1. BAB I - sinta.unud.ac.id. BAB I.pdf... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah : Menurut Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat) dalam arti negara pengurus (Verzogingsstaat) 1 . Hal ini tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI 1945) Alinea ke 4 yang menyatakan sebagai berikut : ‘Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia….. ” Selain dari isi alinea tersebut, Indonesia merupakan Negara hukum juga tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sejalan dengan ketentuan tersebut selain membentuk kekuasaan kehakiman yang tertulis dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945 dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia dan menjaga pertahanan serta keamanan Negara. UUDNRI 1945 juga melahirkan lembaga – lembaga sebagai alat Negara 1 Maria Farida Indrati Soeprapto, ilmu Perundang-undangan - Jenis, Fungsi, dan Materi, Muatan, Daerah Istimewa Yogyakarta:PT Kanisius, 2007, hal 1.

Transcript of 1. BAB I - sinta.unud.ac.id. BAB I.pdf... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan...

1    

   

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah :

Menurut Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri pada

tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat)

dalam arti negara pengurus (Verzogingsstaat)1. Hal ini tertulis dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut

UUDNRI 1945) Alinea ke 4 yang menyatakan sebagai berikut :

‘Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia….. ” Selain dari isi alinea tersebut, Indonesia merupakan Negara hukum juga tercantum

dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Sejalan dengan ketentuan tersebut selain membentuk kekuasaan

kehakiman yang tertulis dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945 dimana

kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam

rangka penegakan hukum di Indonesia dan menjaga pertahanan serta keamanan

Negara. UUDNRI 1945 juga melahirkan lembaga – lembaga sebagai alat Negara

                                                                                                                         1 Maria Farida Indrati Soeprapto, ilmu Perundang-undangan - Jenis, Fungsi, dan

Materi, Muatan, Daerah Istimewa Yogyakarta:PT Kanisius, 2007, hal 1.

2    

   

yang bertugas untuk menegakkan hukum. Dari ketentuan Pasal 30 Ayat (2) UUD

NRI 1945 yang menyatakan “ Usaha pertahanan dan keamanan Negara

dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh

Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai

kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung” serta Pasal 30 Ayat (4)

UUD NRI 1945 yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik sebagai alat Negara

yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,

mengayomi, melayani masyarakat serta menegakan hukum.

Demi mewujudkan penegakan hukum yang adil, dan beradab berdasarkan

Pancasila dan UUD NRI 1945, maka diundangkanlah Undang-Undang Repubik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang selanjutnya disebut dengan UU No. 2 Tahun 2002 oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia, hal ini secara jelas

terdapat dalam dasar pemikiran Pembentukan UU No. 2 Tahun 2002 yang

tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu

a. Bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab bedasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Bahwa Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggu hak asasi manusia.

Setelah diundangkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia yg selanjutnya disebut

POLRI diberikan wewenang-wewenang untuk mengakkan hukum , hal ini

3    

   

mengacu pada ketentuan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI. Dalam

melaksakan tugas pokoknya selaku penegak hukum, POLRI diberikan wewenang

untuk menyelidiki dan menyidik setiap tindak pidana sesuai dengan hukum acara

pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya sesuai dengan yang diatur

dalam ketentuan Pasal 14 Huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI

contohnya Tindak Pidana Korupsi.

Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas

perilaku manusia dalam interaksi social yang dianggap menyimpang2. Oleh

karena itu perilaku tersebut dengan segala bentuk dicela dalam masyarakat.

Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis

dimanifestasikan dalam rumusan hukumsebagai suatu bentuk tindak pidana3.

Dewasa ini di Indonesia tindak pidana korupsi dirasa sangat merugikan negara

khususnya di dalam perekonomian negara yg berdampak pada terhambatnya

pembangunan nasional hal ini tercantum dalam konsideran menimbang dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yg selanjutnya disebut dengan UU No. 31 Tahun 1999 huruf a, dan b

yaitu

a. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan Negara atau pereoknomian Negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi

                                                                                                                         2Elwi Danil, Korupsi, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta,PT.

Rajagrafindo Persada, hal. 1 3 Ibid.

4    

   

Hal itulah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan UU No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan melalui UU No. 31 Tahun

1999 Tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi ini adalah sebuah bentuk

usaha negara yang benar – benar ingin memerangi tindak pidana korupsi.

Namun seiring bekembangnya sistem ketatanegaraan dan semakin

banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia, maka dibentuklah

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (kemudian disebut Komisi

Pemberantasan Korupsi) dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya

disebut UU No. 30 Tahun 2002 yang memberi tugas kepada KPK untuk

menangani kasus – kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.

Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya

disingkat KPK dikarenakan pemberantasan tindak pidana korupsi sebelum

diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002 belum dapat dilaksanakan secara

optimal. Hal ini secara jelas terdapat dalam dasar pemikiran pembentukan UU No.

30 Tahun 2002 yang tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu:

a. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan Negara, perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional;

b. Bahwa lembaga pemerintahan yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;

5    

   

Dalam konsideran menimbang huruf a dan b sangat jelas diuraikan bahwa

pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga kepolisian

atau oleh lembaga kejaksaan belum secara efektif sehingga pemerintah

mengambil jalan untuk membentuk suatu lembaga yang bersifat independen

dalam melaksanakan tugasnya, yakni dengan membentuk KPK

Hubungan antara KPK dengan POLRI adalah merupakan hubungan

fungsional, yakni dalam melakukan fungsinya sebagai lembaga Negara yang

menegakkan hukum, keadilan, dan mengayomi serta memberikan pelayanan

kepada masyarakat. Dengan adanya Lembaga KPK yang menjadi mitra bagi

POLRI merupakan suatu sistem yang ideal bagi penegakkan hukum dan keadilan

di Indonesia. Kehadiran KPK memberikan semangat baru bagi penegakkan

hukum dan keadilan di Indonesia khususnya terhadap tindak pidana korupsi.

Hadirnya KPK juga mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah

dalam hal keseriusannya memberantas tindak pidana korupsi dimana selama ini

sebelum adanya KPK pemberantasan tindak pidana korupsi belumlah efektif.

Mengenai hubungan kewenangan dan hubungan fungsional antara KPK

dengan POLRI tercantum jelas pada Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 dalam pasal

tersebut menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi, kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi

juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi. Sedangkan bagi kepolisian, ketentuan mengenai hubungan

fungsional dan kerja sama dengan KPK tertuang dengan jelas dalam ketentuan

6    

   

Pasal 42 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI bahwa hubungan dan

kerja sama POLRI dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan luar negeri

didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling

membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki,

sedangkan pada Pasal 42 Ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI

disebutkan bahwa hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama

dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan lembaga, instansi

lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidaritas.

Memang dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2002

tentang POLRI tidak ada secara jelas menyebutkan tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi, dan hanya menyebutkan mengenai badan, lembaga

instansi lain, serta masyarakat. Akan tetapi kembali kita melihat kedudukan dan

fungsi dari KPK yang merupakan lembaga/instansi yang berkedudukan di dalam

negeri dan sebagai lembaga yang mengemban tugas menegakkan hukum dan

keadilan di Indonesia. Jadi atas dasar itu Komisi Pemberantasan Korupsi sudah

memenuhi unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU No.

2 Tahun 2002 tentang POLRI sebagai lembaga yang berkedudukan di dalam

negeri serta sebagai lembaga yang menegakkan hukum dan keadilan.

Hubungan fungsional antara KPK dan POLRI bersifat timbal balik, hal ini

dengan adanya ketentuan yang menjelaskan kedua lembaga Negara tersebut dapat

melakukan kerja sama dengan lembaga Negara lain yang berfungsi menegakkan

hukum, keadilan, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 6

7    

   

Huruf a dan b UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yakni Komisi Pemberantasan

Korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan

Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau dengan Kejaksaan Negara

Republik Indonesia. Sedangkan Ketentuan mengenai lembaga POLRI dapat

melakukan kerjasama dengan lembaga atau instansi lain yang berfungsi

memberantas korupsi yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2)

UU No.2 tahun 2002 tentang POLRI yang seara rinci di tegaskan bahwa

kepolisian dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan hubungan dan kerja

sama dengan badan, lembaga serta instansi di dalam negeri dan di luar negeri

yang berfungsi memberantas tindak pidana korupsi.

Dengan adanya pengaturan mengenai hubungan dalam melakukan

kerjasama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi antara KPK dengan

POLRI secara teori memberikan semangat baru bagi penegakkan hukum dan

keadilan di Indonesia, khususnya dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Idealnya jika ada 2 institusi yang berperan sebagai instrument Negara dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi dengan kewenangan yang dilandasi

hubungan fungsional pasti pegakkan hukum dan keadilannya semakin efektif dan

efisien.

