library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web viewSelain...
Transcript of library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web viewSelain...
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Jalan Tol
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2005, yang dimaksud dengan jalan tol adalah jalan umum yang merupakan
bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya
diwajibkan membayar tol. Tujuan diselenggarakannya jalan tol adalah untuk
meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi guna menunjang peningkatan
pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat
perkembangannya. Namun, jalan tol dibatasi hanya untuk pengguna jalan yang
menggunakan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih.
Syarat-syarat teknis jalan tol sesuai PP No. 15 Tahun 2005 adalah sebagai
berikut :
a. memiliki tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang lebih tinggi
dari jalan umum yang ada;
b. dapat melayani arus lalu lintas jarak jauh dengan mobilitas tinggi;
c. didesain berdasarkan kecepatan rencana 80 km/jam untuk lalu lintas antar
kota dan 60 km/jam untuk wilayah perkotaan;
d. didesain untuk mampu menahan muatan sumbu terberat (MST) paling
rendah 8 (delapan) ton;
e. harus dilakukan pemagaran di setiap ruasnya dan dilengkapi dengan
fasilitas penyeberangan jalan dalam bentuk jembatan atau terowongan;
9
10
f. harus diberi bangunan pengaman yang mempunyai kekuatan dan struktur
yang dapat menyerap energi benturan kendaraan pada tempat-tempat
yang dapat membahayakan pengguna jalan tol; dan
g. wajib dilengkapi dengan aturan perintah dan larangan yang dinyatakan
dengan rambu lalu lintas, marka jalan, dan/atau alat pemberi isyarat lalu
lintas.
Selain syarat-syarat teknis tersebut di atas, spesifikasi yang harus dimiliki
oleh setiap jalan tol secara umum adalah sebagai berikut :
a. tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau dengan
prasarana transportasi lainnya;
b. jumlah jalan masuk dan jalan keluar ke dan dari jalan tol dibatasi secara
efisien dan semua jalan masuk dan jalan keluar harus terkendali secara
penuh;
c. jarak antarsimpang susun, paling rendah 5 (lima) kilometer untuk jalan tol
luar perkotaan dan paling rendah 2 (dua) kilometer untuk jalan tol dalam
perkotaan;
d. jumlah lajur sekurang-kurangnya dua lajur per arah;
e. menggunakan pemisah tengah atau median; dan
f. lebar bahu jalan sebelah luar harus dapat dipergunakan sebagai jalur lalu-
lintas sementara dalam keadaan darurat.
Wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah, sedangkan
untuk pengusahaannya bisa dilakukan oleh Pemerintah atau badan usaha yang
memenuhi persyaratan. Adapun kegiatan pengusahaan jalan tol meliputi
kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian,
dan/atau pemeliharaan. Di Indonesia, beberapa jalan tol dikelola oleh badan
11
usaha (operator) yang bertanggung jawab atas ruas-ruas jalan tol tertentu. Tabel
2.1 dan 2.2 berikut merupakan daftar nama Badan Usaha Jalan Tol (BUJT)
beserta ruas tol kelolaannya di Indonesia berdasarkan data dari Badan Pengatur
Jalan Tol (BPJT) Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
Tabel 2.1 Daftar Badan Usaha Jalan Tol di Indonesia
No. Nama Badan Usaha Jalan Tol Ruas Tol
1 PT. BINTARO SERPONG DAMAI Serpong - Pondok Aren
2 PT. BOSOWA MARGA NUSANTARA Ujung Pandang Tahap 1
3 PT. CITRA MARGA NUSAPHALA PERSADA TBK Harbour - Road
Ir. Wiyoto Wiyono, Msc
4 PT. CITRA MARGATAMA SURABAYA Ss Waru - Bandara Juanda
Waru (Aloha) - Wonokromo - Tg. Perak
5 PT. JALAN TOL SEKSI IV Makassar Seksi IV
6 PT. JASA MARGA Lingkar Dalam Kota Jakarta
Padalarang - Cileunyi
Jakarta-Cikampek
Jakarta-Tangerang
Semarang Seksi A, B, C
Surabaya-Gempol
Cikampek-Purwakarta-Padalarang
Prof.DR Ir. Soedyatmo (Cengkareng)
Palikanci
JORR E1-3,W2-S2,E3,E1-4
JORR Seksi E1 Selatan (Taman Mini-Hankam Raya)
JORR Selatan (Pd. Pinang - Taman Mini)
Jakarta-Bogor-Ciawi
Belmera
JORR E2 (Cikunir-Cakung)
JORR W2 Selatan (Pd.Pinang-Veteran)
Ulujami - Pondok Aren
Cengkareng-Batu Ceper-Kunciran
Gempol - Pasuruan
Semarang - Solo
JORR W2 Utara
7 PT. MARGABUMI MATRARAYA Surabaya - Gresik
8 PT. MARGA MANDALA SAKTI Tangerang - Merak
9 PT. BINA PURI NINDYACIPTA KARYATAMA Ciranjang - Padalarang
12
Tabel 2.2 Daftar Badan Usaha Jalan Tol di Indonesia (lanjutan)
No. Nama Badan Usaha Jalan Tol Ruas Tol
10 PT. CITRA WASPPHUTOWA Depok - Antasari
11 PT. JAKARTA LINGKAR BARAT SATU JORR Seksi W1
12 PT. KRESNA KUSUMA DYANDRA MARGA Bekasi - Cawang - Kp. Melayu
13 PT. LINTAS MARGA SEDAYA Cikampek-Palimanan
14 PT. MARGABUMI ADHIKARAYA Gempol - Pandaan
15 PT. MARGA HANURATA INTRINSIC Kertosono - Mojokerto
16 PT. MARGA NUJYASUMO AGUNG Surabaya - Mojokerto
17 PT. MARGA SARANA JABAR Bogor Ring Road
18 PT. MARGA SETIAPURITAMA Semarang - Batang
19 PT. MARGA TRANS NUSANTARA Kunciran - Serpong
20 PT. MTD CTP EXPRESSWAY Cikarang (Cibitung) - Tj. Priok (Cilincing)
21 PT. PEJAGAN PEMALANG TOL ROAD Pejagan - Pemalang
22 PT. PEMALANG BATANG TOL ROAD Pemalang - Batang
23 PT. SEMESTA MARGA RAYA Kanci - Pejagan
24 PT. TRANS JABAR TOL Ciawi - Sukabumi
25 PT. TRANS-JAWA PAS PRO JALAN TOL Pasuruan - Probolinggo
26 PT. TRANSLINGKAR KITA JAYA Cinere - Jagorawi
2.2 Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol
BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol) sebagai lembaga yang berwenang dalam
hal jalan tol mempunyai tugas dan fungsi sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam PP No. 15/2005 Tentang Jalan Tol, antara lain :
a. merekomendasikan tarif awal dan penyesuaian tarif tol kepada Menteri;
b. melakukan pengambilalihan hak pengusahaan jalan tol yang telah selesai
masa konsesinya dan merekomendasikan pengoperasian selanjutnya
kepada Menteri;
c. melakukan pengambilalihan hak sementara pengusahaan jalan tol yang
gagal dalam pelaksanaan konsesi, untuk kemudian dilelangkan kembali
pengusahaannya;
d. melakukan persiapan pengusahaan jalan tol yang meliputi analisis
kelayakan finansial, studi kelayakan, dan penyiapan amdal;
13
e. melakukan pengadaan investasi jalan tol melalui pelelangan secara
transparan dan terbuka;
f. membantu proses pelaksanaan pembebasan tanah dalam hal kepastian
tersedianya dana yang berasal dari Badan Usaha dan membuat mekanisme
penggunaannya;
g. memonitor pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan konstruksi serta
pengoperasian dan pemeliharaan jalan tol yang dilakukan oleh Badan
Usaha; dan
h. melakukan pengawasan terhadap Badan Usaha atas pelaksanaan seluruh
kewajiban perjanjian pengusahaan.
