nuridinblog.files.wordpress.com … · Web viewTragedi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor...
Transcript of nuridinblog.files.wordpress.com … · Web viewTragedi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor...
MAKALAH PERKEMBANGAN MORAL ISLAM DI ERA
MODERN
NAMA KELOMPOK:
1. LULUK FITRI SANJAYA (34301700026)
2. RIFQOTUL BADRIYAH (34301700042)
3. RIKA ERLINAWATI (34301700043)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat , hidayah dan inayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan judul “ Perkembangan Moral Islam Di Era Modern” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan di dukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar penyusunaya . untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yng membantu dalam merampungkan makalah ini .
Namun tidak lepas dari semua itu , kami menyadai sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainya . akhirnya penyusunan makalah ini dapat terselesaikan .
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dinia modern yang telah maju ini,
ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup.
Apa yang dahulu belum dikenal manusia, kini sudah tidak asing lagi baginya. Bahaya
kelaparan dan penyakit menular yang dahulu sangat ditakuti, sekarang telah dapat
dihindari. Kesulitan-kesulitan dan bahaya-bahaya alamiah yang dahulu menyulitkan dan
mengahambat perhubungan, sekarang tidak menjadi soal lagi. Kemajuan industri telah
dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam
hidup, sehingga kabutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk dipenuhi.
Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih
banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi, suatu kenyataan yang
menyedihkan adalah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sulit
dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa
semakin berat , kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa
dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah kehidupanya, namun pada sisi lain
ilmu pengetahuan dan tekhnologi canggih tersebut tidak mampu menumbukan moralitas
(akhlak) yang mulia. Dunia modern saat ini , termasuk di Indonesia ditandai dengan
dengan gejala kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang
mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong-menolong, dan kasih sayang
sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling
meruugikan. Di sana sini banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat, mengambil hak
orang lain sesuka hati dan perbuatan-perbuatan biadab lainya.
Gejala kemerosotan akhlak tersebut dewasa ini bukan saja menimpa kalangan
dewasa, malinkan juga telah menimpa kalangan pelajar tunas-tunas muda. Orang tua,
ahli didik, dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial banyak
mengeluhkan perilaku sebagian pelajar yang berperilaku nakal, keras kepala, mabuk-
mabukan, tawuran, pesta obat-obatan terlarang, bergaya hidup seperti hippies di Eropa,
Amerika, dan sebagainya.
Tragedi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang kini mempengaruhi cara
berfikir manusia modern. Faktor-faktor tersebut menurut Zakiah Daradjat antara lain:
kebutuhan hidup yang semakin meningkat, rasa individualitas dan egoistis, persaingan
dalam hidup, keadaan yang tidak stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari agama.
Sejalan dengan permasalahan di atas, tuliasan ini akan mencoba mencarikan
solusi untuk mengatasi tragedi masyarakat modern yang dimaksud dengan
memfokoskan kajian pada upaya mengitegrasikan ilmu mengetahuan dengan agama,
melalui konsep yang dikenal dengan istilah Islamisasi ilmu pengetahuan
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Islamisasi ilmu pengetahuan?
2. Apa yang melatar belakangi munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana perkembangan Islamisasi ilmu pengetahuan?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan maksud Islamisasi ilmu pengetahuan.
2. Untuk mngetahui apa saja yang melatar belakangi Islamisasi ilmu pengetahuan.
3. Untuk mengetahui geliat perkembangan Islamisasi ilmu pengetahuan.
4. Untuk mengetahui strategi apa saja yang digunakan dalam proses Islamisasi ilmu
pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya, adalah suatu respons terhadap krisis
masyarakat modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada
suatu pandangan dunia yang bersifat materialistis dan relavistis; manganggap bahwa
pendidikan bukan untuk mambiat manusia bijak, yakni mengenali dan mengakui posisi
masing-masing dalam tertib realitas, tapi mamandang realitas sebagai sesuatu yang
bermakna secara material bagi manusia. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan
tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini adalah salah satu penyebab
penting munculnya krisis masyarakat modern
Versi pertama beranggapan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan
sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai dengan ilmu pengetahuan umum yang ada
(ayatisasi). Kedua,mengatakan bahwa Islamisasi dilakukan dengan cara mengislamkan
orangnya. Ketiga, Islamisasi yang berdasarkan filsafat Islam yang juga diterapkan di
UIN Malang dengan mempelajari dasar metodologinya. Dan keempat, memahami
Islamisasi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang beretika atau beradab
Tokoh-tokoh Islamisasi ilmu memberikan pengertian sendiri tentang istilah ini,
sesuai latar belakang keahlian masing-masing. Menurut Sayed Husein Nasr dalam M.
