08. BAB III

39
39 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Peraturan Perundang-Undangan Perizinan Apotek 1. Pengertian Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker. Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian juga meliputi dalam pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran sediaan farmasi, dan pelayanan dalam sediaan farmasi (2). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MenKes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang RI No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik (1,3). Apotek merupakan sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang wajib menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di apotek merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker

Transcript of 08. BAB III

39

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan Perizinan Apotek

1. Pengertian

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu sarana pelayanan

kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker.

Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan

dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas

resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat

dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian juga meliputi dalam pengadaan

sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran sediaan

farmasi, dan pelayanan dalam sediaan farmasi (2).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan

No.1027/MenKes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu

dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan

kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang RI No.36

tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan perbekalan kesehatan

adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan

upaya kesehatan. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat,

obat tradisional dan kosmetik (1,3).

Apotek merupakan sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang wajib

menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang

bermutu baik. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di apotek

merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker

40

dalam melakukan pekerjaan kefarmasiannya untuk meningkatkan kualitas

hidup pasien.

2. Landasan Hukum Apotek

Apotek merupakan satu diantara sarana pelayanan kesehatan masyarakat

yang diatur dalam

a. Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

b. Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

c. Undang-undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

d. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian.

e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin

Kerja Tenaga Kefarmasian.

f. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti Apoteker,

yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan

No.184/MENKES/PER/II/1995.

g. Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP

No.26 Tahun 1965 mengenai Apotek.

h. Peraturan Menteri Kesehatan No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

i. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/

SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan

dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

j. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian

di Apotek.

41

3. Persyaratan Apotek

Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apoteker

(SIA). Surat Izin Apoteker (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja

sama dengan pemilik sarana apotek untuk menyelenggarakan pelayanan

apotek disuatu tempat tertentu. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002, disebutkan bahwa

persyaratan-persyaratan apotek adalah

a. Untuk mendapat izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama

dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap

dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan

farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.

b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan

komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.

c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain diluar

sediaan farmasi (4).

Persyaratan lain yang harus diperhatikan untuk mendirikan suatu apotek,

antara lain:

a. Tenaga Kerja/Personalia Apotek

Menurut Permenkes No. 889 tahun 2011, Tenaga Kefarmasian adalah

tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas Apoteker

dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang

telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpat jabatan

Apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu

Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas

Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga

Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1332/MENKES/SK/X/2002, personil apotek terdiri dari:

1) Apoteker Pengelola Apotek (APA), yaitu Apoteker yang telah memiliki

Surat Izin Apotek (SIA).

42

2) Apoteker Pendamping adalah Apoteker yang bekerja di Apotek di

samping APA dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari

buka Apotek.

3) Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA selama

APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus-

menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak

sebagai APA di Apotek lain.

4) Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan

kefarmasian sebagai Asisten Apoteker.

Sedangkan tenaga lainnya yang diperlukan untuk mendukung kegiatan di

apotek terdiri dari:

1) Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan Asisten Apoteker.

2) Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat penerimaan

dan pengeluaran uang.

3) Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi

apotek dan membuat laporan pembeian, penjualan, penyimpanan dan

keuangan apotek (4).

b. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA)

Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian

wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat

izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan

kefarmasian;

2) SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;

3) SIK bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas

produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran (2).

43

Gambar III.1. Alur Perizinan Praktek Apoteker

Untuk memperoleh SIPA sesuai dengan PP RI No. 51 tahun 2009 tentang

Pekerjaan Kefarmasian, seorang Apoteker harus memiliki Surat Tanda

Registrasi Apoteker (STRA). STRA ini dapat diperoleh jika seorang

apoteker memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Memiliki Ijazah Apoteker.

2) Memiliki sertifikat kompentensi apoteker.

3) Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah dan janji apoteker.

4) Surat sehat fisik dan mental dari dokter yang mempunyai surat izin

praktek.

5) Surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan etika profesi.

c. Lokasi

Menurut PerMenKes RI No. 922/MenKes/PER/X/1993, lokasi apotek

tidak lagi ditentukan harus memiliki jarak minimal dari apotek lain dan

(Ka DinKes Kabupaten/Kota)

Diberikan Oleh

Menteri melalui

Komite Farmasi

Nasional ( KFN )

44

sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan

pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi, namun sebaiknya

harus mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan,

jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan, lingkungan

yang higienis, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat banyak

dengan kendaraan dan faktor-faktor lainnya (5).

d. Bangunan dan kelengkapannya

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.922/Menkes/Per/X/1993, luas apotek tidak diatur lagi, namun harus

memenuhi persyaratan teknis, sehingga kelancaran pelaksanaan tugas dan

fungsi serta kegiatan pemeliharaan perbekalan farmasi dapat terjamin (5).

Persyaratan teknis apotek adalah bangunan apotek setidaknya terdiri dari:

1) Ruang tunggu pasien.

2) Ruang peracikan dan penyerahan obat.

3) Ruang administrasi.

4) Ruang penyimpanan obat.

5) Ruang tempat pencucian alat.

6) Kamar kecil (WC).

Selain itu bangunan apotek harus dilengkapi dengan:

1) Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan.

2) Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas

dan fungsi apotek.

3) Alat pemadam kebakaran minimal dua buah yang masih berfungsi

dengan baik.

4) Ventilasi dan sistem sanitasi yang memenuhi persyaratan hygiene

lainnya.

5) Papan nama apotek, yang memuat nama apotek, nama APA, nomor

Surat Izin Apotek (SIA), alamat apotek dan nomor telpon apotek (bila

ada). Papan nama apotek dibuat dengan ukuran minimal panjang 60

cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam diatas dasar putih dengan tinggi

huruf minimal 5 cm dan tebal 5 cm.

45

e. Perlengkapan apotek

Perlengkapan yang wajib dimiliki oleh apotek adalah

1) Alat pembuatan, pengelolaan, peracikan obat, seperti: timbangan,

mortir, gelas piala dan sebagainya.

2) Wadah untuk bahan pengemas dan bahan pembungkus, seperti: etiket,

wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat.

