05_169Hipertensidefinisi

6
CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009 161 TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Hipertensi merupakan faktor risiko koroner yang sangat penting. Hal tersebut terlihat baik di negara-negara yang telah maju maupun negara yang sedang berkembang. WHO melaporkan sekitar 16,2 juta kematian disebabkan oleh penyakit kardio- vaskular, sekitar_nya terjadi di negara berkembang. Faktor risiko yang bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut adalah hipertensi, kadar kolesterol tinggi, tembakau, konsumsi buah dan sayuran yang rendah serta kurang aktif bergerak. Gambar 1. Faktor risiko utama penyebab kematian di dunia Hipertensi yang tidak ditanggulangi merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung koroner, stroke dan gagal jantung. 1,2 Oleh karena itu diagnosis dan pengendalian hipertensi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang harus diprioritaskan. 3 Setiap peningkatan tekanan darah sistolk 20 mmHg/diastolik 10 mm Hg meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular 2 kali lipat. Gambar 2. Gambar 3. Kusmana D: Dissertation, 2002 DEFINISI Definisi hipertensi telah mengalami perubahan sesuai dengan penelitian para pakar serta kesepakatan profesi. Klasifikasi JNC 7 yang mutakhir dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi hipertensi* *The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. The seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med. 1997;157:2413-2445. Hipertensi: Definisi, prevalensi, farmakoterapi dan latihan fisik Dede Kusmana Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta, Indonesia CV, cardiovascular; DBP, diastolic blood pressure; SBP, systolic blood pressure *Individuals aged 40-69 years, starting at BP 115/75 mm Hg. Lewington S et al. Lancet.2002;360:1903-1913

Transcript of 05_169Hipertensidefinisi

Page 1: 05_169Hipertensidefinisi

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009 161

TINJAUAN PUSTAKA

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009162

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUANHipertensi merupakan faktor risiko koroner yang sangat penting. Hal tersebut terlihat baik di negara-negara yang telah maju maupun negara yang sedang berkembang. WHO melaporkan sekitar 16,2 juta kematian disebabkan oleh penyakit kardio-vaskular, sekitar_nya terjadi di negara berkembang. Faktor risiko yang bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut adalah hipertensi, kadar kolesterol tinggi, tembakau, konsumsi buah dan sayuran yang rendah serta kurang aktif bergerak.

Gambar 1. Faktor risiko utama penyebab kematian di dunia

Hipertensi yang tidak ditanggulangi merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung koroner, stroke dan gagal jantung.1,2 Oleh karena itu diagnosis dan pengendalian hipertensi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang harus diprioritaskan.3 Setiap peningkatan tekanan darah sistolk 20 mmHg/diastolik 10 mm Hg meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular 2 kali lipat.

Gambar 2.

Gambar 3. Kusmana D: Dissertation, 2002

DEFINISI Definisi hipertensi telah mengalami perubahan sesuai dengan penelitian para pakar serta kesepakatan profesi. Klasifikasi JNC 7 yang mutakhir dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi*

*The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation andTreatment of High Blood Pressure. The seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med. 1997;157:2413-2445.

Berdasarkan klasifikasi tersebut maka hipertensi digolongkan berdasarkan salah satu besaran tekanan sistolik atau diastolik. Setiap orang dengan tekanan darah sistolik >140 mm Hg atau diastolik >90 m Hg didiagnosis hipertensi; sedangkan definisi WHO terdahulu berdasarkan kedua tekanan sistolik maupun diastolik, yaitu jika sistolik 160 mmg Hg dan diastolik 95mm Hg. Dengan pergantian definisi ini prevalensi hipertensi menjadi 2 kali lipat.

Hipertensi umumnya mulai pada usia muda, sekitar 5 sampai 10% pada 20 - 30 tahun.7 Bagi pasien yang berusia antara 40 - 70 tahun, setiap peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg atau tekanan darah diastolik sebesar 10 mmHg akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.7,8

Berdasarkan kriteria baru, prevalensi Hipertensi tingkat 1 dan 2 di tiga kecamatan daerah Jakarta Selatan pada tahun 2007 mencapai angka 40,1 % pada lelaki dan 44,4 % wanita .

Berbagai faktor berkontribusi terhadap timbulnya hipertensi termasuk genetika, metabolik dan faktor lingkungan atau tingkah laku. Secara umum bila dalam satu keluarga ada yang menderita hiper- tensi, kemungkinan terjadinya hipertensi pada anggota keluarga lainnya di masa mendatang juga dapat meningkat.7 Laki-laki biasanya lebih dulu mendapatkan hipertensi dibandingkan wanita.7

Di Amerika Serikat insiden hipertensi lebih tinggi di kalangan orang-orang Asia dibandingkan dengan kelompok Eropa,10 penyebabnya atau dasarnya tidak diketahui.

Faktor-faktor metabolisme seperti obesitas, resistensi insulin dan intoleransi glukosa dapat menyebabkan regulasi yang abnormal, baik terhadap volume vaskuler maupun resistensi perifer yang akhirnya meningkatkan tekanan darah.11

Faktor tingkah laku, termasuk terpapar terhadap lingkungan sangat berat atau adanya stres sosial menghasilkan atau membawa ke peningkatan aktifitas neurogenik kronis sistim simpatikus.12,13

Faktor lain termasuk konsumsi alkohol berlebihan,14 pemakaian obat-obatan termasuk stimulan seperti amfetamin, kokain dan mungkin steroid anabolik.15 Merokok belum dibuktikan hubungan-nya dengan hipertensi yang menetap tetapi dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah secara mendadak.16

PATOFISIOLOGISecara klinis hipertensi dibagi ke dalam 2 kelompok :

1. Hipertensi primerHipertensi primer merupakan sebagian besar hipertensi di masya- rakat (lebih dari 95%). Berbagai faktor memberikan kontribusi terhadap kejadian hipertensi primer antara lain:

a. Reflek neurologis abnormal maupun pengontrolan simpatetik curah jantung dan resistensi perifer.b. Gangguan pengaturan renal dan metabolik volume vaskuler dan pemenuhan (compliance).c. Gangguan sistim pengontrolan otot polos lokal dan endothelial berkaitan dengan resistensi vaskuler.

Kombinasi faktor neurohumoral dan abnormalitas metabolik memberikan saham terhadap peningkatan resistensi vaskuler sistemik secara bertahap yang akhirnya menyebabkan hipertensi primer.

