02 Demokrasi, Politik, & Keprihatinan 5-30

26
STULOS 6/1 (April 2007) 5-30 DEMOKRASI, POLITIK, DAN KEPRIHATINAN KRISTEN DI INDONESIA Togardo Siburian, Th.M. PENDAHULUAN Krisis global ketidakadilan negara modern terletak pada praktek kekuasaannya. Dilema antara kuasa dan ketidakadilan adalah fakta universal yang dilakukan oleh para penguasa di seluruh dunia. 1 Ditambah lagi, secara khusus dalam konteks keagamaan, tirani mayoritas atas nama Tuhan dan legitimasi berdasarkan konstitusi dan hukum, kelihatannya sering didukung (atau sedikitnya dibiarkan) oleh pemerintah. Di sinilah negara dengan segala macam pranata sosial-politiknya semakin melanggar HAM. Untuk itulah demokrasi adalah suatu jalan yang niscaya, walaupun tidak sempurna dan mutlak, tetapi dapat dianggap gagasan ideal dalam konteks pluralitas dari masyarakat modern. Dalam hal ini, sikap orang Kristen menjadi acuh tak acuh, karena alasan tidak ada urusan dengan masyarakat dan pemerintah. Memang tugas gereja berlainan dengan pemerintah, tetapi anggota gereja adalah penduduk dunia yang ditempatkan Kristus di dalamnya. Selain kesaksian rohani, mereka juga harus berjuang secara kenabian atas masalah ketidakadilan. Kesadaran injili khususnya, bahwa “esensi negara adalah keadilan… sementara itu, tidak ada masyarakat di bumi ini yang secara penuh mengekpresikan keadilan.” 2 Dalam kaitannya dengan itu, tokoh injili, John Stott, menyarankan pentingnya “doktrin yang lebih genap (complete)” yang seharusnya dihubungkan dengan keterlibatan orang Kristen di dalam masyarakat. 3 Oleh karena itu, artikel ini dikembangkan, agar dapat melihat sejauh mana prinsip-prinsip demokrasi dapat 1 James W. Skillen, International Politics and Demand for Global Justice (Burlington: G.R Welch Co., 1981), hl. 16 dst. 2 Robert E. Webber, The Secular Saint: A Case for Evangelical Social Responsibility (Grand Rapids: Zondervan, 1979), hl. 140. 3 John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian Atas Masalah dan Sosial Kontemporer, terj. (Jakarta: YKBKB/OMF, tt [1984]). Menurutnya terlalu banyak orang Kristen “meredam suara hatinurani”nya untuk menolak keterlibatan di dalam masyarakat berdasarkan “’hikmat’ gadungan” (hl.2).

Transcript of 02 Demokrasi, Politik, & Keprihatinan 5-30

STULOS 6/1 (April 2007) 5-30

DEMOKRASI, POLITIK, DAN KEPRIHATINAN

KRISTEN DI INDONESIA

Togardo Siburian, Th.M.

PENDAHULUAN

Krisis global ketidakadilan negara modern terletak pada praktek

kekuasaannya. Dilema antara kuasa dan ketidakadilan adalah fakta

universal yang dilakukan oleh para penguasa di seluruh dunia.1

Ditambah lagi, secara khusus dalam konteks keagamaan, tirani mayoritas

atas nama Tuhan dan legitimasi berdasarkan konstitusi dan hukum,

kelihatannya sering didukung (atau sedikitnya dibiarkan) oleh pemerintah.

Di sinilah negara dengan segala macam pranata sosial-politiknya semakin

melanggar HAM. Untuk itulah demokrasi adalah suatu jalan yang niscaya,

walaupun tidak sempurna dan mutlak, tetapi dapat dianggap gagasan

ideal dalam konteks pluralitas dari masyarakat modern.

Dalam hal ini, sikap orang Kristen menjadi acuh tak acuh, karena

alasan tidak ada urusan dengan masyarakat dan pemerintah. Memang

tugas gereja berlainan dengan pemerintah, tetapi anggota gereja adalah

penduduk dunia yang ditempatkan Kristus di dalamnya. Selain kesaksian

rohani, mereka juga harus berjuang secara kenabian atas masalah

ketidakadilan. Kesadaran injili khususnya, bahwa “esensi negara adalah

keadilan… sementara itu, tidak ada masyarakat di bumi ini yang secara

penuh mengekpresikan keadilan.”2 Dalam kaitannya dengan itu, tokoh

injili, John Stott, menyarankan pentingnya “doktrin yang lebih genap

(complete)” yang seharusnya dihubungkan dengan keterlibatan orang

Kristen di dalam masyarakat.3 Oleh karena itu, artikel ini dikembangkan,

agar dapat melihat sejauh mana prinsip-prinsip demokrasi dapat

1 James W. Skillen, International Politics and Demand for Global Justice

(Burlington: G.R Welch Co., 1981), hl. 16 dst. 2 Robert E. Webber, The Secular Saint: A Case for Evangelical Social Responsibility

(Grand Rapids: Zondervan, 1979), hl. 140. 3 John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian Atas

Masalah dan Sosial Kontemporer, terj. (Jakarta: YKBKB/OMF, tt [1984]). Menurutnya terlalu banyak orang Kristen “meredam suara hatinurani”nya untuk menolak keterlibatan di dalam masyarakat berdasarkan “’hikmat’ gadungan” (hl.2).

6 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

dimengerti dan dipakai oleh orang Kristen sebagai cara yang baik dalam

kaitannya dengan keberadaannya secara politis. Kemudian penulis

mencoba mengajukan usul prinsipil untuk demokratisasi dalam bidang

keagamaan, yang seringkali tidak terjamah oleh reformasi di Indonesia.

HISTORISITAS DEMOKRASI

Akar-akar Konsep “Demokrasi”

Demokrasi adalah satu prinsip beradab yang selama ini diperjuangkan

oleh manusia modern, walaupun konsep demokrasi yang sekarang

dikenal ini berasal dari masyarakat dan pemikiran Yunani pada abad ke 4

sM. Pada waktu itu pemikirannya masih sangat sederhana, di mana

sistem pengaturan (pemerintahan) masyarakat dalam kerangka negara

kota (polis), yang monolitik dan sederhana dalam bermasyarakat.

Kata “demokrasi” itu sendiri berasal dari kata benda Yunani demos

yang berarti penduduk atau masyarakat, dan kata kerja Yunani kratein

yang berarti memerintah atau mengatur. Dalam pengertian modern,

secara umum bermakna kekuasan ada di tangan rakyat di dalam tiga

dimensi (dari, oleh, untuk rakyat). Pada waktu itu, konsepnya adalah

‘partisipasi’ yang bersifat langsung dalam perkembangan suatu negara

dan kekomplekskan penduduk serta perluasan geografis, khususnya di

dalam kekaisaran Romawi yang memunculkan prinsip perwakilan atau

perwalian. Pada situasi inilah terjadi pergeseran dan perluasan wacana

‘dari negara polis menjadi negara bangsa (nation).’

Sebenarnya, konsep demokrasi itu sendiri diolah secara tidak

langsung dari para pengkritiknya.4 Persepsinya, di dalam situasi pengaturan

suatu negara harus mengingat dan memfokus pada kepentingan

penduduk atau kesejahteraan rakyat. Prinsip demokrasi dibicarakan

sebagai konsep ‘ikutan’ di antara dua sistem pemerintahan yang pada

waktu itu sudah lebih umum dan baku, yaitu otokrasi-monarkhi (kerajaan)

dan aristokrasi (para bangsawan). Perlu dicatat juga bahwa sebutan

“pengkritik” bukan berarti ‘penentang’ tapi lebih berarti ‘penantang’ ide/

konsep tentang demokrasi. Walau demikian, bukan berarti kedua konsep

kekuasaan yang lain tidak mendapat kritik atau tantangan dari para filsuf.

4 Lih. Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, terj. (Jakarta:

Yayasan Obor, 1992), I: 6.

JURNAL TEOLOGI STULOS 7

Kita akan menyebut dua orang filsuf besar yang memikirkan tentang

keadaan masyarakat, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato yang ‘anti

demokrasi’ menggumuli pertanyaan, manakah yang paling tidak baik

antara monarkhi dan aristokrasi? Kedua prinsip tersebut memang

bertendensi terjatuh ke dalam ekses negatifnya sendiri-sendiri, di mana

monarkhi akan jatuh ke dalam tirani; dan aristokrasi dapat gagal karena

oligarkhi. Dalam keadaan demikian, ‘kelas’ rakyat akan menjadi korban

dan terabaikan. Sedangkan Aristoteles mengisyaratkan bahwa demokrasi

adalah yang paling ‘ideal’, namun belum tentu paling baik. Karena

baginya, yang paling baik adalah aristokrasi, asalkan dijalankan oleh

orang-orang yang berkompeten, dalam hal ini para filsuf. Keragu-raguan

akan demokrasi oleh karena kebanyakkan rakyat adalah miskin, bodoh,

dan tidak cakap untuk memikirkan hal-hal kependudukan dan negara

serta cenderung jatuh ke dalam anarkhisme.

Singkatnya, premis tentang demokrasi yang terpenting adalah

konsepsi ‘kebaikan bersama,’ di antara penduduk, walau pada waktu itu

belum terumuskan secara jelas (sistematis dan formal). Jadi, hal-hal

politik sejak semula adalah masalah etika dan hakekat moral lebih dari

kekuasaan semata, seperti zaman sekarang. Sebagai ciptaan yang berbeda,

manusia bukan sekedar hidup, tetapi hidup dengan baik sesuai hakekat

dan kebutuhan sebagai manusia; artinya “di luar komunitas politisnya

manusia menjadi makhluk hidup yang tidak sempurna”5 Inilah gagasan

kuno dari Aritoteles.

