086D4d01

download 086D4d01

of 121

Transcript of 086D4d01

  • 8/7/2019 086D4d01

    1/121

    STUDI ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I

    TENTANG PERKAWINAN ANTAR AGAMA

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi SyaratGuna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

    Dalam Ilmu Syariah

    Oleh:

    ARIFIN

    NIM. 2199096

    JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH

    FAKULTAS SYARIAH

    IAIN WALISONGO SEMARANG

    2006

  • 8/7/2019 086D4d01

    2/121

    ii

    DEPARTEMEN AGAMA

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

    FAKULTAS SYARIAH SEMARANGJL. Raya Boja Km. 2 Ngalian Telp./ Fax. (024) 7601291 Semarang 50185

    BERITA ACARA MUNAQASYAH SKRIPSI

    Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang pada:Hari : KamisTanggal : 27 Juli 2006Jam : 11.00-12.00 WIB

    Telah mengadakan Ujian Munaqasyah Skripsi dengan judul:

    STUDI ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN

    ANTAR AGAMA

    Atas Nama :Nama : ArifinNIM : 2199096Jurusan : Ahwal SyahsiyahKeterangan : UTAMA/ULANG ..

    LULUS/TIDAK LULUS

    Semarang, 27 Juli 2006

    Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

    H.Khoirul Anwar, S.Ag, M.Ag. M.Solek, MA.

    NIP. 150 276 114 NIP. 150 262 648

    Penguji I, Penguji II,

    Dr.H.Abd. Hadi, MA. Ade Yusuf Mujaddid, M.Ag.

    NIP. 150 209 744 NIP. 150 289 443

    Pembimbing,

    M.Solek, MA.

    NIP. 150 262 648

  • 8/7/2019 086D4d01

    3/121

    iii

    ABSTRAK

    Dalam prakteknya tidak sedikit adanya hubungan muda-mudi yangberbeda agama yaitu muslim dengan non muslim. Hubungan itu tidakmenutup kemungkinan sampai pada jenjang pernikahan. Masalah yangmuncul, bagaimana pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama?Bagaimana metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan antaragama? Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dan penelitiankepustakaan ( Library research). Sedangkan Pendekatannya menggunakanpendekatan deskriptif analisis. Adapun data primer yaitu karya al-Syafii yang

    berhubungan dengan judul di atas di antaranya: (1) Al-Umm, dan al-Risalah.Sedangkan data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul diatas. Sebagai tknik pengumpulan data menggunakan teknik library research(penelitian kepustakaan), dengan analisis data kualitatif.

    Hasil dari pembahasan dapat diterangkan bahwa dalam perkawinanantar agama menurut Imam Syafi'i, laki-laki muslim tidak boleh menikahdengan wanita non muslim dengan alasan surat al-Baqarah 221: wal tankihulmusyrikti hatta yukminna walmatun mu'minatun khairun min musyrikatin

    walau a'jabatkum. Wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-lakinon muslim dengan alasan surat al-Baqarah 221: wal tunkihul musyriknahatta yukminu wala'abdun mu'minun khairun min musyrikin walau a'jabakum.

    Laki-Laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita non muslim kecualidengan wanita non muslim yang berasal dari ahli kitab. Menurut al-Syafi'iyang dimaksud dengan ahli kitab tersebut adalah keturunan Bani Israil atauorang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musadan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa.Sedangkan Istinbath hukum al-Syafii yang membolehkan laki-laki muslimmenikah dengan wanita non muslim dari ahli kitab didasarkan atas di takhsissurat al-Baqarah ayat 221 oleh surat al-Maidah ayat 5. Adapun ahli kitab yangdimaksud oleh al-Syafi'i hanya terbatas kepada keturunan Bani Israil atauorang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musadan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa.Disebabkan: (a) Dalam ayat 5 al-Ma'idah terdapat lafal min qablikum yangberarti orang-orang Bani Israil atau orang-orang yang berpegang teguh padakitab Taurat pada masa Nabi Musa dan orang-orang yang berpegang teguhpada kitab Injil pada masa Nabi Isa. (b). Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutuskepada Bani Israil. Dalam kaitan ini, penulis kurang sependapat denganpendapat al-Syafi'i yang mengkategorikan ahlul kitab seperti tersebut di atas.Alasan penulis kurang setuju karena bila diaplikasikan di Indonesia, makaorang-orang Indonesia yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudahturunnya al-Quran maka mereka tidaklah termasuk di dalam ahlul kitab,konsekuensinya maka tidak halal bagi muslim menikahi perempuan-

    perempuan mereka.

  • 8/7/2019 086D4d01

    4/121

    iv

    DAFTAR ISI

    BAB I : PENDAHULUAN

    A.Latar Belakang MasalahB.Rumusan MasalahC.Tujuan PenelitianD.Telaah PustakaE.Metode PenelitianF. Sistematika Penulisan

    BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

    A. Pengertian Nikah dan Dasar HukumnyaB. Syarat dan Rukun NikahC. Pendapat Para Ulama tentang Perkawinan Antar Agama

    BABIII: PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN ANTAR

    AGAMA

    A. Biografi Al-Syafi'i, Pendidikan dan Karya-KaryanyaB. Pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan Antar AgamaC. Metode Istinbath Hukum Al-Syafi'i

    BABIV: ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN

    ANTAR AGAMA

    A. Pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan Antar AgamaB. Metode Istinbath Hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan Antar

    Agama

    BAB V : PENUTUP

    A. KesimpulanB. Saran-saranC. Penutup

  • 8/7/2019 086D4d01

    5/121

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang Masalah

    Allah SWT menciptakan dunia dan seluruh makhluk yang mendiami

    jagad raya ini dibentuk dan dibangun dalam kondisi berpasang-pasangan. Ada

    gelap dan terang, ada kaya dan miskin. Demikian pula manusia diciptakan

    dalam berpasangan yaitu ada pria dan wanita. Pria dan wanita diciptakan

    dengan disertai kebutuhan biologis.

    Dalam memenuhi kebutuhan biologis ada aturan-aturan tertentu yang

    harus dipenuhi dan bila dilanggar mempunyai sanksi baik di dunia maupun di

    akhirat. Sanksi yang dimaksud yaitu manakala pria dan wanita dalam

    memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa diikat oleh suatu tali pernikahan.

    Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah pihak

    saling menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam menempuh

    bahtera rumah tangga. Namun demikian, pernikahan itu sendiri mempunyai

    syarat dan rukun yang sudah ditetapkan baik dalam al-Quran maupun dalam

    Hadis.

  • 8/7/2019 086D4d01

    6/121

    2

    Menurut Sayuti Thalib perkawinan ialah perjanjian suci membentuk

    keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.1

    Sementara

    Mahmud Yunus menegaskan, perkawinan ialah akad antara calon laki istri

    untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.2

    Sedangkan Zahry Hamid merumuskan nikah menurut syara ialah akad (ijab

    qabul) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu

    dan memenuhi rukun serta syaratnya.3 Syekh Kamil Muhammad Uwaidah

    mengungkapkan menurut bahasa, nikah berarti penyatuan. Diartikan juga

    sebagai akad atau hubungan badan. Selain itu, ada juga yang mengartikannya

    dengan percampuran.4

    As Shanani dalam kitabnya memaparkan bahwa an-nikah menurut

    pengertian bahasa ialah penggabungan dan saling memasukkan serta

    percampuran. Kata nikah itu dalam pengertian persetubuhan dan akad.

    Ada orang yang mengatakan nikah ini kata majaz dari ungkapan secara

    umum bagi nama penyebab atas sebab. Ada juga yang mengatakan bahwa

    nikah adalah pengertian hakekat bagi keduanya, dan itulah yang

    dimaksudkan oleh orang yang mengatakan bahwa kata nikah itu musytarak

    bagi keduanya. Kata nikah banyak dipergunakan dalam akad. Ada pula yangmengatakan bahwa dalam kata nikah itu terkandung pengertian hakekat yang

    1Sayuti Thalib,Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986, hlm.47.

    2Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung,Cet. 12, 1990, hlm. 1.

    3Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-UndangPerkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 1.

    4

    Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, Al-Jami' Fi Fiqhi an-Nisa, terj. M. AbdulGhofar, "Fiqih Wanita', (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002, hlm. 375.

  • 8/7/2019 086D4d01

    7/121

    3

    bersifat syari. Tidak dimaksudkan kata nikah itu dalam al-Quran kecuali

    dalam hal akad.5

    Dari berbagai pengertian di atas, meskipun redaksinya berbeda akan

    tetapi ada pula kesamaannya. Karena itu dapat disimpulkan perkawinan ialah

    suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-

    laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup

    berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara

    yang diridhai Allah SWT. Dalam konteks ini Rasulullah bersabda:

    (6 (

    5Sayyid al-Iman Muhammad ibn Ismail as-Sanani , Subul al-Salam Sarh Bulugh al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam, Juz 3, Kairo: Dar Ikhya al-Turas al-Islami, 1960, hlm.350.