Berdasarkan PP No. 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol, pengawasan jalan tol
terbagi menjadi 2 (dua), yaitu pengawasan umum dan pengawasan pengusahaan
jalan tol. Pengawasan umum dilakukan oleh Menteri dan meliputi beberapa hal
berikut :
a. pengawasan penyelengaraan jalan tol,
b. pengembangan jaringan jalan tol,
c. fungsi dan manfaat jaringan jalan tol, serta
d. kinerja jaringan jalan tol.
Sedangkan pengawasan pengusahaan jalan tol lebih dititikberatkan kepada
pengawasan terhadap BUJT dalam memenuhi apa yang telah disepakati dalam
Perjanjian Pengusahan Jalan Tol (PPJT).
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas pengusahaan jalan tol,
BPJT melakukan kegiatan pengawasan yang difokuskan pada hal-hal yang
tercantum dalam PPJT. Berdasarkan Peraturan Pemerintah, hal-hal yang
14
sekurang-kurangnya tercantum dalam PPJT adalah Lingkup Pengusahaan yang
terdiri atas:
a. masa konsesi pengusahaan jalan tol;
b. tarif awal dan formula penyesuaian tarif;
c. hak dan kewajiban, termasuk risiko yang harus dipikul para pihak, yang
didasarkan pada prinsip pengalokasian risiko secara efisien dan seimbang;
d. perubahan masa konsesi;
e. standar kinerja pelayanan serta prosedur penanganan keluhan masyarakat;
f. sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi ketentuan perjanjian
pengusahaan;
g. penyelesaian sengketa;
h. pemutusan atau pengakhiran perjanjian pengusahaan;
i. aset penunjang fungsi jalan tol;
j. sistem hukum yang berlaku terhadap perjanjian pengusahaan adalah
hukum Indonesia; dan
k. keadaan kahar di luar kemampuan para pihak.
Dalam mengelola jalan tol, setiap operator atau penyelenggara jalan tol harus
memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) jalan tol yang dikeluarkan oleh
Menteri Pekerjaan Umum sesuai Permen Nomor 392 /PRT/M/2005. Standar
Pelayanan Minimal ini adalah ukuran yang harus dicapai dalam pelaksanaan
penyelenggaraan jalan tol agar sesuai dengan spesifikasi yang diatur dalam PP
No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol
meliputi substansi pelayanan berikut :
a. Kondisi Jalan Tol;
b. Kecepatan Tempuh Rata-rata;
15
c. Aksesibilitas;
d. Mobilitas;
e. Keselamatan Lalu Lintas; dan
f. Unit Pertolongan, Penyelamatan dan Bantuan Pelayanan.
Tabel 2.3 dan 2.4 berikut merupakan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Jalan Tol yang dilampirkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
392/PRT/M/2005.
Tabel 2.3 Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol
NO SUBSTANSI PELAYANAN INDIKATOR
STANDAR PELAYANAN MINIMALCAKUPAN / LINGKUP TOLOK UKUR
1 Kondisi Jalan Tol Kekesatan Seluruh Ruas Jalan Tol > 0,33 mmKetidakrataan Seluruh Ruas Jalan Tol IRI ≤ 4 m/kmTidak ada Lubang Seluruh Ruas Jalan Tol 100%
2 Kecepatan Tempuh Rata-rata
Kecepatan Tempuh Rata-rata
Jalan Tol Dalam Kota ≥1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata Jalan Non Tol
Jalan Tol Luar Kota ≥1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata Jalan Non Tol
3 Aksesibilitas Kecepatan Transaksi Rata-rata
Gerbang Tol sistem Terbuka
≤ 8 detik setiap kendaraan
Gerbang Tol sistem Tertutup :
- Gardu masuk ≤ 7 detik setiap kendaraan
- Gardu Keluar ≤ 11 detik setiap kendaraan
Jumlah Gardu Tol Kapasitas Sistem Terbuka ≤ 450 kendaraan per jam per Gardu
Kapasitas Sistem Tertutup : - Gardu Masuk ≤ 500 kendaraan per
jam- Gardu Keluar ≤ 300 kendaraan per
jam4 Mobilitas Kecepatan
Penanganan Hambatan Lalu Lintas
Wilayah Pengamatan/ observasi Patroli
30 menit per siklus pengamatan
Mulai Informasi diterima sampai ke tempat kejadian :
≤ 30 menit
Penanganan Akibat Kendaraan Mogok
Melakukan penderekan ke Pintu Gerbang Tol terdekat/ Bengkel terdekat dengan menggunakan derek resmi (gratis)
Patroli Kendaraan Derek 30 menit per siklus pengamatan
Tabel 2.4 Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol (lanjutan)
16
NO SUBSTANSI PELAYANAN INDIKATOR
STANDAR PELAYANAN MINIMALCAKUPAN / LINGKUP TOLOK UKUR
5 Keselamatan Sarana Pengaturan Lalu Lintas : · Perambuan Kelengkapan dan Kejelasan
Perintah dan Larangan serta Petunjuk
100%
· Marka Jalan Fungsi dan Manfaat Jumlah 100 % dan Reflektifitas ≥ 80 %
· Guide Post/ Reflektor
Fungsi dan Manfaat Jumlah 100 % dan Reflektifitas ≥ 80 %
· Patok Kilometer setiap 1 km
Fungsi dan Manfaat 100%
Penerangan Jalan Umum (PJU) Wilayah Perkotaan
Fungsi dan Manfaat Lampu Menyala 100%
Pagar Rumija Fungsi dan Manfaat Lampu Menyala 100%Penanganan Kecelakaan
Korban Kecelakaan Dievakuasi gratis ke rumah sakit rujukan
Kendaraan Kecelakaan Melakukan penderekan gratis sampai ke pool derek (masih di dalam jalan tol)
Pengamanan dan Penegakan Hukum
Ruas Jalan Tol Keberadaan Polisi Patroli Jalan Raya (PJR) yang siap panggil 24 jam
6 Unit Pertolongan/ Penyelamatan dan Bantuan Pelayanan
Ambulans Ruas Jalan Tol 1 Unit per 25 km atau minimum 1 unit (dilengkapi standar P3K dan Paramedis)
Kendaraan Derek Ruas Jalan Tol : - LHR > 100.000 kend/hari 1 Unit per 5 km atau
minimum 1 unit
- LHR < 100.000 kend/hari 1 Unit per 10 km atau minimum 1 unit
Polisi Patroli Jalan Raya (PJR)
Ruas Jalan Tol : - LHR > 100.000 kend/hari 1 Unit per 15 km atau
minimum 1 unit
- LHR < 100.000 kend/hari 1 Unit per 20 km atau minimum 1 unit
Patroli Jalan Tol (Operator)
Ruas Jalan Tol 1 Unit per 15 km atau minimum 2 unit
Kendaraan Rescue Ruas Jalan Tol 1 Unit per ruas Jalan Tol (dilengkapi dengan peralatan penyelamatan)
Sistem Informasi Informasi dan Komunikasi Kondisi Lalu Lintas
Setiap Gerbang masuk
Selain sebagai standar yang harus dipenuhi oleh setiap Badan Usaha Jalan
Tol, SPM ini juga merupakan parameter kinerja jalan tol yang sangat
17
berpengaruh terhadap pengembangan prasarana jalan tol sebagai upaya
menciptakan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan
angkutan jalan seperti dituangkan dalam Pasal 23 UU No. 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2.3 Kondisi Jalan Tol
Pada substansi pelayanan Kondisi Jalan Tol di dalam SPM, ada 3 (tiga)
kriteria yang menjadi tolok ukur atau parameter dalam penilaian, yaitu
kekesatan, kerataan, dan tidak ada lubang.