3) Perlengkapan dan tempat penyimpanan perbekalan farmasi seperti

lemari dan rak untuk penyimpanan obat, lemari pendingin, lemari untuk

penyimpanan narkotika dan psikotropika.

4) Alat administrasi seperti blanko pemesanan obat, kartu stok obat, faktur,

nota penjualan, salinan resep, alat tulis dan sebagainya.

5) Pustaka, seperti Farmakope edisi terbaru dan kumpulan peraturan

perundang-undangan serta buku-buku penunjang lain yang berhubungan

dengan apotek.

Dalam lampiran KepMenKes No. 1322 tahun 2002 tentang Berita Acara

Pemeriksaan Apotek, dituliskan tentang perincian hal yang diperiksa dan

persyaratan yang harus dipenuhi, yakni :

1) Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan

a) Timbangan miligram dengan anak timbangan yang sudah ditara

minimal 1 set.

b) Timbangan gram dengan anak timbangan yang sudah ditara minimal

1 set.

c) Perlengkapan lain disesuaikan dengan kebutuhan.

2) Perlengkapan dan alat perbekalan farmasi

a) Lemari dan rak untuk menyimpan obat.

b) Lemari pendingin.

c) Lemari untuk penyimpanan narkotika dan psikotropik.

3) Wadah pengemas dan pembungkus

a) Etiket.

b) Wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat.

46

4) Alat administrasi

a) Blanko pesanan obat.

b) Blanko kartu stok obat.

c) Blanko salinan resep.

d) Blanko faktur dan blanko nota penjualan.

e) Buku pencatatan narkotika.

f) Buku pesanan obat narkotika.

g) Form laporan obat narkotika.

5) Buku acuan

a) Buku standar yang diwajibkan yakni Farmakope Indonesia edisi

terbaru 1 buah.

b) Kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan apotek (4).

Persyaratan ini kemudian dilengkapi dengan KepMenKes No. 1027 tahun

2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yaitu:

1) Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh

masyarakat.

2) Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata

Apotek.

3) Apotek harus dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat.

4) Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari

aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk

menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko

kesalahan penyerahan.

5) Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker

untuk memperoleh informasi dan konseling.

6) Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya, apotek harus bebas dari

hewan pengerat, serangga.

7) Apotek mempunyai suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari

pendingin.

47

8) Apotek harus memiliki

a) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.

b) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk

penempatan brosur/materi informasi.

c) Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi

dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan

medikasi pasien.

d) Ruang peracikan.

e) Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.

9) Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak

penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun rapi, terlindung

dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada

kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan (1).

4. Tugas dan Fungsi Apotek

Berdasarkan PP RI No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 26 tahun 1965 tentang Apotek, tugas dan fungsi apotek

adalah

a. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah

mengucapkan sumpah jabatan.

b. Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya kegiatan peracikan,

pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. Sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan

obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.

d. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya

kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan

pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat (6).

48

5. Permohonan Perizinan Apotek

Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian

wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat

izin sebagaimana dimaksud berupa:

1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan

kefarmasian.

2) SIPA bagi apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian.

3) SIK bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas

produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran, atau

4) SIKTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan

kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.

SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan

kefarmasian atau SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas

kefarmasian. Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan

kefarmasian berupa puskesmas dapat menjadi apoteker pendamping di luar

jam kerja. SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan paling banyak 3

(tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. SIKTTK dapat diberikan

untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas kefarmasian. SIPA, SIK, atau

SITTK dapat dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. SIPA, SIK, atau SIKTTK masih

tetap berlaku sepanjang STRA/STRTTK masih berlaku dan tempat

praktek/bekerja masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPA, SIK, atau

SIKTTK (5).

Dalam mendirikan apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek

(SIA) yaitu surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana

apotek untuk mendirikan apotek di suatu tempat tertentu. Wewenang

pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes Kabupaten/Kota). Kepala Dinkes

Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan

izin, pencairan izin dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada

49

Menteri Kesehatan dan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.

Selanjutnya, Kepala Dinas Kesehatan wajib melaporkan kepada Badan

Pengawasan Obat dan Makanan. Sesuai dengan Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian

Izin Apotek adalah

1) Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.

2) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam)

hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis

kepada Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) untuk

melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotek untuk melakukan

kegiatan.

3) Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-

lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan

setempat.

4) Dalam hal pemeriksaaan tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat

membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala

Dinas Propinsi.

5) Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan

pemeriksaan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat

mengeluarkan SIA.

6) Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau

Kepala Balai POM masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari

kerja mengeluarkan Surat Penundaan.

50

7) Dalam Surat Penundaan, Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi

persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka

waktu satu bulan sejak tanggal Surat Penundaan.

8) Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi

persyaratan Apoteker Pengelola Apotek dan atau persyaratan apotek, atau

lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-

lambatnya dua belas hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan

disertai dengan alasan-alasannya.

Bila Apoteker menggunakan sarana milik pihak lain, yaitu mengadakan

kerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek, maka harus memenuhi ketentuan

sebagai berikut:

1) Pengguna sarana yang dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian kerja

sama antara apoteker dan pemilik sarana.

2) Pemilik sarana yang dimaksud, harus memenuhi persyaratan tidak pernah

terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat

sebagaimana dinyatakan dalam Surat Pernyataan yang bersangkutan

(4,5).

6. Pencabutan Izin Apotek

Setiap apotek harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.1332/Menkes/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan dapat mencabut

surat izin apotek apabila:

a. Apoteker yang sudah tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan sebagai

apoteker pengelola apotek.

b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan, menyimpan

dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin

keabsahannya serta tidak memenuhi kewajiban dalam memusnahkan

perbekalan farmasi yang tidak dapat digunakan lagi atau dilarang

51

digunakan dan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan

obat paten.

c. Apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2

tahun secara terus-menerus.

d. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan

mengenai narkotika, obat keras, psikotropika serta ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

e. Surat izin kerja apoteker pengelola apotek dicabut.

f. Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-

undangan dibidang obat.

g. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.

Pelaksanaan pencabutan izin apotek dapat dilaksanakan setelah

dikeluarkannya:

a. Peringatan tertulis kepada apoteker pengelola apotek sebanyak 3 kali

berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 bulan.