Amin Abdullah (2004:239) Islamisasi ilmu-- termasuk juga Islamisasi budaya—adalah
upaya menterjemahkan pengetahuan modern kedalam bahasa yang biasa dipahami
masyarakat muslim dimana mereka tinggal. Artinya , Islamisasi ilmu lebih merupakan
usaha untuk memepertemukan cara pikir dan bertindak (epistemologis dan aksiologis)
masyarakat Barat dengan muslim.
Sejalan dengan itu, Hanna Djumhana Bastaman, seorang pakar psikologi dari
Universitas Indonesia, Jakarta, menyatakan bahwa Islamisasi ilmu adalah upaya
menghubungkan kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti
menghubungkan kembali sunnatullah (hukum alam) dengan al-Qur`an, yang keduanya
sama-sama ayat Tuhan. Pengertian ini didasarkan atas pernyataan bahwa ayat-ayat
(sign) Tuhan terdiri atas ada dua hal; (1) ayat-ayat yang bersifat lingustik, verbal dan
menggunakan bahasa insani, yakni ayat al-Qur`an, (2) ayat-ayat yang bersifat non-
verbal berupa gejala alam.
Sementara itu, menurut Naquib al-Attas, Islamisasi ilmu adalah upaya
membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi dan prinsip-prinsip sekuler,
sehingga terbentuk ilmu pengetahuan yang sesuai fitrah Islam. Dalam pandangan
Naquib, berbeda dengan Nasr, Islamisasi ilmu berkenaan dengan perubahan ontologis
dan epistemologis, terkait dengan perubahan cara pendang-dunia yang marupakan dasar
lahirnya ilmu dan metodologi yang digunakan, agar sesuai dengan konsep Islam.
Sedang menurut al-Faruqi, Islamisasi ilmu adalah mengislamkan buku-buku pegangan
(buku dasar) di perguruan tinggi dengan menuangkan kembali disiplin-displin ilmu
modern dalam wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis terhadap kedua sistem
pengetahuan, Islam dan Barat. Pengertian ini lebih jelas dan `operasional` dibanding
pengertian sebelumnya, disamping Faruqi memang memberikan langkah-langkah
operasional bagi terlaksananya program Islamisasi ilmu.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas. Islamisasi ilmu berarti upaya
membangun paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, baik pada aspek
ontologis, epistemologis atau aksiologisnya
B. Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Upaya untuk melakukan Islamisasi ilmu, menurut beberapa sumber,
pertama kali diangkat Sayid Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-
an. Saat itu, Nasr berbicara membandingkan antara metodologi ilmu-ilmu keislaman
dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam, matematika dan metefisika. Menurutnya,
apa yang dimaksud `ilmu`dalam Islam tidak berbeda dengan `scientia` dalam istilah
Latin. Yang membedakan antara keduanya adalah metodologi yang dipakai. Ilmu-ilmu
keislaman tidak hanya memakai metodologi rasional dan cenderung positivistik,
melainkan menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual dan bahkan intuiti,
sesuai dengan objek yang dikaji
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada
dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini.
Ayat-ayat terawal yang diwahyukan kepada nabi secara jelas menegaskan semangat
Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia
adalah sumber dan asal ilmu manusia. Ide yang disampaikan al-Qur'an tersebut
membawa suatu perubahan radikal dari pemahaman umum bangsa Arab pra-Islam, yang
menganggap suku dan tradisi kesukuan serta pengalaman empiris, sebagai sumber ilmu
pengetahuan dan kebijaksanaan.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Bani
Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran, yaitu dengan
dilakukannya penterjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani yang
kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep Agama Islam. Salah
satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-
Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang menonjolkan 20 ide yang asing dalam pandangan
Islam yang diambil oleh pemikir Islam dari falsafah Yunani, beberapa di antara ide
tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang kemudian dibahas oleh al-Ghazali
disesuaikan dengan konsep aqidah Islam. Hal yang sedemikian tersebut, walaupun tidak
menggunakan pelabelan Islamisasi, tapi aktivitas yang sudah mereka lakukan semisal
dengan makna Islamisasi.
