1. BAB I - sinta.unud.ac.id. BAB I.pdf... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan...
Transcript of 1. BAB I - sinta.unud.ac.id. BAB I.pdf... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah :
Menurut Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri pada
tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat)
dalam arti negara pengurus (Verzogingsstaat)1. Hal ini tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut
UUDNRI 1945) Alinea ke 4 yang menyatakan sebagai berikut :
‘Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia….. ” Selain dari isi alinea tersebut, Indonesia merupakan Negara hukum juga tercantum
dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Sejalan dengan ketentuan tersebut selain membentuk kekuasaan
kehakiman yang tertulis dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945 dimana
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam
rangka penegakan hukum di Indonesia dan menjaga pertahanan serta keamanan
Negara. UUDNRI 1945 juga melahirkan lembaga – lembaga sebagai alat Negara
1 Maria Farida Indrati Soeprapto, ilmu Perundang-undangan - Jenis, Fungsi, dan
Materi, Muatan, Daerah Istimewa Yogyakarta:PT Kanisius, 2007, hal 1.
2
yang bertugas untuk menegakkan hukum. Dari ketentuan Pasal 30 Ayat (2) UUD
NRI 1945 yang menyatakan “ Usaha pertahanan dan keamanan Negara
dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai
kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung” serta Pasal 30 Ayat (4)
UUD NRI 1945 yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik sebagai alat Negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat serta menegakan hukum.
Demi mewujudkan penegakan hukum yang adil, dan beradab berdasarkan
Pancasila dan UUD NRI 1945, maka diundangkanlah Undang-Undang Repubik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang selanjutnya disebut dengan UU No. 2 Tahun 2002 oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia, hal ini secara jelas
terdapat dalam dasar pemikiran Pembentukan UU No. 2 Tahun 2002 yang
tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu
a. Bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab bedasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Bahwa Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggu hak asasi manusia.
Setelah diundangkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia yg selanjutnya disebut
POLRI diberikan wewenang-wewenang untuk mengakkan hukum , hal ini
3
mengacu pada ketentuan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI. Dalam
melaksakan tugas pokoknya selaku penegak hukum, POLRI diberikan wewenang
untuk menyelidiki dan menyidik setiap tindak pidana sesuai dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya sesuai dengan yang diatur
dalam ketentuan Pasal 14 Huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI
contohnya Tindak Pidana Korupsi.
Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas
perilaku manusia dalam interaksi social yang dianggap menyimpang2. Oleh
karena itu perilaku tersebut dengan segala bentuk dicela dalam masyarakat.
Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis
dimanifestasikan dalam rumusan hukumsebagai suatu bentuk tindak pidana3.
Dewasa ini di Indonesia tindak pidana korupsi dirasa sangat merugikan negara
khususnya di dalam perekonomian negara yg berdampak pada terhambatnya
pembangunan nasional hal ini tercantum dalam konsideran menimbang dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yg selanjutnya disebut dengan UU No. 31 Tahun 1999 huruf a, dan b
yaitu
a. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan Negara atau pereoknomian Negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi
2Elwi Danil, Korupsi, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta,PT.
Rajagrafindo Persada, hal. 1 3 Ibid.
4
Hal itulah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan UU No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan melalui UU No. 31 Tahun
1999 Tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi ini adalah sebuah bentuk
usaha negara yang benar – benar ingin memerangi tindak pidana korupsi.
Namun seiring bekembangnya sistem ketatanegaraan dan semakin
banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia, maka dibentuklah
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (kemudian disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi) dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya
disebut UU No. 30 Tahun 2002 yang memberi tugas kepada KPK untuk
menangani kasus – kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya
disingkat KPK dikarenakan pemberantasan tindak pidana korupsi sebelum
diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002 belum dapat dilaksanakan secara
optimal. Hal ini secara jelas terdapat dalam dasar pemikiran pembentukan UU No.