Aktifitas sistim saraf simpatetik dan hormon pressor seperti angiotensin mungkin merupakan faktor yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskuler.

Meningkatnya sirkulasi katekolamin juga ditemukan pada orang muda dengan hipertensi ringan17 dan biasanya dapat ditunjukkan adanya peningkatan aktifitas simpatetik.18 Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan pengaruh defek primer keseimbangan kalsium dan natrium (sodium) pada otot polos vaskuler merupakan penyebab hipertensi primer.19-20

Abnormalitas endothelial juga merupakan faktor penting penentu terjadinya hipertensi primer; sehingga dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang dapat menjadi perantara terjadinya resistensi vaskuler sistemik dan hipertensi. Barang kali gangguan fungsi baroreseptor arterial juga menyebabkan reflek baroreseptor dan tekanan darah akan meningkat secara sistemik.21-27

2. Hipertensi sekunderHipertensi sekunder ditemukan pada sekitar 5% dari populasi hipertensi.1 Penyebab hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal, endokrin dan abnormalitas vaskuler. Penyebab sekunder harus dipikirkan jika hipertensi timbul pada usia muda dan berkembang sangat cepat pada dewasa tanpa riwayat hipertensi.

Pada hipertensi sekunder sering terjadi peningkatan tekanan darah yang tidak berrespon terhadap obat hipertensi. Penyakit vaskuler ginjal menyebabkan dilepasnya renin yang akan menye-babkan konversi plasma angiotensinogen menjadi angiotensin II.

Angiotensin II merupakan vasokonstriktor perifer yang sangat kuat dan merangsang dikeluarkannya aldosteron yang menye-babkan retensi garam dan air; retensi garam dan air yang mening-kat menyebabkan peningkatan kerja jantung dan pada akhirnya meningkatkan tekanan darah.

Tumor medulla adrenal dan cortex juga dapat menjadi pencetus terjadinya hipertensi sekunder meski kejadiannya lebih jarang. Pheochromocytoma menyebabkan dilepaskannya katekolamin dari medulla adrenal yang melepaskan kortisol atau aldosteron yang menyebabkan hipertensi menetap. Biasanya faktor penye-bab ginjal dan endokrin hipertensi sekunder berhasil diatasi dengan cara pembedahan maupun dengan obat-obatan.

Patologi target organTekanan darah yang meningkat dapat menyebabkan target organ terganggu termasuk ruang jantung maupun pembuluh darah. Penebalan ventrikel kiri (LVH) merupakan respon universal dan sering ditemukan pada pemeriksaan ekokardiografi pada hipertensi borderline (pra-hipertensi) maupun pada hipertensi ringan (tingkat 1).2,28

Hipertensi:Definisi, prevalensi, farmakoterapi

dan latihan fisikDede Kusmana

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta, Indonesia

CV, cardiovascular; DBP, diastolic blood pressure; SBP, systolic blood pressure*Individuals aged 40-69 years, starting at BP 115/75 mm Hg.Lewington S et al. Lancet.2002;360:1903-1913

Page 2: 05_169Hipertensidefinisi

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009 161

TINJAUAN PUSTAKA

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009162

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUANHipertensi merupakan faktor risiko koroner yang sangat penting. Hal tersebut terlihat baik di negara-negara yang telah maju maupun negara yang sedang berkembang. WHO melaporkan sekitar 16,2 juta kematian disebabkan oleh penyakit kardio-vaskular, sekitar_nya terjadi di negara berkembang. Faktor risiko yang bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut adalah hipertensi, kadar kolesterol tinggi, tembakau, konsumsi buah dan sayuran yang rendah serta kurang aktif bergerak.

Gambar 1. Faktor risiko utama penyebab kematian di dunia

Hipertensi yang tidak ditanggulangi merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung koroner, stroke dan gagal jantung.1,2 Oleh karena itu diagnosis dan pengendalian hipertensi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang harus diprioritaskan.3 Setiap peningkatan tekanan darah sistolk 20 mmHg/diastolik 10 mm Hg meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular 2 kali lipat.

Gambar 2.

Gambar 3. Kusmana D: Dissertation, 2002

DEFINISI Definisi hipertensi telah mengalami perubahan sesuai dengan penelitian para pakar serta kesepakatan profesi. Klasifikasi JNC 7 yang mutakhir dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi*

*The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation andTreatment of High Blood Pressure. The seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med. 1997;157:2413-2445.

Berdasarkan klasifikasi tersebut maka hipertensi digolongkan berdasarkan salah satu besaran tekanan sistolik atau diastolik. Setiap orang dengan tekanan darah sistolik >140 mm Hg atau diastolik >90 m Hg didiagnosis hipertensi; sedangkan definisi WHO terdahulu berdasarkan kedua tekanan sistolik maupun diastolik, yaitu jika sistolik 160 mmg Hg dan diastolik 95mm Hg. Dengan pergantian definisi ini prevalensi hipertensi menjadi 2 kali lipat.

Hipertensi umumnya mulai pada usia muda, sekitar 5 sampai 10% pada 20 - 30 tahun.7 Bagi pasien yang berusia antara 40 - 70 tahun, setiap peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg atau tekanan darah diastolik sebesar 10 mmHg akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.7,8

Berdasarkan kriteria baru, prevalensi Hipertensi tingkat 1 dan 2 di tiga kecamatan daerah Jakarta Selatan pada tahun 2007 mencapai angka 40,1 % pada lelaki dan 44,4 % wanita .

Berbagai faktor berkontribusi terhadap timbulnya hipertensi termasuk genetika, metabolik dan faktor lingkungan atau tingkah laku. Secara umum bila dalam satu keluarga ada yang menderita hiper- tensi, kemungkinan terjadinya hipertensi pada anggota keluarga lainnya di masa mendatang juga dapat meningkat.7 Laki-laki biasanya lebih dulu mendapatkan hipertensi dibandingkan wanita.7

Di Amerika Serikat insiden hipertensi lebih tinggi di kalangan orang-orang Asia dibandingkan dengan kelompok Eropa,10 penyebabnya atau dasarnya tidak diketahui.