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan

sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan di apotek.

Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek telah

membuktikan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Hal ini dilakukan setelah Kepala Balai POM setempat

melakukan pemeriksaan.

Keputusan pencabutan surat izin apotek dilakukan oleh Kepala Dinas

Kesehatan/Kota disampaikan langsung kepada apoteker pengelola apotek

dengan tembusan kepada Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi

setempat serta Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat.

Apabila surat izin apotek dicabut, apoteker pengelola apotek atau apoteker

pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasinya. Pengamanan

tersebut dilakukan dengan tata cara sebgai berikut:

a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras

tertentu dan obat lainnya dan seluruh resep yang tersisa di apotek.

52

b. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang

tertutup dan terkunci.

c. Apoteker pengelola apotek wajib melaporkan kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota atau petugas yang diberi wewenang tentang

penghentian kegiatan disertai laporan inventaris yang dimaksud di atas

(4).

7. Pelayanan Apotek

Pelayanan merupakan kegiatan atau keuntungan yang dapat ditawarkan

oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat tidak kasat

mata dan tidak berujung pada kepemilikan. Dengan semakin meningkatnya

persaingan pasar banyak perusahaan mengembangkan strategi jitu dalam

memberikan pelayanan kepada pelanggan, salah satunya adalah dengan

memberikan pelayanan prima yaitu jika perlakuan yang diterima oleh

pelanggan lebih baik daripada yang diharapkan, maka hal tersebut dianggap

merupakan pelayanan yang bermutu tinggi. Supaya pelayanan prima dapat

selalu diwujudkan suatu perusahaan dalam hal ini adalah apotek, maka

perlu ditetapkan standar pelayanan farmasi di apotek.

Tujuan dari standar pelayanan antara lain :

a. Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional.

b. Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar.

c. Pedoman dalam pengawasan praktek apoteker.

d. Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek.

Peraturan yang mengatur tentang Pelayanan Apotek adalah KepMenkes RI

Nomor 1027/MENKES/SK/2004 meliputi :

a. Pelayanan resep

1) Skrining resep

a) Persyaratan administratif, seperti nama, SIK dan alamat dokter;

tanggal penulisan resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan

berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis, jumlah yang

diminta, cara pemakaian yang jelas, informasi lainnya.

53

b) Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi,

stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

c) Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,

kesesuaian dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain.

2) Penyiapan obat

Peracikan yang merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang,

mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah.

a) Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

b) Kemasan obat yang diserahkan harus rapi dan cocok sehingga

terjaga kualitasnya.

c) Penyerahan obat pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir

terhadap kesesuaian antara jumlah obat dengan resep dan

penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian

informasi obat kepada pasien.

d) Apoteker memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah di

mengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.

Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara

pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu

pengobatan, aktivitas yang harus dilakukan dan dihindari serta

makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

e) Apoteker harus memberikan konseling kepada pasien sehingga

dapat memperbaiki kualitas hidup pasien. Konseling terutama

ditujukan untuk pasien penyakit kronis (hipertensi, diabetes

melitus, TBC, asma, dan lain-lain).

f) Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus

melaksanakan pemantauan penggunaan obat.

b. Promosi dan edukasi

Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang ingin

melakukan upaya pengobatan diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit

yang ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus

berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan ini. Apoteker ikut membantu

54

diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur,

poster, penyuluhan dan lain-lain.

c. Pelayanan residensial (home care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan

pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya

untuk kelompok lansia dan pasien dengan penyakit kronis. Untuk

kegiatan ini, apoteker harus membuat catatan pengobatan pasien

(Patient Medication Record) (1).

8. Pelanggaran Apotek

Berdasarkan berat ringannya pelanggaran, maka pelanggaran di apotek

dapat dikategorikan dalam dua macam. Kegiatan yang termasuk

pelanggaran berat di apotek meliputi:

a. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi.

b. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpanan obat palsu atau gelap.

c. Pindah alamat apotek tanpa izin.

d. Menjual narkotika tanpa resep dokter .

e. Kerjasama dengan PBF dalam menyalurkan obat kepada pihak yang

tidak berhak dalam jumlah besar.

f. Tidak menunjuk apoteker pendamping atau apoteker pengganti pada

waktu APA keluar daerah.

Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan apotek meliputi:

a. Tidak menunjuk Apoteker pendamping pada waktu APA tidak bisa hadir

pada jam buka apotek (apotek yang buka 24 jam).

b. Mengubah denah apotek tanpa izin.

c. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak.

d. Melayani resep yang tidak jelas dokternya.

e. Menyimpan obat rusak, tidak mepunyai penandaan atau belum

dimusnahkan.

f. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada.

g. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh apoteker.

55

h. Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain.

i. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat.

j. Resep narkotika tidak dipisahkan.

k. Buku narkotika tidak diisi atau tidak dapat dilihat atau diperiksa.

l. Tidak mempunyai atau mengisi kartu stok hingga tidak dapat diketahui

dengan jelas asal usul obat tersebut.

Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat

dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi

administratif yang diberikan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1332/MENKES/SK/X/2002 dan Permenkes No.922/MENKES/PER/X/1993

adalah

a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara 3 kali berturut-turut dengan

tenggang waktu masing-masing 2 bulan.

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan

sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan

pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Menteri Kesehatan dan Kepala

Dinas Kesehatan Propinsi setempat. Pembekuan izin apotek tersebut

dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat membuktikan

bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri

Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.

Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila

terdapat pelanggaran terhadap:

a. Undang-Undang Obat Keras (St.1937 No.541).

b. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

c. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika (4,5).

9. Apoteker Pengelola Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1332/Menkes/SK/X/2002 tentang perubahan atas Peraturan Menteri

56

Kesehatan Republik Indonesia No.922/Menkes/Per/X/1993 tentang

ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek pada pasal 1 dijelaskan bahwa

APA adalah seorang apoteker yang telah diberikan Surat Izin Apotek (SIA)

(4).

