repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13394/1/T1_712011801_Full... · penulis...

37

Transcript of repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13394/1/T1_712011801_Full... · penulis...

1

1. PENDAHULUAN.

1.1.Latar Belakang.

Gereja pada umumnya merupakan sebuah bangunan yang digunakan oleh umat

Kristen untuk melakukan ibadah. Seiring dengan perkembangan zaman, umat Kristen

membentuk organisasi gerejawi yang memiliki struktur untuk mengatur masing-masing orang

beserta dengan pelaksanaan tugas-tugasnya. Struktur ini umumnya dikepalai oleh satu orang

pendeta atau gembala siding.1 Pendeta atau Gembala Sidang memiliki peran besar bagi

jemaat yang bukan hanya terbatas pada berkhotbah ataupun memimpin peribadatan-

peribadatan yang dilangsungkan di gereja. Secara faktual, pendeta atau gembala sidang

menjadi panutan umat dalam membangun kehidupan berimannya.

Istilah gereja seringkali dipandang oleh masyarakat awam terkhusus warga Gereja

Bethel Tabernakel Sukabumi sebagai sebuah gedung persekutuan yang di dalamnya terdapat

jemaat yang bersekutu dan beribadah yang dipimpin oleh gembala sidang atau pendeta.

Pendeta atau gembala sidang mempunyai peran penting dalam setiap kegiatan dan

peribadatan gereja. Pendeta di Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi memiliki peran dalam

ibadah umum setiap minggu, ibadah kategorial, perkunjungan jemaat, memimpin rapat

bidang dan sampai kepada mengatasi masalah pribadi warga jemaat. Sehingga seorang

pendeta menjadi tokoh panutan bagi warga jemaat. Kehidupan pribadi pendeta, istri pendeta,

anak-anak, dan sanak-saudara yang terkait dengannya akan selalu menjadi sorotan bagi warga

jemaat.

Jan S. Aritonang dan Chr. De Jonge mengatakan gereja bukan hanya lembaga yang

mengantar keselamatan, tetapi juga persekutuan orang-orang percaya yang ingin beribadah

kepada Allah. Gereja juga ungkapan iman orang-orang percaya, suatu persekutuan yang

dibentuk manusia untuk bersama-sama bertumbuh dalam iman dan untuk menyebarkan Injil

Yesus Kristus di mana-mana, supaya bangsa Allah didunia ini semakin besar.2 Berdasar dari

pernyataan kedua tokoh ini dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung mendukung

perkembangan kemandirian warga jemaat di tengah-tengah kehidupan bergereja di Indonesia

untuk meningkatkan kualitas iman warga jemaat sendiri.

1 Pemberian status pendeta cenderung digunakan gereja yang beraliran Calvinis/Lutheran, dan Gembala

Sidang digunakan gereja yang beraliran Kharismatik. 2 . Jan S. Aritonang dan . Chr. De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja?, Pengantar Sejarah Eklesiologi, BPK

Gunung Mulia, Jakarta, 2009, hlm 5.

2

Ada tiga jabatan gerejawi secara teologis dipahami sebagai peran yang diturunkan

Kristus yaitu nabi, raja, dan imam. Ketiga jabatan ini adalah pendeta, penatua, dan diaken.

pendeta memang adalah pelayan Tuhan yang bertugas melayankan kehendak Tuhan dalam

kehidupan jemaat, khususnya pelayanan Firman dan Sakramen. Disamping pendeta ada juga

jabatan penatua dan diaken, yang mempunyai peran yang sama dalam pelayanan di jemaat,

namun dalam kenyataannya pendeta mendapat porsi yang lebih besar untuk mewujudkan

jemaat di hadapan Tuhan Yesus Kristus, Raja Gereja.3 Hal ini terjadi, di mana jemaat

menginginkan pendetalah yang lebih banyak aktif dan berperan dalam tugas dan kegiatan

gereja sehingga kehidupan berjemaat yang seperti ini masih sangat ditentukan oleh model

dasar pastoral yang berpusat pada pendeta..

Pandangan Edgar Walz mengatakan pendeta harus mengembangkan hubungan antar-

kelompok, para pemimpin awam dan tenaga profesional lainnya menjadi pihak yang

bertanggung jawab atas sebagian besar kegiatan harian gereja. Dalam waktu yang bersamaan,

pemimpin awam dan pemimpin profesional lainnya memasukan pendeta sebagai penasihat

rohani mereka. Mereka mengharapkan pendeta memberi nilai rohani pada tugas yang mereka

lakukan, inilah yang membedakan dan aktivitas gereja dengan kehidupan dan aktivitas

organisasi sosial atau organisasi pelayanan. Inilah yang menjadikan pendeta dan jemaatnya

satu tim yang bekerja sama untuk melayani Tuhan di dalam gereja-Nya.4 Pandangan jemaat

mengenai peran pendeta menjadikan seorang pendeta sebagai tokoh sentral dalam kehidupan

warga jemaat sehingga hal ini berakibat pada hilangnya batas-batas ruang lingkup pekerjaan

pendeta.

Pandangan warga jemaat tentang tugas dan peran pendeta sebagaimana yang telah

penulis jelaskan di atas dapat dikatakan sebagai kesesatan dalam berpikir sebagaimana yang

dikatakan oleh Jan Hendrik Rapar. Sesat berpikir ialah kekeliruan penalaran yang disebabkan

oleh pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika

atau susunan dan penggunaan bahasa serta penekanan kata yang secara sengaja atau tidak

telah menyebabkan pertautan atau asosiasi gagasan tidak tepat. Biasanya, sesat berpikir tidak

dapat segera diketahui karena, sepintas lalu, tampak seolah-olah benar tetapi sesungguhnya

3G. P. H. Locher, Tata Gereja di Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995.Hlm 226.

4 Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008, hlm 9.

3

keliru.5 Kesesatan berpikir tersebut dapat berdampak pada perkembangan kemandirian warga

jemaat dalam ruang lingkup gereja.

Yesus Kristus menjadi “jembatan” yang menghubungkan segala bangsa di dalam

identitasnya dengan sifatnya, sehingga mereka semua tinggal dan hidup dalam suatu

“persekutuan”, atau suatu “persatuan hidup”, demikianlah tugas yang sampai kepada gereja

untuk menjembatani bangsa-bangsa atau manusia di dunia ini, baik pada masa damai maupun

pada masa gawat. Persekutuan atau persatuan hidup yang didasarkan atas “pendamaian”

adalah menyangkut pengampunan, keadilan, dan kemerdekaan yang diberikan Allah kepada

manusia.6 Gereja adalah orangnya dan bukan gedungnya sebagaimana syair lagu dari KJ 277,

sebab itu semua orang percaya mengambil bagian dari kegiatan pelayanan yang tidak hanya

menjadi milik pendeta, penatua, diaken atau mereka yang aktif didalamnya.

Dari pemahaman di atas bahwa gereja atau umat Allah dipanggil dan diberikan tugas

untuk memelihara kehidupan melalui anggota-anggotanya di tiap bidang kehidupan sesuai

dengan kehendak Allah. Pejabat atau pelayan bukanlah perlengkapan struktural organisasi

gereja, tetapi pejabat atau pelayan adalah primer dan terutama untuk memperlengkapi warga

jemaat dalam pekerjaan memelihara kehidupan yang mengacu pada Kerajaan Allah.7 Peran

pendeta atau gembala sidang dalam kehidupan bergereja serta pola pikir jemaat Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi mengenai tugas dan tanggung jawab pendeta, penulis sadari dapat

berdampak pada sulitnya jemaat untuk bertumbuh secara mandiri. Pembimbingan dan

pengarahan secara berlebihan secara terus-menerus dari seorang pendeta juga akan

berdampak pada ketergantungan yang berlebihan dari warga jemaat kepada pendeta ataupun

gembala sidang.