Selain itu, pada tahun 30-an, Muhammad Iqbal menegaskan akan perlunya
melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Beliau menyadari bahwa ilmu
yang dikembangkankan oleh Barat telah bersifat ateistik, sehingga bisa menggoyahkan
aqidah umat, sehingga beliau menyarankan umat Islam agar "mengonversikan ilmu
pengetahuan modern". Akan tetapi, Iqbal tidak melakukan tindak lanjut atas ide yang
dilontarkannya tersebut. Tidak ada identifikasi secara jelas problem epistimologis
mendasar dari ilmu pengetahuan modern Barat yang sekuler itu, dan juga tidak
mengemukakan saran-saran atau program konseptual atau metodologis untuk
megonversikan ilmu pengetahuan tersebut menjadi ilmu pengetahuan yang sejalan
dengan Islam. Sehingga, sampai saat itu, belum ada penjelasan yang sistematik secara
konseptual mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan ini dimunculkan kembali oleh Syed Hossein
Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun 60-an. Beliau menyadari akan
adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam, karena
itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal
melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976).
Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul kemudian merupakan
kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya.
Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas
sebagai proyek "Islamisasi" yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia men
genai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas
dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya
Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan itu beliau
menyampaikan makalah yang berjudul "Preliminary Thoughts on the Nature of
Knowledge and the Definition and Aims of Education". Ide ini kemudian disempurnakan
dalam bukunya, Islam and Secularism(1978) dan The concepts of Education in Islam A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980). Persidangan inilah yang
kemudian dianggap sebagai pembangkit proses Islamisasi selanjutnya.
Selain itu, secara konsisten dari setiap yang dibicarakannya, al-Attas
menekankan akan tantangan besar yang dihadapi zaman pada saat ini, yaitu ilmu
pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya. Menurut al-Attas, "Ilmu Pengetahuan"
yang ada saat ini adalah produk dari kebingungan skeptisme yang meletakkan keraguan
dan spekulasi sederajat dengan metodologi "ilmiah" dan menjadikannya sebagai alat
epistemologi yang valid dalam mencari kebenaran.Selain itu, ilmu pengetahuan masa
kini dan modern, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan, dan diproyeksikan melalui
pandangan dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan
peradaban Barat. Jika pemahaman ini merasuk ke dalam pikiran elite terdidik umat
Islam, maka akan sangat berperan timbulnya sebuah fenomena berbahaya yang
diidentifikasikan oleh al-Attas sebagai "deislamisasi pikiran pikiran umat Islam". Oleh
karena itulah, sebagai bentuk keprihatinannya terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan ia mengajukan gagasan tentang “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini”
serta memberikan formulasi awal yang sistematis yang merupakan prestasi inovatif
dalam pemikiran Islam modern.
Gagasan awal dan saran-saran konkrit yang diajukan al-Attas ini, tak pelak lagi,
mengundang pelbagai reaksi dan salah satunya adalah Ismail Raji al-Faruqi dengan
agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya. Dan hingga saat ini gagasan Islamisasi ilmu
menjadi misi dan tujuan terpenting (raison d’etre) bagi beberapa institusi Islam
seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT), Washington DC., International
Islamic University Malaysia (IIUM), Kuala Lumpur, Akademi Islam di Cambridge
dan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala
Lumpur
C. Dimensi dan Aliran Pemikiran Islam
Pada awalnya khawarij merupakan aliran atau faksi politik karena pada dasarnya
kelompok itu terbentuk karena persoalan kepemimpinan umat Islam. Menurut khawarij
orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim telah melakukan dosa besar.
Orang Islam yang melakukan dosa besar dalam pandangan mereka berarti telah kafir,
kafir setelah memeluk Islam berarti murtad, dan orang murtad (keluar Islam) halal
dibunuh.Atas dasar premis-premis yang dibangunnya khawarij berkesimpulan bahwa
orang yang terlibat dan menyetujui tahkim harus dibunuh. Oleh karena itu mereka
memutuskan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufian, Abu
Musa Al-Asy’ari, Amr bin Ash, dan sahabat-sahabat lain yang menyetujui tahkim.
