari dari al-Qur’an sendiri setidaknya ada dua ajaran yang terkandung
didalamnya yaitu, Akidah dan Syari’ah. Yang antara keduanya berhubungan.
1 M. Rusli Karim dalam Bukunya, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu Kajian
Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era
1970-an s/d 1980-an. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 02 2 Shafi L. Dalam, Al-Aqidah wal Siyasah. (harndon: The International Institut of Islamic
Thought, 1996), h. 86
17
Artinya, tidak ada akidah kalau tidak ada syariah, begitupun sebaliknya. Dari
pemaham syariah disini, banyak para pemikir Islam pada akhirnya memperoleh
satu instrumen yang melatar belakangi kenapa misalkan antara kekuasaan yang
ada di dunia harus tidak boleh terpisahkan.3 Demikianlah kira-kira secara umum
apa yang dimaksud dengan pengertian Islam Politik itu.
B. Islam Politik di Indonesia
Indonesia sebagai mana menurut Ahmad Syafii Ma’arif4 dikenal sebagai
bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sekitar 88 persen rakyat
Indonesia beragama Islam5, namun walupun agama ini tidak resmi menjadi
agama negara seperti yang terjadi di negara Malaysia. Namun terlepas dari
kurangnya sofistikasi intelektual sebagian besar rakyat dalam memahami ajaran
Islam. Baik karena faktor sejarah maupun kultural. Islam di Indonesia adalah
suatu agama yang hidup dan begitu vital, yang kini sedang terlibat dalam proses
transformasi dari posisi kuantitas ke posisi kualitas.
3 Menurut Musa, M.Y. dalam bukunya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, (Khairah: Dar al-Katib
al-Arabi Littaba’ah wa al-Nasyr, 1963). Sebagai mana yang dikutib oleh M. Rusli karim dalam
bukunya, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu kajian mengenai Implikasi kebijakan
pembangunan bagi keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era 1970-an sam 1980-an. Mengatakan,
bahwa akidah-lah yang menghubungkan antara seorang hamba dengan tuhannya. Ia tidak berubah
karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan syari’at juga menghubungkan manusia dengan
tuhannya. Yang biasa di sebut dengan Ibadah. Hubungan antara sesama manusia di sebut Mu’amalah, sedangkan hubungannya antara yang di perintah dengan yang memerintah disebut dengan Siyasah.
4Ahmad Syafii Ma’arif, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah
Ketatanegaraan, (Jakarta; LP3ES, 1985), h. 63 5 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2005), h. 56
18
Dengan kata lain, Islam di Indonesia bukanlah suatu produk sejarah yang
telah rampung, namun merupakan suatu proses yang akan terus berjalan.
Berikut penulis akan menjelaskan secara singkat bagaimana sesungguhnya
Islam Politik dalam sejarahnya di Indonesia, di mulai dari zaman Kolonial
sampai zaman Reformasi.
1. Zaman Kolonial
Bahtiar Effendy6 pernah mengatakan bahwa sebenarnya sejarah politik
Islam Indonesia modern merupakan salah satu khasanah perbandingan yang
cukup lumayan untuk di perbandingkan dengan pemikiran-pemikiran politik
keIslaman yang pernah dikembangkan dikawasan Timur Tengah atau dunia
Islam lainya.
Sepanjang sejarahnya yang telah berumur kira-kira setengah abad lamanya
tersebut, pemikiran politik Islam telah mengalami perkembangan kedalam
batas-batas tiga mazhab, dan pada dasawarsa antara tahun 1940-an sampai pada
awal 1960-an, eksperimen, artikulasi dan detik pemikirannya tampak lebih
kurang telah bersifat absolutis dan atagonistik antara pemikir yang berada di
kubu “golongan agama” dan “golongan nasionalis”
Selanjutnya sebagai mana yang di ungkap oleh Ahmad Syafii Ma’arif juga
mengatakan kalau sesungguhnya sebuah penilaian yang pantas terhadap
6 Bahtiar Effendy, dalam Pengantar Gagalnya Islam Politik, Karya Oliver Roy, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 63
19
berbagai pengalaman dan kegiatan politik Islam pada masa muta’akhir
Indonesia terutama tergantung terhadap pengertian yang cukup terhadap Islam
sebagai kekuatan pembebas didalam berhadapan dengan politik kolonial
belanda terhadap umat Islam pada empat dekade pertama abad ini.
Masih menurut Ahmad Syafii Ma’arif semenjak kedatangan Kompeni
India Timur Belanda ke Nusantara yang diperkirakan datang pada permulaan
abad ke-17, tak dapat tersangkalkan bila saat itu umat Islam sudah melakukan
perlawanan yang cukup keras terhadap mereka dan pada tahun 1936, melalui
wawancara dengan koresponden Deli Courent, Gubernur Jenderal B.C de Jonge
nampaknya masih berharap agar kekuasaan kolonial Belanda akan berlangsung
lama di Indonesia.7
Akan tetapi enam tahun kemudian tepatnya pada bulan maret 1942.
Kekuasaan kolonial Belanda di usir dari Indonesia oleh pasukan Jepang tanpa
adanya perlawanan yang berarti dari pihak penjajah Belanda. Kedatangan
Jepang pada mulanya disambut dengan sangat antusias bukan saja oleh umat
Islam melainkan juga oleh seluruh bangsa Indonesia.
Lantaran kesadaran yang mendalam terhadap pentingnya memperbaiki
komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang berasaskan Islam, maka
7 Bahkan dengan sangat pongahnya ia berucap, “Kami sudah berkuasa di sini selama kurang
lebih tiga ratus tahun dengan Cambuk dan Cemeti, dan kami akan berbuat begitu lagi untuk tiga ratus
tahun kedepan” dikutip dari Sutan Sjahrir, Out of Exile, terjemahan dari bahasa belanda oleh Charles
Wolf Jr. (New York: The John Day Company, 1949), h. 122 Lihat A Syafii Ma’arif, Studi Tentang
Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah Ketatanegaraan, (Jakarta; LP3ES, 1985), h. 163
20
KH. Mansur (Muhamdiyah), KH. Achmad Wahab Hasbullah (NU) dan
pemimpin-pemimpin Islam lainya dari SI, Al-Irsyad, Al-Islam (organisasi Islam
di Solo), Persyerikatan Ulama (Majalengka Jawa Barat) dan lain-lain telah
berhasil membentuk suatu badan federasi MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) di
Surabaya pada tanggal 20 Septermber 1937.8 Inisiatif kearah persatuan dan
saling pengertian ini juga di dorong oleh dua kenyataan.
Pertama, usaha-usaha politis yang bercorak Islam pada saat itu masih
sangat berserakan dan karena itu persatuan amat perlu dilakukan dalam
kerangka perjuangan melawan Belanda. Pentingnya persatuan dikalangan umat
juga sangat dituntut secara tegas oleh al-Qur’an di dalam QS. Ali-‘Imron (3):
103
(#θ ßϑ ÅÁ tGôã $#uρ È≅ö7 pt¿2 «!$# $Yè‹ Ïϑ y_ Ÿωuρ (#θ è%§� x s? 4 (#ρã� ä. øŒ$#uρ |Myϑ ÷èÏΡ «!$# öΝ ä3 ø‹ n=tæ øŒÎ) ÷ΛäΖä.
[ !#y‰ôã r& y# ©9r' sù t÷ t/ öΝ ä3 Î/θ è=è% Λäóst7 ô¹ r' sù ÿϵ ÏFuΚ ÷èÏΖÎ/ $ZΡ≡uθ ÷z Î) ÷ΛäΖä. uρ 4’n? tã $x x© ;ο t� ø ãm zÏiΒ
Í‘$̈Ζ9$# Ν ä. x‹s)Ρr' sù $pκ÷]ÏiΒ 3 y7Ï9≡x‹x. ßÎi t6 ムª!$# öΝ ä3 s9 ϵ ÏG≈ tƒ#u ÷/ ä3 ª=yès9 tβρ߉tGöκsE ) ان� ٣ /�ل �
:١٠٣(
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
8 KH. Mas Mansyur, “Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi” dalam Amir Hamjah,
“Rangkaian Mutu Manikam: Buah pikiran Budiman Kyai Mas Mansur (Surabaya: Penyebar Ilmu &
Ikhsan, 1968), h. 85
21
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”
Ayat ini telah membimbing pemimpin-pemimpin Islam pada waktu
mereka membentuk MIAI, adanya faksi-faksi dibidang politik dan perbedaan-
perbedaan paham dalam soal khilafiyah di kalangan umat perlu dibenahi di atas
dasar semangat persaudaraan dalam MIAI.
Kedua, adanya contoh yang kompotitif dari golongan nasionalis sekuler
yang juga berusaha mempersatukan dirinya. Kenyataan ini telah makin
mendorong pemimpin umat untuk menatap posisi politik mereka secara lebih
kritis, dan persatuan lewat MIAI dipandang cukup memberi harapan pada waktu
itu. Dengan persatuan diharapkan dapat memobilisasi seluruh gerakan-gerakan
Islam untuk menghadapi pihak penjajah. Belum lima tahun setelah kehadiran
MIAI, pasukan Belanda mendarat di Indonesia dan dengan mudah dapat diusir
kembali.
Dari penjelasan sejarah tersebut bisa kita ambil pemahaman, bahwa umat
Islam di dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini sangat kuat sekali,
terbukti dengan banyaknya inisiatif-inisiatif yang mereka lakukan seperti
pembentukan MIAI dan lain sebagainya.
2. Menjelang Kemerdekaan Sampai Awal Kemerdekaan
Seperti yang telah penulis katakan diatas, dua hari setelah pasukan Jepang
menyerah kepada pasukan sekutu, pada tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia
dibawah pimpinan Soekarno dan Mohammad Hata menyatakan
22
kemerdekaannya. Tetapi negara yang baru lahir ini harus melalui jalan terjal
dalam mempertahankan kemerdekaannya, karena Belanda masih belum puas
dengan masa penjajahannya. Kolonialisme ingin dilanjutkan setelah perang
dunia ke dua. Belanda terlalu sedih meninggalkan Nusantara yang cantik ini.
Sebagaimana Kemal Attatruk, Bung Karno sebagai pejuang pemersatu
bangsa, pejuang melawan kolonialisme dan imperialisme, proklamator
kemerdekaan bangsa Indonesia dan presiden RI pertama juga mempunyai
agenda utama dalam membangun Indonesia modern. Karena itu yang menjadi
agenda utama adalah tentang sistem politik Indonesia. Di awal-awal
kemerdekaan bukanlah hal yang sangat mudah untuk merumuskan hal tersebut.9
Seperti diketahui, semenjak Soekarno menjabat sebagai presiden
Indonesia modern, yang segera menjadi persoalan utama ketika itu adalah tarik
menariknya ideologi negara antara proyek sekularisasi dan Islamisasi.10
Terlebih lagi jika tarik menarik itu dilihat dari persfektif religio-politik, maka
akan semakin nampak bahwa sejarah Indonesia modern memang merupakan
perseteruan abadi antara dua kutub yang saling berlawanan tersebut.
Akibat perseteruan abadi tersebut muncul dua kelompok dikotomis
dengan sederetan tokoh intelektual pendukungnya. Kelompok pertama disebut
9 Herbet Feith dan Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta:
LP3ES, 1988), h. xvii-xxxviii 10
Yudi Latif, “Sekularisasi Masyarakat dan Neagara Indonesia,” dalam Komarudin Hidayat
dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 115
23
kelompok teokratis, suatu kelompok yang menginginkan prinsip-prinsip agama
dijadikan ideologi negara. Kelompok kedua disebut kelompok sekuler, suatu
kelompok yang menolak prinsip-prinsip agama dimasukkan dalam ideologi
negara. Dalam hal ini, Soekarno yang memiliki otoritas untuk menentukan
ideologi negara bisa dimasukkan kedalam kelompok yang kedua. Sebab, secara
eksplisit ia selalu menolak formalisasi agama terhadap negara.