Berdasarkan pemaparan yang telah penulis jelaskan diatas, penulis berkeinginan

untuk menulis tugas akhir dengan judul pendeta sentris dalam pandangan jemaat Gereja

Bethel Tabernakel Sukabumi dari perspektif teologis dan pastoral.

5 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, Kanisius, Yogyakarta, 1996, hlm 92.

6 A. A. Sitompul, di Pintu Gerbang Pembinaan Warga Gereja ,BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1980, hlm 64.

7Bidang Pembinaan Gerejawi di Tengah Masyarakat, Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja, Jakarta,

1998.

4

1.2. Batasan, rumusan masalah, dan tujuan penelitian.

Penyusunan tugas akhir ini dibatasi pada pemahaman warga jemaat Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi mengenai peran pendeta sentris. Fokus permasalahannya dirumuskan

demikian: bagaimana peran pendeta sentris dalam pandangan jemaat Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi dari perspektif teologis dan pastoral?

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji peranan pendeta-sentris dalam pemahaman

jemaat Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi dari perspektif teologi dan pastoral.

1.3.Metode Penelitian.

Penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian deskriptif analitis. Pendekatan

penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian

yang bermaksud untuk memahamifenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,

misalnya perilaku, persepsi,motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan

dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.8 Teknik pengumpulan data melalui

wawancara, observasi dan studi pustaka. yaitu memperoleh data dengan mengadakan Tanya

jawab langsung dengan warga jemaat.

1.4.Manfaat Penelitian.

Manfaat yang dirasakan penulis yaitu bertambahnya pengetahuan mengenai membina

warga jemaat yang baik. Selain itu juga penulis dilatih untuk memahami permasalahan-

permasalahan yang ada dalam jemaat gereja terkhusus Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi.

1.5.Lokasi penelitian.

Penelitian ini dilakukan di Gereja Bethel Tabernakel, Sukabumi dalam kurun waktu 2

bulan.

8 Lexy. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Risdakarya, Bandung, 1991, hlm 9.

5

1.6. sistematika penulisan.

Penelitian ini disistematis dalam 5 bagian. Bagian pertama berisi pendahuluan,

rumusan masalah, tujuan penelitain, manfaat penelitian, lokasi penelitian, sistematika

penulisan. Bagian kedua berisi teori tentang peranan pendeta yang meliputi definisi tentang

pendeta dari perspektif teologi. Bagian ketiga berisi hasil penelitian dan pembahasan yang

meliputi peran pendeta-sentris dalam pandangan jemaat. Bagian keempat berisi kesimpulan

berupa temuan yang diperoleh. . Bagian kelima berisi saran dan kesimpulan.

2. Tugas dan Peran Pendeta dari Pespektif Teologis dan Pastoral.

2.1. Pendeta dari Pespektif Teologis.

Seorang pendeta bukan hanya menjadi seorang pelayan atau orang yang berbicara

tentang Alkitab dari mimbar kemimbar atau rumah kerumah, namun pendeta memiliki ruang

lingkup penugasan yang lebih dari pada itu. Hendri Nouwen menggambarkan peran pendeta

sebagai “penyembuh yang luka”, pendeta dipanggil untuk mengenal dalam hatinya sendiri

penderitaan zamannya. Pengenalan itu harus dijadikan titik tolak pelayanannya, entah ia

memasuki dunia yang tergelincir, berhubungan dengan generasi yang guncang atau berbicara

dengan orang yang akan mati, pelayanan seorang pendeta harus datang dari hati. Apabila

seorang pendeta melayani dengan hati, maka juga akan sampai ke hati orang-orang yang

dilayaninya.9

Seorang pendeta adalah gembala, konselor yang harus menghargai jemaat yang

adalah domba-domba milik Tuhan. Gembala yang menghargai kebebasan dan kemampuan

domba-domba Tuhan. Domba-domba tidak boleh dianggap sebagai dan tidak tahu apa-apa.

Jadi, tugas utama bagi pemimpin bukan hanya memberi anjuran peringatan, tetapi menolong,

atau lebih tepatnya mendampingi warga jemaat yang mempunyai masalah dapat memahami

persoalannya serta merencanakan cara untuk mengatasi masalah tersebut sendiri.10

Hal ini senada dengan teori “pendidikan yang membebaskan” Paulo Friere. Menurut

Paulo Freire “education as the practice of freedom”11

pendidikan pembebasan adalah

membuat mereka yang tertindas (istilah yang digunakan Freire) atau terbelenggu suatu

9 Retnowati, Kepemimpinan Transformatif, BPK Gnung Mulia, Jakarta, 2016, hlm 55.

10 Ibid, hlm 55.

11 Carolina, Education for Critical Paulo Freire Consciousness, (New York: The

Continum Publishing Company, 2000), hlm. 7.

6

keadaan menjadi suatu kemerdekaan, kemandirian, tak terikat atau terjerat dalam keadaan

yang mendominasi dirinya. Menurut Freire, tujuan utama dari pendidikan adalah membuka

mata peserta didik guna menyadari realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak

melakukan transformasi. Kegiatan untuk menyadarkan peserta didik tentang realita

ketertindasannya ini ia sebut sebagai konsientasi. Konsientasi adalah pemahaman mengenai

keadaan nyata yang sedang dialami peserta didik.12

Untuk itu, pendidikan yang dapat

membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya peran pendeta dapat

mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam jemaat yang berbudaya bisu

adalah membantu untuk jemaat mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari

luar termasuk suara seorang pemimpin gereja tersebut.

Pendeta sebagai pemimpin dan konselor berusaha untuk mengerti dan mengindahkan

perasaan ,kebutuhan, keinginan, sikap, dan nilai yang dimiliki oleh warga jemaat. Pendeta

sebagai pemimpin umat perlu melihat warga jemaat sebagai orang-orang yang bebas dan

bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pendeta mungkin hanya bisa menolong dan

membimbing karena percaya akan kemampuan warga jemaatnya, dan menolong untuk

menggunakan kemampuannya secara optimal. Kepercayaan dan penghargaan dari pendeta

terhadap warga jemaatnya ini yang mendatangkan kepercayaan diri dan pengharapan bagi

warga jemaat.13

Luther membedakan peranan pendeta menjadi dua, yaitu pelayan biasa dan pelayan

khusus. Pelayan biasa adalah imamat am semua orang yang percaya dimana semua orang

percaya adalah raja dan imam dihadapan Allah dan mendapat bagian dalam anugerah dan

tanggung jawab kerajaan Allah. Kaum awam bukanlah kalangan yang rendah mutunya

dibandingkan dengan mereka yang telah ditahbiskan. Para pendeta tidak terpisah atau lebih

tinggi daripada kaum awam. Pelayan kependetaan adalah suatu pelayanan yang umum dan

resmi. Luther mengatakan bahwa walau kita adalah pendeta-pendeta, namun tidak semuanya

sanggup dan boleh berkhotbah, mengajar atau memimpin. Tetapi beberapa dari antara kita

dipilih dan kemudian beberapa diberi tanggung jawab untuk memegang jabatan itu. Dan

orang yang diberi jabatan itu menjadi seorang pendeta bukan demi kepentingan jabatan

tersebut melainkan untuk melayani semua anggota yang lain. 14

12

Ibid, hlm. 8. 13

Retnowati, Kepemimpinan Transformatif, BPK Gnung Mulia, Jakarta, 2016, hlm 56. 14

G. D. Dahlenburg, Apakah Pendeta itu?, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002, hlm 8.

7

Menurut pernyataan LCA (Gereja Lutheran di Australia) jabatan pendeta tidak berarti

bahwa mereka yang memegangnya mempunyai kuasa yang sewenang-wenang atas orang

Kristen lainnya. Dan tidak berarti juga bahwa pelayan-pelayan Firman diserahkan kepada

keinginan-keinginan orang-orang di jemaat itu.15

Jabatan kependetaan pada hakekatnya

adalah suatu pelayanan kepada Tuhan Gereja melalui Firman dan Sakramen. Pendeta-pendeta

harus memenuhi jabatan itu dengan ketaatan kepada Tuhan dan menurut tuntutan-tuntutan

yang diberikan dalam FirmanNya.

