karyatulisilmiah.com · Web viewmasukkan banyaknya ml titrasi ke dalam rumus: DO (mg/l) = c....
Transcript of karyatulisilmiah.com · Web viewmasukkan banyaknya ml titrasi ke dalam rumus: DO (mg/l) = c....
PRAKTIKUM MANAJEMEN KUALITAS AIRSTUDI KUALITAS AIR PADA EKOSISTEM SUNGAI DI DESA
TAPAK, KELURAHAN TUGUREJO, KECAMATAN TUGUSEMARANG
PROPOSAL
Disusun oleh :Kelompok 3
AGHRE PAHLAWAN K2B 009 072BENEDIKTUS R.I.G. K2B 009 016FAHMI ROYAN K2B 009 041HAYU ANINDYA A K2B 009 054AYU WULANDARI K2B 009 036YENI TRISNAWATI K2B 009 002MOH ADITYA P K2B 009 034ISTIKHANAH 26010210130066PUNGKY NANDA P 26010210130100
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTANUNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG2012
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manajemen Kualitas Air adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelolaan
terhadap mutu air agar sesuai dengan kebutuhan makhluk hidup. Ilmu ini menjadi
sangat penting peranannya dalam dunia perikanan, terutama upaya untuk
mendukung dan melengkapi ilmu-ilmu yang lain seperti planktonologi, ekologi
perairan, dan lain sebagainya (Hutabarat dan Evans, 2000).
Air merupakan zat yang berperan dalam kehidupan makhluk hidup.
Karakteristik badan air dicirikan oleh tiga komponen utama yaitu hidrologi,
fisika-kimia, dan biologi. Air juga menjadi bagian terbesar pembentuk tumbuh-
tumbuhan dan binatang termasuk ikan. Air merupakan media tempat terjadinya
berbagai reaksi kimia baik di dalam maupun di luar tubuh mahluk hidup. Air
menutupi sekitar 70% permukaan bumi dengan jumlah kurang lebih 1368 juta
km2. Penilaian kualitas harus meliputi ketiga aspek tersebut (Angel
dan Wolseley, 1992).
Menurut Mulyanto (1992), kondisi air harus disesuaikan dengan kondisi
optimal bagi pertumbuhan biota yang dipelihara. Kualitas air tersebut meliputi
faktor kimia, fisika, dan biologi. Faktor fisika diantaranya adalah suhu, kecerahan,
dan kedalaman. Kualitas air dalam media budidaya harus dalam kondisi yang
stabil dan tidak terjadi perubahan yang mendadak. Apabila kualitas air tidak stabil
atau berubah-ubah maka akan mengakibatkan kultivan stres, sakit bahkan mati
jika tidak mampu bertoleransi terhadap perubahan lingkungan, oleh karena itu
diperlukan treatmen-treatmen khusus / rekayasa manusia agar kualitas air tetap
stabil.
Selama ini kita melihat bahwa penanganan masalah air masih belum
terprogram dan terealisasi sesuai dengan laju perkembangan pembangunan dan
pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat
menimbulkan kerusakan lingkungan, seperti kualitas yang tidak sesuai lagi
dengan standar yang telah ditetapkan. Masalah pengelolaan air dalam dunia
perikanan merupakan tantangan yang harus dicari jalan keluarnya, karena
dampaknya secara langsung mempengaruhi kehidupan organisme dan komponen
biologi lainnya yang ada didalam suatu ekosistem perairan (Effendi, 2003).
Berdasarkan hal-hal tersebut, praktikum Manajemen Kualitas Air menjadi
sangat penting untuk dipelajari. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui
sekaligus dapat mengelola dan mengatur kualitas air agar sesuai dengan
peruntukkannya, khususnya dalam dunia perikanan.
1.2. Pendekatan dan Perumusan Masalah
Usaha budidaya ikan atau organisme air lainnya, diperlukan manajemen
kualitas air yang baik yang dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan.
Kualitas air ini dapat kita uji menggunakan parameter-parameter yang yang ada,
meliputi parameter fisika dan kimia. Hal ini tentu akan mengacu pada
produktivitas dan perkembangan ikan yang pada akhirnya dapat meningkatkan
produtivitas perairan tersebut.
Praktikum ini dilakukan dengan harapan dapat mengetahui kualitas air pada
ekosistem tambak yang berada di Mangkang, sehingga kelestarian ekosistem
tersebut dapat terjaga dan dapat dihasilkan ikan atau organisame air lainnya yang
berkualitas dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
1.3. Tujuan Praktikum
Tujuan dilaksanakannya Praktikum Manajemen Kualitas Air antara lain:
1. Untuk memperkirakan kelayakan ekosistem tambak untuk dijadikan sebagai
lokasi budidaya.
2. Untuk mengetahui kualitas tanah dan tekstur tanah yang ada di ekosistem
tambak.
1.4 Manfaat Praktikum
Praktikum Manajemen Kualitas Air ini menjadikan mahasiswa dapat
mengetahui kualitas air dan kondisi lingkungan di kawasan tambak ..................,
sehingga kualitas air di tambak ............ dapat dipertahankan dan dimanfaatkan
semaksimal mungkin.
1.5. Lokasi dan Waktu
Pelaksanaan sampling lapangan dilaksanakan pada hari ......, ... Mei 2012
dan bertempat di Tambak, Semarang mulai pukul ...... WIB sampai selesai.
Analisis laboratorium dimulai hari ......., .... Mei 2012 sampai hari .......,
....... Mei 2012 bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan, Gedung C
Tembalang, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro,
Semarang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kualitas Air
2.1.1. Parameter fisika
A. Suhu air
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude),
ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara,
penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu
berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat
berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki
kisaran suhu tertentu, yang sesuai untuk pertumbuhannya (Haslam, 1995).
Beberapa ekosistem perairan suhu permukaan terkadang dapat mencapai
35oC atau lebih sehingga berada di luar batas optimal bagi ikan, namun demikian
apabila keadaan tersebut terjadi maka ikan secara alamiah akan berada di dasar
dimana suhunya lebih rendah. Ikan pada umumnya mempunyai toleransi yang
rendah, terhadap perubahan suhu yang mendadak. Pemindahan ikan secara
mendadak ke tempat yang suhunya jauh lebih tinggi atau sangat rendah perlu
dihindari. Perubahan suhu seringkali mendadak sebesar 5oC dapat menyebabkan
ikan stres atau mati. Suhu air juga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tempat dan
permukaan air, oleh karena itu dalam pemindahan ikan perlu diperhatikan.Suhu
air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-faktor meteorologi
yang berpengaruh ialah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan
angin dan intensitas radiasi matahari, sehingga suhu di permukaan biasanya
mengikuti pola musiman (Hutabarat, 1984).