Hal ini tercermin dalam perdebatan Bung Karno dengan para petinggi-
petinggi negara dalam pengaturan ideologi dan konstitusional negara. Seperti
dijelaskan, dari perdebatan-perdebatan tersebut memunculkan polarisasi
ideilogi-ideologi kelompok besar, Golongan Nasionalis dan Golongan Agama.11
3. Masa Orde Lama
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk
dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat
penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai
perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang
membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta
mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan
instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada
pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai
11
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam :pertautan Agama, h. 68
24
titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan
koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih
terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional
berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.12
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa
Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan
berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur
pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah
pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat
mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem
yang otoriter sebagai esensi feodalisme.
Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri
tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas
landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang
berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap
kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa
yang adil dan makmur.
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden
yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam
12
Suhardiman, Pembangunan Politik Satu Abad, (Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996), h.
50
25
Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan
penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS
1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante
melaksanakan tugasnya.13
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi
terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959
dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut
UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak
memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit.
Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang
dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham
politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat
berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang
bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar,
tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas
objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan
secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan
13
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Diktat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999,
(Yogyakarta: penerbit UII, 1998), h. 133-134
26
kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti
“Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment”
tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam
bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang
dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung
(verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi
(gekwalificeerde democratie).14
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan
multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini
terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan
theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955
melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara
perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini
berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
(1). Gerakan separatis pada tahun 1957;
(2). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam,
sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada
tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam
fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17
14
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2004), h. 141
27
Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan
tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang
seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata
politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya
memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah
Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu
sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang
sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada
tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga
walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.15
4. Masa Orde Baru
Peralihan kekuasaan dan pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru
ditandai dengan turunnya Soekarno dan kursi kepresidenan pasca kudeta
G30/S/PKI pada tahun 1965.16
Peristiwa politik tersebut telah berimplikasi
kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan
massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan sistem
15
Sebagian pengamat sejarah asing berpendapat bahwa peristiwa Jakarta 1965 merupakan
skenario hebat dari sebuah kup yang didalangi oleh Dinas Intelijen AS, CIA 16
Mochtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, h.
47-53.
28
politik dan pemulihan keamanan negara.17
Puncaknya terjadi pada tahun 1966,
di mana pada saat itu situasi dan stabilitas dalam negeri Indonesia semakin carut
marut. Pada gilirannya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang pada intinya berisi perintah untuk
pemulihan kamanan dan ketertiban nasional, konsolidasi semua aparat militer
dan sipil, serta pelaporan atas segala tugas dan tanggung jawab surat perintah
tersebut.18
Proses politik dalam negeri saat itu berjalan sangat cepat. Jenderal
Soeharto secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemegang kendali
atas setiap proses politik. Ia mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi
percepatan dan pemulihan kondisi sosial, politik dan ekonomi saat itu, hingga
digelarnya Sidang Umum MPRS pada bulan Juni - Juli 1966. Ketetapan MPRS
No, TX/MPRS/1966 rnenjadi landasan konstitusinal bagi Supersemar dan
sekaligus digelarnya Sidang Umum MPRS tahun 1967 berhasil menggusur
Soekarno dari kursi kepresidenan berupa pencabutan mandat presiden oleh
MPRS dalam Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Hal ini telah memuluskan
jalan bagi Soeharto untuk naik ke puncak kekuasaan yakni diangkat menjadi
17
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), Ke-
3, h. 140. 18
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1978
Bab. VII.
29
presiden kedua yang ditetapkan dalam ketetapan MPRS
No.XLITI/MPRS/1968.19
Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh kalangan pelajar dan mahasiswa
yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan
Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) yang para anggotanya
mayoritas beragama Islam. Dapat dikatakan, mereka menjadi ujung tombak
runtuhnya pemerintahan Orde Lama. Pada awal Orde Baru banyak dilakukan
perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggung jawab
yang merupakan warisan Orde Lama. Dengan memakai format politik yang
berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk tujuan
melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintah yang stabil dan kuat.
Kekuatan militer dan birokrasi merupakan mesin politik untuk menata
kehidupan sosial dan politik masyarakat, sehingga Orde Baru melalui dua
komponen tersebut menjadi kekuatan politik tunggal di Indonesia.20
Adapun format politik yang tercipta antara lain21
: Pertama, peranan
birokrasi sangat kuat karena dijalankan oleh militer setelah ambruknya
demokrasi terpimpin, sehingga ia menjadi satu-satunya pemain utama di pentas
politik nasional. Kedua, upaya membangun sebuah kekuatan organisasi sosial
19
Fuad Hasan, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto,
(Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991), h. 26 1-262. 20
Lance Castle, Birokrasi dan Masyarakat Indonesia, (Surakarta: Hapsara, 1983), h. 27. 21
Affan Gaffar, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. 37.
30
politik sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah dalam wujud
lahirnya Golkar sebagai mayoritas tunggal organisasi politik di masa Orde Baru.
Ketiga, penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi massa,
seperti menerapkan konsep floating mass dan NKK/BKK di lingkungan
pendidikan tinggi. Keempat, lebih menekankan pendekatan keamanan (Security
Approach) dan pendekatan kesejahteraan (Welfare Approuch) dalam
pembagunan sosial politik; kelima, menggalang dukungan masyarakat melalui
organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan yang berbasis korporatis.
Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah
diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma
perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses
transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang
pernah terjadi di negara-negara Barat. Kiblat pembangunan di Indonesia yang
sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan
Amerika. Serta banyaknya kalangan cendekiawan dan kalangan intelektual yang
mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat. Sementara itu, bagi kalangan
Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni
apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung
Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan
31
kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan
nasional.22
Sikap pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi
modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu
bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar
pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa
modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif,
yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap
dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi
modernisasi. Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih
dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan
modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam
modern di Indonesia. Hal ini terjadi sebagai antitesa dari kalangan Islam
konservatif yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi
Islam secara formal yang mengakibatkan lahirnnya ketegangan dengan rezim
Orde Baru.
Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik
bagi Islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya
22
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung:
Mizan, 1993), h. 381-382.
32
umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada
gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi urnat Islam
untuk tetap memainkan perannya dalam pentas politik nasional Paling tidak,
kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya
jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun
1970-an.23
Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam
posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan
berbagai ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa
dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami
pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif.
Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang
hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang
kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah
telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan
konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.24
Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982- 1985) kaum santri
berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya
23
M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru:
Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 32-235; Lihat juga Fachry Ali dan
Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde
Baru, (Bandung: Mizan, 1985), h. 108-110. 24
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 9.
33
untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada
tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian
akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu
1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam
landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan
akomodatif (1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di
mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan
birokrasi, Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya
aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan
budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa
yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945.25
Namun demikian, khusus dalam sudut pandang perkembangan hukum
Islam di Indonesia kesempatan umat Islam untuk mendapatkan hak-haknya
pada pola hubungan antagonistik lebih tampak. Posisi umat Islam yang begitu
lemah, seperti ketika merumuskan UU Perkawinan No.1 tahun 1974, aliran
kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), isu
ekstrim kanan, isu suku, agama dan ras (SARA), isu kristenisasi dan kebijakan
ekonomi kapitalistik. Protes umat Islam atas UU Perkawinan No.1/1974 yang
disusul dengan PP No.9/1975, dianggap sebagai usaha Orde Baru untuk
25
Ibid., h. 238-239.
34
menggeser Hukum Islam dari akar tatanan sosial masyarakat Islam di
Indonesia.26
Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada tahap
antagonistik lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan yang
tidak harmonis berupa konflik ideologis. Jika sebelumnya pada masa Orde
Lama Islam lebih nampak mengkristal dalam bingkai organisasi politik
Masyumi, tegas berhalapan dengan ideologi nasionalis sekuler (PNI
Soekarnois) dan ekstrim kiri PKI, selanjutnya pada masa Orde Baru Islam
terbelah dan terpecah-pecah dari bingkai Masyumi. Hal ini terjadi karena
kebijakan ketat pemerintah Orde Baru dalam merespon munculnya ideologi
Islam politik yang menguat kembali.
Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak
perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU
Perkawinan No.1/1974 yang kemudian disusul dengan PP No.9/1975.
Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No.28/1977.
Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali
mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama
resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam
untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-undang Peradilan Agama
26
Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 88-90.
35
(RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.27
Kemudian pada
pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk
menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini,
kalangan cendekiawan dan politisi Islamharus berani bersentuhan langsung
dengan pemerintahan Orde Baru.28
Melalui pendekatan struktural-fungsional,
umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam
dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan
sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil
Islam dan militer.
Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya
Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat
realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di
pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak
baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika
diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UUPA No.7/1989 sekaligus
menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur
dalarn UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14/1970, disusul dengan UU
Perbankan No.10/1998 (pengganti UU No.7/1992), UU Zakat No.38/ 1999,
27
Ahmad Sukarja, ‚Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, dalam Cik
Hasan Bisri (ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), h. 24-25. 28
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi, h. 241.
36
KHI Inpres No.1/1991.29
Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam
demikian tampak mulai dan pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis
sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan
Islam sebagai kakuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni
secara represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini
merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam
dan negara di Indonesia.
5. Masa Reformasi
Transisi demokrasi Indonesia pasca reformasi mengubah wajah
perpolitikan Indonesia. Kondisi negara yang tidak karuan menuntut berbagai
pihak merasa perlu untuk mendesakkan demokrasi, kebebasan, transparansi,
akutanbilitas publik, atas persoalan-persoalan bangsa, berkaitan dengan seluruh
tananan masyarakat. Tak ayal pertentangan dan konflik sosial terus terjadi.
Berbagai kepentingan, baik yang mendasari atas nama bangsa dan kelompok
tertentu, juga ikut mewarnai. Terbukanya katub-katub kebebasan dalam
berpendapat, berkumpul, dan berserikat menjadi salah satu pendorong
menguatnya gerakan masyarakat sipil. Di satu sisi, gerakan ini menjadi harapan
karena mampu mendorong dan menjadi stabilisator pemerintahan, namun di saat
yang lain semakin mengancam. Kegetiran masyarakat atas berbagai persoalan
29
20 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama dan Peradilan Islam, dalam Cik Hasan Bisri. h. 116-
117.
37
terutama dalam hal ekonomi, politik, dan degradasi moral menjadikan
masyarakat mencari alternatif baru. Salah satunya adalah munculnya berbagai
pemikiran politik Islam yang kemudian melahirkan banyak gerakan. Konsolidasi
di tingkatan negara terus dilakukan, namun pada saat yang sama, terdapat
konsolidasi internal di kalangan umat Islam. Fenomena ini dapat dibaca dari
munculnya gerakan politik Islam dengan berbagai isu aktual. Penegakan syariat,
negara Islam, khilafah Islamiyah, masyarakat madani, dan gerakan-gerakan
pelegal-formalan Islam dalam kehidupan politik.
Selama Orde Baru (Orba), kekuatan politik Islam mengalami pasang surut.