Namun keadaan dewasa ini KPK dan POLRI menjadi sorotan, hal ini

dikarenakan telah terjadinya gesekan-gesekan diantara kedua institusi penegak

hukum ini, perseteruan antara KPK dengan POLRI bahkan sudah terjadi beberapa

kali, dimulai dari tindak pidana korupsi hingga sengketa kewenangan dari kedua

institusi, pada perseteruan jilid 1 kasus “cicak vs buaya” berawal dari tindakan

8    

   

penyidikan (penyadapan) KPK terhadap Kabareskrim POLRI saat tahun 2008,

Komisaris Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima gratifikasi dari nasabah

Bank Century, Boedi Sampoerna, karena berhasil memaksa Bank Century

mencairkan dana nasabah itu sebelum bank itu ditutup.4Dalam

wawancara Tempo dengan Susno Duadji yang dimuat di Majalah Tempo edisi 6-

12 Juli 2009, Susno merendahkan KPK yang dinilainya bodoh karena berani

dengan Polri, khususnya dengan Kabareskrim (dia sendiri). Padahal, menurutnya

dia tidak bersalah. Dari sinilah muncul istilah Susno, “cicak” melawan “buaya,”

yang kemudian sangat populer itu.

“Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.”

Perseteruan cicak versus buaya belum berhenti sampai disitu, dilanjutkan

dengan cicak versus buaya jilid dua yang kembali melibatkan kedua institusi

penegak hukum. Pada Juli 2012, perseteruan KPK vs Polri kembali terbuka,

setelah KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko

Susilo sebagai tersangka kasus korupsi di proyek simulator ujian SIM.5. Padahal

sebelumnya, Mabes Polri telah menyatakan, setelah melakukan investigasi

penyidikan internal, tak ditemukan unsur korupsi di proyek tersebut, yang

                                                                                                                         4 Reza Gunanda, 2014, Pertikaian KPK versus Polri Berlanjut, Pos Kupang

http://kupang.tribunnews.com/2015/01/24/pertikaian-kpk-versus-polri-berlanjut?page=2 diakses tanggal 9 Februari 2015

5 Icha Rastika, 2012, KPK Resmi Tetapkan Djoko Susilo Tersangka, KOMPAS.com, http://nasional.kompas.com/read/2012/07/31/08321417/KPK.Resmi.Tetapkan.Djoko.Susilo.Tersangka diakses tanggal 9 Februari 2015

9    

   

melibatkan Djoko Susilo. Sampai yang terhangat sekarang kasus Calon Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Komisaris Jendral Polisi Budi

Gunawan yg dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di awal

tahun 2015 karena terindikasi kasus tindak pidana korupsi6

Dari perseteruan yang terus menerus terjadi antara lembaga KPK dan

POLRI maka menarik untuk diteliti. Apakah memang ada konflik ketentuan

hukum yang melahirkan sengketa kewenangan antara lembaga KPK dan POLRI ?

Hal ini lah yang melatar belakangi untuk melakukan penelitian dalam bentuk

skripsi dengan judul “Sengketa Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Kasus Korupsi”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasus tindak pidana

korupsi ?

2 Bagaimana penyelesaian jika terjadi sengketa kewenangan antara

Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik

Indonesia ?

                                                                                                                         6 Amberanie Nadia Kemala Movanita, 2015, KPK Tetapkan Calon Kapolri Budi

Gunawan sebagai Tersangka, KOMPAS.com, http://nasional.kompas.com/read/2015/01/13/14354311/KPK.Tetapkan.Calon.Kapolri.Budi.Gunawan.sebagai.Tersangka diakses tanggal 9 Februari 2015

10    

   

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup rumusan masalah yang pertama adalah menelusuri

peraturan perundang-undangan yang membahas wewenang KPK dan POLRI

dalam menangani kasus korupsi menurut UU. No. 30 Tahun 2002 tentang KPK

dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI.

Mengingat banyaknya pertentangan kewenangan dari Komisi

Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka

analisis akan dilakukan terhadap kasus Korupsi Simulator SIM Tahun 2012.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menumbuhkan anti plagiat didalam dunia pendidikan di

Indonesia, maka penulis menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah

dibuat dengan menampilkan beberapa jenis judul peneletian atau desertasi

terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini peneliti

menampilkan 2 skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan sengketa

kewenangan antar Lembaga-LembagaNegara .

Tabel 1 Daftar penelitian sejenis

No. Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1 Hubungan Kewenangan Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Pemberantasan

M. Nasrul Hamzah ( Program Studi Ilmu Hukum, Program Sarjana, Universitas Hasanudin)Tahun 2012

1.Bagaimana pola hubungan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pemberantasan Kasus Korupsi? 2.Sejauh mana dasar pegaturan penyelesaian sengketa kewenangan dalam hal hubungan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia?