Faktor-faktor metabolisme seperti obesitas, resistensi insulin dan intoleransi glukosa dapat menyebabkan regulasi yang abnormal, baik terhadap volume vaskuler maupun resistensi perifer yang akhirnya meningkatkan tekanan darah.11

Faktor tingkah laku, termasuk terpapar terhadap lingkungan sangat berat atau adanya stres sosial menghasilkan atau membawa ke peningkatan aktifitas neurogenik kronis sistim simpatikus.12,13

Faktor lain termasuk konsumsi alkohol berlebihan,14 pemakaian obat-obatan termasuk stimulan seperti amfetamin, kokain dan mungkin steroid anabolik.15 Merokok belum dibuktikan hubungan-nya dengan hipertensi yang menetap tetapi dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah secara mendadak.16

PATOFISIOLOGISecara klinis hipertensi dibagi ke dalam 2 kelompok :

1. Hipertensi primerHipertensi primer merupakan sebagian besar hipertensi di masya- rakat (lebih dari 95%). Berbagai faktor memberikan kontribusi terhadap kejadian hipertensi primer antara lain:

a. Reflek neurologis abnormal maupun pengontrolan simpatetik curah jantung dan resistensi perifer.b. Gangguan pengaturan renal dan metabolik volume vaskuler dan pemenuhan (compliance).c. Gangguan sistim pengontrolan otot polos lokal dan endothelial berkaitan dengan resistensi vaskuler.

Kombinasi faktor neurohumoral dan abnormalitas metabolik memberikan saham terhadap peningkatan resistensi vaskuler sistemik secara bertahap yang akhirnya menyebabkan hipertensi primer.

Aktifitas sistim saraf simpatetik dan hormon pressor seperti angiotensin mungkin merupakan faktor yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskuler.

Meningkatnya sirkulasi katekolamin juga ditemukan pada orang muda dengan hipertensi ringan17 dan biasanya dapat ditunjukkan adanya peningkatan aktifitas simpatetik.18 Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan pengaruh defek primer keseimbangan kalsium dan natrium (sodium) pada otot polos vaskuler merupakan penyebab hipertensi primer.19-20

Abnormalitas endothelial juga merupakan faktor penting penentu terjadinya hipertensi primer; sehingga dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang dapat menjadi perantara terjadinya resistensi vaskuler sistemik dan hipertensi. Barang kali gangguan fungsi baroreseptor arterial juga menyebabkan reflek baroreseptor dan tekanan darah akan meningkat secara sistemik.21-27

2. Hipertensi sekunderHipertensi sekunder ditemukan pada sekitar 5% dari populasi hipertensi.1 Penyebab hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal, endokrin dan abnormalitas vaskuler. Penyebab sekunder harus dipikirkan jika hipertensi timbul pada usia muda dan berkembang sangat cepat pada dewasa tanpa riwayat hipertensi.

Pada hipertensi sekunder sering terjadi peningkatan tekanan darah yang tidak berrespon terhadap obat hipertensi. Penyakit vaskuler ginjal menyebabkan dilepasnya renin yang akan menye-babkan konversi plasma angiotensinogen menjadi angiotensin II.

Angiotensin II merupakan vasokonstriktor perifer yang sangat kuat dan merangsang dikeluarkannya aldosteron yang menye-babkan retensi garam dan air; retensi garam dan air yang mening-kat menyebabkan peningkatan kerja jantung dan pada akhirnya meningkatkan tekanan darah.

Tumor medulla adrenal dan cortex juga dapat menjadi pencetus terjadinya hipertensi sekunder meski kejadiannya lebih jarang. Pheochromocytoma menyebabkan dilepaskannya katekolamin dari medulla adrenal yang melepaskan kortisol atau aldosteron yang menyebabkan hipertensi menetap. Biasanya faktor penye-bab ginjal dan endokrin hipertensi sekunder berhasil diatasi dengan cara pembedahan maupun dengan obat-obatan.

Patologi target organTekanan darah yang meningkat dapat menyebabkan target organ terganggu termasuk ruang jantung maupun pembuluh darah. Penebalan ventrikel kiri (LVH) merupakan respon universal dan sering ditemukan pada pemeriksaan ekokardiografi pada hipertensi borderline (pra-hipertensi) maupun pada hipertensi ringan (tingkat 1).2,28

Hipertensi:Definisi, prevalensi, farmakoterapi

dan latihan fisikDede Kusmana

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta, Indonesia

CV, cardiovascular; DBP, diastolic blood pressure; SBP, systolic blood pressure*Individuals aged 40-69 years, starting at BP 115/75 mm Hg.Lewington S et al. Lancet.2002;360:1903-1913

Page 3: 05_169Hipertensidefinisi

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009 163

TINJAUAN PUSTAKA

Selain menyebabkan gangguan pada jantung, hipertensi juga dapat menyebabkan gangguan organ lainnya seperti otak, ginjal dan mata, sehingga dapat menyebabkan stroke, penyakit ginjal kronik,penyakit arteri perifer dan juga retiniopati.

TERAPIPanduan JNC 7 menunjukkan bahwa pemberian medikamentosa tidak lagi secara berjenjang ( stepped care ) tetapi semua jenis obat dapat diberikan dari awal/tingkat satu. ( Tabel 1 )

Studi PREVENT yang menggunakan amlodipin selama 36 minggu menunjukkan hasil yang baik, bukan hanya mampu mengontrol tekanan darah tetapi mengurangi kejadian kardiovaskular dan prosedur revaskularisasi secara bermakna dan mencegah progresi- vitas proses aterosklerosis. ( Gambar 4 ) Demikian juga penelitian CAMELOT menunjukkan bukti progresivitas pembentukan plak, angka hospitalisasi dan revaskularisasi lebih rendah pada kelompok amlodipin. ( Tabel 2 )

Gambar 4 : Kejadian kardiovaskular major dan tindakan revaskularisasi ber- kurang pada kelompok amplodipine.

Tabel 2. Studi CAMELOT menunjukkan total kejadian Kardiovaskular, hospital-isasi maupun revaskularisasi berbeda bermakna pada kelompok amlodipin.

LATIHAN FISIK ( olah raga ) pada penderita hipertensi.Aktifitas fsik atau olahraga menjadi bagian dari tatalaksana hipertensi. Pada penderita hipertensi tingkat 1 dan tingkat 2 terapi medikamentosa diberikan jika berbagai upaya nonfarmakologis tidak bermakna menurunkan tekanan darah, atau memang target organ sudah terkena. Perlu diketahui reaksi berbagai obat terhadap hipretensi saat penderita sedang beraktifitas fisik atau sesudahnya (tabel 3) .

