Post on 26-Feb-2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sosiologi merupakan studi mengenai masyarakat dalam suatu
sistem sosial. Di dalam sistem sosial tersebut, masyarakat
selalu mengalami perubahan. Tidak ada masyarakat yang tidak
mengalami perubahan, walaupun dalam taraf yang paling kecil
sekalipun, masyarakat (yang di dalamnya terdiri atas banyak
sekali individu) akan selalu berubah. Perubahan tersebut dapat
berupa perubahan kecil sampai pada taraf perubahan yang sangat
besar yang mampu memberikan pengaruh yang besar bagi aktivitas
atau perilaku manusia. Perubahan itu dapat mencakup aspek yang
sempit (perilaku dan pola pikir) maupun luas (perubahan
struktur masyarakat yang nantinya dapat mempengaruhi
perkembangan masyarakat di masa yang akan datang).
Ada banyak definisi mengenai perubahan sosial (social
change) yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa diantaranya
yaitu yang dikemukankan oleh Soemardjan (dalam Martono,
2011:4), mendefinisikan perubahan sosial (social change) meliputi
segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sedangkan menurut
Laure, perubahan sosial (social change) di maknai sebagai
perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan
manusia, mulai dari tingkat individu-individu sampai dengan
tingkat dunia.
Page | 1
Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
masyarakat dari zaman ke zaman berjalan maju menuju bentuk-
bentuk kehidupan yang lebih sempurna melalui trend berpola
dengan laju kecepatan yang dapat berbeda-beda untuk kurun
zaman yang satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan tersebut
terjadilah fenomena baru yang tidak dapat ditahan yaitu
perubahan sosial (social change). Misalnya yaitu unsur-unsur
sosial-budaya dari beberapa sektor kehidupan mengalami
kemajuan berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan penemuan-
penemuan baru dalam komunikasi dan teknologi. Hal demikian itu
akan menimbulkan ruang kejiwaan baru dan gaya hidup lahiriah
yang baru pula. Namun ada satu hal yang menonjol dalam proses
perubahan itu, yaitu: bahwa agama tidak atau belum mengalami
perubahan. Dengan kata lain agama dalam situasi baru itu
tinggal tetap sama seperti titik waktu sebelumnya. Justru
keadaan agama yang tetap sama dalam situasi yang telah berubah
inilah yang menimbulkan agama mengalami dilema (Hendropuspito,
1983:127)
Dalam dilema orang dihadapkan dengan satu pilihan dari
antara dua alternatif yang berlawanan (untuk mudahnya: antara
“ya” dan “tidak”) celakanya memilih “ya” juga salah; memilih
“tidak” juga tidak benar. Pada saat agama itu menjadi
institusi dan selama masih dekat dengan saat pendiriannya,
agama itu belum mengalami kesulitan yang berarti, bahkan
sebaliknya mungkin sekali hanya mengalami keuntungan yang
menyenangkan saja. Tetapi jika agama itu memasuki zaman yang
situasi kultural dan sosialnya jauh berbeda dengan situasi
tempat berdirinya, maka agama itu akan menghadapi problem baru
Page | 2
yang sulit dipecahkan. Contohnya ialah apa yang dialami agama
islam di Iran. Seperti negara-negara berkembang lainnya dimana
masuknya pengetahuan dan teknologi modern menimbulkan
perubahan sosial yang mendalam, terutama kegoncangan susunan
nilai budaya asli di Iran yang dalam hal ini terjadi
konfrontasi tajam antara kebudayaan asli tradisional yang
bercorak islam dan kebudayaan asing yang bercorak barat. Dalam
keadaan yang demikian itu, islam dihadapkan dengan pilihan
dilematik, yaitu mempertahankan karisma islam yang asli
(otentik) atau berkompromi dengan tuntutan zaman teknologi
modern. Mengorbankan yang satu dan menerima yang lain inilah
yang dmaksud dengan dilematik, karena masing-masing dari kedua
alternatif tersebut akan disusul dengan kesulitan-kesulitan
berat.
Kenyataan konkret diatas menunjukkan bahwa apa yang
dialami agama merupakan sebagai bagian dari arus besar proses
sosial dan perubahan masyarakat yang mempunyai warna dan nada
tersendiri yang disebut dengan sekularisasi. konsep
sekularisasi mengacu kepada proses dengan pengaruh agama atas
banyak bidang kehidupan sosial secara mantap berkurang sejak
munculnya industrialisasi, urbanisasi dan rasionalisasi serta
modernisasi pada masyarakat barat (Ishomuddin, 2002:61).
Sekularisasi inilah yang ingin penulis coba kaji dalam makalah
ini. Sebab, studi yang lebih khusus mengenai sekularisasi
menerangkan bahwa istilah sekularisasi dan isi yang terkandung
di dalamnya mengalami perkembangan. Artinya disini, teori
sekularisasi mengalami perdebatan diantara para ilmuwan
sosial. Perdebatan tersebut secara umum menghasilkan tesis
Page | 3
dalam hal apakah teori sekularisasi (proses sekularisasi
mengurangi peran agama dalam kehidupan sehari-hari) masih
dapat dipertahankan? atau apakah teori sekularisasi tersebut
tidak dapat dipertahankan isinya? Sebab keyakinan-keyakinan
keagamaan besar dunia sedang mengalami kebangkitan besar. Ini
terkait dengan meningkatnya pengaruh politik gerakan-gerakan
keagamaan di banyak tempat, seperti Kristen Kanan di Amerika
Utara, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu
di India, dan fundamentalisme Islam di banyak negara, termasuk
di Eropa. Semua perkembangan ini tidak saja menggerogoti
asumsi-asumsi pokok teori sekularisasi, yang menujumkan makin
merosotnya peran agama di era modern ini, tapi juga rumusan
lama tentang pemisahan gereja dan negara.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan
masalah yaitu:
1. Apa pengertian dari sekularisasi?
2. Bagaimana pandangan para tokoh sosiologi mengenai
sekularisasi?
3. Apa dampak atau konsekuensi-konsekuensi dari pengaruh
sekularisasi terhadap agama?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari sekularisasi.
2. Untuk mengetahui pandangan para tokoh sosiologi mengenai
sekularisasi.