    6

    Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz 3,Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M,hlm. 251

  • 8/7/2019 086D4d01

    8/121

    4

    Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Sa'id bin Abi Maryamtelah memberitahu kepada kami dari Muhammad bin Ja'far

    dari Himaid bin Abi Humaid ath-Thawail, sesungguhnya diatelah mendengar dari Anas bin Malik r.a., katanya: Ada tigaorang laki-laki datang berkunjung ke rumah isteri-isteri Nabisaw; bertanya tentang ibadat beliau. Setelah diterangkankepada mereka, kelihatan bahwa mereka menganggap bahwaapa yang dilakukan Nabi itu terlalu sedikit. Mereka berkata:"Kita tidak dapat disamakan dengan Nabi. Semua dosabeliau yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni,Allah." Salah seorang dari mereka berkata: "Untuk saya,saya akan selalu sembahyang sepanjang malam selama-lamanya." Orang kedua berkata: "Saya akan berpuasa setiap

    hari, tidak pernah berbuka." Orang ketiga berkata: "Sayatidak akan pernah mendekati wanita. Saya tidak akan kawinselama-lamanya." Setelah itu Rasulullah saw. datang. Beliauberkata: "Kamukah orangnya yang berkata begini danbegitu? Demi Allah! Saya lebih takut dan lebih bertaqwakepada Tuhan dibandingkan dengan kamu. Tetapi sayaberpuasa dan berbuka. Saya sembahyang dan tidur, dan sayakawin. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnahku,tidak termasuk ke dalam golonganku." (HR. al-Bhukhari)

    Dari hadis di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak

    menyukai seseorang yang berprinsip anti menikah. Namun demikian dalam

    prakteknya tidak sedikit adanya hubungan muda-mudi yang berbeda agama

    yaitu muslim dengan non muslim. Hubungan itu tidak menutup kemungkinan

    sampai pada jenjang pernikahan. Masalah yang muncul, apakah hukumnya

    sah perkawinan muslim dengan non muslim?

    Peristiwa di atas berarti menyangkut perkawinan antar agama yang

    menurut Masjfuk Zuhdi, yaitu perkawinan antarorang yang berlainan agama,

    dalam hal ini, perkawinan orang beragama Islam (pria/wanita) dengan orang

  • 8/7/2019 086D4d01

    9/121

    5

    beragama non Islam (pria/wanita).7 Perkawinan antaragama yang dimaksud

    ini dapat terjadi antara

    1. Calon istri beragama Islam dan calon suami tidak beragama Islam, baik

    "ahlulkitab" maupun musyrik.

    2. Calon suami beragama Islam dan calon istri tidak beragama Islam, baik

    ahlulkitab maupun musyrik.

    Akibat hukum dari perkawinan antaragama adalah sebagai berikut: apabila

    perkawinan antaragama terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan

    laki-laki yang tidak beragama Islam, baik musyrik maupun ahlul kitab, maka

    para ulama imamiyah sebagaimana halnya dengan keempat mazhab lainnya

    sepakat bahwa wanita muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki non

    muslim meskipun ahli kitab.8 Hal ini berarti apabila perkawinan antaragama

    terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan laki-laki yang tidak

    beragama Islam, baik musyrik maupun ahlulkitab, maka ulama fikih sepakat

    hukumnya tidak sah.9 Alasannya adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah

    (2) ayat 221:

    ... )...:221(

    7Masjfuk Zuhdi,Masail Fikhiyah, Jakarta: PT Gunung Agung, 1997, hlm. 4.8Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.

    Masykur AB, et al, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000, hlm. 336.9

    Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, Jakarta: PT. IchtiarBaru Van Hoeve, 1997, hlm. 1409.

  • 8/7/2019 086D4d01

    10/121

    6

    Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyriksebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang

    mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarikhatimu. 10

    ... )...:10(Artinya: Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-

    orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka (Q.S.Mumtahanah: 10).11

    Apabila perkawinan terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan

    musyrik, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukumnya tidak sah.

    Argumen yang dikemukakan adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah (2)

    ayat 221. Ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan

    musyrik itu. Selanjutnya apabila perkawinan terjadi antara laki-laki beragama

    Islam dan perempuan yang tergolong ahlul kitab, terdapat beberapa pendapat

    di antara ulama fikih:

    a. Umar bin al-Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M) melarang perkawinan

    antara laki-laki muslim dan perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya,

    Allah SWT telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan

    musyrik dan ia tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari

    seseorang yang beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT

    yang lainnya adalah Tuhannya.

    b. Jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan

    perempuan ahlul kitab. Argumen mereka adalah pertama, penjelasan yang

    10Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran

    dan Terjemahnya, 1986, hlm. 53.11Ibid, hlm. 924

  • 8/7/2019 086D4d01

    11/121

    7

    terdapat dalam Al-Qur'an dalam surah al-Ma'idah ayat 5 dan kedua,

    pendapat Sayid Sabiq, ahli fikih di Mesir, yang menjelaskan bahwa

    sekalipun boleh mengawini wanita ahlul kitab. namun hukumnya makruh.

    Sekalipun jumhur ulama fikih sepakat tentang kebolehan seorang laki-laki

    beragama Islam mengawini wanita ahlul kitab, namun mereka berbeda

    pendapat dalam menentukan wanita ahlul kitab itu sendiri.

    Dalam hubungannya dengan perkawinan antar agama, menurut al-

    Syafi'i bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non

    muslim, akan tetapi dibolehkan menikah antara laki-laki muslim dengan ahli

    kitab. Hal ini ia nyatakan dalam kitabnya yaitu:

    12

    Artinya: wanita muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-lakimusyrik dengan keadaan apa pun, dan wanita musyrik itukadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islamdengan sesuatu hal dan wanita itu wanita kitabi.

    Dalam kaitannya dengan ahli kitab, menurut Al-Syafi'i, yang termasuk

    ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang

    Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain sekalipun penganut agama Yahudi

    dan atau Nasrani. Di antara alasan yang diajukan adalah

    (1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang

    bangsa Israel; dan

    12

    Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafii, Al-Umm, Beirut Libanon:Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287

  • 8/7/2019 086D4d01

    12/121

    8

    (2). Lafal min qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma'idah (5)

    ayat 5 menunjuk kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa

    Israel.

    Pendapat al-Syafi'i di atas dapat dijumpai dalam kitabnya yang pada

    intinya menyatakan:

    13Artinya: siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan Nasrani dari

    orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakansembelihannya dan halal dikawini wanitanya.14

    Mengingat kondisi yang demikian, maka terasa masih relevan

    membicarakan perkawinan antar agama, karena perkawinan merupakan

    sesuatu yang penting. Kecuali itu, masih banyak orang yang belum

    memahaminya secara tepat, terutama di kalangan generasi muda. Di sinilah

    terletak, antara lain urgennya mengkaji pendapat al-Syafi'i.

    Berdasarkan uraian di atas mendorong diangkatnya tema ini dengan

    judul: Studi Analisis Pendapat Al-Syafi'i dalam Kitab al-Umm tentang

    Perkawinan Antar Agama

    13Ibid, hlm. 289

    14

    Sabi'in adalah nama golongan yang mengikuti nabi-nabi zaman dahulu. SedangkanSamiri adalah nama suatu suku dari bangsa Israil.

  • 8/7/2019 086D4d01

    13/121

    9

    A. Perumusan Masalah

    Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat

    pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.15 Bertitik

    tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:

    1. Bagaimana pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama?

    2. Bagaimana metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan antar

    agama?

    B. Tujuan Penelitian

    Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama

    2. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan

    antar agama

    C. Telaah Pustaka

    Berdasarkan penelitian di perpustakaan Fakultas Syariah ditemukan

    kajian khusus berupa skripsi yang judulnya ada hubungan dengan penelitian

    ini. Demikian pula ada beberapa buku yang membahas perkawinan antar

    agama, walaupun secara khusus belum membahas konsep Al-Syafi'i secara

    mendalam. Skripsi dan buku-buku yang dimaksud di antaranya:

    1. Skripsi yang disusun oleh M. Rodli (NIM 2195143 IAIN Wali Songo

    Semarang) berjudul: Analisis Pendapat Muhammad Rasyid Ridlo tentang

    Kebolehan Laki-Laki Muslim Menikahi Wanita Kristen/Nasrani (Ahlul

    15

    Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta;Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.

  • 8/7/2019 086D4d01

    14/121

    10

    Kitab) dalam Al-Manar. Dalam skripsinya dijelaskan bahwa pada intinya

    M. Rasyid Ridho membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul

    kitab dengan syarat laki-laki muslim tidak terpengaruh dan ikut ke agama

    istrinya, yang ia khawatirkan wanita ahlul kitab tersebut akan menarik

    laki-laki muslim untuk masuk ke agamanya dengan kepandaiannya,

    kecantikannya, dan hartanya. Terhadap pemikiran M. Rasyid Ridho di

    atas, maka penulis mendukung karena Islam sebagai rahmat sekalian alam

    tidak membedakan antara manusia satu dengan lainnya, demikian juga

    terhadap penganut agama lain.

    2. Skripsi yang disusun oleh Thoifah (NIM 2196073 IAIN Wali Songo

    Semarang) dengan judul: Study Pemikiran Quraisy Syihab tentang Ahlul

    Kitab dan Implikasinya pada pernikahan Beda Agama di Indonesia.

    Dalam skripsinya dijelaskan bahwa M. Quraisy Shihab membolehkan

    seorang pria menikah dengan ahlul kitab dengan catatan wanita itu yang

    muhsonat yaitu perempuan yang dapat menjaga kehormatan diri dan

    sangat menghormati serta mengagungkan kitab sucinya. Muhammad

    Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer dari Indonesia, lebih cenderung

    berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah semuapenganut agama Yahudi dan Nasrani, kapanpun, di mana pun, dan

    keturunan siapa pun mereka. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman

    Allah SWT dalam surah al-An 'am (6) ayat 156:

    ):156(

  • 8/7/2019 086D4d01

    15/121

    11

    Artinya: (Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak)mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua

    golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidakmemperhatikan apa yang mereka baca. (Q.S. al-An'am: 156)

    Penulis kurang sependapat dengan klasifikasi Quraish Shihab,

    karena ia hanya membolehkan pada penganut agama Yahudi dan Nasrani.

    Hal ini mengandung arti ia membedakan antara penganut agama yang satu

    dengan lainnya. Padahal Shihab tidak memberi ukuran apa sehinggaagama Yahudi dan Nasrani dibolehkan. Di sini pula ia tidak memberi

    argumentasi yang detail kenapa untuk penganut agama lain tidak boleh.

