(1) Dokter Jawa Dan Mantri Kesehatan Dalam Sejarah Kesehatan Indonesia Pada Masa Kolonial _ Baha...
-
Upload
andrie-gunawan -
Category
Documents
-
view
13 -
download
0
Transcript of (1) Dokter Jawa Dan Mantri Kesehatan Dalam Sejarah Kesehatan Indonesia Pada Masa Kolonial _ Baha...
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 1/15
Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia padaMasa Kolonial
Search... 1 HOME ANALYTICS SESSIONS UPLOAD PAPERS
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 2/15
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 3/15
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 4/15
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 5/15
mempunyai kemampuan untuk menyuntik maka dianggapnya sudah cukup dan tidak perlumelakukan perubahan pada kurikulumnya.
Kekhawatiran golongan konservatif pada akhir abad ke-19 itu sebenarnya sangat
beralasan karena dengan tingkat mobilisasi yang tinggi dan komunikasi serta pemahamankultural yang sangat baik dengan semua lapisan masyarakat pribumi, Dokter Jawa sangatmudah melakukan gerakan-gerakan politik dengan memanfaatkan profesinya.7 Sementara
golongan moderat yang simpati terhadap pengembangan pendidikan dokter di Hindia
Belanda tetap bertahan pada pendapatnya bahwa penambahan lama studi itu harusdilakukan karena hal tersebut merupakan kebijakan yang mulia yaitu berhubungan dengan
masalah tugas-tugas kemanusiaan.
Berkat adanya kritikan yang tajam dan dilakukan secara terus menerus serta
didukung oleh Direktur Sekolah Dokter Jawa pada saat itu, Dr. J.J.W.E. van Riemsdyk,yang merasa belum puas dengan kemampuan Dokter Jawa dengan kurikulum 3 tahun. Pada
1875 pemerintah Hindia Belanda akhirnya melakukan perubahan besar dalam
perkembangan pendidikan dokter di Indonesia yaitu mengubah kurikulum denganmenambah lama studi dari 3 tahun menjadi 7 tahun dengan perincian 2 tahun awal sebagai
pendidikan persiapan dan 5 tahun untuk pendidikan ilmu kedokteran. Jika pada kurikulum
sebelumnya bahasa pengantar dalam pendidikan adalah Bahasa Melayu, pada kurikulum
yang baru ini bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa Belanda.Penggunaan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar merupakan kebijakan yang
dipaksakan karena dalam prakteknya siswa yang rata-rata berusia 14 – 18 tahun itu sama
sekali belum menguasai bahasa Belanda. Walaupun pada 2 tahun pertama merekadiwajibkan untuk belajar bahasa Belanda namun menjelang ujian untuk masuk pada tahap
pendidikan kedokteran hanya 20% siswa yang dinyatakan lulus dan berhak melanjutkan ke
bagian medis pada periode 1876 – 1880.Pada tahun 1881 dilakukan perubahan kurikulum lagi dengan menambah lama studi
dibagian persiapan dari 2 tahun menjadi 3 tahun, sehingga total lama pendidikan menjadi 8
tahun (3 tahun bagian persiapan dan 5 tahun bagian ilmu kedokteran). Perubahankurikulum ini kemudian diikuti juga perubahan syarat masuk siswanya. Sejak tahun 1890
para calon siswa yang akan masuk Sekolah Dokter Jawa diharuskan lulus sekolah dasar
Belanda atau ELS ( Europeesche Lagere School ).8 Setelah sebelumnya sempat berganti
nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen, pada tahun 1898
Sekolah Dokter Jawa diubah namanya menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen
(STOVIA).9 Perubahan ini juga berdampak pada gelar lulusannya yang tidak lagi bergelar
Dokter Jawa melainkan Inlandsche Arts (dokter pribumi).10
7 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Indonesia Baru: Pergerakan Nasional dari Kolonialisme
sampai Nasionalisme, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 100-106.
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 6/15
sampai Nasionalisme, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 100-106.
8 D. Schoute, loc.cit.
9 Terdapat perbedaan tahun mengenai perubahan nama sekolah ini menjadi STOVIA,
beberapa sumber lain menyebutkan nama STOVIA resmi digunakan pada tahun 1902.