Pendeta adalah seorang Hamba Tuhan dan pengikut Kristus. Alkitab, dalam

Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru banyak memberikan contoh kepemimpinan.

Perjanjian Baru banyak menguraikan model gereja di Yerusalem, dengan para pemimpin

apostolik yang di bawah tekanan tanggung jawab administrasi, menunjuk diaken untuk

membantu pengelolaan. Paulus menghadapi persoalan kepemimpinan gereja lokal dengan

keberadaan gereja di Korintus, Efesus, dan Filipi. Berbagai contoh dalam Alkitab

menunjukan bahwa tindakan umat Allah memberi perhatian pada struktur, sistem dan

manajemen. Allah tidak mengatakan kepada gereja bagaimana harus mendirikan sistem

mereka, namun dia meminta mereka untuk “melakukan segala sesuatunya dengan baik dan

teratur".16

Seorang pendeta telah ditetapkan oleh Allah untuk menjalankan pekerjaan Kristus

sendiri. Jabatan kependetaan itu sendiri boleh menempati beberapa bentuk atau struktur,

misalnya bishop, praeses, pastor, pendeta, imam, tetapi tugas dan kekuasaannya tetap sama,

yaitu memberitakan Firman Allah, mengembalakan kawanan domba dan melayankan

sakramen sesuai dengan pesan Kristus.17

Gereja dapat menetapkan bentuk pelayanan yang

lain untuk mendukung pelayanan firman tersebut. Tetapi pelayanan-pelayanan yang lain

hanyalah jabatan gerejawi yang ditetapkan oleh gereja menurut keadaan dan kebutuhan

setempat, sedangkan jabatan pelayanan Firman dan Sakramen (jabatan kependetaan) telah

ditetapkan oleh Kristus (Ef 2:20; 4:11-12; Yoh 20:22-23; Mat 28:19-20; 2 Kor 5:18-20; Kis

20:28).18

15

Ibid, hlm 10. 16

Edgar Walz, Bagaimana mengelola Gereja anda?, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006, hlm.3. 17

G. D. Dahlenburg, Siapakah Pendeta itu?, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002, hlm. 17. 18

Ibid, hlm. 18.

8

2.2.Pendeta dari Pespektif Pastoral.

Konseling pastoral adalah konseling yang berdimensi spiritual. Dimensi spiritual

dalam konseling pastoral dipahami dalam tiga paradigma berpikir. Pertama, dimensi spiritual

dimahami dalam hubungan dengan kekristenan. Kedua, dimensi spiritual dipahami dalam

kerangka berpikir psikologi. Ketiga, dimensi spiritual dalam hubungan dengan agama sebagai

makna eksterior atau eksternal kemanusiaan yang terbentuk dari kehidupan sosial dan budaya

masyarakat.19

Pada hal ini, penulis lebih menitik-beratkan pada bagian pertama, yaitu dimensi

spiritual yang dipahami dalam hubungan kekristenan.

Konseling pastoral merupakan dimensi spiritual dalam hubungan dengan kekristenan

yang melaksanakan fungsi-fungsi yang bersifat menyembuhkan, mendukung, membimbing,

memulihkan, memelihara dan memperbaiki (Clinebell, 2002:53, 54).20

Pendeta sebagai

pemimpin warga jemaat sudah sepatutnya menerapkan fungsi-fungsi tersebut dalam tugas

dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin gereja sebagaimana Yesus Kristus dan

karyaNya sebagai “pastor sejati” atau “gembala yang baik” (Yoh 10). Ungkapan dari bacaan

ini mengacu pada pelayanan Yesus Kristus yang tanpa pamrih, bersedia memberikan

pertolongan dan pengasuhan terhadap pengikutnya bahkan rela mengorbankan nyawanya.

Istilah pastor dalam konotasi praktisnya sebenarnya adalah merawat atau memelihara. Sikap

pastoral diharapkan dapat mewarnai semua sendi pelayanan setiap orang yang dirawat dan

diasuh oleh Allah secara sungguh-sungguh.21

Mengenai Konseling Pastoral, Pdt. Yakub Susabda dalam buku Pastoral Konseling

membagi 4 unsur penting atau dasar pemikiran yang menentukan keunikan pastoral

konseling, yaitu:22

1. Pastoral Konseling adalah pelayanan hamba Tuhan yang dipercayakan oleh Allah

sendiri.

2. Pastoral Konseling adalah pelayanan mutlak bergantung pada kuasa roh Kudus.

3. Pastoral Konseling adalah pelayanan yang didasarkan pada kebenaran firman Tuhan.

19

J. D. Engel, Konseling Patoral dan Isu-isu Kontemporer,BPK Gunung Mulia Gunung Mulia, Jakarta, 2016, hlm. 1. 20

J. D. Engel, Konseling Patoral dan Isu-isu Kontemporer,BPK Gunung Mulia Gunung Mulia, Jakarta, 2016, hlm. 2. 21

Ibid, hlm. 10. 22

Yakub Susabda, Pastoral Konseling Jilid I, (Malang: Gandum Mas, 2006), hlm. 13.

9

4. Pastoral Konseling adalah pelayanan yang bersifat-dasarkan teologi dalam

integrasinya dengan sumbangan ilmu-ilmu pengetahuan lain khususnya psikologi.

Sebagai seorang pelayan Firman yang terpanggil dan sudah terdidik secara teologis,

pendeta melakukan banyak tugas yang diketahui sebagai fungsi pastoral. Fungsi-fungsi ini

sudah termasuk memimpin kebaktian, khotbah, pelayan sakramen, melayani kelompok serta

individu-individu dan juga mewakili jemaat untuk gereja dan dunia. Mungkin ada orang lain

dalam jemaat yang mengetahui pengetahuan yang sama atau bahkan lebih mengenai

pelayanan dibandingkan seorang pendeta, tetapi ia sendiri karena terpanggil mempunyai

wewenang dalam melaksanakan fungsi-fungsi pastoral dalam gereja.23

Pendeta juga mengawasi berbagai aktivitas orang lain yang juga melakukan sebagian

fungsi pastoral.24

Sebagai contoh, disini sudah termasuk pemimpin dan guru-guru sekolah

minggu, kepala sekolah dan guru-guru sekolah Kristen, pemain organ, pemimpin paduan

suara gereja dan lainnya. Tentu saja bukan hanya mengawasi, tetapi juga membimbing dan

melatih sesuai dengan bidang dan keahliannya masing-masing secara professional. Dalam

peran pastoral ia membimbing “sukarelawan” yang bekerja dengannya. Pada saat yang sama

sukarelawan ini juga berpartisipasi sebagai teman seiman dalam gereja Kristus. Pendeta juga

melayani sebagai penasihat rohani bagi individu, berbagai departemen, dan kelompok dalam

jemaat. Karena itu ia membantu para pemimpin dan anggota menerapkan dimensi rohani ke

dalam sisi praktis sisi praktis kehidupan dan aktivitas gereja sehari-hari.25

Koinonia merupakan salah satu tugas yang mempunyai peranan penting dalam

membantu seseorang untuk mengembangkan kompetensinya bersosialisasi dan menjalin

hubungan dengan individu atau kelompok lain. Panggilan seorang pendeta dalam konseling

pastoral dapat memperkuat arti konseling pastoral dengan beberapa alasan, yaitu: 26

1. Pendeta adalah rekan sekerja Allah, yang mengarahkan hatinya ke dalam pelayanan

yang terpusat kepada Allah dan setia memampukan orang lain untuk mengenal diri

sendiri dan Allah.

