ABSTRAKerepo.unud.ac.id/id/eprint/5320/1/f25567e4308c2c9d70b8...mengadakan penelitian. 2. Bapak Dr....
Transcript of ABSTRAKerepo.unud.ac.id/id/eprint/5320/1/f25567e4308c2c9d70b8...mengadakan penelitian. 2. Bapak Dr....
iii
ABSTRAK
Dalam suatu perkara perdata di pengadilan pada dasarnya sekurang-
kurangnya ada 2 (dua) pihak yang bersengketa yaitu pihak penggugat yang
mengajukan gugatan ke pengadilan dan pihak yang digugat yaitu tergugat. Pihak
penggugat merasa kepentingannya atau hak-haknya dilanggar oleh tergugat. Jadi
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan sendirilah yang aktif bertindak sebagai
pihak di pengadilan. Dalam praktek ada kalanya pihak ketiga baik karena
kehendak sendiri ataupun terpaksa karena ditarik oleh salah satu pihak campur
tangan di dalam pemeriksaan perkara yang sedang berlangsung di pengadilan.
Bentuk campur tangan pihak ketiga (interventie) ada 3 macam yaitu
voeging, tussenkomst atas dasar kehendak sendiri dan vrijwaring karena ditarik ke
dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan.
Lembaga intervensi ini tidak diatur dalam hukum secara perdata positif di
Indonesia sehingga terjadi kekosongan hukum. Sedangkan praktek pengadilan
sangat membutuhkannya, untuk terlaksananya Tri Logi Peradilan yaitu sederhana,
cepat dan biaya ringan. Terjadinya kekosongan hukum, serta menimbulkan
permasalahan yaitu : bagaimanakah pengaturan masuknya pihak ketiga di dalam
proses pemeriksaan perkara perdata yang sedang berlangsung di pengadilan dan
apakah ada tenggang waktu untuk masuknya pihak ketiga di dalam proses
pemeriksaan perkara yang sedang berlangsung.
Kedua permasalahan tersebut diangkat dalam usulan penelitian ini dengan
judul “PENGATURAN LEMBAGA INTERNVENTIE DALAM
PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN. Jenis penelitian
yang dilakukan yaitu penelitian hukum normatif dengan pendekatan UU dan
regulasi yang bersangkutan dengan lembaga interventie, dengan sumber bahan
hukum primer, sekunder dan tertier. Dari hasil penelitian ditemukan dan sekaligus
merupakan jawaban terhadap permasalahan yang diajukan yaitu pengaturan
lembaga interventie dan vrijwaring diatur dalam BRV berlaku untuk golongan
Eropa yang dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdasarkan prinsip hakim wajib
mengisi kekosongan hukum baik hukum materiil maupun hukum formil serta
sungguh-sungguh diperlukan dalam praktek peradilan RV dapat digunakan
sebagai pedoman. Pengajuan interventie dan vrijwaring diajukan pada cara jawab-
menjawab sebelum pembuktian dengan pertimbangan penyederhanaan
pemeriksaan dan proses penyelesaian perkara dapat dipercepat akhirnya biaya
perkara menjadi ringan.
Kata kunci : Lembaga Interventie, Kekosongan Hukum, Tri Logi Peradilan
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas asung wara nugraha Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, maka dapatlah saya menyelesaikan laporan penelitian ini yang
berjudul PENGATURAN LEMBAGA INTERVENTIE DALAM
PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN.
Terselesainya laporan penelitian ini adalah berkat segala daya dan usaha
yang ada pada peneliti, walaupun hasil yang disajikan dirasakan masih jauh dari
harapan semua pembaca apalagi diukur dari kadar ilmiahnya, akan tetapi dengan
penelitian ini setidaknya dapat memberikan informasi kepada khalayak tentang
pengaturan dan pentingnya lembaga intervensi ini untuk dapat terwujud asas Tri
Logi Peradilan (sederhana, cepat dan biaya ringan).