Perbaikan pendidikan kedokteran di Indonesia belum berhenti ketika namasekolahnya sudah berubah menjadi STOVIA. Pada tahun 1902 terjadi penambahan lama
studi terutama pada bagian ilmu kedokterannya yang semula 5 tahun ditingkatkan menjadi
6 tahun sehingga total lama studi di STOVIA menjadi 9 tahun (3 tahun dibagian persiapan
dan 6 tahun dibagian ilmu kedokteran). Bersamaan dengan perubahan kurikulum ini, pada
tahun yang sama atas prakarasa direktur Dr. H.F. Roll gedung baru STOVIA dibuka diHospitaalweg. Diharapkan dengan lama pendidikan 9 tahun maka kemampuan lulusannya
akan semakin sempurna karena bidang kebidanan dan forensik juga dimasukkan dalamkurikulum ini. Harapan itu banyak datang dari kalangan pengusaha swasta pada waktu itu,
terutama para pengusaha perkebunan di Deli, Sumatera Timur yang sangat membutuhkan
tenaga dokter pribumi untuk melayani kesehatan para kuli perkebunan. Bagi mereka, dokter pribumi lulusan STOVIA ini merupakan solusi bagi permasalahan kesehatan para kuli di
perusahaannya ketika mereka tidak bisa menjangkau gaji yang diminta oleh para dokter
Eropa.Penyempurnaan pendidikan kedokteran di STOVIA dilakukan lagi, pada tahun 1913
lama studi ditambah menjadi 10 tahun yaitu dengan menambah lama studi bagian ilmu
kedokteran dari 6 tahun menjadi 7 tahun. Seiring dengan perubahan kurikulum itu juga
dilakukan perubahan pada gelar lulusan dari Inlandsche Artsen menjadi Indische Artsen.Selain itu sekolah kedokteran ini semakin terbuka dalam menerima siswanya karena mulai
waktu itu STOVIA juga menerima siswa dari etnis Tionghoa dan orang-orang Belanda.
Keterbukaan penerimaan siswa ini merupakan desakan dari Indo Europeesche Verbond (IEV), sebuah perkumpulan peranakan Belanda, yang menuntut bahwa golongan
masyarakat lain juga berhak untuk mendapatkan pendidikan di STOVIA, tidak hanya
pribumi saja.Pada tahun yang sama Sekolah Dokter kedua didirikan di Surabaya berdasarkan
Keputusan Pemerintah "Besluit van de Gouverneur General van Nederlansch Indie van 8
Mei 1913 No. 4211" dengan nama Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Tujuan
didirikannya NIAS ini adalah menghasilkan dokter-dokter yang langsung dapat bekerja dikalangan masyarakat desa dan dapat memberikan pertolongan praktis dengan pengetahuan
cukup serta dapat dipertanggungjawabkan. Sekolah dokter di Surabaya ini diresmikan pada
tanggal 15 September 1913 di Jalan Kedungdoro No. 38 Surabaya. Ciri khas pendidikandokter di Surabaya (NIAS) adalah aspek kemasyarakatannya. Kurikulum NIAS disesuaikan
dengan kurikulum STOVIA, dengan masa pendidikan 10 tahun, yaitu 3 tahun bagian
persiapan dan 7 tahun bagian kedokteran. Seperti halnya di STOVIA, siswa yang diterimaadalah lulusan sekolah dasar Belanda (ELS), dan terbuka untuk semua etnis dan golongan
baik pribumi, Arab, Tionghoa, maupun Belanda.Pendidikan di STOVIA dan NIAS semakin baik ketika di kedua lembaga tersebut
kemudian melengkapi sarana dan prasarana pendidikannya. Pada tahun 1919, stadverband 11
10 A. de Waart, “Het Indisch Geneeskundige Onderwijs in de laatse 25 jaren” dalam
Feestbundel Geneeskundige Tijdschrift Nederlandsch Indie 1936 , hlm. 247.
11 Stadverband merupakan tempat perawatan untuk luka tembak atau perang yang biasa
digunakan oleh militer Belanda. Di Jawa pada abad ke-19 didirikan 3 stadverband yaitu di Batavia
pada tahun 1819, di Surabaya antara tahun 1820-1823 dan di Semarang antara tahun 1840-1850.
