sekularisme

33
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sosiologi merupakan studi mengenai masyarakat dalam suatu sistem sosial. Di dalam sistem sosial tersebut, masyarakat selalu mengalami perubahan. Tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, walaupun dalam taraf yang paling kecil sekalipun, masyarakat (yang di dalamnya terdiri atas banyak sekali individu) akan selalu berubah. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan kecil sampai pada taraf perubahan yang sangat besar yang mampu memberikan pengaruh yang besar bagi aktivitas atau perilaku manusia. Perubahan itu dapat mencakup aspek yang sempit (perilaku dan pola pikir) maupun luas (perubahan struktur masyarakat yang nantinya dapat mempengaruhi perkembangan masyarakat di masa yang akan datang). Ada banyak definisi mengenai perubahan sosial (social change) yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa diantaranya yaitu yang dikemukankan oleh Soemardjan (dalam Martono, 2011:4), mendefinisikan perubahan sosial (social change) meliputi segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sedangkan menurut Laure, perubahan sosial (social change) di maknai sebagai perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individu-individu sampai dengan tingkat dunia. Page | 1

Transcript of sekularisme

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sosiologi merupakan studi mengenai masyarakat dalam suatu

sistem sosial. Di dalam sistem sosial tersebut, masyarakat

selalu mengalami perubahan. Tidak ada masyarakat yang tidak

mengalami perubahan, walaupun dalam taraf yang paling kecil

sekalipun, masyarakat (yang di dalamnya terdiri atas banyak

sekali individu) akan selalu berubah. Perubahan tersebut dapat

berupa perubahan kecil sampai pada taraf perubahan yang sangat

besar yang mampu memberikan pengaruh yang besar bagi aktivitas

atau perilaku manusia. Perubahan itu dapat mencakup aspek yang

sempit (perilaku dan pola pikir) maupun luas (perubahan

struktur masyarakat yang nantinya dapat mempengaruhi

perkembangan masyarakat di masa yang akan datang).

Ada banyak definisi mengenai perubahan sosial (social

change) yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa diantaranya

yaitu yang dikemukankan oleh Soemardjan (dalam Martono,

2011:4), mendefinisikan perubahan sosial (social change) meliputi

segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan

di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya,

termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di

antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sedangkan menurut

Laure, perubahan sosial (social change) di maknai sebagai

perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan

manusia, mulai dari tingkat individu-individu sampai dengan

tingkat dunia.

Page | 1

Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

masyarakat dari zaman ke zaman berjalan maju menuju bentuk-

bentuk kehidupan yang lebih sempurna melalui trend berpola

dengan laju kecepatan yang dapat berbeda-beda untuk kurun

zaman yang satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan tersebut

terjadilah fenomena baru yang tidak dapat ditahan yaitu

perubahan sosial (social change). Misalnya yaitu unsur-unsur

sosial-budaya dari beberapa sektor kehidupan mengalami

kemajuan berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan penemuan-

penemuan baru dalam komunikasi dan teknologi. Hal demikian itu

akan menimbulkan ruang kejiwaan baru dan gaya hidup lahiriah

yang baru pula. Namun ada satu hal yang menonjol dalam proses

perubahan itu, yaitu: bahwa agama tidak atau belum mengalami

perubahan. Dengan kata lain agama dalam situasi baru itu

tinggal tetap sama seperti titik waktu sebelumnya. Justru

keadaan agama yang tetap sama dalam situasi yang telah berubah

inilah yang menimbulkan agama mengalami dilema (Hendropuspito,

1983:127)

Dalam dilema orang dihadapkan dengan satu pilihan dari

antara dua alternatif yang berlawanan (untuk mudahnya: antara

“ya” dan “tidak”) celakanya memilih “ya” juga salah; memilih

“tidak” juga tidak benar. Pada saat agama itu menjadi

institusi dan selama masih dekat dengan saat pendiriannya,

agama itu belum mengalami kesulitan yang berarti, bahkan

sebaliknya mungkin sekali hanya mengalami keuntungan yang

menyenangkan saja. Tetapi jika agama itu memasuki zaman yang

situasi kultural dan sosialnya jauh berbeda dengan situasi

tempat berdirinya, maka agama itu akan menghadapi problem baru

Page | 2

yang sulit dipecahkan. Contohnya ialah apa yang dialami agama

islam di Iran. Seperti negara-negara berkembang lainnya dimana

masuknya pengetahuan dan teknologi modern menimbulkan

perubahan sosial yang mendalam, terutama kegoncangan susunan

nilai budaya asli di Iran yang dalam hal ini terjadi

konfrontasi tajam antara kebudayaan asli tradisional yang

bercorak islam dan kebudayaan asing yang bercorak barat. Dalam

keadaan yang demikian itu, islam dihadapkan dengan pilihan

dilematik, yaitu mempertahankan karisma islam yang asli

(otentik) atau berkompromi dengan tuntutan zaman teknologi

modern. Mengorbankan yang satu dan menerima yang lain inilah

yang dmaksud dengan dilematik, karena masing-masing dari kedua

alternatif tersebut akan disusul dengan kesulitan-kesulitan

berat.