a. Kekesatan Jalan
Kekesatan jalan adalah kondisi tahanan gesek antara permukaan jalan
dengan ban kendaraan sehingga tidak mengalami selip atau tergelincir baik
pada kondisi basah (waktu hujan) ataupun kering (Sukiman, 1992). Dengan
kata lain, kekesatan jalan adalah suatu besaran yang menyatakan tingkat
ketahanan gesek lapis permukaan perkerasan jalan terhadap ban kendaraan.
Satuan untuk kekesatan ini adalah µm.
Menurut Suwardo (2004), tahanan gesek dipengaruhi oleh beberapa faktor
berikut :
variasi bentuk profil permukaan dan kondisi ban,
tekstur permukaan jalan,
kondisi cuaca, dan
kondisi mengemudi.
Berdasarkan SNI 6748:2008, cara pengukuran kekesatan permukaan
perkerasan menggunakan alat yang biasanya disebut Mu-meter, yaitu alat
yang digunakan untuk menentukan kekesatan permukaan perkerasan, dalam
18
satuan MuN, dan pada saat pengujian harus ditarik dengan kendaraan
penarik yang dilengkapi tangki air.
Dalam SPM (standar pelayanan minimal) jalan tol, besarnya nilai kekesatan
permukaan jalan harus lebih besar dari 0,33 µm.
b. Kerataan Jalan
Menurut Suwardo (2004), tingkat kerataan jalan (International Roughness
Index/IRI) merupakan salah satu faktor/fungsi pelayanan dari suatu
perkerasan jalan yang sangat berpengaruh terhadap kenyamanan pengemudi
(riding quality).
Metode pengukuran kerataan permukaan jalan yang umum digunakan
adalah :
Metode NAASRA (SNI 03-3426-1994)
Roling Straight Edge
Slope Profilometer (AASHO Road Test)
CHLOE Profilometer
Roughometer
Di Indonesia, metode NAASRA dan Roughometer adalah yang paling
sering digunakan untuk mengukur kerataan permukaan jalan. Dalam studi
kasus yang dilakukan oleh Suherman yang dimuat dalam Jurnal Teknik
Sipil Volume 8 No. 3 (Juni 2008), untuk mengukur kerataan permukaan
jalan, alat Roughometer NAASRA dipasang pada kendaraan jenis station
wagon atau pickup dengan penutup bak. Selain itu, diperlukan alat bantu
lainnya yaitu Dipstick Floor Profiler sebagai alat pengukur perbedaan
elevasi, Odometer sebagai alat pengukur jarak tempuh, dua buah beban
masing-masing seberat 50 kg dan alat pengukur tekanan ban. Pengukuran
19
dilakukan dengan menjalankan kendaraan survei dengan kecepatan 30
km/jam untuk mencatat ketidakrataan permukaan jalan. Gambar 2.1 adalah
alat ukur kerataan NAASRA sesuai dengan SNI 03-3426-1994.
Gambar 2.1 Alat Ukur Kerataan NAASRA (SNI 03-3426-1994)
Di dalam SPM, ketidakrataan permukaan jalan yang disyaratkan yaitu tidak
boleh melebihi 4 m/km (pada kecepatan 100 km/jam). Pemenuhan kriteria
ini terhadap jalan tol yang sudah beroperasi diberikan tenggat waktu paling
lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
392/PRT/M/ tahun 2005 tentang SPM ditetapkan sebagaimana tercantum di
dalam Pasal 8.
c. Tidak Ada Lubang (Zero Pothole)
Pada kriteria tidak ada lubang (zero pothole), artinya permukaan jalan di
sepanjang jalan tol harus bebas dari lubang 100%. Tujuannya adalah untuk
20
menghindari benturan keras pada ban kendaraan yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada kendaraan, pengemudi hilang kendali, hingga kecelakaan
fatal. Ketentuan di dalam SPM mensyaratkan permukaan jalan tol harus
100% tidak ada lubang. Untuk mendapatkan data tersebut, maka dilakukan
survei kondisi visual untuk mengamati adanya alur, retak, amblas, lubang,
atau tambalan yang rusak.
2.4 Kecepatan Tempuh Rata-rata
Pada substansi pelayanan kecepatan tempuh rata-rata, yang menjadi tolok
ukur adalah kecepatan tempuh rata-rata, yaitu :
a. Jalan Tol Dalam Kota harus lebih besar atau sama dengan 1,6 kali
kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol.
b. Jalan Tol Luar Kota harus lebih besar atau sama dengan 1,8 kali
kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol.
Yang dimaksud jalan non tol yang dijadikan acuan atau patokan dalam
menentukan besarnya kecepatan tempuh rata-rata adalah rute jalan yang
memiliki kriteria sebagai berikut :
a. mempunyai panjang rute yang relatif sama dengan rute jalan tol yang
ditinjau;
b. merupakan rute alternatif terdekat dengan rute jalan tol; dan
c. merupakan rute yang paling umum dilalui jika tidak melewati jalan tol.
