08. BAB III
-
Upload
iffa-siilamari-poenya-masiverssampit -
Category
Documents
-
view
28 -
download
2
Transcript of 08. BAB III
39
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-Undangan Perizinan Apotek
1. Pengertian
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker.
Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat
dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian juga meliputi dalam pengadaan
sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi, dan pelayanan dalam sediaan farmasi (2).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
No.1027/MenKes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang RI No.36
tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan perbekalan kesehatan
adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat,
obat tradisional dan kosmetik (1,3).
Apotek merupakan sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang wajib
menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang
bermutu baik. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di apotek
merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker
40
dalam melakukan pekerjaan kefarmasiannya untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien.
2. Landasan Hukum Apotek
Apotek merupakan satu diantara sarana pelayanan kesehatan masyarakat
yang diatur dalam
a. Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
b. Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
c. Undang-undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin
Kerja Tenaga Kefarmasian.
f. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti Apoteker,
yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan
No.184/MENKES/PER/II/1995.
g. Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP
No.26 Tahun 1965 mengenai Apotek.
h. Peraturan Menteri Kesehatan No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
i. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/
SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
j. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek.
41
3. Persyaratan Apotek
Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apoteker
(SIA). Surat Izin Apoteker (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja
sama dengan pemilik sarana apotek untuk menyelenggarakan pelayanan
apotek disuatu tempat tertentu. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002, disebutkan bahwa
persyaratan-persyaratan apotek adalah
a. Untuk mendapat izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama
dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap
dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan
farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan
komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.
c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain diluar
sediaan farmasi (4).
Persyaratan lain yang harus diperhatikan untuk mendirikan suatu apotek,
antara lain:
a. Tenaga Kerja/Personalia Apotek
Menurut Permenkes No. 889 tahun 2011, Tenaga Kefarmasian adalah
tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas Apoteker
dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang
telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpat jabatan
Apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu
Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1332/MENKES/SK/X/2002, personil apotek terdiri dari:
1) Apoteker Pengelola Apotek (APA), yaitu Apoteker yang telah memiliki
Surat Izin Apotek (SIA).
42
2) Apoteker Pendamping adalah Apoteker yang bekerja di Apotek di
samping APA dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari
buka Apotek.
3) Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA selama
APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus-
menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak
sebagai APA di Apotek lain.
4) Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian sebagai Asisten Apoteker.
Sedangkan tenaga lainnya yang diperlukan untuk mendukung kegiatan di
apotek terdiri dari:
1) Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan Asisten Apoteker.
2) Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat penerimaan
dan pengeluaran uang.
3) Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi
apotek dan membuat laporan pembeian, penjualan, penyimpanan dan
keuangan apotek (4).
b. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA)
Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian
wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan
kefarmasian;
2) SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;
3) SIK bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas
produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran (2).
43
Gambar III.1. Alur Perizinan Praktek Apoteker
Untuk memperoleh SIPA sesuai dengan PP RI No. 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, seorang Apoteker harus memiliki Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA). STRA ini dapat diperoleh jika seorang
apoteker memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Memiliki Ijazah Apoteker.
2) Memiliki sertifikat kompentensi apoteker.
3) Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah dan janji apoteker.
4) Surat sehat fisik dan mental dari dokter yang mempunyai surat izin
praktek.
5) Surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan etika profesi.
c. Lokasi
Menurut PerMenKes RI No. 922/MenKes/PER/X/1993, lokasi apotek
tidak lagi ditentukan harus memiliki jarak minimal dari apotek lain dan
(Ka DinKes Kabupaten/Kota)
Diberikan Oleh
Menteri melalui
Komite Farmasi
Nasional ( KFN )
44
sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan
pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi, namun sebaiknya
harus mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan,
jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan, lingkungan
yang higienis, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat banyak
dengan kendaraan dan faktor-faktor lainnya (5).
d. Bangunan dan kelengkapannya
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.922/Menkes/Per/X/1993, luas apotek tidak diatur lagi, namun harus
memenuhi persyaratan teknis, sehingga kelancaran pelaksanaan tugas dan
fungsi serta kegiatan pemeliharaan perbekalan farmasi dapat terjamin (5).
Persyaratan teknis apotek adalah bangunan apotek setidaknya terdiri dari:
1) Ruang tunggu pasien.
2) Ruang peracikan dan penyerahan obat.
3) Ruang administrasi.
4) Ruang penyimpanan obat.
5) Ruang tempat pencucian alat.
6) Kamar kecil (WC).
Selain itu bangunan apotek harus dilengkapi dengan:
1) Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan.
2) Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas
dan fungsi apotek.
3) Alat pemadam kebakaran minimal dua buah yang masih berfungsi
dengan baik.
4) Ventilasi dan sistem sanitasi yang memenuhi persyaratan hygiene
lainnya.
5) Papan nama apotek, yang memuat nama apotek, nama APA, nomor
Surat Izin Apotek (SIA), alamat apotek dan nomor telpon apotek (bila
ada). Papan nama apotek dibuat dengan ukuran minimal panjang 60
cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam diatas dasar putih dengan tinggi
huruf minimal 5 cm dan tebal 5 cm.
45
e. Perlengkapan apotek
Perlengkapan yang wajib dimiliki oleh apotek adalah
1) Alat pembuatan, pengelolaan, peracikan obat, seperti: timbangan,
mortir, gelas piala dan sebagainya.
2) Wadah untuk bahan pengemas dan bahan pembungkus, seperti: etiket,
wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat.
3) Perlengkapan dan tempat penyimpanan perbekalan farmasi seperti
lemari dan rak untuk penyimpanan obat, lemari pendingin, lemari untuk
penyimpanan narkotika dan psikotropika.
4) Alat administrasi seperti blanko pemesanan obat, kartu stok obat, faktur,
nota penjualan, salinan resep, alat tulis dan sebagainya.