Apoteker Pengelola Apotek (APA) berkewajiban menyediakan dan

memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu

berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam

situasi multidisipliner, kemampuan mengelola Sumber Daya Manusia

(SDM) secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu

memberi pendidikan serta memberi peluang untuk meningkatkan

pengetahuan. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi apoteker

pengelola apotek berdasarkan PerMenkes RI No.184/Menkes/Per/II/1995

adalah

a. Ijazah telah terdaftar pada Departemen Kesehatan.

b. Telah mengucapkan sumpah atau janji sebagai Apoteker.

c. Memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dari Menteri Kesehatan.

d. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan

tugasnya sebagai Apoteker.

e. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi APA di

apotek lain (7).

Seorang APA bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup

apotek yang dipimpinnya, juga bertanggung jawab kepada pemilik modal

jika bekerja sama dengan pemilik sarana apotek. Fungsi dan tugas apoteker

di Apotek adalah:

a. Membuat visi dan misi.

b. Membuat tujuan, strategi dan program kerja.

c. Membuat dan menetapkan peraturan atau Standar Operasional Prosedur

(SOP) pada setiap fungsi kegiatan apotek.

d. Membuat dan menentukan indikator form record pada setiap fungsi

kegiatan apotek.

57

e. Membuat sistem pengawasan dan pengendalian SOP dan program kerja

pada setiap fungsi diapotek.

Sedangkan wewenang dan tanggungjawab apoteker di apotek adalah:

a. Menentukan arah terhadap seluruh kegiatan.

b. Menentukan sistem atau peraturan yang akan digunakan.

c. Mengawasi pelaksanaan SOP dan program kerja.

d. Bertanggungjawab terhadap kinerja yang diperoleh.

Pengelolaan apotek oleh APA ada dua bentuk, yaitu pengelolaan

bisnis (non teknis kefarmasian) dan pengelolaan di bidang pelayanan

(teknis kefarmasian), maka untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan

sukses seorang APA harus melakukan kegiatan sebagai berikut:

a. Memastikan bahwa jumlah dan jenis produk yang dibutuhkan

senantiasa tersedia dan diserahkan kepada yang membutuhkan.

b. Menata apotek sedemikian rupa sehingga berkesan bahwa apotek

menyediakan berbagai obat dan perbekalan kesehatan lain secara

lengkap.

c. Menetapkan harga jual produknya dengan harga bersaing.

d. Mempromosikan usaha apoteknya melalui berbagai upaya.

e. Mengelola apotek sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan.

f. Mengupayakan agar pelayanan di apotek dapat berkembang dengan

cepat, nyaman dan ekonomis.

Selain APA dikenal pula Apoteker Pendamping dan Apoteker

Pengganti. Apoteker Pendamping adalah Apoteker yang bekerja di apotek

dan atau menggantikan APA pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.

Apabila APA berhalangan karena hal-hal tertentu dalam melakukan

tugasnya, APA dapat menunjuk Apoteker Pengganti.

58

B. Kegiatan Teknis Kefarmasian

Pengelolaan teknis kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan

perbekalan kesehatan lainnya yang meliputi kegiatan:

1. Pengadaan

Pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai peraturan

perundang-undangan.

2. Penyimpanan

a. Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam

hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain,

maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang

jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat,

nomor bets, dan tanggal kadaluarsa.

b. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan

menjamin kestabilan bahan (1).

3. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu

memperhatikan:

a) pola penyakit,

b) kemampuan masyarakat,

c) budaya masyarakat, dan

d) Pola penulisan resep oleh dokter sekitar.

4. Pengelolaan Narkotik

Berdasarkan Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika, narkotika

dapat didefinisikan sebagai suatu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

59

Narkotika sangatlah bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan

pelayanan kesehatan serta pengembangan ilmu pengetahuan, namun dapat

menimbulkan ketergantungan yang dapat merugikan pemakai apabila

dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.

Narkotika sering digunakan dengan cara maupun tujuan yang salah. Oleh

karena itu, perlunya diadakan pengawasan terhadap penggunaan narkotika

yang meliputi pembelian, penyimpanan, penjualan, administrasi serta

penyampaian laporannya (8).

Dalam rangka mempermudah pengawasan penggunaan Narkotika di

wilayah Indonesia maka Pemerintah menetapkan PT. Kimia Farma sebagai

satu-satunya perusahaan yang diizinkan untuk memproduksi, mengimpor dan

mendistribusikan narkotika di Indonesia (9).

Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan:

a. Pemesanan narkotika.

Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan oleh Pedagang Besar Farmasi

(PBF) Kimia Farma. Pesanan narkotika bagi apotek ditandatangani oleh

APA dengan menggunakan surat pesanan rangkap empat, dimana tiap jenis

pemesanan narkotika menggunakan satu surat pesanan yang dilengkapi

dengan nomor SIK apoteker dan stempel apotek (10).

b. Penyimpanan narkotika

Narkotika yang berada di apotek wajib disimpan secara khusus sesuai

dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam UU No.

35 tahun 2009 pasal 14 ayat (1). Adapun tata cara penyimpanan narkotika

diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 28/MENKES/PER/1978

pasal 5, yaitu apotek harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan

narkotika. Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

1) Harus seluruhnya terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat.

2) Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.

3) Dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing bagian dengan kunci yang

berlainan. Bagian pertama digunakan untuk menyimpan morfin, petidin

60

dan garam-garamnya serta persediaan narkotika, sedangkan bagian

kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai

sehari-hari.

4) Apabila tempat tersebut berukuran 40 x 80 x 100 cm, maka lemari

tersebut harus dibuat pada tembok dan lantai.

Selain itu pada pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan

No.28/Menkes/Per/I/1978 dinyatakan bahwa:

1) Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Menteri

Kesehatan No.28/Menkes/Per/1978 dan harus dikunci dengan baik.

2) Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang

lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.

3) Anak kunci lemari khusus dikuasai oleh penanggung jawab atau

pegawai lain yang diberi kuasa.