Menurut tinjauan operasional PT Jasa Marga (Persero) selaku operator jalan
tol terhadap SPM, pengukuran kecepatan tempuh rata-rata dilakukan dengan
metode Test-Car Runs/Test Vehicle menggunakan average car dimana surveyor
memilih kecepatan kendaraan yang sesuai, yang dapat mewakili kecepatan
21
kendaraan untuk setiap titik/lokasi dan waktu (traffic stream's speed). Waktu
pelaksanaan survei dilakukan pada jam-jam padat dan jam-jam kosong pada hari
kerja maupun hari libur sehingga diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan
pada waktu-waktu melewati rute-rute tersebut.
2.5 Aksesibilitas
Kriteria yang menjadi penilaian di dalam substansi pelayanan Aksesibilitas
adalah Kecepatan Transaksi Rata-rata dan Jumlah/Kapasitas Gardu Tol. Standar
dan pengukuran kedua kriteria tersebut dibedakan berdasarkan jenis gerbang tol.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol, ada
2 (dua) sistem pengumpulan tol yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem
terbuka adalah sistem pengumpulan tol yang kepada penggunanya diwajibkan
membayar tol pada saat melewati gerbang masuk atau gerbang keluar,
sedangkan sistem tertutup adalah sistem pengumpulan tol yang kepada
penggunanya diwajibkan mengambil tanda masuk pada gerbang masuk dan
membayar tol pada gerbang keluar.
Untuk memudahkan transaksi di gerbang tol, saat ini sudah mulai diterapkan
gerbang tol otomatis (GTO) yaitu sistem elektronik yang akan mempermudah
pengguna jalan tol baik pada sistem gerbang terbuka mapun sistem gerbang
tertutup. Pada sistem terbuka, pengguna gerbang tol otomatis dapat melakukan
pembayaran tol menggunakan kartu prabayar elektronik dengan sistem tapping.
Pada sistem tertutup, biasanya gerbang tol otomatis terdapat di gerbang masuk
untuk mengeluarkan kartu tanda masuk kepada pengguna jalan tol dan pada
gerbang keluar untuk melakukan pembayaran.
22
Pengembangan sistem gardu otomatis ini ke depannya akan menggunakan on
board unit (OBU) yang dipasang di setiap unit kendaraan (mobil). Menurut
Menteri BUMN Dahlan Iskan, sistem e-toll pass ini akan menggunakan
pemancar di setiap gardu yang akan menangkap sinyal OBU dari setiap unit
mobil. Dengan demikian, setiap mobil yang akan lewat tidak perlu berhenti,
melainkan hanya cukup mengurangi kecepatan saja agar palang terbuka. Sistem
buatan dalam negeri ini sudah mulai ditempatkan di tiga titik pintu tol di DKI
Jakarta yaitu gerbang tol Cengkareng, Kapuk dan Cililitan milik PT Jasa Marga.
Ke depannya, Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk Adityawarman menjelaskan,
hingga akhir tahun 2013 nanti, diharapkan 500.000 kendaraan yang melewati tol
Jasa Marga sudah terpasang OBU. Hal ini juga sebagai salah satu cara untuk
meningkatkan Aksesibilitas di jalan tol agar sesuai dengan yang disyaratkan di
dalam SPM jalan tol.
Gambar 2.2 Gerbang Tol Otomatis
a. Kecepatan Transaksi Rata-rata
Untuk mengukur kecepatan transaksi rata-rata di gardu tol, perlu dibedakan
berdasarkan jenis gerbang tol, yaitu :
Pada gerbang sistem terbuka, kecepatan transaksi rata-rata harus kurang
dari atau sama dengan 8 detik per kendaraan.
23
Pada gerbang sistem tertutup, kecepatan transaksi rata-rata harus kurang
dari atau sama dengan 7 detik per kendaraan di gardu masuk dan 11
detik per kendaraan di gardu keluar.
b. Jumlah/Kapasitas Gardu Tol
Pengukuran jumlah/kapasitas gardu tol berguna untuk menjaga panjang
antrean kendaraan di setiap gerbang tol agar tidak terjadi penumpukan. Pada
kriteria ini juga dibedakan berdasarkan jenis gerbang tol, yaitu :
Pada gerbang sistem terbuka, kapasitas harus kurang dari atau sama
dengan 450 kendaraan per jam di setiap gardu.
Pada gerbang sistem tertutup, kapasitas harus kurang dari atau sama
dengan 500 kendaraan per jam di setiap gardu masuk dan 300
kendaraan per jam di setiap gardu keluar.
Data jumlah/kapasitas gardu berdasarkan data hasil pengukuran kecepatan
transaksi di setiap gardu.
2.6 Mobilitas
Istilah mobilitas yang dimaksud dalam substansi pelayanan SPM adalah
kecepatan penanganan hambatan lalu lintas di jalan tol. Peranan mobilitas ini
sangat penting dalam menjaga kelancaran arus kendaraan karena akan sangat
mempengaruhi penilaian substansi pelayanan lainnya, seperti Kecepatan
Tempuh Rata-rata. Dalam penerapannya, unit Patroli Jalan Raya (PJR), Patroli
Jalan Tol, dan Kendaraan Derek yang memiliki peranan penting. Untuk itu,
beberapa tolok ukur dalam penilaian substansi pelayanan Mobilitas jalan tol
adalah sebagai berikut :
24
a. Wilayah pengamatan/observasi patroli yaitu 30 menit per siklus
pengamatan, baik oleh PJR maupun operator jalan tol.
b. Response time atau selang waktu (interval) antara mulai informasi diterima
oleh pihak sentral komunikasi (senkom) sampai petugas patroli tiba di
tempat kejadian yaitu harus kurang dari atau sama dengan 30 menit.
c. Penanganan akibat kendaraan mogok dengan melakukan penderekan ke
pintu gerbang tol terdekat/bengkel terdekat dengan menggunakan derek
resmi (gratis).
d. Patroli kendaraan derek yaitu 30 menit per siklus pengamatan.
Berdasarkan tinjauan operasional PT Jasa Marga (Persero) terhadap SPM,
yang dimaksud satu siklus pengamatan adalah satu kali putaran pengamatan
yang dilakukan oleh petugas patroli/kendaraan patroli sampai kembali ke posisi
semula.
2.7 Keselamatan Lalu Lintas
Untuk mengantisipasi dan mengurangi resiko terjadinya kecelakaan lalu
lintas, perlu ada pemahaman khusus dari para pengguna jalan tentang
keselamatan lalu lintas. Berdasarkan PP No. 32 tahun 2011, keselamatan lalu
lintas adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari resiko kecelakaan
selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan, dan/atau
lingkungan. Dengan kata lain, keselamatan lalu lintas merupakan suatu upaya
untuk menjaga keamanan dan keselamatan setiap pengguna jalan yang dapat
dicapai melalui program keselamatan tertentu. Beberapa aspek penting dalam
keselamatan berlalu lintas antara lain :
a. Manusia, artinya bahwa manusia sebagai subyek pengguna jalan harus
memahami benar-benar setiap peraturan lalu lintas yang berlaku di jalan dan
25
memiliki kesadaran yang tinggi untuk mematuhinya. Tidak hanya itu,
manusia juga berperan sebagai obyek lalu lintas di mana setiap pelanggaran
yang terjadi tidak hanya mengakibatkan kerugian materi namun juga korban
jiwa. Dengan demikian peranan ini harus dipahami benar-benar oleh para
pengguna jalan baik pengemudi kendaraan, penumpang, maupun pejalan
kaki.
b. Jalan, artinya bahwa lalu lintas sangat bergantung pada jalan yang ada.