5) Pustaka, seperti Farmakope edisi terbaru dan kumpulan peraturan
perundang-undangan serta buku-buku penunjang lain yang berhubungan
dengan apotek.
Dalam lampiran KepMenKes No. 1322 tahun 2002 tentang Berita Acara
Pemeriksaan Apotek, dituliskan tentang perincian hal yang diperiksa dan
persyaratan yang harus dipenuhi, yakni :
1) Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan
a) Timbangan miligram dengan anak timbangan yang sudah ditara
minimal 1 set.
b) Timbangan gram dengan anak timbangan yang sudah ditara minimal
1 set.
c) Perlengkapan lain disesuaikan dengan kebutuhan.
2) Perlengkapan dan alat perbekalan farmasi
a) Lemari dan rak untuk menyimpan obat.
b) Lemari pendingin.
c) Lemari untuk penyimpanan narkotika dan psikotropik.
3) Wadah pengemas dan pembungkus
a) Etiket.
b) Wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat.
46
4) Alat administrasi
a) Blanko pesanan obat.
b) Blanko kartu stok obat.
c) Blanko salinan resep.
d) Blanko faktur dan blanko nota penjualan.
e) Buku pencatatan narkotika.
f) Buku pesanan obat narkotika.
g) Form laporan obat narkotika.
5) Buku acuan
a) Buku standar yang diwajibkan yakni Farmakope Indonesia edisi
terbaru 1 buah.
b) Kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan apotek (4).
Persyaratan ini kemudian dilengkapi dengan KepMenKes No. 1027 tahun
2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yaitu:
1) Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh
masyarakat.
2) Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata
Apotek.
3) Apotek harus dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat.
4) Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari
aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk
menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko
kesalahan penyerahan.
5) Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker
untuk memperoleh informasi dan konseling.
6) Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya, apotek harus bebas dari
hewan pengerat, serangga.
7) Apotek mempunyai suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari
pendingin.
47
8) Apotek harus memiliki
a) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
b) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk
penempatan brosur/materi informasi.
c) Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi
dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan
medikasi pasien.
d) Ruang peracikan.
e) Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.
9) Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak
penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun rapi, terlindung
dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada
kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan (1).
4. Tugas dan Fungsi Apotek
Berdasarkan PP RI No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 26 tahun 1965 tentang Apotek, tugas dan fungsi apotek
adalah
a. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah
mengucapkan sumpah jabatan.
b. Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya kegiatan peracikan,
pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan
obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
d. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya
kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan
pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat (6).
48
5. Permohonan Perizinan Apotek
Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian
wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat
izin sebagaimana dimaksud berupa:
1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan
kefarmasian.
2) SIPA bagi apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian.
3) SIK bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas
produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran, atau
4) SIKTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan
kefarmasian atau SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas
kefarmasian. Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan
kefarmasian berupa puskesmas dapat menjadi apoteker pendamping di luar
jam kerja. SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan paling banyak 3
(tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. SIKTTK dapat diberikan
untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas kefarmasian. SIPA, SIK, atau
SITTK dapat dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. SIPA, SIK, atau SIKTTK masih
tetap berlaku sepanjang STRA/STRTTK masih berlaku dan tempat
praktek/bekerja masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPA, SIK, atau
SIKTTK (5).
Dalam mendirikan apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek
(SIA) yaitu surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana
apotek untuk mendirikan apotek di suatu tempat tertentu. Wewenang
pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes Kabupaten/Kota). Kepala Dinkes
Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan
izin, pencairan izin dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada
49
Menteri Kesehatan dan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Selanjutnya, Kepala Dinas Kesehatan wajib melaporkan kepada Badan
Pengawasan Obat dan Makanan. Sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
Izin Apotek adalah
1) Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
2) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam)
hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis
kepada Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotek untuk melakukan
kegiatan.
3) Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-
lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan
setempat.
4) Dalam hal pemeriksaaan tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat
membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala
Dinas Propinsi.
5) Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan
pemeriksaan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
mengeluarkan SIA.
6) Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau
Kepala Balai POM masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari
kerja mengeluarkan Surat Penundaan.
50
7) Dalam Surat Penundaan, Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi
persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka
waktu satu bulan sejak tanggal Surat Penundaan.
8) Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi
persyaratan Apoteker Pengelola Apotek dan atau persyaratan apotek, atau
lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-
lambatnya dua belas hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan
disertai dengan alasan-alasannya.
Bila Apoteker menggunakan sarana milik pihak lain, yaitu mengadakan
kerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek, maka harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1) Pengguna sarana yang dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian kerja
sama antara apoteker dan pemilik sarana.
2) Pemilik sarana yang dimaksud, harus memenuhi persyaratan tidak pernah
terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat
sebagaimana dinyatakan dalam Surat Pernyataan yang bersangkutan
(4,5).
6. Pencabutan Izin Apotek
Setiap apotek harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1332/Menkes/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan dapat mencabut
surat izin apotek apabila:
a. Apoteker yang sudah tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan sebagai
apoteker pengelola apotek.
b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan, menyimpan
dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin
keabsahannya serta tidak memenuhi kewajiban dalam memusnahkan
perbekalan farmasi yang tidak dapat digunakan lagi atau dilarang
51
digunakan dan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan
obat paten.
c. Apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2
tahun secara terus-menerus.
d. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan
mengenai narkotika, obat keras, psikotropika serta ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
e. Surat izin kerja apoteker pengelola apotek dicabut.
f. Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-
undangan dibidang obat.
g. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.
Pelaksanaan pencabutan izin apotek dapat dilaksanakan setelah
dikeluarkannya:
a. Peringatan tertulis kepada apoteker pengelola apotek sebanyak 3 kali
berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan
sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan di apotek.
Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek telah
membuktikan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Hal ini dilakukan setelah Kepala Balai POM setempat
melakukan pemeriksaan.
Keputusan pencabutan surat izin apotek dilakukan oleh Kepala Dinas
Kesehatan/Kota disampaikan langsung kepada apoteker pengelola apotek
dengan tembusan kepada Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
setempat serta Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat.