Tabel 3. Efek obat antihipertensi saat latihan dan kegiatan olahraga

RVS-resistensi vaskuler sistemik

Perubahan tekanan darah terhadap latihan pada penderita hipertensiPenderita hipertensi tekanan darah saat istirahat sudah tinggi, tekanan darahnya akan makin meningkat saat latihan. Mekanisme peningkatan tekanan darah ini berbeda jika dibandingkan dengan individu normal.

Diagnosis hipertensi ringan maupun hipertensi borderline biasanya dapat ditegakkan dengan adanya respon kenaikan tekanan darah yang berbeda terhadap beban yang diberikan.

Latihan dinamikDengan latihan dinamik curah jantung meningkat karena denyut jantung meningkat, volume sekuncup meningkat demikian juga kontraktilitas. Aliran darah ke otot-otot yang bekerja akan meningkat karena terjadi vasodilatasi lokal, sebaliknya aliran darah ke otot yang tidak bekerja dan organ- organ viseral akan berkurang karena vasokonstriksi simpatetik.

DIURETIKThiazide(hydrochlorothiazide)Loop Inhibitors ( furosemid)

Potassium sparing(triamterenceamiloride)

PenyekatBETA- ADRENERGIKNon selektif (ß-1/ß-2)(Propranolol)

Selektif (ß-1)(atenolol, bisoprolol)

Combined (ß/α-1)labetalol)

PenyekatALPHA-ADRENERGIKPerifer (α-1)(prazosin, terazosin)

VASODILATORLangsung(hydralazine, minoxidil)

• Volume plasma berkurang• Curah jantung menurun• Penurunan jangka panjang RVS (cat : Hanya sedikit atau tidak berpengaruh pada latihan hipertensi

• HR menurun 20-30%• Kontraktilitas menurun• RVS otot dan kulit meningkat

• Efek pada ß-2 vasodilatasi sedikit

• Penurunan RVS • Aliran darah ke otot sedikit berkurang

• Penurunan RVS• Dapat dilihat peningkatan tekanan darah setelah mengkonsumsi sesuai dosis • Hanya sebatas kontrol pada latihan hipertensi• Penurunan RVS• HR menurun sedikit

• Penurunan RVS• Peningkatan HR• Peningkatan Reflek Q

• Hilangnya K+ dan Mg2+h

melalui urin• Kolesterol, glukosa darah dan asam urat meningkat

• Pengeluaran K+ menurun

• Menghambat lipolisis dan glikogenolisis• Kolesterol meningkat (HDL kol menurun)• Depresi SSP (dengan lipophilic ß)

• Gangguan terhadap gliko- genolisis dan lipolisis sedikit

• Tidak ada perubahan yang berarti dalam metabolisme energi• Tidak ada perubahan yang berarti dalam metabolisme energi• Sulit tidur • Mulut kering

• Sakit kepala• Muka panas • Retensi cairan akibat aktifasi sistem renin dengan angio- tensin• Kemungkinan reaksi Lupus erythematosus

Saat latihan :• Hipovolemia• Hipotensi ortostatikEfek jangka lama:• Hipokalemia• Hipomagnesemia• Otot lemah dan kram• Kemungkinan rhabdomyolisis• Dis/aritmia

• VO2 maks menurun karena CO dan aliran darah ke otot ber- kurang• Gangguan mobilisasi substrate• Cepat lelah dan treshold laktat• Kemungkinan bronchosspasme• Efek pada otot polos bronchus sedikit

Catatan: Kombinasi ß/α-1merupakan pilihan terbaikjika penghambat betadiperlukan )

• VO2 maks dapat di- pertahankan• Tidak ada efek yang berarti saat latihan atau saat melakukan kegiatan olahraga

• Cenderung terjadi kompetisi aliran darah ke otot melalui mekanisme ≈steal∆ karena vasodilatasi umum

Page 4: 05_169Hipertensidefinisi

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009 165

TINJAUAN PUSTAKA

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009166

TINJAUAN PUSTAKA

Dengan kata lain, efek stimulasi sistim renin angiotensin bisa diatasi oleh latihan yang ringan (Urata dkk) 44.

Kegagalan latihan untuk menurunkan tekanan darah pada beberapa individu mungkin karena perbedaan fungsi hemodinamik dan neuroendokrin.

Kiyonaga dkk43, menemukan efektifitas program latihan ber- gantung kepada nilai awal plasma renin. Pada penderita hipertensi dengan kadar renin rendah yang diterapi selama 10 - 20 minggu dalam bentuk latihan menunjukkan penurunan tekanan darah yang lebih baik dibandingkan mereka dengan renin yang tinggi.Duncan dkk41, menemukan penurunan tekanan darah dengan latihan lebih besar pada penderita hipertensi dengan kadar norepinephrine yang tinggi.

Kinoshita dkk57, menemukan penurunan terhadap latihan yang ringan dengan kardiak indek yang lebih tinggi dan rasio natrium kalium lebih tinggi serta resistensi perifer yang lebih rendah sebelum latihan.

Hargberg54 melakukan meta-analisis pada 25 penelitian longitu-dinal atas latihan yang bersifat erobik pada penderita hipertensi. Penurunan darah rata-rata sistolis dan diastolis antara 10.8 dan 8.2 mmHg. Penderita wanita/orang yang mempunyai tinggi badan lebih rendah dan yang mempunyai tekanan darah diastolik lebih tinggi, lebih mampu menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik dengan latihan. Ia juga mengamati derajat penurunan tekanan sistolik dan diastolik berkorelasi negatif dengan intensitas latihan.

Pada studi meta - analisis terhadap 118 publikasi (Spataro dkk)58, terlihat penurunan tekanan darah sistolik sekitar 8mmHg dan 5 mmHg diastolik (tabel 5).

Tabel 5. Meta-analisis terhadap studi latihan uji coba dalam hipertensi

Catatan: 118 studi diuji coba dengan percobaan n = 3.331 dan subyek kontroln = 2.316. SBP - Tekanan darah sistolik, DBP √ Tekanan darah diastolik. Data dari 57 referensi.