Demokrasi sebagai Sistem Politik Modern

Di kemudian hari, John Lock menegaskan kembali, bahwa politik

adalah sesuatu yang alamiah yang didasarkan pada kontrak sosial di

dalam masyarakat demi kebaikan umum dan jaminan atas hak-hak

individual secara bersama-sama sebagai kebutuhan alamiah manusia.6

Di zaman modern, demokrasi menjadi sistem politik tertentu di dalam

cara hidup manusia yang modern untuk membatasi despotisme pada

pemerintah atau mencegah negara tirani.

Prinsip demokrasi yang modern berkembang di dalam pola

5J. Budziszewaki, Written on the Heart: The Case for Natural Law (Downers

Grove: InterVarsity Press, 1997), hl. 16, 17. 6Ibid., hl. 112-14.

8 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

negara-bangsa. Di mana suatu negara yang penduduknya sudah sangat

pluralistik, teritorial kekuasaannya lebih luas, masyarakatnya lebih plural

yang meliputi agama, ekonomi, pendidikan, etnik, tujuan dll. Dalam hal

ini, demokrasi didasari oleh pembicaraan tentang kemanusiaan itu sendiri,

dalam arti martabatnya. Tepatnya adalah pembelaan hak-haknya sebagai

“warga negara.” Hal ini merupakan pemikiran para tokoh kemasyarakatan,

khususnya dalam tema ‘kontrak sosial’ masyarakat, dan lebih khusus lagi

dalam ‘politik kekuasaan’ negara. Jadi, dalam hal ini demokrasi sudah

diperjuangkan dan dibela secara terbuka dan sistematis (ideologi)

Khusus dalam kepentingan naskah ini, saya mencatat dua peristiwa

besar di dalam sejarah perjuangan kemanusiaan di dunia yang berkaitan

dengan demokrasi. Pertama, revolusi Amerika (1779) dengan pentingnya

‘nilai-nilai individual’ yang harus dimengerti sebagai penghargaan atas

martabat individu di dalam hak-haknya. Pada dasarnya prinsip tersebut

sangat dipengaruhi oleh kebajikan Kristen tentang kemuliaan akan

manusia yang diciptakan dalam imago Dei. Walaupun demokrasi liberal

di negara Amerika sekarang ini telah disapu oleh sekularisme, namun

masih teridentifikasi pengaruh iman Kristen di antara ‘para pendirinya”

dan kemudian hari dipertegas oleh Lincoln dengan prinsip “A Nation

under God” akibat tradisi puritan.7 Walau sekarang prinsip tersebut

sedang diperdebatkan lagi oleh para sarjana Kristen, dalam kaitannya

dengan konstitusi dalam dua pilihan yang berbeda, apakah “ the treatment

of religious beliefs of the constitution’s texts, or the role of religion in the

political theory of the Constitution.”8

Kedua, revolusi Perancis (1789) yang menumbangkan tirani-

monarkhisme dan oligarkhi sekelompok pangeran kaya. Gerakan ini

menghasilkan tiga prinsip penting: liberte, egalite dan fraternite, yang

dikenal sebagai dasar konseptual hak-hak azasi manusia. Namun

dikemudian hari teridentifikasi suatu “kedaulatan rakyat yang bersifat

ateistik,” karena prinsip tersebut telah lari dari Pemberi hak-hak dan tidak

mengakui Sumber kedaulatan rakyat adalah Allah yang otonom; yang

7 Lih G.E. Gullivan, ed., A Nation Under God? (Texas: Word Book, 1976), hl.

27, para penulis esai dalam buku ini mempertanyakan kembali religiusitas Amerika saat ini.

8 John G. West, Jr.,“Religion and Constitution” dalam In God We Trust?: Religion & American Politcal Life Corwin E. Smidth, ed. (Grand Rapids: Baker Book, 2001), hl. 39.

JURNAL TEOLOGI STULOS 9

pada gilirannya akan berubah menjadi ‘kedaulatan negara’ juga.9 Walau

demikian, konsep sekular ini kemudian dikenali sebagai ‘kebebasan’

mengemukakan hak-haknya, perjuangan ‘persaudaraan’ antar manusia

secara universal, dan kesadaran ‘persamaan’ derajat manusia.

Terlepas dari ekses negatifnya, ‘individualisme’10 adalah prinsip

dasar pengakuan akan hak-hak azasi manusia secara konseptual,

sedangkan universal adalah ‘postulat’ bagi demokrasi sekarang ini. Lebih

jauh lagi, dalam proses demokratisasi, konsep HAM adalah inti keadilan

yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara dalam suatu hak-hak sipil

dari warga negara, yaitu berdasarkan konstitusi dan di dalam hukum

yang berlaku. Dalam perjalanan selanjutnya, sistem politik demokrasi

melebur dengan sistem ekonomi kapitalisme dan bahkan merangkul juga

sosialisme; selanjutnya dalam perpolitikan negara muncul ‘liberal,’

akhirnya di dalam konteks Barat ‘demokrasi’ identik dengan “liberalisme”

dan sekaligus sebagai lawan abadi terhadap sistem totaliter “komunisme”

(juga fasisme).

Singkatnya, premis sosial dalam konsep demokrasi adalah

‘individualisme dalam masyarakat,’ dengan penghargaan, jaminan dan

perjuangan hak-hak dan martabat individu. Hal tersebut terkandung

dalam postulat ‘logika kebersamaan’ secara eksplisit, yaitu suatu

perjuangan hak-hak secara bersama-sama oleh warga negara dalam

kerangka kontrak sosial, dengan prinsip ‘musyawarah untuk mufakat’

dalam kepentingan bersama atau orang banyak, di atas kepentingan

golongan dan individu; yang oleh Soekarno disebut “gotong royong.”

Namun , prinsip tersebut di dalam reformasi yang kebablasan sekarang

ini, telah diabaikan dengan dominasi voting suara mayoritas atau

anarkisme massa.

Walaupun patut dikemukakan, bahwa suara terbanyak adalah sah

9 Hal ini diungkapkan Abraham Kuyper dalam Lecturer on Calvinism, terj.

(Surabaya: Momentum, 2004), hl. 97-101, menurutnya revolusi Perancis berlainan dengan revolusi Amerika, Inggris dan Belanda yang mempertimbangkan faktor kedaulatan Allah, yang dipengaruhi Calvinisme.

10 Ekses inilah yang pernah diantisipasi oleh Bung Karno dalam proses pembidanan negara Indonesia, di mana praktek kebebasan individual yang kebablasan dan membuat anarkhisme serta kekacauan di dalam masyarakat. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan nuansa keindonesiaan yang pluralistik. Bahkan di negeri barat, individualisme berkaitan dengan penolakan segala macam otoritas termasuk agama atau Allah, sehingga menjadi ateisme dan sekularisme.

10 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

dan legal di dalam demokrasi, tetapi sejarah membuktikan pendapat J.J.

Rousseau bahwa ‘suara terbanyak’ tidak berarti “pendapat umum,”11

karena ekses ‘politik uang’ dan penyalahgunaan kekuasaan serta

pengaruh primordialisme yang dapat membengkokkan proses pemilu,

khususnya di tengah kemiskinan dan ketidakterdidikan masyarakat.

Pendapat umum ‘yang intrinsik’ akan keluar kalau ada kebebasan,

keadilan, dan kesejahteraan (ekonomi dan politik). Jadi bukan karena

terpaksa atau karena ketidakacuhan masyarakat.12

Gagasan Demokratisasi Gelombang Ketiga

Munculnya ide ‘gelombang ketiga’ arus demokrasi mulai di

Portugal, tahun 1974 yang eksistensinya sangat berkaitan dengan keadaan

demokrasi di Indonesia. Sedikitnya saya melihat ada tiga fakta yang dapat

ditangkap dari gagasan di atas: 1) dalam konteks globalisasi dan

globalisme, 2) keruntuhan kuasa ‘tirani atau diktator’ modern, baik liberal

maupun komunis, 3) dan realitas ‘fase transisi’.13 Selain itu dipentingkan

juga peran oposisi dan maraknya anarkhisme brutal yang sangat

mewarnai situasi demokratisasi di masyarakat. Jadi dalam hal ini,

demokrasi telah menjadi suatu ‘sistem politik’ di mana dikaitkan secara

khusus sebagai cara pengambilan keputusan untuk pemerintahan yang

tadinya berdasarkan prinsip ‘musyawarah untuk mufakat’ (kesepakatan)

dan ‘kepentingan orang banyak di atas golongan dan pribadi,’ yang

sekarang sangat dipersempit maknanya dengan voting saja. Oleh karena

itu, “apapun warna politiknya, orang Kristen cenderung memihak

demokrasi”14 daripada sistem politik teokrasi, aristokrasi apalagi otokrasi;

walaupun demokrasi bukanlah sesuatu yang mutlak sempurna di dalam

kehidupan politik negara. Khusus tentang sistem (politik) teokrasi pada

fenomena sekarang, saya menunjuk pada kesetaraannya dengan prinsip

“negara agama”

11 ‘Pendapat umum’ pada mulanya dikemukakan oleh Machiavelli, sebagai

sesuatu kebaikan yang niscaya di dalam pikiran dan hati manusia, lalu dikembangkan oleh Rousseau dengan membagi dua cara secara internal (tersembunyi) dan secara eksternal (terungkap). Dari cara yang kedua inilah lahir kategori ‘suara terbanyak’ melalui pemilu (voting) di dalam demokrasi modern ini.

12 Bdk. Bernard Hennessy, Pendapat Umum, terj. (Jakarta: Erlangga, 1989), hl. 6. 13 Lih. juga Samuel P. Huntington, Demokratisasi Gelombang Ketiga, terj.

(Jakarta: Grafiti, 1997). 14 John Stott, Isu-isu Global, hl. 46.