Page | 4
3. Untuk mengetahui sejauh mana dampak atau konsekuensi-
konsekuensi dari pengaruh sekularisasi terhadap agama.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan kontribusi dalam memaparkan pengertian dari
sekularisasi, pandangan para tokoh mengenai sekularisasi,
serta dampak dari pengaruh sekularisasi terhadap agama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sekularisasi
Dalam arus besar proses sosial dan perubahan
masyarakat dapat ditemukan satu jenis proses dan perubahan
yang mempunyai warna dan nada tersendiri, yang disebbut dengan
Page | 5
sekularisasi. istilah sekularisasi mendapat arti yang berbeda-
beda sesuai dengan konteks masalah yang sedang aktual menurut
penelitian golongan atau bangsa yang berkepentingan. misalnya
pada perundingan perdamaian di Westfalen (Jerman) tahun 1646
sekularisasi dimaksud sebagai “pencairan kekuasaan rohani”
(kedudukan dan Peraturan Suci) yang ada pada instansi agama
kristen menjadi milik umum, maka pada abad 18 pengertian
sekularisasi dikaitkan dengan masalah kekuasaan dan kekayaan
duniawi yang dimiliki para rohaniawan; kemudian pada abad 19
pengertian sekularisasi diberi arti: “penyeraahan kekuasaan
dan hak milik gereja kepada negara atau yayasan duniawi”.
Sehingga menjadi jelas bahwa diantara banyak arti yang berbeda
itu terdapat satu aspek yang sama, yaitu dua variabel yang
saling dipertentangkan: urusan agama (sakral) dan urusan
keduniawian (profan). Maksudnya kedua urusan yang berlainan
tidak boleh dicampur baurkan atau masing-masing harus
ditangani sendiri-sendiri.
Dibawah ini akan disoroti masalah sekularisasi menurut
arti kata yang lebih luas seperti yang sudah sedikit terungkap
diatas, dan yang dewasa ini diterima kalangan yang lebih luas.
Ada baiknya kita perlu membedakan pengertian sekularisasi dan
sekularisme demi jelasnya pembicaraan.
Kata “sekularisai” berasal dari kata latin “saeculum”
yang berarti “dunia”, yaitu dunia seperti apa adanya beserta
keseluruhan nilai-nilainya yang sering disebut dengan nilai
duniawi. Dalam konteks pemikiran ini, dunia dan nilai duniawi
dipisahkan sama sekali dari agama, dan demikian juga dinilai
baik. Jadi bukan hal yang jahat atau tercela. Dari kata dasar
Page | 6
“saeculum” dibentuk kata “saecularis” atau “sekular” yang
diberi arti “serba duniawi” dalam arti yang baik. Lebih lanjut
dari kata yang sama muncul pengertian “sekularisme” dan
“sekularisasi”. yang pertama termasuk golongan idiologi, dan
yang kedua berupa suatu gerakan. Sejak abad yang lalu hingga
dewasa ini terdapa dua macam sekularisme, yaitu sekularisme
ekstrem dan moderat. Akan tetapi, dalam kenyataan yang
sebagaimana terungkap dalam buku-buku dan beberapa tulisan
pengertian sekularisme hampir selalu diambil dalam arti yang
ekstrem atau negatif.
Sekularisme ekstrem ialah pandangan hidup atau idiologi
yang mencita-citakan otonomi nilai duniawi lepas dari campur
tangan Tuhan dan pengaruh agama. Dalam kerangka ini dapat
dimaksudkan semua pandangan hidup ateis, yang secara prinsipal
metodologis tidak dimaksudkan pengertia Tuhan yang transenden
dalam teori dan praktek.
Sekularisme moderat ialah pandangan hidup (idiologi) yang
mencita-citakan otonomi nilai duniawi dengan mengikutsertakan
Tuhan dan agama. Maka jenis pandangan hidup yang teis dapat
dimasukkan dalam kategori ini. Apalagi pandangan hidup yang
berdasarkan atas ajaran agama. Dua jenis sekularisme tersebut
dijabarkan dalam usaha konkret atau gerakan yang disebut
dengan sekularisasi. Jadi jelas bahwa sekularisme merupakan
sebuah idiologi, sedangkan sekularisasi merupakan suatu
gerakan sosial.
Sekularisasi adalah gerakan sosial yang diarahkan kepada
terwujudnya otonomi dunia dan nilai duniawi dengan mengikut
sertakan agama dan nilai-nilai keagamaan. Gerakan sekular yang
Page | 7
tidak mengikutsertakan Tuhan dan nilai-nilai keagamaan disebut
dengan istilah sekularisme dalam arti negatif. Maka arti
sekularisasi oleh anggapan umum dewasa ini adalah positif dan
dapat diterima, sedangkan sekularisme diberi arti jahat dan
harus ditolak. Dalam semua gerakan penduniawian
(sekularisasi) faktor kekuatan alam dan kemampuan manusia
memegan peranan utama. Faktor-faktor keagamaan yang bersifat
takhayul dan mitologis disingkirkan jauh-jauh. Tetapi nilai-
nilai religius yang telah dibersihkan dari unsur-unsur
takhayul dan mitologis dipersilakan memberkan pengaruh
baiknya. Misalnya gambaran tentang Tuhan yang kurang
sesuai/pantas yaitu Allah yang digambarkan seperti manusia
yang kejam, pemarah, suka korban hewan dan bunga-bungaan,
dll). Citra Allah yang palsu itu harus dibetulkan; dibersihkan
dari unsur-unsur takhayul dan mitologis. Dan baru setelah
manusia mempunyai gambaran yang benar tantang Allah, barulah
ia boleh memperseilakan agama berkarya dan memainkan peranan
kewenangan-Nya untuk menciptakan masyarakat manusia yang benar
manusiawi. Dengan demikian, dalam alam pikiran dan praktek
dari manusia sekular ada pembedaan tegas (bukan Penolakan)
antara nilai duniawi dan nilai supra-duniawi yang asli sejati.
Sekali lagi, “dibedakan” tidak sama dengan “disingkirkan” atau
dihapuskan dari dunia, bahkan nilai supra empiris mempunyai
tempat dan otonomi sendiri, demikian dunia empiris ini
mempunyai tempat dan otonomi sendiri.
2.2 Pandangan Para Tokoh Mengenai Sekularisasi Agama
Page | 8
Secara garis besar, ada dua kubu besar yang saling
memberikan tesisnya mengenai agama di tengah modernisasi.
Pertama, agama dipertanyakan eksistensinya dan dianggap surut
dan mengalami disfungsi terhadap kehidupan masyarakatnya di
era modern ini. Kedua, agama dimaknai sebagai ciri yang residual
(selalu ada) sebagai ciri yang lestari dan permanen dari pada
sistem-sistem sosial budaya (Martono, 2011:186).
Para pemikir sosial terkemuka abad ke 19 (Auguste Comte,
Herbert Spencer, Emile Durkheim, Marx Weber, Karl Marx dan
Sigmund Freud), yakin bahwa agama perlahan-lahan akan pudar
dan tidak begitu penting perannya bersamaan dengan makin
majunya masyarakat industri. Mereka (Auguste Comte, Herbert
Spencer, Emile Durkheim, Marx Weber, Karl Marx dan Sigmund
Freud) tidak sendirian; sejak Zaman Pencerahan, tokoh-tokoh
utama dalam filsafat, antropologi, dan psikologi juga
menyatakan bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis
simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu
yang akan memudar dalam masa modern. Sebagaimana dikemukakan
C. Wright Mills menyangkut proses ini:
“Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral—dalam pemikiran, praktik, dan
bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans, kekuatan-kekuatan
modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang
mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang-sakral. Pada waktunya,
yang-sakral akan sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah
pribai”(Pipa Norris dan Ronald Inglehart, 2011:3).