4) Lemari khusus diletakkan di tempat yang aman dan tidak boleh

terlihat oleh umum (11).

c. Pelayanan resep mengandung narkotika

Apotek hanya melayani pembelian narkotika berdasarkan resep dokter

dengan ketentuan berdasarkan surat edaran balai POM No. 336/EE/SE/1977

antara lain dinyatakan:

1) Sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (2) undang-undang no. 9 tahun 1976

tentang narkotika, apotek dilarang melayani salinan resep yang

mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian

atau belum dilayani sama sekali.

2) Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani

sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep

tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep

aslinya.

3) Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh

dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah

tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika.

61

d. Pelaporan narkotika

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Pasal 14 ayat (2)

dinyatakan bahwa industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana

penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat

kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu

pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan

berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada

dalam penguasaannya. Laporan tersebut meliputi laporan pemakaian

narkotika dan laporan pemakaian morfin dan petidin. Laporan harus di

tandatangani oleh apoteker pengelola apotek dengan mencantumkan SIK,

SIA, nama jelas dan stempel apotek, kemudian dikirimkan kepada Kepala

Dinas Kesehatan RI Kota/Kabupaten setempat dengan tembusan kepada:

1) Kepala Dinas Kesehatan.

2) Balai Besar POM.

3) Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma Tbk.

4) Arsip.

Laporan yang ditandatangani oleh APA meliputi:

1) Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika.

2) Laporan penggunaan bahan baku narkotika.

3) Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin.

Laporan narkotika tersebut dibuat setiap bulannya dan harus dikirim

selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya (8).

e. Pemusnahan narkotika

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.28/MENKES/PER/I/1978

Pasal 9 disebutkan bahwa pemegang izin khusus dan atau APA dapat

memusnahkan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat (11).

Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika

disebutkan bahwa pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal:

1) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan

atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi.

2) Kadaluarsa.

62

3) Tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan

dan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

4) Berkaitan dengan tindak pidana.

Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997,

pemusnahan narkotika dilaksanakan oleh pemerintah, orang atau badan

usaha yang bertanggung jawab atas produksi dan atau peredaran narkotika,

sarana kesehatan tertentu serta lembaga ilmu pengetahuan dengan

disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan RI.

Pelaksanaan pemusnahan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi

persyaratan pada apotek adalah sebagai berikut:

1) Bagi apotek di tingkat propinsi, pelaksanaan pemusnahan disaksikan oleh

petugas dari Balai POM setempat.

2) Bagi apotek di tingkat Kabupaten/Kota pemusnahan disaksikan oleh

Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II

Pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek yang

memusnahkan narkotika harus membuat berita acara pemusnahan paling

sedikit 3 rangkap. Berita acara pemusnahan tersebut memuat:

1) Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan.

2) Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek.

3) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek

tersebut.

4) Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.

5) Cara pemusnahan.

6) Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi (12).

f. Pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan narkotik

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan

bahwa pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan

pelaporan narkotika dapat dikenai sanksi administratif oleh Menteri

Kesehatan, yang berupa: teguran, peringatan, denda administratif,

penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin (8).

63

5. Pengelolaan Psikotropika

Psikotropika menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1997 merupakan zat atau

obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif

melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan

perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Ruang lingkup pengaturan psikotropik dalam Undang-Undang No. 5

tahun 1997 adalah segala yang berhubungan dengan psikotropika yang

mempunyai potensi yang mengakibatkan ketergantungan.

Tujuan dari pengaturan psikotropika ini sama dengan narkotika, yaitu

a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan

dan ilmu pengetahuan.

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.

c. Memberantas peredaran gelap psikotropika.

Kegiatan-kegiatan pengelolaan psikotropika meliputi:

a. Pemesanan psikotropika

Tata cara pemesanan obat-obat psikotropika sama dengan pemesanan obat

lainnya, yakni dengan surat pemesanan yang sudah ditandatangani oleh

APA yang dikirim ke pedagang besar farmasi (PBF). Pemesanan

psikotropika tidak memerlukan surat pemesanan khusus dan dapat dipesan

apotek dari PBF atau pabrik obat. Penyaluran psikotropika tersebut diatur

dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 pasal 12 ayat (2) dinyatakan

bahwa penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada

apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan

pelayanan resep. Satu lembar surat pesanan psikotropika dapat terdiri dari

satu jenis obat psikotropika.

b. Penyimpanan psikotropika

Sampai saat ini, penyimpanan untuk obat-obatan golongan psikotropika

belum diatur dalam perundang-undangan. Namun, karena obat-obatan

psikotropika ini cenderung untuk disalahgunakan, maka disarankan agar

menyimpan obat-obatan psikotropika tersebut dalam suatu rak atau lemari

64

khusus yang terpisah dengan obat-obat lain, tidak harus dikunci dan

membuat kartu stok psikotropika.

c. Penyerahan psikotropika

Penyerahan obat golongan psikotropika oleh apotek hanya dapat diberikan

kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter

dan kepada pasien bila disertai dengan resep dokter.

d. Pelaporan psikotropika

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997, pabrik obat, PBF, sarana penyimpanan

sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai

pengobatan, dokter dan lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan,

wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang

berhubungan dengan psikotropika dan wajib melaporkannya kepada Menteri

Kesehatan secara berkala. Pelaporan psikotropika dilakukan setahun sekali

dengan ditandatangani oleh APA dilakukan secara berkala yaitu setiap tahun

kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dengan tembusan kepada Kepala

Dinas Kesehatan setempat dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

e. Pemusnahan psikotropika

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997 pasal 53 tentang psikotropika,

pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak

pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku

dan atau tidak dapat digunakan dalam proses psikotropika, kadaluarsa atau

tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan atau

untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pemusnahan psikotropika wajib

dibuat berita acara dan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk dalam waktu 7

hari setelah mendapat kepastian. Berita acara pemusnahan tersebut memuat:

1) Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan.

2) Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek.

3) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek

tersebut.

4) Nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan.

5) Cara pemusnahan.

65

6) Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi (13).

C. Kegiatan Non Teknis Kefarmasian

Pengelolaan non teknis kefarmasian, meliputi kegiatan :

1. Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Administrasi pelayanan

3. Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan

hasil monitoring penggunaan obat.