Studi mutakhir yang terfokus pada efek hipotensi terhadap sekali latihan dinamis menunjukan penurunan tekanan darah sistolik istirahat dan tekanan diastolik sekitar 1 sampai 2 jam sesudah latihan memakai treadmill.59

Banyak peneliti menemukan setidaknya ada penurunan tekanan darah yang sementara sesudah latihan menggunakan treadmill atau bersepeda; meskipun perubahan hemodinamiknya tidak konsisten dan tergantung kepada karakteristik dasar subyek dan intensitas latihan.59-62

Floras dkk63, merekam lalulintas saraf simpatis melalui saraf peroneal pada penderita hipertensi borderline sebelum dan sesudah latihan. Subyek yang tekanan darahnya turun menunjuk- kan adanya penurunan aktifitas simpatik yang cukup nyata dan menetap sampai dengan 6 menit sesudah latihan.

Pascatello dkk64, menunjukkan bahwa tekanan darah dapat terus menurun pada penderita hipertensi selama periode 13 jam. Namun peneliti lain mengatakan tidak ada bukti adanya penurunan tekanan darah yang terus menerus.59-65

Latihan isometri (dengan tahanan/beban)Sebagian besar percobaan untuk mengatasi hipertensi menggu-nakan program latihan dinamik. Hargberg dkk66, menemukan bahwa latihan beban dengan resistensi yang berubah-ubah selama 3 hari/minggu juga efektif menurunkan tekanan darah sistolik pada remaja yang telah menyelesaikan program latihan endurance (daya tahan).

Pada penelitian lainnya latihan pembebanan selama 9 minggu mampu menurunkan tekanan darah diastolik pada 10 orang laki- laki dengan hipertensi ringan.67 Kelemen dkk50 mengobservasi penurunan tekanan darah sistolik maupun diastolik pada laki- laki hipertensi ringan sesudah mengikuti latihan di sirkuit selama 30 menit dengan latihan beban dan 20 menit dengan latihan jalan atau jogging. Mereka menyimpulkan bahwa program latihan dengan beban cukup aman pada penderita hipertensi ringan.

Studi hewan memberikan kesan bahwa latihan dengan beban tidak meningkatkan risiko stroke68 dan hipertrofi miokard konsentrik, demikian juga latihan tidak memberikan efek sebaliknya terhadap fungsi ventrikel.69,70 Namun demikian sebelum latihan beban dianjurkan untuk menurunkan dulu tekanan.

Mekanisme penurunan tekanan darah sesudah latihan 4,53,73,74

Berbagai bentuk mekanisme telah diusulkan untuk menerangkan penurunan tekanan darah sesudah latihan. Termasuk di dalamnya penurunan curah jantung,49 penurunan aktifitas sistim saraf simpatis,41,43,44 penurunan resistensi total perifer vaskuler,42,45 meningkatnya sensitifitas barorefleks51 dan menurunnya volume plasma.44 Banyak penelitian fokus pada perubahan hemo- dinamik dan neurohumoral sesudah latihan tetapi hasilnya belum konsisten.

Nelson dkk45, menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah disertai penurunan resistensi total perifer dengan sedikit pening-katan curah jantung.42

Sebagai hasil akhir terjadi peningkatan tekanan darah sistolik, sedangkan tekanan darah diastolik meningkat sangat minimal atau mungkin menurun.30

Pada penderita hipertensi ringan curah jantung meningkat secara normal namun tekanan darah sistolik dan diastolik justru meningkat lebih tinggi pada setiap tingkat beban dibandingkan penderita normal karena resistensi vaskuler perifer yang juga meningkat .27

Pada penderita hipertensi berat ( tingkat 2 ) curah jantung lebih rendah dan menyebabkan isi volume sekuncup juga berkurang. Tekanan darah sistolik dan diastolik serta resistensi vaskuler akan meningkat sangat hebat.27

Latihan isometrik 31-37

Respon normal terhadap latihan isometrik berupa peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik yang berhubungan dengan respon terhadap tekanan. Tekanan ini dimediasi oleh reflek me- nyebabkan curah jantung meningkat dengan atau tanpa perubahan resistensi vaskuler; hasil akhirnya tekanan darah meningkat ter- hadap jumlah masa otot yang melakukan kontraksi.

Peningkatan tekanan darah pada latihan isometrik dapat diikuti dengan peningkatan curah jantung pada penderita hipertensi. Selain itu terlihat bahwa respon kenaikan tekanan darah disertai dengan meningkatnya resistensi perifer.

Pada penderita hipertensi latihan isometrik menyebabkan tekanan darah sistolik maupun diastolik meningkat oleh karena itu latihan isometrik harus benar benar dibatasi.

Pada gambar 5 di bawah ini diilustrasikan berbagai respon tekanan darah pada penderita hipertensi ringan. Dapat dilihat bahwa pada penderita hipertensi peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi pada latihan dengan treadmil maupun latihan isometrik.

Dianggap sebagai respon hipertensi bila tekanan darah melampaui 180/80 mmHg pada beban handgrip (isometrik) 50% atau melampaui 220/80 mmHg pada beban isometrik 100% maupun latihan dengan treadmill (dinamik).

Beberapa penderita hipertensi ringan menunjukkan peningkatan tiba-tiba tekanan darah sistolik mencapai antara 180 - 200 mmHg pada latihan submaksimal menetap sampai latihan maksimal. Penderita tersebut mungkin saja di dalam aktifitas sehari-hari akan menunjukan tekanan darah sistolik yang tinggi meskipun tekanan darah saat istirahat atau puncak latihan masih dalam variasi normal.

Penelitian dengan menggunakan ekokardiografi menunjukan peningkatan tekanan darah yang demikian juga terjadi pada penderita LVH ringan dan mempunyai risiko kemungkinan untuk menjadi hipertensi lebih tinggi. Lihat tabel 4 di bawah ini:

Tabel 4. Respon tekanan darah pada orang normal dan penderita hiipertensi pada saat latihan isometrik-handgrip atau dengan treadmill.

* dalam mmHg. (Data dari: Ward A, Harison P and Einerson J. Clinical Res, 1986; 34:3864)

Program latihan pada hipertensi 38-50

Bukti-bukti epidemiologis menunjukkan bahwa berbagai faktor risiko kardiovaskuler dapat ditekan dengan melakukan aktifitas fisik. Hubungan antara latihan fisik dan kesehatan kardiovaskuler ini berlaku untuk semua usia dan jenis kelamin. Meskipun masih ada kontroversi tetapi penelitian menunjukkan bahwa program latihan akan menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.