Tesis pertama mengenai agama di tengah modernisasi
berakar pada kesadaran abad ke-19 (abad pencerahan). Sikap
Page | 9
umum masyarakat pada abad ini terhadap agama kurang
bersahabat. Mereka menganggap agama sebagai sesuatu yang patut
dimusuhi atau harus dicurigai karena dianggap sebagai produk
masa lalu yang dianggap kuno, membelenggu kebebasan manusia
dan kini digantikan oleh kebenaran akal (empiris). Walaupun
ada agama, namun agama dalam masyatrakat modern merupakan
agama humanis, yaitu agama yang disesuaikan dengan ciri
positivisme (Comte) atau pandangan Nietzsche (yang menganggap
tuhan telah mati) dan Marx (yang melihat agama sebagai candu).
Bila merujuk pada tesis Comte, maka pada masanya nanti manusia
akan berpaling dari tuhannya, manusia akan berpaling dari
berbagai mitos yang tidak jelas yang sulit dibuktikan dengan
akal sehat. Tuhan bukanlah sumber kebenaran yang utama.
manusia modern beralih pada logika, logika atau nalar
merupakan sumber kebenaran tertinggi. Artinya, Manusia mulai
berkiblat pada ilmu pengetahuan. Sehingga, Agama kemudian
bukan lagi diposisikan sebagai sebuah institusi yang dimaknai
alat untuk memecahkan masalah keduniawian, namun ia justru
dipisahkan dengan masalah duniawi.
Tesis kedua mengenai agama di tengah modernisasi pada
umumnya merupakan tesis yang memperdebatkan tesis yang
sebelumnya. Tesis kedua ini dibangun atas dasar semakin
meningkatnya pengaruh politik gerakan-gerakan keagamaan di
banyak tempat, seperti Kristen Kanan di Amerika Utara,
fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di
India, fundamentalisme Islam di banyak negara, termasuk di
Eropa, menyeruaknya konflik etno-religius dalam persoalan-
persoalan internasional. Hal itu juga terkait dengan makin
Page | 10
meningkatnya minat orang kepada berbagai jenis spiritualitas,
seperti “New Age”1), yang berbeda dari bentuk-bentuk lama agama
formal. Sehingga, Semua perkembangan ini menggerogoti asumsi-
asumsi pokok teori sekularisasi klasik, yang meramalkan peran
agama pada era modern semakin merosot.
Setelah mengulas berbagai perkembangan ini, Peter L.
Berger, salah satu pendukung utama teori sekularisasi selama
1960-an, menarik kembali klaim-klaim awalnya:
“Dunia sekarang ini, dengan beberapa pengecualian,… amat sangat religius
sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih religius
ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kepustakaan
oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara longgar disebut ‘teori
sekularisasi’ pada dasarnya salah.”(Pipa Norris dan Ronald
Inglehart, 2011:4).
Dalam sebuah kritik yang sangat keras dan kuat, Rodney
Stark dan Roger Finke menyatakan bahwa inilah saatnya untuk
membuang tesis sekularisasi:
1 New Age (gerakan zaman baru), adalah suatu gerakan spiritualyang terbentuk di pertengahan abad ke-20. Merupakan gabungan darispiritualitas Timur, dan Barat, serta tradisi - tradisimetafisika yang mengemukakan suatu filsafat yang berpusatkankepada manusia. Gerakan ini mulai dikembangkan dengan munculnyalatihan-latihan pengembangan diri, seminar pengembangan diri,yoga, waitankung, seminar kata-kata motivasi, dll. Tujuannyauntuk menciptakan sebuah "spiritualitas yang tanpa batasan ataudogma-dogma yang mengikat"(http://en.wikipedia.org/wiki/New_Age).
Page | 11
“Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang sama sekali salah dan
salah menafsirkan baik masa kini dan masa lalu, sekaranglah saatnya
untuk menguburkan doktrin sekularisasi dalam makam teori-teori yang
salah, dan mendoakannya agar doktrin itu ‘beristirahat dengan
tenang.”(Pipa Norris dan Ronald Inglehart, 2011:4).
Jeffrey Hadden (1987), menegaskan bahwa tesis
sekularisasi ini secara empiris adalah palsu, karena ditopang
oleh antagonisme para sosiologi terhadap agama yang
terorganisir bila dibandingkan dengan bukti yang sistematis.
Terhadap tesis sekularisasi itu Haden memberikan bukti-bukti,
yaitu:
1. Sejak berakhirnya perang dunia kedua terjadi kebangkitan
kembali suatu agama yang umum, sekurang-kurangnya di
Amerika Serikat.
2. Dalam tahun-tahun terakhir terdapat suatu pertumbuhan
besar dalam tradisi-tradisi keagamaan yang lebih
konservatif, yakni, evanggelis dan fundamentalis.
3. Kepercayaan dan perilaku katolik amerika telah secara
dramatis dipengaruhi oleh Majelis Vatikan Kedua, dengan
akibat bahwa wewenang gereja sekarang lebih kuat dari
pada yang pernah terjadi dalam sejarah Amerika.
4. Mayoritas orang Amerika masih menyatakan percaya kepada
Tuhan.
5. Statistik keanggotaan gereja di Amerika Serikat sedikit
saja berfluktuasi dalam 40 tahun lalu, dan malah
pengunjung gereja masih tetap stabil.
Page | 12
6. Kebaktian keagamaan (misalnya berdoa) juga masih sangat
stabil dalam dekade-dekade terakhir ini.