Apabila surat izin apotek dicabut, apoteker pengelola apotek atau apoteker
pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasinya. Pengamanan
tersebut dilakukan dengan tata cara sebgai berikut:
a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras
tertentu dan obat lainnya dan seluruh resep yang tersisa di apotek.
52
b. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang
tertutup dan terkunci.
c. Apoteker pengelola apotek wajib melaporkan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota atau petugas yang diberi wewenang tentang
penghentian kegiatan disertai laporan inventaris yang dimaksud di atas
(4).
7. Pelayanan Apotek
Pelayanan merupakan kegiatan atau keuntungan yang dapat ditawarkan
oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat tidak kasat
mata dan tidak berujung pada kepemilikan. Dengan semakin meningkatnya
persaingan pasar banyak perusahaan mengembangkan strategi jitu dalam
memberikan pelayanan kepada pelanggan, salah satunya adalah dengan
memberikan pelayanan prima yaitu jika perlakuan yang diterima oleh
pelanggan lebih baik daripada yang diharapkan, maka hal tersebut dianggap
merupakan pelayanan yang bermutu tinggi. Supaya pelayanan prima dapat
selalu diwujudkan suatu perusahaan dalam hal ini adalah apotek, maka
perlu ditetapkan standar pelayanan farmasi di apotek.
Tujuan dari standar pelayanan antara lain :
a. Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional.
b. Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar.
c. Pedoman dalam pengawasan praktek apoteker.
d. Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek.
Peraturan yang mengatur tentang Pelayanan Apotek adalah KepMenkes RI
Nomor 1027/MENKES/SK/2004 meliputi :
a. Pelayanan resep
1) Skrining resep
a) Persyaratan administratif, seperti nama, SIK dan alamat dokter;
tanggal penulisan resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan
berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis, jumlah yang
diminta, cara pemakaian yang jelas, informasi lainnya.
53
b) Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
c) Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain.
2) Penyiapan obat
Peracikan yang merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang,
mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah.
a) Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
b) Kemasan obat yang diserahkan harus rapi dan cocok sehingga
terjaga kualitasnya.
c) Penyerahan obat pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir
terhadap kesesuaian antara jumlah obat dengan resep dan
penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian
informasi obat kepada pasien.
d) Apoteker memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah di
mengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.
Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara
pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu
pengobatan, aktivitas yang harus dilakukan dan dihindari serta
makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
e) Apoteker harus memberikan konseling kepada pasien sehingga
dapat memperbaiki kualitas hidup pasien. Konseling terutama
ditujukan untuk pasien penyakit kronis (hipertensi, diabetes
melitus, TBC, asma, dan lain-lain).
f) Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus
melaksanakan pemantauan penggunaan obat.
b. Promosi dan edukasi
Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang ingin
melakukan upaya pengobatan diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit
yang ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan ini. Apoteker ikut membantu
54
diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur,
poster, penyuluhan dan lain-lain.
c. Pelayanan residensial (home care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya
untuk kelompok lansia dan pasien dengan penyakit kronis. Untuk
kegiatan ini, apoteker harus membuat catatan pengobatan pasien
(Patient Medication Record) (1).
8. Pelanggaran Apotek
Berdasarkan berat ringannya pelanggaran, maka pelanggaran di apotek
dapat dikategorikan dalam dua macam. Kegiatan yang termasuk
pelanggaran berat di apotek meliputi:
a. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi.
b. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpanan obat palsu atau gelap.
c. Pindah alamat apotek tanpa izin.
d. Menjual narkotika tanpa resep dokter .
e. Kerjasama dengan PBF dalam menyalurkan obat kepada pihak yang
tidak berhak dalam jumlah besar.
f. Tidak menunjuk apoteker pendamping atau apoteker pengganti pada
waktu APA keluar daerah.
Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan apotek meliputi:
a. Tidak menunjuk Apoteker pendamping pada waktu APA tidak bisa hadir
pada jam buka apotek (apotek yang buka 24 jam).
b. Mengubah denah apotek tanpa izin.
c. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak.
d. Melayani resep yang tidak jelas dokternya.
e. Menyimpan obat rusak, tidak mepunyai penandaan atau belum
dimusnahkan.
f. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada.
g. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh apoteker.
55
h. Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain.
i. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat.
j. Resep narkotika tidak dipisahkan.
k. Buku narkotika tidak diisi atau tidak dapat dilihat atau diperiksa.
l. Tidak mempunyai atau mengisi kartu stok hingga tidak dapat diketahui
dengan jelas asal usul obat tersebut.
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat
dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi
administratif yang diberikan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/MENKES/SK/X/2002 dan Permenkes No.922/MENKES/PER/X/1993
adalah
a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara 3 kali berturut-turut dengan
tenggang waktu masing-masing 2 bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan
sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan
pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Menteri Kesehatan dan Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi setempat. Pembekuan izin apotek tersebut
dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat membuktikan
bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri
Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila
terdapat pelanggaran terhadap:
a. Undang-Undang Obat Keras (St.1937 No.541).
b. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika (4,5).
9. Apoteker Pengelola Apotek
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1332/Menkes/SK/X/2002 tentang perubahan atas Peraturan Menteri
56
Kesehatan Republik Indonesia No.922/Menkes/Per/X/1993 tentang
ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek pada pasal 1 dijelaskan bahwa
APA adalah seorang apoteker yang telah diberikan Surat Izin Apotek (SIA)
(4).
Apoteker Pengelola Apotek (APA) berkewajiban menyediakan dan
memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu
berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam
situasi multidisipliner, kemampuan mengelola Sumber Daya Manusia
(SDM) secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu
memberi pendidikan serta memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi apoteker
pengelola apotek berdasarkan PerMenkes RI No.184/Menkes/Per/II/1995
adalah
a. Ijazah telah terdaftar pada Departemen Kesehatan.
b. Telah mengucapkan sumpah atau janji sebagai Apoteker.
c. Memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dari Menteri Kesehatan.
d. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan
tugasnya sebagai Apoteker.
e. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi APA di
apotek lain (7).