    3. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, terhadap surat al-Baqarah ayat 221,

    menegaskan tentang perkawinan antar agama, khususnya perkawinan

    wanita muslimah dengan pria non muslim. Menurut Hamka bahwa dalam

    ajaran Islam, perempuan muslimah tidak boleh bersuamikan ahlul kitab

    karena perempuan tidak akan melebihi kekuasaan suaminya dalam rumah

    tangga. Apalagi dalam agama-agama lain yang tidak memberikan jaminan

    kebebasan yang luas dalam peraturan agamanya terhadap perempuan,

    sebagaimana dimiliki oleh Islam. Alhasil pada pokoknya bahwa orang

    Islam laki-laki jodohnya ialah orang Islam perempuan, meskipun

    perempuan itu masih budak, di zaman negeri-negeri masih mengakui

    adanya budak. Orang perempuan Islam jodohnya laki-laki Islam.

    Janganlah mencari jodoh karena hanya tertarik pada kecantikan, padahal

  • 8/7/2019 086D4d01

    16/121

    12

    orangnya musyrik. Jangan tertarik oleh kekayaan atau keturunan kalau

    laki-lakinya tidak beragama.16

    4. Yusuf Qardhawi, dalam Hadyul Islam Fatawi Muashirah berpendapat

    bahwa hukum asal mengawini wanita ahli kitab menurut jumhur ulama

    adalah mubah. Namun demikian di antara sahabat yang tidak berpendapat

    demikian adalah Umar bin al-Khattab.17 Umar bin al-Khattab (42 SH/581

    M-23 H/644 M) melarang perkawinan antara laki-laki muslim dan

    perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya, Allah SWT telah

    mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik dan ia

    tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari seseorang yang

    beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT yang lainnya

    adalah Tuhannya.18

    5. Syekh Hasan Khalid, al-Zawaj Bighair al-Muslimin. Menurut Syekh

    Hasan Khalid bahwa jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan laki-

    laki muslim dengan perempuan ahlul kitab.19 Argumen mereka yang

    menyatakan boleh adalah penjelasan yang terdapat dalam Al-Qur'an

    dalam surah al-Ma'idah ayat 5

    6. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Ulama ahli fiqih ini menguraikan, paraulama sepakat bahwa perempuan Muslim tidak halal kawin dengan laki-

    laki bukan Muslim, baik dia musyrik ataupun Ahli Kitab.

    16Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, juz 2, 1999, hlm. 25717Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Muashirah, Terj. Asad Yasin, Fatwa-

    Fatwa Kontemporer, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 58518

    bid19

    Syekh Hasan Khalid, al-Zawaj Bighair al-Muslimin, Terj. Zaenal AbidinSyamsudin, Menikah Dengan Non Muslim, Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2004, hlm. 145

  • 8/7/2019 086D4d01

    17/121

    13

    Alasannya ialah firman Allah:

    .)..:10(Artinya: Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu

    perempuan-perempuan Mukmin yang berhijrah hendaklahmereka kamu uji lebih dulu. Allah lebih mengetahui imanmereka. Jika kamu telah dapat membuktikan bahwa merekaitu benar-benar beriman, maka janganlah merekakembalikan kepada orang-orang kafir. Mereka ini(perempuan-perempuan Mukmin) tidak halal bagi laki-lakikafir. Dan laki-laki kafir pun tidak halal bagi mereka. " (Al-Mumtahanah: 10)

    Pertimbangan daripada ketentuan ini adalah bahwa di tangan suamilah

    kekuasaan terhadap istrinya, dan bagi istri wajib taat kepada perintahnya

    yang baik. Dalam pengertian seperti inilah maksud daripada kekuasaan

    suami terhadap istri. Akan tetapi bagi orang kafir tidak ada kekuasaan

    terhadap laki-laki atau perempuan Muslim.

    Allah berfirman:

    ... ):141(

    Artinya: Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orangkafir untuk menguasai orang-orang Mukmin. (An-Nisa':141)

    Selain itu seorang suami kafir tidak mau tahu akan agama istrinya yang

    Muslim bahkan ia mendustakan Kitab Sucinya dan mengingkari ajaran

    Nabinya. Di samping itu dalam rumah yang terdapat perbedaan paham

  • 8/7/2019 086D4d01

    18/121

    14

    begitu jauh dan keyakinan begitu prinsip, maka rumah tangganya tidak

    akan dapat tegak dengan baik dan berjalan langgeng. Akan tetapi hal ini

    berbeda jika laki-laki Muslim kawin dengan perempuan Ahli Kitab, sebab

    ia mau tahu agama istrinya, dan menganggap bahwa percaya kepada Kitab

    Suci dan Nabi-nabi agama istrinya sebagai bagian daripada rukun iman,

    dimana keimanan Islamnya ini tidak akan sempurna kalau tidak

    mempercayai Kitab dan para Nabi Ahli Kitab.20

    7. Abd al-Rahman al-Jaziri, dalam Kitab al-Fiqh ala Majahib al-Arbaah.

    Kitab ini berisi pendapat dari empat mazhab yaitu mazhab Maliki, Hanafi,

    Hambali dan Syafii. Pada dasarnya pengarang kitab ini hanya

    mengetengahkan pandangan berbagai mazhab dengan memberi komentar

    di sana sini. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa telah sepakat mazhab yang

    empat, bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan

    Yahudi/Nasrani. Tetapi Imam Syafi'i dan Hanbali mensyaratkan, ibu bapa

    perempuan itu harus orang Yahudi/Nasrani juga. Kalau bapak/nenek

    perempuan itu menyembah berhala dan bukan ahli kitab (Taurat/Injil),

    kemudian ia memeluk agama. Yahudi/Nasrani, maka tidak boleh

    mengawini Perempuan itu. Menurut Hanafi dan Maliki asal perempuan itu

    beragama Yahudi/Nasrani, boleh mengawininya, meskipun ibu bapaknya.

    Menyembah .berhala.21

    8. Ahmad Asy-Syarbashi, Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah. Menurutnya

    20Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, juz 2, tth, hlm. 182.21

    Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah, juz 4, Beirut:Dar al-Fikr, 1972, hlm. 147

  • 8/7/2019 086D4d01

    19/121

    15

    umat Islam dengan segenap fukaha dan ulamanya sepakat bahwa tidak

    boleh seorang Muslimah menikah dengan seorang laki-laki non-Muslim.

    Baik laki-laki non-Muslim tersebut termasuk kelompok Ahlulkitab,

    seperti Yahudi dan Nasrani, kelompok musyrikin, maupun kelompok

    ateis. Allah SWT telah berfirman, "Dan janganlah kamu menikahkan

    orang-orang musyrik (dengan wanita- wanita mukmin) sehingga mereka

    beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin itu lebih baik dan orang

    musyrik, walaupun dia menarik hatimu." (QS. al-Baqarah: 221).22

    9. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam. Dalam buku ini

    Mahmud Yunus menjelaskan bahwa laki-laki muslim dibolehkan menikah

    dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Tetapi perempuan muslimah

    tidak boleh menikah dengan laki-laki Yahudi atau Nasrani.23

    10.Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan Di Indonesia. Pengarang buku

    ini menyatakan sekiranya tiap-tiap agama dalam peraturannya melarang

    seorang pemeluk agama itu kawin dengan orang yang memeluk agama

    lain, maka biasanya salah seorang dari mereka mengalah dan beralih

    kepada agama dari pihak lain. Bila ini terjadi, tentunya tidak ada kesulitan

    dalam hal perkawinan. Akan tetapi manakala kedua belah pihak masing-masing mempertahankan agamanya maka akan muncul masalah.24

    22Ahmad Asy-Syarbashi, Yas'alunakafi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi,"Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan Kehidupan", Jakarta: Lentera, 1997, hlm. 238-241

    23Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT HidayakaryaAgung, 1990, hlm. 50.

    24

    Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung: PT SumurBandung, 1981, hlm. 46.

  • 8/7/2019 086D4d01

    20/121

    16

    Spesifikasi skripsi ini dibandingkan dengan kepustakaan di atas,

    yaitu membahas pendapat seorang tokoh Islam yaitu Imam Syafii tentang

    perkawinan laki-laki muslim dengan ahlul kitab.

    D. Metode Penelitian

    Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-

    langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan

    masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya

    dicarikan cara pemecahannya.25 Dalam versi lain dirumuskan, metode

    penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data, sedangkan

    instrumen adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan data itu,26

    maka metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:27

    Jenis Data

    Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu jenis

    penelitian yang tidak menggunakan angka-angka statistik, melainkan

    dalam bentuk kata-kata. Di samping itu penelitian ini hanya menggunakan

    penelitian kepustakaan ( Library research). Yang dimaksud dengan

    penelitian kepustakaan adalah penelitian yang menggunakan data-data

    dari buku sebagai sumber kajian.

    25Wardi Bacthiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997, hlm. 1.

    26Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12,Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 194.

    27Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian atau metodologi research adalah ilmuyang memperbincangkan tentang metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran

    pengetahuan. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press, 1991, hlm. 24.

  • 8/7/2019 086D4d01

    21/121

    17

    Pendekatan

    Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif

    analisis yakni menggambarkan dan menganalisis pemikiran Al-Syafi'i

    tentangperkawinan antar agama, khususnya dalam perkawinan antara pria

    muslim dengan wanita ahli kitab.

    Sumber Data

    Data Primer, dari karya-karya Al-Syafii yang berhubungan dengan judul

    di atas di antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Al-

    Syafii secara sistematis sesuai dengan bab-bab fikih dan menjadi

    rujukan utama dalam Mazhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Al-

    Syafii dalam berbagai masalah fikih. Dalam kitab ini juga dimuat

    pendapat Al-Syafii yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim

    (pendapat lama) dan al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini

    dicetak berulang kali dalam delapan jilid bersamaan dengan kitab usul

    fikih Al-Syafii yang berjudulAr-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini

    dicetak oleh Dar asy-Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun

    1388H/1968M. (2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqh

    yang pertama kali dikarang dan karenanya Al-Syafii dikenal sebagaipeletak ilmu ushul fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok

    pikiran beliau dalam menetapkan hukum.28 (3) Kitab Imla al-Shagir;

    Amali al-Kubra; Mukhtasar al-Buwaithi;29 Mukhtasar al-Rabi;

    Mukhtasar al-Muzani; kitab Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan

    28Djazuli,Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-13229

    Ahmad Asy Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "BiografiEmpat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144.