Bagi diri peneliti dirasa sangat bermanfaat sekali dalam pengembangan
diri sendiri, dan pelaksaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dan akhirnya saya
peneliti pada kesempatan ini mengucapkan banyak terima kasih kehadapan yang
terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengadakan penelitian.
2. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum Perdata yang
memberi petunjuk dalam penyelesaian laporan penelitian ini.
3. Akhir kepada semua dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana dan semua
pihak yang telah membantu saya dalam penyelesaian laporan penelitian ini.
Dengan tersusunnya laporan ini, dengan segala kekurangannya, saya
sangat mengharapkan dari semua pihak yang bergelut dalam ilmu hukum, untuk
dapat memberikan kritikan dan saran untuk penyempurnaan lebih lanjut.
Denpasar, Desember 2015
Peneliti
v
DAFTAR ISI
Sampul Dalam Penelitian ................................................................................. i
Halaman Pengesahan Usulan Penelitian .......................................................... ii
Abstrak ............................................................................................................. iii
Kata Pengantar ................................................................................................. iv
Daftar Isi........................................................................................................... v
I. Pendahuluan .............................................................................................. 1
II. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
III. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2
IV. Landasan Teoritis ...................................................................................... 3
V. Metode Penelitian ..................................................................................... 4
5.1 Jenis Penelitian................................................................................... 4
5.2 Jenis Pendekatan ................................................................................ 5
5.3 Sumber Bahan Hukum ....................................................................... 6
5.4 Pengumpulan Bahan Hukum ............................................................. 7
5.5 Teknik Analisis Bahan Hukum .......................................................... 7
VI. Hasil dan Pembahasan .............................................................................. 8
VII. Penutup ..................................................................................................... 13
7.1 Kesimpulan ........................................................................................ 13
7.2 Saran .................................................................................................. 14
Daftar Pustaka
1
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dalam suatu perkara perdata pada dasarnya sekurang-kurangya ada 2
(dua) pihak yang bersengketa yaitu pihak penggugat (eiser plaintiff) pihak
yang mengajukan gugatan ke pengadilan dan pihak tergugat (gedaagde
defendant) pihak yang digugat. Biasanya orang yang langsung
berkepentingan sendirilah yang aktif bertindak sebagai pihak di muka
pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Di dalam
praktek peradilan perdata tidak jarang terjadi adanya tiga pihak dalam suatu
perkara perdata yaitu pihak penggugat, pihak tergugat dan pihak ketiga
seperti terdapat dalam putusan pengadilan Putusan No.98/PN.Dps/Pdt/1978
antara I Nyoman Sambrug (penggugat) melawan I Nengah Jagulan, Ni
Sambrug dan I Lambon (para tergugat) dan Ni Kasni sebagai pihak ketiga.
Pihak ketiga atas kehendak sendiri mencampuri sengketa yang sedang
berlangsung antara penggugat dengan tergugat di pengadilan. Ikut serta pihak
ketiga dalam perkara yang sedang berlangsung, pemeriksaan di pengadilan
disebut interventie atau campur tangan. Pihak ketiga itu disebut dengan
intervenient.
Mengacu pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Darurat No. 1 tahun
1951, hukum acara perdata pada Pengadilan Negeri dilakukan dengan
memperhatikan UU Darurat tersebut menurut peraturan-peraturan Republik
Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan Negeri dalam
daerah Republik Indonesia dahulu yang dimaksudkan oleh ketentuan Pasal 5
ayat (1). UU Darurat No. 1 tahun 1951 tersebut adalah Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui
S.1848 No.16, S1941 No.44) untuk daerah Jawa dan Madura dan
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg atau Reglemen daerah seberang S1927
No. 227) untuk luar Jawa dan Madura. Jadi hukum acara perdata positif yang
berlaku saat sekarang di Indonesia adalah HIR untuk daerah Jawa dan
Madura dan Rbg untuk daerah luar Jawa dan Madura.