D. Penggolongan Obat

Untuk menjaga keamanan pengunaan obat oleh masyarakat, maka pemerintah

menggolongkan obat menjadi beberapa bagian :

1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Pada kemasan

ditandai dengan lingkaran hitam, mengelilingi bulatan berwarna hijau. Isi

dalam kemasan obat disertakan brosur yang berisi nama obat, nama dan isi

zat berkhasiat, indikasi, dosis dan aturan pakai, nomor batch, nomor

registrasi, nama dan alamat pabrik, serta cara penyimpanannya. Contoh :

Paracetamol, Mylanta, Oralit, Curcuma plus, dan lain-lain.

Gambar III.2. Penandaan Obat Bebas

2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas digunakan untuk mengobati penyakit ringan yang dapat

dikenali oleh penderita sendiri. Definisi Obat bebas terbatas termasuk obat

keras di mana pada setiap takaran yang digunakan diberi batas dan pada

kemasan ditandai dengan lingkaran hitam mengelilingi bulatan berwarna

biru. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan

66

No.6355/Dirjen/SK/69 tanggal 5 November 1975 ada tanda peringatan

P. No. 1 sampai P. No. 6 dan harus ditandai dengan etiket atau brosur yang

menyebutkan nama obat yang bersangkutan, daftar bahan berkhasiat serta

jumlah yang digunakan, nomor batch, tanggal kadaluarsa, nomor registrasi,

nama dan alamat produsen, petunjuk penggunaan, indikasi, cara pemakaian,

peringatan serta kontra indikasi. Contoh : Promag, Dulcolax, Methicol dan

lain-lain (14).

Gambar III.3. Penandaan Obat Bebas Terbatas

Gambar III.4. Penandaan Peringatan Obat

3. Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep dokter,

dimana pada bungkus luarnya diberi tanda bulatan dengan lingkaran hitam

dengan dasar merah yang didalamnya terdapat huruf “K” yang menyentuh

garis tepi.

67

Obat yang masuk ke dalam golongan obat keras digunakan secara

parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain

dengan jalan merobek jaringan, obat baru yang belum tercantum dalam

kompendial/farmakope terbaru yang berlaku di Indonesia serta obat-obat

yang ditetapkan sebagai obat keras melalui Kepmenkes RI. Contoh :

amoksisilin, Captopril, Erithromycin dan lain-lain.

Gambar III.5. Penandaan Obat Keras

4. Obat Narkotika dan Psikotropika

Definisi menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,

narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Narkotika dibagi 3 golongan yaitu :

a. Narkotika golongan 1

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai

potensi yang sangat tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh :

ganja, papaver somniverum, cocain (Erythroxylon coca), opium

mentah, opium masak, heroin, Etorfin, dan lain-lain.

b. Narkotika golongan II

Narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan digunakan dalam pilihan

terakhir dan akan digunakan dalam terapi atau buat pengembangan ilmu

pengetahuan serta memiliki potensi tinggi menimbulkan

ketergantungan. Contoh : fentamil, morfin, petidin, tebaina, tebakon,

ekgonina, dan lain-lain.

68

c. Narkotika golongan III

Narkotika yang digunakan dalam terapi/pengobatan dan untuk

pengembangan pengetahuan serta menimbulkan potensi ringan serta

mengakibatkan ketergantungan. Contoh : etil morfin, codein, propiran,

nikokodina, polkodina, norkodeina, dan lain-lain.

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada

susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas

mental dan perilaku. Psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan :

a. Psikotropika golongan I

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu

pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai

potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :

lisergida dan meskalina.

b. Psikotropika golongan II

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan digunakan dalam terapi, dan

atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : amfetamin dan

metamfetamin.

c. Psikotropika golongan III

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam

terapi, dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :

amobarbital, pentobarbital dan pentazonia.

d. Psikotropika golingan IV

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan

dalam terapi, dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :

barbital, alprazolam dan diazepam.

Psikotropika termasuk dalam golongan obat keras, sehingga dalam

kemasannya memiliki tanda yang sama dengan obat keras. Sedangkan

69

obat narkotika memiliki tanda berupa lambang medali berwarna merah

(8, 13).

Gambar III.6. Penandaan Obat Narkotika

Gambar III.7. Penandaan Obat Psikotropika

5. Obat Wajib Apotek (OWA)

Menurut Kepmenkes RI No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat

Wajib Apotek, menerangkan bahwa obat wajib apotek (OWA) adalah obat

keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker kepada pasien

di apotek.

Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria :

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak

dibawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko

pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di

Indonesia.

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri (15).

Contoh : Omeprazole, Piroxicam, Prednisolone, Scopolamin, Ibuprofen

dan sebagainya.

70

6. Obat Generik

Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan dalam

Farmakope Indonesia dan Internasional Non Proprietary Name (INN)

WHO untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik dapat juga

merupakan obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi

oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalty. Ada dua

jenis obat generik yaitu obat generik bermerek dagang dan obat generik

berlogo yang dipasarkan dengan merek kandungan zat aktifnya.

Berdasarkan PerMenkes RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 pasal 7

tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Pemerintah disebutkan bahwa apoteker dapat mengganti obat

merek dagang/obat paten dengan obat generik yang sama komponen

aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau

pasien (16).

Gambar III.8. Penandaan Obat Generik

E. Pelayanan (Service)

Apotek adalah tempat dilaksanakannya pelayanan kefarmasian baik oleh

apoteker maupun asisten apoteker, atau petugas apotek lainnya terutama yang

berada di front liner yang berinteraksi langsung dengan pasien. Oleh karena itu,

apotek perlu memperhatikan kualitas pelayanan baik pelayanan kefarmasian

maupun pelayanan lain seperti pelayanan yang cepat, tepat dan ramah,

kelengkapan produk, tempat parkir yang memadai, keamanan, kenyamanan,

penampilan petugas, dan lain-lain. Selain itu, dengan adanya situasi persaingan

apotek yang semakin ketat, maka kualitas pelayanan yang bermutu merupakan

salah satu strategi yang cukup ampuh dalam meningkatkan pangsa pasar.