JURNAL TEOLOGI STULOS 11

Dalam kaitannya dengan proses demokratisasi Indonesia, khususnya

dalam suburnya fenomena partai pollitik yang berbasis keagamaan,

termasuk Kristen. Fakta bahwa ‘parpol’ keagamaan sebagai wadah

‘koalisi’ (atau aliansi?) sangat menjamur untuk menampung aspirasi

rakyat tertentu yang tidak terpenuhi selama ini. Namun bagi kekristenan

secara keseluruhan, ternyata parpol Kristen bukanlah suatu ‘jalan keluar’

yang baik (menguntungkan), baik dari segi ajaran dan praktis.15 Hal ini

berbeda dengan partai Kristen di Jerman, yang sebenarnya adalah

perjuangan humanis-sekular dari perspektif sosialis atau demokrat.

PEMAHAMAN UNIVERSAL TENTANG DEMOKRASI

Sejak semula, pemahaman demokrasi dikaitkan pada kemanusiaan,

khususnya dalam hak-hak manusia yang mendasar yang disebut “hak

azasi manusia”. Konsep HAM tersebut mendasari kedaulatan rakyat

(demos), sehingga konsep demokrasi harus diaplikasikan secara universal,

artinya di segala tempat, setiap orang, dan segala waktu. Konsep tersebut

sebenarnya hadir di dalam pikiran manusia (normal) secara universal,

sehingga pada orang masa kini, prinsip ini dikatakan niscaya di dalam

kehidupan manusia modern dan beradab. Orang Kristen harus memahami

bahwa perjuangan demokrasinya berdasarkan hak-hak dasar kemanusiaan

yang universal dan hak-hak sipilnya sebagai penduduk negara. Jadi

perjuangan keadilan untuk semua orang yang dirampas hak-haknya

sebagai manusia, di manapun, kapanpun dan siapapun juga. Banyak

penjelasan telah dibuat dan dapat dirangkum menjadi 10 prinsip

demokrasi yang universal, seperti yang diungkap What is Democracy.16

1. Kedaulatan Rakyat: kekuasaan ada di tangan rakyat (dari, oleh dan untuk rakyat).

2. Pemerintahan berdasarkan konsensus: berdasarkan kontrak sosial dan konstitusi Negara.

3. Kekuasaan mayoritas: berdasarkan pemilu yang jujur dan adil.

15 Hal ini dikatakan bukan karena takut kekuatan politik Kristen terpecah-pecah,

tetapi politik apapun harus diperjuangkan secara general dan tidak memperalat factor agama. Masyarakat harus diperjuangkan berdasarkan kemanusiaannnya. Faktanya ‘politisasi agama’ dan ‘agamisasi politik’ sangat merusak sendi-sendi kemasyarakatan dan negara Indonesia. Kekristenan bernilai Kerajaan Allah yang rohani dan tidak dapat dijalankan secara politis atau memperalatkan politik apalagi dikendarai oleh partai politik.

16 Yang diterjemahkan dan disebarkan oleh Office of International Information Programs U.S. Department of State, tt. [brosur disebarkan oleh Kedubes Amerika].

12 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

4. Perjuangan hak-hak minoritas: pembelaan pemerintah & mayoritas. 5. Jaminan HAM: Konsensus hukum dan UU mejadi hak-hak sipil. 6. Pemilu adil dan jujur: serta langsung bebas (rahasia?). 7. Persamaan hak di depan hukum: keadilan berdasarkan kebenaran. 8. Proses hukum yang wajar: menolak campur tangan penguasa,

termasuk pengaruh mayoritas. 9. Pluralisme sosial ekonomi, sosial (dan agama?)

17: mencari kebaikan

bersama dan titik equilibrium di antara ekstrim-ekstrim yang ada. 10. Nilai-nilai toleransi, dialog, inklusif, sekularistik, pragmatisme,

kesepakatan dan kerjasama: karena faktor kemajemukan dunia.

KONSEP DEMOKRASI DAN NILAI-NILAI KEKRISTENAN

Tidak ada istilah alkitabiah yang eksplisit untuk membuktikan

dukungan atas “demokrasi.” Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada

nilai-nilai kekristenan yang mendukung konsep demokrasi atau

khususnya kebajikan alkitabiah yang mendukung perjuangan demokrasi.

Tetapi kita dapat mengambil pelajaran secara tidak langsung bahwa

pernah terjadi keinginan demokrasi dalam narasi Alkitab. Namun

demikian nilai-nilai tersebut dapat diperas dalam satu prinsip saja, yaitu

‘keadilan sosial’ menurut hati Allah sendiri dan didalam perjuangan para

nabinya tentang tsadiq dan sedaqah. Perjuangan ini harus dilakukan dari

dalam agar dapat bersimpati dengan penderitaan komunitas dan situasi

politis serta konteks pemerintahan.18 Gary Haugen, menyatakan bahwa

hal ini nyata dalam sifat keadilan Allah sendiri: 1) mencintai keadilan dan

membenci ketidakadilan, 2) mengasihani orang yang menderita karena

ketidakadilan, 3) mengutuk dan menghakimi pelaku ketidakadilan, 4)

secara aktif mencari korban ketidakadilan di manapun.19

Secara implisit dapat ditarik relevansinya ke dalam perjuangan

demokrasi yang aktual, dan secara eksplisit di dalam prinsip-prinsip:

kebenaran, keadilan, kebaikan, keterbukaan, kejujuran, kemanusiaan,

persaudaraan, kebebasan (kemerdekaan), kesamaan (kebersamaan),

17 Dalam hal ini wacana dan perjuangan pluralisme agama yang dapat diterima

sebatas kategori “structural pluralism” yang dipertentangkan terhadap ‘confessional pluralism” Lih juga dalam Spykman dkk, Society, State, & Schools (Grand Rapids: Wm.Eerdmanns Pub., 1982), hl. 39.

18 Lih. Michael Elliott, Freedom, Justice, & Christian Counter Culture (London, Philadelphia: SCM Press, Trinity Press Int’l, 1990), pasal 7.

19 Gary Haugen, Good News About Injustice: A Witness of Courage in A Hurting World (Downers Grove: InterVarsity Press, 1999), hl. 69,70.

JURNAL TEOLOGI STULOS 13

kedamaian (kesejahteraan), kemasyarakatan dan keinternationalan di

antara bangsa-bangsa. Hal-hal tersebut tercakup dalam nilai-nilai kasih

Kristen yang universal dan tugas orang Kristen di dunia: perjuangan

gereja dan tugas teologis di dalam konteks yang berubah sebagai “wakil”

suara Allah. Jadi, visi gereja adalah bagi ‘perjuangan profetik’ orang

Kristen di dalam dan bagi masyarakat luas.20 Gereja Tuhan (bersama

dengan umat beragama lain) secara sadar harus merefleksi eksistensinya

sebagai ‘agama’ dalam kaitannya dengan keindonesiaan’ yang majemuk

dan secara keseluruhan rakyat Indonesia. Oleh karena kesadaran bahwa

prinsip “kebebasan beragama adalah ‘batu penjuru’ dari hak-hak azasi

manusia” yang “didasarkan pada dignititas humanae” yang sangat

“esensial bagi semua manusia” tanpa kecuali.21

Petunjuk Prinsipil Alkitabiah untuk Demokrasi

Dalam kitab 2 Samuel dapat dipersepsikan tentang usaha

demokratisasi secara terbatas, ketika umat Allah, Israel menolak teokrasi

langsung (pemerintahan Allah) dan ingin menjadi monarkhi seperti

bangsa-bangsa di sekitar mereka, yang akhirnya jatuh ke dalam ‘tirani’

raja dan kroninya. Namun sebelumnya, kitab Hakim-hakim telah

mengindikasikan adanya keinginan untuk ‘berdemokrasi’ yang akhirnya

jatuh dalam anarkisme di kalangan umat Allah, dalam hal ini adalah

prinsip ‘semau gue’ di dalam kemurtadan umat Allah.

Selain itu adalah gagasan nilai-nilai demokratis nyata dalam

pelayanan nabi-nabi Allah yang melawan tirani dan ketidakadilan para

raja dan bangsawan (pemimpin politik) juga para pemimpin agama

(nabi-nabi palsu dan iman-imam bayaran) pada era raja-raja Israel. Dari

sana kita melihat konsern Allah kepada umat-Nya, khususnya rakyat, di

mana dikatakan “penderitaan umat telah sampai kepada-Nya.” Akibat

sistem pemerintahan monarkhi dan aristokrasi dengan segala problem

KKNnya. Kalau diperhatikan secara seksama, jeritan tersebut pada

dasarnya adalah inti perjuangan demokrasi masa kini dengan jargonnya

vox populi vox dei atau ‘suara rakyat adalah suara Allah’ yang harus

20 Lih. Andre Dumas, Political Theology and The Life of The Church, trans.,

(Philadelphia: Westminster Press, 1978), pasal 2. 21 Lih. Carl Henry, The Christian Mindset in Secular Society: Promoting

Evangelical Renewal & National Righteousness, ed. Rod Morrys (Portland: Multnomah, 1984), hl. 63-80.