Pada masa awal Orba, Islam mengalami peminggiran dari negara. Umat Islam
merasa kesulitan mengembangan gagasan-gagasan mengenai sosial-politik
karena rezim Orba yang represif. Islam sedikit memperoleh angin segar saat
masuk masa pertengahan akhir rezim Orba, namun kepentinganya juga masih
banyak dikooptasi negara.30
Pada era reformasi, menguat pemikiran politik Islam dan juga muncul
reaksi balik dari berbagai kelompok yang bersebrangaan. Kondisi ini
memunculkan tiga kubu dalam masyarakat. Pertama, menginginkan legalitas
politik Islam dalam sistem negara. Kelompok ini dikenal dengan kelompok
simbolis, yakni berpegang pada model legalitas simbol-simbol Islam. Kedua,
30
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia; Pertautan Negara, Khilafah,
Masyarakat Madani, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet Ke-I h. 18-20
38
kelompok yang menolak masuknya sistem Islam dalam negara, namun merasa
perlu memasukan etos atau spirit Islam dalam mendasari sistem negara.
Kalangan ini dikenal dengan kelompk subtansialis. Ketiga, adalah kelompok
yang membedakan antara kawasan pribadi dan publik dalam kenegaraan. Agama
adalah wilayah pribadi yang tidak dapat dicampurkan dalam sistem publik,
negara. Kelompok ini kemudian dikenal dengan kelompok liberal.
Kelompok pertama menyakini bahwa kegagalan bangsa Indonesia
membangun negara yang kuat adalah karena sistem yang dianut adalah sistem
negara sekuler. Islam menjadi solusi atas segala krisis bangsa; kepemimpinan,
ekonomi, relasi sosial dalam masayarakat dan moralitas. Masyarakat Indonesia
perlu mengambil pedoman hidup dari inti sari nilai-nilai Islam dan praktik
kenegaraan Islam masa Rasulullah. Pemahanan ini sendiri melahirkan banyak
model gerakan Islam di Indonesia saat ini.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front
Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) merupakan gerakan sosial-politik keagamaan Indonesia
kontemporer. Gerakan-gerakan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena
pada masa Orde Lama juga sudah muncul gerakan politik Islam serupa. Model
pemikiran gerakan Islam Indonesia memiliki kemiripan karekteristik, yakni
menuntut adanya legalisasi Islam dalam sistem sosial ataupun politik Indonesia.
Bahkan, HTI sangat getol untuk meng-goal-kan khilafah Islamiyah atau
pemeritahan Islam di Indonesia. Bagi HTI, pemerintahan Islam merupakan suatu
39
keharusan yang wajib ditegakkan. Model negara yang diimpikan HTI adalah
transnasional yang membatasi wilayah geografis atau melintasi batas-batas
negara yang sudah ada. Pemikiran negara HTI banyak terinspirasi pemikiran
tokohnya Taqiyuddin an-Nabanyy dari Palestina. Pemikiran politik HTI banyak
terispirasi model pemerintahan Rasulullah di Madinah dan kemudian
berkembang pada sistem khilafah Islamiyah. Sementara, khilafah Islamiyah
sendiri runtuh pada 1924, masa kepemipinan Turki Usmani dihancurkan
kekuatan kapitalisme Barat.31
Berbeda dengan HTI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) memandang
bahwa pentingnya formalisasi agama dalam sistem sosial politik Indonesia.
Sepintas, MMI tidak memiliki ide pendirian negara agama, namun lebih
mengedepankan simbolisasi agama dalam negara. Inilah yang membedakan
antara HTI dan MMI dalam menegakkan Islam.
Bagi MMI, siapa pun yang menentang penegakan syariat harus ditentang
dan dilawan, sekalipun dengan kekerasan. Doktrin ini kemudian banyak menjadi
pemicu ketegangan di antara umat Islam, terutama kalangan moderat dan liberal.
Tidak jarang, perbedaan pemahanan ini menimbulakan gesekan dan konflik
keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini. Laskar Jihad, FPI, dan KAMMI
memiliki orietasi yang kurang lebih sama dengan MMI. Namun, masing-masing
memiliki karakter yang berbeda dalam gerakan keagamaannya. Gerakan-gerakan
31
Ibid, h. 386
40
ini pun sering menimbulkan gesekan ketegangan di antara umat Islam dewasa
ini. Pertikaian antara FPI dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan di Lapangan Monas Jakarta (1/06/08) merupakan
fakta atas hal ini.
41
BAB III
BIOGRAFI MUNAWIR SADZALI
A. Riwayat Hidup Munawir Sjadzali
Dilahirkan di sebuah desa bernama Karanganom sekitar delapan kilometer
dari ibu kota Klaten, Jawa Tengah. Ibunya bernama Tas`iyah sedangkan
ayahnya bernama Abu Aswad Hasan Sjadzali yang biasa dipanggil Mughaffir.1
Keluarganya merupakan keluarga yang tergolong miskin, sehingga tidak
jarang ketika masih di Sekolah Rakyat, Munawir kecil berangkat sekolah pada
pagi hari tanpa sarapan terlebih dahulu, kecuali setelah satu hari sebelumnya
ibunya menjual kelapa dan dengan hasil menjual kelapa itu dibelikan bahan
makanan untuk sarapan keesokan paginya. Pengiriman uang saku yang tertunda
bahkan sering kali dikurangi serta biaya sekolah (SPP) yang selalu menunggak
saat menimba ilmu di Manba`ul `Ulum, serta mungkin yang tidak pernah dia
lupakan adalah ketika ibunya harus menjual jarit (kain panjang) bekas yang
masih lumayan bagus untuk menebus ijazah aliyahnya.
Meskipun secara ekonomi keluarganya sangat kekurangan, namun secara
agama keluarganya tergolong baik, dikarenakan ayahnya yang pernah mondok
di berbagai pesantren tradisional yang cukup terkenal saat itu, seperti Pesantren
1 Nama Tua, yaitu nama yang diberikan karena tradisi masyarakat Desa Karanganom kepada
setiap pasangan laki-laki dan perempuan yang baru menikah, dengan nama tua itulah pasangan itu
dipanggil baik oleh keluarga maupun oleh kawan dekat.
42
Jamsaren (Solo, Jawa Tengah), Pesantren Tebu Ireng (Jombang, Jawa Timur),
dan Pesantren Termas (Pacitan, Jawa Timur).
Selain itu, ayahnya juga seorang yang aktif di organisasi Muhammadiyah.
Bahkan ayahnya pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Ranting
Muhammadiyah di kampungnya. Selain itu, ayahnya juga termasuk pengamal
atau pengikut tarekat Sjadzaliyah yang merupakan salah satu ordo mistik dalam
mistisisme Islam.
Di lingkungan masyarakat Desa Karanganom, ayahnya juga mendapatkan
panggilan Kyai, sebuah panggilan kehormatan untuk seseorang yang dianggap
memiliki wawasan ilmu-ilmu agama yang luas sekaligus pengakuan sebagai
pemimpin informal bagi masyarakatnya.
Munawir Sjadzali adalah anak sulung dari delapan bersaudara, lahir pada
pukul 10 pagi hari Sabtu Pon, tanggal 19 Bakdo Mulud (Robi`ul Akhir) tahun
Be, menurut ibunya yang buta aksara latin. Ketika Munawir Sjadzali duduk di
bangku Madrasah Aliyah Manba`ul Ulum, ia mendapatkan pelajaran Ilmu
Falak, dengan ilmu itu ia menemukan bahwa tanggal kelahirannya adalah 7
November 1925.2
Karir Munawir dimulai sebagai guru SD Islam di Unggaran, Semarang
(1944-1945) selepas dari Manba`ul `Ulum. Proklamasi kemerdekaan di bulan
Agustus 1945, membawa perubahan besar di Gunungpati yang perbatasannya
2 Konversi ini sesuai dengan yang terdapat dalam buku Almanak 130 Tahun, 1870 – 2000,
terbitan PT. Citra Jaya Murti. Lihat M. Wahyuni Nafis, et.al., Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun
Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), Cet. I, h. 7.
43
dengan Kota Semarang hanya dibatasi oleh aliran Kali Garang yang dangkal.
Sehingga Gunungpati, secara langsung atau tidak langsung menerima dampak
pertama dari apa yang terjadi di Kota Semarang, terlebih ketika terjadi
“Pertempuran Lima Hari” yang dengan sendirinya menimbulkan masalah-
masalah politik, keamanan, ekonomi, dan sosial.
Dan seperti yang terjadi di banyak daerah di republik yang masih sangat
muda saat itu, di Gunungpati juga segera terbentuk Gerakan Angkatan Muda
guna mempertahankan kemerdekaan. Munawir segera bergabung di dalamnya
dan terpilih sebagai ketuanya. Inilah kiprah politik yang pertama kali
digelutinya.
Selama masa mempertahankan kemerdekaan, Munawir menjadi
penghubung antara Markas Pertempuran Jawa Tengah dengan Badan-badan
Kelaskaran Islam yang ada saat itu (1945-1949). Pada hal tugasnya sebagai
penghubung berawal dari ketidaksengajaan, hal ini bermula ketika
diselenggarakan Kongres Pemuda di Yogyakarta. Seusai kongres Munawir dan
kawan-kawannya kembali ke Gunungpati, namun truk yang mereka tumpangi
terhenti di Ambarawa lantaran jalannya terhalang oleh potongan-potongan
pohon yang ditebang oleh para pejuang. Saat itulah muncul keinginan dari
kawan-kawannya untuk bergabung dengan kesatuan-kesatuan para pejuang.
Akhirnya, Gerakan Angkatan Muda yang dipimpinnya membubarkan diri. Dan
44
Munawir sendiri, memilih untuk bergabung dengan kesatuan pejuang Islam
Hizbullah.3
Selain Hizbullah, organisasi lain yang juga memilki peran yang sama
dalam mempertahankan kemerdekaan dan sama besar pengaruhnya di Jawa
adalah Sabilillah, namun antara keduanya tidak ada koordinasi sehingga sering
terjadi misskomunikasi. Maka untuk menjembatani keduanya, dibentuklah
Markas Pimpinan Pertempuran Hizbullah-Sabilillah (MPHS) yang berfungsi
sebagai forum komunikasi dan koordinasi. Ternyata, MPHS tidak hanya
menjadi jembatan bagi komunikasi dan koordinasi antara Hizbullah dan
Sabillah, tetapi juga dengan sesama badan-badan kelaskaran lainnya. Dan
Munawir sebagai orang yang dianggap piawai dalam berdiplomasi
diikutsertakan dalam tugas ini.
Pada Mei 1947, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi
tentang peleburan semua badan kelaskaran, termasuk Hizbullah dan Sabilillah,
ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Karena menyadari tidak memiliki memiliki bakat dalam dunia
militer, memilih kembali ke Solo dan kemudian aktif dalam Gerakan Pemuda
Islam Indonesia (GPII). Ketika meletus Peristiwa Madiun, saat itu Munawir
tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Surakarta mewakili GPII. Dan ketika
Belanda menduduki Solo dalam Agresi Militer II, Munawir kembali ke medan
3 Hizbullah adalah semacam unit militer bagi pemuda Islam yang dibentuk pada masa
pendudukan Jepang, tepatnya pada akhir tahun 1944. Lihat Ahmad Syafi`i Ma`arif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 98
45
pertempuran bergabung dengan kesatuan-kesatuan yang memilih tetap
beroperasi di daerah pendudukan.
Tahun 1949 setelah perang mempertahankan kemerdekaan dan
terlaksananya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, Munawir
kembali ke Kota Semarang, di kota itu ia sering keluar-masuk perpustakaan
pribadi milik KH. Munawar Cholil guna mencari pemuas dahaganya terhadap
ilmu pengetahuan, dengan latar belakang madrasah ia merasa memiliki akses
terhadap kitab-kitab klasik Islam4 dan di tahun 1950 dia menulis sebuah buku
yang berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam ?. Bukunya
kemudian menarik perhatian Bung Hatta, sehingga akhirnya Munawir di
panggil Bung Hatta. Menurut Bung Hatta, secara kualitas buku tersebut perlu
dikembangkan dan berani menentang klise.