71

Menurut A. Parasuraman, V.A. Zethami dan L.L. Berry ada lima dimensi yang

digunakan oleh pelanggan dalam menilai suatu kualitas pelayanan :

1. Reliability (kehandalan)

Suatu kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan dengan akurat dan

terpercaya, kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan seperti ketepatan

waktu dan tanpa kesalahan.

2. Assurance (jaminan/kepastian)

Pengetahuan dan keramahan karyawan serta kemampuan melaksanakan tugas

secara spontan yang dapat menjamin kinerja yang baik sehingga

menimbulkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan.

3. Tangibles (berwujud/kasat mata)

Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik harus dapat

diandalkan, keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan

yang diberikan oleh pemberi jasa, seperti gedung yang bagus, peralatan

komputer yang canggih dan seragam karyawan-karyawati yang menarik.

4. Empathy (empati)

Memberikan perhatian yang bersifat individual atau pribadi kepada

pelanggan dan berusaha memahami keinginan pelanggan.

5. Responsiveness (ketanggapan)

Suatu kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat

kepada pelanggan, membiarkan pelanggan menunggu tanpa adanya suatu

alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas

pelayanan, kemampuan untuk mengatasi hal tersebut secara profesional dapat

memberikan persepsi yang positif terhadap kualitas pelayanan.

Untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan, ada beberapa aspek pelayanan yang

harus dievaluasi, antara lain :

1. Tangibles (berwujud/kasat mata)

a. Penampilan apotek, tampak muka, lay out, furniture.

b. Penataan obat, kebersihan.

c. Penampilan karyawan apotek.

72

2. Pemahaman terhadap pelanggan

a. Memberikan perhatian.

b. Mengenal pelanggan.

3. Keamanan

a. Perasaan aman di area parkir.

b. Terjaganya rahasia transaksi.

4. Kredibilitas

a. Reputasi menjalankan komitmen.

b. Dipercaya karyawan.

c. Garansi yang diberikan.

d. Kebijakan pengembalian barang.

5. Informasi yang diberikan ke pelanggan

a. Menjelaskan pelayanan dan biaya.

b. Jaminan penyelesaian masalah.

6. Perilaku yang sopan

a. Karyawan yang ramah.

b. Penuh penghargaan.

c. Menunjukkan sikap perhatian.

7. Akses

a. Kemudahan dalam bertransaksi.

b. Waktu buka apotek yang sesuai.

c. Keberadaan manager untuk menyelesaikan masalah.

8. Kompetensi/kecakapan

a. Pengetahuan dan keterampilan dari karyawan.

b. Terjawabnya setiap pertanyaan pelanggan.

9. Responsiveness atau cara menanggapi

a. Memenuhi panggilan pelanggan.

b. Memberikan pelayanan yang tepat waktu.

10. Reliability/dapat diandalkan

a. Keakuratan dalam pelayanan.

b. Keakuratan bon pembelian.

73

Apotek yang selalu fokus dalam memberikan pelayanan yang bermutu kepada

pelanggan akan banyak memetik manfaat antara lain sebagai berikut :

1. Menjadikan berbeda dari pesaing.

2. Memperbaiki citra di mata pelanggan.

3. Meningkatkan keuntungan.

4. Meningkatkan kepuasan dan mempertahankan pelanggan.

5. Menghasilkan dukungan yang maksimal untuk apotek.

6. Meningkatkan reputasi.

7. Memastikan produk dan jasa yang ditawarkan tepat sasaran.

8. Meningkatkan semangat karyawan.

9. Meningkatkan kepuasan dan membuat karyawan puas bekerja di apotek.

10. Meningkatkan produktivitas.

11. Mengurangi biaya.

12. Menciptakan reputasi sebagai apotek yang peduli dan berorientasi kepada

pelanggan.

13. Memperluas hubungan dengan pemasok.

14. Menyebabkan terjadinya perbaikan pada operasional apotek secara

berkesinambungan (17).

F. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)

Farmasi sebagai salah satu aspek dalam pelayanan kesehatan telah mengalami

perkembangan paradigma, yaitu dari berorientasi terhadap produk/obat menjadi

orientasi kepada pasien berdasarkan pada nilai-nilai asuhan kefarmasian. Asuhan

kefarmasian adalah tanggung jawab atau kompetensi dari seorang Apoteker

untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan kehidupan pasien. Hal ini menuntut

Apoteker untuk menciptakan hubungan yang baik antara pasien, sesama

Apoteker dan dengan profesi kesehatan lain.

Seorang Apoteker dalam menjalankan kegiatan profesinya banyak

berhubungan dengan orang lain baik pasien, rekan seprofesi, dokter, perawat,

dan tenaga kesehatan lainnya. Kemampuan dan keterampilan berkomunikasi

yang efektif sangat diperlukan oleh seorang Apoteker yang profesional.

74

Kurangnya komunikasi secara efektif dapat menyebabkan timbulnya

permasalahan. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik maka memerlukan

usaha, waktu, serta kemauan untuk belajar dengan membuat suatu proses

menjadi efektif.

Komunikasi merupakan pembentukan pesan dari pemikiran, perasaan,

perilaku pengirim (sender) atau penyampaian pesan kepada penerima (receiver)

yang kemudian ada reaksi dari penerima. Komunikasi dapat dikatakan sempurna

apabila pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan dapat diterima dan

dimengerti dengan jelas oleh penerima pesan. Informasi disampaikan melalui

media agar dapat diterima dan dimengerti oleh orang lain sesuai dengan maksud

pesan atau informasi tersebut. Media merupakan alat yang digunakan untuk

mempermudah suatu komunikasi. Media yang tepat akan memberikan informasi

atau pesan yang ingin disampaikan oleh seorang pengirim pesan.

Salah satu implementasi dari komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)

adalah kegiatan konseling. Konseling merupakan suatu proses yang sistematik

untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pasien yang berkaitan

dengan pengambilan dan penggunaan obat. Konseling dilakukan untuk

mengoptimalkan hasil terapi obat dan tercapainya tujuan dari terapi obat dengan

cara membina hubungan dan menumbuhkan kepercayaan, perhatian, dan

kepedulian terhadap pasien serta mencegah dan mengurangi terjadinya efek

samping obat,toksisitas, resistensi antibiotika, dan ketidakpatuhan pasien.