14 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

dimengerti secara sosiologis, bahwa Allah sangat memperhatikan

manusia yang tertindas, dan tidak boleh dibalik menjadi vox dei vox

populi karena hubunganya ‘asimetris,’ di mana yang satu (Allah) lebih

besar lingkup jangkauan dari yang lain (rakyat). Artinya nilai-nilai

Alkitab dapat dicari relevansinya dalam perjuangan demokrasi manusia,

meskipun makna belum sepenuhnya ada dalam sistem pemerintahan.22

Selain itu juga, di dalam perspektif Kristen, pemerintahan tirani

tidak mengabaikan maksud Allah bagi manusia ciptaan-Nya, serta tidak

melindungi hajat hidup orang banyak, padahal pemerintah ditugaskan

untuk itu tanpa pilih kasih, maka ada kemungkinan adanya ‘civil

disobedient Kristen’ pada masa kini.23 Karakteristik pembangkangan

sipil Kristiani yang : positif, simbolik, non destruktif, suara moral, cara

damai dan pasifisme terhormat, serta intelektual adalah implikasi dari

perjuangan demokrasi. Untuk itu nilai-nilai Kristen dapat menyetujui

reformasi damai, bukan revolusi kekerasan. Jadi secara keseluruhan, apa

yang populer disebut “pasifisme Kristiani” selama ini adalah seperti yang

dicontohkan oleh Tuhan Yesus sendiri dan di dalam konteks etika

Kerajaan Allah yang rohani.24 Aksi positif tersebut merupakan cara

radikal juga, namun di dalam prinsip non resistence yang bersifat kritis di

dalam kemerdekaan sikap hidup yang dikonsepkan dalam “anarkhi

Kristiani”25

Orang Kristen dan Perpolitikan Kontemporer

Bebeberapa hal di dalam kekristenan juga mengindikasikan salah

satu praktek demokrasi, usaha serta prinsip demokratisasi ‘secara

terbatas’ dalam pelaksanaan pemerintahan gereja. Sistem pemerintahan

presbiterial menunjukkan adanya demokrasi perwakilan, juga dalam

sistem kongregasional menunjukkan demokrasi langsung, bahkan dalam

pemerintahan Roma Katholik juga ada indikasinya, khususnya dalam

22 Di sini para pembaca harus menyadari bahwa penjelasan ini tidak bermaksud

untuk menafsiran teks-teks petunjuk ini secara eksegesis yang ketat, namun hanya melihat fenomena paralel di dalam kemasyarakatannya saja.

23 Berkaitan dengan pokok ini, saya merencanakan satu tulisan khusus agar cukup memberikan pengertian yang cukup dalam perspektif etika sosial Kristen.

24 Lih. Howard Yoder, The Politics of Jesus (Grand Rapids: Wm. Eerdmanns Pub., 1972).

25Lih. Jacques Elllul, Anarchy and Christianity, trans Geoffrey Bromiley (Grand Rapids: Wm Eerdmans Pub., 1988).

JURNAL TEOLOGI STULOS 15

pemilihan Paus baru. Meskipun praktek tersebut berkaitan dengan firman

Allah, bukan sekedar politisasi di dalam gereja presbiterianisme;26 yang

dikenal dengan “logokrasi” dan bukan “teokrasi” apalagi “demokrasi”.

Juga tidak berarti gereja dianjurkan untuk ‘bermain’ politik dengan

ikut sebagai “partisan” parpol tertentu -sekalipun berlabel Kristen-,

karena tugas gereja adalah pembinaan rohani. Wacana teologi politik

dalam hal ini adalah menyelidiki tema-tema politis (kemasyarakatan)

dalam Alkitab dan memikirkan kaitannya pada situasi paralel, di mana

orang Kristen dan gereja sebagai warga negara dan dunia. Bukan berarti

berteologi di dalam arena politik dengan cara mencari teks dari dalam

Alkitab untuk membenarkan diri. Suatu studi teologi politik menjadi

cukup penting, karena banyak gereja tidak menyadari keberadaannya

sebagai warga negara di Indonesia dan memisahkan diri dengan

membangun tembok besar dengan alasan warga kerajaan Allah. Alasan

ini tidak otomatis mengeluarkan warga gereja dari kewarga-negaraannya

secara riil. Jadi gagasan teologi politik adalah refleksi Kristen atas/tentang

“tatanan dunia yang adil” yang diperjuangnan kemunculannya sebagai

‘tatanan baru,’ seperti yang pernah dipertanyakan oleh de Gruchy.27

Refleksi teologis harus kritis dan bersumber dari ajaran alkitabiah untuk

menunaikan ‘mandat sosial-budaya’ di dunia ini.

Namun orang Kristen harus kritis dengan apa yang disebut oleh

Frame dan Traphe sebagai “koalisi Kristen”28 di dalam wujud pembentukan

‘partai politik Kristen’ di Indonesia, yang bermaksud merebut kekuasaan

dengan jargon-jargon politik-agama dan melalui politisasi agama (bahkan

agamisasi politik),29 karena misi kekristenan melalui gereja bukanlah

26 Dalam presbiterianisme yang agak lama boleh dilakukan dengan ‘undian.’ Jadi

apa yang teridentifikasi sebagai proses/prinsip demokrasi dalam gereja seharusnya tidak bersifat ‘politik kekuasaan,’ tetapi kuasa melayani dan menghamba. Artinya kuasa menghamba, bukan kuasa memerintah seperti pada pemerintahan politis, bukan untuk cari menang harus dengan persaingan, apalagi harus dengan sifat ‘kekerasan,’ karena pada dasarnya setiap calon yang akan dipilih menjadi pemimpin gereja adalah sama baik dan sama layaknya, tetapi karena hanya ada satu tempat, maka hanya satu yang terpilih.

27 John de Gruchy, Agama Kristen dan Demokrasi, terj. (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), hl. 11, 2.

28 Rendall Frame and L. Traphe, How the Rights is the Right? A Biblical and Balanced Approach to Politic (Grand Rapids: Zondervan, 1996), hl. 24, 27.

29 Namun ada agama, Islam misalnya, tidak dapat dipisahkan dari politik dalam eksistensinya, itu berarti perkembangan agama didukung dan dijalankan secara politik dan politik diwarnai dan diarahkan oleh hukum agama. Namun ternyata bukan inti agamanya yang menonjol, tetapi hal-hal lahiriah dalam fenomena ‘arabisasi’ di dalam golongan

16 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

perebutan kekuasaan, tetapi berisi nilai-nilai moral dan rohani. Hal ini

bukan berarti ingin menghalangi beberapa politikus Kristen yang baik

dan berjuang atas nama kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan

seluruh lapisan masyarakat yang menderita. Seharusnya agama tidak

boleh ‘ikut bermain’ politik praktis, sebaliknya kekuasaan politik tidak

boleh memperalat ajaran dan mengatur cara berkeagamaan dan

kepercayaan mayarakat. Ini mungkin ide dari apa yang dinamakan civil

religion atau “agama sipil” yang benar, yaitu suatu ‘keagamaan yang

universal-transenden’ ditengah bangsa yang pluralistik dan mencakup

seluruh umat beragama yang ada yang rawan akan konflik antara agama,

termasuk antara agama dan politik.

Ternyata sangat cocok dengan nilai-nilai Pancasila di Indonesia,

sehingga beberapa orang mengkaitkan ‘peran’nya identik dengan peran

‘agama sipil’ yang konsepnya dapat mengambil banyak bentuk di seluruh

dunia sesuai kultur kebangsaanya. Dengan demikian, tidak perlu

diragukan lagi Pancasila adalah salah satu agama sipil, sekaligus

menjawab kemungkinan pancasila menjadi “agama sipil” di Indonesia,30

sehingga konflik dis-integrasi bangsa dapat diatasi secara adil. Walaupun

pelaksanaan agak berbeda dari agama sipil yang dikembangkan di

Amerika, di mana lebih bermakna democratic faith yang sinkritistik,

namun ada yang memaknai secara sempit sebagai protestant civic piety.31

Saya menilainya, poin pertama bernilai positif dan dapat dicapai jika

masyarakatnya sudah memahami apa arti dan implikasi masyarakat sipil

yang sejati,32 dalam konteks kemajemukan di segala bidang; sedangkan

yang kedua saya yakin bersifat negatif di dalam masyarakat yang plural,

karena mengindikasikan dominasi mayoritas agama tertentu (Protestan).

Karena itulah, dalam perkembangan terakhir konsep dan praktek ‘agama

sipil’ ini mendapat banyak tantangan dan kritik serta dituding sebagai

masyarakat Indonesia. Ini penting disadari dalam realitas peradaban modern yang pluralistik dan global, untuk itu harus memilih satu di antara dua pilihan esensial, Apakah sistem negara sekular atau sistem negara agama?!

30 Pertanyaan ini pernah diajukan oleh NK Admaja Hadinoto, Dialog dan Edukasi: Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 1990), hl.46 dst

31 Lih. dan bdk Webber, The Secular Saint., hl. 127-129 32 Lih juga Francis Fukuyama, Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan

Kemakmuran, terj. (Jakarta: Qalam: 2002), hl. 5 Menurut Fukuyama untuk membangun masa depan dunia yang lebih baik perlu penciptaan masyarakat sipil yang terdiri pemberdayaan semua sektor organisasi dan lapisan masyarakat termasuk dimensi keagamaan (dalam konteks tulisannya diwakili gereja).

JURNAL TEOLOGI STULOS 17

“jalan” ke arah sinkritisme agama dan kemudian muncul satu konsep lagi

untuk mengatasinya, yaitu public religion atau “agama publik.”33

Prinsip public religion mungkin lebih unggul sedikit, khususnya

untuk mengatasi banyaknya RUU atau ‘perda’ masa kini yang syarat

dengan unsur-unsur agama dominan dan biasanya dikemas atas nama

agama yang mayoritas. Namun pada hakekatnya, perjuangan dan alasan

dalam menyodorkan hal-hal tersebut seharusnya berdasarkan perjuangan

kemasyarakatan yang universal, bukan golongan agama tertentu. Pada

dasarnya kedua hal ini sama saja, yaitu keluar dari pluralisme masyarakat

yang majemuk, dimana yang satu dengan pendekatan internal agama, dan

yang lain dengan pendekatan eksternal agama. Untuk itulah lebih penting

bagi kita untuk memulai ‘revitalisasi’ Pancasila daripada harus

mempersaingkan kedua prinsip pluralisme Barat, yang pada dasarnya

sama saja, hanya pendekatannya yang berbeda.34

Singkatnya, secara moderat, kita tidak menyangkal Alkitab

berbicara tentang isu-isu sosial-politis, tetapi kita tidak setuju bahwa

Alkitab dipakai di dalam arena politis; maksudnya untuk diperalat dalam

politik praktis dan berafiliasi dengan suatu ideologi politik tertentu.