Lewat Bung Hatta pulalah, pada 1950 itu Munawir memperoleh pekerjaan
di seksi Arab / Timur Tengah Departemen Luar Negeri dengan tugas pokok
menulis ringkasan surat kabar-surat kabar yang berasal negera-negara timur
tengah. Pekerjaan itu semakin menambah pemahaman globalnya terutama
segala hal yang berkaitan dengan timur tengah.
Setelah satu tahun berada di Inggris dalam rangka melanjutkan studi ilmu
politiknya, maka pada tahun 1954 dia kembali ke tanah air dan segera
ditempatkan di Direktorat Eropa.
4 Dr. Azyumardi Azra, Saiful Umam, (ed.) Menteri-menteri Agama RI Biografi Sosial –
Politik (Jakara: Badan Litbang Agama. Departemen Agama RI bekerjasama dengan PPIM-IAIN
Jakarta, 1998), h. 371
46
Awal tahun 1955 dia ditarik ke Sekretariat Bersama Konferensi Asia-
Afrika yang membuatnya terlibat penuh dalam urusan kesekretariatan pada
konferensi bersejarah itu.
Pertengahan tahun 1955 untuk pertama kalinya Munawir ditugaskan ke
luar negeri, yakni diperbantukan di Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat.
Tahun 1959-1963, Munawir diangkat menjadi Kepala Bagian Amerika
Utara, Deplu RI. Kemudian tahun 1963-1965, dipindahtugaskan menjadi
Sekretaris I KBRI di Colombo, Sri Lanka. Tahun 1965-1968 diangkat menjadi
Kuasa Usaha KBRI di Colombo. Selama lima tahun kurang dua bulan dia di
Colombo, sehingga ketika di tanah air terjadi peristiwa G30S / PKI, Munawir
sedang bertugas di sana.
Kemudian tahun 1969-1070, dia menjabat Kabiro Tata Usaha Sekjen
Deplu, lalu antara tahun 1971-1976 menjabat sebagai Minster / Wakil Kepala
Perwakilan RI di London.
Karir Munawir semakin meningkat, sehingga pada 1971-1980 dia
diangkat menjadi Duta Besar Reoublik Indonesia untuk Emirat Arab, yang
meliputi Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab. Tahun 1980, dia
menjabat Staf Ahli Mentri Luar Negeri Republik Indonesia, lalu tahun 1980-
1983 dia menjabat sebagai Dirjen Politik Deplu. Dan di puncak karirnya,
Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Menteri Agama Republik Indonesia
47
pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), dan pada Kabinet Pembangunan V
(1988-1993).
Prof. Dr. Munawir Sjadzali M.A yang dikenal sebagai seorang diplomat,
birokrat, pendidik, dan sekaligus sebagai pemikir, telah berpulang ke
rahmatullah pada hari Jum`at, 23 Juli 2004 di Rumah Sakit Pondok Indah,
Jakarta, akibat serangan penyakit stroke dan kompilasi dari beberapa penyakit
lainnya.
B. Pendidikan Munawir Sjadzali
Munawir Sjadzali kecil menerima pengajaran dan pendidikan dari
ayahnya sendiri, kemudian ia juga mendapatkan pengajaran dan pendidikan
dari Sekolah Rakyat (selama tiga tahun), kemudian dari Pondok Pesantren dan
Madrasah, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasatul Islam, dan Madrasah
Manba`ul Ulum5 yang terletak di Solo.
Ketika di Madrasah yang juga Pondok Pesantren Manbaul `Ulum inilah
dia mulai belajar Bahasa Arab yang meliputi mata pelajaran Nahwu (Imrithi,
Mutammimah, dan Alfiyah), Shorof, Bayan, Ma`ani, Badi’, dan Arudl. Serta
Theologis, Hadits, Tafsir (Al Jalalain), Fiqih (Fathul Qarib, Safinatunnajjah,
Fathul Mu`in, Fathul Wahhab, dan Al Muhadzab), Ushul Fiqh (Irsyadul Fuhul,
5 Manbaul Ulum dikenal sebagai perintis dan pelopor pembaharu pendidikan Islam modern
secara selektif mempergunakan sistam pendidikan barat. Didirikan tahun 1905 oleh R. Adipati
Sosrodiningrat dan R. Penghulu Tafsirul Anam. Pada mulanya, lembaga pendidikan ini hanya
berbentuk pesantren tradisional, kemudian pada 1916 diadakan modernisasi dengan sistem kelas, dari
kelas I sampai XI. Lihat Mahmud Yunus, Pendidikan Agama dan Pengembangan Pemikiran
Keagamaan, (Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI, 1985), h. 23.
48
dan Waroqot), Falaq, Balaghah, dan Ilmu Hitung.6 Intelektualitas Munawir
semakin teguh ketika pada masa berkarir dia tidak hanya menguasai bahasa
Jawa, Melayu, dan Arab. Tetapi juga menguasai bahasa Inggris, dan Prancis.
Pada tahun 1953, Munawir berangkat ke Inggris untuk belajar ilmu politik
di Universitas College of Sout West Of England, Exter. Dan sekembalinya dari
Inggris, dia sempat ditempatkan di Direktorat Eropa, kemudian terlibat penuh
dalam urusan kesekretariatan pada Konferensi Asia-Afrika yang
diselenggarakan di kota Bandung pada awal tahun 1955.
Setelah konferensi Asia-Afrika selesai, dia diperbantukan di
Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC,
Amerika Serikat. Kesempatan ini dia manfaatkan untuk melanjutkan studinya
sambil meniti karir, sehingga pada 1959 Munawir menyandang gelar Master of
Arts dalam Bidang Ilmu Politik di Universitas Goergetown dengan tesis
“Indonesia’s Moslem Pasties and Their Political Concept”.
Setelah mendapatkan gelar M.A, karirnya terus meroket, berpindah dari
satu tugas ke tugas yang lain, sampai akhirnya oleh Presiden Soeharto dia
diangkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia selama dua periode, yakni
pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), dan pada Kabinet Pembangunan V
(1988-1993).
6 Munawir Sjadzali, Pendidikan Agama dan Pengembangan Pemikiran Keagamaan, (Jakarta:
Biro Hukum dan Humas Depag RI, 1985), h. 23
49
Di sela-sela kesibukannya dalam melaksanakan tugas negara, dia juga
dipercaya sebagai Guru Besar pada Program Pascasarjana IAIN, Jakarta.7
C. Posisi Munawir Sjadzali Diantara Para Pemikir Islam Pada Masanya
Sekembalinya dari luar negri, dan menjabat sebagai Menteri Agama,
ketika itu pula, ia mulai melancarkan pemikiran-pamikirannya mengenai Islam.
Agaknya Munawir tidak mengetahui perkembangan pemikiran Islam di tanah
airnya sendiri. Ia kurang menyadari bahwa pembaharuan atau penyegaran
pemikiran tentang Islam telah dimulai oleh orang-orang muda, seperti Nurcholis
Madjid pada tahun 1970, Ahmad Wahid dan Djohan Effendi yang diikuti oleh
Abdurrahman Wahid dari sayap tradisional. Serta dari kalangan yang lebih
senior yaitu Harun Nasution, yang menyebarkan paham pembaharuan
pemikiran Islam Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di IAIN.8
Sejak aktif dalam pemikiran di Indonesia, Munawir boleh dikatakan
menjadi fenomena “Kembalinya Si Anak Hilang” ia memilih jalan kritik,
bahkan kritik tajam dan langsung, dari pada jalan persuasif. Ini disebabkan
karena ia merasa memiliki penguasaan literatur keagamaan langsung dari
bahasa Arab yang dijalin dengan pendekatan ilmu politik Barat yang tidak
7 Munawir Sjadzali; “Dari Lembah Keminskinan; Meniti Karir Merangkap Belajar”, M.
Wahyuni Nafis, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A.,
(Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), cet. I. h. 42-74. 8 M Dawam Rahardjo, Pulangnya Si Anak Hilang: Posisi Munawir Sjadzali di Tengah
Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Islam, Komarudin Hidayat, Ahmad Gaus AF, (ed.), Negara dan
Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet. Ke-I, h.
10
50
kentara, yang ia pelajari secara akademis di AS, namun ia lebih menampilkan
diri dan percaya diri sebagai seorang ahli fikih lulusan Manba’ul Ulum, Solo.
Pendekatannya yang konfrontatif, antara lain karena ia mendapat
dukungan politik yang kuat dari rezim Orde Baru yang berkuasa dan merasa
sangat kuat otoritas politiknya itu, menyebabkan ia mendapatkan perlawanan
yang sangat sengit sebagaimana dialami oleh Nurcholish Madjid, Ahmad Wahid
dan Harun Nasution. Namun Munawir merasa sama sekali tegar untuk terus
menerus mengemukakan pendapatnya yang “kontroversial” itu.
Dalam menjalankan misinya, Munawir telah menulis berbagai artikel,
ceramah dan pidato resmi sebagai Menteri Agama. Dalam setiap pidato,
ceramah dan artikelnya, ia selalu bersikap polemis, buktiya telah mengundang
komentar lisan maupun tulisan terutama dari tokoh-tokoh Islam. Jika
dibandingkan dengan Nurcholis Madjid yang dikenal Kritis dan juga polemis
itu, tokoh yang lebih muda itu jauh lebih santun. Disamping kritik, Nurcholis
Madjid masih membawa dakwah yang memberikan semangat, yaitu semangat
peradaban Islam. Tapi Munawir lebih mengarah kepada kritik dan perubahan.9
D. Corak dan Pengaruh Pemikiran Munawir Sjadzali di Indonesia
Munawir Sjadzali adalah seorang pemikir yang lebih maju dari
kebanyakan orang dimasanya, terbukti pada tahun 1950-an seusai mengikuti
Muktamar GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia) di Semarang. Munawir
9 Ibid, h. 14
51
Sjadzali—yang seorang lulusan Madrasah Islam, Manba’ul Ulum—menulis
sebuah buku kecil setebal 80 halaman yang ternyata sangat orisinal mengenai
pemerintahan dan negara Islam, dengan judul “Mungkinkah Negara Indonesia
Bersendikan Islam?”10
Tulisan yang mungkin kurang ia sadari pentingnya itu,
dengan takdir Tuhan jatuh ketangan Bung Hatta.
Karangan itu menarik perhatian Hatta, seorang cendekiawan nasionalis,
dan salah seorang Proklamator Kemerdekaan RI yang menjabat Wakil Presiden
RI pada waktu itu, sehingga mengundang anak muda itu untuk datang ke
Jakarta dan menanyakan apa cita-citanya. Ternyata pemuda lulusan Madrasah
itu berkeinginan untuk menjadi seorang diplomat. Maka ia pun atas
rekomendasi Bung Hatta memasuki Departemen Luar Negeri, dan kemudian
sambil berkerja sempat bersekolah d Kursus Diplomatik dan Konsuler Deplu
dan dilanjutkannya di Universitas Exter, Inggris (1953-1954). Sambil bekerja
sebagai diplomat, ia sempat melanjutkan pelajarannya di bidang politik dan
berhasil meraih gelar MA di Universitas Georgetown, AS, dengan tesis yang
berjudul “Indonesia’s Muslim Parties and Their Political Consepts” sebuah
tema yang aktual mengenai Islam Politik di Indonesia, sebuah tema yang
ternyata dikembangkan lebih lanjut atara lain oleh Dr. A. Syafi’i Ma’arif, Dr.
10
Nafis, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A, h.
45.