2
Dalam HIR dan Rbg tidak mengatur mengenai prosedur pemeriksaan
interventie atau campur tangan pihak ketiga dalam perkara yang sedang
berlangsung karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul PENGATURAN LEMBAGA INTERVENTIE DALAM
PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dengan campur
tangannya pihak ketiga kedalam proses pemeriksaan perkara perdata yang
sedang berlangsung menimbulkan permasalahan yaitu :
1. Bagaimanakah pengaturan masuknya pihak ketiga di dalam proses
pemeriksaan perkara perdata yang sedang berlangsung di pengadilan.
2. Apakah ada tenggang waktu untuk masuknya pihak ketiga di dalam
proses pemeriksaan perkara yang sedang berlangsung.
III. TUJUAN PENELITIAN
Berkaitan dilakukan penelitian ini tentang pengaturan lembaga
interventie atau campur tangan pihak ketiga dalam proses pemeriksaan
perkara perdata yang sedang berlangsung di pengadilan diharapkan
mempunyai manfaat teoritis dan manfaat praktis.
3.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan
pemikiran dalam pembangunan hukum acara perdata nasional khususnya
keberadaan lembaga interventie yang masih diterapkan dalam praktik
pengadilan.
3.2 Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemeriksaan bagi dosen yang juga sebagai anggota Lembaga Konsultrasi
dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana dalam upaya
meningkatkan pengetahuan dan kualitas pelayanan konsultasi hukum
bagi masyarakat yang membutuhkannya.
3
Di samping tujuan tersebut di atas penelitian ini juga merupakan
bentuk perwujudan dari tugas pokok dosen yaitu melaksanakan Tri
Dharma Perguruan Tinggi yakni salah satu diantaranya Dharma
Penelitian.
IV. LANDASAN TEORITIS
Telah diuraikan dalam latar belakang masalah pada dasarnya dalam
perkara perdata ada dua pihak yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat. Ikut
campurnya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara perdata yang
sedang berlangsung dapat menimbulkan permasalahan bagi hakim dalam
melaksanakan kewajibannya berkaitan dengan dasar hukum pengaturan dan
tenggang waktu pengajuan gugatan interventie tersebut. Apakah dalam acara
jawab menjawab, replik-duplik, saat pembuktian acara kesimpulan ataukah
dapat diajukan setiap saat diperlukan.
Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
menentukan : Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Sesungguhnya pihak ketiga yang merasa hak-haknya dirugikan oleh
pihak penggugat atau pihak tergugat dapat mengajukan gugatan tersendiri
kepada masing-masing pihak tanpa mencampuri sengketa yang
pemeriksaannya sedang berlangsung. Akan tetapi keberadaan lembaga
interventie ini pada hakekatnya mempunyai makna untuk mewujudkan trilogi
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana ditentukan
dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuatan
Kehakiman yang menentukan : Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat
dan biaya ringan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pada pemeriksaan awal hanya ada dua pihak yang bersengketa yaitu
pihak penggugat dan pihak tergugat, dengan campur tangannya pihak ketiga
dalam proses pemeriksaan yang sedang berlangsung dalam pemeriksaan
4
selanjutnya terdapat tiga pihak terdiri dari pihak penggugat (asal), tergugat
(asal) dan pihak ketiga sebagai penggugat baru, berkedudukan sebagai
penggugat baru menggugat penggugat asal dan tergugat asal.