Timothy Crippen (1988) juga menyatakan bahwa agama dalam
masyarakat modern sebenarnya sedang mengalami trasformasi dan
eksistensinya tidak menurun. Agama tradisional mungkin saja
mengalami peyusutan makna dan peran, akan tetapi kesadaran
keagamaan tetap kuat dan termanifestasikan dalam kepercayaan-
kepercayaan dan ritual-ritual baru yang sesuai dengan bentuk-
bentuk organisasi modern yang unggul dan saling tukar-menukar
(Misalnya, New Age). Meskipun makna penting agama dapat saja
berkurang, namun agama akan tetap menjadi ciri yang lestari
dan permanen dalam sitem-sistem sosial budaya. Akan tetapi,
Crippen mengakui bahwa dari sudut pandang inklusivis memang
terdapat sekularisasi yang ekstensif dalam kehidupan sosial
dalam abad terakhir ini (Ishomuddin, 2002:62). Namun menurut
Yinger (1970) agama pada akhirnya nanti akan kembali menjadi
institusi “ residual “ yaitu institusi yang selalu ada. Agama
menjadi suatu alat untuk memberikan jawaban terhadap
pertanyaan akhir, karena pertanyaan akhir selalu ada agar
dapat mengurangi ketidakpastian. Kasus gempa bumi dan tsuanami
di Aceh misalnya, menunjukkan bahwa kecanggihan dan kekuatan
teknologi yang diciptakan manusia ternyata tidak mampu melawan
kekuatan alam. Pada kasus ini manusia akan kembali pada
kepercayaan bahwa ada kekuatan lain yang berada diluar
dirinya, dan kekuatan yang berada di luar akal manusia namun
nyata keberadaanya.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi kemampuan
berpikir atau kemampuan intelektual manusia, maka manusia akanPage | 13
semakin sadar bahwa tidak semua teka-teki atau permasalahan
dapat diselesaikan dengan menggunakan akal sehat. Mereka pada
akhirnya akan kembali mempercayai hal-hal yang sifatnya di
luar akal sehat. Mereka pada akhirnya akan kembali pada agama
untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup manusia, sehingga
keberadaan agama dalam masyarakat modern akan selalu ada, dan
tidak mungkin agama akan lenyap begitu saja. Agama menjadi
institusi yang abadi. Hal ini lebih disebabkan ada empat
pertanyaan atau teka-teki yang belum dapat dipecahkan manusia
modern dengan bantuan ilmu pengetahuannya (Martono, 2011:188),
yaitu:
1. Masalah eksistensi Tuhan. Ilmu pengetahuan tidak dapat
mengatakan apa-apa mengenai hal ini. Tidak ada tabung es
yang dapat mengisolasi Tuhan atau menyanggah eksistensi
tuhan.
2. Masalah tujuan hidup. Meskipun ilmu pengetahuan dapat
memberikan suatu definisi mengenai kehidupan dan
menggambarkan ciri-ciri organisme hidup, namun ilmu
pengetahuan tidak dapat menjelaskan mengenai apa tujuan
akhir dari suatu kehidupan.
3. Masalah kehidupan alam baka. Ilmu pengetahuan sama sekali
tidak dapat memberikan informasi mengenai hal ini, karena
ia tidak memiliki alat uji yang dapat membuktikan atau
menyanggah adanya “alam baka”.
4. Masalah moralitas. Ilmu pengetahuan dapat
mendemonstrasikan konsekuensi perilaku, namun tidak dapat
menunjukkan keunggulan moral suatu tindakan jika
dibandingkan tindakan yang lain.
Page | 14
Pada intinya, dari tesis kedua mengenai agama dalam
kehidupan modern ialah: masyarakat modern, ilmu pengetahuan
dan akal sehat bukanlah satu-satunya sistem kepercayaan di
dunia modern. Akan tetapi, Agama (spiritualitas) dalam
kehidupan modern tetap menjalankan peran pokok di semua
kelompok masyarakat.
Apakah Comte, Durkheim, Weber, dan Marx sepenuhnya salah
dalam keyakinan mereka tentang kemerosotan agama dalam
masyarakat industri? Apakah pandangan sosiologis yang dominan
selama abad ke-20 sepenuhnya salah? Apakah perdebatan tersebut
telah selesai? Pipa Norris dan Ronald Inglehart dalam karya
mereka yang berjudul “Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan
Politik di Dewasa Ini” (2011:5), mengatakan:
“Pembicaraan tentang pemakaman teori sekularisasi masih terlalu dini.
Kritik-kritik di atas terlalu bersandar pada anomali-anomali tertentu dan
terlalu berfokus pada kasus-kasus Amerika Serikat (yang kebetulan
merupakan suatu kasus penyimpangan yang menonjol) dan tidak
membandingkan bukti-bukti yang ada secara sistematik di antara berbagai
macam masyarakat kaya dan miskin. Kita perlu bergerak lebih jauh dari
studi-studi tentang kehadiran di gereja Katolik dan Protestan di Eropa (di
mana kehadiran di gereja menurun) dan Amerika Serikat (di mana
kehadiran di gereja tetap stabil) jika kita ingin memahami berbagai
kecenderungan yang lebih luas dalam vitalitas keagamaan di gereja,
masjid, kelenteng, sinagog, dan kuil di seluruh dunia. Jelas bahwa tesis
sekularisasi yang lama perlu diperbarui. Jelas juga bahwa agama tidak
menghilang, dan tampaknya agama memang tidak mungkin menghilang.”
Page | 15
Pipa Norris dan Ronald Inglehart (2011:5) mengembangkan
suatu versi teori sekularisasi yang diperbaruhi, yaitu dengan
mengembangkan elemen-elemen kunci dari ulasan-ulasan
sosiologis tradisional yang menekankan kepada tingkat di mana
orang-orang mempunyai suatu rasa aman eksistensial—yakni,
perasaan bahwa kehidupan cukup aman sehingga ia bisa dijalani
begitu saja.
“Kami percaya bahwa pentingnya religiusitas terus bertahan dengan paling
kuat di kalangan masyarakat yang rentan dan terancam, khususnya
mereka yang hidup di negara-negara yang lebih miskin, yang menghadapi
berbagai risiko yang mengancam kehidupan personal. Kami beranggapan
bahwa rasa keterancaman fisik, sosial, dan personal merupakan faktor
kunci yang mendorong religiusitas, dan kami memperlihatkan bahwa
proses sekularisasi—suatu pengikisan sistematis dari praktik, nilai dan
keyakinan keagamaan—terjadi dengan paling jelas di kelompok-kelompok
sosial yang paling makmur yang hidup dalam masyarakat-masyarakat
pascaindustri yang kaya dan aman. Namun dalam masyarakat-masyarakat
yang relatif aman, sisa-sisa agama tidak musnah sama sekali; dalam
berbagai survei, sebagian besar orang Eropa masih mengungkapkan
keyakinan formal pada Tuhan, atau mengidentifikasi diri mereka sebagai
umat Katolik atau Protestan dalam bentuk-bentuk formal. Namun, dalam
masyarakat-masyarakat ini, arti penting dan vitalitas agama, yakni
pengaruh kuatnya terhadap bagaimana orang menjalani kehidupan
mereka sehari-hari, perlahan terkikis.”(Pipa Norris dan Ronald
Inglehart, 2011:6)
Page | 16
Pernyataan Pipa Norris dan Ronald Inglehart diatas
setidaknya dapat disimpulkan bahwa: rasa keamanan eksistensial
yang tidak dimiliki oleh penduduk negara miskin menjadi
pendorong bagi penduduk negara miskin tersebut untuk lebih
religius. Sedangkan pada penduduk negara kaya yang memiliki
keamanan eksistensial cenderung untuk lebih mengalami
sekularisasi, walaupun tidak keseluruhannya. Pipa Norris dan
Ronald Inglehart juga mengatakan bahwa secara keseluruhan, di
dunia sekarang ini, terdapat lebih banyak orang dengan
pandangan keagamaan tradisional dibanding sebelumnya—dan hal
ini disebabkan karena mereka merupakan bagian dari populasi
dunia yang terus bertambah.