  • 8/7/2019 086D4d01

    22/121

    18

    sastra.30 Siradjuddin Abbas dalam bukunya telah mengumpulkan 97

    (sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam fiqih Syafii. Namun dalam

    bukunya itu tidak diulas masing dari karya Syafii tersebut.31 Ahmad

    Nahrawi Abd al-Salam menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam al-

    Syafi'i adalahMusnad li al-syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsuth, al-Risalah,

    dan al-Umm.32

    Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas.

    Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data menggunakan teknik library research

    (penelitian kepustakaan). Pemilihan kepustakaan dilakukan secermat

    mungkin dengan mempertimbangkan otoritas pengarangnya terhadap

    bidang yang dikaji.

    Teknik Analisis Data

    Dalam menganalisis data,33 peneliti menggunakan analisis data

    kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara

    langsung.34 Dalam hal ini hendak diuraikan pemikiran Al-Syafi'i tentang

    30Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para ImamMadzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110

    31Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafii, Jakarta: PustakaTarbiyah, 2004, hlm. 182-186.

    32Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan QaulJadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 44

    33Menurut Moh. Nazir, Analisa adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan,memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Moh. Nazir. MetodePenelitian, Cet. 4, Jakarta: Ghalia Indonesia,1999, hlm, 419.

    34

    Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Rajagrafindo persada, 1995, hlm. 134. Bandingkan dengan Lexy J. Moleong, Metode Penelitian

  • 8/7/2019 086D4d01

    23/121

    19

    makna ahli kitab dalam perkawinan antar agama

    E. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-

    masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan

    yang saling mendukung dan melengkapi.

    Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara

    global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah,

    perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan

    sistematika Penulisan. Dalam bab pertama ini di ketengahkan keseluruhan isi

    isi skripsi secara global namun dalam satu kesatuan yang utuh dan jelas.

    Bab kedua berisi tinjauan umum tentang perkawinan yang meliputi

    pengertian nikah dan dasar hukumnya, syarat dan rukun nikah, akibat hukum

    pernikahan, pendapat para ulama tentang perkawinan antar agama

    Bab ketiga berisi pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama

    yang meliputi biografi Al-Syafi'i, pendidikan dan karya-karyanya, pendapat

    Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama, metode istinbath hukum Al-Syafi'i

    Bab keempat berisi analisis pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan

    antar agama yang meliputi: pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar

    agama, metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama.

    Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan

    penutup.

    Kulitatif, Cet. 14, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001, hlm. 2. Koencaraningrat, Metode-

    Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970, hlm.269.

  • 8/7/2019 086D4d01

    24/121

    20

    BAB II

    TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

    A. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya

    Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang

    memberikan banyak hasil yang penting.35 Perkawinan amat penting dalam

    kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan

    perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara

    terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.

    Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan

    rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil

    perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan

    kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.36

    Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila Islam mengatur masalah

    perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia

    hidup berkehormatan, sesuai kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah

    makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan

    ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al

    Khaliq (Tuhan Maha Pencipta) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna

    melangsungkan kehidupan jenisnya. Perkawinan dilaksanakan atas dasar

    kerelaan pihak-pihak bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanyaketentuan peminangan sebelum kawin dan ijab-kabul dalam akad nikah yang

    dipersaksikan pula di hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan (walimah).

    Hak dan kewajiban suami istri timbal-balik diatur amat rapi dan tertib;

    demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Apabila

    35Ibrahim Amini, Principles of Marriage Family Ethics, terj. Alwiyah Abdurrahman,"Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999, hlm. 17.

    36

    Ahmad Azhar Basyir,Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004,hlm. 1.

  • 8/7/2019 086D4d01

    25/121

    21

    terjadi perselisihan antara suami dan istri, diatur pula bagaimana cara

    mengatasinya. Dituntunkan pula adat sopan santun pergaulan dalam keluarga

    dengan sebaik-baiknya agar keserasian hidup tetap terpelihara dan terjamin.

    Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam

    sebab hukum perkawinan mengatur tata-cara kehidupan keluarga yang

    merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia

    sebagai makhluk yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya.

    Hukum perkawinan merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib

    ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-quran dan Sunah Rasul. 37

    Kata kawin menurut bahasa sama dengan kata nikah, atau kata,zawaj.

    Dalam Kamus al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikh ( ( dan

    az-ziwaj/az-zawj atau az-zijah )-- ). Secara harfiah, an-

    nikh berarti al- wath'u ,() adh-dhammu ( ) dan al-jam'u ( ).

    Al-wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an --( ),

    artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki,

    menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.38Adh-dhammu, yang terambil

    dari akar kata dhamma - yadhummu dhamman ( -- ) secara

    harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,

    menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan.

    Juga berarti bersikap lunak dan ramah.39

    Sedangkan al-jam 'u yang berasal dari akar kata jamaa - yajma'u -

    jam'an --( ) berarti: mengumpulkan, menghimpun,

    menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya

    mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqih disebut dengan al-

    37Ibid., hlm. 1-2.

    38Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1461.

    39

    Muhammad Amin Suma,Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2004, hlm.42-43

  • 8/7/2019 086D4d01

    26/121

    22

    jima' mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua

    aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam'u.40

    Sebutan lain buat perkawinan (pernikahan) ialah az-zawaj/az-ziwaj dan

    az-zijah. Terambil dari akar katazaja-yazuju-zaujan )-- ) yang

    secara harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih perselisihan dan

    mengadu domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj/az-ziwaj di sini

    ialah at-tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwaja- yuzawwiju-

    tazwijan )--( dalam bentuk timbangan "fa'ala-yufa'ilu-

    taf'ilan" )--( yang secara harfiah berarti mengawinkan,

    mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.41

    Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary dalam kitabnya

    mengupas tentang pernikahan dan tentang wali. Pengarang kitab tersebut

    menyatakan nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan melakukan

    persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan atau mengawinkan.

    Kata nikah itu sendiri secara hakiki bermakna persetubuhan.42

    Kitab Fath al-Qarib yang disusun oleh Syekh Muhammad bin Qasim

    al-Ghazzi menerangkan pula tentang masalah hukum-hukum pernikahan di

    antaranya dijelaskan kata nikah diucapkan menurut makna bahasanya yaitukumpul, wati, jimak dan akad. Dan diucapkan menurut pengertian syara yaitu

    suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.43

    40Ibid, hlm. 43.

    41Ibid, hlm. 43-44.

    42Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Muin Bi Sarkh Qurrah al-Uyun, Semarang: Maktabah wa Matbaah, karya Toha Putera , tth, hlm. 72.

    43

    Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Maktabah al-lhya at-Kutub al-Arabiah, tth, hlm. 48.

  • 8/7/2019 086D4d01

    27/121

    23

    Menurut Zakiah Daradjat, perkawinan adalah suatu aqad atau perikatan untuk

    menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam

    rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa

    ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.44

    Menurut Zahry Hamid, yang dinamakan nikah menurut Syara' ialah: "Akad

    (ijab qabul) antara wali colon isteri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-

    ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya.45

    Dari segi pengertian ini maka jika dikatakan: "Si A belum pernah nikah atau

    belum pernah kawin", artinya bahwa si A belum pernah mengkabulkan untukdirinya terhadap ijab akad nikah yang memenuhi rukun dan syaratnya. Jika

    dikatakan: "Anak itu lahir diluar kawin", artinya bahwa anak tersebut

    dilahirkan oleh seorang wanita yang tidak berada dalam atau terikat oleh

    ikatan perkawinan berdasarkan akad nikah yang sah menurut hukum.

    Menurut Hukum Islam, pernikahan atau perkawinan ialah: "Suatu ikatan lahir

    batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama

    dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakanmenurut ketentuan-ketentuan Hukum Syari'at Islam".46

    Dalam pasal 1 Bab I Undang-undang No. : 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari

    1974 dinyatakan; "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

    dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

    keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

    Yang Maha Esa".47

    44Zakiah Daradjat,Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm.38.

    45Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-UndangPerkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 1. beberapa definisi perkawinandapat dilihat pula dalam Moh. Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dariUndang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara,2002, hlm. 1-4.

    46Ibid.

    47Muhammad Amin Suma, op. cit, hlm. 203. Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam(INPRES No 1 Tahun 1991), perkawinan miitsaaqan ghalizhan menurut hukum Islam adalahpernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan

    melaksanakannya merupakan ibadah. Lihat Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah PenyusunanKompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola, 1977, hlm. 76.

  • 8/7/2019 086D4d01

    28/121

    24

    Di antara pengertian-pengertian tersebut tidak terdapat pertentangan satu sama

    lain, bahkan jiwanya adalah sama dan seirama, karena pada hakikatnya

    Syari'at Islam itu bersumber kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Hukum

    Perkawinan merupakan bahagian dari Hukum Islam yang, memuat ketentuan-

    ketentuan tentang hal ihwal perkawinan, yakni bagaimana proses dan prosedur

    menuju terbentuknya ikatan perkawinan, bagaimana cara menyelenggarakan

    akad perkawinan menurut hukum, bagaimana cara memelihara ikatan lahir

    batin yang telah diikrarkan dalam akad perkawinan sebagai akibat yuridis dari

    adanya akad itu, bagaimana cara mengatasi krisis rumah tangga yang

    mengancam ikatan lahir batin antara suami isteri, bagaimana proses dan

    prosedur berakhirnya ikatan perkawinan, serta akibat yuridis dari berakhirnya

    perkawinan, baik yang menyangkut hubungan hukum antara bekas suami dan

    isteri, anak-anak mereka dan harta mereka. Istilah yang lazim dikenal di

    kalangan para ahli hukum Islam atau Fuqaha ialah Fiqih Munakahat atau

    Hukum Pernikahan Islam atau Hukum Perkawinan Islam.