Namun yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib, Mua’wiyah tidak
berhasil mereka bunuh.Aliran jabbariyah berpendapat sebaliknya bahwa dalam
hubungannya dengan manusia, Tuhan itu Maha kuasa karena itu Tuhanlah yang
menentukan perjalanan hidup dan yang mewujudkan perbuatannya, menurut aliran ini
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidup dan
mewujudkan perbuatannya, mereka hidup dalam keterpaksaan (jabbar ). Oleh kaena itu
aliran ini kemudian dikenal dengan nama Jabbariyah ( al-syahrastani, t.th: 85 ). Adapun
ajaran Jabbariyah tampaknya diajarkan pertama oleh al-Ja’d bin Dirham, meskipun yang
lebih banyak menyebarkan adalah Jahm bin Shafwan dari khurasan, selain penyebar
ailran Jabbariyah ia juga dikenal sebagai pemuka Mu’jiah. Jahm bin Shafwan juga
menentang kekuasaan Bani Ummayah akibatnya ia ditangkap kemudian dihukum bunuh
(131 H ). (Ali Mushthafa al-Ghurabi, 1985 : 21 ).Mu’tazilah merupakan aliran teologi
yang dekat, kalau tidak dikatakan berafiliasi dengan kekuasaan Bani Abbas fase
pertama karena dekatnya pada zaman pemerintahan al-Makmun (Dinasti Bani Abbas),
Mu’tazilah dijadikan madzhab resmi yang dianut oleh negara.
Ajarn pokok aliran mu’tazilah adalah panca-ajaran atau pancasila
Mu’tazilah, lima ajaran tersebut adalah sebagai berikut.
Keesaan Tuhan (al-tauhid )Ø
KeadilanØ Tuhan ( al-‘adl )
Janji dan ancaman (al-wa’d wa al-waid )Ø
Posisi diantara dua tempat (al-manzilah bain al-manzilatain )
AmarØ ma’ruf nahi munkar ( al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar )mam al-
Asy’ari ( 260 – 324 H ).
menurut Abu Bakar isma’il al-Qairawani adalah seorang penganut Mu’tazilah selama
40 tahun kemudian ia menyatakan keluar dari Mu’tazilah setelah itu ia mengembangkan
ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan-gagasan Mu’tazilah, ajarannya
kemudian dikenal sebagai aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah. (Harun nasution, 1986 :
61 ). Ajaran pokok aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang dikemukakan oleh Imam
Al-Asya’ri adalah kemahakuasaan Tuhan yang keadilan-Nya telah tercakup dalam
kekuasaan-Nya suatu gagasan yang mirip dengan gagasan jabbariyah.Imam Maturidi
pun memiliki pengikut yaitu al-bazdawi yang pemikirnnya tidak selamanya sejalan
dengan gagasan gurunya. Oleh Karena itu para ahli menjelaskan bahwa Maturidiah
terbagi menjadi dua yaitu golongan Samarkand, pengikut Imam al-Maturidi dan
golongan Bukhara, para pengikut Imam al-Bazdawi yang tampaknya lebih dekat kepada
ajaran al-Asya’ri (Harun Nasution, 1986 : 78 ).Aliran kalam terakhir yang dikemukakan
oleh Ibnu Taimiah adalah aliran salafi, aliran ini tidak selamanya sejalan dengan
gagasan-gagasan Imam al-Asy’ari terutama karena aliran Ahl al-sunnah wa al-jama’ah
menggunakan logika ( manthiq) dalam menjelaskan teologi sedangkan aliran salafi
menghendaki teologi apa adanya tanpa dimasuki oleh unsur ra’y.B. Aliran FiqihSecara
histories hukum Islam telah menjadi dua aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad
saw, dua aliran tersebut adalah Madrasat al-Madinah dan Madrasat al-Bagdhdad atau
madrasat al-hadits dan madrasat al-Ra’y. Sedangkan Ibnu al-Qayim al-Jauziyyah