Karena mentalitas ‘cari menang’ dalam dunia politik (melalui

partai-partainya), maka suatu koalisi Kristen tidak dapat diterima, karena

tidak berdasarkan prinsip-prinsip Kristen secara keseluruhan yang utuh,

tetapi hanyalah tafsiran khusus diri sendiri tentang prinsip-prinsip politik

Kristen.35 Tugas gereja dan pemerintah adalah berjalan sendiri-sendiri

walau berkoordinasi dalam kesejahteraan masyarakat. Secara umum

tugas gereja adalah melayani dan bukan memerintah yang diidekan

dengan kekerasan atau pemaksaan.

33 Untuk diskusi lebih lanjut, lih. Ronald F. Tiemann, Religion in Public Life:

Dilemma for Democracy (Washington D.C.: George Wahington University, 1996), pasal 4 dan 6.

34Sebenarnya gagasan dan tujuan kedua prinsip keagamaan Barat modern ini adalah sama saja di dalam mengembangkan gagasan hubungan agama dan negara dalam konteks demokrasi. Namun ide ‘agama sipil’ adalah bebas menyembah apa saja (ide ‘Pencipta’) asalkan tidak melawan (peraturan) pemerintah; sedangkan ‘agama publik’ adalah urusan masyarakat beragama itu sendiri dan tidak bersangkut-paut dengan negara secara prinsip ajaran. Istilah pertama, negara masih ikut mengatur dalam lingkup yang cukup besar, khususnya dalam kaitan dengan pengaruhnya ke dalam hukum-hukum sipil atau acara-acara politik bahkan disalahgunakan dalam praktek-praktek pengaturan di masyarakat, sedangkan yang ide “agama publik” tidak diperbolehkan dikaitkan dengan hukum-hukum sipil dan acara-acara sipil dan politik.

35 Lih. dan bdk juga Frame & Thrape, How The Rights is the Right?, hl. 32.

18 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

Gagasan ‘parpol Kristen’ kemungkinan besar hanya merupakan

‘interes’ berdasarkan ‘visi’ (walaupun sah-sah saja). Suatu ‘interes’ hanya

mengkaitkan perasaan pribadi, isu sementara, urgensi pragmatis dan

dibela dengan segala cara dan harga serta hanya mempengaruhi

pemikiran-pemikiran. Sedangkan suatu ‘visi’ bukan diarahkan pada

emosional semata, tetapi memiliki penilaian “konsistensi logis” dan

adalah pembentuk ‘yang tidak berbicara’ dari pemikiran-pemikiran kita,

bahkan membentuk masa depan. Pendeknya, konflik interes adalah

jangka pendek (reaksi sesaat), sedangkan konflik visi adalah jangka

panjang dan bersifat historis dan abadi.36 Perjuangan profetik Kristen

harus menghindari konflik interes ini, baik secara lokal maupun global.

Implikasi dalam Fenomena Demokratisasi di Indonesia

Era reformasi di Indonesia ini adalah demokrasi berkarakteristik:

pasca rezim orde baru yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan

tirani (otoriter). Dalam hal itu, rezim tersebut kelihatannya lebih

mementingkan state bulding daripada nation building, sehingga

sendi-sendi kemasyarakatan dan berbangsa sangat rapuh, karena selama

ini dipaksa dan ditekan oleh ketakutan eksternal, bukan karena kesadaran

terdalam. Hal ini nyata ketika rezim ini jatuh, demokrasi menjadi

kebablasan dan anarkhis, sehingga bangsa ini terancam dis-integrasi.

Untuk itulah gagasan pembangunan bangsa jauh lebih penting, khususnya

dalam menguatkan sendi-sendi kebangsaan dan ketanahairan dalam

semua warganegara yang pluralistik. Lapangan pluralitas yang paling

rawan dan penting adalah bidang keagamaan; dan pengakuan akan

prinsip-prinsip universal tentang demokrasi harus diterima seluruh

lapisan warga negara, agamawan dan negarawan, termasuk pemerintah.

Gagasan reformasi ini akan gagal kalau memakai pendekatan state

building saja, karena pembangunannya menekankan yang kelihatan dan

bersifat semu serta tidak kokoh, karena negara ini adalah bangsa yang

sangat pluralistik. Kala sendi-sendi kebangsaan tidak dikuatkan, maka

suatu saat akan pecah dan mungkin juga dengan dalih demokrasi.

Demokrasi yang kebablasan adalah ‘anti demokrasi’ yang memakai

jargon-jargon demokrasi dan mengatasnamakan rakyat. Dalam hal ini

36 Thomas Sowell, A Conflict of Visions: Ideological Origins of Political

Struggles, (np: Basics, 2002), hl. xi-8.

JURNAL TEOLOGI STULOS 19

terjadi anarkhi, bahkan secara tidak sadar berubah menjadi tirani

mayoritas, meski hanya sekelompok kecil yang egois mengatas namakan

mayoritas. Karena justru di dalam demokrasi, pihak mayoritas harus

memperjuangkan hak-hak minoritas, bukan menjadi tirani atasnya. Tetapi

bangkitnya fundamentalisme agama yang picik dan anti sosial membuat

sendi-sendi kebangsaan tidak dihiraukan, apalagi beberapa dari pemimpin

bangsa ini berpihak dan ikut bermain dengan ideologi fundamentalisme,

baik politikus, anggota parlemen maupun birokrat.

Dalam hal ini relasi negara dan gereja adalah koordinasi, di mana

berjalan sendiri-sendiri pada tempatnya secara bebas, namun tetap

berhubungan secara konsultatif dalam kemasyarakatan. Tidak saling

membawahi, karena keduanya masing-masing mempunyai hakekat

fungsional yang berbeda. Bagi saya tidak mungkin menerima konsepsi

Jurgensmeyer37 tentang “nasionalisme agama”; yang seterusnya dapat

dilihat dalam pembentukan ‘partai nasional yang berazaskan agama,’

seperti PAN, misalnya.38 Walau hal tersebut sah-sah saja di dalam alam

demokrasi, namun bersifat kontradiktif, karena nasionalisme harus

berdasarkan nilai-nilai kebangsaan dan kerakyatan, kenegaran dan

kemanusiaan yang pluralistik. Karena itu, juga harus mencakup seluruh

agama dan melindungi semua orang yang beragama lain. Hanya ada dua

pilihan yang saling berseberangan antara ‘sistem’ negara sekular

(nasionalisme) atau negara agama (adalah jenis teokrasi kontemporer).

Dan pada kesempatan ini, saya mengingatkan kembali, bahwa dari

dasar negara kita, Pancasila, maka negara Indonesia adalah “negara

sekular” namun masyarakatnya religius. Kalau pendirinya adalah

pemeluk agama-agama yang menghasilkan kerangka ideologis yang

bernafaskan keagamaan, tidak berarti negaranya “bukan negara sekular.”

37 Lih. Mark Jurgensmeyer, Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Nasionalisme

Religius terj. (Jakarta: Mizan, 1998). 38 Jadi tidak boleh ada konsep ‘negara Kristen’ dalam pengertian ideologi politik

dan kekuasaan masyarakat agama dalam bentuk apapun. ‘Negara agama’ yang dianggap paling demokratispun pasti syarat dengan muatan ajaran agama tertentu yang dipaksakan dan mengandung diskriminasi juga atas yang beragama lain. Di dalam maysarakat modern yang global dan plural, mayoritas umat beragam tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk mendirikan negara agama, apalagi kemerdekaan dan pembangunan negara dijalankan secara bersama-sama sebagai suatu bangsa. Secara alkitabiah tidak ada keharusan ‘usaha’ untuk menjadikan penduduk Indonesia menjadi Kristen seluruhnya (100%). Yang terakhir itu sangat bersifat politis, imperialistik dan superioritas, tidak sama dengan usaha rohani (KA).

20 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

Jadi Pancasila adalah sekular meski ada frase “Ketuhanan YME” atau

konstitusinya “Negara berdasarkan Ketuhanan YME” (dalam mukadimah

dan pasal 29 UUD 45); sama seperti negara Amerika Serikat yang sekular

walau ada “in God we trust”di dalam konstitusinya. Negara Baratpun,

konstitusinya diwarnai dengan nilai-nilai keagamaan yang cukup pekat,

bahkan mencakup prinsip tugas dan peran kepala negara,39 tetapi tidak

otomatis dapat dituduh menjadi ‘negara agama’

Pancasila adalah filsafat hidup semua orang beragama yang

berlainan di Indonesia. Secara logis, Pancasila memang tidak (mungkin)

dapat diagamakan sehingga harus keluar pernyataan “Indonesia bukan

negara agama”. Tentunya negara harus dibedakan dengan warganya;

kalau penduduknya beragama dan mencetuskan konstitusi yang

bernuansa keagamaan dan ketuhanan yang universal, global, transenden,

berdasarkan kemanusiaan, keadilan dan kebangsaan, hal itu bukan berarti

negaranya menjadi ‘bukan sekular.” Secara logis, Indonesia adalah

negara sekular, karena secara faktual Pancasila bukanlah agama, tetapi

suatu pandangan hidup bangsa yang mencakup seluruh agama-agama

yang ada; namun secara sederhana dapat dikatakan sebagai “agama sipil.”