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 7/15
yang ada di Batavia dikembangkan menjadi rumah sakit pusat yang disebut denganCentrale Burgelijke Ziekeninrichtingen (CBZ) yang kemudian menjadi rumah sakit
pendidikan bagi STOVIA. Setahun kemudian gedung pendidikan kedokteran di Salemba 6
selesai dibangun dan seluruh fasilitas pendidikan STOVIA kemudian dipindahkan ke
Salemba 6. Sementara di Surabaya pada tahun 1923 gedung baru NIAS selesai dibangundan kemudian menjadi pusat aktivitas pendidikannya, pada periode yang sama Centrale
Burgelijke Ziekeninrichtingen yang ada di Surabaya juga dijadikan sebagai rumah sakit
pendidikan bagi NIAS.
Mulai tahun 1924, baik di STOVIA maupun NIAS, syarat penerimaan siswadilakukan perubahan. Jika sebelumnya kedua sekolah itu hanya mensyaratkan siswanya
lulusan sekolah dasar Belanda atau ELS maka sejak waktu itu siswa yang akan masuk STOVIA dan NIAS harus sudah lulus Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
setingkat sekolah menengah pertama. Oleh karena itu lama studi kemudian dipersingkat
menjadi 8,5 tahun dengan meniadakan bagian persiapan. Atas perjuangan para dokter pribumi dan juga direktur dan para mantan direktur STOVIA, pada tanggal 16 Agustus
1927 dibuka Geneeskundige Hoogeschool (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) untuk
menggantikan STOVIA. Perubahan STOVIA menjadi GHS tertuang dalam Staatsblad Van
Nederlansch Indie tahun 1924, No. 456. Praktis sejak tahun itu STOVIA tidak menerimasiswa lagi dan hanya menyelesaikan pendidikan bagi para siswanya yang sudah ada. Siswa
yang duduk pada tingkat rendah diberi kesempatan untuk pindah ke AMS ( Algeemen
Midelbaar School) atau ke NIAS Surabaya, sedangkan siswa yang duduk pada tingkattinggi dapat menyelesaikan studi di Batavia, disamping GHS. Tercatat, sebagai lulusan
terakhir dari STOVIA adalah dr. Sanjoto yang lulus pada tahun 1934.12
Pendirian GHS ini tidak lepas dari perjuangan Ikatan Dokter Pribumi ( Indische
Artsen Bond ), terutama dr. Abdul Rivai dan teman-temannya sesama Dokter Jawa. Ideuntuk mendirikan sekolah tinggi dalam bidang kedokteran di Indonesia pertama kali
dilontarkan oleh dr. Abdul Rivai dimuka sidang Volksraad pada tahun 1918. Pada forum itu
dr. Abdul Rivai mengusulkan perlu diselenggarakannya sebuah pendidikan yang bersifatuniversiter di Indonesia. Untuk menindaklanjuti gagasan ini, kemudian dibentuklah sebuah
“Panitia Penasehat Pendirian Perguruan Tinggi Kedokteran”. Dari pihak Indische Artsen
Bond yang duduk di kepanitian itu antara lain, J. Kajadoe, Abdoel Rasjid, dan R. Soetomo.
Hasil laporan panitia ini berkesimpulan bahwa dokter yang diluluskan dari lembaga pendidikan kedokteran yang ada di Indonesia pada waktu itu belum memenuhi tuntutan
kemampuan dokter sebagaimana yang ada di luar negeri, oleh karena itu mendesak kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk secepatnya mendirikan sebuah sekolah tinggi dalam bidang kedokteran di Indonesia. Laporan itu oleh panitia sudah diserahkan kepada
Ketiga stadverband inilah yang kemudian pada awal abad ke-20 dikembangkan menjadi Centrale Burgelijke Ziekeninrichtingen (CBZ) atau rumah sakit umum pusat. Lihat D. Schoute, Occidental
Therapeutics in the Netherlands East Indies during three Centuries of Netherlands Settlement
(1600-1900) (Batavia: G. Kolff & Co., 1937), hlm 163.
12 Departemen Kesehatan RI, Sejarah Kesehatan Nasional I (Jakarta: Depkes, 1978), hlm.
36.