menyebutnya sebagai Ahl al-Zhahir dan Ahl al-Ma’na.Aliran madinah terbentuk karena
sebagian sahabat tinggal di Madinah, dan aliran Baghdad atau kufah juga terbentuk
karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut. Atas jasa sahabat Nabi Muhammad
Saw yang tinggal di Madinah, terbentuklah fuqaha sab’ah yang juga mengajarkan dan
mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat, diantara fuqaha sab’ah
adalah Sa’id bin al-Musayyab. Salah satu murid Sa’id bin al-Musayyabadalah Ibnu
Syihab al-Zuhri sedangkan diantara murid Ibnu Syihab al-Zuhri adalah Imam Malik
pendiri aliran Maliki. Diantara ajaran Imam Malik yang paling terkenal adalah ia
menjadikan ijma’ dan amal ulama madinah sebagai hujah.Salah satu murid Imam al-
Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal, pendiri aliran Hanabilah. Thaha Jabir Fayadl al-
ulwani (1987 : 87-8 ) menjelaskan bahwa madzhab fiqih Islam yang muncul setelah
sahabat dan kibar al-tabi’in berjumlah 13 aliran. Tiga belas aliran itu berafiliasi dengan
aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah akan tetapi tidak semua aliran itu dapat diketahui
dasar-dasar dan metode istinbath hukum yang digunakannya, diantara pendiri aliran
yang ketiga belas itu ialah :
1. Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-bashri ( wafat 110 H ).
2. Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuhti ( wafat 150 H ).
3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd al-rahman bin ‘Amr bin Muhammad ( wafat 157 H ).
4. Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Tsauri ( wafat 160 H ).
5. Al-Laits bin Sa’d (wafat 175 H ).
6. Malik bin Anas al-Bahi (wafat 179 H )
7. Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198 H ).
8. Muhammad bin Idris al-Syafi’i (wafat 204 H ).
9. Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (wafat 241 H ).
10. Daud bin ‘Ali al-Ashabahani al-baghdadi (wafat 270 H ).
11. Ishaq bin Rahawaih ( wafat 238 H ).
12. Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al-kalabi (wafat 240 H ).Aliran hukum Islam yang
terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya beberapa aliran diantaranya
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.C. Aliran TasawufPada penulis ajaran
tasawuf termasuk Harun Nasution, memperkirakan adanya unsur-unsur ajaran non-
Islam yang mempengaruhi ajaran tasawuf. Unsur-unsur yang dianggap berpengaruh
pada ajaran tasawuf adalah kebiasaan rahib Kristen yang menjahui dunia dan
kesenangan materi, ajaran-ajaran Hindu, ajaran Pythagoras tentang kontemplasi dan
filsafat emanasi Plotinus. Terlepas dari ada-tidaknya pengaruh Kristen, Hindu, filsafat
Pythagoras dan filsafat emanasi plotinus yang jelas antara ajaran tasawuf dan ajaran-
ajaran tersebut terdapat kesamaan-kesamaan.Pada dasarnya tasawuf merupakan ajaran
yang membicarakan kedekatan antara sufi (manusia ) dengan Allah. Rabi’ah
merumuskan kedekatannya dengan Tuhan dalam mahabbah, Yazid al-Bustami
merumuskannya dalam al-ittihad, Al-Hallaj merumuskannya dalam hulul dan al-Ghazali
merumuskannya dalam ma’rifah dengan demikian ada timbal balik antara sufi dengan
Tuhan.