Latihan dinamikSebagian besar penelitian melaporkan pengaruh yang sangat baik dari latihan dinamik termasuk latihan isometrik dengan beban ringan dan tepat; latihan umumnya bersifat aerobik seperti jalan kaki, jogging maupun bersepeda. Penurunan tekanan darah yang bermakna terlihat sesudah latihan 2 minggu 51 dan akan mene-tap selama individu meneruskan kebiasaannya.46-47

Jika penderita berhenti latihan atau tidak mengikuti program, kadang-kadang tekanan darah kembali ke tingkat awal.46,47,52

Pada latihan ringan tidak ada perubahan kadar aktifitas renin dalam plasma, perubahan konsentrasi aldosteron serum, maupun perubahan aktifitas angiotensin converting enzyme yang bermakna, sehingga melalui latihan ringan tekanan darah dapat menurun.

Gambar 5.Perbandingan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik pada penderita hipertensi saat latihan dengan treadmil maupun latihan isometrik.

<180/80*

180 √ 190

80 √ 90

>190

90

<220/80*

210 √ 220

80 √ 90

>220

90

Normal

Hipertensi ringan

Hipertensi sedang

Handgrip - isometrik50% dari maksimal

<180/120*

180 √ 190

120 √ 130

>190

130

Latihan dengan treadmill

50% 100%

ρ SBP (mmHg)

ρ DBP (mmHg)

- 8

- 5

- 13

- 8

- 19

- 11

Semua Kontrol Hipertensiringan

HipertensiLama

(menetap)

- 5

- 3

Page 5: 05_169Hipertensidefinisi

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009 165

TINJAUAN PUSTAKA

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009166

TINJAUAN PUSTAKA

Dengan kata lain, efek stimulasi sistim renin angiotensin bisa diatasi oleh latihan yang ringan (Urata dkk) 44.

Kegagalan latihan untuk menurunkan tekanan darah pada beberapa individu mungkin karena perbedaan fungsi hemodinamik dan neuroendokrin.

Kiyonaga dkk43, menemukan efektifitas program latihan ber- gantung kepada nilai awal plasma renin. Pada penderita hipertensi dengan kadar renin rendah yang diterapi selama 10 - 20 minggu dalam bentuk latihan menunjukkan penurunan tekanan darah yang lebih baik dibandingkan mereka dengan renin yang tinggi.Duncan dkk41, menemukan penurunan tekanan darah dengan latihan lebih besar pada penderita hipertensi dengan kadar norepinephrine yang tinggi.

Kinoshita dkk57, menemukan penurunan terhadap latihan yang ringan dengan kardiak indek yang lebih tinggi dan rasio natrium kalium lebih tinggi serta resistensi perifer yang lebih rendah sebelum latihan.

Hargberg54 melakukan meta-analisis pada 25 penelitian longitu-dinal atas latihan yang bersifat erobik pada penderita hipertensi. Penurunan darah rata-rata sistolis dan diastolis antara 10.8 dan 8.2 mmHg. Penderita wanita/orang yang mempunyai tinggi badan lebih rendah dan yang mempunyai tekanan darah diastolik lebih tinggi, lebih mampu menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik dengan latihan. Ia juga mengamati derajat penurunan tekanan sistolik dan diastolik berkorelasi negatif dengan intensitas latihan.

Pada studi meta - analisis terhadap 118 publikasi (Spataro dkk)58, terlihat penurunan tekanan darah sistolik sekitar 8mmHg dan 5 mmHg diastolik (tabel 5).

Tabel 5. Meta-analisis terhadap studi latihan uji coba dalam hipertensi

Catatan: 118 studi diuji coba dengan percobaan n = 3.331 dan subyek kontroln = 2.316. SBP - Tekanan darah sistolik, DBP √ Tekanan darah diastolik. Data dari 57 referensi.

Studi mutakhir yang terfokus pada efek hipotensi terhadap sekali latihan dinamis menunjukan penurunan tekanan darah sistolik istirahat dan tekanan diastolik sekitar 1 sampai 2 jam sesudah latihan memakai treadmill.59

Banyak peneliti menemukan setidaknya ada penurunan tekanan darah yang sementara sesudah latihan menggunakan treadmill atau bersepeda; meskipun perubahan hemodinamiknya tidak konsisten dan tergantung kepada karakteristik dasar subyek dan intensitas latihan.59-62

Floras dkk63, merekam lalulintas saraf simpatis melalui saraf peroneal pada penderita hipertensi borderline sebelum dan sesudah latihan. Subyek yang tekanan darahnya turun menunjuk- kan adanya penurunan aktifitas simpatik yang cukup nyata dan menetap sampai dengan 6 menit sesudah latihan.

Pascatello dkk64, menunjukkan bahwa tekanan darah dapat terus menurun pada penderita hipertensi selama periode 13 jam. Namun peneliti lain mengatakan tidak ada bukti adanya penurunan tekanan darah yang terus menerus.59-65

Latihan isometri (dengan tahanan/beban)Sebagian besar percobaan untuk mengatasi hipertensi menggu-nakan program latihan dinamik. Hargberg dkk66, menemukan bahwa latihan beban dengan resistensi yang berubah-ubah selama 3 hari/minggu juga efektif menurunkan tekanan darah sistolik pada remaja yang telah menyelesaikan program latihan endurance (daya tahan).

Pada penelitian lainnya latihan pembebanan selama 9 minggu mampu menurunkan tekanan darah diastolik pada 10 orang laki- laki dengan hipertensi ringan.67 Kelemen dkk50 mengobservasi penurunan tekanan darah sistolik maupun diastolik pada laki- laki hipertensi ringan sesudah mengikuti latihan di sirkuit selama 30 menit dengan latihan beban dan 20 menit dengan latihan jalan atau jogging. Mereka menyimpulkan bahwa program latihan dengan beban cukup aman pada penderita hipertensi ringan.

Studi hewan memberikan kesan bahwa latihan dengan beban tidak meningkatkan risiko stroke68 dan hipertrofi miokard konsentrik, demikian juga latihan tidak memberikan efek sebaliknya terhadap fungsi ventrikel.69,70 Namun demikian sebelum latihan beban dianjurkan untuk menurunkan dulu tekanan.