Dengan keragaman jenis jalan berdasarkan ukuran, fungsi, dan bentuk
geometrinya, perlu diperhatikan faktor-faktor pendukung keselamatan di
jalan sehingga resiko kecelakaan dapat diminimalkan. Selain itu,
pemeliharaan jalan juga sangat penting untuk menjaga kelayakan jalan yang
dilalui oleh para pengguna jalan.
c. Kendaraan, artinya bahwa lalu lintas di jalan sangat dipengaruhi oleh
kendaraan. Setiap jalan memiliki kriteria kendaraan khusus yang boleh
melaluinya. Oleh karena itu, kendaraan harus melalui uji kelayakan dan
inspeksi khusus agar dapat dikendarai di jalan. Pengemudi juga harus
mengenali dan mengerti tentang spesifikasi kendaraannya agar dapat
mengurangi resiko yang dapat terjadi di jalan. Alat pengaman pada
kendaraan wajib digunakan dengan benar selama berkendara.
d. Peraturan dan Rambu Lalu Lintas, artinya bahwa manajemen lalu lintas
perlu kejelasan dalam pengaturan dan penindakan terhadap para pelanggar.
Untuk itu, perlu ada peraturan lalu lintas dan rambu-rambu yang dipasang di
jalan untuk memberikan informasi kepada para pengguna jalan. Setiap
rambu harus mudah dimengerti dan ditempatkan di tempat yang mudah
terlihat sehingga dapat memfasilitasi para pengguna jalan dengan baik.
26
Adanya marka jalan juga sangat penting untuk menjaga sirkulasi arus
kendaraan berjalan dengan baik dan benar. Pengawasan peraturan dan
penegakan hukum lalu lintas menjadi kewenangan pihak kepolisian.
e. Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas, artinya bahwa keselamatan lalu lintas
masih dapat dilanggar dan mengakibatkan kecelakaan, sehingga perlu ada
penanganan kecelakaan lalu lintas yang dapat mengakomodasi korban
kecelakaan. Ketersediaan petugas kepolisian maupun paramedis menjadi
sangat penting dalam hal darurat seperti kecelakaan lalu lintas, maka perlu
ada akses mudah dalam menghubungi kedua pihak tersebut. Selain itu
dibutuhkan mobilitas tinggi agar korban kecelakaan bisa segera dievakuasi
dan ditangani secara medis untuk mengurangi resiko kehilangan nyawa
ataupun tambahan korban materi dan jatuhnya korban jiwa lainnya.
Gambar 2.3 Himbauan tentang Keselamatan Berlalu Lintas
(diakses pada 05 Maret 2013 dari http://www.jasaraharja.co.id)
Dengan memahami aspek keselamatan lalu lintas tersebut, diharapkan
terwujud sistem manajemen lalu lintas yang dapat bekerja secara terintegrasi di
jalan.
Dalam kaitannya dengan SPM (standar pelayanan minimal) jalan tol,
keselamatan lalu lintas memiliki 5 (lima) kriteria yang menjadi tolok ukur
27
penilaian, yaitu Sarana Pengaturan Lalu Lintas, Penerangan Jalan Umum, Pagar
Rumija, Penanganan Kecelakaan, serta Pengamanan dan Penegakan Hukum.
a. Sarana Pengaturan Lalu Lintas
Pengukuran dari masing-masing tolok ukur dalam kriteria Sarana
Pengaturan Lalu Lintas adalah sebagai berikut :
Perambuan harus memenuhi persyaratan kelengkapan dan kejelasan
perintah dan larangan serta petunjuk (bobot pencapaian 100%).
Ketentuannya diatur dalam Tata Cara Pemasangan Rambu dan Marka
Jalan Perkotaan No. 01/P/BNKT/1991 yang dikeluarkan oleh Bina
Marga dengan ketentuan penempatan harus dilakukan sedemikian rupa,
sehingga mudah terlihat dengan jelas bagi pemakai jalan dan tidak
merintangi lalu-lintas kendaraan atau pejalan kaki. Rambu ditempatkan
di sebelah kiri menurut arah lalu-lintas, di luar jarak tertentu dari tepi
paling luar bahu jalan atau jalur lalu-lintas kendaraan. Selanjutnya
dengan pertimbangan teknis tertentu sesuatu rambu dapat ditempatkan
disebelah kanan atau di atas manfaat jalan. Perambuan yang dimaksud
meliputi :
o rambu peringatan,
o rambu larangan,
o rambu perintah,
o rambu petunjuk,
o rambu sementara, dan
o papan tambahan
Marka Jalan atau Tanda Permukaan Jalan adalah sebagian dari tanda-
tanda jalan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) Undang-
28
Undang Nomor 3 tahun 1965 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan
Raya, yang meliputi tanda garis membujur, garis melintang, kerucut
lalu-lintas (lane divider) serta lambang-lambang lainnya yang
ditempatkan pada atau di atas permukaan jalan.
Di dalam ketentuan SPM jalan tol, marka jalan harus berjumlah 100%
dan memiliki tingkat reflektifitas lebih besar atau sama dengan 80%.
Guide Post/Reflektor berfungsi sebagai tanda sisi atau tepi jalan yang
manfaatnya paling dirasakan pada waktu cuaca gelap, berkabut, atau
malam hari terutama pada segmen jalan yang tidak memiliki
penerangan.
Ketentuan di dalam SPM jalan tol mensyaratkan jumlah guide
post/reflektor harus 100% dengan tingkat reflektifitas harus lebih besar
atau sama dengan 80%
Patok km (kilometer) berfungsi untuk menandakan lokasi atau segmen
jalan tertentu di sepanjang ruas jalan tol. Penempatan patok km
umumnya di median pembatas jalan agar dapat terlihat dari kedua
arah/jurusan.
SPM mensyaratkan jumlah patok km yaitu 100% setiap 1 (satu)
kilometer.
b. Penerangan Jalan Umum (PJU)
Berdasarkan Spesifikasi Lampu Penerangan Jalan Perkotaan No.
12/S/BNKT/1991 yang dikeluarkan oleh Bina Marga, lampu penerangan
jalan adalah bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat
diletakkan/dipasang di kiri/kanan jalan dan atau di tengah (di bagian median
jalan) yang digunakan untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar
29
jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan (intersection), jalan
layang (interchange, overpass, fly over), jembatan dan jalan di bawah tanah
(underpass, terowongan).