“Dalam kenyataannya, semua negara di mana sekularisasi berlangsung
paling pesat memperlihatkan angka kesuburan jauh di bawah tingkat
penggantian—sementara masyarakat-masyarakat dengan orientasi
keagamaan tradisional memiliki angka kesuburan dua atau tiga kali lebih
tinggi dari tingkat penggantian. Masyarakat-masyarakat ini memuat
jumlah penduduk dunia yang semakin bertambah. Jurang yang makin
menganga antara (yang) sakral dan (yang) sekular di seluruh dunia
mempunyai dampak yang penting bagi perubahan budaya, masyarakat
dan politik dunia.” (Pipa Norris dan Ronald Inglehart, 2011:6)
Dari pernyataan-pernyataan Pipa Norris dan Ronald
Inglehart di atas, dapat disimpulkan bahwa terlepas dari
berbagai kecenderungan dalam sekularisasi yang terjadi di
negara-negara kaya, pengaruh sekularisasi tetap berpengaruh
terhadap negara miskin atau berkembang yang sekalipun masih
Page | 17
memiliki kepercayaan religius yang kuat. Hal ini disebabkan
oleh adanya jurang yang semakin menganga antara yang sakral
dan yang sekular di seluruh dunia. Jurang ini muncul sebagai
akibat dari semakin meningkatnya jumlah penduduk pada negara
miskin dibandingkan pada jumlah penduduk negara kaya. Sehingga
akibat lebih lanjut dari adanya Jurang antara yang sakral dan
sekuler ini adalah timbulnya perubahan budaya masyarakat dan
politik dunia. Dari fenomena ini, tidak berarti bahwa dunia
secara keseluruhan telah menjadi kurang religius, tetapi juga
menjadi lebih religius.
2.3 Konsekuensi Sekularisasi Terhadap Agama
Kemunculan agama tidak lepas dari munculnya sebuah
kesadaran dalam diri manusia mengenai kekuatan yang melebihi
kekuatan dirinya. Keberadaan zat adikodrati yang berada di
luar diri manusia sudah diyakini sejak manusia tinggal dibumi.
Keyakinan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk simbol, citra
maupun dalam berbagai ritual atas dasar nilai-nilai yang
terkandung dalam agama dengan tujuan untuk mempertahankan
eksistensi manusia. Itulah sebabnya mengapa agama disebut
sebagai institusi sosial.
Institusi sosial pada umumnya dapat didefinisikan sebagai
suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-
pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah
dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi
hukum demi tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Page | 18
Institusi religius ialah suatu bentuk organisasi yang
tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-
peranan dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu,
mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum untuk mencapai
kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia supra-empiris.
Bagi manusia religius, kepentingan akhirat merupakan
kepentingan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Itu semua
harus dapat dicapai dengan pasti, karena itu semua dijadikan
norma satu-satunya dan segalanya. Dalam hal ini nilai-nilai
religius dirumuskan daya imperatifnya menjamah daerah-daerah
kejiwaan manusia yang paling dasar, yaitu hati nurani, yang
merupakan norma perintah dari tindakan konkret dalam segala
bidang kehidupan. Apabila kaidah-kaidah moral itu dipercaya
dan diterima sebagai berasal dari tuhan sebagai norma
terakhir, maka jelaslah nilai-nilai setinggi itu harus
mendapat jaminan yang pasti, baik mengenai kelestarianya
maupun berlakunya. Jaminan yang dirasa sanggup melaksanakanya
itu adalah sebuah institusi keagamaan. Mengapa harapan itu
diletakkan atas suatu institusi? Karena didalam institusi ada
serangkaian fungsi dan peran yang harus dilakukan oleh
fungsionaris yang kompeten. Artinya, dalam agama terdapat
kumpulan-kumpulan keagamaan atau petugas-petugas yang diangkat
secara resmi dalam status jabatan yang jelas dengan tujuan
didirikannya untuk melayani kebutuhan sektoral (bagian)
keagamaan secara mantap dan mendalam. Nilai-nilai keagamaan
yang dianggap penting untuk dikembangkan dan dibina,
disebarlusakan dan dinikmati dalam kadar yang lebih besar,
mendapat pembinaan secara khusus oleh komunitas-komunitas
Page | 19
kecil, pertama bagi kepentingan anggota-anggotanya sendiri dan
kemudian untuk kepentingan umat manusia umumnya. Misalnya
nilai ketaatan, nilai hidup, nilai kasih dan pengorbanan
kepada sesama, dan lain sebagainya yang diperaktekkan oleh
pendiri agama yang bersangkutan, mendapat pembinaan khusus
dalam tarekat-tarekat dan kongregasi-kongregasi religius. Itu
semua memerlukan adanya peraturan sentral yang mengatur
hubungan vertikal dan horisontal, ortodoksinya, dan cara
hidupnya, dan batas-batas kewenanganya. Dari sudut pandang ini
adanya kekuasaan pusat tidak dapat ditiadakan (Hendropuspito,
115: 1983)
Dari pertimbangan-pertimbangan diatas dapat disimpulkan
bahwa agama berkembang menjadi bentuk institusi, demi
terjaminnya stabilitas dan kontinuitas tercapainya
kepentingan-kepentingan dasar yang berkenaan dengan dunia
akhirat, yang bagi setiap homo-religiosus tidak dapat
dibiarkan begitu saja. Sehingga, untuk mencapai kepentingan
itu diperlukan adanya peraturan sentral yang mengatur hubungan
keagamaan yang dalam hal ini keberadaan kekuasaan pusat tak
terelakkan. Atau singkatnya, agama cenderung melestarikan
eksistensinya dan kemanfaatannya bagi masyarakat dalam bentuk
organisasi.
Sebagaimana telah diterangkan di atas proses yang
demikian itu merupakan tuntutan dari agama itu sendiri.
Tegasnya, demi lestarinya agama itu sendiri dan berkat
kedudukannya yang mapan serta organisasinya yang kuat dan rapi
agama tersebut memperoleh jaminan yang pasti bahwa tugasnya
yang mulia itu dapat mencapai hasil semaksimal mungkin.Page | 20
Apalagi adanya kesadaran yang mendalam dari semua umat
beragama bahwa agamanya dipanggil Tuhan untuk melayani
kebutuhan manusia yang terdalam (yaitu kebutuhan akhirat) yang
tidak boleh dilalaikan sedikit pun untuk tetap berjuang
mencapainya. Untuk kepentingan yang luar biasa itu (supra-
empiris) harus ada jaminan yang absolut yang sanggup
memberikan rasa aman yang mendalam.