Mekanisme penurunan tekanan darah sesudah latihan 4,53,73,74

Berbagai bentuk mekanisme telah diusulkan untuk menerangkan penurunan tekanan darah sesudah latihan. Termasuk di dalamnya penurunan curah jantung,49 penurunan aktifitas sistim saraf simpatis,41,43,44 penurunan resistensi total perifer vaskuler,42,45 meningkatnya sensitifitas barorefleks51 dan menurunnya volume plasma.44 Banyak penelitian fokus pada perubahan hemo- dinamik dan neurohumoral sesudah latihan tetapi hasilnya belum konsisten.

Nelson dkk45, menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah disertai penurunan resistensi total perifer dengan sedikit pening-katan curah jantung.42

Sebagai hasil akhir terjadi peningkatan tekanan darah sistolik, sedangkan tekanan darah diastolik meningkat sangat minimal atau mungkin menurun.30

Pada penderita hipertensi ringan curah jantung meningkat secara normal namun tekanan darah sistolik dan diastolik justru meningkat lebih tinggi pada setiap tingkat beban dibandingkan penderita normal karena resistensi vaskuler perifer yang juga meningkat .27

Pada penderita hipertensi berat ( tingkat 2 ) curah jantung lebih rendah dan menyebabkan isi volume sekuncup juga berkurang. Tekanan darah sistolik dan diastolik serta resistensi vaskuler akan meningkat sangat hebat.27

Latihan isometrik 31-37

Respon normal terhadap latihan isometrik berupa peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik yang berhubungan dengan respon terhadap tekanan. Tekanan ini dimediasi oleh reflek me- nyebabkan curah jantung meningkat dengan atau tanpa perubahan resistensi vaskuler; hasil akhirnya tekanan darah meningkat ter- hadap jumlah masa otot yang melakukan kontraksi.

Peningkatan tekanan darah pada latihan isometrik dapat diikuti dengan peningkatan curah jantung pada penderita hipertensi. Selain itu terlihat bahwa respon kenaikan tekanan darah disertai dengan meningkatnya resistensi perifer.

Pada penderita hipertensi latihan isometrik menyebabkan tekanan darah sistolik maupun diastolik meningkat oleh karena itu latihan isometrik harus benar benar dibatasi.

Pada gambar 5 di bawah ini diilustrasikan berbagai respon tekanan darah pada penderita hipertensi ringan. Dapat dilihat bahwa pada penderita hipertensi peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi pada latihan dengan treadmil maupun latihan isometrik.

Dianggap sebagai respon hipertensi bila tekanan darah melampaui 180/80 mmHg pada beban handgrip (isometrik) 50% atau melampaui 220/80 mmHg pada beban isometrik 100% maupun latihan dengan treadmill (dinamik).

Beberapa penderita hipertensi ringan menunjukkan peningkatan tiba-tiba tekanan darah sistolik mencapai antara 180 - 200 mmHg pada latihan submaksimal menetap sampai latihan maksimal. Penderita tersebut mungkin saja di dalam aktifitas sehari-hari akan menunjukan tekanan darah sistolik yang tinggi meskipun tekanan darah saat istirahat atau puncak latihan masih dalam variasi normal.

Penelitian dengan menggunakan ekokardiografi menunjukan peningkatan tekanan darah yang demikian juga terjadi pada penderita LVH ringan dan mempunyai risiko kemungkinan untuk menjadi hipertensi lebih tinggi. Lihat tabel 4 di bawah ini:

Tabel 4. Respon tekanan darah pada orang normal dan penderita hiipertensi pada saat latihan isometrik-handgrip atau dengan treadmill.

* dalam mmHg. (Data dari: Ward A, Harison P and Einerson J. Clinical Res, 1986; 34:3864)

Program latihan pada hipertensi 38-50

Bukti-bukti epidemiologis menunjukkan bahwa berbagai faktor risiko kardiovaskuler dapat ditekan dengan melakukan aktifitas fisik. Hubungan antara latihan fisik dan kesehatan kardiovaskuler ini berlaku untuk semua usia dan jenis kelamin. Meskipun masih ada kontroversi tetapi penelitian menunjukkan bahwa program latihan akan menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.

Latihan dinamikSebagian besar penelitian melaporkan pengaruh yang sangat baik dari latihan dinamik termasuk latihan isometrik dengan beban ringan dan tepat; latihan umumnya bersifat aerobik seperti jalan kaki, jogging maupun bersepeda. Penurunan tekanan darah yang bermakna terlihat sesudah latihan 2 minggu 51 dan akan mene-tap selama individu meneruskan kebiasaannya.46-47

Jika penderita berhenti latihan atau tidak mengikuti program, kadang-kadang tekanan darah kembali ke tingkat awal.46,47,52

Pada latihan ringan tidak ada perubahan kadar aktifitas renin dalam plasma, perubahan konsentrasi aldosteron serum, maupun perubahan aktifitas angiotensin converting enzyme yang bermakna, sehingga melalui latihan ringan tekanan darah dapat menurun.

Gambar 5.Perbandingan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik pada penderita hipertensi saat latihan dengan treadmil maupun latihan isometrik.

<180/80*

180 √ 190

80 √ 90

>190

90

<220/80*

210 √ 220

80 √ 90

>220

90

Normal

Hipertensi ringan

Hipertensi sedang

Handgrip - isometrik50% dari maksimal

<180/120*

180 √ 190

120 √ 130

>190

130

Latihan dengan treadmill

50% 100%

ρ SBP (mmHg)

ρ DBP (mmHg)

- 8

- 5

- 13

- 8

- 19

- 11

Semua Kontrol Hipertensiringan

HipertensiLama

(menetap)

- 5

- 3

Page 6: 05_169Hipertensidefinisi

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009 167

TINJAUAN PUSTAKA

CDK 169/vol.36 no.3/Mei - Juni 2009168

TINJAUAN PUSTAKA

IntroductionCoronary heart disease (CHD) becomes a major global public health problem since the last two decades. Although there has been recent decline in age-standardized cardiovascular mortality, the prevalence of CHD remains high due to increased life expec-tancy and changing in life-style of the population. CHD is the leading cause of death in the United States, responsible for nearly 20% of all deaths (1). Currently, CHD has been also the leading contributor for death and disability in developing countries. The World Health Organization estimates that CHD will account for 6% of the total global disease burden in 2020 (2).