B. Kecerahan dan kedalaman
Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan
merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan
menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai
ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan
padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah
(Jeffries dan Mills, 1996).
Menurut Hutabarat dan Evans (2000), kedalaman perairan merupakan
petunjuk keberadaan parameter limnologi pada suatu habitat akuatik tertentu.
Organisme membutuhkan cahaya sinar matahari dalam melakukan fotosintesis.
Penyinaran cahaya matahari akan berkurang dengan semakin tingginya
kedalaman, itulah sebabnya organisme yang berperan sebagai produsen makanan
utama hanya mampu melakukan fotosistesis pada kedalaman tertentu dimana
masih mendapatkan penyinaran cahaya matahari yang cukup.
Kedalaman yang ideal untuk pemeliharaan atau budidaya ikan adalah 60 –
150 cm. Dasar kolam dan permukaan air yang dalam di suatu kolam, akan
menambah luas ruang gerak ikan. Salah satu pertimbangan dalam menentukan
kedalaman suatu kolam, yaitu kemampuan sinar matahari untuk menembus ke
dasar kolam (Susanto, 1986).
C. Warna air
Menurut Peavy (1985), warna perairan ditimbulkan oleh adanya bahan
organik dan bahan anorganik, karena keberadaan plankton, humus, dan ion-ion
logam (misalnya besi dan mangan), serta bahan-bahan lain. Keberadaan oksida
besi menyebabkan air berwarna kemerahan, sedangkan oksida mangan
menyebabkan air berwarna kecokelatan atau kehitaman. Kadar besi sebanyak 0,3
mg/L dan kadar mangan sebanyak 0,05 mg/L sudah cukup dapat menimbulkan
warna pada perairan.
Warna dapat diamati secara langsung atau diukur berdasarkan skala
platinum kobalt (dinyatakan dengan satuan PtCo), dengan membandingkan warna
air sampel dan warna standar. Air yang memiliki nilai kekeruhan rendah biasanya
memiliki nilai warna tampak dan warna sesungguhnya yang sama dengan standar.
Intesitas warna cenderung meningkatdengan meningkatnya nilai pH
(Sawyer dan Mc Carty, 1978).
Warna perairan biasanya dikelompokkan menjadi dua, yaitu warna
sesunguhnya (true color) dan warna tampak (apparent color). Warna
sesungguhnya adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia
terlarut. Penentuan warna dilakukan dengan memisahkan bahan-bahan tersuspensi
yang dapat menyebabkan kekeruhan terlebih dahulu. Warna tampak adalah warna
yang tidak hanya disebabkan oleh bahan terlarut, tetapi juga oleh bahan
tersuspensi (Effendi, 2003).
D. Bau
Bau air biasanya terdapat pada air normal dan air yang telah diolah. Bau
tersebut dapat berupa bau tanah liat, amis, jamuran, klorin atau bau-bauan yang
menyerupai iodoform (Winarno, 1986).
H2S biasa dideteksi dari lumpur dasar yang berwarna hitam dan berbau
belerang. Pergantian air dan pengerukan tanah dasar waktu persiapan adalah cara
terbaik untuk menghilangkan H2S. Pada konsentrasi oksigen terlarut tinggi H2S
dioksidasi menjadi H2SO4. Aerasi sangat membantu terciptanya suasana aerob
didasar perairan. Gas hidrogen sulfida (H2S) dapat cepat larut dalam air. Gas ini
menyebabkan bau busuk yang cukup tajam dan sangat beracun bagi ikan. H2S
merupakan hasil penguraian bahan organik, terutama protein dalam keadaan
anaerob (tidak ada oksigen). Gas ini jarang terdapat dalam akuarium atau bak
yang teraerasi penuh (Hawks, 1978).
Menurut Wardoyo (1983) banyak dari bau yang tidak sedap itu disebabkan
karena adanya campuran dari nitrogen, sulfur dan fosfor dan juga berasal dari
pembusukan protein serta bahan organik yang terdapat di dalam air. Bau yang
paling menyengat adalah bau yang berasal dari hidrogen sulfida. Bau merupakan
faktor yang penting dalam penentuan kondisi air diperkuat pula oleh kenyataan
bahwa konsentrasi yang sangat kecil daripada sesuatu zat tertentu dapat ditelusuri
dari baunya
E. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi dari total ion yang terdapat di perairan.
Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air setelah semua karbonat
dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida telah digantikan oleh
klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam
satuan gram/kg atau promil ( o/oo) (Effendi, 2003).
Salinitas dinyatakan sebagai konsentrasi total dari semua ion yang
terlarut dalam air. Semakin besar jumlah ion yang terkonsentrasi di dalam air,
maka tingkat salinitas dan kepekatan osmolar larutan semakin tinggi, sehingga
tekanan osmotik media semakin besar. Ion-ion yang dominan dalam
menentukan tekanan osmotik air laut adalah Na+ dan Cl- dengan masing-
masing sebesar 30,61% dan 55,04% dari total konsentrasi ion-ion terlarut. Hal
ini mempengaruhi efek osmotik yang ditimbulkan, baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap proses penetasan telur dan perkembangan
larva ikan (Anggoro, 1992).
Nilai salinitas perairan tawar biasanya < 0,5 promil, perairan payau 0,5
– 30 promil dan perairan laut 30 – 40 promil. Salinitas perairan hipersaline
bisa mencapai kisaran 40 – 80 promil. Nilai salinitas pada perairan pesisir
sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi, 2003).
F. Muatan padat tersuspensi
Padatan total (residu) adalah bahan yang tersisa setelah air sampel
mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu. Residu dianggap
sebagai kandungan total bahan terlarut dan tersuspensi dalam air. Selama
penentuan residu ini, sebagian besar bikarbonat yang merupakan anion utama
di perairan telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga
karbondioksida dan gas-gas lain menghilang pada saat pemanasan tidak
tercakup dalam nilai padatan total (Effendi, 2003).