Hal ini terlepas dari segala implikasi teologis (Kristen) dan ekses sinkritis

keagamaan yang muncul, karena Pancasila dan agama sipil adalah politik

dan wacana perpolitikan bangsa yang plural.40

Jadi Pancasila adalah sekular, sehingga negara Indonesia adalah

negara sekular dan seharusnya tidak perlu takut dijuluki negara sekular

seperti India, misalnya. Kesadaran tentang prinsip selama ini ‘bukan

negara agama dan bukan negara sekular’ adalah kesalahan logika

contradictio in terminatum, yang pada akhirnya berekses negatif pada

kecenderungan mayoritas mengambil kesempatan ‘seolah-olah’ Indonesia

adalah negara agama dengan alasan “Indonesia bukan negara sekular”

Ketakutan selama ini adalah karena tafsiran teologis tentang sekularisme

sudah menggeneralisasi sepintas lalu antara “sekular” dengan “sekularisme.”

39 Lih. Jeff Walz, “Religion and American Presidency” dalam In God We

Trust, hl. 191. 40 Menyadari kerumitan ini saya menantang diri untuk menyiapkan satu artikel

khusus mengenai hal ini agar dapat membantu orang Kristen dalam menjernihkan masalah, meskipun posisi saya sudah jelas dalam buku saya, Kerangka Teologi Religionum Misioner: Pendekatan Injili tentang Hubungan Kekristenan dan Agama-agama Lain (Bandung: STT Bandung, 2003), hl. 168-173.

JURNAL TEOLOGI STULOS 21

Seharusnya sekular dan sekularitas adalah kenyataan sebagai istilah netral

(meski konsep dan wacananya tidak mungkin netral), sedangkan

sekularisme dengan kaum sekularisnya adalah konsep ideologis yang anti

agama dan ateisme.

Pentingnya pemerintahan yang bergaya sipil harus terus

dihidupkan, walaupun pemerintahnya mungkin saja bekas oknum militer.

Dengan demikian, militerisme dalam alat negara tidak dipakai sebagai

alat kekuasaan untuk menindas dan menakuti rakyat. Namun militer dan

alat negara lain harus diberdayakan agar pemerintah tidak lumpuh dan

berwibawa dalam pengendaliam massa, karena takut dituduh militerisme

seperti masa lalu. Untuk itu polisi (sipil juga) sebagai “alat negara” harus

didukung agar tidak ragu-ragu dalam menghadapi anarkhi sekelompok

masyarakat atas golongan yang lain, sehinga polisi tidak jatuh ke dalam

pelangaran HAM pada ekstrim yang lain. ‘Masyarakat sipil yang sejati’

harus diberdayakan secara kependidikan dan ekonomi, bukan hanya

politik saja. Masyarakat sipil jenis ini tidak ada kaitannya sama sekali

dengan apa yang sekarang ini didengungkan sebagai “masyarakat

madani,”41 karena kesejatian ‘sipil’nya pasti tidak akan didapati bila ada

diskriminatif dan prinsip non-egalitarianisme, tidak adanya equal

treatment dari pemerintahnya. Hal ini sudah terbukti dari Reformasi yang

‘kebablasan’ dengan anarkhi ‘barbarik’ yang menjadi fenomena

sehari-hari dengan alasan demokrasi. Untuk itu rakyat harus dicerdaskan

dan lapangan kerja harus diciptakan seluas-luasnya.

Lebel politik itu ‘jahat’ biasanya bila sudah berkaitan dengan

kekuasaan dan perebutan kekuasaan, serta potensi kekerasan di dalamnya.

Namun politik pada mulanya berarti baik, karena kata Yunani politeia

berarti kemasyarakatan atau pengaturan penduduk dari suatu negara. Jadi

41 Belakangan ini ‘masyarakat sipil’ sering disamakan dengan ‘masyarakat

madani,’ padahal secara konseptual dan praktis sangat berbeda. “masyarakat Madani” masa kini (sejahtera, adil, makmur, tentram dll) yang dikonsepsikan oleh Mahathir Muhammad, -dan diadopsi kaum Muslim Indonesia- sarat dengan muatan agama tertentu dan dalam sejarahnya juga ‘piagam Madinah’ tidak dapat mengakomodir semua keinginan golongan masyarakat kota Yathrib dengan setara dan dalam prakteknya menunjukkan tidak adanya kesamaan hak-hak kemanusiaan dari suatu pemerintahan. Lebih lanjut dapat dikatakan, bahwa secara tertentu dapat juga diduga sebagai upaya lain dan jalan terselubung dalam perwujudan ‘NII’ yang telah diimpikan selama ini. Dalam studinya Gunarto mendaftarkan fakta historis ke 47 klausul perjanjian Madinah yang menindikasikan situasi on emensipatif juga; lih “Tradisi Ibrahimi Sebagai Konteks Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia,” Tesis M.HI, Universitas Islam Malang, 2004, hl. 59-65 (tidak terbit).

22 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

tidak ada salahnya memperjuangkan kembali ‘hak-hak sipil’ kita sebagai

warga negara secara konstitusional dan sesuai hukum-hukum sipil yang

berlaku. Beberapa orang injili memang menolak ide ini, Gordon Clark

misalnya, ‘menolak gagasan tentang pemerintahan sipil, karena hanya

Tuhan adalah Raja,’ bahkan Yoder ‘menolak tentang partisipasi Kristen

dalam pemerintah karena bersifat kekerasan.’ Juga Carl Henry

menyarankan ‘teologi a-politis karena produk aktualnya tersebut dan

motif human centernya. Abraham Kuyper menjelaskannya dengan

membagi dua dimensi pelayanan dan ketertundukkan gereja, secara

eksternal (pemerintah nasional) dan internal (Allah sebagai raja)42 dan

kelihatannya Mou menjembataninya dengan pendekatan korelasi dalam

mendamaikan dua hal ini, daripada pendekatan akomodasi.

KARAKTERISTIK PEMERINTAHAN YANG DEMOKRATIS

Visi dan Misi Pemerintah bagi Demokrasi

Secara umum suatu negara dikatakan demokratis karena

pemerintahnya mengakui dan berusaha melakukannya dalam kehidupan

berbangsa dan bermasyarakat. Penyelenggaraan negara harus dilakukan

dengan mengingat kesejahteraan rakyat dalam seluruh lapangan

kehidupan rakyat: ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam,

pendidikan, agama (ipolekosbudhankampenag). Singkatnya, sistem

politik demokrasinya dengan menyadari aksioma dari, oleh, dan untuk

rakyat serta aspirasi dan peran rakyatnya sebagai warga negara. Dalam

hal ini, visi dan misi suatu pemerintahan yang demokratis dapat disarikan

dari berbagai tulisan.

1. Pemerintahan konstitusional: berdasarkan konsensus yang diundangkan dalam UUD.

2. Pemilu jujur dan adil : bukan hanya langsung, umum, bebas dan rahasia tetapi juga ada transparansi.

3. Disentralisasi kekuasaan: otonomi daerah (=federalisme?) untuk mencegah otoriterianisme pusat.

4. Transparansi parlemen dalam proses RUU: harapan rakyat sebagai konstituen

5. Sistem peradilan yang independen: bebas dari intervensi penguasa eksekutif dan kekuasaan lainya

42 Lih. dalam Richard J. Mouw, Political and Biblical Drama (Grand Rapids:

Baker, 1983), hl. 13-37.

JURNAL TEOLOGI STULOS 23

6. Pembatasan waktu lembaga kepresidenan: kuasa presiden dengan bawahannya adalah abdi masyarakat dan untuk mencegah munculnya penguasa diktatorisme.

7. Media yang bebas: sarana kontrol sosial terhadap pemerintah dan katalisator perjuangan masyarakat.

8. Perkembangan kelompok-kelompok kepentingan di masyarakat: munculnya banyak organisasi non pemerintah (LSM) dalam rangka dialog dan kontrol sosial juga.

9. Perlindungan atas hak-hak minoritas: agama dan etnik dari kaum mayoritas yang berpengaruh atau pihak berkuasa atas oposisi.

10. Jaminan hak informasi: transparansi dan hak untuk tahu bagi masyarakat dan bebas untuk mencari tahu sesuai hukum yang berlaku

11. Kontrol sipil atas militer: mencegah militerisme akibat diperalat oleh pemerintah sehingga terjadi pelanggaran HAM; militer sebagai alat negara bukan alat pemerintah dengan segala implikasinya bagi kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

43

Harapan-harapan Rakyat Tentang Demokrasi

Masyarakat mengharapkan banyak dari sistem demokrasi bahkan

dari pemerintahan yang demokratis. Adapun harapan-harapan rakyat

tersebut nyata dalam pengertian rakyat tentang demokrasi seperti yang

pernah dijaring secara bebas dan langsung dari peserta suatu lokakarya

yang diprakarsai oleh 6 lembaga (pemerintah dan ornop) yang interes

dalam bidang ini.44 Karena pertemuan ini diprakarsai oleh ‘daerah

Kristen’ dan ornop (LSM) yang Kristiani, maka dapat dikatakan

pendapatnya mencerminkan pergumulan orang Kristen selama ini, namun

ternyata secara prinsipil adalah pendapat umum juga, seperti:

1. Keterbukaan, otonomi, kebebasan menentukan pilihan: termasuk: hak pemilu dan juga keyakinan keagamaan.

2. Pemerintahan yang adil: keterbukaan dan transparansi pemerintah . 3. Rakyat sejahtera dan makmur: perbaikan bidang pendidikan,

ekonomi, dan kesehatan. 4. Bebas berpendapat, berserikat dan berbicara: paran rakyat secara

aktif untuk pemerintah 5. Demokrasi bebas dari jebakan dan tuduhan palsu atas SARA.