    Masing-masing orang yang akan melaksanakan perkawinan, hendaklah

    memperhatikan inti sari dari sabda Rasulullah SAW. yang menggariskan,

    bahwa semua amal perbuatan itu disandarkan atas niat dari yang beramal itu,

    dan bahwa setiap orang akan memperoleh hasil dari apa yang diniatkannya.

    Oleh karenanya maka orang yang akan melangsungkan akad perkawinan

    hendaklah mengetahui benar-benar maksud dan tujuan perkawinan. Maksud

    dan tujuan itu adalah sebagai berikut:

    a. Mentaati perintah Allah SWT. dan mengikuti jejak para Nabi dan Rasul,

    terutama meneladani Sunnah Rasulullah Muhammad SAW., karena hidup

    beristri, berumah tangga dan berkeluarga adalah termasuk 'Sunnah beliau. ,

    b. Memelihara pandangan mata, menenteramkan jiwa, memelihara nafsu

    seksualita, menenangkan fikiran, membina kasih sayang serta menjaga

    kehormatan dan memelihara kepribadian.

  • 8/7/2019 086D4d01

    29/121

    25

    c. Melaksanakan pembangunan materiil dan spirituil dalam kehidupan

    keluarga dan rumah tangga sebagai sarana terwujudnya keluarga sejahtera

    dalam rangka pembangunan masyarakat dan bangsa.

    d. Memelihara dan membina kwalitas dan kwantitas keturunan untuk

    mewujudkan kelestarian kehidupan keluarga di sepanjang masa dalam

    rangka pembinaan mental spirituil dan phisik materiil yang diridlai Allah

    Tuhan Yang Maha Esa.

    Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan antara keluarga suami dan

    keluarga istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman

    dan sejahtera lahir batin di bawah naungan Rahmat Allah Subhanahu wa

    Ta'ala.48

    Adapun dasar hukum melaksanakan akad perkawinan sebagai berikut:

    Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan

    dianjurkan oleh Syara'. Beberapa firman Allah yang bertalian dengan

    disyari'atkannya perkawinan ialah:

    1) Firman Allah ayat 3 Surah 4 (An-Nisa'):

    ...):3(

    49

    Artinya:Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-

    hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tigaatau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil,maka (kawinlah) seorang saja (Q.S.An-Nisa': 3).

    48Zahry Hamid, op. cit, hlm. 2.49

    Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran,Al-Quran danTerjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986, hlm. 115.

  • 8/7/2019 086D4d01

    30/121

    26

    2) Firman Allah ayat 32 Surah 24 (An-Nur): .

    ):32(

    50

    Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, danorang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamuyang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukanmereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nyalagi Maha Mengetahui (Q.S.An-Nuur': 32)..

    .

    3) Firman Allah ayat 21 Surah 30 (Ar-Rum):

    ):21(

    51

    Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakanuntukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderungdan merasa tenteram kepadanya, dari dijadikan di antaramu rasakasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q.S.Ar-Rum: 21)

    Beberapa hadis yang bertalian dengan disyari'atkannya perkawinan ialah:

    : - :"

    . ".

    50

    Ibid, hlm. 549.51Ibid, hlm. 644.

  • 8/7/2019 086D4d01

    31/121

    27

    52

    Artinya: Dari Ibnu Mas'ud ra. dia berkata: "Rasulullah saw. bersabda:"Wahai golongan kaum muda, barangsiapa diantara kamutelah mampu akan beban nikah, maka hendaklah diamenikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapatmemejamkan pandangan mata dan lebih dapat menjagakemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah),maka hendaklah dia (rajin) berpuasa, karena sesungguhnyapuasa itu menjadi penahan nafsu baginya". (HR. Al-Jama'ah).

    : " ) " (

    53

    Artinya: Dari Saad bin Abu Waqqash, dia berkata: Rasulullah saw.pernah melarang Utsman bin mazh'un membujang. Dankalau sekiranya Rasulullah saw. mengizinkan, niscaya kamiakan mengebiri". (HR. Al Bukhari dan Muslim).

    :: , : , :" ,

    , ,

    .54 ". Artinya: Dari Anas: "Sesungguhnya beberapa orang dari sahabat Nabi

    saw. sebagian dari mereka ada yang mengatakan: "Aku tidakakan menikah". Sebagian dari mereka lagi mengatakan:"Aku akan selalu bersembahyang dan tidak tidur". Dan

    52Muhammad Asy Syaukani,Nail alAutar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, juz 4,1973, hlm. 171.

    53

    Ibid, hlm. 17154Ibid, hlm. 171

  • 8/7/2019 086D4d01

    32/121

    28

    sebagian dari mereka juga ada yang mengatakan: "Aku akanselalu berpuasa dan tidak akan berbuka". Ketika hal itu

    didengar oleh Nabi saw. beliau bersabda: "Apa maunyaorang-orang itu, mereka bilang begini dan begitu?. Padahaldisamping berpuasa aku juga berbuka. Disampingsembahyang aku juga tidur. Dan aku juga menikah denganwanita. Barangsiapa yang tidak suka akan sunnahku, makadia bukan termasuk dari (golongan) ku".(HR. Al Bukharidan Muslim)

    : : : .( :,(

    55

    Artinya: Dari Sa'id bin Jubair, dia berkata: "Ibnu Abbas pernahbertanya kepadaku: "Apakah kamu telah menikah?". Akumenjawab: "Belum". Ibnu Abbas berkata: "Menikahlah,karena sesungguhnya sebaik-baiknya ummat ini adalah yang

    paling banyak kaum wanitanya". (HR. Ahmad dan Al-Bukhari).

    " : : ( ,"

    ) (:38) .( .(56

    Artinya: dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah: "SesungguhnyaNabi saw. melarang membujang. Selanjutnya Qatadahmembaca (ayat): "Dan sesungguhnya kami telah mengutusbeberapa orang Rasul sebelum kamu dan kami berikan

    55Ibid

    56Ibid. Lihat juga TM.Hasbi ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Semarang:

    PT.Pustaka Rizki Putra, jilid 8, 2001, hlm. 3-8. TM.Hasbi Ash Shiddieqy,Mutiara Hadis, jilid5, Semarang; PT.Pustaka Rizki Putra, 2003, hlm. 3-8

  • 8/7/2019 086D4d01

    33/121

    29

    kepada mereka beberapa istri dan anak cucu". (HR. Tirmidzidan Ibnu Majah).

    Menurut At Tirmidzi, hadis Samurah tersebut adalah hadis Hasan yang

    gharib (aneh). Al Asy'ats bin Abdul Mulk meriwayatkan hadis ini dari Hasan

    dari Sa'ad bin Hisyam dari Aisyah dan ia dari Nabi saw. Dikatakan bahwa

    kedua hadis tersebut adalah shaheh.

    Hadis senada diketengahkan oleh Ad Darimi dalam Musnad Al Firdaus dari

    Ibnu Umar, dia mengatakan: "Rasulullah saw. bersabda: "Berhajilah nanti

    kamu akan kaya. Bepergianlah nanti kamu akan sehat. Dan menikahlah nanti

    kamu akan banyak. Sesungguhnya aku akan dapat membanggakan kamu

    dihadapan umat-umat lain". Dalam isnad hadis tersebut terdapat nama

    Muhammad bin Al Hants dari Muhammad bin Abdurrahman Al Bailamni,

    keduanya adalah perawi yang sama-sama lemah.

    Hadis senada juga diketengahkan oleh Al Baihaqi dari Abu Umamah

    dengan redaksi: "Menikahlah kamu, karena sesungguhnya aku akan

    membanggakan kalian dihadapan ummat-ummat lain. Dan janganlah kalian

    seperti para pendeta kaum Nasrani". Namun dalam sanadnya terdapat nama-

    nama Muhammad bin Tsabit, seorang perawi yang lemah.

    Hadis senada lagi diriwayatkan oleh Daraquthni dalam Al Mu'talaf

    dari Harmalah bin Nu'man dengan redaksi: "Wanita yang produktif anak itu

    lebih disukai oleh Allah ketimbang wanita cantik namun tidak beranak.

    Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di hadapan ummat-ummat lain

  • 8/7/2019 086D4d01

    34/121

    30

    pada hari kiamat kelak". Namun menurut Al Hafizh Ibnu Hajar, sanad hadis

    ini lemah.

    Para Fukaha berbeda pendapat tentang status hukum asal dari

    perkawinan. Menurut pendapat yang terbanyak dari fuqaha madzhab Syafi'i,

    hukum nikah adalah mubah (boleh), menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan

    Hambali hukum nikah adalah sunnat, sedangkan menurut madzhab Dhahiry

    dan Ibn. Hazm hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali seumur hidup.57

    Adapun Hukum melaksanakan pernikahan jika dihubungkan dengan kondisi

    seseorang serta niat dan akibat-akibatnya, maka tidak terdapat perselisihan di

    antara para ulama, bahwa hukumnya ada beberapa macam, yaitu:58

    Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan

    kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan

    memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran,

    apabila tidak kawin, ia akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.

    Alasan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut. Menjaga diri dari

    perbuatan zina adalah wajib. Apabila bagi seseorang tertentu penjagaan diri

    itu hanya akan terjamin dengan jalan kawin, bagi orang itu, melakukan

    perkawinan hukumnya adalah wajib. Qa'idah fiqhiyah mengatakan, "Sesuatu

    yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya

    adalah wajib"; atau dengan kata lain, "Apabila suatu kewajiban tidak akan

    terpenuhi tanpa adanya suatu hal, hal itu wajib pula hukumnya." Penerapan

    57

    Zahry Hamid, op, cit., hlm. 3-4.58Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 14-16

  • 8/7/2019 086D4d01

    35/121

    31

    kaidah tersebut dalam masalah perkawinan adalah apabila seseorang hanya

    dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan perkawinan, baginya

    perkawinan itu wajib hukumnya.