Menurut Effendi (2003), padatan tersuspensi total (Total Suspended
Solid atau TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1µm) yang
tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri
atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan
oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air.
Settleable solid adalah jumlah padatan tersuspensi yang dapat diendapkan
selama periode waktu tertentu dalam wadah yang berbentuk kerucut terbalik
(imhoff cone). Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid atau TDS) adalah
bahan-bahan terlarut (diameter < 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm - 10-3
mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak
tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm (Effendi, 2003).
2.1.2. Parameter kimia
A. Derajat keasaman (pH)
Menurut Ghufron (2007), derajat keasaman lebih dikenal dengan istilah
pH. pH (singkatan dari puissance negative deH), yaitu logaritma dari kepekatan
ion-ion H (hidrogen) yang terlepas dalam suatu cairan. Derajat keasaman atau pH
air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan
sebagai konsentrasi ion hidrogen (dalam mol/l) pada suhu tertentu atau dapat
ditulis : pH = - log (H)+.
Ekosistem perairan, fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh respirasi, karena
berhubungan dengan karbondioksida yang dihasilkannya. Kolam yang banyak
dijumpai algae dan tumbuhan lain pH air pada pagi hari mencapai 6,5, sedangkan
pada sore hari mencapai 8,9. Hubungan antara karbondioksida dengan pH bersifat
berbanding terbalik, pada karbondioksida tinggi, maka pH akan cenderung
rendah. Kolam dengan sistem resirkulasi, air cenderung menjadi asam karena
proses nitrifikasi dari bahan organik akan mengahasilkan karbondioksida dan ion
hidrogen. Sebagian ikan dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan perairan
yang mempunyai derajat keasaman (pH antara 5 – 9) (Cholik, 1986).
Nilai derajat keasaman (pH) perairan yang cocok untuk budidaya Ikan
Karper (Cyprinus carpio blecker) berkisar 7,5-8,5. Walaupun pH 6,5-9 masih
dikategorikan baik untuk memelihara ikan, tetapi pH = 4 sudah terlalu asam bagi
ikan sehingga dapat membunuh ikan. Sementara pH = 11 pun demikian, air sudah
terlalu basa dan dapat membunuh ikan. Untuk mengambil pH air, bisa diukur
dengan beragam alat misalnya kertas lakmus atau sekarang banyak diproduksi alat
baru yang disebut pH meter yang berguna untuk mengukur pH air dan tanah
(Susanto, 1986).
B. Oksigen terlarut
Menurut Rejeki (2001), oksigen merupakan parameter kualitas air yang
diperlukan bagi semua organisme hidup untuk pernafasan, memproduksi
organisme yang diperlukan, untuk proses pencernaan dan asimilasi makanan,
menjaga keseimbangan osmotik serta untuk aktifitasnya. Oksigen terlarut
merupakan salah satu faktor pembatas dalam lingkungan perairan. Ditinjau dari
segi ekosistem, kadar oksigen terlarut sangat menentukan kecepatan metabolisme
dan respirasi serta sangat penting bagi kelangsungan dan pertumbuhan biota air.
Menurut Rejeki (2001), kandungan DO akan berkurang dengan naiknya
suhu dan salinitas. Perairan dengan suhu yang sama konsentrasi oksigen terlarut
sama dengan jumlah kelarutan oksigen yang ada diperairan, maka air tersebut
dapat dikatakan sudah jenuh dengan oksigen terlarut. Oksigen terlarut di perairan
diperoleh dari difusi gas oksigen oleh atmosfer dan fotosintesa tumbuhan hijau.
Kadar oksigen jenuh akan tercapai jika kadar oksigen yang terlarut di
perairan sama dengan kadar oksigen yang terlarut. Kadar oksigen tidak jenuh
terjadi jika kadar oksigen yang terlarut lebih kecil dari pada kadar oksigen secara
teoritis. Kadar oksigen yang melebihi nilai jenuh disebut lewat jenuh (super
saturasi). Kejenuhan untuk menyatakan oksigen diperairan dinyatakan dengan
persen saturasi (Poernomo, 1989).
Faktor utama yang mempengaruhi kandungan oksigen dalam air adalah
komunitas alga planktonik. Pada siang hari, produksi oksigen meningkat karena
adanya proses fotosintesis dan pada malam hari terjadi penurunan karena oksigen
digunakan untuk respirasi, jika populasi alga meningkat, maka terjadi super-
saturasi oksigen di siang hari dan terjadi sub-saturasi di malam hari yang dapat
mengakibatkan stres pada ikan. Kolam yang produktif kisaran DO bisa mencapai
7 – 8 ppt (Boyd, 1988).
C. Karbondioksida (CO2)
Menurut Cholik (1986), karbondioksida merupakan salah satu komponen
udara yang dihasilkan oleh proses respirasi maupun penguraian bahan organik.
Meningkatnya konsentrasi gas karbondioksida bebas (CO2) pada wadah tertutup
sebelum pengangkutan ikan merupakan masalah utama di daerah tropis. Pengaruh
CO2 terhadap ikan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen terlarut di
perairan tersebut. Konsentrasi oksigen berada pada tingkat maksimal, pengaruh
gas karbondioksida dapat diabaikan.
Menurut Susanto (1991), meskipun karbondioksida ini tidak secara
langsung tidak dibutuhkan oleh ikan, namun diperlukan pada proses fotosintesa
media hidup di kolam. Karbondioksida ini dipergunakan sebagai bahan bakar
untuk membuat zat pati dalam butir hijau daun tumbuhan air. Kenyataannya,
karbondioksida ini nantinya merupakan hasil buangan dari ikan dan biota air
lainnya, oleh karena itu kandungan karbondioksida dalam air untuk pemeliharaan
ikan di air tenang di butuhkan lebih banyak daripada oksigen. Kandungan
karbondioksida maksimal dalam air yang masih dianggap tidak membahayakan
bagi ikan adalah sekitar 25 ppm.
D. Alkalinitas
Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam, atau
dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion
dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen.Alkalinitas juga diartikan
sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH
perairan.Penyusun alkalinitas adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO3
2-)
dan hidroksida (OH-). Borat (H2BO3-), silikat (HSiO3
-), fosfat (HPO42-
dan H2PO4-), sulfida (HS-), dan ammonia (NH3) juga memberikan kontribusi
terhadap alkalinitas, namun pembentuk alkalinitas yang utama adalah bikarbonat,
karbonat dan hidroksida. Diantara ketiga ion tersebut, ion bikarbonat merupakan
ion paling banyak terdapat pada perairan alami (Effendi, 2003).