43 Lih. dan bdk. brosur yang dikeluarkan oleh kantor informasi Deplu AS yang

diberi judul “Demokrasi” dan disebarkan oleh Kedubes AS. 44 Dari rangkuman kegiatan lokakarya “Demokrasi, Otonomi daerah, Transparansi

[DOT], di Tarutung, Tapanuli Utara, Januari- Agustus 2002 dan diprakarsai oleh UNDP, Pemkab-Taput, Yakoma-PGI, URM-I, CPE-Medan, PMK-HKBP Jakarta.

24 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

6. Demokrasi anti kekerasan pemerintah maupun mayoritas golongan tertentu.

7. Musyawarah dan mufakat: kontrak sosial di dalam masyarakat pluralistik.

8. Rakyat berdaulat: gagasan masyarakat sipil dan pemerintahan bergaya sipil (anti militerisme).

9. Hak beragama dengan sebebas-bebasnya: memilih dan pindah atau berganti agama tanpa penganiayaan dan pemenjaraan dengan alasan apapun yang sepihak.

10. Bebas meyakini dan melakukan kepercayaan agama: beribadah dan mendirikan rumah ibadahnya (termasuk menyiarkan agama) tanpa syarat politik apapun.

11. Toleransi beragama sebagai kewajiban bukan hak: mutualisme dari masing masing pihak ke pihak lain dan tidak menuntut sepihak.

12. Pemerintah yang tidak memihak sekelompok agama tertentu: hukuman pidana terhadap tirani mayoritas dan tidak membela secara sepihak.

13. Pemerintah tidak mencampuri urusan keagamaan dan hak-hak agama yang sah: kepercayaan pribadi dan bebas dari hak tuduhan “sesat” karena urusan internal agama.

14. Hak bebas berpendapat yang sama sebagai warga negara: suatu wacana publik dan akademis.

15. Bebas melakukan dan mengatur kepercayaan asal tidak bertentangan dengan hukum dan berdasarkan pemahaman konstitusi yang normal berdasarkan kacamata hak manusia yang universal.

16. Bebas menjadi apa saja dan apapun agamanya: dalam jabatan dan profesi dalam masyarakat.

17. Dialog antara agama sebagai kewajiban mutualistik untuk pencegahan kekerasan atas nama agama.

18. Emansipasi dan kesamaan penerimaan dan perlakuan pemerintah atas semua golongan agama apapun: tidak pilih kasih atas salah satu agama saja.

KONSEP DEMOKRATISASI DALAM LAPANGAN

KEAGAMAAN

Berdasarkan survei di atas, yang sebagian besar berfokus pada

lapangan keagamaan, di mana dirasakan sangat memprihatinkan

situasinya, khususnya yang dihadapi gereja Tuhan; dengan kesadaran

bahwa inti gerakan reformasi Indonesia adalah demokrasi dan

demokratisasi negara dan seluruh bangsa. Artinya, prinsip-prinsip

demokrasi seharusnya menyentuh juga bidang keagamaan di masyarakat,

JURNAL TEOLOGI STULOS 25

bukan hanya bidang: politik, ekonomi, hukum, sosial dll. Pentingnya

demokratisasi agama harus didasarkan atas hak-hak asasi manusia (HAM)

yang universal sebagai dasar universal bagi ‘keadilan sosial’ bagi seluruh

rakyat Indonesia. Untuk itu reformasi ini harus waspada terhadap

demokrasi yang kebablasan dan jatuh ke dalam anarkhisme barbar dari

segelintir ‘petualang’ yang egois dan fanatik agama yang ‘anti sosial’

terhadap prinsip kebhinekatunggalikaan dari Pancasila.

Untuk itu patut juga bagi orang Kristen memikirkan kembali

keberadaannya, secara khusus dalam kaitannya dengan penganiayaan,

penderitaan dan diskriminasi yang dialami gereja Tuhan. Untuk itu

perumusan ulang dasar-dasar demokratisasi bidang keagamaan begitu

penting, khususnya di Indonesia. Saya pikir, khusus di Indonesia yang

paling memprihatinkan dan penting bagi agama-agama formal (besar)

apalagi pemerintah sebagai pengayom adalah prinsip normatif “equal

treatment”45 yang sejak semula sudah ditunjukan dalam nilai-nilai

Pancasila yang bercirikan kebhinekatunggal-ikaan di atas.

1. Prinsip Kebebasan Beragama.

Yaitu bebas dalam memilih dan menganut suatu agama tertentu

bagi setiap individu. Sebagai manusia yang bermartabat berdasarkan

penciptaannya, maka manusia bebas di dalam hati nuraninya untuk

menentukan keinginannya. Setiap manusia harus terjamin kebebasannya

tanpa paksaan dan penipuan. Implikasi logisnya adalah setiap individu

manusia bebas memilih dan menukar agamanya sesuai keyakinannya

sendiri sebagai sesuatu yang azasi, dan harus dihormati apakah nama dan

bentuk agamanya, asal tidak merongrong negara dan mengancam

kedamaian masyarakat. Hak beragama meski diatur oleh pemerintah

dalam pengaturan masyarakat, tetapi tidak boleh mengebirinya karena

alasan apapun. Prinsip universalnya, the basic of human rights is

religious freedom.

2. Prinsip Hak Beribadah

Ada jaminan untuk dapat menjalankan agama pilihannya dan

45 Stephen V. Monsma and J. Christopher Soper, eds., Equal Treatment of

Religion in a Pluralistic Society (Grand Rapids, Cambridge: Wm. Eerdmans, 1988).

26 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

keyakinan, khususnya dalam beribadah kepada Allah yang disembahnya.

Hak beribadah secara umum bersumber dari Allah yang menguasai hati

nurani manusia yang bebas, tanpa kecuali, siapa pun dan dimana pun,

sesuai keadilan dan kebenaran di masyarakat. Beribadah kepada Allah

adalah suatu hak pribadi di dalam keseluruhan aspek kemanusiaannya,

tanpa tekanan dan ancaman, baik secara mental dan moral, ekonomis,

politis dan UU. Pemerintah dan manusia yang berlainan agama tidak

boleh secara sengaja menentang hak ibadah yang ada di dalam nurani

manusia yang berasal dari Allah tersebut.

3. Prinsip Non Diskriminasi

Prinsip ini tanpa mengadakan pembedaan yang tidak adil, karena

bentuk dan nama agama. Perlakuan yang sama di depan hukum dan

undang-undang antara kategori ‘mayoritas dan minoritas’. Dalam prinsip

ini pemerintah melalui aparat penegak hukumnya harus memperlakukan

persamaan hak di depan hukum, tanpa memihak dengan alasan apapun

seperti seagamanya, segolongannya, termasuk alasan ketakutan dan

pertimbangan dari pengaruh mayoritas. Setiap manusia, agama apapun

mempunyai hak hidup yang sama dan harus dihargai secara sama pula,

tanpa perbedaan. Perlakuan hukum harus diterapkan kepada semua orang

tanpa pandang bulu, misalnya dalam izin pendirian rumah ibadah, baik

secara permintaan maupun sangsi.

4. Prinsip Pluralisme ‘Agama’

Di dalam masyarakat, manusia yang beragama harus berjuang

mewujudkan kedamaian dan keutuhan hidup manusia dalam hal kebaikan

bersama meskipun berbeda agamanya. Hal itu berarti semua manusia

wajib menghargai aspek-aspek kemajemukan masyarakat berdasarkan

prinsip-prinsip universal: kebaikan dan kebenaran, kedamaian,

kebersamaan persaudaraan demi kesatuan hidup masyarakat tanpa

penyeragaman dan penyatuan ajaran agama. Perjuangan atas nilai-nilai

pluralisme agama46 di dalam masyarakat adalah suatu berkat, sekaligus

46 Wacana dan ideologi pluralisme agama di dalam masyarakat majemuk harus

dibedakan dengan pluralisme teologis yang sekarang ada di antara orang Kristen, di mana ideologi dan wacana pluralisme tersebut telah dipakai menjadi pendekatan teologis, yang mengakibatkan kompromi sinkritis dan pengenceran iman yang ortodoks. Pluralisme

JURNAL TEOLOGI STULOS 27

konsekuensi kehidupan manusia secara global. Perbedaan variasi ajaran

agama dengan segala konfliknya diantara penganutnya harus diselesaikan

di dalam dialog dan kontrak sosial demi kemaslahatan hidup bersama

yang lebih luas. Jadi secara terbatas, khususnya dalam wacana dan studi,

bukan teologis-doktrinal, karena akan menjadi sinkritisme ajaran dan

merusak keunikan masing-masing agama. ‘Premanisme’ dan kekerasan

atas nama agama tidak boleh dibiarkan oleh negara (via polisi), karena

akan jatuh ke dalam pelanggaran HAM dalam titik kutub yang lain.

5. Prinsip Saling Toleransi Aktif

Di dalam masyarakat demokratis, toleransi dalam perbedaan

pendapat dan keyakinan adalah sesuatu yang niscaya. Namun apa yang

saya namakan ‘toleransi aktif’ menjadi sangat penting, di mana setiap

orang pertama mengambil inisiatif terlebih dahulu, bukan menuntut orang

kedua atau orang ketiga untuk melakukan toleransi kepada orang yang

berbeda dengannya. Kekurangan praktek toleransi agama selama ini

adalah hanya menuntut orang lain untuk toleransi, sehingga mengebiri

kebebasan orang lain di dalam mempraktekkan agamanya. Toleransi pasif

yang selama ini ada, sebenarnya bukanlah toleransi yang sesungguhnya,

sesuai kata asli tolerare, yang artinya menahan diri kepada orang lain;

sehingga saling toleran dapat dicapai bukan hanya menuntut untuk

ditoleransi. Jadi “toleransi bukanlah hak tetapi suatu kewajiban.”