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 namun baru lima tahun kemudian SekolahTinggi Kedokteran didirikan di Indonesia. Atas perjuangan para dokter pribumi yang
tergabung dalam Indische Artsen Bond status ijasah GHS akhirnya disamakan dengan
ijasah fakultas-fakultas kedokteran universitas yang ada di Belanda.13
UPLOADED BY
Baha UddinVIEWS
1,856 DOWNLOAD
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 8/15
ijasah fakultas-fakultas kedokteran universitas yang ada di Belanda.13
Selain adanya faktor desakan dan tuntutan dari para dokter pribumi, terdapat 2faktor yang sangat mendukung terjadinya perkembangan dari STOVIA menjadi GHS yaitu
keberadaan lembaga-lembaga penelitian kedokteran dan tersedianya rumah sakit
pendidikan. Keberadaan lembaga penelitian kedokteran sangat menguntungkan karenaselain menghasilkan karya-karya yang langsung dapat diterapkan dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan juga mengembangkan iklim ilmiah yang dibutuhkan oleh sebuah
pendidikan tinggi. Sampai pada awal abad ke-20, terdapat 2 lembaga penelitian kedokterandi Indonesia yang sangat terkenal yaitu Laboratorium voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie di Batavia yang kemudian diubah namanya menjadi Eijkman Instituut pada
tahun 1938,14 dan Centrale Laboratorium di Medan.15
Penerimaan mahasiswa GHS sangat berbeda dengan STOVIA. Di antara beberapa persyaratannya antara lain bahwa siswa harus lulusan HBS ( Hoogere Burger School )
bagian B dan lulusan AMS ( Algeemen Midelbaar School ). Calon mahasiswa yang bebas
ujian masuk adalah lulusan diploma Akademi Militer di Breda dan Institute Maritim diWillemsoord. Lulusan STOVIA bisa langsung melanjutkan ke GHS dan duduk pada tingkat
pertama. Perbedaan yang jelas antara STOVIA dan GHS juga terlihat pada aspek
pembiayaan, jika di STOVIA pemerintah Hindia Belanda memberi beasiswa kepadasiswanya, namun di GHS mahasiswa harus membiayai sendiri biaya kuliahnya.
Pembiayaan pendidikan di STOVIA memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pemerintah kolonial dengan memberi beasiswa kepada semua siswanya. Hanafiah
menceritakan bahwa setiap pelajar menerima uang saku sebesar 15 gulden/bulan dan
mendapatkan tambahan 2,5 gulden setiap tiga tahun hingga akhirnya 20 gulden/bulan.Biaya sebesar itu digunakan untuk ongkos makan dan untuk memenuhi kebutuhan harian
seorang pelajar. Sementara Soemohamidjojo menyatakan bahwa beasiswa yang diterimaoleh seorang siswa di STOVIA adalah sebesar 8 - 20 gulden/bulan, hampir dua kali lipat
dari yang diterima oleh seorang magang yang bekerja sebagai juru tulis.16
13 Ibid., hlm. 45.
14 Atas saran Commissie Beri-beri, pada 1888 didirikan Laboratorium voor Pathologische
Anatomie en Bacteriologie (Laboratorium Anatomi Patologi dan Bakteriologi) di bangsal Rumah
Sakit Pusat Militer di Weltevreden, yang kemudian menjadi Geneeskundige Laboratorium
(Laboratorium Kesehatan) pada 1901. Untuk menghormati Eijkman, atas izin keluarganya pada
1938 nama laboratorium resmi diganti menjadi Eijkman Instituut. Centraal Laboratorium van den
Dienst der Volksgezondheid. A.A. Loedin, “Pengungkapan Misteri Penyakit Beri-beri” dalam
Tempo, Edisi Mei 2002.
15 Departemen Kesehatan RI, Museum Kesehatan Dr. Adhyatma, MPH: Selayang Pandang
Perjalanan Kesehatan Nasional , (Jakarta, Depkes, 2004), hlm. 101.