Lampu penerangan jalan umum (PJU) memiliki fungsi sebagai berikut :
untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengendara,
khususnya untuk mengantisipasi situasi perjalanan pada malam hari.
memberi penerangan sebaik-baiknya menyerupai kondisi di siang hari.
untuk keamanan lingkungan atau mencegah kriminalitas.
untuk memberikan kenyamanan dan keindahan lingkungan jalan.
Sebagaimana telah diatur, ada 2 (dua) sistem penempatan lampu
penerangan (susunan penempatan/penataan lampu yang satu terhadap
lampu yang lain), antara lain :
Sistem penempatan menerus, yaitu sistem penempatan lampu
penerangan jalan yang menerus/kontinyu di sepanjang jalan/jembatan.
Sistem penempatan parsial (setempat), yaitu sistem penempatan lampu
penerangan jalan pada suatu daerah-daerah tertentu atau pada suatu
panjang jarak (segmen) tertentu sesuai dengan keperluannya.
Di dalam SPM jalan tol mensyaratkan lampu penerangan jalan umum
(PJU) harus menyala 100%.
c. Pagar Rumija
Pagar Rumija (ruang milik jalan) adalah pembatas antara badan jalan
dengan tepi atau sisi jalan. Fungsinya di jalan tol antara lain untuk
membatasi akses pejalan kaki dari luar badan jalan dan sebagai antisipasi
terhadap kecelakaan agar kendaraan kecelakaan tidak sampai keluar dari
30
badan jalan. Untuk itu, pagar rumija harus terbuat dari bahan yang kuat dan
difungsikan untuk mampu menahan benturan keras kendaraan.
Di dalam SPM, pagar rumija harus ditempatkan di sepanjang jalan tol
dengan bobot 100%. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 8, pemenuhan
kriteria pagar rumija untuk jalan tol yang sudah beroperasi diberikan
tenggang waktu paling lama 3 (tiga) tahun dengan pelaksanaan dilakukan
secara bertahap.
d. Penanganan Kecelakaan
Di dalam SPM, penanganan terhadap kecelakaan dibedakan menjadi 2 (dua)
yaitu terhadap :
Korban kecelakaan dievakuasi gratis ke rumah sakit rujukan, dan
Kendaraan kecelakaan diderek gratis sampai ke pool derek (masih di
dalam jalan tol)
Penanganan kecelakaan ini dilakukan oleh unit pertolongan, penyelamatan,
dan bantuan pelayanan yang meliputi ambulans, kendaraan derek,
kendaraan rescue, polisi patroli jalan raya (PJR), dan patroli jalan tol.
e. Pengamanan dan Penegakan Hukum
Ketentuan di dalam SPM mensyaratkan pengamanan dan penegakan hukum
harus mencakup seluruh ruas jalan tol dan dilakukan oleh polisi Patroli Jalan
Raya (PJR). Tolok ukur dari kriteria ini adalah keberadaan petugas PJR
yang siap panggil 24 jam.
2.8 Unit Pertolongan, Penyelamatan, dan Bantuan Pelayanan
31
Substansi pelayanan yang berkaitan langsung dengan keselamatan lalu lintas
yang disyaratkan dalam standar pelayanan minimal (SPM) jalan tol yaitu unit
pertolongan, penyelamatan, dan bantuan pelayanan. Di dalamnya mencakup 6
(enam) kriteria, yaitu : Ambulans, Kendaraan Derek, Polisi Patroli Jalan Raya
(PJR), Patroli Jalan Tol (Operator), Kendaraan Rescue, dan Sistem Informasi
Kondisi Lalu Lintas.
a. Ambulans
Ambulans sebagai unit darurat yang berperan sangat penting terutama pada
kejadian kecelakaan di jalan tol memiliki syarat jumlah yaitu 1 (satu) unit
per 25 km atau minimal 1 (satu) unit dengan dilengkapi standar P3K
(pertolongan pertama pada kecelakaan) dan paramedis.
b. Kendaraaan Derek
Sebagai unit pertolongan dalam penanganan hambatan lalu lintas seperti
kendaraan mogok maupun kendaraan kecelakaan, unit kendaraan derek
memiliki syarat jumlah sebagai berikut :
Jalan tol dengan Lintas Harian Rata-rata (LHR) > 100.000
kendaraan/hari harus memiliki 1 (satu) unit per 5 (lima) km atau
minimal 1 (satu) unit.
Jalan tol dengan Lintas Harian Rata-rata (LHR) < 100.000
kendaraan/hari harus memiliki 1 (satu) unit per 10 (sepuluh) km atau
minimal 1 (satu) unit.
c. Polisi Patroli Jalan Raya (PJR)
Unit PJR yang berperan penting dalam pengamanan dan penegakan hukum
di sepanjang ruas jalan tol memiliki syarat jumlah sebagai berikut :
32
Jalan tol dengan Lintas Harian Rata-rata (LHR) > 100.000
kendaraan/hari harus memiliki 1 (satu) unit per 15 km atau minimal 1
(satu) unit.
Jalan tol dengan Lintas Harian Rata-rata (LHR) < 100.000
kendaraan/hari harus memiliki 1 (satu) unit per 20 km atau minimal 1
(satu) unit.
d. Patroli Jalan Tol (Operator)
Untuk mengawasi pergerakan lalu lintas kendaraan dan memfasilitasi
pengguna dengan informasi kondisi lalu lintas, unit patroli jalan tol dari
operator memiliki syarat jumlah yaitu 1 (satu) unit per 15 km atau minimal
2 (dua) unit.
e. Kendaraan Rescue
Unit kendaraan rescue berperan sangat penting dalam situasi darurat di jalan
tol seperti kejadian kecelakaan lalu lintas sebagai unit penyelamatan. Syarat
jumlah unit kendaraan rescue yaitu 1 (satu) unit per ruas jalan tol dan wajib
dilengkapi dengan peralatan penyelamatan.
f. Sistem Informasi Kondisi Lalu Lintas
Untuk memantau kondisi lalu lintas dan sebagai sarana informasi kepada
pengguna jalan tol, sistem informasi kondisi lalu lintas harus ditempatkan di
setiap gerbang masuk jalan tol dan terintegrasi dengan sentra komunikasi
(senkom).
2.9 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Dalam setiap aspek kehidupan, kita seringkali dihadapkan dengan pilihan-
pilihan yang krusial dan menentukan. Pilihan-pilihan tersebut harus diputuskan
33
sebijak mungkin dengan alasan yang ilmiah, logis dan terstruktur. Hal ini juga
sering terjadi dalam dunia teknik sipil, contohnya ketika pemerintah sebuah
daerah ingin memutuskan untuk menggunakan jasa kontraktor untuk
mengerjakan proyek pembangunan jalan, tentunya pihak pemerintah harus
menyeleksi kontraktor-kontraktor yang ada berdasarkan kriteria-kriteria yang
objektif dan relevan dengan proyek yang bersangkutan. Permasalahan seperti ini
dapat diselesaikan dengan suatu metode matematika yaitu metode analytical
hierarchy process (AHP).