Disisi lain, sekali agama masuk dalam sistem kelembagaan
dan menjadi di suatu hal yang rutin, maka agama itu akan
menghadapi kesulitan yang timbul dari rutinitas itu. Bahkan
bukan hanya sekedar kesulitan yang dihadapinya, tetapi lebih
tepat kalau itu disebut dengan “dilema” (Hendropuspito,
1984:127). Sebab, pada saat agama itu menjadi institusi dan
selama masih dekat dengan saat pendiriannya, agama itu belum
mengalami kesulitan yang berarti. Tetapi jika agama itu
memasuki zaman yang situasi kultural dan sosialnya jauh
berbeda dengan situasi tempat berdirinya, dimana keberhasilan
manusia dalam beberapa bidang penting (ilmu pengetahuan,
teknologi dan informasi) membuat meningkatnya kesadaran
(psikologis) bahwa manusia bukan saja dapat mengontrol dunia
fisik, tetapi juga mengatur dan menentukan jalan sejarahnya
sendiri atas tanggung jawabnya sendiri inilah yang membuat
agama menghadapi problem baru yang sulit untuk dipecahkan
(dilema). Sebab, dalam keseluruhan proses perubahan itu, agama
tidak atau belum mengalami perubahan. Dengan kata lain agama
di dalam situasi baru itu tinggal tetap sama seperti pada
titik waktu sebelumnya.
Page | 21
Hendropuspito (1984) dalam bukunya yang berjudul
Sosiologi Agama, mengemukakan 4 (empat) dampak dilema yang
dihadapi setiap agama yang telah menjelma dalam institusi,
yaitu:
1. Jika agama mau mempertahankan kemurnian asli
(otentik) pendirinya sepanjang zaman dari masa ke masa
dalam pagar-pagar kepranataanya yang tak tertembus oleh
pengaruh pemikiran baru maka karisma itu tak akan
tersentuh dan tak akan berkembang. Akibatnya lebih jauh
agama itu sendiri akan kehilangan daya tariknya, karena
tidak sanggup menyajikan kekayaannya kepada manusia
menurut selera zamannya. Akan tetapi, karisma otentik itu
akan mengalami erosi dan kehilangan pamornya, jika agama
itu membiarkanya berkembang bebas dalam bentuk apa pun
dan menurut selera siapa pun juga tanpa memberikan
pembatasan-pembatasan dalam bentuk peraturan yang di
ikuti pengawasan yang cermat. Dan akibat lebih jauh dari
kebebasan yang tak terbatas itu, karisma itu akan
menguap kabur dan agama itu kehilangan fungsinya di
tengah masyarakat. Sekurang-kurangnya akan timbul
perpecahan yang terus-menerus dalam sekte-sekte yang
saling bertentangan sebagai akibat dari prinsip kebebasan
penafsiran menurut seleranya sendiri-sendiri.
2. Agama dihadapkan pula dengan pilihan yang sulit
berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kepemimpinan,
yaitu memilih kepemimpinan karismatik ataukah
kepemimpinan rasional. Di dalam agama terdapat unsur
kekuasaan dan pimpinan pada tingkat sektoral kerohanian.
Page | 22
Secara umum telah diketahui bahwa kehidupan bersama
keagamaan akan mengalami kekacauan (anarki, anomi) jika
tidak diatur dan dikemudikan oleh unsur pimpinan yang
berwewenang. Namun, jika agama memandang pimpinan sebagai
unsur yang mutlak dan harus diwujudkan dalam kenyataan
hidup sehari-hari, agama akan terbentur pada kesulitan-
kesulitan tersebut diatas. Misalnya, bila agama memilih
bentuk kepemimpinan karismatis, pilihan itu akan
mendatangkan kesulitan yang tidak kecil. Jika agama
memilih bentuk pimpinan yang rasional, agama tidak bebas
pula dari kesulitan yang tidak kalah beratnya. Memilih
bentuk kepemimpinan karismatis memang dapat mendatangkan
keuntungan, tetapi juga kerugian. Keuntungannya antara
lain: agama dapat dikembangkan dengan kepesatan yang luar
biasa berkat “karisma” yang dimiliki seorang pemimpin
karismatis. Sebab, seorang pemimpin karismatis mempunyai
bakat-bakat yang luar biasa yang berasal langsung dari
Tuhan, dan yang tidak dimiliki seorang pemimpin biasa.
Akan tetapi, kekuasaan seorang pemimpin karismatis dapat
berubah menjadi kekuasaan yang sewenang-wenang,
diktatorial, dan mutlak. Ini berarti bahwa para penganut
agama baik pada tingkat individual maupun kategorial
tidak diberi hak untuk bersuara, ikut ambil bagian dalam
menentukan garis-garis perencanaan pengembangan dan
penghayatan agama. Misalnya, pada agama Katolik tingkat
parokial, episkopal (keuskupan), tingkat universal dan
pada sektor hidup kebiaraan: keseluruhan peraturan
ditentukan oleh pimpinan tarekat atau kongregasi.
Page | 23
Kalau agama memilih alternatif yang kedua yaitu
bentuk kepemimpinan rasional, pilihan ini juga membawa
keuntungan dan kerugian. Keuntungannya antara lain:
kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemimpin agama
sudah ditutup dengan peraturan rasional yang dibuat oleh
wakil-wakil golongan yang ada dalam agama itu. Sekurang-
kurangnya itu bertindak secara diktatorial sudah
diperkecil. Namun kerugiannya adalah, bahwa agama yang
berbentuk yuridis formal akan menjurus kerutinisasi,
birokrasi, dan stagnasi.