Sebagai media hidup ikan, kondisi alkalinitas air kolam perlu diketahui,
karena alkalinitas merupakan salah satu parameter kimia yang dapat dipakai untuk
mengetahui kebasaan air. Kisaran pH suatu perairan kadang mengalami fluktuasi
atau perubahan cukup drastis. Hal ini kurang menguntungkan, sebab akan
mempengaruhi kehidupan ikan yang dipelihara. Fluktuasi atau perubahan nilai pH
yang drastis disuatu perairan dapat dicegah apabila perairan tersebut mempunyai
sistem buffer yang memadai, apabila suatu perairan mengandung mineral
karbonat, bikarbonat, borat, dan silikat, maka pada perairan tersebut akan
memiliki pH diatas netral (bersifat basa) dan sekaligus dapat mencegah terjadinya
penurunan pH secara drastis (Cholik, 1986).
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1988), perairan dengan total alkalinitas
kurang dari 15 atau 20 mg/l biasanya mengandung sedikit CO2 sedangkan total
alkalinitas 20 – 150 mg/l mengandung CO2 yang cukup untuk produksi plankton.
Perairan dengan alkalinitas rendah mempunyai daya tangkap yang kurang atau
rendah terhadap perubahan pH.
E. Kesadahan
Kesadahan (hardness) adalah gambaran kation logam divalent (valensi
dua). Kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun (soap) membentuk endapan
atau presipitasi maupun dengan anion-anion yang terdapat di dalam air
membentuk endapan atau karat pada peralatan logam. Perairan tawar, kation
divalen yang paling berlimpah adalah kalsium dan magnesium, sehingga
kesadahan pada dasarnya ditentukan oleh jumlah kalsium dan
magnesium.Kalsium dan magnesium berikatan dengan anion penyusun
alkalinitas, yaitu bikarbonat dan karbonat (Effendi, 2003).
Konsentrasi total dari ion logam yang bervalensi dua terutama Ca dan Mg
dinyatakan dalam mg/l setara CaCO3 menunjukkan tingkat kesadahan air. Total
alkalinitas dan kesadahan air umumnya sama, namun pada beberapa perairan
tertentu lebih besar atau sebaliknya. Tingkat total alkalinitas dan kesadahan air
yang diperlukan untuk budidaya ikan umumnya pada deret 20 – 300 mg/l. Bila
total alkalinitas dan kesadahan air lebih rendah dapat ditingkatkan dengan
pemberian kapur, sedangkan bila terlalu tinggi belum ditemukan cara yang praktis
untuk menurunkannya (Cholik, 1986).
Menurut Effendi (2003), kesadahan perairan berasal dari kontak air
dengan tanah dan bebatuan. Air hujan sebenarnya tidak memiliki kemampuan
untuk melarutkan ion-ion penyusun kesadahan yang banyak terikat di dalam tanah
dan bebatuan kapur (limestone), meskipun memiliki kadar karbondioksida yang
relatif tinggi. Larutnya ion-ion yang dapat meningkatkan nilai kesadahan tersebut
lebih banyak disebabkan oleh aktivitas bakteri di dalam tanah, yang banyak
mengeluarkan karbondioksida.
2.1.3. Parameter biologi
A. Produktivitas primer
Produktivitas primer di perairan menggambarkan jumlah energi cahaya
yang diserap dan disimpan oleh jasad produser (phytoplankton) dalam bentuk
bahan makanan (bahan organik), lewat proses fotosintesa dan kemosintesa dalam
periode waktu tertentu. Nilai produktivitas primer yang dihasilkan oleh
organisme-organisme autotrof (phytoplankton) di perairan dapat diduga dari
kemampuannya berfotosintesa (Fakultas Perikanan ITB, 1992).
Menurut Hutabarat (1984), produktivitas primer (primary production) oleh
tanaman hijau di beberapa habitat akan berbeda satu dengan yang lain.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan skala harian maupun tahunan. Hal
ini dapat disebabkan terdapatnya faktor yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi aktivitas produksi. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara
lain suhu, transparansi, arus, cahaya dan konsentrasi gas atau garam-garam
biogenik. Aktivitas tumbuhan hijau akuatik dalam berfotosintesa merupakan
produktivitas primer yang utama dalam perairan. Bahan organik yang terbentuk
dalam proses produktivitas umumnya dinyatakan dalam jumlah gram karbon
(grC) yang terikat ke dalam ikatan-ikatan organik per meter persegi per hari atau
tahun (grC/m3/jam). Produksi primer di lautan bebas menunjukkan tingkat yang
relatif rendah yaitu berkisar antara 0,005 – 0,5 grC/m3/jam. Daerah paparan benua
dan tempat-tempat yang sering terjadi upwelling menghasilkan nilai yang lebih
tinggi yaitu diantara grC/m3/jam. Sekalipun demikian nilai-nilai ini masih rendah
jika dibandingkan dengan daerah tanah pertanian (sekitar 10 grC/m3/jam).
Menurut Hutabarat (1984), produktivitas primer dapat turun seiring
dengan bertambahnya kedalaman karena tumbuhan berklorofil semakin
berkurang. Produktivitas primer akan 0,5 – 1,25 berhenti pada kedalaman antara
30 – 100 m tergantung pada kedalaman perairan. Produktivitas primer akan naik
jika perairan itu kaya akan fitoplankton dan bahan organik. Fitoplankton
merupakan penyokong dari perairan. Pengamatan fitoplankton dapat dijadikan
ukuran biomassa dan produktivitas perairan. Kelayakan produktivitas primer
dalam suatu perairan berkisar 124,995gC/m3/jam.
