1. Bab 1 Skripsi EQ Liana
-
Upload
dieny-prasilo -
Category
Documents
-
view
19 -
download
2
Transcript of 1. Bab 1 Skripsi EQ Liana
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa remaja dikenal dengan nama masa storm and sterss, di mana terjadi
pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan
pertumbuhan psikis yang bervariasi ( http://www.e-psikologi.com ), menurut
Monks ( 1985 ), pada masa remaja ( usia 12 sampai dengan 21 tahun ) terdapat
fase. Fase awal ( usia 12 sampai dengan 15 tahun ), remaja pertengahan ( usia 15
sampai dengan 18 tahun ) dan masa remaja akhir ( usia 18 sampai dengan 21
tahun ) dan diantaranya juga terdapat pubertas yang merupakan fase yang sangat
singkat dan terkadang terjadi masalah tersendiri bagi remaja yang
menghadapinya. Fase pubertas ini berkisar antara usia 11 atau 12 tahun sampai
dengan 16 tahun ( Hurlock, 1992 ) dan setiap individu memiliki variasi tersendiri.
Masa pubertas sendiri berada tumpang tindih antara masa anak – anak dan masa
remaja, sehingga kesulitan menghadapi fase – fase perkembangan selanjutnya.
Pada fase itu, terdapat perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan
hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik, terutama organ – oragan seksual,
maupun psikis, terutama emosi. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak
terlepas dari berbagai macam pengaruh lingkungan, keluarga, sekolah, dan teman
sebaya serta aktivita-aktivitas yang dijalani di sekolah. Dalam keluarga, pola asuh
yang diterapkan akan membentuk karakter remaja dalam prilaku sehari hari. Pola
asuh ini antara lain adalah pola asuh otoriter, bebas dan demokrasi.
1
2
Menurut Sarlito, dalam Media Workshop Emotional Intelligence yang
diadakan di Jakarta, selasa 12 Oktober 2004 ( situs Banjarmasin Post. 2004 )
mengatakan, orang tua dan lingkungan menjadi faktor utama dalam menjadikan
anak lebih dewasa dan bersikap. Kalau mereka emosi walaupun jenius, tidak ada
pekerjaan yang bisa diselesaikannya. Memberikan kecerdasan emosi pada anak,
merupakan landasan penting dalam pola asuh. Rusaknya moral dan kenakalan
remaja bukan salah mereka, namun akibat ketidakmampuan mengendalikan emosi
karena kesalahan orang tua dalam mendidik, yang mana keinginan orang tua agar
anak mencapai tingkat kecerdasan intelektual ( Intelligence Quotient atau IQ )
tertinggi telah menutup mata para orang tua dalam memberikan pendidikan
mengendalikan emosi.
Adapun contoh seperti Ibu Yola ( situs Banjarmasin Post, Senin 12 Mei
2002 ), sebagai hal yang betul-betul dapat menghancurkan kecerdasan emosi
anak. Anak yang sedang mencari jati diri dipaksa hidup pada tingkat intelektual
yang tidak sesuai dengan dirinya, anak yang tidak kuat dimata pelajaran
matematika, dipaksa orang tuanya masuk IPA.
Keinginan orang tua agar anak mencapai kecerdasan intelektual tinggi
telah menutup mata mereka dalm memberikan anak pendidikan pengendalian
emosi. Dari hasil penelitian Lawrence E. Shapiro (1997), diketahui peningkatan
kecerdasan intelektual berbanding terbalik dengan perilaku mereka. Hingga ia
menilai bahwa kecerdasan emosi yang tidak ditanamkan sejak dini tak mampu
meningkatkan kualitas perilaku cerdas dalam masyarakat. Menurut Sarlito,
kecerdasan emosional bukan bakat, ini merupakan aspek dalam diri seseorang
yang bisa dikembangkan dan dilatih. Seorang anak memiliki masalah
3
pengendalian emosi, bukan berarti ia sudah ditakdirkan sebagai orang bermasalah.
Tapi ia memerlukan upaya pelatihan pengembangan kecerdasan emosional lebih
intensif, tentu dengan metode yang tepat. Penelitian membuktikan bahwa
kecerdasan emosi bisa dikembangkan dalam berbagai tingkat usia, meski
pembentukan puncaknya terjadi pada masa remaja. (situs Banjarmasin Post. 28
Oktober 2004)
Menurut Lisa Nathalia, tidak ada ukuran tingkat intervensi orang tua
dalam kehidupan anak, orang tua harus belajar mengenali bakat dan minat
anaknya, dengan melihat karakter anak terlebih dahulu, dan yang memberikan
sejak dini adalah disiplin. Penerapan kedisiplinan dalam keluarga bisa melalui
aturan-aturan dalam rumah tangga. Anak harus belajar memahami aturan-aturan
dan mentaati aturan dalam keluarga. Ini akan membentuk karakter. Orang tua
yang selalu memaksakan kehendak kepada anak, dapat menjadikan anak berontak,
sehingga kecerdasan emosional yang tentunya diiringi kecerdasan spiritual, lebih
menentukan masa depan anak. Adanya intervensi dari orang tua dengan
kedisiplinan dan keterbukaan maka diharapkan anak memiliki kecerdasan
emosional yang baik.
1.2 Perumusan masalah
1.2.1 Bagaimana pola asuh orang tua yang diterapkan pada siswa ?
1.2.2 Bagaimana tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki oleh siswa ?
1.2.3 Apakah ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan tingkat
kecerdasan emosional siswa di MAN Wlingi Kabupaten Blitar ?
4
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat kecerdasan
emosional ( Emotional Qootient atau EQ ) yang dicapai oleh siswa
1.3.2 Tujuan khusus
a) mengetahui pola asuh orang tua yang diterapkan pada siswa di MAN Wlingi
Kabupaten Blitar
b) Mengetahui tingkat kecerdasan emosional ( Emotional Qootient atau
EQ )pada siswa di MAN Wlingi Kabupaten Blitar
c) Menganalisa hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat kecerdasan
emosional siswa di MAN Wlingi Kabupaten Blitar
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi institusi tempat dilakukan penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbang pikiran dan
pengetahuan. Dan memberikan gambaran jelas tentang hubungan pola asuh orang
tua dengan tingkat kecerdasan emosional remaja.
1.4.2 Bagi peneliti
Sebagai aplikasi pengalaman belajar khususnya dalam mata ajar riset
keperawatan dan untuk mengetahui adanya hubungan pola asuh orang tua
terhadap tingkat kecerdasan emosional remaja.
1.4.3 Bagi peneliti lain
Sebagai dasar bagi peneliti lain dalam melaksanakan penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.