    Perkawinan hukumnya sunah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk

    kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul

    kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak

    ada kekhawatiran akan berbuat zina.

    Alasan hukum sunah ini diperoleh dari ayat-ayat Al-quran dan hadis-

    hadis Nabi sebagaimana telah disebutkan dalam hal Islam menganjurkan

    perkawinan di atas. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa beralasan ayat-

    ayat Al-quran dan hadis-hadis Nabi itu, hukum dasar perkawinan adalah

    sunah. Ulama mazhab Syafii berpendapat bahwa hukum asal perkawinan

    adalah mubah. Ulama-ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan

    wajib dilakukan bagi orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya

    kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak kawin.59

    Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan

    serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul

    kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila kawin juga akan

    berakibat menyusahkan istrinya. Hadis Nabi mengajarkan agar orang jangan

    sampai berbuat yang berakibat menyusahkan diri sendiri dan orang lain.

    Al-Qurthubi dalam kitabnya Jami li Ahkam al-Quran (Tafsir al-

    Qurthubi) berpendapat bahwa apabila calon suami menyadari tidak akan

    59Ibid, hlm. 14.

  • 8/7/2019 086D4d01

    36/121

    32

    mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (maskawin) untuk

    istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal mengawini

    seseorang kecuali apabila ia menjelaskan peri keadaannya itu kepada calon

    istri; atau ia bersabar sampai merasa akan dapat memenuhi hak-hak istrinya,

    barulah ia boleh melakukan perkawinan. Lebih lanjut Al-Qurthubi dalam

    kitabnya Jami li Ahkam al-Quran mengatakan juga bahwa orang yang

    mengetahui pada dirinya terdapat penyakit yang dapat menghalangi

    kemungkinan melakukan hubungan dengan calon istri hams memberi

    keterangan kepada calon istri agar pihak istri tidak akan merasa tertipu. Apa

    yang dikatakan Al-Qurthubi itu amat penting artinya bagi sukses atau

    gagalnya hidup perkawinan. Dalam bentuk apa pun, penipuan itu harus

    dihindari. Bukan saja cacat atau penyakit yang dialami calon suami, tetapi

    juga nasab keturunan. kekayaan. kedudukan, dan pekerjaan jangan sampai

    tidak dijelaskan agar tidak berakibat pihak istri merasa tertipu.60

    Hal yang disebutkan mengenai calon suami itu berlaku juga bagi calon

    isteri. Calon istri yang tahu bahwa ia tidak akan dapat memenuhi

    kewajibannya terhadap suami, karena adanya kelainan atau penyakit, harus

    memberikan keterangan kepada calon suami agar jangan sampai terjadi pihak

    suami merasa tertipu. Bila ia mencoba menutupi cacad yang ada pada dirinya,

    maka suatu hari masalah ini akan berkembang dengan pertengkaran dan

    penyesalan.

    60

    Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran (Tafsir al-Qurthubi), Beirut: Dar al-Marifah, Juz 1, t.th, hlm. 265

  • 8/7/2019 086D4d01

    37/121

    33

    Bahkan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada diri calon istri, yang

    apabila diketahui oleh pihak colon suami, mungkin akan mempengaruhi

    maksudnya untuk mengawini, misalnya giginya palsu sepenuhnya, rambutnya

    habis yang tidak mungkin akan tumbuh lagi hingga terpaksa memakai rambut

    palsu atau wig dan sebagainya, harus dijelaskan kepada colon suami untuk

    menghindari jangan sampai akhirnya pihak suami merasa tertipu.

    Perkawinan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dalam segimateriil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak

    khawatir akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran

    tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istrinya, meskipun

    tidak akan berakibat menyusahkan pihak istri; misalnya, calon istri tergolong

    orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk kawin.

    Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan

    akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat

    bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh daripada yang telah

    disebutkan di atas.61

    Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta,

    tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan

    andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan

    kewajibannya terhadap istri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk memenuhi

    61Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 16

  • 8/7/2019 086D4d01

    38/121

    34

    syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga

    keselamatan hidup beragama.62

    B. Syarat dan Rukun Nikah

    Menurut UU No 1/1974 Tentang Perkawinan Bab: 1 pasal 2 ayat 1

    dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

    masing-masing agamanya dan kepercayaannya.63

    Bagi ummat Islam, perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut Hukum

    Perkawinan Islam, Suatu Akad Perkawinan dipandang sah apabila telah

    memenuhi segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu diakui oleh

    Hukum Syara'.

    Rukun Akad Perkawinan ada lima, yaitu:

    1. Calon suami, syarat-syaratnya:

    a. Beragama Islam.

    b. Jelas ia laki-laki.

    c. Tertentu orangnya.

    d. Tidak sedang berihram haji/umrah.

    e. Tidak mempunyai isteri empat, termasuk isteri yang masih dalam

    menjalani iddah thalak raj'iy. ,

    62Ibid, hlm. 16.

    63

    Arso Sosroatmodjo dan A.Wasit Aulawi,Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta;Bulan Bintang, 1975, hlm. 80

  • 8/7/2019 086D4d01

    39/121

    35

    f. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan mempelai

    perempuan, termasuk isteri yang masih dalam menjalani iddah thalak

    raj'iy.

    g. Tidak dipaksa.

    h. Bukan Mahram calon isteri.

    2. Calon Isteri, syarat-syaratnya:

    a. Beragama Islam, atau Ahli Kitab.

    b. Jelas ia perempuan.

    c. Tertentu orangnya.

    d. Tidak sedang berihram haji/umrah.

    e. Belum pernah disumpah li'an oleh calon suami.

    f. Tidak bersuami, atau tidak sedang menjalani iddah .dari lelaki lain.

    g. Telah memberi idzin atau menunjukkan kerelaan kepada wali untuk

    menikahkannya.

    h. Bukan Mahram calon suami.

    3. Wali. Syarat-syaratnya:

    a. Beragama Islam jika calon isteri beragama Islam.

    b. Jelas ia laki-laki.c. Sudah baligh (telah dewasa).

    d. Berakal (tidak gila).

    e. Tidak sedang berihram Haji/Umrah.

    f. Tidak mahjur bissafah (dicabut hak kewajibannya).

    g. Tidak dipaksa.

  • 8/7/2019 086D4d01

    40/121

    36

    h. Tidak rusak fikirannya sebab terlalu tua atau sebab lainnya.

    i. Tidak fasiq.64

    4. Dua orang saksi laki-laki. Syarat-syaratnya:

    a. Beragama Islam.

    b. Jelas ia laki-laki.

    c. Sudah baligh (telah dewasa).

    d. Berakal (tidak gila),:

    e. Dapat menjaga harga diri (bermuruah)

    f. Tidak fasiq.

    g. Tidak pelupa.

    h. Melihat (tidak buta atau tuna netra).

    i. Mendengar (tidak tuli atau tuna rungu).

    j. Dapat berbicara (tidak bisu atau tuna wicara).

    k. Tidak ditentukan menjadi wali nikah.

    l. Memahami arti kalimat dalam ijab qabul.

    5. Ijab dan Qabul.

    Ijab akad perkawinan ialah: "Serangkaian kata yang diucapkan oleh wali nikah

    atau wakilnya dalam akad nikah, untuk menerimakan nikah calon suami atauwakilnya".

    Syarat-syarat ijab akad nikah ialah:

    64Zahry Hamid, op. cit, hlm. 24-28. Tentang syarat dan rukun perkawinan dapat

    dilihat juga dalam Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja GrafindoPersada, 1977, hlm. 71.

  • 8/7/2019 086D4d01

    41/121

    37

    a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari "nikah" atau

    "tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya nikahkan Fulanah, atau saya

    kawinkan Fulanah, atau saya perjodohkan - Fulanah"

    b. Diucapkan oleh wali atau wakilnya.

    c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya satu bulan, satu tahun dan

    sebagainya.

    d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang tidak

    diucapkan.65

    e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya: "Kalau anakku.

    Fatimah telah lulus sarjana muda maka saya menikahkan Fatimah dengan

    engkau Ali dengan maskawin seribu rupiah".

    f. Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang

    berakad maupun saksi-saksinya. Ijab tidak boleh dengan bisik-bisik

    sehingga tidak terdengar oleh orang lain. Qabul akad perkawinan ialah:

    "Serangkaian kata yang diucapkan oleh calon suami atau wakilnya dalam

    akad nikah, untuk menerima nikah yang disampaikan oleh wali nikah atau

    wakilnya.

    Syarat-syarat Qabul akad nikah ialah:a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari kata "nikah" atau

    "tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya terima nikahnya Fulanah".

    b. Diucapkan oleh calon suami atau wakilnya.

    65

    Zahry Hamid, op. cit, hlm. 24-25. lihat pula Achmad Kuzari,Nikah SebagaiPerikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.34-40.

  • 8/7/2019 086D4d01

    42/121

    38

    c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya "Saya terima nikah si

    Fulanah untuk masa satu bulan" dan sebagainya.

    d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang tidak

    diucapkan.

    e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya "Kalau saya telah

    diangkat menjadi pegawai negeri maka saya terima nikahnya si Fulanah".

    f. Beruntun dengan ijab, artinya Qabul diucapkan segera setelah ijab

    diucapkan, tidak boleh mendahuluinya, atau berjarak waktu, atau diselingi

    perbuatan lain sehingga dipandang terpisah dari ijab.

    g. Diucapkan dalam satu majelis dengan ijab.

    h. Sesuai dengan ijab, artinya tidak bertentangan dengan ijab.

    i. Qabul harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang

    berakad maupun saksi-saksinya. Qabul tidak boleh dengan bisik-bisik

    sehingga tidak didengar oleh orang lain.