2. Pendeta mendapatkan pelayanan di dalam terang Roh Kudus dalam menjawab

pergumulan-pergumulan di sekitar masalah-masalah kemanusiaan.

23

Edgar Walz, bagaimana mengelola gereja anda?, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006, hlm.8. 24

Ibid, hlm. 9. 25

Edgar Walz, bagaimana mengelola gereja anda?, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006, hlm.9. 26

Mesach Kristya, diktat konseling pastoral, (Salatiga, 2007)

10

3. Pendeta sebagai konselor pastoral selalu bersentuhan dengan apa yang disebut

dengan relasi dengan sesama.

Seorang pendeta yang merupakan seorang konselor berkewajiban untuk memberikan

konseling bagi mereka yang berada dalam kebimbangan, penderitaan, dan dalam pergumulan

hidup. Perkunjungan-perkunjungan kepada jemaat yang dilakukan oleh pendeta pun dapat

membantu pendeta yang merupakan seorang konselor untuk memahami sekaligus

mengetahui dengan cepat untuk memberikan pelayanan kepada jemaat sebelum ia hatuh ke

dalam masalah yang lebih berat.

Pendeta sebagai konselor pastoral sudah memiliki keterampilan dan kecakapan dalam

membimbing dan menolong seseorang melalui Firman Tuhan yang menjadi pedoman dalam

proses konseling pastoral dengan warga jemaat. Sebagai konselor dalam konseing pastoral,

pendeta harus menempatkan warga jemaat dalam hubungan yang benar dengan Allah dan

sesama, selain itu, pendeta harus menyadari bahwa keberhasilan dalam suatu proses

konseling, tidak terlepas dari perannya yang mengadirkan Tuhan dan firmanNya yang

memapukan serta melayakan baik konselor (pendeta) maupun konseli (warga jemaat) yang

menemukan akar permasalahan dan alternatif pemecahan masalah yang tepat.

Ketika seseorang berada dalam kebimbangan, kecemasan, keputusasaan, rasa takut

yang dalam, merasa tersaing dan mengalami keterasingan, peran pendeta sebagai konselor

pastoral harus dapat menyadarkan konseli akan kehadiran dan keterlibatan Tuhan Yesus

berkarya dalam pergumulan dan penderitaan hidupnya, untuk memulihkan keterasingannya

dari keluarga, gereja, masyarakat maupun lingkungan di mana ia berada. Sentuhan tangan

kasih Yesus, menempatkan seseorang berada dalam kuasa penyembuhanNya, yang bukan

hanya membuat orang itu terbuka dengan Allah saja, tetapi dengan orang lain, lingkungan

bahkan dengan diri sendiri. Keterbukaan itulah yang memberikan kehangatan spiritual agar

orang mulai sadar dan perlu membangun relasi terus menerus dengan semua orang.27

Struktur gereja tidak pernah lepas bahkan berkaitan erat dengan “jemaat”. Kata

“jemaat” adalah kata serapan dari bahasa Arab, menurut kamus besar bahasa Indonesia

adalah “himpunan umat”. Kata “jemaat/gereja” dalam bahasa Yunani ditulis dengan nomina

feminine yang berarti “Ekklesia”, berasal dari 2 kata (ek yang berarti keluar dan kaleo yang

berarti memanggil. Arti kontekstual dalam kehidupan kekristenan adalah “dipanggil keluar

27

J. D. Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, (Tisara Grafika), hlm. 35-37.

11

untuk menjadi murid Kristus”. Menurut kesaksian Perjanjian Baru, jemaat adalah suatu

kesatuan, suatu kesatuan antara Kristus dan orang-orang pilihannya.28

Persekutuan orang-orang percaya yang telah menjadi anggota komunitas gerejawi

tidak terlepas dari peran seorang pendeta ataupun gembala sebagai pembimbing, sehingga

peranan pendeta menjadi sangat penting bagi kelompok persekutuan Kristen sebagai

pembimbing. Berikut merupakan beberapa sifat kepemimpinan yang di pandang jemaat

seharusnya dimiliki oleh seorang pendeta ataupun gembala, yaitu: 29

1. Karakter

Dalam soal kepemimpinan di gereja, penekanan pada kesalehan ini sangatlah penting.

Bagi Paulus, kekudusan dan disiplin pribadi merupakan sesuatu yang krusial dalam

kepemimpinan Kristen. Mereka haruslah “orang terhormat, jangan bercabang lidah,

jangan penggemar anggur, dan jangan serakah.” (1 Tim. 3: 8,10). Para pemimpin

gereja harus meneladani keseimbangan ini untuk orang-orang yang mereka pimpin.

Ketika para pemimpin gereja meneladani karakter kesalehan dengan kerendahan hati,

orang-orang akan memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang bagaimana

memperlakukan orang lain, dan bagaimana karakter yang menyerupai Kristus

dihubungkan dengan auntentisitas. Para pemimpin perlu mengetahui betapa

pentingnya karakter kesalehan bagi pertumbuhan jemaatnya.

2. Dipanggil oleh Allah

Panggilan Kristus bukanlah pengalaman sekali seumur hidup, melainkan lebih

merupakan tanggapan para murid yang berkelanjutan. Os Guinness dalam karya

modern klasiknya, The Call, menjelaskan kehidupan Kristen merupakan kehidupan

yang mendengar panggilan Allah yang tegas adalah sebuah kehidupan yang

dijalankan dihadapan satu pribadi, yang mempengaruhi orang lain. Istilah “hamba

Tuhan”, dalam bahasa Inggris disebut clergy dan berarti “dipanggil” (kleros), dengan

implikasi yang tidak perlu dibicarakan lagi, kaum awam tidak dipilih atau dipanggil

oleh Allah. Setelah itu, gereja dibangun disekitar panggilan dan anugerah dari

kelompok elit yang dikelilingi oleh kaum awam yang dipinggirkan ini.pada satu sisi,

pemisahan seperti itu menyuburkan kebencian dan perebutan kekuasaan dan

pengaruh, dan pada sisi lainnya menimbulkan ketidakpedulian dan penghindaran

28

J. L. CH. Abineno, jemaat, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983, hlm. 8. 29

Ibid, hlm. 93

12

tanggung jawab atas masalah-masalah rohani karena masalah-masalah demikian

dianggap sebagai urusan hamba Tuhan.