Sejarah perkembangan agama membuktikan bahwa agama-
agama untuk menghindari dua ujung ektrem itu
(kepemimpinan karismatik dan kepeminpinan rasional)
dengan mengambil jalan tengah, yaitu memilih bentuk
kepemimpinan berupa suatu gabungan dari kepemimpinan
karismatis dan kepemimpinan rasional. Dari kombinasi
kepemimpinan tersebut terbentuk suatu kepemimpinan berupa
kekuasaan agama sama dengan kekuasaan negara (hidup
keagamaan sama dengan hidup kenegaraan). Sehingga agama
menjadi tempat penyimpanan nilai-nilai sosio-budaya dari
masyarakat. Akibatnya adalah nilai religius yang khas
milik agama tertentu menjadi tercampur baur dengan nilai
kultural masyarakat setempat, sehingga sulit dibedakan
lagi dengan jelas kekhususan ajaran agama dari unsur-
unsur budaya bangsa setempat. Contoh ektrem yang sering
terdengar ialah ungkapan berikut. “pergaulan bebas adalah
kebudayaan Kristen dan membunuh bayi perempuan adalah
identik dengan kebudayaan Hindu di India”. Tentu saja
Page | 24
asumsi-asumsi yang menyatakan hal itu merupakan bagian
dari ajaran agama tersebut tidak teruji kebenaranya.
sebab asumsi-asumsi masyarakat tersebut hanya berpatokan
pada kebudayaan suatu wilayah tertentu. Karena adanya
kecenderungan pergaulan bebas di negara-negara Barat yang
dominan beragama Kristen, sehingga sebagian masyarakat
berasumsi bahwa pergaulan bebas merupakan kebudayaan
Kristen. Sama halnya dengan di India, disana berkembang
suatu kebudayaan: bahwa seorang laki-laki memiliki
kedudukan ekonomis lebih tinggi dibandingkan seorang
perempuan (dalam hal mahar, dan bekerja mencari uang),
sehingga terjadi kecenderungan bagi pasangan yang
memiliki bayi perempuan akan membunuhnya baik pada saat
didalam kandungan maupun setelah lahir. Karena pembunuhan
bayi perempuan cenderung terjadi di masyarakat India yang
notabene beragama Hindu, sebagian masyarakat pun ber-
asumsi bahwa kebudayaan tersebut merupakan bagian dari
kebudayaan Hindu. Terlepas dari contoh itu kenyataan
bahwa suatu agama identik dengan kebudayaan suatu bangsa
menimbulkan akibat yang merugikan agama itu sendiri.
Kerugian yang harus diderita oleh agama yang
demikian itu antara lain:
a. Kredibilitas agama tersebut cenderung untuk diragukan
oleh kalangan pemeluk agama yang terdidik ( intelektual).
Karena mereka menganggap soal masuk agama menjadi hal
yang otomatis (ikut-ikutan) dan bukan merupakan hasil
jerih payah usaha mencari dan menguji secara rasional.
Sehingga, ciri khas agama adalah “ penyerahan diri secara
Page | 25
rela dan spontan” kepada Tuhan menjadi lenyap karena
orang masuk agama dengan sendiri atau paksaan lingkungan
sekitar.
b. Dengan adanya ajaran ( ideologi) agama yang bercampur
dengan sistem budaya masyarakat setempat, jiwa
konservatisme asli ( setempat) bertumbuh dan bertambah
kokoh, karena mendapat pupuk yang baik dari konservatisme
agama yang bersangkutan. Misalnya, kebudayaan (nilai dan
norma yang mengikat pada simbol-simbol yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, seperti pakaian, dan juga
mengikat perilaku masyarakatnya) di Aceh yang dipengaruhi
oleh nilai-nilai agama Islam mendapat sifat konservatif
yang lebih kuat dengan adanya legitimasi dari UU No. 44
tahun 1999 tentang penyelengaraan keistimewaan provinsi
daerah Aceh dan UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan
Aceh. Atas status Daerah Istimewa Nanggroeh Aceh
Darussalam dalam menjalankan pemerintahannya, pemerintah
Aceh dapat leluasa memperkuat sistem budaya yang bercorak
Islam ke dalam peraturan daerahnya. Contohnya: diwajibkan
memakai jilbab bagi perempuan Muslim di tempat umum, dan
hukum cambuk bagi yang melakukan perjudian, pencurian dan
bentuk maksiat lainnya.
c. Kerugian lain yang timbul selanjutnya ialah: kehidupan
agama yang dikendalikan oleh pemimpin yang religius
bersama dengan pemimpin sekuler (profan) mengundang
munculnya intoleransi ( tidak tenggang rasa) terhadap
golongan lain. Situasi demikian itu dijumpai dalam
sejarah semua agama besar. Proses kejadiaan mulai
Page | 26
diikuti. Karena adanya rasa saling membutuhkan
perlindungan antara pemimpin agama dengan pemimpin
rasional. Maksudnya, pemimpin agama membutuhkan kekuasaan
negara untuk menarik kembali orang-orang yang ragu
terhadap keimanan kepada ketaatan yang ikhlas. Sedangkan
pemimpin negara membutuhkan agama untuk melestarikan
nilai-nilai sosial. Maka pemimpin negara cenderung
melindungi agama dan lembaga-lembaga keagamaan dari
ancaman bahaya. Dari rasa saling butuh perlindungan itu
terbentuklah persekutuan. Kedua kekuasaan itu bersama-
sama bekerja untuk menegakkan agama sebagaimana mestinya.
Sehingga golongan masyarakat yang dianggap lemah imannya
karena tidak menemukan kepuasan hati dari agama yang
dianutnya dengan membuat agama baru atau sekte-sekte yang
dianggap sesat dilakukan pembersihan dengan mengejaran,
penganiayaan bahkan pembunuhan oleh masyarakat agama dari
unsur-unsur penyesatan tersebut. Gerakan pembersihan
tersebut pun dapat dukungan (restu) entah diam-diam atau
terang-terangan dari pemimpin rasional (pemerintahan
negara). Bukan hanya sekte-sekte sesat yang dibersihkan
dengan pengejaran, penganiayaan dan pembunuhan, tetapi
kaum kafir (pemabuk, penjudi, penzina, dll) sebagai biang
keladi semua ketidakberesan di negara itu juga
dibersihkan dan pemimpin agama setempat membiarkan hal
demikian itu terjadi. Misalnya: seperti yang dikabarkan
oleh Kantor Berita Radio Nasional melalui
rri.co.id/index.php/berita tanggal 24 Mei 2013, bahwa “Ormas
Islam Almanar Cirebon Grebek Pimpinan Aliran Sesat
Page | 27
Munadzaf”. Dan juga dalam radarcirebon.com yang mengabarkan
bahwa ormas Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat
(GAPAS) grebek tokoh miras di Kecamatan Kedawung,
Kabupaten Cirebon pada 9 Maret 2013.
Jadi kesimpulannya ialah, bahwa persekutuan dari
pimpinan agama dengan pimpinan masyarakat mendatangkan
sikap-sikap intoleransi dan membuat agama itu sendiri tak
berfungsi baik (disfungsional) yang diakibatkan oleh
adanya unsur-unsur pengejaran, penganiayaan bahkan
pembunuhan. Akibatnya, situasi itu menimbulkan gerakan
anti agama (anti ormas).
3. Dilema simbolisasi keagamaan. Agama-agama berusaha
untuk menjelaskan hal-hal rohaniah yang abstrak dan
supra-empiris, dengan lambang-lambang yang diambil dari
dunia benda yang konkret mudah ditangkap oleh
pancaindera. Peng-obyek-an perkara rohani ke dalam
simbol-simbol akan menimbulkan kesulitan. Pertama lambang
yang menandakan hakikat rohani yang dilambangkan. Kedua
yang berkenaan dengan tata sikap terhadap benda lambang
tersebut. Misalnya seperti Hijab Style.