2.2. Kualitas Tanah
2.2.1.Parameter kimia
a. Warna tanah
Warna tanah merupakan gabungan dari berbagai warna komponen
penyusun tanah. Warna tanah berhubungan langsung secara proporsional dari total
campuran warna yang dipantulkan permukaan tanah. Warna tanah sangat
ditentukan oleh luas permukaan spesifik yang dikali dengan proporsi volumetrik
masing-masing terhadap tanah. Makin luas permukaan spesifik menyebabkan
makin dominan menentukan warna tanah, sehingga warna butir koloid tanah
(koloid anorganik dan koloid organik) yang memiliki luas permukaan spesifik
yang sangat luas, sehingga sangat mempengaruhi warna tanah. Warna humus, besi
oksida dan besi hidroksida menentukan warna tanah. Besi oksida berwarna merah,
agak kecoklatan atau kuning yang tergantung derajat hidrasinya. Besi tereduksi
berwarna biru hijau. Kuarsa umumnya berwarna putih. Batu kapur berwarna
putih, kelabu, dan ada kala berwarna olive-hijau. Feldspar berwarna merah. Liat
berwarna kelabu, putih, bahkan berwarna merah, ini tergantung proporsi tipe
mantel besinya (Anonim, 2009).
Menurut Hardjowigeno (1992) bahwa warna tanah berfungsi sebagai
penunjuk dari sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah
umumnya dipengaruhi oleh perbedaan kandungan bahan organik. Makin tinggi
kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Sedangkan di lapisan bawah,
di mana kandungan bahan organik umumnya rendah, warna tanah banyak
dipengaruhi oleh bentuk dan banyaknya senyawa Fe dalam tanah. Di daerah
berdrainase buruk, yaitu di daerah yang selalu tergenang air, seluruh tanah
berwarna abu-abu karena senyawa Fe terdapat dalam kondisi reduksi (Fe2+). Pada
tanah yang berdrainase baik, yaitu tanah yang tidak pernah terendam air, Fe
terdapat dalam keadaan oksidasi (Fe3+) misalnya dalam senyawa Fe2O3 (hematit)
yang berwarna merah, atau Fe2O3.3H2O (limonit) yang berwarna kuning cokelat,
sedangkan pada tanah yang kadang-kadang basah dan kadang-kadang kering,
maka selain berwarna abu-abu (daerah yang tereduksi) didapat pula becak-becak
karatan merah atau kuning, yaitu di tempat-tempat dimana udara dapat masuk,
sehingga terjadi oksidasi besi ditempat tersebut. Keberadaan jenis mineral kwarsa
dapat menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang.
b. Tekstur tanah
Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena
terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang
terkandung pada tanah (Badan Pertanahan Nasional) dari ketiga jenis fraksi
tersebut partikel pasir mempunyai ukuran diameter paling besar yaitu 2 - 0.05
mm, debu dengan ukuran 0.05 - 0.002 mm dan liat dengan ukuran < 0.002 mm
(penggolongan berdasarkan USDA). Keadaan tekstur tanah sangat berpengaruh
terhadap keadaan sifat-sifat tanah yang lain seperti struktur tanah, permeabilitas
tanah, porositas dan lain-lain (Anonim, 2009).
Menurut Anonim (2009), tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah
dan dibagi menjadi beberpa kelompok antara lain; kasar (pasir, pasir berlempung),
agak kasar (lempung berpasir, lempung berpasir halus), sedang (lempung berpasir
sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu), agak halus (lempung liat,
lempung liat berpasir, lempung liat berdebu), halus (liat berpasir, liat berdebu).
Selain itu, tanah mempunyai perbedaan dalam memegang air, kemampuan ini
tergantung pada teksturnya. Tekstur tanah dapat dibahas dan dikemukakan
tentang bahan mineral seperti pasir, debu dan liat dalam susunan tanah yang
penting bagi berbagai kehidupan di muka bumi. Partikel-partikel tanah yang
dikelompokkan berdasarkan atas ukuran tertentu disebut fraksi(partikel) tanah,
fraksi tanah ini dapat kasar ataupun halus.
c. Salinitas tanah
Menurut Hutabarat (1984), kadar garam yang terlalu tinggi dalam tanah
akan sangat mengganggu penyerapan hara dan lengas tanah, karena menimbulkan
tegangan lengas tanah yang berlebihan. Tegangan lengas tanah sering dinyatakan
dalam besaran pF, meningkat karena nilai osmosa larutan tanah yang bertambah
tinggi. Akibat dari peristiwa ini, pengaruh fisika, kadar garam mempunyai
pengaruh kimiawi, salah satunya adalah berhubungan dengan kadar bromium dan
sulfat.
Estuarin atau eustaria atau air payau dapat digolongkan sebagai
oligo-,meso- atau polyhalin, menurut salinitas rata-ratanya. Salinitas di tempat
tertentu berbeda-beda dalam waktu satu hari, satu minggu dan satu tahun. Kecuali
pada eustaria daerah tropika tertentu, keragaman merupakan karakteristik pokok
dan organisme yang hidup pada habitat ini harus memiliki toleransi yang tinggi
yaitu euryhalin dan eurythermal (Hutabarat, 1984).
2.2.2. Parameter kimia
a. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman air sangat berperan penting dalam kehidupan ikan.
Derajat keasaman yang cocok untuk semua jenis ikan berkisar antara 6,7 - 8,6.
Akan tetapi ada jenis ikan yang hidup pada daerah rawa yang mempunyai
ketahanan untuk tetap bertahan hidup pada kisaran pH yang sangat rendah
maupun tinggi yaitu 4 – 9, misalnya ikan sepat siam (Sutanto, 1994).
Menurut Nuitja dan Syafei (1997), kisaran pH suatu perairan kadang
mengalami fluktuasi atau perubahan yang cukup drastis. Hal ini kurang
menguntungkan, sebab akan mempengaruhi kehidupan ikan yang dipelihara.
Fluktuasi atau perubahan pH yang drastis di suatu perairan dapat dicegah apabila
perairan tersebut mempunyai sistem buffer yang memadai. Suatu perairan apabila
mengandung mineral karbonat, bikarbonat, borat, dan silikat, maka pada perairan
tersebut akan memilki pH diatas netral (bersifat basa) dan dapat mencegah
terjadinya penurunan pH secara drastis.
Tanah yang produktif untuk dijadikan tambak adalah tanah yang
mempunyai pH netral sampai basa. Tanah demikian kaya akan garam dan nutrien,
yang dapat merangsang pertumbuhan klekap menjadi lebih cepat. Klekap dapat
tumbuh dengan baik pada tanah yang mempunyai kiasaran pH antara 6,5 – 7,5
karena pada kisaran demikian unsur hara dan kandungan phosfor mencapai
tingkat terbaik untuk pertumbuhan klekap (Afrianto dan Liviawati, 1991).
b. Bahan organik
Bahan organik memiliki peranan sangat penting di dalam tanah.Bahan
organik tanah juga merupakan salah satu indikator kesehatan tanah.Tanah yang
sehat memiliki kandungan bahan organik tinggi, sekitar 5%, sedangkan tanah
yang tidak sehat memiliki kandungan bahan organik yang rendah.Kesehatan tanah
penting untuk menyamin produktivitas pertanian.