Seorang APA bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup
apotek yang dipimpinnya, juga bertanggung jawab kepada pemilik modal
jika bekerja sama dengan pemilik sarana apotek. Fungsi dan tugas apoteker
di Apotek adalah:
a. Membuat visi dan misi.
b. Membuat tujuan, strategi dan program kerja.
c. Membuat dan menetapkan peraturan atau Standar Operasional Prosedur
(SOP) pada setiap fungsi kegiatan apotek.
d. Membuat dan menentukan indikator form record pada setiap fungsi
kegiatan apotek.
57
e. Membuat sistem pengawasan dan pengendalian SOP dan program kerja
pada setiap fungsi diapotek.
Sedangkan wewenang dan tanggungjawab apoteker di apotek adalah:
a. Menentukan arah terhadap seluruh kegiatan.
b. Menentukan sistem atau peraturan yang akan digunakan.
c. Mengawasi pelaksanaan SOP dan program kerja.
d. Bertanggungjawab terhadap kinerja yang diperoleh.
Pengelolaan apotek oleh APA ada dua bentuk, yaitu pengelolaan
bisnis (non teknis kefarmasian) dan pengelolaan di bidang pelayanan
(teknis kefarmasian), maka untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan
sukses seorang APA harus melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Memastikan bahwa jumlah dan jenis produk yang dibutuhkan
senantiasa tersedia dan diserahkan kepada yang membutuhkan.
b. Menata apotek sedemikian rupa sehingga berkesan bahwa apotek
menyediakan berbagai obat dan perbekalan kesehatan lain secara
lengkap.
c. Menetapkan harga jual produknya dengan harga bersaing.
d. Mempromosikan usaha apoteknya melalui berbagai upaya.
e. Mengelola apotek sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan.
f. Mengupayakan agar pelayanan di apotek dapat berkembang dengan
cepat, nyaman dan ekonomis.
Selain APA dikenal pula Apoteker Pendamping dan Apoteker
Pengganti. Apoteker Pendamping adalah Apoteker yang bekerja di apotek
dan atau menggantikan APA pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.
Apabila APA berhalangan karena hal-hal tertentu dalam melakukan
tugasnya, APA dapat menunjuk Apoteker Pengganti.
58
B. Kegiatan Teknis Kefarmasian
Pengelolaan teknis kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan lainnya yang meliputi kegiatan:
1. Pengadaan
Pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai peraturan
perundang-undangan.
2. Penyimpanan
a. Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam
hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain,
maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang
jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat,
nomor bets, dan tanggal kadaluarsa.
b. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan
menjamin kestabilan bahan (1).
3. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu
memperhatikan:
a) pola penyakit,
b) kemampuan masyarakat,
c) budaya masyarakat, dan
d) Pola penulisan resep oleh dokter sekitar.
4. Pengelolaan Narkotik
Berdasarkan Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika, narkotika
dapat didefinisikan sebagai suatu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
59
Narkotika sangatlah bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan
pelayanan kesehatan serta pengembangan ilmu pengetahuan, namun dapat
menimbulkan ketergantungan yang dapat merugikan pemakai apabila
dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.
Narkotika sering digunakan dengan cara maupun tujuan yang salah. Oleh
karena itu, perlunya diadakan pengawasan terhadap penggunaan narkotika
yang meliputi pembelian, penyimpanan, penjualan, administrasi serta
penyampaian laporannya (8).
Dalam rangka mempermudah pengawasan penggunaan Narkotika di
wilayah Indonesia maka Pemerintah menetapkan PT. Kimia Farma sebagai
satu-satunya perusahaan yang diizinkan untuk memproduksi, mengimpor dan
mendistribusikan narkotika di Indonesia (9).
Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan:
a. Pemesanan narkotika.
Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan oleh Pedagang Besar Farmasi
(PBF) Kimia Farma. Pesanan narkotika bagi apotek ditandatangani oleh
APA dengan menggunakan surat pesanan rangkap empat, dimana tiap jenis
pemesanan narkotika menggunakan satu surat pesanan yang dilengkapi
dengan nomor SIK apoteker dan stempel apotek (10).
b. Penyimpanan narkotika
Narkotika yang berada di apotek wajib disimpan secara khusus sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam UU No.
35 tahun 2009 pasal 14 ayat (1). Adapun tata cara penyimpanan narkotika
diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 28/MENKES/PER/1978
pasal 5, yaitu apotek harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan
narkotika. Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) Harus seluruhnya terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat.
2) Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.
3) Dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing bagian dengan kunci yang
berlainan. Bagian pertama digunakan untuk menyimpan morfin, petidin
60
dan garam-garamnya serta persediaan narkotika, sedangkan bagian
kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai
sehari-hari.
4) Apabila tempat tersebut berukuran 40 x 80 x 100 cm, maka lemari
tersebut harus dibuat pada tembok dan lantai.
Selain itu pada pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan
No.28/Menkes/Per/I/1978 dinyatakan bahwa:
1) Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Menteri
Kesehatan No.28/Menkes/Per/1978 dan harus dikunci dengan baik.
2) Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang
lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
3) Anak kunci lemari khusus dikuasai oleh penanggung jawab atau
pegawai lain yang diberi kuasa.
4) Lemari khusus diletakkan di tempat yang aman dan tidak boleh
terlihat oleh umum (11).
c. Pelayanan resep mengandung narkotika
Apotek hanya melayani pembelian narkotika berdasarkan resep dokter
dengan ketentuan berdasarkan surat edaran balai POM No. 336/EE/SE/1977
antara lain dinyatakan:
1) Sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (2) undang-undang no. 9 tahun 1976
tentang narkotika, apotek dilarang melayani salinan resep yang
mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian
atau belum dilayani sama sekali.
2) Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani
sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep
tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep
aslinya.
3) Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh
dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah
tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika.
61
d. Pelaporan narkotika
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Pasal 14 ayat (2)
dinyatakan bahwa industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat
kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan
berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada
dalam penguasaannya. Laporan tersebut meliputi laporan pemakaian
narkotika dan laporan pemakaian morfin dan petidin. Laporan harus di
tandatangani oleh apoteker pengelola apotek dengan mencantumkan SIK,
SIA, nama jelas dan stempel apotek, kemudian dikirimkan kepada Kepala
Dinas Kesehatan RI Kota/Kabupaten setempat dengan tembusan kepada:
1) Kepala Dinas Kesehatan.
2) Balai Besar POM.
3) Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma Tbk.
4) Arsip.
Laporan yang ditandatangani oleh APA meliputi:
1) Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika.
2) Laporan penggunaan bahan baku narkotika.
3) Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin.
Laporan narkotika tersebut dibuat setiap bulannya dan harus dikirim
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya (8).
e. Pemusnahan narkotika
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.28/MENKES/PER/I/1978
Pasal 9 disebutkan bahwa pemegang izin khusus dan atau APA dapat
memusnahkan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat (11).
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika
disebutkan bahwa pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal:
1) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan
atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi.
2) Kadaluarsa.
62
3) Tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan
dan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
4) Berkaitan dengan tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997,
pemusnahan narkotika dilaksanakan oleh pemerintah, orang atau badan
usaha yang bertanggung jawab atas produksi dan atau peredaran narkotika,
sarana kesehatan tertentu serta lembaga ilmu pengetahuan dengan
disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan RI.
Pelaksanaan pemusnahan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi
persyaratan pada apotek adalah sebagai berikut:
1) Bagi apotek di tingkat propinsi, pelaksanaan pemusnahan disaksikan oleh
petugas dari Balai POM setempat.
2) Bagi apotek di tingkat Kabupaten/Kota pemusnahan disaksikan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II
Pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek yang
memusnahkan narkotika harus membuat berita acara pemusnahan paling
sedikit 3 rangkap. Berita acara pemusnahan tersebut memuat:
1) Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan.
2) Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek.
3) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek
tersebut.
4) Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.
5) Cara pemusnahan.
6) Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi (12).
f. Pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan narkotik
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan
bahwa pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan
pelaporan narkotika dapat dikenai sanksi administratif oleh Menteri
Kesehatan, yang berupa: teguran, peringatan, denda administratif,
penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin (8).
63
5. Pengelolaan Psikotropika
Psikotropika menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1997 merupakan zat atau
obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Ruang lingkup pengaturan psikotropik dalam Undang-Undang No. 5
tahun 1997 adalah segala yang berhubungan dengan psikotropika yang
mempunyai potensi yang mengakibatkan ketergantungan.
Tujuan dari pengaturan psikotropika ini sama dengan narkotika, yaitu
a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan
dan ilmu pengetahuan.
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.
c. Memberantas peredaran gelap psikotropika.
Kegiatan-kegiatan pengelolaan psikotropika meliputi:
a. Pemesanan psikotropika
Tata cara pemesanan obat-obat psikotropika sama dengan pemesanan obat
lainnya, yakni dengan surat pemesanan yang sudah ditandatangani oleh
APA yang dikirim ke pedagang besar farmasi (PBF). Pemesanan
psikotropika tidak memerlukan surat pemesanan khusus dan dapat dipesan
apotek dari PBF atau pabrik obat. Penyaluran psikotropika tersebut diatur
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 pasal 12 ayat (2) dinyatakan
bahwa penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada
apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan
pelayanan resep. Satu lembar surat pesanan psikotropika dapat terdiri dari
satu jenis obat psikotropika.
b. Penyimpanan psikotropika
Sampai saat ini, penyimpanan untuk obat-obatan golongan psikotropika
belum diatur dalam perundang-undangan. Namun, karena obat-obatan
psikotropika ini cenderung untuk disalahgunakan, maka disarankan agar
menyimpan obat-obatan psikotropika tersebut dalam suatu rak atau lemari
64
khusus yang terpisah dengan obat-obat lain, tidak harus dikunci dan
membuat kartu stok psikotropika.
c. Penyerahan psikotropika
Penyerahan obat golongan psikotropika oleh apotek hanya dapat diberikan
kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter
dan kepada pasien bila disertai dengan resep dokter.
d. Pelaporan psikotropika
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997, pabrik obat, PBF, sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, dokter dan lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan,
wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang
berhubungan dengan psikotropika dan wajib melaporkannya kepada Menteri
Kesehatan secara berkala. Pelaporan psikotropika dilakukan setahun sekali
dengan ditandatangani oleh APA dilakukan secara berkala yaitu setiap tahun
kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dengan tembusan kepada Kepala
Dinas Kesehatan setempat dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
e. Pemusnahan psikotropika
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997 pasal 53 tentang psikotropika,
pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak
pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku
dan atau tidak dapat digunakan dalam proses psikotropika, kadaluarsa atau
tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan atau
untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pemusnahan psikotropika wajib
dibuat berita acara dan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk dalam waktu 7
hari setelah mendapat kepastian. Berita acara pemusnahan tersebut memuat:
1) Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan.
2) Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek.
3) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek
tersebut.
4) Nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan.
5) Cara pemusnahan.
65
6) Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi (13).
C. Kegiatan Non Teknis Kefarmasian
Pengelolaan non teknis kefarmasian, meliputi kegiatan :
1. Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Administrasi pelayanan
3. Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan
hasil monitoring penggunaan obat.
D. Penggolongan Obat
Untuk menjaga keamanan pengunaan obat oleh masyarakat, maka pemerintah
menggolongkan obat menjadi beberapa bagian :
1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Pada kemasan
ditandai dengan lingkaran hitam, mengelilingi bulatan berwarna hijau. Isi
dalam kemasan obat disertakan brosur yang berisi nama obat, nama dan isi
zat berkhasiat, indikasi, dosis dan aturan pakai, nomor batch, nomor
registrasi, nama dan alamat pabrik, serta cara penyimpanannya. Contoh :
Paracetamol, Mylanta, Oralit, Curcuma plus, dan lain-lain.