52
Bahtiar Effendy dan Dr. Masykuri Abdillah pada generasi berikutnya dalam
disertasi mereka.11
E. Karya-karya Munawir Sjadzali
Beberapa karya yang telah Munawir Sjadzali tulis mengenai beberapa
bidang, mulai dari pengalamannya sebagai menteri agama, wawasan keislaman,
ketatanegaraan, pendidikan agama, pemerintahan dan tentu saja tentang
perkembangan pemikiran Islam. Adapun beberapa judul tulisan Munawir
Sjadzali antara lain adalah sebagai berikut:
1. Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha
Taruna, 1950
2 Partisipasi Umat Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro
Hukum dan Humas Departemen Agama RI, 1984
3 Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila. Jakarta: Depag RI, 1984
4. Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motifasi Kemajuan Bangsa.
Jakarta: Departemen Agama RI, 1988
5. Reaktualisasi Ajaran Islam”, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988
6. Sjadzali, Munawir. Aspirasi Umat Islam terpenuhi Tanpa Partai Islam.
Jakarta: Departemen Agama RI, 1992
11
M Dawam Rahardjo, Pulangnya Si Anak Hilang: Posisi Munawir Sjadzali di Tengah
Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Islam, Komarudin Hidayat, Ahmad Gaus AF, (ed.), Negara dan
Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), cet I, h. 4
53
7. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press,
1993
8. Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. Jakarta: UI Press
1993
9. Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: UI Press. 1994
10. “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.)
Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI
dan Paramadina, 1995.
11. Ijtihad dan Kemaslahatan Umat”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri
(ed) Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1996
12. Partisipasi umat beragama dalam pembinaan nasional.
Munawir adalah seorang pemimpin pembaharu pemikiran Islam dan
mempunyai banyak gagasan. Dialah yang menggagas pertemuan tahunan
Menteri-Menteri Agama Negara Brunei Darussalam, Republik Indonesia,
Malaysia dan Singapura. Ide dan gagasannya dalam kongres Menteri-Menteri
Agama seluruh dunia di Jeddah pada tahun 1988, telah diterima beberapa
negara, sehingga diadakan empat kali pertemuan tahunan untuk meningkatkan
pembaharuan pemikiran perihal Islam di kalangan negara anggota.
Dalam pengabdiannya, ia telah mendapatkan sejumlah penghargaan,
termasuk dari sejumlah negara sahabat. Antara lain, penghargaan Bintang
Mahaputra Adipradana dan Satyalencana Karya Satya Kelas II dari Pemerintah
Indonesia, Great Cordon of Merit dari Pemerintah Qatar, Medallion of the
54
Order of Quwait-Special Class dari Kuwait, dan Heung in Medal-Second Class
dari Korea Selatan.
55
BAB IV
ISLAM DAN POLITIK MENURUT MUNAWIR SJADZALI
A. Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan Politik
Ketika pertama sekali pada akhir 80-an, Munawir Sjadzali melontarkan
isu tentang reaktulisasi ajaran Islam yang berkaitan dengan gugatan yang cukup
fundamental pada nas-nas syari’ah. Pada saat itulah ia mulai memasuki
persoalan dilematis antara syari’ah yang bersifat holistik dan realitas ke-
Indonesiaan yang bersifat domestik.
Namun di luar dari pengemukaan ide tersebut, ia telah mencoba
membangun karakter baru syari’ah, yang dalam lontaran politik, dikenal dengan
istilah “membangun peradaban dan karakter masyarakat yang khas Indonesia
(nation state and character building), yang pluralistik dan anti diskriminasi
berdasarkan apapun”. Persamaan equalitas pria dan wanita dalam pandangan
berbangsa, seperti terumuskan dalam UUD 1945, tidak hanya dalam urusan
waris, tetapi hampir pada seluruh aspek kehidupan. Sementara itu dalam tafsir
al-Qur’an dan al-Hadis dilema tersebut hampir terjadi di setiap aspek
kehidupan. Dilema yang sama juga terjadi pada pergaulan antar umat beragama,
antara muslim dan non muslim. UUD 1945 anti terhadap diskriminasi
berdasarkan gender, agama dan lainnya, sedangkan syari’ah memberlakukan
sebaliknya.
56
Menghadapi realitas seperti demikian, umat Islam Indonesia dihadapkan
pada dua pilihan; antara menggunakan syari’ah yang ada secara fundamental,
dengan konsekuensi umat Islam termarginalkan dalam pergaulan masyarakat
modern yang berkembang dengan sangat kompleks, atau menyerahkan kepada
hukum sekuler secara absolut tanpa bantahan, yang berarti meninggalkan
doktrin al-Qur’an dan al-Hadis. Kemungkinan lain adalah menjadikan al-Qur’an
dan al-Hadis sejalan dengan semangat perkembangan masyarakat, dengan tetap
konsisten, tanpa mengubah identitas dasar Islam. Pilihan inilah yang kemudian
didengungkan oleh beberapa pembaharu modern Islam termasuk Munawir
Sjadzali.
Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tidak
disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran
politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan
baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika
berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya secara genial ia mampu
memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda
berdasarkan beberapa kerangka teoritisnya.
Sebagai Menteri Agama, Munawir telah beberapa kali mengeluarkan
kebijakan berkenaan dengan kehidupaan keagamaan dan lembaga keagamaan.
Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada di bawah semangat
Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara.
Rumusan yang diajukan Munawir memiliki afinitas dengan mainstream
57
kebijakan negara yang ingin meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas
bagi seluruh organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk
yang berhaluan keagamaan. Konsep-konsep yang dibawa Munawir mendapat
dukungan sepenuhnya dari negara. Tidak heran jika semasa Munawir menjabat
Menteri Agama pemerintah Orde Baru mengakomodasi banyak kepentingan
umat Islam. Tercatat beberapa peraturan-peraturan yang nampaknya
menguntungkan Umat Islam sebagai hasil konsesi pemerintah terhadap keadaan
umat Islam dan Departemen Agama seperti UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.1
Dalam pemikiran politik Munawir Isu negara Islam itu sebenarnya sangat
modern—artinya pada zaman nabi tidak pernah ada perdebatan apakah perlu
negara Islam atau tidak. Tetapi begitu ada konsep tentang negara, dan ada
pengertian baru tentang pemerintahan modern, maka wacana tentang negara
Islam mulai lahir. Maka wacana negara—seperti Islam—sebenarnya berkaitan
dengan perkembangan baru dunia Islam pasca-kolonial, bukan wacana
berdasarkan syari’ah yang abadi dan tidak berubah. Tema melawan teokrasi ini
biasanya dibicarakan dengan cara silent syari’ah.2 Kunci utama dari pendukung
1Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan
Ketegangan Ideologis” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI;
Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, 1998), h. 411 2 Dalam perspektif pemikiran ada tiga cara pembacaan syari’ah golongan Islam Liberal ini:
(1) The liberal syari’ah (suatu model yang menganggap bahwa syari’ah itu sendiri berwatak liberal
jika ditafsirkan secara tepat); (2) The silent syari’ah ( Islam menjadi liberal karena syari’ah
mendiamkan topik-topik tertentu, sehingga umat Islam bebas mengadopsi watak liberalisme); dan (3)
58
tema ini adalah penolakan terhadap apa yang disebut “mitologi negara Islam”,
yaitu sebuah negara yang berdasar pada pemahaman total hukum Islam
(syari’ah) dan peleburan monopolistik kekuasaan dan agama. Gerakan ini juga
mendesakkan dialog antar agama dan perjuangan untuk menciptakan sebuah
masyarakat politik demokratis dan pluralistik.
Dalam konteks Indonesia, masih menurut Munawir, mengkaji gerakan
Islam politik tidak bisa dinilai secara apriori sebagai bentuk tentatif dari tarik
menarik kepentingan di ranah politik saja. Gerakan Islam politik di Indonesia
tidaklah hadir secara spontan. Paling tidak ada empat hal yang melatarinya.
Pertama, globalisasi, dengan medium kecanggihan teknologi komunikasi,
seperti televisi, internet dan sebagainya, telah menyingkap tabir-tabir
penindasan dan kekerasan yang dialami sebagian masyarakat Islam di berbagai
belahan dunia seperti Pelestina, Afganistan, Irak, sehingga memunculkan
solidaritas umat Islam Global.
Kedua, Islam politik sebenarnya merupakan gejala politik keagamaan
yang tidak bisa dipisahkan dari konteks power struggle. Di dalamnya terjadi
perkawinan yang sempurna antara politik dan agama. Motif-motif politik yang
The interpreted syari’ah (Islam menjadi liberal jika syari’ah ditafsirkan secara liberal, sebab
pemaknaan syari’ah dikembalikan pada penafsiran manusia). Hermeneutika yang paling kontroversial
dari tiga konsep tersebut ialah konsep interpretasi syari’ah, di mana menurut mereka syari’ah perlu
ditafsirkan kembali. Itulah sebabnya golongan ini mencoba melakukan penafsiran. Ketiga istilah ini cukup menarik, karena sejauh ini belum pernah ada yang membuat kategori pembacaan syari’ah yang
tajam seperti ini, yang bisa menyadarkan kita bahwa di kalangan Islam liberal sekalipun ada konflik
penafsiran mengenai Islam dan semuanya dalam koridor klaim mencari otentisitas hukum Islam yang
mampu berdialektika dengan realitas keindonesiaan. Lihat Maksum Fuad, Hukum Islam Di Indonesia:
Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: LKIS, 2005), h. 19
59
berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaan negara, sebagai sistem
yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya,
sistem ekonomi, dan tata hubungan internasional, mendapatkan legitimasinya
dalam bahasa agama.
Ketiga, “pengalaman” politik Indonesia di awal kemerdekaan, mengenai
rasionalisasi birokrasi yang berimplikasi pada “perampingan” laskar rakyat
hanya pada laskar yang mendapat pendidikan dan pelatihan dari Belanda dan
Jepang sedangkan yang berasal dari “inisiatif” rakyat seperti laskar di bawah
komando Ibnu Hajar di Kalimantan, Kahar Muzakar di Makasar dan sebagainya
tidak mendapat ruang politik dalam pemerintahan yang baru. Akibatnya,
kelompok yang tersingkirkan ini menjadi gerakan “pemberontak” yang
mengusung negara Islam dan penegakan syariat Islam., karena sejak awal
mereka memang menjadikan Islam sebagai simbol perlawanan terhadap
penjajah.
Keempat, adanya “pengalaman” penerapan syariat Islam di masa-masa
kerajaan dahulu, seperti pernah termaktub dalam Undang-undang Sultan Adam
tahun 1835 yang dikeluarkan oleh Sultan Adam al-Watsiq billah, di masa
kerajaan Banjar ataupun yang terjadi Aceh dan Padang-Minangkabau. Hal ini
tentunya menjadi “ingatan“ yang tetap hidup dalam bawah sadar sosial
masyarakat tertentu.
Keempat realitas ini tidak dilihat dalam kerangka “tradisionalis” yang
beranggapan bahwa Indonesia memiliki legitimasi historis dalam penerapan dan
60
penegakan syariat Islam di Indonesia. Juga bukan dalam kerangka “liberalis”
yang mengganggap bahwa “pengalaman” penerapan syariat Islam tidak
memiliki akar historisnya di Indonesia.
Kerasnya sikap kaum muslim dalam memperjuangkan aspirasi politik
ternyata membawa implikasi negatif—jika tidak boleh dikatakan merugikan—
masyarakat Islam sendiri, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Di
kalangan pemerintah tidak hanya muncul kecurigaan terhadap kaum muslim,
tetapi mereka juga dipandang sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya
bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Situasi demikian pada
gilirannya menimbulkan respons balik. Tidak sedikit pemikir dan aktivis politik
Islam yang memandang negara dengan curiga. Dalam kaitan ini dapat dikatakan
bahwa dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam berkembang
rasa saling curiga antara kelompok Islam dan negara.