Metode AHP ini dikembangkan oleh seorang ahli matematika, Thomas L.
Saaty sejak tahun 1970. Dengan metode ini, pengambilan keputusan atas
permasalahan yang kompleks akan disederhanakan dengan memecah-mecahkan
masalah ke dalam bagian-bagiannya, lalu disusun menurut tingkatannya
(hierarki), kemudian dinilai atau diberi bobot secara numerik (berskala)
mengenai tingkat kepentingan (importance) dari setiap kriteria, sehingga
diperoleh hasil berupa kriteria yang menjadi prioritas tertinggi dan memiliki
pengaruh lebih besar pada kondisi tersebut. Dengan demikian, suatu keputusan
(khususnya yang bersifat multikriteria dan perlu dinilai oleh banyak pihak) akan
menjadi lebih efektif dengan didasari metode ini.
Menurut Saaty, dalam menentukan kriteria dari setiap permasalahan yang
akan dinilai perlu memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Lengkap, artinya setiap kriteria harus mencakup semua bagian yang
penting, yang tentunya relevan dan dapat digunakan untuk mengambil
keputusan.
34
b. Operasional, artinya setiap kriteria tersebut harus bermakna atau
berdampak bagi pengambil keputusan sehingga dapat benar-benar
dipahami.
c. Tidak berlebihan, artinya setiap kriteria disusun sewajarnya dan tidak
memiliki arti atau pengertian ganda.
d. Minimal, artinya dalam pemilihan jumlah kriteria harus seminimal
mungkin agar permasalahan dapat menjadi lebih sederhana dan lebih
mudah dipahami.
Saaty dalam teorinya juga mendeskripsikan bahwa ada 4 prinsip dalam
mengambil keputusan secara AHP (Analytic Hierarchy Process), yaitu :
a. Decomposition, yaitu mengurai suatu permasalahan yang kompleks ke
dalam bagian-bagiannya secara hierarki.
b. Comparative judgments, yaitu membandingkan setiap pasangan elemen
atau kriteria di dalamnya dengan skala numerik (angka) untuk
menghasilkan tingkat kepentingan atau prioritas dari masing-masing
elemen. Skala yang digunakan adalah angka 1-9 dengan penjelasan
seperti pada Tabel 2.5.
35
Tabel 2.5 Skala Kepentingan dalam Input AHP
Intensitas Kepentingan Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya Kedua elemen memberikan kontribusi yang sama terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit memihak pada sebuah elemen dibanding elemen lainnya
5Elemen yang satu esensial atau sangat penting dibanding elemen yang lainnya
Pengalaman pertimbangan secara kuat mendukung satu elemen atas elemen yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain
Satu elemen dengan kuat didukung dan dominasinya telah terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih penting dari yang lainnya
Bukti yang mendukung bahwa suatu elemen memiliki tingkat penegasan tertinggi atas elemen lainnya sangat jelas dan dominan
2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara diantara dua pertimbangan yang berdekatan
Nilai ini diberikan jika diperlukan adanya kompromi antara nilai-nilai diatas.
Kebalikan dari nilai diatas, jika aktivitas i mendapat satu angka tertentu (1-9), bila dibandingkan dengan aktivitas j maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
c. Synthesis of Priority, yaitu penentuan prioritas di setiap tingkatan elemen
mulai dari kriteria yang paling kecil yang disebut prioritas lokal. Untuk
mendapatkan prioritas global, maka perlu dilakukan sintesis antara
prioritas lokal.
d. Logical Consistency, yaitu pengujian tingkat konsistensi pada input untuk
setiap kriteria agar menjadi relevan dengan tujuan yang ingin dicapai. Hal
ini dilakukan untuk menghindari data masukan yang tidak konsisten
sehingga dapat menyebabkan analisis menjadi kurang valid.
Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, metode AHP ini memiliki landasan
aksiomatik berikut :
a. Resiprocal Comparison, artinya bahwa matriks perbandingan
berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A
adalah n kali lebih penting daripada B, maka B adalah 1/n kali lebih
penting dari A.
36
b. Homogenity, artinya dalam melakukan perbandingan harus
membandingkan sesuatu yang sejenis atau se-level. Misalnya,
membandingkan apel dengan bola tenis tidak mungkin dalam hal rasa,
namun akan lebih relevan jika membandingkannya dalam hal berat atau
ukuran.
c. Dependence, artinya setiap tingkatan (level) mempunyai kaitan (complete
hierarchy) satu sama lain walaupun mungkin ada hubungan yang tidak
sempurna (incomplete hierarchy).
d. Expectation, artinya menonjolkan penilaian yang bersifat ekspektasi dan
preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data
kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif
Langkah kerja proses pengambilan keputusan berdasarkan metode AHP
adalah sebagai berikut :
a. Menentukan tujuan atau menetapkan alternatif yang akan dipilih maupun
disusun prioritasnya.
b. Menguraikan setiap kriteria penilaian ke dalam struktur hierarki.
Gambar 2.4 Struktur Hierarki
37
c. Memberikan penilaian dari setiap perbandingan berpasangan antar
kriteria.
d. Menghitung bobot dari setiap kriteria dengan matriks perbandingan
berpasangan dengan susunan seperti pada Tabel 2.6 :
Tabel 2.6 Matriks Perbandingan Berpasangan
C1 C2 ... Cn
C1 P11 P12 ... P1n
C2 P21 P22 ... P2n
... ... ... ... ...
Cn Pn1 Pn2 ... Pnn
C adalah kriteria, P adalah nilai perbandingan antar kriteria berpasangan,
dan n adalah banyaknya kriteria yang dibandingkan. Untuk mendapatkan
matriks normalisasi, kuadratkan matriks tersebut, jumlahkan nilai di
setiap baris, kemudian hitung totalnya. Bobot (eigenvector) dari setiap
kriteria adalah persentase di masing-masing baris. Susunannya seperti
pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Menghitung Bobot Setiap Kriteria
C1 C2 ... Cn Jumlah Baris Bobot
C1 P11 P12 ... P1n T1 = P11+P12+...+P1n T1/A
C2 P21 P22 ... P2n T2 = P21+P22+...+P2n T2/A
... ... ... ... ... ... ...
Cn Pn1 Pn2 ... Pnn Tn = Pn1+Pn2+...+Pnn Tn/A
T adalah hasil penjumlahan nilai kriteria di setiap baris dan A adalah hasil
penjumlahan dari semua nilai T.
38
e. Menentukan CI (Consistency Index) dengan persamaan berikut :
....................................... 2.1
f. Menentukan rasio konsistensi (CR) dengan cara membagi indeks
konsistensi (CI) dengan indeks random (RI).
........................................... 2.2
Tabel 2.8 berikut adalah nilai rata-rata indeks random (RI) untuk setiap
ordo matriks tertentu berdasarkan perhitungan Saaty dengan
menggunakan 500 sampel.