Kenyataan konkret diatas menunjukkan bahwa apa yang

dialami agama merupakan sebagai bagian dari arus besar proses

sosial dan perubahan masyarakat yang mempunyai warna dan nada

tersendiri yang disebut dengan sekularisasi. konsep

sekularisasi mengacu kepada proses dengan pengaruh agama atas

banyak bidang kehidupan sosial secara mantap berkurang sejak

munculnya industrialisasi, urbanisasi dan rasionalisasi serta

modernisasi pada masyarakat barat (Ishomuddin, 2002:61).

Sekularisasi inilah yang ingin penulis coba kaji dalam makalah

ini. Sebab, studi yang lebih khusus mengenai sekularisasi

menerangkan bahwa istilah sekularisasi dan isi yang terkandung

di dalamnya mengalami perkembangan. Artinya disini, teori

sekularisasi mengalami perdebatan diantara para ilmuwan

sosial. Perdebatan tersebut secara umum menghasilkan tesis

Page | 3

dalam hal apakah teori sekularisasi (proses sekularisasi

mengurangi peran agama dalam kehidupan sehari-hari) masih

dapat dipertahankan? atau apakah teori sekularisasi tersebut

tidak dapat dipertahankan isinya? Sebab keyakinan-keyakinan

keagamaan besar dunia sedang mengalami kebangkitan besar. Ini

terkait dengan meningkatnya pengaruh politik gerakan-gerakan

keagamaan di banyak tempat, seperti Kristen Kanan di Amerika

Utara, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu

di India, dan fundamentalisme Islam di banyak negara, termasuk

di Eropa. Semua perkembangan ini tidak saja menggerogoti

asumsi-asumsi pokok teori sekularisasi, yang menujumkan makin

merosotnya peran agama di era modern ini, tapi juga rumusan

lama tentang pemisahan gereja dan negara.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan

masalah yaitu:

1. Apa pengertian dari sekularisasi?

2. Bagaimana pandangan para tokoh sosiologi mengenai

sekularisasi?

3. Apa dampak atau konsekuensi-konsekuensi dari pengaruh

sekularisasi terhadap agama?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui apa pengertian dari sekularisasi.

2. Untuk mengetahui pandangan para tokoh sosiologi mengenai

sekularisasi.

Page | 4

3. Untuk mengetahui sejauh mana dampak atau konsekuensi-

konsekuensi dari pengaruh sekularisasi terhadap agama.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk

memberikan kontribusi dalam memaparkan pengertian dari

sekularisasi, pandangan para tokoh mengenai sekularisasi,

serta dampak dari pengaruh sekularisasi terhadap agama.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sekularisasi

Dalam arus besar proses sosial dan perubahan

masyarakat dapat ditemukan satu jenis proses dan perubahan

yang mempunyai warna dan nada tersendiri, yang disebbut dengan

Page | 5

sekularisasi. istilah sekularisasi mendapat arti yang berbeda-

beda sesuai dengan konteks masalah yang sedang aktual menurut

penelitian golongan atau bangsa yang berkepentingan. misalnya

pada perundingan perdamaian di Westfalen (Jerman) tahun 1646

sekularisasi dimaksud sebagai “pencairan kekuasaan rohani”

(kedudukan dan Peraturan Suci) yang ada pada instansi agama

kristen menjadi milik umum, maka pada abad 18 pengertian

sekularisasi dikaitkan dengan masalah kekuasaan dan kekayaan

duniawi yang dimiliki para rohaniawan; kemudian pada abad 19

pengertian sekularisasi diberi arti: “penyeraahan kekuasaan

dan hak milik gereja kepada negara atau yayasan duniawi”.

Sehingga menjadi jelas bahwa diantara banyak arti yang berbeda

itu terdapat satu aspek yang sama, yaitu dua variabel yang

saling dipertentangkan: urusan agama (sakral) dan urusan

keduniawian (profan). Maksudnya kedua urusan yang berlainan

tidak boleh dicampur baurkan atau masing-masing harus

ditangani sendiri-sendiri.

Dibawah ini akan disoroti masalah sekularisasi menurut

arti kata yang lebih luas seperti yang sudah sedikit terungkap

diatas, dan yang dewasa ini diterima kalangan yang lebih luas.

Ada baiknya kita perlu membedakan pengertian sekularisasi dan

sekularisme demi jelasnya pembicaraan.