D. Perkembangan Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sejak digagasnya ide Islamisasi ilmu pengetahuan oleh para cendikiawan
muslim dan telah berjalan lebih dari 30 tahun, jika dihitung dari Seminar Internasional
pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, berbagai respon
terhadapnya pun mulai bermunculan, baik yang mendukung ataupun menolak, usaha
untuk merealisasikan pun secara perlahan semakin marak dan beberapa karya yang
berkaitan dengan ide Islamisasi mulai bermunculan di dunia Islam. Al-Attas sendiri
sebagai penggagas ide ini telah menunjukkan suatu model usaha Islamisasi ilmu melalui
karyanya, The Concept of Education in Islam. Dalam teks ini beliau berusaha
menunjukkan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Beliau menganalisis istilah-istilah
yang sering dimaksudkan untuk mendidik seperti ta'lim, tarbiyah dan ta'dib. Dan
akhirnya mengambil kesimpulan bahwa istilah ta'dib merupakan konsep yang paling
sesuai dan komprehensif untuk pendidikan. Usaha beliau ini pun kemudian dilanjutkan
oleh cendikiawan muslim lainnya, sebut saja seperti Malik Badri (Dilema of a Muslim
Psychologist, 1990); Wan Mohd Nor Wan Daud (The Concept of Knowledge in
Islam,1989); dan Rosnani Hashim(Educational Dualism in Malaysia: Implications for
Theory and Practice, 1996). Usaha dalam bidang psikologi seperti yang dilakukan
Hanna Djumhana B. dan Hasan Langgulung, di bidang ekonomi Islam seperti Syafi'i
Antonio, Adiwarman, Mohammad Anwar dan lain-lain. Bahkan hingga sekarang
tercatat sudah lebih ratusan karya yang dihasilkan yang berbicara tentang Islamisasi
ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk buku, jurnal, majalah, artikel dan sebagainya
Mulyanto dalam Abuddin (1998:419) Beberapa pendekatan yang dapat
digunakan dalam menggambarkan praktik Islamisasi ilmu pengetahuan;
Pertama, Islamisasi dapat dilakukan dengan cara menjadikan Islam sebagai
landasan penggunaan ilmu pengetahuan (aksiolaogi), tanpa mempersilahkan aspek
ontologi dan epistemologi ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata lain ilmu
pengetahuan den teknologinya tidak dipermasalahkan. Yang dipermasalahkan adalah
orang yang mempergunakannya. Cara ini melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan
hanya sebagai penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kreteria
pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain
Islam hanya berlaku sebagai kreteria etis diluar struktur ilmu pengetahuan. Islamisasi
ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan
adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka manganggap mustahil munculnya
ilmu pengetahuan Islami, sebagaimana mustahilnya pemuculan ilmu pengetahuan
Marxistis.[8]
Kedua, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dengan cara
memasukkan nilai-nilai Islami ke dalam konsep ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut. Asumsi dasarnya adalah ilmu pengetahuan tersebut tidak netral, melainkan
penuh muatan nilai-nilai yang dimasukkan oleh orang yang merancanganya. Dengan
demikian Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Gagasan Islamisasi
ilmu pengetahuan yang demikian itu antara lain dianut oleh Naquib Al-Attas, Zainuddin
Sardar, Deliar Noer, A.M Saefuddin, Dawam Rahardjo, Haidar Bagir dan Mulyanto
Ketiga, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui penerapan
konsep tauhid dalam arti seluas-luas. Tauhid bukan dipahami secara teo-centris, yaitu
mempercayai dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan yang
dimiliki-Nya serta jauh dari sifat yang tida sempurna, meliankan tauhid yang melihat
bahwa antara manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan manusia dengan
segenap ciptaan Tuhan lainya adalah merupakan satu kesatuan yang saling
membutuhkan dan saling mempengaruhi, dan semuanya itu merupakan wujud tanda
kekuasaan dan kebesaran Tuhan
Keempat,Islamisasi ilmu pengetahuan dapat pula dilakukan dengan melalui
inisiatif pribadi melalui proses pendidikan yang diberikan secara berjenjang dan
berkesinamnungan,dan Kelima,Islamisasi ilmu pengetahuan juga dapat dilakukan
dengan cara melakukan integrasi antara dua paradigma agama dan ilmu yang seolah-
olah memperhatikan perbedaan. Pandangan ini antara lain terlihat pada pemikiran Usep
Fathuddin, Ia misalnya mengatakan bahwa sejauh yang saya baca bahwa semangat
Islamisasi itu didasari anggapan tentang keilmuan dan Islam. Stereotip yang paling
sering kita dengar adalah adanya dua kebenaran di dunia ini. Kebenaran ilmu dan
kebenaran agama. Ilmu dikatakan sebagai relatif, sekulatif, dan tak pasti. Sementara
agama dianggap absolut, transidental dan pasti.
E. Islam Moral dan Kemanusiaan
1. Sumber Ajaran Islam.
Secara etimologis kata Islam diturunkan dari akar yang sama dengan kata salām yang
berarti “damai”. Kata ‘Muslim’ (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan
dengan kata Islām, kata tersebut berarti “orang yang berserah diri kepada Allah” dalam
bahasa Indonesia. Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT.