Gambar III.2. Penandaan Obat Bebas
2. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas digunakan untuk mengobati penyakit ringan yang dapat
dikenali oleh penderita sendiri. Definisi Obat bebas terbatas termasuk obat
keras di mana pada setiap takaran yang digunakan diberi batas dan pada
kemasan ditandai dengan lingkaran hitam mengelilingi bulatan berwarna
biru. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
66
No.6355/Dirjen/SK/69 tanggal 5 November 1975 ada tanda peringatan
P. No. 1 sampai P. No. 6 dan harus ditandai dengan etiket atau brosur yang
menyebutkan nama obat yang bersangkutan, daftar bahan berkhasiat serta
jumlah yang digunakan, nomor batch, tanggal kadaluarsa, nomor registrasi,
nama dan alamat produsen, petunjuk penggunaan, indikasi, cara pemakaian,
peringatan serta kontra indikasi. Contoh : Promag, Dulcolax, Methicol dan
lain-lain (14).
Gambar III.3. Penandaan Obat Bebas Terbatas
Gambar III.4. Penandaan Peringatan Obat
3. Obat Keras
Obat keras adalah obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep dokter,
dimana pada bungkus luarnya diberi tanda bulatan dengan lingkaran hitam
dengan dasar merah yang didalamnya terdapat huruf “K” yang menyentuh
garis tepi.
67
Obat yang masuk ke dalam golongan obat keras digunakan secara
parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain
dengan jalan merobek jaringan, obat baru yang belum tercantum dalam
kompendial/farmakope terbaru yang berlaku di Indonesia serta obat-obat
yang ditetapkan sebagai obat keras melalui Kepmenkes RI. Contoh :
amoksisilin, Captopril, Erithromycin dan lain-lain.
Gambar III.5. Penandaan Obat Keras
4. Obat Narkotika dan Psikotropika
Definisi menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika dibagi 3 golongan yaitu :
a. Narkotika golongan 1
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai
potensi yang sangat tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh :
ganja, papaver somniverum, cocain (Erythroxylon coca), opium
mentah, opium masak, heroin, Etorfin, dan lain-lain.
b. Narkotika golongan II
Narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan digunakan dalam pilihan
terakhir dan akan digunakan dalam terapi atau buat pengembangan ilmu
pengetahuan serta memiliki potensi tinggi menimbulkan
ketergantungan. Contoh : fentamil, morfin, petidin, tebaina, tebakon,
ekgonina, dan lain-lain.
68
c. Narkotika golongan III
Narkotika yang digunakan dalam terapi/pengobatan dan untuk
pengembangan pengetahuan serta menimbulkan potensi ringan serta
mengakibatkan ketergantungan. Contoh : etil morfin, codein, propiran,
nikokodina, polkodina, norkodeina, dan lain-lain.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan :
a. Psikotropika golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
lisergida dan meskalina.
b. Psikotropika golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan digunakan dalam terapi, dan
atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : amfetamin dan
metamfetamin.
c. Psikotropika golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi, dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
amobarbital, pentobarbital dan pentazonia.
d. Psikotropika golingan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan
dalam terapi, dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
barbital, alprazolam dan diazepam.
Psikotropika termasuk dalam golongan obat keras, sehingga dalam
kemasannya memiliki tanda yang sama dengan obat keras. Sedangkan
69
obat narkotika memiliki tanda berupa lambang medali berwarna merah
(8, 13).
Gambar III.6. Penandaan Obat Narkotika
Gambar III.7. Penandaan Obat Psikotropika
5. Obat Wajib Apotek (OWA)
Menurut Kepmenkes RI No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat
Wajib Apotek, menerangkan bahwa obat wajib apotek (OWA) adalah obat
keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker kepada pasien
di apotek.
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria :
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak
dibawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko
pada kelanjutan penyakit.
c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri (15).
Contoh : Omeprazole, Piroxicam, Prednisolone, Scopolamin, Ibuprofen
dan sebagainya.
70
6. Obat Generik
Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan dalam
Farmakope Indonesia dan Internasional Non Proprietary Name (INN)
WHO untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik dapat juga
merupakan obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi
oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalty. Ada dua
jenis obat generik yaitu obat generik bermerek dagang dan obat generik
berlogo yang dipasarkan dengan merek kandungan zat aktifnya.
Berdasarkan PerMenkes RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 pasal 7
tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Pemerintah disebutkan bahwa apoteker dapat mengganti obat
merek dagang/obat paten dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau
pasien (16).
Gambar III.8. Penandaan Obat Generik
E. Pelayanan (Service)
Apotek adalah tempat dilaksanakannya pelayanan kefarmasian baik oleh
apoteker maupun asisten apoteker, atau petugas apotek lainnya terutama yang
berada di front liner yang berinteraksi langsung dengan pasien. Oleh karena itu,
apotek perlu memperhatikan kualitas pelayanan baik pelayanan kefarmasian
maupun pelayanan lain seperti pelayanan yang cepat, tepat dan ramah,
kelengkapan produk, tempat parkir yang memadai, keamanan, kenyamanan,
penampilan petugas, dan lain-lain. Selain itu, dengan adanya situasi persaingan
apotek yang semakin ketat, maka kualitas pelayanan yang bermutu merupakan
salah satu strategi yang cukup ampuh dalam meningkatkan pangsa pasar.
71
Menurut A. Parasuraman, V.A. Zethami dan L.L. Berry ada lima dimensi yang
digunakan oleh pelanggan dalam menilai suatu kualitas pelayanan :
1. Reliability (kehandalan)
Suatu kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan dengan akurat dan
terpercaya, kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan seperti ketepatan
waktu dan tanpa kesalahan.