Dalam situasi sosial politik seperti inilah Munawir diangkat sebagai
Menteri Agama. Di sini Munawir segera dihadapkan kepada kelompok-
kelompok Islam lama yang masih memperjuangkan ideologi Islam dan secara
apriori menolak Pancasila sebagai asas tunggal; kalangan intelektualisme baru
yang tidak lagi memperjuangkan ideologi Islam atau negara Islam, sebaliknya
malah bersemboyan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan kalangan ormas-ormas
Islam yang lain masih bersikap menunggu.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam
Indonesia tersebut tidak terlepas dari pengamatan Munawir, meskipun secara
61
formal ia bekerja di Departemen Luar Negeri. Bahkan karena tidak terlibat
langsung dalam organisasi-organisasi Islam, Munawir mengakui dapat
sepenuhnya mendudukkan diri sebagai pengamat. Bahkan dengan posisinya ini,
ia dapat berpikir dan menganalisis secara “objektif” perkembangan yang terjadi
di kalangan umat Islam Indonesia.3
Problematika hubungan Islam dan negara di tanah air sebenarnya setua
Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante pasca kemerdekaan (akhir
tahun 1950-an), masalah ini meruncing dan tidak pernah terselesaikan.
Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang hendak diciptakan, apakah
teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrim yang sulit dipertemukan. Akhirnya jalan
tengah yang paling baik ditempuh yaitu negara yang non teokratis tetapi agama
dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara
oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya.
Pada dasarnya dalam perspektif pemikiran politik Islam, setidaknya ada
tiga paradigma hubungan antara agama dan negara yaitu:
Pertama, paradigma integralistik. Dalam konsep ini agama dan negara
menyatu (integral). Agama Islam dan negara, dalam hal ini tidak dapat
dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah negara (din wa dawlah).
Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan
keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar
3Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan
Ketegangan Ideologis” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI;
Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, 1998), h. 392.
62
“kedaulatan ilahi” (devine sovereignity) karena memang kedaulatan itu berasal
dan berada di tangan Tuhan.4
Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Hanya saja dalam term politik
Syi’ah, untuk menyebut negara (ad-dawlah) diganti dengan istilah imamah
(kepemimpinan). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi
keagamaan dan mempunyai fungsi menyeleggarakan “kedaulatan Tuhan”,
negara dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis, salah satu wacana yang
dikritik oleh kaum Islam liberal. Negara teokratis mengandung unsur pengertian
bahwa kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan, dan konstitusi negara
berdasarkan pada wahyu Tuhan (syari’ah).
Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham negara
agama, di mana praktek ketatanegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-
prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa dawlah. Sumber
hukum positipnya adalah sumber hukum agama. Selain kelompok Syi’ah,
pendukung paradigma ini juga berasal dari kelompok Suni seperti Hasan al-
Banna, Sayyid Quthb, Sekh Muhammad Rasyid Rida dan Maulana Al-
Maududi.5
Kedua, Paradigma Simbiotik. Menurut pandangan ini agama versus
negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat
4 Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik
Islam” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV (tahun 1993), h. 5. 5 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 130. Baca juga
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 24.
63
timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara
karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan
agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan
moral dan etika. Paradigma simbiotik ini dapat ditemukan dalam pemikiran al-
Mawardi dalam bukunya al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dalam buku ini ia
mengatakan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen
untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia
(harasah al-din wa al-dunya). Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia
merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan
secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.6
Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syari’ah mempunyai posisi
sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain
al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik
seperti disyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi
kepantasan atau kepatutan politik. Dengan demikian, al-Mawardi sebenarnya
mengenalkan sebuah pendekatan pragmatik dalam menyelesaikan persoalan
politik ketika diperhadapkan dengan prinsip-prinsip agama. Pemikir-pemikir
lain juga berpendapat demikian adalah al-Ghazali (w. 1111) dalam karyanya
Nasihat al-Mulk, Kimiya-yi al-Sa’adat dan al-Iqtisad fi al-I’tiqad.7
6 Dien Syamsuddin, Usaha ., h. 6
7 Ibid., h. 7
64
Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan
integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai
gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan
negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran
negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk
tertentu dari negara. Pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd al-Raziq,
seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Dalam bukunya al-Islam wa Usul al-
Hukm, Raziq mengatakan bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak
mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem
pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalihan Khulafa’ al-Rasyidin,
bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem
yang duniawi. Ali Abd Raziq sendiri menjelaskan pandangan pokok
pandangannya bahwa:
”Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula
mendasarkan kepada kaum muslim suatu sistem pemerintahan tertentu
lewat mana mereka harus diperintah; tetapi Islam telah memberikan
kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan
kondisi-kondisi intelektual, sosial, ekonomi yang kita miliki dan
dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan
zaman”.8
Pandangan Raziq ini tentu saja menyulut kontroversial bahkan hingga
sekarang. Rashid Ridha merasa gerah dengan pikiran Raziq sehingga menulis
8 Dikutip dari M. Din Syamsuddin, Usaha…,h. 7. Penjelasan lain mengenai pemikiran Ali
‘Abd al-Raziq ini lihat pula Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis
(Chicago: Chicago of University Press, 1988), h. 128-169.
65
buku “al-Khilafah au al-Imamah al-Uzma” dan “Yusr al-Islam wa Usul al-
Tasyri’ al-Am”. Munculnya karya Khalid Muhammad Khalid “Min Huna
Nabda’”, karya al-Gazali “Min Huna Na’lam”, karya Sayyid Qutb “al-‘Adalah
al-Ijtimaiyyah”, Muhammad ‘Imarah “al-Islam Wa Usul al-Ahkam Li ‘Ali ‘Abd
al-Raziq”, semuanya merupakan diskusi lebih lanjut tentang perbedaan
pendapat mengenai Islam versus negara.9 Tokoh lain yang mengikuti pendapat
ini adalah Thaha Husein.10
Namun yang menarik adalah hasil penelitiannya Muhammad Qasim
Zaman di mana setelah melacak kembali data-data sejarah awal Islam akhirnya
ia sampai pada kesimpulan bahwa “tidak ada bukti sejarah yang kuat yang
mengindikasikan adanya pemisahan agama dari politik dalam sejarah Islam”11
Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir
setelah menganalisa ketiga pemikiran yang berkembang akhirnya ia
berkesimpulan: Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada
dua aliran (integralistik dan sekularistik), kiranya bertanggung jawab terhadap
9 Akh. Minhaji, “Sekali Lagi: Kontroversi Negara Islam” dalam Majalah Asy-Syir’ah No. 6
(tahun 1999), h. 12. 10
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 137. Informasi
lebih lanjut tentang pemikiran dan kritik atas ide Husein ini dapat dibaca pada Syahrin Harahap, Al-
Qur’an dan Sekularisasi; Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994). 11
Muhammad Qasim Zaman, “The Caliph, The Ulama, and The law: Defining the Role
and Function of the Caliph in the Early ‘Abbasidh Period,” Islamic Law and Society 4 (January 1997),
h. 1-36.
66
Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran simbiotik yaitu
paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma sekularistik.12
Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya
umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan
Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat
Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini
dapat dikemukakan, baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat
persamaan antara Republik Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara
Islam yang ada di dunia sekarang ini, sama-sama mengikuti pola politik barat,
dengan adaptasi dan modifikasi, dan sama dalam hal, selain dalam bidang-
bidang perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan, sistem hukum di
negara-negara tersebut tidak sepenuhnya bersumberkan hukum Islam.13
Pandangan Munawir ini diperkuat oleh Ibrahim Hosen dengan
mengatakan bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah
termasuk Dar al-Islam yang pemerintahannya wajib ditaati oleh warga negara
RI yang beragama Islam, sejalan dengan firman Allah di dalam QS. An-Nisa
(4): 59
12
Munawir Sjadzali, Islam dan . , h. 235-336. 13
Munawir Sjadzali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. (Jakarta: UI
Press 1993), h. 61-66.
67
$pκš‰ r' ‾≈ tƒ t Ï%©!$# (#þθ ãΨ tΒ#u (#θ ãè‹ ÏÛr& ©!$# (#θ ãè‹ ÏÛr&uρ tΑθ ß™§�9$# ’Í<'ρé&uρ Í÷ö∆F{ $# óΟä3ΖÏΒ ( β Î*sù ÷Λäôã t“≈ uΖs?
’Îû & óx« çνρ–Šã� sù ’n<Î) «!$# ÉΑθ ß™§�9$#uρ β Î) ÷ΛäΨ ä. tβθ ãΖÏΒ÷σ è? «!$$Î/ ÏΘöθ u‹ ø9$#uρ Ì� Åz Fψ$# 4 y7Ï9≡sŒ ×�ö�yz
ß|¡ ômr&uρ ¸ξƒ Íρù' s? ) ٥٩: ٤/ أ��ـ�ـ�ء(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Alasan Hosen adalah bahwa di Indonesia mayoritas penduduknya adalah
beragama Islam. Umat Islam bukan saja dilindungi dan dijamin hak-haknya,
akan tetapi juga diberi kebebasan berdasarkan undang-undang untuk
mengamalkan ajaran agamanya, bahkan mengembangkan dan menyebar
luaskannya. Lebih dari itu malah, pemerintah membantu dan ikut aktif
mengembangkan, memajukan dan menyemarakkan syi’ar agama Islam.14
Alasan lain adalah bahwa dalam proses penyusunan UUD 1945 dan
Pancasila sebagai dasar negara serta isinya sesuai dengan teori dan konsepsi
siyasah Islam yang mengedepankan musyawarah dan tidak ada satu butirpun
yang merugikan atau mempersulit, prinsip-prinsip keadilan juga tercermin di
sana serta semangat dan jiwanya relevan dengan prinsip-prinsip umum
pensyari’atan hukum Islam. Untuk itu dilihat dari sisi ini pun menurut Ibrahim
14
Panitia Penyusunan Biografi KH. Ibrahim Hosen, Prof. KH. Ibrahim Hussein dan
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Putra Harapan, 1990), h 137-138.
68
Khosen, pemerintahan RI tidak diragukan lagi bahwa eksistensinya cukup
Islami dan oleh sebab itu kebijakannya wajib ditaati selama untuk
kemaslahatan.15
Tokoh lain yang memperkuat pandangan politik Munawir ini adalah KH.
Sahal Mahfud (Mantan Rois Am NU). Sahal berpandangan bahwa Islam dan
politik mempunyai titik singgung yang erat, bila keduanya dipahami sebagai
sarana menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya
dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat
semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekedar sebagai sarana menduduki
posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.
Menurut Sahal dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga
menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa
dan bernegara. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan
unsur Islam dalam percaturan politik di tanah air. Sejauh mana unsur Islam
mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh
mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat
mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan
dan menganalisis transformasi sosial.16
Jadi dalam rumusan Sahal, Islam dipandang sebagai kekuatan integratif
terhadap negara. Islam adalah faktor komplementer bagi komponen-komponen
15
Ibid ., h. 139. 16
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 207-208.