Peng-obyek-an perkara rohani dalam lambang itu tidak
dapat disangkal bahwa itu bukan hanya mengurangi, tetapi
juga menghilangkan arti dan makna yang sebernarnya
(aslinya) yang hendak dikomunikasikan kepada manusia dan
dinikmati olehnya. Pikiran dan perasaan manusia
dibelokkan kepada “benda tiruan” yang dapat menyesatkan
dari yang sebenarnya. Dalam hal ini, orang tidak
Page | 28
mengalami pengisian, melainkan pengasingan (alienasi) dan
pengosongan.
Dilema simbolisasi keagamaan yang selanjutnya yaitu
berupa simbol ritual atau upacara keagamaan (liturgi).
Upacara keagamaan yang di ulang berkali-kali akan
menimbulkan rasa bosan dan frustasi. Orang diharuskan
melakukan gerakan rutin, ikut hanyut dalam arus otomatis
yang harus dipercayai sebagai sarana mutlak untuk
mendapatkan nilai rohani yang diinginkan. Di sini orang
dihadapkan dengan dilema: kalau orang tidak ikut dalam
upacara rutin itu mereka tidak akan mendapat apa-apa;
bahkan merasa berdosa karena tidak menaati perintah
Tuhan. Tetapi bila ia ikut, ia malah merasa bosan dan
kecewa.
4. Unsur- unsur keagamaan lain yang menimbulkan dilema,
misalnya peraturan- peraturan moralistis yang dikeluarkan
berabad- abad yang lalu namun masih berlaku bagi umat
yang hidup dalam zaman modern. Kebanyakan berupa larangan
atau pantangan, misalnya larangan meminta bunga untuk
uang yang dipinjamkan, larangan penggunaan alat-alat
kontrasepsi modern, dll.
Dari penelusuran terbatas di atas, tentang luasnya dan
dalamnya permasalahan yang dihadapi semua agama dalam
kehidupan sekuler dapat ditarik kesimpulan bahwa: sebagai
fenomena sosial yang berbentuk institusi bukan hanya agama
yang mengalami dilema dalam kehidupan sekuler tetapi juga
dialami oleh masyarakat (disebabkan oleh adanya perselisihan,
Page | 29
intoleransi, penganiayaan, dll). Dan celakanya lagi ialah,
untuk menghilangkan atau sekurang-kurangnya menipiskan keadaan
tersebut harus ditempuh melalui rintangan-rintangan yang
dilematik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sekularisasi merupakan suatu bagian dari arus besar
proses sosial dan perubahan sosial di dalam masyarakat. Arti
sekularisasi dalam perkembanganya mendapat arti yang berbeda-
beda sesuai dengan konteks masalah yang sedang aktual menurut
penelitian golongan atau bangsa yang berkepentingan. akan
tetapi, masalah sekularisasi menurut arti kata yang lebih
luas, sekularisasi mengandung arti: suatu gerakan (sosial)
yang diarahkan kepada terwujudnya otonomi dunia dan nilai
duniawi dengan mengikutsertakan agama dan nilai-nilai
keagamaan. Sedangkan gerakan sekular yang tidak
mengikutsertakan Tuhan dan nilai-nilai keagamaan disebut
dengan istilah sekularisme (dalam arti negatif).
Sekularisasi oleh para pakar sosiologi pun mendapat
pandangan yang berbeda-beda, bahkan perdebatan. Perdebatan
para sosiolog mengenai sekularisasi ini umumnya dapat di bagi
kedalam dua kubu. Kubu pertama, adalah kubu yang memandang
Page | 30
agama perlahan-lahan akan pudar dan tidak begitu penting
perannya bersamaan dengan makin majunya masyarakat industri
atau sekular. Sedangkan kubu kedua memandang bahwa agama dalam
masyarakat modern sebenarnya sedang mengalami trasformasi dan
eksistensinya tidak menurun. Kekuatan nalar manusia modern
ternyata tidak mampu mengalahkan kekuatan agama yang penuh
dengan teka-teki. Kecanggihan teknologi tetap saja tidak mampu
memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi manusia. Pada
akhirnya, manusia akan kembali mengakui eksistensi agama,
agama menjadi institusi yang abadi.
Terlepas dari eksistensi agama sebagai institusi yang
abadi, ternyata agama dalam kehidupan sosial yang terus
berkembang tidak lepas dari kesulitan-kesulitan yang mana
Hendropuspito dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Agama
(1987: 127) disebut dengan dilema. Dilema yang dialami agama
disebabkan oleh semakin maju dan kompleksitasnya kehidupan
modern tidak dibarengi dengan adanya perubahan agama (pranata-
pranata) yang sesuai dengan keinginan manusia modern. Artinya:
agama dalam situasi baru itu tinggal tetap sama seperti pada
titik waktu sebelumnya (saat pendiriannya).
Setidaknya ada beberapa dilema yang dialami agama dalam
kehidupan modern, yaitu:
1. dilema yang dialami institusi agama jika agama mau
mempertahankan kemurnian aslinya atau membiarkan ajaran
agama berkembang bebas sesuai dengan keinginan manusia.
2. Dilema yang dialami institusi agama yang berkenaan dengan
masalah kekuasaan atau kepemimpinan (antara pemimpin
karismatis atau pemimpin rasional).
Page | 31
3. Dilema agama dalam hal simbolisasi keagamaan.
4. Dilema dalam hal-hal peraturan moralitas dimasa lalu.
Bukan hanya agama yang mengalami dilema dalam kehidupan
sekuler tetapi juga dialami oleh masyarakat (disebabkan oleh
adanya perselisihan, intoleransi, penganiayaan, dll). Dari
fenomena ini, tidak berarti bahwa dunia secara keseluruhan
telah menjadi kurang religius, tetapi juga menjadi lebih
religius.
Page | 32
DAFTAR PUSTAKA
Martono, Nanang. 2011. Sosiologi perubahan sosial:
perspektif klasik, modern, post modern, dan poskolonial.
Jakarta: Rajawali Pers
Robertson, Roland. 1988. Agama: Dalam Analisis dan
Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali Pers
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta
Selatan: Ghalia Indonesia
Agus, Bustanuddin. 2003. Sosiologi Agama. Padang:
Universitas Andalas Press
Hendropuspito. 1984. Sosiologi Agama.Yogyakarta:
Kanisius
Norris Pipa, Ronald Inglehart. 2011. Sekularisasi
Ditinjau Kembali: Agama dan Politik di Dewasa Ini.
Jakarta: Yayasan Abad Demokrasihttp://en.wikipedia.org/wiki/New_Age
Page | 33