Majelis hakim yang memeriksa perkara asal, dengan masuknya
gugatan pihak ketiga (intervenient) akan memperhatikan dan
mempertimbangkan apakah intervenient mempunyai kepentingan hukum
terhadap pokok sengketa antara penggugat asal dengan tergugat asal,
selanjutnya majelis hakim akan memutuskan apakah gugatan pihak ketiga
diterima atau ditolak yang dituangkan dalam putusan sela. Berdasarkan
ketentuan Pasal 185 ayat (1) HIR Pasal 196 ayat (1) Rbg. Hakim dapat
mengambil atau menjatuhkan putusan yang bukan putusan akhir (eind vonnis)
yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan berlangsung, tidak dibuat
terpisah-pisah tetapi hanya dituliskan dicatatkan dalam berita acara
persidangan. Putusan sila tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan
dengan putusan akhir mengenai pokok perkara. Formulasi putusan sela
tidaklah berbeda dengan putusan akhir yang memuat uraian secara singkat
dan jelas tidaknya perkara, jawaban replik, duplik, lingkup pembuktian,
pertimbangan hukum, amar putusan dan biaya perkara.
Dengan adanya lembaga interventie ini yang memungkinkan campur
tangan pihak ketiga (intervenient) ke dalam proses pemeriksaan perkara yang
sedang berlangsung, maka peraturan aktif (dari hukum sengat diperlukan
sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
V. METODE PENELITIAN
5.1 Jenis Penelitian
Untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian
tentang Pengaturan Interventie dalam pemeriksaan perkara perdata di
pengadilan adalah penelitian hukum normatif. Hal ini dilakukan karena
dilihat dari sudut karakter obyek yang diteliti yang mengkhususkan pada
aturan-aturan hukum positif tertentu dan tidak terbatas norma-norma
5
hukum tetapi juga asas-asas hukum, maka karakter penelitan ini
tergolong pada penelitian hukum normatif.1
Menurut Jhony Ibrahim penelitian hukum normatif adalah
mencoba untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika claimant
hukum dari sisi normatif.2
Bertitik tolak dari permasalahan yang dibahas jenis penelitian
dalam penelitian ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif.
Dalam penelitian hukum normatif untuk memecahkan isu hukumnya dan
sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya
diperlukan sumber-sumber penelitian, menurut Peter Mahmud Marzuki,
sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-
sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-
bahan hukum sekunder.3 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan
bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi terdiri dari buku-buku
teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan.4
5.2 Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa
pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapat
informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicari
jawabannya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum
adalah: pendekatan undang-undang (statuta approach), pendekatan kasus
(case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
1 Jan Gijseis, Mark Van Hocke, 2000, Teori Hukum itu? Terjemahan B Areef Sidharta,
Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung h. 199-110 2 Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media I
3 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenadi Media Group,
Jakarta, h. 141 4 Ibid, h. 93
6
komperatif (comparative approach). Jenis pendekatan yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang
(statuta approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
yang regulasi yang bersangkut paut dengan lembaga interventie.
Di samping itu juga menggunakan pendekatan-pendekatan
konseptual, yang merupakan suatu kerangka teoritis dan konseptual yang
antara lain, berisi tentang kajian terhadap teori-teori, definisi-definisi
tertentu yang dipakai sebagai landasan operasional dalam pelaksanaan
penelitian ini.5
Dengan mempergunakan dua jenis pendekatan tersebut
diharapkan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat
ditemukan jawabannya.
5.3 Sumber Bahan Hukum
Sesuai dengan jenis penelitian normatif yang dilakukan dalam
penelitian ini, sumber bahan hukum yang digunakan dalam kajian ini
terdiri dari :
1. Sumber hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat atau bahan
hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas terdiri
dari :
a. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman LNRI tahun 2004 Nomor 8.
b. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen
Indonesia yang diperbaharui : S.1848 No. 16, S.1941 No. 44)
untuk daerah Jawa dan Madura.
c. Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg atau Reglemen daerah
seberang S.1927 No. 227) untuk daerah luar Jawa dan Madura.
5 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dan Praktik, Sinar Grafindo, Jakarta, Cet, 1
h. 30
7
d. Reglement of de Burgerlike Rechtsvordering (RV atau
Reglemen hukum acara perdata untuk golongan Eropa S.1947
No. 52, 1849 No. 63.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
kelengkapan (kejelasan) terhadap bahan hukum primer terdiri dari :
a. Literatur-literatur hukum yang relevan dengan obyek yang
diteliti.
b. Hasil penelian, artikel makalah dan bahan-bahan hukum tertulis
lainnya yang relevan dengan obyek yang diteliti.