3. Tepat konteks

Para pemimpin yang berhasil menerjemahkan efektifitas dan kesuksesan mereka ke

dalam sebuah formula. Dengan meninjau hal-hal yang sudah terjadi mereka

mengambil sebagian besar kasus uji coba dan mengemasnya dalam rangkaian hasil

yang didapat. Gereja harus memberi perhatian ekstra tentang formula yang

terwaralaba karena gereja yang berkomitmen untuk membawa perubahan dibentuk

oleh konteks dimana mereka dilahirkan. Untuk itu dalam menangani masalah

kepemimpinan yang sesuai konteks, kita harus mengetahui fakta bahwa budaya-

budaya tertentu memerlukan gaya kepemimpinan yang tertentu pula.30

Dalam

beberapa konteks para pemimpin otoriter merupakan model yang diharapkan,

memberikan rasa aman melalui setiap orang yang mengetahui tempat mereka dalam

hierarki dan apa yang diharapkan dari mereka. Model kepemimpinan yang diambil

juga akan diatur oleh keadaan.31

4. Keteguhan ditempa oleh iman

Para pemimpin yang teguh akan mempertahankan keyakinan mereka dan bahkan

mengubah perilaku jika diperlukan. Seorang yang mempunyai keteguhan juga

dibentuk dan memperlihatkan konsistensi dan reaksi emosi yang tepat terutama dalam

situasi krisis. Para pemimpin yang teguh harus berjiwa entrepreneur yaitu

membutuhkan kepekaan yang kuat terhadap panggilan Allah dan dorongan serta

kehadirannya yang terus menerus ketika ia menuntun mereka dalam pengambilan

keputusan. De Pree menyatakan semakin besar kita mengambil resiko, semakin

menjadi alami hal tersebut. 32

ketika para pemimpin berani mengambil resiko dan

menjalankan tanggung jawab mereka dan orang sekitarnya akan bertumbuh bersama-

sama.

5. Berkompetensi

Mendemonstrasikan kompetensi merupakan hal yang sangat penting dalam

membangun kepercayaan, mengingat kepercayaan merupakan hal yang penting untuk

pembangunan komunitas yang sejati. Kompetensi juga meliputi keinginan dan

kemampuan untuk menerima tanggung jawab dan pengetahuan seseorang yang

30

Edie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang: membentuk dan memperbaharui kepemimpinan yang mampu bertahan dalam zaman yang berubah, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010, hlm. 149. 31

Ibid, hlm. 150. 32

Ibid, hlm. 146.

13

terbatas. Para pemimpin harus mampu membedakan antara sebuah masalah yang

diselesaikan dan sebuah fakta kehidupan yang harus dijalani dalam hal ini, gereja

perlu mengadopsi sebuah sikap mental “kepemimpinan adaptik”, untuk menghadapi

krisis pengharapan bahwa kehidupan berada pada sisi lain dari kematian.

6. Kreatifitas

Sebuah pikiran yang kreatif adalah pikiran yang dipenuhi dengan keingintahuan yang

tidak pernah puas, dipersiapkan untuk bertanya dan menguji kembali sesuatu dan

segala sesuatu tanpa perasaan terancam, keingintahuan menolong seorang pemimpin

untuk melihat hubungan diantara potongan-potongan informasi yang terisolasi.

Kreatifitas juga membutuhkan semangat kepeloporan.33

para pemimpin yang kreatif

yang menjadi pelopor perlu menyertakan orang lain untuk melangkah bersama

mereka.

7. Belas Kasihan

Seorang pemimpin haruslah seorang pemimpin yang berhati-hati, tidak bertindak

serampangan, tetapi mempertimbangkan kemungkinan konsekuensi-konsekuensi dari

keputusan apapun, khususnya keputusan yang mempengaruhi kehidupan orang lain.

8. Percaya Diri

Menurut Max De Pree kepercayaan bertumbuh ketika orang-orang melihat para

pemimpin menerjemahkan integritas pribadinya dalam kesetiaan kepada

organisasinya.34

Kepercayaan ditunjukan sebagian kepada orang-orang yang kita

hargai dan kolega-kolega yang kita hormati, khususnya kepada mereka yang berbeda

dari kita secara pribadi dalam kemampuan dan pengalaman hidup mereka.

33

Ibid, hlm. 156. 34

De Pree, leading without power, hlm. 127.

14

3. Peran pendeta sentris dalam pandangan jemaat Gereja Bethel Tabernakel

Sukabumi.

Pada bagian tiga ini penulis akan menjabarkan hasil temuan lapangan tentang

perspektif jemaat. Peran pendeta dan pendeta sentris dalam perspektif jemaat GBT Sukabumi

terbagi dalam 3 bagian utama, yaitu: status dan jabatan kependetaan, pelayanan yang berpusat

pada pendeta, dan fungsi dan peran seorang pendeta yang ideal bagi jemaat.

3.1. Status dan jabatan kependetaan.

Pendeta sebagai pemimpin jemaat gereja diibaratkan seperti nahkoda kapal. Menurut

ibu Tammy semestinya semua harus sesuai dengan arahan dan persetujuan dari pendeta, baik

itu urusan peribadahan maupun urusan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan di gereja.35

Seorang pendeta bagi warga jemaat Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi menjadi sangat

penting dalam kehidupan berjemaat dimana pendeta bukan hanya berperan sebagai pemimpin

jemaat dalam ibadah minggu melainkan juga sebagai pembimbing dalam ibadah-ibadah

kategorial maupun kegiatan-kegiatan diluar peribadahan dalam gereja.

Pemimpin gereja, atau pendeta menjadi memberikan pemeliharaan kepada jemaat

khususnya Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi. Pemimpin yang mengontrol segala sesuatu

yang berurusan dengan kegiatan gerejawi, tentu saja dengan bekal keahlian yang telah

dimiliki seorang pendeta, ia dapat mengurangi resiko kesalahan dalam pengambilan

keputusan. Bapak Gultom yang merupakan salah satu jemaat Gereja Bethel Tabernakel

menambahkan bahwa, seorang pendeta tidak hanya mengontrol dan membimbing saja, ia pun

wajib memiliki tingkat kepedulian yang tinggi pada domba-dombanya (jemaat). Sehingga

bagaimana pun kondisi jemaat, seorang pendeta tidak lari dari tanggung-jawabnya sebagai

pemimpin gereja.36

Warga jemaat Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi memandang bahwa seorang

pendeta bukan hanya harus memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam mengemban tugas

35

Wawancara dengan bapak Sofyan, tanggal 25 april 2017 di Pastori Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi. 36

Wawancara dengan bapak Gultom, tanggal 29 april 2017 di Pastori Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi.

15

dan kewajibannya sebagai pemimpin, tetapi juga harus memiliki sifat-sifat yang sesuai

dengan apa yang ia khotbahkan. Diantaranya:37

1. mempunyai reputasi atau harkat dan martabat yang baik, menjadi pemimpin yang

dikenal baik bagi jemaat Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi, sebagai pemimpin

jemaat yang dihormati jemaatnya, selain itu perkataannya pun diharapkan menjadi

contoh yang baik bagi jemaat sehingga dapat berpengaruh bagi orang-orang

disekitarnya.

2. Kehidupan keluarga seorang pendeta pun sangat diperhatikan oleh warga jemaat,

seperti bagaimana seorang pendeta mendidik anak-anaknya, bagaimana ia membina

hubungan antara istri dan anak-anak, tingkat keharmonisan dalam keluarga, dan

bagaimana ia memelihara diri dengan Tuhan.

3.2.Pemahaman jemaat Gereja Bethel Tabernakel tentang pelayanan yang berpusat

pada pendeta.