69
lain bukan sebagai faktor tandingan yang justru berpotensi menciptakan
disintegrasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya
sebagai faktor integratif, maka Islam harus difungsikan sebagai pendorong
tumbuhnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat,
demokratis dan berkeadilan.17
Pemenuhan keadilan dan kesejahteraan inilah yang harus bagi suatu
pemerintahan yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya
memberikan isyarat, bahwa kekuasaan memang bukan tujuan dari politik kaum
muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik
atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin
terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjaga moralitas politik.18
Disaat umat Islam dengan semangat kepartaiannya tidak dapat hadir lagi
di panggung politik nasional, serta semakin membaiknya hubungan Islam dan
Orde Baru saat itu, ternyata banyak lahir sejumlah kebijakan politik pemerintah
yang mengakomodasi aspirasi umat Islam. Antara lain kebijakan mengenai
Undang-Undang Pendidikan Nasional (1988), Undang-Undang Peradilan
Agama (1989), dukungan terhadap berdirinya wadah Ikatan Cendikiawan
Muslim se-Indonesia (1990), Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Agama tentang Efektiifitas Pengumpulan Zakat (1991), dan
17
Ibid., h. 249. Nampaknya pandangan Sahal tentang Islam dan negara Pancasila ini sejalan pemikiran yang sudah lama berkembang dalam NU yang notabene menjadi tempat berkiprahnya
Sahal. Bagi NU, negara Pancasila merupakan bentuk final bangsa Indonesia yang pluralaristik ini.
Informasi lebih lanjut bagaimana proses penerimaan Nu terhadap Pancasila sebagai asas tunggal, baca
Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 233-249. 18
Ibid. h. 256
70
surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah P&K tentang
diizinkannya Pemakaian Jilbab bagi Pelajar Putri.19
Hal ini merupakan jasa-jasa
Munawir Sjadzali saat beliau menjadi Menteri Agama RI.
Kiranya apresiasi “politik” semacam itulah yang yang diinginkan oleh
Munawir Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan ”Tanpa partai
poltik Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan.”20
B. Analisa Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem
Pemerintahan
Pada akhir 1990, Munawir Sjadzali mempersembahkan kepada
masyarakat sebuah buku dengan judul Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah,
dan Pemikiran. Buku tersebut semula ditulisnya sebagai buku panduan bagi
mahasiswa S3 yang mengambil mata kuliah al-Fiqh al-Siyasi. Dengan sikap
rendah hati dan kejujuran diakuinya bahwa pemikiran yang ditulisnya itu
merupakan hasil akhir sementara dari suatu pengembaraan intelektual yang
cukup panjang dan penjelajahan ilmiah yang lumayan luasnya yang terdorong
oleh obsesi untuk dapat menjawab tentang ada atau tidak adanya teori atau
konsep politik / ketatanegaraan dalam Islam.
19
M Safi’I Anwar, “Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia”, “Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendikiawan Muslim Orde Baru” (Jakarta: Paramadina, 1995), h.12 20
Munawir Sjadzali, Aspirasi Umat Islam Terpenuhi Tanpa Partai Islam (Jakarta:
Departemen Agama, 1992) h. 118
71
Pendekatan yang ditempuh Munawir Sjadzali agak berbeda dengan
ilmuwan lain dan menunjukkan sikap intelektual muslim yang langka
ditemukan di masyarakat kita dewasa ini. Beliau menyatakan;
''Tanpa dibebani misi untuk membuktikan sesuatu, serta sama
sekali tanpa praduga dan prakonsepsi, saya masuk ke khazanah
kepustakaan Islam termasuk karya-karya klasik, dengan kepala
terbuka mengkaji apa pun yang saya jumpai dan mempunyai kaitan
dengan pencarian saya itu, dengan menjunjung tinggi kejujuran
tentang dan terhadap Islam, dan menaati kaidah-kaidah keilmuwan
dan objektivitas intelektual.''
''Kemudian pada akhir kajian nanti akan saya susun hasil-
hasil penggalian saya itu, dan akan saya katakan: Inilah Islam
sejauh yang saya temukan sampai hari ini. Kalau misalnya di
kemudian hari saya menemukan fakta-fakta baru yang tidak
senapas dengan apa yang selama ini saya miliki, tetapi mempunyai
dasar ilmiah yang cukup kuat untuk diperhatikan, maka demi Islam
dan demi ilmu, saya tidak akan segan-segan meninjau kembali apa
yang selama ini saya yakini. Itulah sebabnya mengapa di muka tadi
saya menyatakan bahwa buku Islam dan Tata Negara itu
merupakan hasil akhir sementara. Artinya, sementara sampai saya
menemukan fakta-fakta baru yang lebih menguatkan isi buku itu
atau sebaliknya yang berbeda dari hasil pencarian saya selama
ini.”21
Tidak semua orang sependapat dengan kesimpulan penelitiannya itu.
Seorang ilmuwan dan tokoh politik Islam ketika itu setelah membaca tesisnya,
menyatakan penyesalannya bahwa Munawir Sjadzali menulis tesis itu atas dasar
ilmu untuk ilmu dan kurang memperhatikan tuntutan perjuangan Islam.22
Hal
yang sangat mengesankan pada Munawir Sjadzali ialah ungkapan yang sering
21
Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, (Jakarta: UI Press, 1994),
h 45-46 22
http://groups.yahoo.com/group/IslamProgresif/message/601 diakses pada 1 september
2010.
72
disitirnya dalam berbagai tulisan dan pemikirannya, "Sebagai seorang muslim
saya ingin mengikuti tradisi keilmuwan Imam Abu Hanifah. Merupakan suatu
kebiasaan yang sangat terpuji bahwa beliau selalu menutup fatwa dengan
ucapan: Apa yang baru saja saya katakan itu (hanyalah) suatu pendapat, dan
inilah yang terbaik yang dapat saya berikan. Kalau kemudian ada orang (lain)
yang datang dan memberikan pendapat yang lebih baik dari pendapat saya ini,
maka (pendapat) dialah yang lebih tepat untuk dianggap sebagai yang benar
daripada (pendapat) saya."
C. Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia Dewasa ini
Gerakan Islam yang memperjuangkan formalisasi Syariat Islam dalam
Institusi negara / pemerintah merupakan arus baru dalam perkembangan Islam
mutakhir di Indonesia karena menampilkan Islam serba syariat dengan orientasi
yang formalistik ideologis. Gerakan ini berbeda dengan gerakan Islam politik
lama yang diwakili oleh gerakan kultural seperti NU, Muhammadiyah, maupun
kelompok intelektual baru, dengan coraknya yang inklusif-subtantif. Kelompok
Islam politik masa reformasi ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok
Tarbiyah, Hizbutahrir Indonesia, FPI, Majlis Mujahidin dan lainnya.
Secara umum, Islam politik Pasca Orde Baru, dapat dikategorikan kedalam
dua kelompok besar yaitu kelompok yang bertipe struktural dan kelompok yang
bertipe kultural. Kelompok pertama, diwakili oleh partai-partai politik Islam,
baik yang secara eksplisit merupakan partai Islam PBB, PKS, PKNU, PPP dan
73
yang lainnya. Serta partai-partai yang basis masanya lebih dominan berbasiskan
masyarakat muslim seperti PAN, dan PKB. Kelompok kedua, diwakili oleh
Fron Pembela Islam, Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal Jamaah atau biasa
dikenal sebagai Laskar Jihad, MMI, HAMMAS, Ikwanul Muslimin maupun
Hizbutahrir. Kelompok ini di tengarai berhaluan puritan, berkarakter militan,
radikal, skriptualis, konserpatif dan ekslusif. Meski memiliki platform berbeda,
tapi mereka memiliki satu visi yitu pembentukan negara Islam (daulah
Islamiyah) dan formalisasi syariat Islam merupakan muara dari semua aktifitas
mereka.
Menarik untuk dicatat, bahwa belakangan ini bermunculan perda-perda di
beberapa daerah yang bernuansa syariah. Yang mana ketika lahirnya perda-
perda yang bernuansa syariat ini, melalui dialektika politik yang cukup
dramatis. Pertama, bahwa lahirnya perda yang bernuansa syariat ini mustahil
terwujud jika hanya dimainkan oleh kelompok Islam kultural tanpa adanya
sumbangsih dari beberapa kekuatan politik lain. Kekuatan politik yang
dimaksud adalah sokongan dari partai politik dan pihak ekslusif. Lahirnya.
Lahirnya perda syariat tidak bisa lepas dari peran optimal partai-partai
sekuler—lebih khusus partai Golkar. Dan partai partai sekuler lainnya
menunjukan paradigma yang cunderung pragmatis pada masa reformasi ini.
Ditangan mereka isu syariat menjadi isu yang seksi untuk ditunggangi bagi
kepentingan akumulasi kekuatan mereka. Perda syariat ditangan mereka
menjadi terpolitisasi.
74
Kedua, faktor sejarah (romantisme masa lalu) daerah-daerah yang masih
mengkampanyekan perda syariat ini dahulu kala merupakan daerah yang
berbasis kelompok perlawanan DI/TII. Pasca lengsernya Soeharto, sebagian
yang telah diberangus oleh Orde baru berharsat menemukan kembali identitas
diri mereka. Untuk itu, dari mana mereka memulai dan harus dengan kendaraan
politik apa mereka menyambungkan identitas diri. Dalam hal ini mereka telah
terperangkap oleh nostalgia masa lalu.
Ketiga, kegagalan negara dalam memberikan kesejahteraan dan rasa
adil terhadap rakyatnya. Menjamurnya korupsi dan nepotisme dipemerintahan
yang membuka jurang pemisah yang cukup signifikan yang berimplikasi pada
tingginya angka kemiskinan di masyarakat. Serta kebebasan yang terlalu dalam
semua segala hal, maka melahirkan dekandensi moral. akhirnya mereka merasa
harus melahirkan perda syariat itu. Hal ini juga merupakan mekanisme yng
ditempuh untuk mempertahankan diri. Pertahanan dalam arti satu-satunya cara
yang tidak hanya membentengi umat Islam, tetapi sekaligus untuk
menyelesaikan berbagai masalah dan penyakit sosial di masyarakat.
Pelaksanaan syariat pun diyakini sebagi obat yang paling manjur untuk itu.
Dalam kondisi sosial dan politik seperti ini, sangat bertolak belakang
dengan semangat yang selalu diusung oleh Munawir Sjadzali. Karena, yang
paling penting menurut Munawir adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam,
bukan memformalisasikannya.
75
Islam menurut Munawir Sjadzali merupakan sumber inspirasi dan
motifasi, Islam sebagai landasan etika dan moral, bukan sebagai sistem sosial
dan politik secara keseluruhan, tetapi coba ditangkap sepirit dan ruhnya.
Oleh sebab itu, yang menjadi dasar Pemikiran Politik Islam Munawir
Sadzali adalah kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan aktualisasi ajaran
Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah terjadinya perubahan-
perubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi ajaran Islam. Menurut
Munawir Reaktualisasi adalah upaya re-interpretasi terhadap doktrin Islam yang
memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan
hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak persama jika dilihat dari
sudut pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk
merumuskan ulang nilai-nilai normatif yang langsung dalam konteks
relevansinya bagi kebutuhan hidup. Prinsip-prinsip teori metodologi hukum
(usul al-fiqh) dan kaidah-kaidah hukum agama (qawa’id al-fiqh) akan menjaga
agar proses penafsiran kembali itu tidak menyimpang dari prinsip yang
terkandung dalam hal yang ingin ditafsirkan ulang statusnya, dan tidak
bertentangan dengan maksud dan tujuan status hal itu sendiri semula.23
Secara tidak disadari, proses reaktualiasasi itu telah menjadi alami dalam
kehidupan kaum muslimin. Konfigurasi antara nilai-nilai normatif dan
reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata, selama
23 Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Pengantar Editor dalam Islam, Negara dan
Civil Society, Ed. Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Jakarta: Paramadina, 2005), h.xxi
76
kaum muslimin tetap pada pendirian untuk tidak “melangkahi” ketentuan
sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan
yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, konfigurasi itu merupakan upaya
menjaga kontinuitas (persambungan tradisi) di tengah perubahan, agar tidak
kehilangan akar-akar budaya dan keagamaan mereka. Dalam jangka panjang,
sikap ini akan mematangkan fungsi doktrin Islam dalam hidup mereka. Doktrin
Islam, yang semula berarti kerangka hidup normatif dengan perwujudannya
sendiri sebagai doktrin formal, lalu berubah menjadi etika masyarakat yang
diserahkan sepenuhnya kepada pilihan-pilihan oleh warga masyarakat. Ia tidak
berkembang menjadi hipokritas, karena pada dasarnya kemunafikan haruslah
dilihat adanya pada kesengajaan untuk menggelapkan ajaran. Dalam proses
reaktualisasi, yang terjadi adalah upaya penafsiran kembali dari satu orang ke
lain orang di kalangan kaum muslimin, tanpa mengubah pandangan formal
masyarakat muslim secara keseluruhan.