3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk
meliputi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
yakni yang terdiri dari kamus hukum kamus bahasa Indonesia,
ensiklopedia dan sebagainya.
5.4 Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan huukum primer dikumpulkan dengan cara menginventaris,
mempelajari dan mendalami peraturan perundang-undangan di bidang
hukum acara perdata. Sedangkan bahan hukum sekunder dikumpulkan
dengan mempergunakan sistem kartu. Setiap kartu mencatat satu obyek
atau satu topik saja. Juga dicatat sumbernya seperti, nama penulis, tahun
terbitan, judul, penerbit, nama kota dan halaman yang dikutip. Dengan
cara pencatatan, diklasifikasi, diberi nomor sesuai pokok bahasan, sangat
memudahkan untuk mengambil ketika diperlukan.
5.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Setelah bahan-bahan hukum dikumpulkan terkait dengan pokok
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis
8
melalui langkah-langkah deskripsi interpretasi, sistematisasi evaluasi dan
argumentasi.6
Pendeskripsian atau penggambaran dilakukan untuk menentukan
isi atau makna dari suatu bahan hukum disesuaikan dengan permasalahan
yang ada. Sedangkan teknik interpretasi merupakan salah satu penemuan
hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks
undang-undang agar ruang lingkup sudah dapat ditetapkan, sehubungan
dengan peristiwa tertentu.
VI. HASIL DAN PEMBAHASN
Asas hukum acara perdata, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan
hak terserah kepada pihak yang berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses
atau tidak, atau apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau
tidak ke pengadilan, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang
berkepentingan.
Orang yang merasa bahwa haknya itu dilanggar disebut penggugat,
sedang bagi orang yang ditarik ke muka pengadilan karena ia dianggap
melanggar hak seseorang atau beberapa orang disebut tergugat. Jadi pada
dasarnya pihak yang berperkara di pengadilan hanyalah dua pihak, pihak
penggugat yaitu orang yang merasa bahwa haknya dilanggar dan menarik
orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara
ke depan hakim. Apabila ada lebih dari satu orang penggugat atau tergugat
mereka itu disebut penggugat I, penggugat II dan seterusnya, demikian pula
apabila ada banyak tergugat mereka disebut tergugat I, tergugat II dan
seterusnya.
Dalam praktek tidak jarang terjadi campur tangan pihak ketiga, baik
atas dasar kehendak sendiri atau karena terpaksa ditarik masuk ke dalam
perkara yang sedang berlangsung. Campur tangan pihak ketiga ke dalam
proses perkara sedang berlangsung disebut interventie atau campur tangan,
6 Anonim, 2003, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Program Pasca Sarjana Universitas
Udayana Denpasar, h. 8.9
9
sedangkan pihak ketiga yang masuk atau campur tangan ke dalam proses
perkara sedang berlangsung disebut intervenient.
Prihal campur tangan pihak ketiga intervenient ke dalam proses
perkara yang sedang berlangsung tidak ada pengaturannya di dalam hukum
acara perdata yang berlaku saat ini baik dalam Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui Stb. 1848
No.16, Stb 1941 No. 44 yang hanya berlaku untuk daerah pulau Jawa dan
Madura, Reglement Buitengewesten (RBg) atau Reglement Daerah Seberang
Stb 1927 No. 227 yang berlaku untuk daerah luat pulau Jawa dan Madura,
UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 5 tahun 2004
tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
serta UU NO. 8 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 tahun 1986
tentang Peradilan Umum akan tetapi pengaturannya terdapat dalam
Reglement de Burgelijk Rechtverderiing (Rva atau BRv) Stb 1847 No. 52, Stb
1849 nomor 63, yang hanya berlaku untuk golongan Eropa.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam praktek peradilan sesuai dengan
prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan hukum, baik dalam hukum
materiil maupun hukum formil lembaga interventie yang diatur dalam R.V.