Warga gereja yang membentuk sebuah komunitas Kristen sudah pasti memerlukan

seorang pemimpin yang membimbing warga jemaat kepada jalan kebenaran, meningkatkan

iman jemaatnya, dan bertanggung-jawab terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan

gereja yang dipegangnya. Hal ini pula yang dirasakan jemaat Gereja Bethel Tabernakel. Ibu

Tammy yang adalah salah satu warga jemaat Gereja Bethel Tabernakel menjelaskan bahwa,

memang pelayanan itu harus berpusat pada pendeta, karena pendeta ialah pemimpin gereja,

pengetahuan seorang pendeta tentang kebenaran pun jauh melebihi kita sebagai jemaat biasa,

maka dari itu setiap khotbah seharusnya hanya bisa dilakukan oleh pendeta.38

Tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin gereja atau pendeta menjadi jauh lebih

berat ketika warga jemaat menyerahkan sepenuhnya seluruh pekerjaan gerejawi kepada

pendeta tersebut. Disisi lain, ada pula warga gereja yang beranggapan bahwa tidak semua

tugas pelayanan dan juga kegiatan-kegiatan gereja yang sepenuhnya dilakukan oleh seorang

pendeta. Tugas pelayanan dan kegiatan gereja yang tidak harus dilayankan oleh seorang

pendeta antara lain ibadah kategorial, besuk, rapat bidang pelayanan, perkunjungan rumah

tangga, dan masih banyak lagi yang tentunya telah dipertimbangkan terlebih dahulu oleh

37

Wawancara dengan bapak Sofyan, tanggal 25 april 2017 di Pastori Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi. 38

Wawancara dengan Ibu Tammy, tanggal 27 april 2017 di perumahan baros kencana Sukabumi.

16

pendeta tersebut. Bapak Sofiyan yang merupakan warga Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi

mengatakan bahwa, memang seorang pendeta merupakan guru bagi jemaatnya, menjadi

penunjuk arah dan pemimpin bagi warga jemaat, tetapi segala sesuatunya tidak harus

dilakukan oleh pendeta, jemaat maupun diaken dapat menyampaikan Firman di ibadah-

ibadah kategorial dengan syarat diberi pelatihan terlebih dahulu.39

3.3.Fungsi dan peran pendeta secara umum yang diinginkan jemaat Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi.

Pendeta adalah utusan Allah yang ditugaskan untuk membimbing umatNya ke jalan

yang benar, sebagai utusan Allah, seorang pendeta sudah seharusnya mempunyai sifat dan

perilaku yang seimbang. Hal ini dijelaskan oleh ibu Rahayu yang merupakan jemaat Gereja

Bethel Tabernakel Sukabumi, beliau menyampaikan bahwa pemimpin gereja yang ideal ialah

pemimpin yang dapat mengayomi jemaatnya, tegas dalam mengambil keputusan, bertingkah

laku sesuai dengan Firman Tuhan, mampu mengatasi segala persoalan yang terjadi dalam

lingkungan gereja, dan tentu saja memberikan khotbah-khotbah yang menyegarkan setiap

minggunya.40

Sebagian besar warga jemaat Gereja Bethel Tabernakel yang penulis

wawancarai mengatakan hal yang serupa. Pendetalah yang memberitakan dan menerangkan

iman Kristen kepada anggota jemaat. Dialah wajib memberi teladan tentang sikap hidup dan

kelakuan kristen. Pendeta mewakili jemaat dan bertanggungjawab atas pelaksanaannya jadi

pertaliannya dengan jemaat sangat erat.

3.4. Kelebihan dan kekurangan peran pendeta sentris menurut jemaat Gereja

Bethel Tabernakel Sukabumi.

Pandangan jemaat Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi mengenai peranan pendeta

sentris memang beragam. Dari keaneka-ragaman tersebut, munculah kelebihan dan

kekurangan dari peran pendeta sentris tersebut. Ibu Hartini adalah salah satu jemaat yang

merasa peran pendeta sentris di Gereja Bethel Tabernakel memang dibutuhkan dalam

kepemimpinan dalam gereja. Beliau mengatakan pelayanan yang berpusat pada pendeta

sudah pasti selalu mengarahkan warga jemaat mengenai tata peribadahan yang baik, segala

sesuatu yang berurusan dengan gereja bila diatur oleh seorang pendeta akan memperoleh

hasil yang baik, karena pendeta selalu ikut campur tangan dalam setiap kegiatan gerejawi.41

39

Wawancara dengan bapak Sofyan, tanggal 25 april 2017 di Pastori Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi. 40

Wawancara dengan Ibu Rahayu, tanggal 27 april 2017 di perumahan baros kencana Sukabumi. 41

Wawancara dengan Ibu Hartini, tanggal 28 april 2017 di Pastori Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi.

17

Peran pendeta sentris bagi jemaat Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi ternyata tidak selalu

menimbulkan masalah bagi warga jemaat, sebaliknya, sebagian warga jemaat justru merasa

peran pendeta sentris itu diperlukan di Gereja Bethel Tabernakel.

Beberapa jemaat pun tidak selalu setuju dengan peran pendeta sentris tersebut. Ibu

Stefany yang merupakan warga jemaat Gereja Bethel Tabernakel mengatakan bahwa pendeta

sentris seharusnya tidak diterapkan dalam setiap kegiatan gerejawi, karena warga jemaat sulit

untuk berkembang. Dengan begitu, dampaknya ialah warga jemaat selalu bergantung pada

seorang pendeta.42

Bagi sebagian warga jemaat merasa bahwa mereka membutuhkan tokoh

pendeta yang dapat mengayomi dan mendidik mereka sekaligus mendukung dan

membimbing warga jemaat yang kreatif dan mandiri.

3.5.Rangkuman hasil penelitian.

Warga Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi ialah orang-orang percaya yang

terpanggil dan membentuk sebuah komunitas Kristen. Sebagai komunitas orang-orang

percaya, mereka memposisikan diri sebagai domba-domba yang membutuhkan bimbingan

dari gembala (pendeta), sebagai seorang gembala, seorang pendeta harus memiliki panggilan

untuk melayani, melindungi dan membimbing agar umat yang dipimpinnya tidak tersesat.

Sebagian besar warga jemaat Gereja Bethel Tabernakel melihat peran pendeta-sentris dengan

arti yang baik, karena warga jemaat merasakan keaktifan pendeta dalam pelayanan, baik

dalam ruang lingkup gereja maupun luar gereja. Tetapi sebagian warga jemaat Gereja Bethel

Tabernakel lainnya melihat bahwa peran pendeta-sentris seharusnya dihindari, karena akan

timbul ketergantungan jemaat dan sulitnya mengembangkan serta menyalurkan kreatifitas

jemaat karena penurunan kepercayaan diri dari jemaat tersebut.

42

Wawancara dengan Ibu Stefany, tanggal 27 april 2017 di Pastori Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi.

18

4. Pembahasan dan analisis yang meliputi kajian teologis dan pastoral terhadap

peran pendeta sentris dalam pandangan jemaat Gereja Bethel Tabernakel

Sukabumi

Kependetaan menurut jemaat Gereja Bethel Tabernakel dapat dibagi dalam dua aspek,

yaitu aspek teologis dan pastoral. Jemaat memahami bahwa kependetaan merupakan jabatan

yang memegang tanggung jawab atas seluruh persoalan gerejawi dan jemaat. Seperti pada

proses pengambilan keputusan dalam sidang-sidang, seluruh peribadatan yang sebisa

mungkin harus dipimpin oleh pendeta, pertukaran mimbar, memimpin ibadah pemakaman

dan penghiburan, dan memimpin khotbah.