Terjadinya proses reaktualiasi, dan konsekuensinya perubahan ketentuan,
hal-hal yang telah diterima sebagai konsensus itu menunjukkan vitalitas nilai-
nilai normatif Islam. Tidak mudah dilakukan perubahan atasnya, tetapi tetap
tidak tertutup kemungkinan bagi perubahan.
Dasar lain yang menjadi landasan pemikiran politik Munawir adalah
ijtihad. Pemikiran politik Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam
rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik
yang sedang berlangsung. Munawir memandang bahwa semua proses politik
77
dalam sejarah, termasuk suksesi kekuasaan baik yang dilakukan oleh Abu
Bakar, Umar, Ustman maupun Ali, sepenuhnya adalah inisiatif dan ijtihad
manusia (para sahabat Nabi) belaka. Tak ada pentunjuk dari Nabi, apalagi dari
Tuhan, tentang bagaimana seharusnya sebuah tata politik (polity) diciptakan.
Dengan kata lain masalah politik sepenuhnya adalah rasional.
Menurut Munawir, ijtihad merupakan wujud kegiatan akal untuk berpikir,
yang inherent dengan inti ajaran Islam sendiri (al-Qur’an maupun al-Hadis).
Ijtihad bukan lahir dari proses sejarah sebagaimana terjadi di Barat, tetapi lebih
dikarenakan oleh dorongan al-Qur’an dan al-Hadis agar manusia
mempergunakan pikirannya dalam menghadapi problema kehidupan.
Penggunaan ijtihad tidak terbatas wilayahnya, baik terhadap masalah-masalah
yang sudah ada ketentuannya dalam Nas maupun yang tidak ada ketentuannya
dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Seperti hadis Mu’adz Bin Jabal yang diutus oleh
Nabi ke negri Yaman untuk menjadi qadi, menunjukkan perijinan yang luas
untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi
bersabda:
��� ������ � ��� � �� � � �� �� ���� ����� �� � ! "#$%� �� ��� ���
&'(� �� �� �� )(�* !+� �� �&'( ���� &� ,- .�( �/�0� �� �� �&'( "#' 1 �� �
�� �&'( ��2 3�/+�� �&'( 4� - 56� � � �37 � � ��- ) .69:�� )�-((
Artinya: “Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum
terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya
akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran).
78
Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Jawab Mu’az, saya akan
mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Raulullah.
Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya
akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk
dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya”.
(HR. Attirmidzi)24
Dalam Hadits ini secara tersirat jelas nabi telah memberikan keluasan
dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat
dalam Al-Quran dan Sunnah. Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam
melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas
yang kuat terhadap para sahabat.
Lebih lanjut Munawir mendorong tokoh-tokoh intelektual sesama muslim
untuk melakukan ijtihad secara jujur, untuk menjadikan Islam lebih tanggap
terhadap berbagai kebutuhan situasi lokal dan temporal Indonesia. Menurut
Munawir, dalam perkembangan sejarah doktrin Islam terdapat banyak penguasa
Islam yang berani menempuh kebijakan hukum yang tidak sesuai secara
harfiyah dengan bunyi ayat-ayat al-Qur’an dan atau ucapan maupun tindakan
Nabi Muhammad SAW. Maka kalau kita berusaha memahami ajaran Islam
dengan akal budi, dan tentu saja dengan rasa penuh tanggungjawab kepada
Islam, kita bukanlah yang pertama dalam berijtihad. Munawir menyebutkan
bahwa pelopor “penyimpangan” itu tidak lain ialah Umar bin Khattab sendiri.25
24
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 1995,
h.119. Dan baca Mukhtar Yahya dkk, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, PT.Al Ma?arif,
Bandung, 1999, h.119. 25
Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), h.57.
79
Diilhami oleh keberanian dan kejujuran Umar, Munawir menyatakan
bahwa harus dilakukan langkah-langkah yang berani dan jujur dalam
memberlakukan ajaran-ajaran Islam. Seraya meyakini dinamisme dan vitalitas
doktrin Islam, ia mengusulkan agar kaum muslim melaksanakan agenda-agenda
reaktualisasi lewat ijtihad,untuk menjadikan Islam lebih sesuai dengan kekhasan
lokal dan temporal Indonesia. Formalisasi Islam menjadi RUU atau Perda-perda
akan menghilangkan kekhasan Indonesia yang merupakan negara bineka
tunggal ika, dan rentan menimbulkan konflik.
80
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah
diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma
perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses
transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang pernah
terjadi di negara-negara Barat
Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir
setelah menganalisa ketiga pemikiran yang berkembang dan memperhatikan
kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran (integralistik dan sekularistik),
kiranya bertanggung jawab terhadap Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti
aliran simbiotik yaitu paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma
sekularistik.
Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya
umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan
Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat Islam
Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini
sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan,
baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat persamaan antara Republik
81
Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara Islam yang ada di dunia sekarang
ini, sama-sama mengikuti pola politik barat, dengan adaptasi dan modifikasi.
Disinilah Munawir Sadzali tampil dengan pemikirannya yang original.
Dengan mengacu pada konsep kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan
aktualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah terjadinya
perubahan-perubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi ajaran Islam.
Menurut Munawir Reaktualisasi adalah upaya re-interpretasi terhadap doktrin Islam
yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan
hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak persama jika dilihat dari sudut
pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk merumuskan
ulang nilai-nilai normatif yang langsung dalam konteks relevansinya bagi kebutuhan
hidup. Sehingga tidak terjadi kejumudan dalam menyikapi segala permasalahan yang
ada
Kemudian akibat krisis multidimensional yang menimpa Indonesia,
khususnya ekonomi politik. Agaknya perubahan nilai yang menyertai proses
sekularisasi dan modernisasi yang meminggirkan agama di berbagai bidang
kehidupan sosial menyebabkan sebagian umat Islam merasa terancam dan kehilangan
maknanya. Situasi tersebut tampaknya membuat mereka merasa terpanggil untuk
merekonstruksi identitas mereka atas dasar agama serta mencari makna yang hilang
dalam kehidupan sosial mereka. Dengan mencoba mengembalikan syariat keruang
politik, dengan dalih untuk pemenuhan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Ternyata pemikiran Munawir Sjadzali sudah dianggap usang oleh politikus dan
82
birokrat pada saat ini, karena formalisasi Islam sudah menjadi keharusan. Karena
kurangnya kemampuan untuk menterjemahkan ruh atau sepirit Islam kedalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Padahal disaat umat Islam dengan semangat kepartaiannya, tidak hadir di
panggung politik nasional, serta semakin membaiknya hubungan Islam dengan Orde
Baru saat itu, ternyata banyak lahir sejumlah kebijakan politik pemerintah yang
mengakomodasi aspirasi umat Islam. Antara lain kebijakan mengenai Undang-
Undang Pendidikan Nasional (1988), Undang-Undang Peradilan Agama (1989),
dukungan terhadap berdirinya wadah Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia
(1990), Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
tentang Efektiifitas Pengumpulan Zakat (1991), dan surat Keputusan Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah P&K tentang diizinkannya Pemakaian Jilbab bagi
Pelajar Putri. Hal ini merupakan jasa-jasa Munawir Sjadzali saat beliau menjadi
Menteri Agama RI.
Kiranya apresiasi “politik” semacam itulah yang yang diinginkan oleh
Munawir Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan ”Tanpa partai poltik
Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan.”
Untuk itulah diperlukan pemikiran-pemikiran dan eksen konkrit seperti sosok
Munawir Sjadzali yang mampu membaca fenomena dan menterjemahkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan bermodalkan kejujuran akan ilmu dan
Islam sera politik yang mampu menjembatani umat secara keseluruhan tanpa ada
83
yang merasa terasingkan, terlebih lagi merasa kehilangan identitas dirinya. Semoga
kita bisa meneladaninya.
84
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin. Ilmu Politik Islam : Sejarah Islam dan Umatnya Sampai
Sekarang, Perkembangan Dari Zaman Kezaman. Jakarta : Bulan Bintang
1997, Cet Ke-1
Ali, Fahri dan Bakhtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan 1986
Anwar, M. Syafi`i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995,
Cety Ke-1
Effendy, Bakhtiar. Islam Dan Negara. Transpormasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998, Cet Ke-1
_____ , Re-Politisasi Islam : Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?. Bandung :
Mizan, 2000, Cet Ke-1
Gaffar Affan, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999
Hasan, Fuad, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak
Harto, Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991
85
IAIN syarif Hidayatullah. Penganugrahan Gelar Doktor Kehormatan ( Doctor
Honoris Causa) dalam Ilmu Agama Islam Kepada H. Munawir Sjadzali,
Jakarta, IAIN. 1994
Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu Kajian Mengenai
Implikasi Kebijakan Pembangunan bagi Keberadaan “Islam Politik” di
Indonesia Era 1970-an s/d 1980-an. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990
Ma`arif, Ahmad Syafi`I, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985
Mansyur, KH. Mas, “Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi” dalam Amir
Hamjah, “Rangkaian Mutu Manikam: Buah pikiran Budiman Kyai Mas
Mansur (Surabaya: Penyebar Ilmu & Ikhsan, 1968), h. 85
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam
di Indonesia. Yogyakarta: LKIS, 2001, Cet. Ke-1
Masoed, Mochtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta:
LP3ES, 2000
Natsir, M. Agama dan Negara: Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Dakwah,
2001, Cet Ke-1
Noer, Deliar. Islam, Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta : Yayasan
Perkhidmatan. 1983
86
Panduan Skripsi Fakultas Syariah, UIN. Jakarta, 2007
Proyek. Keagamaan. Badan Litbang Agama. Peranan Agama dalam Pemantapan
Ideologi Negara Pancasila. Jakarta: Departemen Agama RI, 1984/1985
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa,
Bandung: Mizan, 1993
Sjadzali, Munawir. Aspirasi Umat Islam terpenuhi Tanpa Partai Islam. Jakarta:
Departemen Agama RI, 1992
______, Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: UI Press. 1994
______, “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.)
Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI
dan Paramadina, 1995. Cet Ke-1
______, Ijtihad dan Kemaslahatan Umat”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed)
Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1996
______, Reaktialisasi Ajaran Islam”, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988
______, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press,
1993. Edisi 5
87
______, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. Jakarta: UI Press
1993
______,Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motifasi Kemajuan
Bangsa.Jakarta: Departemen Agama RI, 1988
______, Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha
Taruna, 1950
______, Partisipasi Umat Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro
Hukum dan Humas Departemen Agama RI, 1984
______, Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila. Jakarta: Depag RI, 1984
______, Pokok-pokok Kebijakan Menteri Agama dalam Pembinaan Kehidupan
Beragama. Jakarta: Depag RI
Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Rajawali Pres, 2003) cet ke 14
Syamsudin, M. Din. “ Mengapa Pembaharuan Islam”. Jurnal Ulumul Qur`an. Jakarta:
Vol IV. 1993
http://groups.yahoo.com/group/IslamProgresif/message/601