Pasal 279 dst dan Pasal 70 RV dst dapat dipergunakan sebagai pedoman.7
Retnowulan Sutantio mempunyai pendapat yang senada menyatakan : selama
dari pada itu, untuk beberapa masalah yang tidak diatur dalam HIR dan RBg,
apabila benar-benar dirasakan perlu dan berguna bagi praktek pengadilan,
dapat dipakai peraturan-peraturan yang terdapat dalam Reglement op de
Burgelijke rechts Verdering (RV). Misalnya, perihal penggabungan
(Voeging), penjaminan (Vrigwaring) entervensi (interventie) dan rechs sipil
(request civil).8 Hal ini sesuai pula dengan perluasan penafsiran ketentuan
Pasal 393 ayat 2 HIR, yang menyebutkan bahwa : Hakim Pengadilan Negeri
apabila menganggap perlu dan benar-benar dibuthkan dalam praktek dapat
77
Anonim, 2007, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum,
Buku TI Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2007, h. 60. 8 Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 1980 Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Penerbit Alumni/1980/Bandung, h. 15
10
mengambil alih bentuk-bentuk yang tidak terdapat dan diatur dalam HIR,
misalnya Vrijwaring, Tussenkomst, Voeging dan sebagainya dari BRV.
Dalam RV terdapat 2 (dua) bentuk intervensi yaitu : menyertai
(voeging) dan menengah (tussenkomst) yang diatur dalam pasal 279-282
disamping itu dikenal pula acara pihak ketiga yang ditarik pihak ketiga dalam
suatu sengketa yang sedang berlangsung yang disebut dengan Vrijwaring
(garantie, penanggung) diterjemahkan dengan pembebasan.9
Bentuk campur tangan pihak ketiga dalam perkara yang sedang
berlangsung dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Menyertai (voeging)
Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung
kepada penggugat atau tergugat. Ikut sertanya pihak ketiga mencampuri
proses perkara yang sedang berlangsung antara penggugat dengan
tergugat atas kehendak sendiri dengan memihak salah satu pihak, pihak
penggugat atau tergugat dengan maksud melindungi kepentingannya
sendiri dengan jalan membela salah satu pihak. Pengajuan permohonan
Voegin dapat diterima pengadilan apabila telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1) Merupakan tuntutan hak
2) Adapun kepentingan hukum sendiri dengan jalan memihak atau
bergabung kepada salah satu pihak penggugat atau pihak tergugat.
3) Adanya maksud untuk melindungi kepentingan hukumnya sendiri.
4) Kepentingan hukum intervenient harus ada hubungannya dengan
pokok sengketa antara penggugat dan tergugat.
Dalam hal adanya permohonan voegring, majelis hukum memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, selanjutnya dijatuhkan
putusan sela yang dicatat dalam berita acara pemeriksaan, dan apabila
dikabulkan maka dalam putusan sela harus disebutkan kedudukan pihak
ketiga (intervenient) tersebut.
9 Sutikno Mertokusumo, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h.
34-56.
11
2. Menengahi (tussenkomst)
Tussenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam
proses perkara yang sedang berlangsung dengan alasan ada
kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak
ketiga merasa barang miliknya disengketakan oleh pihak penggugat dan
tergugat. Mengetahui barang miliknya disengketakan di pengadilan atas
kehendak sendiri pihak ketiga campur tangan terhadap proses
pemeriksaan perkara penggugat dan tergugat untuk membela
kepentingannya yang terganggu tanpa memihak masalah satu pihak.
Dalam tussenkomst sesungguhnya terdapat penggabungan
beberapa tuntutan karena intervenient mengajukan tuntutan untuk
kepentingannya sendiri di samping adanya tuntutan penggugat terhadap
tergugat. Jadi menengahi (tussenkomst) intervenient menuntut haknya
sendiri terhadap penggugat dan tergugat.