30 Tahun 2002 yang tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu:
a. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan Negara, perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional;
b. Bahwa lembaga pemerintahan yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
5
Dalam konsideran menimbang huruf a dan b sangat jelas diuraikan bahwa
pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga kepolisian
atau oleh lembaga kejaksaan belum secara efektif sehingga pemerintah
mengambil jalan untuk membentuk suatu lembaga yang bersifat independen
dalam melaksanakan tugasnya, yakni dengan membentuk KPK
Hubungan antara KPK dengan POLRI adalah merupakan hubungan
fungsional, yakni dalam melakukan fungsinya sebagai lembaga Negara yang
menegakkan hukum, keadilan, dan mengayomi serta memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Dengan adanya Lembaga KPK yang menjadi mitra bagi
POLRI merupakan suatu sistem yang ideal bagi penegakkan hukum dan keadilan
di Indonesia. Kehadiran KPK memberikan semangat baru bagi penegakkan
hukum dan keadilan di Indonesia khususnya terhadap tindak pidana korupsi.
Hadirnya KPK juga mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah
dalam hal keseriusannya memberantas tindak pidana korupsi dimana selama ini
sebelum adanya KPK pemberantasan tindak pidana korupsi belumlah efektif.
Mengenai hubungan kewenangan dan hubungan fungsional antara KPK
dengan POLRI tercantum jelas pada Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 dalam pasal
tersebut menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi
juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi. Sedangkan bagi kepolisian, ketentuan mengenai hubungan
fungsional dan kerja sama dengan KPK tertuang dengan jelas dalam ketentuan
6
Pasal 42 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI bahwa hubungan dan
kerja sama POLRI dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan luar negeri
didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling
membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki,
sedangkan pada Pasal 42 Ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI
disebutkan bahwa hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama
dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan lembaga, instansi
lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidaritas.
Memang dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2002
tentang POLRI tidak ada secara jelas menyebutkan tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan hanya menyebutkan mengenai badan, lembaga
instansi lain, serta masyarakat. Akan tetapi kembali kita melihat kedudukan dan
fungsi dari KPK yang merupakan lembaga/instansi yang berkedudukan di dalam
negeri dan sebagai lembaga yang mengemban tugas menegakkan hukum dan
keadilan di Indonesia. Jadi atas dasar itu Komisi Pemberantasan Korupsi sudah
memenuhi unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU No.
2 Tahun 2002 tentang POLRI sebagai lembaga yang berkedudukan di dalam
negeri serta sebagai lembaga yang menegakkan hukum dan keadilan.
Hubungan fungsional antara KPK dan POLRI bersifat timbal balik, hal ini
dengan adanya ketentuan yang menjelaskan kedua lembaga Negara tersebut dapat
melakukan kerja sama dengan lembaga Negara lain yang berfungsi menegakkan
hukum, keadilan, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 6
7
Huruf a dan b UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yakni Komisi Pemberantasan
Korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau dengan Kejaksaan Negara
Republik Indonesia. Sedangkan Ketentuan mengenai lembaga POLRI dapat
melakukan kerjasama dengan lembaga atau instansi lain yang berfungsi
memberantas korupsi yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2)
UU No.2 tahun 2002 tentang POLRI yang seara rinci di tegaskan bahwa
kepolisian dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan hubungan dan kerja
sama dengan badan, lembaga serta instansi di dalam negeri dan di luar negeri
yang berfungsi memberantas tindak pidana korupsi.
Dengan adanya pengaturan mengenai hubungan dalam melakukan
kerjasama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi antara KPK dengan
POLRI secara teori memberikan semangat baru bagi penegakkan hukum dan
keadilan di Indonesia, khususnya dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Idealnya jika ada 2 institusi yang berperan sebagai instrument Negara dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan kewenangan yang dilandasi
hubungan fungsional pasti pegakkan hukum dan keadilannya semakin efektif dan
efisien.
Namun keadaan dewasa ini KPK dan POLRI menjadi sorotan, hal ini
dikarenakan telah terjadinya gesekan-gesekan diantara kedua institusi penegak
hukum ini, perseteruan antara KPK dengan POLRI bahkan sudah terjadi beberapa
kali, dimulai dari tindak pidana korupsi hingga sengketa kewenangan dari kedua
institusi, pada perseteruan jilid 1 kasus “cicak vs buaya” berawal dari tindakan
8
penyidikan (penyadapan) KPK terhadap Kabareskrim POLRI saat tahun 2008,
Komisaris Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima gratifikasi dari nasabah
Bank Century, Boedi Sampoerna, karena berhasil memaksa Bank Century
mencairkan dana nasabah itu sebelum bank itu ditutup.4Dalam
wawancara Tempo dengan Susno Duadji yang dimuat di Majalah Tempo edisi 6-
12 Juli 2009, Susno merendahkan KPK yang dinilainya bodoh karena berani
dengan Polri, khususnya dengan Kabareskrim (dia sendiri). Padahal, menurutnya
dia tidak bersalah. Dari sinilah muncul istilah Susno, “cicak” melawan “buaya,”
yang kemudian sangat populer itu.
“Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.”
Perseteruan cicak versus buaya belum berhenti sampai disitu, dilanjutkan
dengan cicak versus buaya jilid dua yang kembali melibatkan kedua institusi
penegak hukum. Pada Juli 2012, perseteruan KPK vs Polri kembali terbuka,
setelah KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko
Susilo sebagai tersangka kasus korupsi di proyek simulator ujian SIM.5. Padahal
sebelumnya, Mabes Polri telah menyatakan, setelah melakukan investigasi
penyidikan internal, tak ditemukan unsur korupsi di proyek tersebut, yang
4 Reza Gunanda, 2014, Pertikaian KPK versus Polri Berlanjut, Pos Kupang
http://kupang.tribunnews.com/2015/01/24/pertikaian-kpk-versus-polri-berlanjut?page=2 diakses tanggal 9 Februari 2015
5 Icha Rastika, 2012, KPK Resmi Tetapkan Djoko Susilo Tersangka, KOMPAS.com, http://nasional.kompas.com/read/2012/07/31/08321417/KPK.Resmi.Tetapkan.Djoko.Susilo.Tersangka diakses tanggal 9 Februari 2015
9
melibatkan Djoko Susilo. Sampai yang terhangat sekarang kasus Calon Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Komisaris Jendral Polisi Budi
Gunawan yg dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di awal
tahun 2015 karena terindikasi kasus tindak pidana korupsi6
Dari perseteruan yang terus menerus terjadi antara lembaga KPK dan
POLRI maka menarik untuk diteliti. Apakah memang ada konflik ketentuan
hukum yang melahirkan sengketa kewenangan antara lembaga KPK dan POLRI ?
Hal ini lah yang melatar belakangi untuk melakukan penelitian dalam bentuk
skripsi dengan judul “Sengketa Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Kasus Korupsi”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasus tindak pidana
korupsi ?
2 Bagaimana penyelesaian jika terjadi sengketa kewenangan antara
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia ?
6 Amberanie Nadia Kemala Movanita, 2015, KPK Tetapkan Calon Kapolri Budi
Gunawan sebagai Tersangka, KOMPAS.com, http://nasional.kompas.com/read/2015/01/13/14354311/KPK.Tetapkan.Calon.Kapolri.Budi.Gunawan.sebagai.Tersangka diakses tanggal 9 Februari 2015
10
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup rumusan masalah yang pertama adalah menelusuri
peraturan perundang-undangan yang membahas wewenang KPK dan POLRI
dalam menangani kasus korupsi menurut UU. No. 30 Tahun 2002 tentang KPK
dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI.
Mengingat banyaknya pertentangan kewenangan dari Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka
analisis akan dilakukan terhadap kasus Korupsi Simulator SIM Tahun 2012.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Dalam rangka menumbuhkan anti plagiat didalam dunia pendidikan di
Indonesia, maka penulis menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah
dibuat dengan menampilkan beberapa jenis judul peneletian atau desertasi
terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini peneliti
menampilkan 2 skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan sengketa
kewenangan antar Lembaga-LembagaNegara .
Tabel 1 Daftar penelitian sejenis
No. Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah
1 Hubungan Kewenangan Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Pemberantasan
M. Nasrul Hamzah ( Program Studi Ilmu Hukum, Program Sarjana, Universitas Hasanudin)Tahun 2012
1.Bagaimana pola hubungan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pemberantasan Kasus Korupsi? 2.Sejauh mana dasar pegaturan penyelesaian sengketa kewenangan dalam hal hubungan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia?