    Contoh ijab qabul akad perkawinan

    1).Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki meng-qabulkan.

    a. Ijab: Ya Ali, ankahtuka Fatimata binti bimahri alfi rubiyatin halan".

    Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku nikahkan (kawinkan) Fatimah

    anak perempuanku dengan engkau dengan maskawin seribu rupiah

    secara tunai".

    b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bil mahril madzkurihalan". Dalam bahasa

    Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak perempuan saudara

    dengan saya dengan maskawin tersebut secara tunai".

    2). Wali mewakilkan ijabnya dan mempelai laki-laki meng-qabulkan.

  • 8/7/2019 086D4d01

    43/121

    39

    a. Ijab: "Ya Ali, ankahtuka Fathimata binta Muhammadin muwakili

    bimahri alfi rubiyatinhalan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku

    nikahkan (kawinkan) Fatimah anak perempuan Muhammad yang telah

    mewakilkan kepada saya dengan engkau dengan maskawin seribu

    rupiah secara tunai".

    b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bimahri alfi rubiyatinhalan". Dalam bahasa

    Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak perempuan

    Muhammad dengan saya dengan maskawin seribu rupiah secara

    tunai".

    3). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki mewakilkan kabulnya.

    a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binti Aliyyin muwakkilaka

    bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Umar,

    Aku nikahkan (kawinkan) Fathimah anak perempuan saya dengan Ali

    yang telah mewakilkan kepadamu dengan maskawin seribu rupiah

    secara tunai".

    b. Qabul: "Qabiltu nikahaha li Aliyyin muwakkili bimahri alfi rubiyatin

    halan", Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah

    dengan Ali yang telah mewakilkan kepada saya dengan maskawin

    seribu rupiah secara tunai"

    4). Wali mewakilkan Ijabnya dan mempelai laki-laki mewakilkan Qabulnya.

    a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binta Muhammadin muwakkilii,

    Aliyyan muwakkilaka bimahri alfi Rubiyyatin halan". Dalam bahasa

    Indonesia: "Hai Umar, Aku nikahkan (kawinkan) Fathimah anak

    perempuan Muhammad yang telah mewakilkan kepada saya, dengan

  • 8/7/2019 086D4d01

    44/121

    40

    Ali yang telah mewakilkan kepada engkau dengan maskawin seribu

    rupiah secara tunai".

    b. Qabul: "Qabiltu Nikahaha lahu bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam

    bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya (Fathimah anak perempuan

    Muhammad) dengan Ali yang telah mewakilkan kepada saya dengan

    maskawin seribu rupiah secara tunai".

    C. Pendapat Para Ulama tentang Perkawinan Antar Agama

    Berbicara perkawinan antar agama, ada yang menyebut sama dengan

    perkawinan campuran, dan ada pula yang berpendapat bahwa perkawinan

    antar agama tidak masuk dalam perkawinan campuran melainkan istilah

    tersebut berdiri sendiri. Istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan

    anggota masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan

    adat/suku bangsa yang bhineka, atau karena perbedaan agama antara kedua

    insan yang akan melakukan perkawinan. Perbedaan adat misalnya perkawinan

    antara pria/wanita Jawa dengan pria/wanita Batak, pria/wanita Minangkabau

    dengan pria/wanita Sunda, pria/wanita Sunda dengan pria/wanita Bali, dan

    sebagainya. Sedangkan perkawinan campuran antara agama, misalnya antara

    pria/wanita beragama Kristen dengan pria/wanita beragama Islam, pria/wanita

    beragama Hindu/Buddha dengan pria/wanita Islam dan seterusnya.66

    Dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan,

    yang dimaksud perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah

    66

    Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 13-14

  • 8/7/2019 086D4d01

    45/121

    41

    perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

    berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

    berkewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian berdasarkan undang-

    undang ini, maka perkawinan antar agama tidak termasuk perkawinan

    campuran melainkan memiliki pengertian yang berdiri sendiri.

    Adapun perkawinan antar agama dirumuskan oleh abdurrahman yang

    dikutip Eoh yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang

    memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.67

    Dari rumusan pengertian perkawinan antar agama tersebut, dapat disimpulkan

    bahwa yang dimaksud perkawinan antar agama adalah perkawinan antara dua

    orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama

    yang dianutnya. Namun demikian, oleh karena UU Nomor 1/1974 Tentang

    Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan antar agama, maka kenyataan

    yang sering terjadi dalam masyarakat apabila ada dua orang yang berbeda

    agama akan mengadakan perkawinan sering mengalami hambatan. Hal ini

    disebabkan antara lain karena para pejabat pelaksana perkawinan dan

    pemimpin agama/ulama menganggap bahwa perkawinan yang demikian

    dilarang oleh agama dan karenanya bertentangan dengan UU Perkawinan.Perkawinan antar agama ini menyangkut perkawinan antara orang

    Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita). Mengenai

    masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:

    1. Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita musyrik;

    67

    O.S.Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, hlm. 35

  • 8/7/2019 086D4d01

    46/121

    42

    2. Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab;

    3. Perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.

    Pertama, perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita

    musyrik. Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan

    wanita musyrik, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:

    )...:221(Artinya: Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik,sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budakyang beriman lebih baik daripada wanita musyrik,walaupun dia menarik hatimu (Q.S. al-Baqarah: 221)

    Hanya di kalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa

    musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu Jarir

    al-Thabari seorang ahli tafsir dalam kitabnya, al-Jamial-Bayan fi Tafsir

    al-Qur'an yang dikutip Rasyid Ridha, bahwa musyrikah yang dilarang

    untuk dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa

    Arab pada waktu turunnya Al-Qur'an memang tidak mengenal kitab suci

    dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang

    Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti

    wanita Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci

    atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu,

    yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah

    mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.68

    68Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Cairo: Dar al-Manar, 1367 H, hlm. 187 193.

  • 8/7/2019 086D4d01

    47/121

    43

    Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah

    baik dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni

    Yahudi (Yudaisme) dan Kristen tidak boleh dikawini, dan jika

    mengawinya maka berarti menentang syara. Menurut pendapat ini bahwa

    wanita yang bukan Islam, dan bukan pula Yahudi/Kristen tidak boleh

    dikawini oleh pria Muslim, apa pun agama ataupun kepercayaannya,

    seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi/Zoroaster, karena pemeluk

    agama selain Islam, Kristen, dan Yahudi itu termasuk kategori

    "musyrikah".

    Dengan demikian para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak

    halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq,

    perempuan keluar dari Islam, penyembah sapi, perempuan beragama

    politeisme (menunggaling kawula lan Gusti). Alasannya, firman Allah

    sebagaimana disebut di atas.69

    Kedua, perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita

    Ahlul Kitab. Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim

    boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen),

    berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 5.

    69Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, juz 2, tth, hlm. 178

  • 8/7/2019 086D4d01

    48/121

    44

    ):5(

    Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik.Makanan [sembelihan] orang-orang yang diberi al-Kitabitu halal bagi kamu, dan mahanan kamu halal [pula] bagimereka. [Dan dihalalkan bagi kamu menikahi] wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjagakehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab

    sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar merekadengan maksud menikahinya, tidak dengan maksudberzina dan tidak [pula] menjadikannya gundik-gundik.Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslahamalannya dan di hari akhirat dia termasuk orang-orangyang merugi. (Q.S. al-Maidah: 5)

    Selain berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 5, juga

    berdasarkan sunah Nabi, di mana Nabi pernah kawin dengan wanita Ahlul

    Kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang Sahabat

    Nabi yang termasuk senior bernama Hudzaifah bin Al-Yaman pernah

    kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedang para Sahabat tidak ada yang

    menentangnya. Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang

    perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen atau

    Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Kristen dan

    Yahudi itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran

    trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria) bagi

    umat Kristen, dan kepercayaan Uzair putra Allah dan mengkultuskan

    Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi.70

    70

    Rasyid Ridha sependapat dengan Jumhur yang membedakan musyrikin musyrikahdi satu pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) di pihak lain, sesuai dengan

  • 8/7/2019 086D4d01

    49/121

    45

    Menurut Yusuf Qardhawi, hukum asal mengawini wanita ahli kitab

    menurut jumhur ulama adalah mubah. Namun demikian di antara sahabat

    yang tidak berpendapat demikian adalah Umar bin al-Khattab.71 Umar bin

    al-Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M) melarang perkawinan antara laki-

    laki muslim dan perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya, Allah SWT

    telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik dan ia

    tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari seseorang yang

    beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT yang lainnya adalah

    Tuhannya. Dalam konteks ini, menurut Qardawi, perkawinan antara laki-

    laki muslim dengan wanita non muslim boleh saja sepanjang wanita itu

    berama tauhid. Menurut Qardawi, saat ini sulit untuk mengukur agama

    mana yang selain Islam yang memiliki keyakinan tauhid. Dengan

    demikian tampaknya Qardawi menganggap perkawinan yang demikian

    tidak semudah itu.72

    Menurut Syekh Hasan Khalid, jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan

    laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab.73 Argumen mereka yang

    menyatakan boleh adalahpertama, penjelasan yang terdapat dalam Al-Qur'an

    dalam surah al-Ma'idah ayat 5, dan dari ayat ini maka menurut Ahmad Asy-

    pengelompokan yang dibuat oleh Al-Qur'an, sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab, Kristendan Yahudi itu sudah melakukan "syirik" menurut pandangan tauhid Islam. Karena itu,perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama,berdasarkan Surat Al-Maidah ayat 5, sunah dan ijma'. Lihat Rasyid Ridha , Tafsir al-Manar,Cairo: Dar al-Manar, 1367 H, hlm. 186. Mengenai perkawinan Sahabat Nabi Hudzaifah binAl-Yaman dengan seorang wanita Yahudi,Ibid., hlm. 180.