Kepentingan hukum intervenient harus ada hubungannya dengan
pokok perkara antara penggugat dan tergugat yang sedang diperiksa.
Pengajuan permohonan menengahi (tussenkomst) dapat diterima
pengadilan apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Merupakan tuntutan hak
2) Adanya kepentingan hukum sendiri dari intervenient yang terganggu
dengan adanya sengketa antara penggugat dan tergugat.
3) Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian atau
kehilangan hak, dengan mengajukan tuntutan baik kepada penggugat
dan tergugat.
4) Kepentingan hukum tersebut haruslah ada hubungannya dengan
perkara pokok yang sedang berlangsung.
Dalam hal adanya intervensi menengahi (tussenkomst) majelis
hakim memberi kesempatan untuk menanggapi selanjutnya mengambil
keputusan. Intervensi dikabulkan atau ditalak dituangkan dalam putusan
sela yang dicatat dalam berita acara persidangan. Apabila dikabulkan,
12
maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal
dan gugatan intervensi.
3. Pembebasan (Vrijwaring)
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung
jawab untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada
penggugat. Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam
proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis.
Jenis Vrijwaring ada 2 macam yang dikenal dalam RV yaitu
Vrijwaring formil (garantie formelle Pasal 72 RV). Vrijwaring formil
ditujukan pada tuntutan hak kebendaan, seperti terdapat dalam Pasal
1492 KUHPer : si penjual wajib menanggug pembeli dari gangguan
pihak ketiga terhadap barang yang dibelinya. Sedangkan Vrijwaring
simple ditujukan pada tuntutan hak yang bersifat perorangan seperti
halnya yang diatur dalam Pasal 18, 39, 1840 KUHPerdata, perjanjian
utang piutang dengan jaminan orang/penanggung (borg). Baik penggugat
maupun tergugat dapat menarik pihak ketiga di dalam sengketa dengan
jalan Vrijwaring 10 ciri-ciri Vrijwaring :
1) Merupakan penggabungan tuntutan.
2) Salah satu pihak bersengketa penggugat atau tergugat menarik pihak
ketiga di dalam sengketa yang sedang berlangsung.
3) Keikutsertaan pihak kedalam sengketa yang sedang berlangsung
karena sepaksa, bukan karena kehendak sendiri.
4) Tujuan menarik pihak ketiga di dalam proses perkara sedang
berlangsung agar pihak ketiga membebaskan pihak yang menariknya
dari kemungkinan akibat putusan tentang pokok perkara.
Terhadap perkara dengan Vrijwaring ini dijatuhkan satu putusan
yang berarti bahwa jika dalam sengketa pokok pihak tertanggung
dikalahkan sekaligus dijatuhi hukuman pula bagi penanggung untuk
kepentingan pertanggung.
Pemeriksaan perkara intervensi dilakukan bersama-sama dengan
pemeriksaan perkara pokok oleh karena itu pengajuannya haruslah
13
dilakukan pada saat sebelum acara pembuktian, didasarkan atas dasar
pertimbangan mengajukan gugatan intervensi pada saat atau setelah acara
pembuktian, maka pemeriksaan perkara menjadi rumit, oleh karena
majelis hakim akan mengulangi proses pembuktian untuk gugatan
intervinient, dapat menghambat dan menyulitkan pemeriksaan.
Pemeriksaan gugatan intervensi menjadi kewenangan pengadilan
negeri, kalau diajukan pada pengadilan tinggi tidak dapat diterima
walaupun Pengadilan Tinggi sebagai Pengadilan Yudexfactie, sebagai
pengadilan ulangan hanya berwenang memeriksa hal-hal yang telah
diputus ditingkat Pengadilan Negeri.
Pengajuan permohonan gugatan intervensi diajukan kepada
Pengadilan Negeri yang meliputi wilayah hukum perkara pokok sedang
diperiksa.