Bahan organik tanah menjadi salah satu indikator kesehatan tanah karena
memiliki beberapa peranan kunci di tanah. Peranan-peranan kunci bahan organik
tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu fungsi fisika,fungsi
kimia dan fungsi biologi. Fungsi-fungsi bahan organik tanah ini saling berkaitan
satu dengan yang lain, sebagai contoh bahan organik tanah menyediakan nutrisi
untuk aktivitas mikroba yang juga dapat meningkatkan dekomposisi bahan
organik, meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan daya pulih
tanah (Isroi, 2009).
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam Praktikum Manajemen Kualitas Air ini tersaji
pada Tabel 1.
Tabel 1. Alat yang digunakan pada Praktikum Manajemen Kualitas AirNo. Alat Ketelitian Kegunaan
1.
2.
Gelas ukur
Oven
1 ml
-
Mengukur volume air
Untuk mengeringkan sampel tanah
3. Sieve sheker - Untuk menyaring sampel
4. Tissue - Membersihkan alat
5. Stirer - Pengaduk sampel
6. Secchi disk 1 cm Mengukur kedalaman dan kecerahan air
7. Termometer 1 oC Mengukur suhu tanah dan air
8. Spuit suntik 0,1 ml Melakukan titrasi
9. Kertas label - Menandai botol sampel
10. Alumunium foil - Membungkus sampel tanah
11. Botol cuka - Tempat reagen
12. Erlenmeyer 50 ml Tempat sampel
13. Pipet tetes - Mengambil reagen
14. Alat tulis - Mencatat data
15. Meteran jahit 1 mm Mengukur secchi disk
16. Kertas Ph - Mengukur derajat keasamaan
17. Beaker glass 50 ml Tempat bahan uji
18. Refraktometer 1 ‰ Mengukur salinitas tanah dan air
19. Saringan tepung - Menyaring sampel tanah
20. Paralon - Mengambil sampel tanah
Lanjutan Tabel 1. Alat yang digunakan pada Praktikum Manajemen Kualitas AirNo. Alat Ketelitian Kegunaan
21. Mortar - Menumbuk sampel tanah
22. Bola arus - Mengukur kecepatan arus air
23. Botol BOD - Mengambil sampel air
24. Porselen - Alas untuk menumbuk tanah
25. Botol aqua - Wadah sampel air
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam Praktikum Manajemen Kualitas Air ini
tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Bahan yang digunakan pada Praktikum Manajemen Kualitas AirNo. Alat Kegunaan
1. H2SO4 Pekat Reagen Pengukuran DO
2. Aquades Untuk mengencerkan larutan sampel
3. MnSO4 Reagen oksigen terlarut
4. NaOH dalam KI Reagen oksigen terlarut
5. Na2S2O3 0,025 N Sebagai titran dalam pengukuran DO
6. Indikator PP Indikator CO2
7. Na2CO3 0,045 N Sebagai titran dalam pengukuran CO2
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Amilum
Indikator MO
NA-EDTA
Chrom Black T
HCL 0,025 N
Buffer
Air sampel
Sampel tanah
Indikator dalam pengukuran DO
Indikator dalam pengukuran alkalinitas
Titran dalam pengukuran kesadahan
Indikator dalam pengukuran kesadahan
Titran dalam pengukuran alkalinitas
Meningkatan pH air
Bahan dalam pengukuran salinitas
Sebagai sampel uji
3.2. Metode
3.2.1. Penentuan lokasi sampling
Lokasi sampling ditentukan dengan melihat kondisi sekitarnya, apakah ada
indikasi terjadi gangguan air ataupun tanah oleh kegiatan di sekitarnya, seperti
keberadaan pabrik, ataupun perubahan lingkungan geogafisnya, seperti pengaruh
air laut. Kegiatan pelaksanaan praktikum sampling Manajemen Kualitas Air
dilaksanakan di Mangkang dengan 4 lokasi sampling yaitu muara, sungai, tambak
dan pantai.
3.2.2. Pengukuran parameter fisika air
a. suhu
Metode yang di lakukan dalam pengukuran suhu adalah memasukkan
termometer ke dalam perairan kemudian mendiamkan beberapa saat, kira-kira
sekitar 5 menit. membaca skala yang tertera pada termometer.
b. kecerahan dan kedalaman
Metode yang dilakukan pada pengukuran kecerahan dan kedalaman adalah
dengan memasukkan secchidisk ke dalam perairan. Secchidisk meturunkan pelan-
pelan dan mencatat kedalaman secchidisk saat terlihat jelas, samar-samar, dan
tidak terlihat. Jumlah batas samar-samar menambah batas tidak terlihat di bagi
dua merupakan tingkat kecerahan. mengukur kedalaman dengan cara menurunkan
tongkat secchidisk hingga menyentuh dasar perairan. Hasil pembacaan skala
kemudian memasukkan ke dalam rumus:
D =
Dimana: D = kedalaman kecerahan air
K1 = kedalaman secchidisk tidak terlihat
K2 = kedalaman secchidisk samar-samar
c. warna air
Metode yang di gunakan pada pengukuran warna air dari perairan yaitu
dengan melihatnya secara organoleptik.
d. bau
Mengukur bau air dengan mencium baunya secara organoleptik.
e. salinitas
Metode yang digunakan dalam pengukuran salinitas adalah menggunakan
refraktometer yang sudah dikalibrasi. Mengkalibrasi refraktometer dengan cara
membersihkan kaca prisma dengan aquades dan tissu. Meneteskan beberapa
aquades pada kaca prisma. Menutup kaca prisma hingga rapat dan tidak terdapat
gelembung. mengkalibrasi refraktometer sehingga saat dilihat, menunjukkan skala
0. Mengukur salinitas air dan meneteteskan ke prisma refraktometer yang telah
dikalibrasi. Tutup prisma dan membaca skala yang ditunjukkan pada
refraktometer.