2. Assurance (jaminan/kepastian)
Pengetahuan dan keramahan karyawan serta kemampuan melaksanakan tugas
secara spontan yang dapat menjamin kinerja yang baik sehingga
menimbulkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan.
3. Tangibles (berwujud/kasat mata)
Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik harus dapat
diandalkan, keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan
yang diberikan oleh pemberi jasa, seperti gedung yang bagus, peralatan
komputer yang canggih dan seragam karyawan-karyawati yang menarik.
4. Empathy (empati)
Memberikan perhatian yang bersifat individual atau pribadi kepada
pelanggan dan berusaha memahami keinginan pelanggan.
5. Responsiveness (ketanggapan)
Suatu kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat
kepada pelanggan, membiarkan pelanggan menunggu tanpa adanya suatu
alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas
pelayanan, kemampuan untuk mengatasi hal tersebut secara profesional dapat
memberikan persepsi yang positif terhadap kualitas pelayanan.
Untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan, ada beberapa aspek pelayanan yang
harus dievaluasi, antara lain :
1. Tangibles (berwujud/kasat mata)
a. Penampilan apotek, tampak muka, lay out, furniture.
b. Penataan obat, kebersihan.
c. Penampilan karyawan apotek.
72
2. Pemahaman terhadap pelanggan
a. Memberikan perhatian.
b. Mengenal pelanggan.
3. Keamanan
a. Perasaan aman di area parkir.
b. Terjaganya rahasia transaksi.
4. Kredibilitas
a. Reputasi menjalankan komitmen.
b. Dipercaya karyawan.
c. Garansi yang diberikan.
d. Kebijakan pengembalian barang.
5. Informasi yang diberikan ke pelanggan
a. Menjelaskan pelayanan dan biaya.
b. Jaminan penyelesaian masalah.
6. Perilaku yang sopan
a. Karyawan yang ramah.
b. Penuh penghargaan.
c. Menunjukkan sikap perhatian.
7. Akses
a. Kemudahan dalam bertransaksi.
b. Waktu buka apotek yang sesuai.
c. Keberadaan manager untuk menyelesaikan masalah.
8. Kompetensi/kecakapan
a. Pengetahuan dan keterampilan dari karyawan.
b. Terjawabnya setiap pertanyaan pelanggan.
9. Responsiveness atau cara menanggapi
a. Memenuhi panggilan pelanggan.
b. Memberikan pelayanan yang tepat waktu.
10. Reliability/dapat diandalkan
a. Keakuratan dalam pelayanan.
b. Keakuratan bon pembelian.
73
Apotek yang selalu fokus dalam memberikan pelayanan yang bermutu kepada
pelanggan akan banyak memetik manfaat antara lain sebagai berikut :
1. Menjadikan berbeda dari pesaing.
2. Memperbaiki citra di mata pelanggan.
3. Meningkatkan keuntungan.
4. Meningkatkan kepuasan dan mempertahankan pelanggan.
5. Menghasilkan dukungan yang maksimal untuk apotek.
6. Meningkatkan reputasi.
7. Memastikan produk dan jasa yang ditawarkan tepat sasaran.
8. Meningkatkan semangat karyawan.
9. Meningkatkan kepuasan dan membuat karyawan puas bekerja di apotek.
10. Meningkatkan produktivitas.
11. Mengurangi biaya.
12. Menciptakan reputasi sebagai apotek yang peduli dan berorientasi kepada
pelanggan.
13. Memperluas hubungan dengan pemasok.
14. Menyebabkan terjadinya perbaikan pada operasional apotek secara
berkesinambungan (17).
F. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)
Farmasi sebagai salah satu aspek dalam pelayanan kesehatan telah mengalami
perkembangan paradigma, yaitu dari berorientasi terhadap produk/obat menjadi
orientasi kepada pasien berdasarkan pada nilai-nilai asuhan kefarmasian. Asuhan
kefarmasian adalah tanggung jawab atau kompetensi dari seorang Apoteker
untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan kehidupan pasien. Hal ini menuntut
Apoteker untuk menciptakan hubungan yang baik antara pasien, sesama
Apoteker dan dengan profesi kesehatan lain.
Seorang Apoteker dalam menjalankan kegiatan profesinya banyak
berhubungan dengan orang lain baik pasien, rekan seprofesi, dokter, perawat,
dan tenaga kesehatan lainnya. Kemampuan dan keterampilan berkomunikasi
yang efektif sangat diperlukan oleh seorang Apoteker yang profesional.
74
Kurangnya komunikasi secara efektif dapat menyebabkan timbulnya
permasalahan. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik maka memerlukan
usaha, waktu, serta kemauan untuk belajar dengan membuat suatu proses
menjadi efektif.
Komunikasi merupakan pembentukan pesan dari pemikiran, perasaan,
perilaku pengirim (sender) atau penyampaian pesan kepada penerima (receiver)
yang kemudian ada reaksi dari penerima. Komunikasi dapat dikatakan sempurna
apabila pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan dapat diterima dan
dimengerti dengan jelas oleh penerima pesan. Informasi disampaikan melalui
media agar dapat diterima dan dimengerti oleh orang lain sesuai dengan maksud
pesan atau informasi tersebut. Media merupakan alat yang digunakan untuk
mempermudah suatu komunikasi. Media yang tepat akan memberikan informasi
atau pesan yang ingin disampaikan oleh seorang pengirim pesan.
Salah satu implementasi dari komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)
adalah kegiatan konseling. Konseling merupakan suatu proses yang sistematik
untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pasien yang berkaitan
dengan pengambilan dan penggunaan obat. Konseling dilakukan untuk
mengoptimalkan hasil terapi obat dan tercapainya tujuan dari terapi obat dengan
cara membina hubungan dan menumbuhkan kepercayaan, perhatian, dan
kepedulian terhadap pasien serta mencegah dan mengurangi terjadinya efek
samping obat,toksisitas, resistensi antibiotika, dan ketidakpatuhan pasien.