G. Swamedikasi

Swamedikasi (Self Medication) merupakan suatu bentuk pengobatan mandiri

yang dilakukan oleh masyarakat, tanpa melalui dokter. Biasanya swamedikasi

dilakukan untuk mengatasi gangguan kesehatan ringan mulai dari batuk, pilek,

demam, sakit kepala, maag, gatal-gatal hingga iritasi ringan pada mata.

Beberapa hal yang melatarbelakangi berkembangnya swamedikasi di

kalangan masyarakat saat ini, yaitu meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan

tersedianya obat-obatan menyebabkan sebagian masyarakat berinisiatif

mengobati dirinya sendiri tanpa melalui konsultasi dengan dokter.

75

Peran Apoteker dalam swamedikasi

Banyaknya obat yang beredar saat ini dapat membingungkan masyarakat dalam

memilih obat yang tepat dan aman. Masyarakat sebagai konsumen memerlukan

bantuan dalam membuat keputusan terhadap swamedikasi yang dilakukan.

Apoteker adalah profesi yang ideal dalam membantu masyarakat memilih obat

yang aman dan efektif dalam mengobati penyakit yang diderita.

Upaya swamedikasi oleh apoteker harus tetap memperhatikan prinsip

penggunaan obat yang rasional dengan memperhatikan ketepatan indikasi

penyakit, pemilihan obat, dosis, cara pakai, lama penggunaan, dan kondisi

pasien.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam swamedikasi oleh

seorang Apoteker, yaitu

1. Membaca informasi yang tertera pada kemasan atau brosur yang meliputi

komposisi obat, indikasi, kontra indikasi, interaksi obat, efek samping, dosis

dan cara penggunaan.

2. Obat yang dipilih memiliki jenis kandungan zat aktif sesuai penyakit yang

diderita.

3. Penggunaan obat swamedikasi hanya untuk jangka pendek, jika penyakit

tidak membaik setelah beberapa hari penggunaan obat tersebut, maka

sebaiknya konsultasikan ke dokter.

4. Memperhatikan aturan pakai obat serta berapa jumlah yang diperlukan.

5. Perlu diperhatikan juga tentang masalah kontra indikasi dan cara

penyimpanan obat.

Dalam melakukan kegiatan swamedikasi tidaklah selalu berjalan dengan

lancar. Terdapat beberapa kendala yang timbul pada saat memberikan pelayanan

swamedikasi, yaitu:

1. Kendala yang berasal dari pasien, yaitu perasaan malu, marah, sedih, takut

dan ragu-ragu. Hal ini dapat diatasi dengan sikap empati, mencari sumber

timbulnya masalah tersebut dan tetap bersikap terbuka dan siap membantu.

76

2. Kendala yang berasal dari latar belakang pendidikan, budaya dan bahasa.

Kendala ini dapat diatasi dengan menggunakan istilah yang mudah

dimengerti.

3. Kendala yang berasal dari fisik dan mental. Kendala ini dapat diatasi dengan

upaya menggunakan alat bantu.

4. Kendala yang berasal dari Apoteker dapat berupa menunjukkan sikap yang

kurang perhatian, cara berbicara yang tidak sesuai, mendominasi

percakapan, menggunakan istilah yang sulit dimengerti oleh pasien, sikap

dan gerak tubuh yang mengganggu konsentrasi pasien.

5. Kendala yang berasal dari lingkungan sekitar tempat swamedikasi

berlangsung misalnya dilakukan di tempat terbuka, suasana yang berisik dan

adanya pihak ketiga yang ikut mendengarkan.

Persiapan yang matang diperlukan agar Apoteker dapat mengembangkan

swamedikasi menjadi keunggulan dari pelayanan Apotek yaitu dengan

menyediakan obat serta informasi yang memadai untuk keperluan swamedikasi.

(17).

H. Good Pharmacy Practices ( GPP)

Good pharmacy practice merupakan suatu pedoman untuk menjamin bahwa

pelayanan yang diberikan farmasis kepada setiap pasien telah memenuhi kualitas

yang tepat. Dengan adanya pedoman tersebut, masyarakat diharapkan dapat

menggunakan obat-obatan dan produk serta jasa kesehatan dengan lebih tepat

yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan terapi yang diharapkan.

Adanya konsep Pharmaceutical Care merupakan filosofi yang sangat

identik dengan konsep Good Pharmacy Practice (GPP), sehingga dapat

dikatakan bahwa GPP merupakan suatu cara untuk menerapkan Pharmaceutical

Care.

Standar Good Pharmacy Practice sebagai pedoman pengelolaan farmasi

diantaranya:

77

1. Bangunan

Tujuan: menjamin tersedianya bangunan yang cukup dan memenuhi syarat

dalam penyediaan layanan.

2. Penyiapan obat

Tujuan: menjamin bahwa pasien menerima obat dengan dosis, jenis nama

dan bentuk obat yang tepat.

3. Wadah obat

Tujuan: menjamin integritas produk.

4. Label atau etiket obat

Tujuan: menjamin obat yang diterima benar untuk apa dan siapa yang

menerima.

5. Instruksi pada pasien

Tujuan: mengetahui bahwa obat digunakan dengan benar dan sesuai

petunjuk atau instruksi, kapan dan bagaimana obat harus digunakan.

6. Pencatatan pengobatan pasien

Tujuan: pasien mengetahui bahwa obat diminum secara terus menerus,

frekuensi, waktu minum yang tepat dalam bentuk sediaan yang tepat serta

kapan kembali ke dokter.

7. Informasi obat dan konseling

Tujuan: memberikan pemahaman pasien tentang kegunaan obat, efek

samping yang mungkin terjadi, cara penggunaan, apa yang perlu di hindari

dan cara penyimpanannya.

8. Swamedikasi dan self care

Tujuan: pasien mengetahui cara pencegahan sakit, meningkatkan kesehatan

melalui self care dan self medication.

9. Produk

Tujuan: menjamin kualitas, keamanan dan khasiat obat yang diterima pasien

(17).