f. muatan padatan tersuspensi
Metode yang digunakan dalam pengukuran muatan padatan tersuspensi
adalah menimbang kertas saring. Timbang sampel air dengan kertas saringan 250
µm menggunakan vacum pump. Oven sampel kemudian hingga menghasilkan
nilai konstan. Masukkan kedalam rumus :
MPT (mg/l) = ( B-A) x 1000 ml C ml
Keterangan: A (mg) = berat filer
B (mg) = berat filer + sampel setelah pemanasan
C (mg) = jumlah sampel
3.2.3. Pengukuran parameter kimia air
a. derajat keasaman (pH)
Prosedur yang dilakukan dalam pengukuran derajat keasaman adalah
memasukkan kertas lakmus ke dalam air kemudian menyocokkan warna dengan
skala yang sudah ditentukan.
b. oksigen terlarut (DO)
Metode yang digunakan dalam pengukuran oksigen terlarut adalah
mengambil sampel air dengan menggunakan botol BOD 250 ml. Menambahkan 1
ml MnSO4 dan 1 ml NaOH dalam KI (alkali yodida), kemudian menutup botol
dan kocok hingga larutan mengendap. Tambahkan 1 ml H2SO4 pekat kemudian
menutup botol BOD, mengocok sampai larutan berwarna kuning. Memasukkan
25 ml sampel ke dalam erlenmeyer 250 ml. Melakukan titrasi dengan 0,025 N
Na2S2O3 hingga larutan berwarna kuning muda. Menambahkan 2 tetes indikator
amilum, apabilaberubah menjadi biru, titrasi melanjutkan dengan 0,025 N
Na2S2O3 hingga larutan menjadi bening (warna biru hilang). membaca skala
penurunan titrasi pada spuit suntik kemudian masukkan banyaknya ml titrasi ke
dalam rumus:
DO (mg/l) =
c. karbondioksida (CO2)
Metode yang digunakan dalam pengukuran CO2 bebas adalah mengambil
sampel air 25 ml dan memasukkan ke tabung Erlenmeyer. Menambahkan 2 tetes
(ml titran x N titran x 8 x 1000) (ml sampel)
indikator PP, apabila setelah menambahkan indikator PP warna larutan sampel
menjadi merah muda, maka karbondioksida adalah 0. Apabila tidak merah muda,
mentitrasi lagi larutan sampel dengan 0,045 N natrium karbonat (Na2CO3) hingga
berwarna merah muda. Membaca skala banyaknya penurunan titran pada spuit
suntik. Banyaknya ml titran memasukan ke dalam rumus:
CO2 (mg/l) =
d. alkalinitas
Metode yang digunakan dalam pengukuran alkalinitas adalah mengambil
sampel air 50 ml dan memasukkan ke tabung Erlenmeyer. Menambahkan 2 tetes
indikator PP bila terjadi warna merah muda melanjutkan titrasi dengan 0,025 N
HCl hingga warna merah muda hilang, mencatat jumlah HCl yang digunakan (A)
dan memasukkan ke dalam rumus. Kemudian menambahkan 1-2 tetes indikator
MO, kemudian mentitrasi dengan larutan HCl 0,025 N hingga berwarna merah
seulas. Membaca skala penurunan titran pada spuit suntik, banyaknya HCL yang
menggunakan menghitung sebagai nilai (B), memasukkan banyaknya ml titran
pada rumus:
P (parsial) =
P (total) =
e. kesadahan
Metode yang digunakan dalam pengukuran kesadahan adalah mengambil air
sampel 10 ml dan mengencerkan sampai 50 ml dengan aquadest. Mambahkan 1-2
ml larutan buffer hingga pH 10 (biasanya cukup 1 ml). Tambahkan indikator
Chrom black T, hingga warna berubah menjadi ungu violet. Titrasi mempercepat
(A+B) x N HCl x 50 x 1000 ppm ml sampel
(ml titran x N titran x 22 x 1000) (ml sampel)
A + N HCl x 50 x 1000 ppm ml sampel
dengan menggunakan Na-EDTA sampai warna berubah menjadi biru. Apabila
warna tidak berubah menjadi biru (sebelum 5 menit) ada kemungkinan indikator
sudah rusak atau air contoh perlu menambah indikator yaitu 5 g Na2S9H2O atau
3,7 g Na2S5HO dalam 100 ml aquadest. Perlu diketahui larutan ini mudah rusak
oleh udara sehingga harus menutup rapat-rapat, pemakaian indikator cukup 1 ml
per 25 ml air sampel. Setelah mengetahui jumlah Na-EDTA yang digunakan, lalu
memasukkan ke dalam rumus :
Kesadahan = A x 150 (mg/l)
Dimana: A = ml Na-EDTA
3.2.4. Pengukuran parameter biologi air
a. produktivitas primer
Metode yang digunakan dalam pengukuran produktivitas primer adalah
mengambil air sampel dengan menggunakan 2 botol BOD (gelap dan terang).
memasukkan botol tersebut dan merendam selama 4 jam. Mengambil botol
setelah 4 jam lalu mengukur oksigen terlarutnya. melakukan penghitungan PP
berdasarkan perbedaan kelarutan oksigen di botol gelap dan botol terang dengan
rumus:
PP (gC/m³/jam)=
Keterangan:
BT : botol terang
BG : botol gelap
X : waktu inkubasi
pq : 1,2
3.2.5. Pengukuran parameter fisika tanah
a. warna tanah
Menentukan warna tanah dengan mencatat warna yang ada secara
organoleptik.
b. tekstur tanah
Menentukan tekstur tanah mengikuti metoda dari Buchanan (1992). Fraksi
pasir adalah partikel-partikel yang berdiameter 0,0625 mm. Memisahkan fraksi
pasir dengan metoda penyaringan basah (Wet sieving).
1. Teknik pengambilan sampel
Mempersiapkan alat untuk mengambil sampel tanah (paralon diameter 5
cm). Memasukkan paralon sedalam 30 cm ke dalam tanah yang agak lunak.
Mengambil sampel tanah yang ada dalam paralon, kemudian mengeringkan
sampel tanah. Menganalisa sampel tanah di laboratorium.
2. Teknik lapangan
Menyiapkan papan kayu berukuran 1x1x0,1 m. Mengambil sampel tanah
dan menimbang 100 g. Melemparkan sampel tanah ke papan kayu. Menghitung
fraksi lempung (yang menempel pada papan kayu) dan fraksi pasir (yang tidak
menempel pada papan kayu) dengan timbangan.