11    

   

Korupsi 2 Penyelesaian

Sengketa Atas Kewenangan Penyidikan KPK Dan Polisi dalam menangani kasus korupsi

Gidion S. H Tatuil ( Program Studi Ilmu Hukum, Program Sarjama Universitas Sam Ratulangi) Tahun 2012

1.Bagaimana Penyidikan dari pihak KPK dan Polri dalam menangani kasus korupsi? 2. Bagaimana terjadinya sengketa serta upaya penyelesaian kewenangan penyidikan antara KPK dan Polri?

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sejenis diatas ialah pada

penelitian ini lebih khusus menganalisa tentang sengketa kewenangan antara KPK

dan POLRI pada kasus simulator SIM tahun 2012.

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Sebagai sumbangan buah pikiran sebagai mahasiswa di bidang ilmu

hukum tata negara khususnya dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar

lembaga negara dan pengamalan dari asas tri dharma perguruan tinggi, selain itu

untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana hukum.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia

dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasus tindak pidana

korupsi

2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa kewenangan antara Komisi

Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia

12    

   

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis kajian ini diharapkan dapat berguna sebagai upaya

pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara khususnya dalam bentuk

sumbangan pikiran tentang penyelesaian sengketa kewenangan antar dua institusi

hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

1.6.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini memberikan gambaran penyelesaian sengketa

kewenangan lembaga Negara mengacu pada peraturan perundang-undangan.

1.7 Landasan Teoritis

1.7.1. Prinsip Negara Hukum

Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan

terjemahan langsung dari rechsstaat7. Istilah rechsstaat mulai popular di Eropa

sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah ada sejak lama8. Istilah the

rule of law mulai populer dengan terbitnya buku dari Albert Van Dicey tahun

1889 dengan judul Introduction to the Study of Law of The Constitution9. Dari

latar belakang dan system hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara

konsep rechsstaat dan konsep the rule of law, meskipun berbeda, pada dasarnya

kedua konsep tersebut mengarahkan dirinya pada satu sasaran utama, yaitu

pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia. Meskipun dengan

                                                                                                                         7 Padmo Wahjono, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu

Negara dari Jellinek, Melati Study Group, Jakarta, hal 30. 8 Ni’Matul Huda, 2013, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, hal 81 9 ibid.

13    

   

sasaran yang sama, keduanya berjalan dengan system sendiri yaitu sistem

hukumnya masing – masing10.

Konsep rechsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutism sehingga

sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara

evolusioner11. Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum eropa continental

yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem

hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif,

sedangkan karakteristik civil law adalah judicial12. Adapun ciri – ciri rechsstaat

adalah13

1. Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat

ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.

2. Adanya pembagian kekuasaan negara

3. Diakui dan dilindungi hak – hak kebebasan rakyat.

A. V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari the rule of law sebagai berikut14:

1. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk

menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan

kesewenang – wenangan, prerogative atau discretionary authority

yang luas dari pemerintah

2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari

semua golongan kepada ordinary law of the land yang

                                                                                                                         10 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,

Surabaya, hal 72 11 ibid. 12 ibid. hal. 80 13 Huda Ni’Matul, Op.cit, hal. 81 14 Huda Ni’ Matul, Loc.cit

14    

   

dilaksanakan oleh ordinary court: ini berarti bahwa tidak ada orang

yang berada di atas hukum; tidak ada peradilan administrasi

negara.

3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa

hukum kosntitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi

dari hak – hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh

peradilan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara hukum berarti suatu negara yang di dalam

wilayahnya adalah :

1. Semua alat – alat perlengkapan dari negara, khususnya alat – alat

perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap

para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing –

masing, tidak boleh sewenang – wenang, melainkan harus

memperhatikan peraturan – peraturan hukum yang berlaku.

2. Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada

peraturan – peraturan hukum yang berlaku.

Indonesia merupakan negara hukum, Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945

menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum

dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan

kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak

dipertanggungjawabkan15.

                                                                                                                         15Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010, Panduan Pemasyarakatan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, hal, 46

15    

   

Dengan landasan prinsip negara hukum, dalam kasus sengketa

kewenangan ini yang akan diteliti adalah kepastian hukumnya, karena Indonesia

merupakan negara hukum jadi segala tindak – tanduk seluruh pemangku

kekuasaan dan warga negaranya harus didasari oleh peraturan perundang –

undangan.

1.7.2 Asas-asas Pemerintahan yang baik

1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,

kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan

negara.

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu menjadi landasan

keteraturan, keserasian, keseimbangan dalam pengabdian

penyelenggaraan negara.

3. Kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan

umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan kolektif.

4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperolah informasi yang benar, jujur dan

tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan

rahasia negara.

5. Asas Proporsoionalitas, yaitu asas yang mengutamakan

keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

16    

   

6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap

kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negera

harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat

sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1.7.3 Teori Kewenangan.

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan

oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum16

Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: Bevoegheid wet kan worden

omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door

publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer.

(wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan

dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum

publik dalam hukum publik)17

Dari pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis

berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda

dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang

berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari

                                                                                                                         16Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie

Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung hal. 65

17 Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung, hal.4

17    

   

kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan

oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut

dalam kewenangan itu.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam

melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan

keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara

atribusi, delegasi, maupun mandat.Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan

yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus

ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain.

Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang,

akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam

pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk

bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

Sengketa kewenangan Lembaga Negara yang memperoleh

Kewenangannya dari UUDNRI 1945 adalah sengketa yang timbul dalam bidang

hukum tata Negara sebagai akibat suatu lembaga Negara menjalankan

kewenangan yang diberikan UUDNRI 1945 padanya, telah merugikan,

menghilangkan atau mengganggu kewenangan lembaga Negara lainnya sengketa

(dispute) itu dapat terjadi karena digunakannya kewenangan lembaga negara yang

diperolehnya dari UUDNRI 1945, dan kemudian dengan penggunaan kewenangan

tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain.

18    

   

1.8 Metode Penelitian

Untuk memperoleh informasi serta penjelasan mengenai segala sesuatu

yang berkaitan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian

atau metode penelitian, hal ini dikarenakan dengan menggunakan metode

penelitian yang benar akan diperoleh validitas data serta dapat mempermudah

dalam melakukan penelitian terhadap suatu masalah. Adapun metode penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1.8.1 Jenis Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini metode yang digunakan adalah metode

penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif juga disebut penelitian

hukum doktrin, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen.

Disebut dengan penelitian hukum doktrin, karena penelitian ini dilakukan atau

ditujukan hanya pada peraturan – peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum

lain. Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan

penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder18.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Penelitian Hukum Normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis

pendekatan yakni19 :

(1) Pendekatan Kasus (The Case Approach)

(2) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)

(3) Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

(4) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach)                                                                                                                          

18 Surjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, hal 13

19 ibid.

19    

   

(5) Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)

(6) Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

(7) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan Perundang-undangan, Analisa

Konsep Hukum (Analitical & conceptual approach).Pendekatan Perundang-

undangan yakni mengkaji semua Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan yang terkait dengan

masalah yang diteliti. Pendekatan konsep hukum menguraikan masalah dengan

berpijak pada pola pikir dari konsep-konsep hukum formal dan Norma-Norma

hukum yang berlaku, sedangkan pendekatan. Pendekatan kasus ( The Case

Approach) dilakukan dalam penelitian ini dmana saya selaku penulis ingin

meneliti satu dari banyak kasus sengketa kewenangan lembaga KPK dan POLRI

yaitu dalam menangani kasus korupsi Simulator SIM tahun 2012.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Oleh karena penulisan ini merupakan penelitian yuridis Normatif, maka

untuk menunjang pembahasan masalah tersebut di atas maka sumber bahan

hukum yang dipergunakan terdiri dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan

tersier.

1. Bahan Hukum Primer, yakni Bahan yang mempunyai kekuatan mengikat

secara umum maupun mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang

berkepentingan yang terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 , Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/1998 Tentang

Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan

20    

   

Nepotisme, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Negara Indonesia dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti.20

2. Bahan Hukum Sekunder, yakni Bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku, majalah, karya

ilmiah, maupun artikel-artikel lainnya yang terkait dengan permasalahan.21

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk memperoleh, mengumpulkan serta mengolah bahan dalam

penyusunan skripsi ini dilakukan dengan studi dokumen atau telaah bahan

pustaka serta menggunakan peraturan perundang- undangan yang berkaitan

dengan masalah yang akan dikaji. Tujuan dan kegunaan studi dokumen dan

kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan

penelitian.22

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Ada beberapa teknik yang digunakan dalam pengolahan dan analisis bahan

Hukum yakni :

1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi

atau posisi dari proposisi-proposisi hukum

                                                                                                                         20 Ibid., hal 12 21 Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,

Mandar Maju, Bandung, hal. 65 22 Ronny Hanitjo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet- ke 5,

Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 12

21    

   

2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak

setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu

pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera

dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian

harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam

pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan

kedalaman penalaran hukum.