Dalam kurikulum GHS dengan tegas dinyatakan bahwa sama dengan kurikulumsekolah-sekolah kedokteran di negeri Belanda, baik dalam pelaksanaan maupun persyaratan
yang harus dipenuhi calon yang akan menempuh ujian. Begitu juga dengan kedudukan
lulusannya mempunyai wewenang yang sama antara dokter lulusan GHS dengan dokter
lulusan universitas di Belanda. Lulusan GHS bergelar Artsen, mempunyai hak danwewenang yang sama dengan dokter-dokter di Belanda, dan dapat mempraktekkan semua
ilmu yang telah diperolehnya baik dalam negara Hindia Belanda maupun di Belanda.
Lulusan GHS tidak terikat lagi pada pemerintah untuk bekerja sebagai pegawai pemerintah.GHS merupakan salah satu cita-cita yang sudah tercapai untuk menciptakan tenaga ahli
bidang kedokteran yang status dan wewenangnya sama dengan tenaga ahli bidang dan
diharapkan bisa mengatasi masalah kesehatan pada masyarakat Hindia Belanda.17
C. Kedudukan dan Posisi Dokter Jawa dalam Masyarakat Kolonial
Ketika Sekolah Dokter Jawa pertama kali dibuka pada tahun 1851, pemerintah
Hindia Belanda menargetkan ada 30 pemuda-pemuda dari Jawa yang akan masuk dalam
Report Work
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 9/15
Hindia Belanda menargetkan ada 30 pemuda-pemuda dari Jawa yang akan masuk dalam program ini. Namun ternyata target tersebut meleset karena jumlah murid pada angkatan
tahun pertama ini hanya berjumlah 12 orang. Mereka diharuskan berasal dari keluarga baik-
baik dan lebih disukai dari keluarga terhormat atau keluarga priyayi dan aristokrat Jawa.Selain itu, mereka tidak diharuskan lulus sekolah dasar Belanda, namun cukup bisa menulis
dan membaca dalam bahasa Melayu, serta berumur 15 – 16 tahun.
Pada tahun 1853, menurut laporan Bosch kepada Gubernur Jenderal, bahwa dari 12orang siswa angkatan pertama 11 orang diantaranya dinyatakan lulus dan berhak
mendapatkan gelar Dokter Jawa. Sesuai dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda,
sebagian besar murid Sekolah Dokter Jawa didominasi oleh golongan priyayi. Dari 11
orang yang dinyatakan lulus pada tahun 1853, hanya satu orang yang bergelar Mas, sebuahgelar priyayi paling rendah dalam kebangsawanan Jawa. Kemudian lulusan pada periode
1853-1865, diantara 81 orang lulusannya, 6 orang bernama depan Si,18 15 orang bergelar
Mas, 13 orang bergelar Raden, 1 orang bergelar Bagindo dan 1 orang Raja. Dari jumlah
keseluruhan lulusan pada periode tercatat 36 orang atau sekitar 44% adalah berasal darigolongan bangsawan.19 Pada tahun 1875, ketika kurikulum diubah menjadi 7 tahun, siswa
sekolah ini juga mengalami peningkatan yang tajam yaitu tidak kurang dari 50 sampai 100
16 M.A. Hanafiah S.M., “Sepuluh Tahun dalam Asrama STOVIA”, 125 Tahun Pendidikan
Dokter di Indonesia 1851-1976 , (Jakarta: Panitya Peringatan 125 Tahun Pendidikan Dokter di
Indonesia, 1976), hlm. 101; Soemohamidjojo, “Hal Dokter Djawa”, Pewarta Prijaji, Jilid 1-2,
1900-1901, hlm. 215.
17 “Ensiklopedi Jakarta” dalam www.jakarta.go.id , diakses pada tanggal 18 November
2011
18 Merupakan sebutan untuk membedakan nama-nama orang kebanyakan dan tidak
memiliki jabatan tertentu dalam struktur pemerintahan tradisional di Jawa.
19 Liesbeth Hesselink, op.cit. hlm. 93.
siswa pada setiap angkatannya. Jumlah itu semakin meningkat menjadi dua kali lipat yaituantara 100 sampai 200 siswa pada periode 1890 – 1900.20
Jika dilihat dari kondisi dunia pendidikan pada saat itu, angka-angka diatas menjadi
sangat wajar karena sampai tahun 1845 hanya dari golongan bangsawan sajalah dari
masyarakat pribumi yang bisa mengenyam pendidikan sampai tingkat sekolah dasar dan berkemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Melayu. Oleh karena itu yang bisa
menjadi bagian Sekolah Dokter Jawa kemudian didominasi oleh golongan aristokrat Jawa.