3. Teknik laboratorium
Mengeringkan sampel tanah dengan oven sampai kering. Setelah kering,
menumbuk sampel tanah dengan mortar sampai halus. Menyaring sampel tanah
yang sudah halus dengan saringan tepung. Menimbang sampel tanah sebanyak 25
g dan memasukkan ke dalam cawan. Melakukan penyaringan basah (dengan air)
dengan saringan mesh size 53 m. Memasukkan tanah yang tersaring ke dalam
gelas ukur berisi 1 l.
Memasukkan sisa tanah yang tidak tersaring ke dalam cawan dan mengoven
sampai kering, menyaring dengan sieve shaker (penyaring bertingkat),
memasukkan sisa tanag yang lolos ke dalam gelas ukur 1 l diatas. Menimbang
tanah yang tidak tersaring pada masing-masing saringan menurut ukuran
saringannya. Berat total tiap saringan merupakan berat pasir (sand).
Masukkan ke rumus Fraksi Pasir =
Melakukan pemipetan pada tanah di dalam gelas ukur 1 l, dengan langkah-
langkah gelas ukur menggojok (membolak-balikkan). Melakukan pemipetan I
setelah 58 s, memasukkan pipet hisap sedalam 20 cm dan menghisap air sebanyak
20 ml air, kemudian memasukkan ke dalam cawan A. Melakukan pemipetan II
setelah 1 m 56 s, ke dalam pipet 10 cm dan isi pipet sebanyak 20 ml, kemudian
memasukkan ke dalam cawan B. melakukan pemipetan III setelah 7 m 44 s, ke
dalam pipet 10 cm dan isi pipet sebanyak 20 ml, kemudian memasukkan ke dalam
cawan C. melakukan pemipetan IV setelah 31 m, ke dalam pipet 10 cm dan isi
pipet sebanyak 20 ml, kemudian memasukkan ke dalam cawan D. melakukan
pemipetan V setelah 2 jam 3 m’, ke dalam pipet 10 cm dan isi pipet sebanyak 20
ml, kemudian memasukkan ke dalam cawan E. Memasukkan cawan A, B, C, D,
dan E ke dalam oven, mengoven sampai kering, kemudian menimbang. Setelah
kering masukkan kedalam rumus sebagai berikut :
Fraksi Lempung = Berat Total (g) x 100% 25
Berat Total (g) x 100% 25
Menambahkan aquades sebanyak 250 ml untuk mengencerkan tanah.
Mengaduk tanah dengan stirrer selama 30 menit. kemudian memasukkan air tanah
hasil saringan ke dalam refraktometer kemudian membaca skala salinitasnya.
3.2.6. Pengukuran parameter kimia tanah
a. derajat keasaman (pH) tanah
Metode yang digunakan dalam pengukuran pH tanah adalah mengambil
sampel tanah kering sebanyak 20 g. Memasukkan sampel tanah ke dalam gelas
beker 500 ml gelas beaker. Mengukur pH larutan tanah tersebut dengan kertas
pH.
b. bahan organik
Teknik lapangan pada pengamatan bahan organik yaitu yang pertama dengan
mengambil sampel tanah dengan menggunakan paralon diameter 5 cm dengan
cara paralon memasukkan sedalam 30 cm dalam tanah. Mengambil sampel tanah
dalam paralon dan mengeringkan dengan cara mengangin-anginkan. Menganalisa
sampel tanah di laboratorium.
Teknik laboratorium pada pengamatan bahan organik yaitu dengan cara
memasukkan sampel tanah dalam cawan kemudian mengoven sampai kering,
kemudian menggerus sampai halus dengan mortar pada mangkok porselen.
Mengambil tanah sebanyak 1 g dan masukkan dalam cawan 5 ml, kemudian
masukkan dalam mesin pengabuan (furnace) pada suhu 550o C selama 4 jam.
Mengeluarkan cawan dari mesin pengabuan kemudian memasukkan dalam
desikator selama ± 10 menit untuk menstabilkan suhu. Menimbang berat tanah
setelah mengoven (wa) dan memasukkan dalam rumus:
BO = x 100%
Keterangan:
BO = Bahan organik
Wt = Berat tanah sebelum dioven
Wa = Berat tanah setelah dioven
C = Berat cawan porselen
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Dasa-Dasar Ilmu Tanah. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com/. Diakses tanggal 18 Juni 2009.
Anonim, 2009. http://dydear.multiply.com/journal/item/8/Tekstur Tanah. Diakses tanggal 18 Juni 2009.
Arifudin, R., Artati, Cholik, F. 1991. Pengelolaan Kualitas Air Kolam Ikan. Direktorat Jendral Perikanan Bekerja sama dengan International Development Research Center.
Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing . Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA.
______. 1993. Bottom, Sediment and Pond Aquaculture. Departement of Fisheries and Allied Aquaculture at Aubum University, Alabama, New York.
Cholik, et al, 1986. Pengelolaan Kualitas Air Kolam Ikan. UNFISH dan IDRC, Jakarta.
Darmawijaya, M.I. 1990. Tekstur Tanah dalam Lahan Berair di Indonesia. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Effendi, Hefni. 2003. Telaah kualitas air. Kanisius. Yogyakarta.
Hawks. 1978. Od Plankton and Produktifity On the Ocean. Pergamon Press. Oxford.
Hutabarat, S. 1984. Produktivitas Perairan dan Plankton. Universiatas Diponegoro. Semarang.
________ dan Evans. 2000. Pengantar Oceanografi. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Lesmana, D. S.2001.Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mulyanto. 1992. Lingkungan Hidup untuk Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Nybakken, J. W. 1985. Biologi Laut Suatu Pedekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Third Edition. W.B. Sounders Company. Philadelphia.
Pramono, Sidik. 2009. Soil Texture. http://a buzadan.staff.uns.ac.id/2009/09/25/Soil-texture/trackback.
Sastrawijaya, A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.
Soedarsono, P dan Suminto. 1989. Petunjuk Identifikasi Plankton di Perairan Jepara. Universitas Diponegoro. Semarang.
Sutedjo. 1991. Budidaya Ikan di Pekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wardoyo, S.T.H. 1983. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Seminar Pengendalian Pencemaran. Direktorat Jenderal Pengairan. Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.
Winarno, F.G. 1986. Air untuk Industri Pangan. Gramedia, Jakarta.