The treatment for coronary heart disease aims to reduce the risk of mortality and morbidity as well as to reduce or eliminate angina pectoris, thus, allowing patients to return to normal activities. Ideally, these end points should be accomplished with minimal side effects and adequate long-term results. There are currently three well-established treatment options for CHD: medical therapy, coronary artery bypass grafting (CABG), and percutaneous coronary intervention (PCI). Throughout the last 2 decades, number of clinical trials has been conducted to compare those strategies. The last two options have been rapidly evolving. Both techniques have their own strengths and inherent weaknesses. Each is particularly beneficial in specific clinical settings. This article aims to review the evidences from the clinical trials which could provide a fair comparison for medical pro- fessionals in objectively choosing the best treatment option for patients with CHD.

Medical TherapyThe primary consideration in choosing pharmacological agents for treatment of CHD should be to improve prognosis. Aspirin and lipid-lowering therapy have been proved to reduce the risk of death and non-fatal myocardial infarction (MI) in both primary and secondary prevention setting. The data strongly suggest that cardiac events will also be reduced among patients with chronic stable angina. The ACC/AHA guidelines suggest that aspirin (75 to 325 mg daily) should be administered routinely to all patients without contraindications. Clopidogrel can be prescribed in those having absolute contraindication to aspirin(1). The Choles-terol and Recurrent Events (CARE) trial and Scandinavian Simvas-tatin Survival Study (4S) have established the benefit of aggressive lipid-lowering therapy for most patients with CHD, even when LDL levels are within the considered acceptable range for

patients in primary prevention setting. In addition, the Medical Research Council/British Heart Foundation (MRC/BHF) Heart Protection Study conducted in 20,536 high-risk adults in the United Kingdom revealed that adding simvastatin 40 mg to existing treatments reduced the rates of MI, stroke, or revascula- rization by approximately 24%. Angiotensin-converting enzyme inhibitors are also recommended for all patients with CHD and asymptomatic patients with CHD who also have diabetes or left ventricular systolic dysfunction. The Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) trial confirm that the use of ramipril (10 mg/day) can reduce the composite risk of cardiovascular death, MI, and stroke by approximately 25% in patients at high risk for or with current vascular disease without heart failure, regardless of age, sex, or coexisting disease. On the basis of their beneficial effects on morbidity and mortality, beta-blockers should be strongly considered as initial therapy for chronic stable angina, as secondary prevention in post-MI patients, and as a means to reduce morbidity and mortality among patients with hypertension. Long-acting or slow-release calcium antagonists are indicated to relieve symptoms in patients with chronic stable angina without enhancing the risk of adverse cardiac events. They are often preferable than long-acting nitrates for maintenance therapy due to their sustained effects. Short-acting nitrates do not lose their effect on symptom relief, but long-acting nitrates may produce tolerance (1,3).

Coronary Artery Bypass GraftingThe first CABG to the right coronary artery using a reverse segment of saphenous vein was performed by Sabiston in 1962. Although the patient died due to cerebrovascular accident, the procedure itself was successful. DeBakey performed the first complete CABG as a bailout procedure after a carotid endar- terectomy (4). Subsequently, Favaloro in Cleveland Clinic refined the use of reversed saphenous vein grafts for coronary bypass. Kolessov and Green were the first who used internal mammary artery as bypass graft. Subsequently, the number of CABG has markedly increased. Currently, more than 500,000 operations are performed in the United States every year with excellent results(5). Even so, many physicians still attempt to avoid recom-mending CABG to their patients. This may be in part a result of the perception that CABG is associated with high mortality risk. This perception has recently been challenged with large published studies demonstrating mortality risk of 1.2% to 1.7% for isolated CABG(6,7). Some limitations of CABG include costs

Current Treatment Options forCoronary Heart Disease

Yanto Sandy Tjang, Lech Hornik, John Mantas, Richardus Budiman,Andreas Bairaktaris, Reiner Körfer.

Department of Thoracic & Cardiovascular Surgery,Heart & Diabetes Center NRW/University Hospital of Bochum,Bad Oeynhausen, Germany

Banyak studi membuktikan bahwa latihan fisik sangat berpengaruh terhadap kesehatan pembuluh darah dan jantung. Latihan fisik secara dinamik dan isometrik sama-sama dapat mempengaruhi tekanan darah. Latihan fisik teratur menghasilkan penurunan tekana darah yang bermakna dan akan menetap selama latihan fisik terus dilakukan. Mekanisme perurunan darah tersebut karena terjadi penurunan curah jantung, penurunan aktivitas sistem saraf simpatis, penurunan resistensi pembuluh darah perifer dan meningkatnya sensitivitas baroreflek.

Rujukan : ada pada penulis.

Pada penderita yang lebih tua penurunan tekanan darah juga berkaitan dengan penurunan resistensi perifer namun individu dengan curah jantung yang tinggi, mempunyai curah jantung yang lebih rendah sesudah latihan.49 Oleh karena itu umur, lamanya hipertensi adanya LVH dan barangkali berbagai faktor mempe- ngaruhi gambaran hemodinamik terhadap penurunan tekanan darah sesudah latihan. Sirkulasi norepinephrine dan epinephrine diketahui juga menurun.41-45,71 Penurunan tekanan darah sesudah latihan secara ambulatoar sering ditemukan pada saat aktifitas simpatis relatif tinggi.72

Somers dkk52, melaporkan bahwa latihan endurance menurunkan tekanan darah harian, baik pada saat istirahat maupun pada saat aktifitas; tetapi tidak menurunkan tekanan darah saat tidur. Mereka juga melaporkan meningkatnya sensiitivitas barorefleks dan menurunnya pengaturan untuk meningkatkan tekanan darah pada peningkatan aktifitas fisik penderita hipertensi ringan maupun borderline (prahipertensi ).

SIMPULANHipertensi merupakan faktor risiko utama untuk kematian maupun kesakitan dari penyakit kardiovaskular. Tiga perempat kejadian kardiovaskular justru terjadi di negara berkembang. Prevalensi hipertensi makin meningkat karena perubahan definisi hipertensi. Pengobatan hipertensi sesuai JNC 7 dapat dimulai dari obat anti- hipertensi semua golongan termasuk antagonis kalsium, penyekat beta maupun ACE dan ARB.

cdk.

reda

ksi@

yaho

o.co

.id

Penyakit InfeksiPenyakit Infeksi ReumatologiReumatologi Bedah & AnestesiBedah & Anestesi