G. Swamedikasi
Swamedikasi (Self Medication) merupakan suatu bentuk pengobatan mandiri
yang dilakukan oleh masyarakat, tanpa melalui dokter. Biasanya swamedikasi
dilakukan untuk mengatasi gangguan kesehatan ringan mulai dari batuk, pilek,
demam, sakit kepala, maag, gatal-gatal hingga iritasi ringan pada mata.
Beberapa hal yang melatarbelakangi berkembangnya swamedikasi di
kalangan masyarakat saat ini, yaitu meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan
tersedianya obat-obatan menyebabkan sebagian masyarakat berinisiatif
mengobati dirinya sendiri tanpa melalui konsultasi dengan dokter.
75
Peran Apoteker dalam swamedikasi
Banyaknya obat yang beredar saat ini dapat membingungkan masyarakat dalam
memilih obat yang tepat dan aman. Masyarakat sebagai konsumen memerlukan
bantuan dalam membuat keputusan terhadap swamedikasi yang dilakukan.
Apoteker adalah profesi yang ideal dalam membantu masyarakat memilih obat
yang aman dan efektif dalam mengobati penyakit yang diderita.
Upaya swamedikasi oleh apoteker harus tetap memperhatikan prinsip
penggunaan obat yang rasional dengan memperhatikan ketepatan indikasi
penyakit, pemilihan obat, dosis, cara pakai, lama penggunaan, dan kondisi
pasien.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam swamedikasi oleh
seorang Apoteker, yaitu
1. Membaca informasi yang tertera pada kemasan atau brosur yang meliputi
komposisi obat, indikasi, kontra indikasi, interaksi obat, efek samping, dosis
dan cara penggunaan.
2. Obat yang dipilih memiliki jenis kandungan zat aktif sesuai penyakit yang
diderita.
3. Penggunaan obat swamedikasi hanya untuk jangka pendek, jika penyakit
tidak membaik setelah beberapa hari penggunaan obat tersebut, maka
sebaiknya konsultasikan ke dokter.
4. Memperhatikan aturan pakai obat serta berapa jumlah yang diperlukan.
5. Perlu diperhatikan juga tentang masalah kontra indikasi dan cara
penyimpanan obat.
Dalam melakukan kegiatan swamedikasi tidaklah selalu berjalan dengan
lancar. Terdapat beberapa kendala yang timbul pada saat memberikan pelayanan
swamedikasi, yaitu:
1. Kendala yang berasal dari pasien, yaitu perasaan malu, marah, sedih, takut
dan ragu-ragu. Hal ini dapat diatasi dengan sikap empati, mencari sumber
timbulnya masalah tersebut dan tetap bersikap terbuka dan siap membantu.
76
2. Kendala yang berasal dari latar belakang pendidikan, budaya dan bahasa.
Kendala ini dapat diatasi dengan menggunakan istilah yang mudah
dimengerti.
3. Kendala yang berasal dari fisik dan mental. Kendala ini dapat diatasi dengan
upaya menggunakan alat bantu.
4. Kendala yang berasal dari Apoteker dapat berupa menunjukkan sikap yang
kurang perhatian, cara berbicara yang tidak sesuai, mendominasi
percakapan, menggunakan istilah yang sulit dimengerti oleh pasien, sikap
dan gerak tubuh yang mengganggu konsentrasi pasien.
5. Kendala yang berasal dari lingkungan sekitar tempat swamedikasi
berlangsung misalnya dilakukan di tempat terbuka, suasana yang berisik dan
adanya pihak ketiga yang ikut mendengarkan.
Persiapan yang matang diperlukan agar Apoteker dapat mengembangkan
swamedikasi menjadi keunggulan dari pelayanan Apotek yaitu dengan
menyediakan obat serta informasi yang memadai untuk keperluan swamedikasi.
(17).
H. Good Pharmacy Practices ( GPP)
Good pharmacy practice merupakan suatu pedoman untuk menjamin bahwa
pelayanan yang diberikan farmasis kepada setiap pasien telah memenuhi kualitas
yang tepat. Dengan adanya pedoman tersebut, masyarakat diharapkan dapat
menggunakan obat-obatan dan produk serta jasa kesehatan dengan lebih tepat
yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan terapi yang diharapkan.
Adanya konsep Pharmaceutical Care merupakan filosofi yang sangat
identik dengan konsep Good Pharmacy Practice (GPP), sehingga dapat
dikatakan bahwa GPP merupakan suatu cara untuk menerapkan Pharmaceutical
Care.
Standar Good Pharmacy Practice sebagai pedoman pengelolaan farmasi
diantaranya:
77
1. Bangunan
Tujuan: menjamin tersedianya bangunan yang cukup dan memenuhi syarat
dalam penyediaan layanan.
2. Penyiapan obat
Tujuan: menjamin bahwa pasien menerima obat dengan dosis, jenis nama
dan bentuk obat yang tepat.
3. Wadah obat
Tujuan: menjamin integritas produk.
4. Label atau etiket obat
Tujuan: menjamin obat yang diterima benar untuk apa dan siapa yang
menerima.
5. Instruksi pada pasien
Tujuan: mengetahui bahwa obat digunakan dengan benar dan sesuai
petunjuk atau instruksi, kapan dan bagaimana obat harus digunakan.
6. Pencatatan pengobatan pasien
Tujuan: pasien mengetahui bahwa obat diminum secara terus menerus,
frekuensi, waktu minum yang tepat dalam bentuk sediaan yang tepat serta
kapan kembali ke dokter.
7. Informasi obat dan konseling
Tujuan: memberikan pemahaman pasien tentang kegunaan obat, efek
samping yang mungkin terjadi, cara penggunaan, apa yang perlu di hindari
dan cara penyimpanannya.
8. Swamedikasi dan self care
Tujuan: pasien mengetahui cara pencegahan sakit, meningkatkan kesehatan
melalui self care dan self medication.
9. Produk
Tujuan: menjamin kualitas, keamanan dan khasiat obat yang diterima pasien
(17).