4.1 Perspektif teologis tentang pendeta sentris di jemaat Gereja Bethel Tabernakel

Sukabumi

Banyak dari jemaat Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi yang belum sepenuhnya

paham tentang jabatan pelayanan pendeta dalam gereja. Sebagian besar warga gereja melihat

pendeta sebagai wakil Allah yang diberikan karunia untuk memimpin umatnya sehingga

segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan dalam gereja maupun luar gereja

dipercayakan sepenuhnya kepada seorang pendeta, meskipun sebenarnya gereja tersebut telah

memiliki diaken dan pelayan-pelayan gereja yang dapat membantu seorang pendeta. Karena

kurangnya pemahaman tersebut, maka terjadilah suatu perbedaan tindakan jemaat dalam

menghormati dan menghargai jabatan kependetaan tersebut. pemahaman warga gereja yang

telah lama ada tersebut ternyata menimbulkan baik maupun buruk yang dapat secara yang

langsung dirasakan oleh warga jemaat, yaitu:

1. Munculnya rasa cinta jemaat kepada pendeta: hal ini terjadi karena jemaat Gereja

Bethel Tabernakel Sukabumi melihat seorang pendeta begitu aktif melayani dan

memimpin umatnya. Tidak adanya batasan tugas dan peran seorang pendeta dalam

maupun luar gereja menimbulkan pemahaman bagi warga gereja bahwa seorang

pendeta sudah pasti siap menolong umatnya dalam setiap kondisi. Dengan begitu

warga gereja pun semakin menghargai gereja tersebut.

2. Dampak psikologis bagi warga gereja: sebagian besar warga Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi yang bergantung sepenuhnya kepada seorang pendeta ternyata

19

memiliki masalah kepercayaan diri, kurangnya semangat melayani, sulitnya

mengambil keputusan, dan bahkan muncul anggapan dari jemaat bahwa pendeta dapat

menyelesaikan segala masalah termasuk masalah pribadi warga gereja. Banyak dari

warga gereja yang tidak berani untuk ikut serta dalam pelayanan, karena menganggap

bahwa dirinya belum layak untuk melayani sesama umat dalam ibadah-ibadah

kategorial, memimpin rapat, mengajar sekolah minggu, dan melakukan pelayanan

besuk kepada jemaat yang sakit.

Hasil penelitan diatas sejalan dengan pemikiran Hendri Nouwen bahwa gembala

digambarkan sebagai orang yang menghargai kebebasan dan kemampuan domba-domba

Tuhan, domba-domba tidak boleh dilihat sebagai yang tidak mengetahui apa-apa. Tugas

seorang pemimpin gereja bukan hanya mengayomi dan melayani saja, tetapi juga menolong

dan mendorong warga jemaat keluar dari zona nyamannya dan memberikan anjuran, saran,

serta pemahaman yang benar sama seperti halnya Efesus 4:13-15 yang mengatakan “sampai

kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah,

kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus,

sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin

pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan,

tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam

segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala”.

4.2 perspektif pastoral terhadap peran pendeta sentris.

Pendeta sebagai pemimpin dan pelayan dalam gereja bagi warga jemaat Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi memiliki peran utama dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

Yaitu melayani warga jemaat yang telah dipercayakan Tuhan Yesus Kristus kepadanya bukan

hanya untuk mempersatukan saja, melainkan juga untuk membangkitkan iman setiap warga

jemaat yang dipimpinnya. Setiap kegiatan pelayanan dalam gereja maupun luar gereja.

Warga jemaat Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi mengharapkan sebisa mungkin

pendetalah yang melayani warga gereja hal ini terjadi karena pendeta menjadi utusan Allah

yang dikaruniai talenta untuk membimbing dan memimpin warga gereja. Penulis melihat

peranan seorang pendeta termasuk sesuatu yang kompleks. Rasa ketergantungan yang

berlebihan tersebut membuat peran dan tugas seorang pendeta sebagai konselor menjadi

semakin berat karena jemaat lebih tertarik kepada pendeta yang melayani dibandingkan

20

jemaat yang telah ditugaskan dan tentunya telah diberikan pembekalan dan pelatihan terlebih

dahulu.

Tidak adanya batasan pelayanan dalam gereja maupun luar gereja bisa jadi

menimbulkan kekeliruan berpikir dari warga jemaat. Di satu sisi penulis melihat keaktifan

seorang pendeta dalam mengemban tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin warga gereja.

Ia ikut langsung mendampingi dan melakukan tugas pelayanannya untuk warga jemaat,

berperan aktif dalam setiap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh gereja. Tetapi disisi

lainnya penulis melihat adanya kekeliruan dalam sistem kepemimpinan seperti ini. Seperti

yang penulis jelaskan pada poin sebelumnya bahwa pendeta jemaat tidak hanya menjadi

seorang pemimpin, tetapi juga menjadi pemimpin yang melayani warga gerejanya.

Pernyataan tersebut bila tidak diperhatikan dan di mengerti secara seksama akan

menimbulkan masalah baru dalam gereja. Sikap memanjakan warga jemaat dapat

menimbulkan ketergantungan yang berlebihan kepada seorang pendeta khususnya Gereja

Bethel Tabernakel Sukabumi. dari masalah tersebut penulis menyadari pentingnya

membangkitkan kembali kesadaran jemaat dengan tujuan agar gereja kembali bertumbuh dan

berkembang serta secara dewasa dan serasi agar tetap melakukan fungsinya secara dinamis

dan kreatif. Usaha membangkitkan kembali kesadaran jemaat tersebut tidak terlepas dari

pekerjaan pelayanan seperti pastoral, pertemuan saresehan, pembinaan, perkunjungan rumah

tangga.

Dari perkunjungan rumah tangga misalnya, percakapan dapat membangkitkan

kesadaran warga jemaat yang selama ini malu dan takut untuk bersuara dan memberikan

pendapat. Keuntungan dari perkunjungan rumah tangga ini adalah warga jemaat tidak malu

untuk mengusulkan pendapatnya secara bebas dalam suasana rumah sendiri, sehingga

informasi murni akan didapatkan. Pertemuan-pertemuan semacam ini penulis menyadari

sedapat mungkin tidak boleh membosankan, tetapi harus meningkatkan semangat dan gairah

serta dibentuk dalam suasana yang menyenangkan, sehingga dapat meningkatkan semangat

kerja dan usaha serta lebih dari itu, warga gereja akan merasa terdorong dan bergairah secara

praktis dalam jemaat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Jacob Daan Engel mengenai pendeta sebagai

konselor yang membantu menyadarkan warga gereja bahwa Tuhan Yesus turut berkarya

dalam hidup warga jemaat. Hal ini menjadi pedoman bagi pendeta sebagai konselor untuk

21

meyakinkan, menyadarkan, dan membangkitkan rasa percaya diri jemaat bukan hanya dalam

lingkup gereja saja, melainkan juga dalam menjalin relasi antar umat manusia.

5. Penutup.

5.1. Kesimpulan.

Warga jemaat Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi memandang peran pendeta sentris

tidak selalu bersifat negatif. Hal ini disebabkan oleh karena metode pengajaran yang

dilakukan pendeta selama ini dinilai baik oleh warga jemaat. Warga jemaat menilai “pendeta-

sentris” ialah sesuatu yang baik dengan keaktifan pendeta dalam setiap kegiatan pelayanan di

dalam maupun di luar gereja. Hal inilah yang menjadikan seorang pendeta terkhusus Gereja

Bethel Tabernakel Sukabumi begitu penting bagi warga jemaat. Mereka begitu bergantung

pada seorang pendeta. Tetapi disisi lain nampaknya hal ini menimbulkan masalah yang baru

bagi seorang pendeta maupun pertumbuhan kemandirian jemaat gereja. Penulis melihat

sebagian besar warga jemaat tidak menyadari masalah yang ternyata selama ini sedang terjadi

dalam Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi. masalah tersebut antara lain sulitnya jemaat

untuk mengambil keputusan, ketergantungan yang berlebihan ketika akan merencanakan dan

merealisasikan suatu program rutin gereja, sulitnya jemaat mengekspresikan kreatifitasnya

dalam pelayanan-pelayanan seperti memimpin pujian dalam ibadah raya maupun kategorial,

ketidakpercayaan diri jemaat ketika akan melayankan khotbah pada ibadah-ibadah kategorial

karena jemaat lain lebih menginginkan seorang pendeta yang melayankan khotbah.