Sampai pertengahan dekade kedua abad ke-19, keberadaan sekolah ini bagi masyarakat pribumi sebenarnya masih samar terutama dalam hal motivasi memasukkan anak mereka
untuk mengikuti pendidikan di sekolah ini. Hal itu dikarenakan, bagi masyarakat pribumi,
ilmu pengobatan Barat masih sangat asing. Sebagian besar dari para orang tua ini justru
berharap jika anaknya lulus dari sekolah ini akan bisa menduduki jabatan di pemerintahan.Dalam rancangan awal pendirian sekolah ini adalah bagaimana masyarakat pribumi
ikut berpartisipasi dalam menanggulangi terjadinya wabah-wabah penyakit tropis yang
sering melanda daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu sebenarnya pemerintah
kolonial berharap para Dokter Jawa harus kembali lagi ke daerah asal mereka dan bukanmenjadi pejabat pemerintah di perkotaan. Walaupun tempat dan nama sekolah ini ada unsur
Jawa, namun sebenarnya asal siswanya sangat beragam. Sebagian besar tentu saja berasaldari wilayah Jawa namun tidak sedikit asal siswa sekolah ini yang berasal dari luar Jawa.
Pada tahun 1854, sudah ada 2 orang pertama siswa yang berasal dari luar Jawa yaitu dari
Manado. Pada periode-periode berikutnya justru terjadi fenomena sebaliknya artinya siswa
yang berasal dari wilayah Jawa lebih sedikit dibandingkan dengan siswa yang berasal dariluar Jawa. Misalnya pada tahun 1856, dari 20 orang siswa yang diterima hanya 6 orang
yang berasal dari Jawa, selebihnya berasal dari luar Jawa.
Selain menjadi pembantu dokter Eropa dan vaccinaeur, lulusan Dokter Jawa pada periode awal ini, oleh pemerintah kolonial Belanda juga dipekerjakan perawat beberapa
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 10/15
penyakit antara lain: menjadi perawat penderita penyakit kusta di Leprozerien di
Karawang, penderita penyakit Siphilis di Kudus, Madiun, dan Cianjur, serta perawat umumdi rumah sakit pribumi di Malang. Bandung dan Sumedang.
Dinamika perkembangan kondisi ekonomi dan politik yang terjadi pada akhir abad
ke-19 telah membuka pos-pos pekerjaan baru bagi para dokter pribumi. Pertama, sebagaidampak dari politik ekonomi liberal dan dibangunnya infrastruktur pendukungnya seperti pembangunan rel kereta api, pelabuhan, dan jalan telah membuka pos pekerjaan baru bagi
para dokter. Baik dokter Eropa maupun pribumi pada periode ini banyak dijadikan sebagai
staf layanan medis pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur tersebut. Beberapadokter pada periode ini juga sudah ada yang menjadi staf medis di perusahaan swasta
seperti yang dilakukan oleh perusahaan tambang timah di Bangka.
Kedua, adanya perang-perang yang dilakukan oleh Belanda untuk menganeksasi beberapa daerah di Indonesia yang belum dikuasai sangat membutuhkan tenaga dokter
sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Misalnya pada Perang Aceh, sejak akhir tahun 1876,
sedikitnya empat orang Dokter Jawa dikirim ke Aceh untuk menjadi staf militer Belanda
20 D. Schoute, De Geneeskundige in Nedeerlandsch-Indie gedurende de negentiende eeuw
(Batavia: G.Kolff & Co., 1936), hlm. 250.
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 11/15
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 12/15
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 13/15
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 14/15
10/7/2015 (1) Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial | Baha Uddin Academia.edu
https://www.academia.edu/4435361/Dokter_Jawa_dan_Mantri_Kesehatan_dalam_Sejarah_Kesehatan_Indonesia_pada_Masa_Kolonial 15/15
Job Board About Press Blog People Terms Privacy Copyright We're Hiring! Help Center
Academia © 2015