Apabila permohonan gugatan intervensi ditolak, maka putusan
tersebut merupakan putusan tersebut merupakan putusan akhir yang
dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke Pengadilan Tinggi
harus bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak
diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari
intervenient didapat diteruskan, intervenient tidak dapat diteruskan,
intervenient dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan
gugatan diterima / dikabulkan, maka putusan tersebut adalah putusan
sela, yang dicatat dalam Berita Acara dan selanjutnya pemeriksaan
perkara diteruskan dengan menggabung gugatan intervensi kedalam
perkara pokok.
VII. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan atas sumber bahan hukum primer dan sekunder yang
diteliti sebagai dasar dalam pembahasan terhadap permasalahan yang
diajukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
14
7.1.1 Pengaturan masuknya pihak ketiga (intervenient) di dalam proses
pemeriksaan perkara perda yang berlangsung tidak diatur dalam
Hukum Acara Perdata yang berlaku saat ini (HIR RBg UU No. 4
tahun 2004, UU No. 5 tahun 2004 dan UU No. 8 tahun 2004 atau
tetapi diatur dalam RV) untuk golongan Eropa yang dinyatakan
tidak berlaku. Atas dasar prinsip hakim wajib mengisi
kekosongan hukum baik dalam hukum materiil maupun hukum
formil, dan sungguh-sungguh dibutuhkan dalam praktek peradilan
ketiga lembaga hukum interventie, voeging, tussenkomst, dan
vrijwaring dapat dipergunakan dengan berpedoman pada RV.
(Pasal 279-282 dan Pasal 70-74). Hal ini sejalan dengan ketentuan
Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) UU No. 4
tahun 2004 tentang kehakiman. Kewenangan pemeriksaan
permohonan gugatan intervensi hanya ada pada Pengadilan
Negeri yang meliputi wilayah hukum dimana perkara pokok
sedang dalam proses pemeriksaan.
7.1.2 Tenggang waktu untuk masuknya pihak ketiga dalam proses
pemeriksaan perkara sedang berlangsung, diajukan saat proses
jawab menjawab sebelum proses pembuktian dengan
pertimbangan menyederhanakan pemeriksaan sehingga proses
perkara dapat dipercepat dan akhirnya biaya perkara dapat ditekan
ringan-ringannya sehingga dapat dijangkau setiap orang pencari
keadilan.
7.2 Saran
7.2.1 Disarankan kepada lembaga legislatif untuk memasukkan
lembaga intervensi ini kedalam Rancangan Hukum Acara Perdata
Nasional dan segera melakukan pembahasan dan pengerahannya
sehingga tercipta univikasi. Hukum acara perdata seperti halnya
hukum acara pidana dengan demikian akan lebih menjamin
adanya kepastian hukum.
15
7.2.2 Lembaga intervensi ini mempunyai peranan yang sangat penting
untuk mewujudkan Tri Logi Peradilan : sederhana, cepat dan
biaya ringan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anonim, 2003, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Program
Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.
Anonim, 2007, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata
Umum, Buku TI Edisi 2007, Mahkamah Agung RI.
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dan Praktik, Sinar Grafindo, Jakarta.
Jan Gijseis, Mark Van Hocke, 2000, Teori Hukum itu? Terjemahan B Areef
Sidharta, Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan, Bandung.
Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Media I.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenadi Media Group,
Jakarta.
Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 1980 Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, Penerbit Alumni/1980/Bandung.
Sutikno Mertokusumo, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia yang
diperbaharui : S.1848 No. 16, S.1941 No. 44) untuk daerah Jawa dan
Madura.
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg atau Reglemen daerah seberang S.1927
No. 227) untuk daerah luar Jawa dan Madura.
Reglement of de Burgerlike Rechtsvordering (RV atau Reglemen hukum acara
perdata untuk golongan Eropa S.1947 No. 52, 1849 No. 63.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman LNRI tahun
2004 Nomor 8.