Islam memiliki arti “penyerahan”, atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan
(Allah SWT). Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti
“seorang yang tunduk kepada Tuhan”, atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-
laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan
firman-Nya kepada manusia melalui para Nabi dan Rasul utusan-Nya, dan meyakini
dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul
terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah SWT.
Sumber ajaran Islam yang utama adalah Al-Qur’an dan Hadits. Umat Islam percaya
bahwa Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril.
Penurunannya sendiri terjadi secara bertahap antara tahun 610 hingga hingga wafatnya
beliau 632 M. Walau Al-Qur’an lebih banyak ditransfer melalui hafalan, namun sebagai
tambahan banyak pengikut Islam pada masa itu yang menuliskannya pada tulang, batu-
batu dan dedaunan. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini persis sama
dengan yang disampaikan kepada Muhammad SAW, kemudian disampaikan lagi
kepada pengikutnya, yang kemudian menghapalkan dan menulis isi Al-Qur’an tersebut.
Secara umum para ulama menyepakati bahwa versi Al-Qur’an yang ada saat ini,
pertama kali dikompilasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah Islam ke-
3) yang berkisar antara 650 hingga 656 Masehi. Utsman bin Affan kemudian
mengirimkan duplikat dari versi kompilasi ini ke seluruh penjuru kekuasaan Islam pada
masa itu dan memerintahkan agar semua versi selain itu dimusnahkan untuk
keseragaman.Versi ini dikenal dengan nama Mazhhab Utsmani.
2. Islam sebagai Agama Moral.
Islam adalah agama moral yang memiki fungsi sebagai “jalan kebenaran” untuk
memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam secara substantif akan
menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Memahami Islam tidak hanya sebatas
ritual ibadah saja, tapi perlu juga dimaknai secara lebih luas, yaitu bagaimana usaha kita
menjadikan Islam sebagai panduan moral yang murni.
Islam hadir ke dalam sebuah masyarakat diatur melalui prinsip-prinsip moral yang tidak
hanya didasarkan oleh iman terhadap kekuasaan Tuhan saja, melainkan didasarkan pada
adat yang dihormati sehingga mampu membentuk nilai-nilai masyarakat dan struktur
moralnya. Islam sangat mempertegas nilai-nilai kebaikan moral, seperti kesabaran,
keramahtamahan, dan kejujuran, yang itu tidak saja ditujukan kepada keluarga terdekat,
tapi juga bagi seluruh umat manusia, baik bagi anak yatim, fakir, miskin, dan
sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berawal dari sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang
pada saat ini telah terkontaminasi pemikiran barat sekuler dan cenderung ateistik yang
berakibat hilangnya nilai-nilai religiusitas dan aspek kesakralannya. Di sisi lain,
keilmuan Islam yang dipandang bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu
berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya
ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Menyebabkan munculnya sebuah gagasan
untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan diantara keduanya sehingga ilmu yang
dihasilkan bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal
dengan istilah "Islamisasi Ilmu Pengetahuan".
Sedangkan manfaat yang kita dapat rasakan dari Islamisasi Ilmu Pengetahuan
antara lain:
1. Setidaknya kita selaku Umat Islam tidak menjadi kafir dan kehilangan arah dalam
hal keimanan dalam melihat berbagai fenomena ilmu pengetahuan.
2. Kita sebagai umat yang percaya kepada Wahyu Allah yang memberikan landasan
berbagai ilmu sehingga tidak terjadi dikotomi dalam ilmu pengetahuan.
3. Kita sebagai hamba Allah akan semakin dekat kepada-Nya.
B. Saran-saran
Dalam penyusunan makalah yang sangat sederhana ini tentunya banyak
kekurangan dan kekeliruan, yang menjadi sorotan adalah bagaimana makalah ini dapat
disusun setidaknya mendekati kata sempurna dan dapat mencakup substansi materi yang
ingin disampaikan sehingga tujuan pembelajaranpun dapat terpenuhi.Dalam kesempatan
ini kami selaku penyusun tentunya sangat mengharapkan segala saran,kritik dan
pengayaan yang bersifat membangun dan dapat diberikan landasan pijakan dari teori
yang akan kami tambahkan demi kesempurnaan penyusunan yang akan datang.