Tabel 2.8 Indeks Random (RI)
Ordo 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
RI 0 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
g. Matriks perbandingan dikatakan konsisten jika nilai rasio konsistensi
lebih kecil atau sama dengan 0,10 atau 10%.
Menurut Bernardus dkk. (2012), keuntungan dari menyusun analisis masalah
ke dalam bentuk hierarki adalah :
a. Mempresentasikan sistem yang dapat digunakan untuk memperjelas
bagaimana perubahan tingkat kepentingan elemen – elemen pada tingkat
hierarki di bawahnya.
b. Memberikan informasi yang jelas dan lengkap atas struktur dan fungsi
dari sistem dalam tingkatan yang lebih rendah dan memberikan
gambaran faktor – faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tujuan-
tujuan pada tingkat yang lebih tinggi.
39
c. Lebih efisien dari pada analisis secara keseluruhan.
d. Stabil dan fleksibel. Stabil dalam hal perubahan yang kecil akan
memberikan pengaruh yang lebih kecil pula. Sedangkan fleksibel dalam
hal penambahan terhadap struktur hierarki tidak akan merusak atau
mengacaukan performa hierarki secara keseluruhan.
Dalam artikel mengenai Analytical Hierarchy Process, Nadja Kasperczyk
dan Karlheinz Knickel (2010) merangkum beberapa kelebihan metode AHP
menurut para peneliti lainnya, di antaranya sebagai berikut :
a. Keuntungan dari AHP dibanding metode multi-kriteria lain adalah
fleksibilitas dan daya tarik intuitif bagi para pengambil keputusan dan
kemampuannya untuk memeriksa inkonsistensi (Ramanathan, 2001).
Umumnya, pengguna metode ini berpendapat bahwa input data dalam
bentuk perbandingan berpasangan lebih mudah dan nyaman.
b. Selain itu, metode AHP memiliki keuntungan yang berbeda yang
mengurai suatu pemecahan masalah menjadi bagian-bagian penyusunnya
dan membangun sebuah hierarki dari kriteria. Di sini, kepentingan setiap
elemen (kriteria) menjadi jelas (Macharis et al., 2004).
c. AHP membantu menangkap penilaian evaluasi baik secara subyektif
maupun obyektif. Selain itu, AHP juga menyediakan mekanisme yang
berguna untuk memeriksa konsistensi dari penilaian evaluasi dan
alternatif, sehingga AHP dapat mengurangi keragu-raguan dalam
pengambilan keputusan.
d. Metode AHP mendukung pengambilan keputusan berkelompok melalui
konsensus dengan menghitung rata-rata geometris dari perbandingan
berpasangan individu (Zahir, 1999).
40
e. AHP diposisikan secara unik untuk membantu pada situasi model
ketidakpastian dan berisiko karena mampu menurunkan skala penilaian-
penilaian yang biasanya tidak ada (Millet & Wedley, 2002).
Dalam bukunya yang berjudul “Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk”,
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. (2009) juga menguraikan beberapa keuntungan
yang diperoleh bila memecahkan persoalan dan mengambil keputusan dengan
menggunakan AHP, yaitu :
a. Kesatuan, artinya AHP memberikan satu model tunggal yang mudah
dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.
b. Kompleksitas, artinya AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan
berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
c. Saling ketergantungan, artinya AHP dapat menangani saling
ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak
memaksakan pemikiran linier.
d. Penyusunan hierarki, artinya AHP mencerminkan kecenderungan alami
pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam
berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa
dalam setiap tingkat.
e. Pengukuran, artinya AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal
dan terwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas.
f. Konsistensi, artinya AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-
pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas.
g. Sintesis, artinya AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang
kebaikan setiap alternatif.
41
h. Tawar-menawar, artinya AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas
relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih
alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
i. Penilaian dan konsesus, artinya AHP tidak memaksakan konsesus tetapi
mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian
yang berbeda.
j. Pengulangan proses, artinya AHP memungkinkan organisasi
memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki
pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
Di samping kelebihan-kelebihan tersebut, beberapa pengamat menyatakan
ada beberapa kelemahan dari metode AHP ini, di antaranya sebagai berikut :
a. Banyak peneliti telah lama mengamati beberapa kasus di mana
penyimpangan peringkat dapat terjadi ketika AHP atau beberapa
variannya digunakan. Triantaphyllou (2001) membuktikan bahwa
pembalikan peringkat tidak mungkin terjadi apabila menggunakan varian
perkalian AHP.
b. Menurut Belton (1986) dan Gear (1997), masalah utama dari kebalikan
peringkat AHP adalah interpretasi terhadap bobot kriteria. Namun, AHP
dan beberapa variannya dianggap oleh banyak orang sebagai metode
MCDM (Multi Criteria Decision Making) yang paling dapat diandalkan.
c. Metode AHP dapat dianggap sebagai metode agregasi lengkap dari jenis
aditif. Masalah dari agregasi tersebut adalah bahwa dapat terjadi
kompensasi antara skor yang baik pada beberapa kriteria dan skor buruk
pada kriteria lain. Informasi yang rinci dan seringkali penting dapat
hilang oleh agregasi tersebut.
42
d. Dengan AHP masalah keputusan didekomposisi menjadi beberapa
subsistem, sehingga ada sejumlah besar perbandingan berpasangan harus
diselesaikan. Pendekatan ini memiliki kelemahan bahwa jumlah
perbandingan berpasangan yang akan dibuat, dapat menjadi sangat besar
(n (n-1) / 2), dan dengan demikian akan menjadi pekerjaan yang
memakan waktu (Macharis et al., 2004).
e. Kelemahan lain yang penting dari metode AHP adalah keterbatasan
penggunaan skala 9 angka. Kadang-kadang, pembuat keputusan mungkin
kesulitan untuk membedakan di antara skala. Juga, metode AHP tidak
dapat mencakup fakta apabila alternatif A ternyata 25 kali lebih penting
daripada alternatif C (Murphy, 1993; Belton dan Gear, 1983; Belton,
1986). Dari diskusi tentang pembatasan skala ini, Hajkowicz et al. (2000)
memodifikasi prosedur dalam studi mereka dengan menggunakan skala 2
angka, karena kendala waktu dari pengambil keputusan. Jadi para
pengambil keputusan hanya menunjukkan apakah kriteria yang satu lebih
atau kurang penting atau sama pentingnya daripada kriteria yang lainnya.
Dalam penelitian ini, AHP menjadi metode yang sangat efektif dalam
mengolah data penilaian di dalam penentuan prioritas dari setiap substansi
pelayanan yang ada di dalam SPM (standar pelayanan minimal) jalan tol
berdasarkan hasil pengumpulan data kuesioner. Analisis data tersebut akan
menghasilkan susunan prioritas (peringkat) untuk menentukan tindak lanjut
pengambil keputusan dalam pemenuhannya, sehingga setiap keputusan yang
diambil bersifat kalkulatif dan diharapkan dapat sesuai dengan penilaian
responden.