6. Prinsip Keadilan Keberagamaan

Perlakuan yang sama adil atas semua manusia apapun agamanya di

hadapan hukum dan pengadilan. Kesederajatan hak dalam bidang

ekonomi, politik, pendidikan dll tanpa memandang agama dan tanpa ada

pengaruh agamanya secara negatif. Pemerintah tidak berpihak karena

terpengaruh aksi sosial dan tekanan mayoritas, sehingga mengabaikan

hak-hak hukum minoritas agama. Pengadilan yang adil serta perlakuan

keadilan adalah hak setiap manusia dari agama apapun. Peradilan yang

independen tanpa pengaruh tanpa ancaman dari superioritas masyarakat

secara positif adalah bentuk perjuangan kemasyarakatan yang majemuk dan saling toleransi di dalam persamaan hak dan saling menghargai. Bagi kaum injili wacana dan perjuangan pluralisme agama yang dapat diterima sebatas kategori “pluralisme struktural” yang dipertentangkan terhadap “pluralisme konfesional”.

28 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

sekeliling dan dominasi pejabat yang beragama tertentu.

7. Prinsip Perjuangan bagi Hak-hak Minoritas

Dalam negara yang demokratis, hak-hak warga negara adalah suatu

yang harus dijamin oleh pemerintah, khususnya hak-hak minoritas.

Perjuangan hak-hak sipil kaum minoritas harus diperhatikan oleh kaum

mayoritas dan harus dibela pemerintah yang demokratis.47 Secara logis

dan normal, biasanya hak-hak minoritas yang selama ini tidak terjamin

bahkan diabaikan, karena tidak mendominasi dan tidak superior sebagai

warga negara. Keinginan ‘tirani mayoritas’ harus dibuang dalam alam

demokrasi, karena semua orang punya hak dan kesempatan yang sama.

Bahkan kebih dari itu, mayoritas yang demokratis harus melindungi

hak-hak dari kaum minoritas, bahkan menjaminnya bersama pemerintah,

bukan mendominasi dan menjajah, sehingga kelanjutan hidup dan

kehidupan kaum minoritas terjaga. Prinsip bahwa setiap orang equal

before the law harus diterapkan juga dalam lapangan keagamaan.

8. Prinsip Kebebasan Berpendapat (dan Berpikir)

Di dalam mengutarakan keyakinannya secara umum, termasuk di

dalam pembicaraan yang berfokus tentang keagamaan. Partikularisme

keyakinan secara pribadi tanpa menjadi eksklusivisme, di mana

eksklusivisasi agama terhadap agama yang lain. Jadi prinsip keunikan

agama masing-masing tetap terpelihara tanpa radikalisasi agama di dalam

masyarakat yang sering berakibat penghinaan, pengancaman,

pembunuhan orang beragama lain. Di sini, media yang bebas sebagai

sarana kebebasan berpendapat harus menahan diri dari diskriminasi

47 Secara ideal memang diakui, di dalam istilah “mayoritas-minoritas” mengandung ‘unsur kenegatifan’ seperti: diskriminasi, pengkotak-kotakan disintegral, hubungan superior- inferior dan anti persamaan hak, dll., sehingga dianggap tidak boleh ada dalam pembicaraan demokrasi dan proses demokratisasi. Seperti dalam rezim ORBA, beberapa orang secara naïf menyangkal realitas situasi ini dan menutup mata atas faktanya; bahkan di negara maju sekalipun seperti di Amerika, fakta ini adalah suatu realitas bersifat netral-artinya tidak ada tendensi pemihakan atau penghukuman, tetapi justru perlindungan)- Di Indonesia, secara populasi, geografi bahkan politik, realitas dan fakta itu memang eksis dan dialami oleh orang Kristen sebagai kelompok minoritas, yang nyata dalam produk hukum, kebijakan, perlakuan peraturan dan sampai pada kekerasan mayoritas bahkan ternyata dalam pembicaran pemerintah. Jadi semua pihak harus jujur dan seimbang dalam pengertian ‘ideal’ atau ‘faktual’ sehingga dapat mengatasi secara riil dan arif.

JURNAL TEOLOGI STULOS 29

pemberitaan, karena sering tidak seimbang dan memihak salah satu

agama. Kekebasan berpikir tentang hubungan agama-agama dalam

wacana pluralisme, tanpa harus dituduh ‘pelecehan agama.’

9. Prinsip Otonomi Keberagamaan

Otonomi agama masing-masing tanpa campur tangan pemerintah48

dalam hal ajaran dan juga dalam hak masing-masing untuk membangun

rumah ibadah di dalam kerangka pengaturan pemerintah bukan

pembatasan oleh kekuasaan negara. Di dalamnya termasuk hak

penyebaran agama kepada siapapun asal dengan rela dan terhormat, tanpa

membanding dan menjelekkan agama orang lain; bukan paksaan dan

penipuan. Karena di dalam pemikiran umum, setiap agama mengandung

aspek misioner, dalam arti positif tanpa ingin menghapuskan eksistensi

agama yang lain. Semuanya berdasarkan konstitusi yang sudah ada dan

transparansi dalam implementasinya di dalam perjuangan hak-hak sipil

masyarakat dalam beragama dan beribadah. Pemerintah menjamin penuh

hak-hak beragama yang esensial, bukan mengatur dalam pengertian

mengekang tetapi membuka jalan.49

48 Perlu dimengerti tentang sekularisme yang selama ini dipahami oleh pihak

agamawan sebagai paham ateisme dalam perspektif teologis atau agama. Namun, secara sosiologis, --hubungan antara negara dan agama-- sekuralisme adalah paham dasar sistem ‘negara sekular yang harus dimengerti sebagai ‘pemisahan’ antara agama dan negara. Artinya pemerintah dan negara tidak ikut campur masalah-masalah keagamaan. Agama ada dalam lingkup sosial masyarakat secara umum, bukan politik kekuasaan. Nilai-nilai Pancasila yang berprinsip sekular adalah dalam arti yang terakhir tersebut. Jadi agama adalah masalah warga negara secara individu dan komunitas agama itu sendiri dan terpisah dari negara secara politik. Untuk itu, misalnya, keberadaan Departemen Agama sebagai kepanjangan tangan negara sangat bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai demokrasi, apalagi keberadaan dan kemunculannya bertendensi memihak agama tertentu.

49 Catatan: perlu disadari department of religion (‘agama’ bentuk tunggal) di Indonesia tidak sama dengan department of religious affair (urusan keagamaan). Dalam arti ini negara sekular tidak boleh dianggap akan memasung perkembangan agama atau melarang penduduknya beragama, tetapi justru menjamin secara penuh sebagai sesuatu yang azasi pada manusia secara sama rata. Pandangan intelektual muslim sendiri, bahwa pada mulanya munculnya departemen agama merupakan hasil sampingan dari usaha kompromi politis antara muslim dan non muslim yan berakar pada problem 7 kata dalam Piagam Jakarta yang hendak dimasukkan ke dalam UUD 45; yang pada mulanya bertugas untuk mengurusi hak umat muslim saja (mayoritas) kemudian berkembang menjadi mengurusi semua orang beragama lain dan untuk itulah banyak demokrat menolak eksistensi Depag karena sepak-terjangnya sekarang ini sudah sampai (seakan akan) pada pelanggaran hak-hak azasi dan sipil umat beragama lain (minoritas).

30 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

10. Prinsip Nilai-nilai Inklusif

Sikap akomodasi di dalam masyarakat agama tanpa menjadi

sinkritisme: non kompromi dalam akidah anti fanatisme dan radikalisasi

agama di dalam masyarakat, karena semua perbedaan dan konflik harus

dipahami toleransi. Ini adalah kelanjutan prinsip-prinsip toleransi

masyarakat di dalam beragama. Semua agama mempunyai keunikan

sendiri yang mengandung unsur eksklusifitas dalam hal-hal prinsip,

namun di dalam masyarakat tetap ada faktor common ground dan titik

keseimbangan yang harus diusahakan bersama oleh orang beragama yang

berbeda-beda. Selalu ada nilai-nilai inklusif dalam rangka kontrak sosial

dimasyarakat yang menjadi penting di dalam masyarakat modern dan

beradab. Hal ini menyatakan bahayanya pendekatan eksklusivisme agama

(radikal) sekaligus penolakan pendekatan inklusivisme agama (kompromi)

di dalam perjuangan masyarakat plural.

KESIMPULAN

Demokrasi harus berdasarkan cita-cita luhur kemanusiaan dan

hak-hak manusia yang mendasar (HAM) yang sudah tercantum dalam

Pembukaan UUD 45 dan Pancasila. Dalam keadaan demikian, secara

normal identik dengan cita-cita kebajikan Kristen alkitabiah yang

didasarkan pada visi suara kenabian gereja dan orang Kristen. Memang

demokrasi bukan suatu sistem yang bebas dari kegagalan, namun tetap

diperlukan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan yang paling baik

dan memadai. Untuk itulah sistem demokrasi adalah pilihan ideal dari

perspektif Kristen tentang masyarakat dan pemerintahan.

Sebagai warga negara Indonesia, kita patut memperjuangkan

hak-hak sipil sebagai warganegara yang Kristen, bahkan lebih lagi

membela hak-hak kemanusiaan yang universal. Dengan demikian, kita

bukanlah kelompok picik; namun fakta minoritas yang tertindas, ketika

sedang membela nasib sendiri. Namun ini bukan egoisme kelompok,

tetapi hendak melihat fakta-fakta secara intensif dan jujur. Kesadaran

demokrasi harus dimulai dari individu dan dijamin oleh pemerintah,

kemudian diikuti oleh seluruh golongan warganegara. Penduduk yang

demokratis dapat mencegah dis-integrasi bangsa akibat diskriminasi

agama. Kemudian dapat mengembalikan citra Indonesia yang pluralistik

ini “sebagai surganya agama-agama” (Toynbee).