Fenomena-fenomena tersebut mungkin tidak hanya terjadi di Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi saja dan sudah berlangsung dalam jangka waktu yang lama, sehingga

hal ini menjadi refleksi kita bersama, terkhusus Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi untuk

membangkitkan kembali kepercayaan diri warga jemaat. Gereja sebagai institusi yang

memberikan pemahaman-pemahaman teologis seharusnya dapat mengambil andil dalam

memberikan pemahaman yang benar terkhusus untuk hal ini yaitu membangkitkan kesadaran

warga jemaat akan kekeliruan berpikir yang mengakibatkan warga jemaat sulit untuk

berkembang.

22

5.2. Saran.

Berdasarkan atas penelitian yang telah dilakukan, maka pada poin ini penulis hendak

memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan peran pendeta sentris dalam pandangan

warga jemaat Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi, antara lain:

1. Membangkitkan kesadaran jemaat agar gereja bertumbuh dan berkembang secara

serasi dan harmonis dan berfungsi secara efektif dan kreatif. Dengan begitu warga

jemaat yang semula takut untuk menyampaikan suaranya atau pun terjun dalam

pelayanan, dapat kembali memupuk keberaniannya dalam panggilan Tuhan Yesus.

2. Membangkitkan semangat warga jemaat bahwa mereka pun layak untuk melayani

sesama dan mengekspresikan imannya sesuai dengan gayanya masing-masing.

Pemimpin gereja pun harus memberdayakan jemaat yang memiliki kerinduan untuk

melayani pada berbagai bidang sesuai yang dikehendaki masing-masing warga

jemaat, tentunya dengan berbagai pelatihan yang diadakan secara rutin, sehingga

warga jemaat tidak hanya memiliki semangat tetapi juga memiliki bekal keterampilan

untuk bekerja di lading Tuhan.

warga jemaat Gereja Bethel Tabernakel menyadari bahwa pemimpin warga jemaat

atau pendeta bukan hanya mendukung dan menuntun berbagai pelayanan dalam jemaat, tetapi

juga harus campur tangan dalam setiap kegiatan dalam kegerejaan. Karl Rahner menjelaskan

bahwa seorang imam atau pemimpin agar memiliki fungsi pembimbing dan memiliki

kesatuan antar semua fungsi dan pemegangnya, membangun dan menopang jemaat Kristen

sebagai gereja, yakni semua fungsi yang tentu saja, sama sekali tidak dapat dimiliki secara

eksklusif oleh siapapun juga.43

Pemimpin gereja atau pendeta khususnya Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi dalam perspektif jemaat dapat dikatakan sebagai ujung tombak dari

sebuah komunitas. Warga jemaat mengharapkan sosok pemimpin yang dapat mengatur,

mengayomi, sekaligus menjadi gembala bagi kawanan domba (jemaat). Seperti yang telah

penulis jelaskan pada point sebelumnya, bahwa seorang pemimpin, khususnya Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi diharapkan turun langsung dalam setiap kegiatan kegerejaan tanpa

terkecuali.

43

Michael A. Cowan, Kepemimpinan dalam Jemaat, Kanisius, Yogyakarta, 1994 hlm. 43.

23

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

Daftar pertanyaan wawancara ini berfungsi untuk menjawab rumusan masalah pada

penelitian yang berjudul “peranan pendeta sentris dalam pandangan jemaat Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi”. Berikut daftar pertanyaan wawancara untuk menjawab rumusan

masalah bagaimana peranan pendeta sentris dalam pandangan jemaat Gereja Bethel

Tabernakel Sukabumi

Daftar pertanyaan :

1. Apa pemahaman jemaat (saudara, saudari, ibu, bapak) tentang seorang pendeta?

2. Bagaimana tugas seorang pendeta? Dan apa saja?

3. Menurut jemaat, apa saja kesibukan-kesibukan keseharian yang dilakukan seorang

pendeta?

4. Pendeta sebagai seorang pelayan harus berbuat apa saja dalam pelayanannya baik

dalam gereja maupun luar gereja?

5. Apakah seorang pendeta harus sentral dalam segala bidang pelayanan, atau apakah

semua tugas pelayanan gereja harus berpatokan pada seorang pendeta?

6. Bagaimana pemahaman jemaat tentang pendeta-sentries?

7. Menurut jemaat, pendeta itu harus seperti apa?

8. Menurut jemaat, dengan tugas dan kewajiban yang telah dilakukan seorang pendeta di

Gereja Bethel Tabernakel Sukabumi selama ini apakah jemaat setuju?

9. Jika tidak setuju, lalu bagaimana semestinya tugas dan kewajiban seorang pendeta?

10. Bagaimana pandangan jemaat ketika pendeta memberikan ide-ide dalam sebuah

perencanaan kegiatan gereja?apa alasannya?

24

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, S, Jan dan De Jonge, Chr. 2009. Apa dan Bagaimana Gereja?, Pengantar Sejarah

Eklesiologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Abineno. CH. 1983. Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Abineno. CH. 2010. Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung

Mulia.

Beek, Van, Beek. 2001. Pendampingan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Berkhof, Louis. 2012. Teologi Sistematika. Doktrin Gereja. Surabaya: Momentum.

Carolina. 2000. Education for Critical Paulo Freire Consciousness. New York: The

Continum Publishing Company.

Dahlenburg, D, G. 2012. siapakah pendeta itu?. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Engel, D, J. 2016. Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer. Jakarta: BPK Gunung

Mulia.

Engel, D, J. Konseling Suatu Fungsi Pastoral: Tisara Grafika.

Fenti, Hikmawati. 2010. Bimbingan Konseling. Jakarta: Rajawali Pers.

Freire, Paulo dan Faundez, Antonio. 1995. Belajar Bersama. Pendidikan yang Membebaskan.

Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Gibbs, Edie. 2010. Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang: membentuk dan memperbaharui

kepemimpinan yang mampu bertahan dalam zaman yang berubah. Jakarta: BPK

Gunung Mulia.

Kristya. Mesach. 2007. Diktat Konseling Pastoral: Salatiga

Locher, H, P, G. 1995. Tata Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

25

Mayeroff, Milton. 1993. Mendampingi Untuk Menumbuhkan. Jakarta-Yogyakarta: BPK

Gunung Mulia & Kanisius.

Pree, De. Leading without power.

Retnowati. 2016. Kepemimpinan Transformatif. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Rapar, Hendrik, Jan. 1996. Pengantar Logika.Yogyakarta: Kanisius.

Susabda, Yakub. 2006. Pastoral Konseling Jilid I. Malang: Gandum Mas.

Sendjaya. 2004. Kepemimpinan Konsep Karakter Kompetensi Kristen. Yogyakarta: Kairos.

Sitompul, A, A. 1980.di Pintu Gerbang Pembinaan Warga Gereja. Jakarta: BPK Gunung

Mulia.

Wongso, Peter. 1999. Theologia Pengembalaan. Malang: Departemen Literatur Saat.

Walz, Edgar. 2008. Bagaimana Mengelola Gereja Anda. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

1998. Bidang Pembinaan Gerejawi di Tengah Masyarakat, Kepemimpinan dan Pembinaan

Warga Gereja. Jakarta.

26