    71Yusuf Qardhawi,Hadyul Islam Fatawi Muashirah, Terj. Asad Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 585

    72bid

    73

    Syekh Hasan Khalid, al-Zawaj Bighair al-Muslimin, Terj. Zaenal AbidinSyamsudin, Menikah Dengan Non Muslim, Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2004, hlm. 145

  • 8/7/2019 086D4d01

    50/121

    46

    Syarbashi dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang laki-laki Muslim boleh

    menikahi Ahlul kitab, selama wanita Ahlul kitab tersebut layak untuk

    dinikahi. Hikmah yang terkandung di dalam hukum bolehnya seorang laki-laki

    Muslim menikahi wanita Ahlul kitab ialah tersedianya kesempatan supaya

    terciptanya hubungan dan kerjasama di antara mereka; dan di samping itu agar

    dengan keinginannya, wanita Ahlul kitab itu dapat mempelajari ajaran-ajaran

    mulia yang terdapat dalam ajaran Islam.74Kedua, pendapat Sayid Sabiq, ahli

    fikih di Mesir, yang menjelaskan bahwa laki-laki muslim halal kawin dengan

    perempuan ahli kitab yang merdeka.75 Sekalipun boleh mengawini wanita

    ahlul kitab, namun kemudian Sayyid Sabiq menganggap hukumnya makruh.76

    Ketiga, perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria

    non-Muslim. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, ulama telah

    sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita

    Muslimah dengan pria non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk

    pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi

    (revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa

    kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau

    kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab

    suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan

    sebagainya.77

    74Ahmad Asy-Syarbashi, Yas'alunakafi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi,"Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan Kehidupan", Jakarta: Lentera, 1997, hlm. 244

    75Sayyid Sabiq, op. cit, hlm. 17976Ibid

    77

    Muhammad Jawad Mughniyah,Al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.Masykur AB, et al, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000, hlm. 336.

  • 8/7/2019 086D4d01

    51/121

    47

    Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin

    antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, ialah:

    a. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:

    ...

    )...:221(

    Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyriksebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yangmu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun diamenarik hatimu.78

    b. Ijma' para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita

    Muslimah dengan pria non-Muslim.

    Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam

    (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul

    Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen

    dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda.

    Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta

    alam semesta, percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat, dan percaya

    pula pada hari kiamat; sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnyatidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan

    khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang

    telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian

    diajak mengikuti "kepercayaan/ideologi" mereka.

    78

    Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran,Al-Qurandan Terjemahnya, 1986, hlm. 53.

  • 8/7/2019 086D4d01

    52/121

    48

    Mengenai hikmah dibolehkannya perkawinan antara seorang pria

    Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, ialah karena pada hakikatnya

    agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab

    sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka kalau seorang wanita

    Kristen/Yahudi kawin dengan pria Muslim yang baik, yang taat pada

    ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya

    sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan

    kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup di

    tengah-tengah keluarga Islam. Sebab agama Islam mempunyai

    panutan/pedoman hidup yang lengkap, mudah/praktis, flexible,

    demokratis, menghargai kedudukan wanita Islam dalam keluarga,

    masyarakat, dan negara, toleran terhadap agama/kepercayaan lain yang

    hidup di masyarakat, dan menghargai pula hak-hak asasi manusia terutama

    kebebasan beragama, serta ajaran-ajarannya yang rasionable.

    Fakta-fakta menunjukkan bahwa wanita-wanita Barat dan Timur

    yang kawin dengan pria Muslim yang baik dan taat pada ajaran agamanya,

    dapat terbuka hatinya dan dengan kesadaran sendiri si istri masuk agama

    Islam.Namun, kalau seorang pemuda Muslim itu kualitas iman dan

    islamnya masih belum baik, misalnya islamnya masih Islam K.TP atau

    Islam Abangan, maka seharusnya ia tidak berani kawin dengan pemudi

    Kristen/Yahudi yang militan, karena ia dapat terseret kepada agama

    istrinya. Dan hal ini sesuai dengan taktik dan strategi Ahlul Kitab untuk

  • 8/7/2019 086D4d01

    53/121

    49

    memurtadkan umat Islam dan kemudian menariknya ke agama mereka

    dengan berbagai cara.79

    Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita

    Islam dengan pria Kristen atau Yahudi, karena dikhawatirkan wanita Islam

    itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agamanya,

    kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak

    yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan

    mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga

    terhadap anak-anak melebihi ibunya. Dalam hal ini, fakta-fakta sejarah

    menunjukkan bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka

    bumi ini yang memberikan kebebasan beragama dan bersikap toleran

    terhadap agama/kepercayaan lain, seperti agama Islam. Sebagaimana

    firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 120:

    )...:120(Artinya: Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada

    kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka.

    Dan berfirman Allah dalam Surat Al-Nisa ayat 141:

    ... )...:141(Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada

    orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yangberiman.

    79

    Muhammad Rasyid Ridha, op. cit, hlm. 193.

  • 8/7/2019 086D4d01

    54/121

    50

    Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam, hendaknya selalu berhati-

    hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi

    dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan

    berbagai cara. Dan hendaknya umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan

    kepada mereka untuk mencapai maksudnya. Misalnya dengan jalan

    perkawinan seorang wanita Islam dengan pria non-Muslim.

  • 8/7/2019 086D4d01

    55/121

    51

    BAB III

    PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG

    PERKAWINAN ANTAR AGAMA

    A. Biografi Al-Syafi'i, Pendidikan dan Karya-Karyanya

    1. Latar Belakang Keluarga

    Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Al-Syafii lahir di

    Kota Gaza, Palestina,80 Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Idris ibn

    al-Abbas ibn Utsman ibn Syafii ibn al-Saib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn

    Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.81

    Lahir di Gaza pada tahun 150 H, kemudian dibawa oleh ibunya ke

    Makkah. Beliau lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada

    zaman kekuasaan Abu Jafar al Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan ia

    meninggal di Mesir pada tahun 204 H 82

    Al-Syafii berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi di

    masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun

    kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari

    perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar.

    80Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-Uhu wa Fiqhuhu,Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Al-Syafii Biografi dan Pemikirannya DalamMasalah Akidah, Politik dan Fiqih, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005, hlm. 27

    81Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT.RemajaRosdakarya, 2000, hlm.101. Lihat juga Abdul Munim Saleh,Madzhab Syafii Kajian Konsep

    Al-Maslahah, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001, hlm. 7. Lihat juga Ali Fikri, Kisah-Kisah ParaImam Madzhab, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 76.

    82

    Jaih Mubarok,Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 27.

  • 8/7/2019 086D4d01

    56/121

    52

    Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan

    mereka.

    Al-Syafii dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an

    dalam umur yang masih sangat muda. Kemudian ia memusatkan perhatian

    menghafal hadis. Ia menerima hadis dengan jalan membaca dari atas

    tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang. Seringkali pergi ke

    tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang masih dapat

    dipakai.83

    Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri

    dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.

    Ia pergi ke Kabilah Hudzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari

    bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Al-Syafii tinggal di

    Badiyah itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam

    bidang syair yang digubah golongan Hudzail itu, amat indah susunan

    bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain

    panah. Dalam masa itu Al-Syafii menghafal al-Qur'an, menghafal hadis,

    mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai kuda

    dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk-penduduk kota.

    Al-Syafii belajar pada ulama-ulama Makah, baik pada ulama-ulam

    fiqih, maupun ulama-ulama hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqh

    dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya

    83

    Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 17.

  • 8/7/2019 086D4d01

    57/121

    53

    Muslim Ibn Khalid Az-Zamzi, menganjurkan supaya Al-Syafii bertindak

    sebagai mufti. Sungguhpun ia telah memperoleh kedudukan yang tinggi

    itu namun ia terus juga mencari ilmu.

    Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama

    besar yaitu Malik, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana

    dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Al-Syafii

    ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke Madinah ia

    lebih dahulu menghafal al-Muwatha, susunan Malik yang telah

    berkembang pada masa itu. Kemudian ia berangkat ke Madinah untuk

    belajar kepada Malik dengan membawa sebuah surat dari gubernur

    Makah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian mendalami fiqh di

    samping mempelajari al-Muwatha. Al-Syafii mengadakan mudarasah

    dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Malik. Di waktu

    Malik meninggal tahun 179 H, Al-Syafii telah mencapai usia dewasa dan

    matang.84

    2. Pendidikan dan Karir

    Al-Syafii menerima fiqh dan hadis dari banyak guru yang masing-

    masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempatberjauhan bersama lainnya. Ada di antara gurunya yang mutazili yang

    memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil mana

    yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan. Al-

    84

    TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PTPutaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 481.

  • 8/7/2019 086D4d01

    58/121

    54

    Syafii menerima ilmunya dari ulama-ulama Makah, ulama-ulama

    Madinah, ulama-ulama Iraq dan ulama-ulama Yaman.

    Ulama Makah yang menjadi gurunya ialah: Sufyan Ibn Uyainah,

    Mualim Ibn Khalid az-Zamzi, Said Ibn Salim al-Kaddlah, Daud Ibn abd-

    Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid Ibn Abdul Azizi Ibn Abi Zuwad.

    Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Malik Ibn

    Annas, Ibrahim Ibn Saad al-Anshari Abdul Aziz Ibn Muhammad ad-

    Dahrawardi, Ibrahim Ibn Abi Yahya al-Asami, Muhammad Ibn Said Ibn

    Abi Fudaik, Abdullah Ibn Nafi teman Ibn Abi Zuwaib.

    Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya ialah: Mutharraf Ibn

    Mazim, Hisyam Ibn Yusuf, Umar Ibn abi Salamah, teman Auzain dan

    Yahya Ibn Hasan teman Al-Laits.

    Ulama-ulama Iraq yang menjadi gurunya ialah: Waki Ibn Jarrah,

    Abu Usamah, Hammad Ibn Usamah, dua ulama Kuffah Ismail I