11
Korupsi 2 Penyelesaian
Sengketa Atas Kewenangan Penyidikan KPK Dan Polisi dalam menangani kasus korupsi
Gidion S. H Tatuil ( Program Studi Ilmu Hukum, Program Sarjama Universitas Sam Ratulangi) Tahun 2012
1.Bagaimana Penyidikan dari pihak KPK dan Polri dalam menangani kasus korupsi? 2. Bagaimana terjadinya sengketa serta upaya penyelesaian kewenangan penyidikan antara KPK dan Polri?
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sejenis diatas ialah pada
penelitian ini lebih khusus menganalisa tentang sengketa kewenangan antara KPK
dan POLRI pada kasus simulator SIM tahun 2012.
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Sebagai sumbangan buah pikiran sebagai mahasiswa di bidang ilmu
hukum tata negara khususnya dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar
lembaga negara dan pengamalan dari asas tri dharma perguruan tinggi, selain itu
untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana hukum.
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasus tindak pidana
korupsi
2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa kewenangan antara Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
12
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis kajian ini diharapkan dapat berguna sebagai upaya
pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara khususnya dalam bentuk
sumbangan pikiran tentang penyelesaian sengketa kewenangan antar dua institusi
hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
1.6.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini memberikan gambaran penyelesaian sengketa
kewenangan lembaga Negara mengacu pada peraturan perundang-undangan.
1.7 Landasan Teoritis
1.7.1. Prinsip Negara Hukum
Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan
terjemahan langsung dari rechsstaat7. Istilah rechsstaat mulai popular di Eropa
sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah ada sejak lama8. Istilah the
rule of law mulai populer dengan terbitnya buku dari Albert Van Dicey tahun
1889 dengan judul Introduction to the Study of Law of The Constitution9. Dari
latar belakang dan system hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara
konsep rechsstaat dan konsep the rule of law, meskipun berbeda, pada dasarnya
kedua konsep tersebut mengarahkan dirinya pada satu sasaran utama, yaitu
pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia. Meskipun dengan
7 Padmo Wahjono, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu
Negara dari Jellinek, Melati Study Group, Jakarta, hal 30. 8 Ni’Matul Huda, 2013, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, hal 81 9 ibid.
13
sasaran yang sama, keduanya berjalan dengan system sendiri yaitu sistem
hukumnya masing – masing10.
Konsep rechsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutism sehingga
sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara
evolusioner11. Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum eropa continental
yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem
hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif,
sedangkan karakteristik civil law adalah judicial12. Adapun ciri – ciri rechsstaat
adalah13
1. Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat
ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
2. Adanya pembagian kekuasaan negara
3. Diakui dan dilindungi hak – hak kebebasan rakyat.
A. V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari the rule of law sebagai berikut14:
1. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan
kesewenang – wenangan, prerogative atau discretionary authority
yang luas dari pemerintah
2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari
semua golongan kepada ordinary law of the land yang
10 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, hal 72 11 ibid. 12 ibid. hal. 80 13 Huda Ni’Matul, Op.cit, hal. 81 14 Huda Ni’ Matul, Loc.cit
14
dilaksanakan oleh ordinary court: ini berarti bahwa tidak ada orang
yang berada di atas hukum; tidak ada peradilan administrasi
negara.
3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa
hukum kosntitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi
dari hak – hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh
peradilan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara hukum berarti suatu negara yang di dalam
wilayahnya adalah :
1. Semua alat – alat perlengkapan dari negara, khususnya alat – alat
perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap
para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing –
masing, tidak boleh sewenang – wenang, melainkan harus
memperhatikan peraturan – peraturan hukum yang berlaku.
2. Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada
peraturan – peraturan hukum yang berlaku.
Indonesia merupakan negara hukum, Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945
menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum
dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan
kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dipertanggungjawabkan15.
15Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010, Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, hal, 46
15
Dengan landasan prinsip negara hukum, dalam kasus sengketa
kewenangan ini yang akan diteliti adalah kepastian hukumnya, karena Indonesia
merupakan negara hukum jadi segala tindak – tanduk seluruh pemangku
kekuasaan dan warga negaranya harus didasari oleh peraturan perundang –
undangan.
1.7.2 Asas-asas Pemerintahan yang baik
1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan
negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu menjadi landasan
keteraturan, keserasian, keseimbangan dalam pengabdian
penyelenggaraan negara.
3. Kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan kolektif.
4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperolah informasi yang benar, jujur dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara.
5. Asas Proporsoionalitas, yaitu asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
16
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negera
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.7.3 Teori Kewenangan.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum16
Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: Bevoegheid wet kan worden
omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door
publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer.
(wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan
dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum
publik dalam hukum publik)17
Dari pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis
berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda
dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari
16Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung hal. 65
17 Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung, hal.4
17
kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan
oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut
dalam kewenangan itu.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam
melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan
keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara
atribusi, delegasi, maupun mandat.Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan
yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus
ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain.
Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang,
akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam
pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk
bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).
Sengketa kewenangan Lembaga Negara yang memperoleh
Kewenangannya dari UUDNRI 1945 adalah sengketa yang timbul dalam bidang
hukum tata Negara sebagai akibat suatu lembaga Negara menjalankan
kewenangan yang diberikan UUDNRI 1945 padanya, telah merugikan,
menghilangkan atau mengganggu kewenangan lembaga Negara lainnya sengketa
(dispute) itu dapat terjadi karena digunakannya kewenangan lembaga negara yang
diperolehnya dari UUDNRI 1945, dan kemudian dengan penggunaan kewenangan
tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain.
18
1.8 Metode Penelitian
Untuk memperoleh informasi serta penjelasan mengenai segala sesuatu
yang berkaitan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian
atau metode penelitian, hal ini dikarenakan dengan menggunakan metode
penelitian yang benar akan diperoleh validitas data serta dapat mempermudah
dalam melakukan penelitian terhadap suatu masalah. Adapun metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.8.1 Jenis Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini metode yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif juga disebut penelitian
hukum doktrin, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen.
Disebut dengan penelitian hukum doktrin, karena penelitian ini dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan – peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum
lain. Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan
penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder18.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Penelitian Hukum Normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis
pendekatan yakni19 :
(1) Pendekatan Kasus (The Case Approach)
(2) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)
(3) Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
(4) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach)
18 Surjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, hal 13
19 ibid.
19
(5) Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)
(6) Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
(7) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan Perundang-undangan, Analisa
Konsep Hukum (Analitical & conceptual approach).Pendekatan Perundang-
undangan yakni mengkaji semua Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan yang terkait dengan
masalah yang diteliti. Pendekatan konsep hukum menguraikan masalah dengan
berpijak pada pola pikir dari konsep-konsep hukum formal dan Norma-Norma
hukum yang berlaku, sedangkan pendekatan. Pendekatan kasus ( The Case
Approach) dilakukan dalam penelitian ini dmana saya selaku penulis ingin
meneliti satu dari banyak kasus sengketa kewenangan lembaga KPK dan POLRI
yaitu dalam menangani kasus korupsi Simulator SIM tahun 2012.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Oleh karena penulisan ini merupakan penelitian yuridis Normatif, maka
untuk menunjang pembahasan masalah tersebut di atas maka sumber bahan
hukum yang dipergunakan terdiri dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan
tersier.
1. Bahan Hukum Primer, yakni Bahan yang mempunyai kekuatan mengikat
secara umum maupun mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan yang terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 , Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/1998 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan
20
Nepotisme, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Negara Indonesia dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti.20
2. Bahan Hukum Sekunder, yakni Bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku, majalah, karya
ilmiah, maupun artikel-artikel lainnya yang terkait dengan permasalahan.21
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk memperoleh, mengumpulkan serta mengolah bahan dalam
penyusunan skripsi ini dilakukan dengan studi dokumen atau telaah bahan
pustaka serta menggunakan peraturan perundang- undangan yang berkaitan
dengan masalah yang akan dikaji. Tujuan dan kegunaan studi dokumen dan
kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan
penelitian.22
1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Ada beberapa teknik yang digunakan dalam pengolahan dan analisis bahan
Hukum yakni :
1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi
atau posisi dari proposisi-proposisi hukum
20 Ibid., hal 12 21 Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, hal. 65 22 Ronny Hanitjo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet- ke 5,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 12
21
2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak
setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera
dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian
harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam
pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan
kedalaman penalaran hukum.