Kata “sekularisai” berasal dari kata latin “saeculum”

yang berarti “dunia”, yaitu dunia seperti apa adanya beserta

keseluruhan nilai-nilainya yang sering disebut dengan nilai

duniawi. Dalam konteks pemikiran ini, dunia dan nilai duniawi

dipisahkan sama sekali dari agama, dan demikian juga dinilai

baik. Jadi bukan hal yang jahat atau tercela. Dari kata dasar

Page | 6

“saeculum” dibentuk kata “saecularis” atau “sekular” yang

diberi arti “serba duniawi” dalam arti yang baik. Lebih lanjut

dari kata yang sama muncul pengertian “sekularisme” dan

“sekularisasi”. yang pertama termasuk golongan idiologi, dan

yang kedua berupa suatu gerakan. Sejak abad yang lalu hingga

dewasa ini terdapa dua macam sekularisme, yaitu sekularisme

ekstrem dan moderat. Akan tetapi, dalam kenyataan yang

sebagaimana terungkap dalam buku-buku dan beberapa tulisan

pengertian sekularisme hampir selalu diambil dalam arti yang

ekstrem atau negatif.

Sekularisme ekstrem ialah pandangan hidup atau idiologi

yang mencita-citakan otonomi nilai duniawi lepas dari campur

tangan Tuhan dan pengaruh agama. Dalam kerangka ini dapat

dimaksudkan semua pandangan hidup ateis, yang secara prinsipal

metodologis tidak dimaksudkan pengertia Tuhan yang transenden

dalam teori dan praktek.

Sekularisme moderat ialah pandangan hidup (idiologi) yang

mencita-citakan otonomi nilai duniawi dengan mengikutsertakan

Tuhan dan agama. Maka jenis pandangan hidup yang teis dapat

dimasukkan dalam kategori ini. Apalagi pandangan hidup yang

berdasarkan atas ajaran agama. Dua jenis sekularisme tersebut

dijabarkan dalam usaha konkret atau gerakan yang disebut

dengan sekularisasi. Jadi jelas bahwa sekularisme merupakan

sebuah idiologi, sedangkan sekularisasi merupakan suatu

gerakan sosial.

Sekularisasi adalah gerakan sosial yang diarahkan kepada

terwujudnya otonomi dunia dan nilai duniawi dengan mengikut

sertakan agama dan nilai-nilai keagamaan. Gerakan sekular yang

Page | 7

tidak mengikutsertakan Tuhan dan nilai-nilai keagamaan disebut

dengan istilah sekularisme dalam arti negatif. Maka arti

sekularisasi oleh anggapan umum dewasa ini adalah positif dan

dapat diterima, sedangkan sekularisme diberi arti jahat dan

harus ditolak. Dalam semua gerakan penduniawian

(sekularisasi) faktor kekuatan alam dan kemampuan manusia

memegan peranan utama. Faktor-faktor keagamaan yang bersifat

takhayul dan mitologis disingkirkan jauh-jauh. Tetapi nilai-

nilai religius yang telah dibersihkan dari unsur-unsur

takhayul dan mitologis dipersilakan memberkan pengaruh

baiknya. Misalnya gambaran tentang Tuhan yang kurang

sesuai/pantas yaitu Allah yang digambarkan seperti manusia

yang kejam, pemarah, suka korban hewan dan bunga-bungaan,

dll). Citra Allah yang palsu itu harus dibetulkan; dibersihkan

dari unsur-unsur takhayul dan mitologis. Dan baru setelah

manusia mempunyai gambaran yang benar tantang Allah, barulah

ia boleh memperseilakan agama berkarya dan memainkan peranan

kewenangan-Nya untuk menciptakan masyarakat manusia yang benar

manusiawi. Dengan demikian, dalam alam pikiran dan praktek

dari manusia sekular ada pembedaan tegas (bukan Penolakan)

antara nilai duniawi dan nilai supra-duniawi yang asli sejati.

Sekali lagi, “dibedakan” tidak sama dengan “disingkirkan” atau

dihapuskan dari dunia, bahkan nilai supra empiris mempunyai

tempat dan otonomi sendiri, demikian dunia empiris ini

mempunyai tempat dan otonomi sendiri.

2.2 Pandangan Para Tokoh Mengenai Sekularisasi Agama

Page | 8

Secara garis besar, ada dua kubu besar yang saling

memberikan tesisnya mengenai agama di tengah modernisasi.

Pertama, agama dipertanyakan eksistensinya dan dianggap surut

dan mengalami disfungsi terhadap kehidupan masyarakatnya di

era modern ini. Kedua, agama dimaknai sebagai ciri yang residual

(selalu ada) sebagai ciri yang lestari dan permanen dari pada

sistem-sistem sosial budaya (Martono, 2011:186).

Para pemikir sosial terkemuka abad ke 19 (Auguste Comte,

Herbert Spencer, Emile Durkheim, Marx Weber, Karl Marx dan

Sigmund Freud), yakin bahwa agama perlahan-lahan akan pudar

dan tidak begitu penting perannya bersamaan dengan makin

majunya masyarakat industri. Mereka (Auguste Comte, Herbert

Spencer, Emile Durkheim, Marx Weber, Karl Marx dan Sigmund

Freud) tidak sendirian; sejak Zaman Pencerahan, tokoh-tokoh

utama dalam filsafat, antropologi, dan psikologi juga

menyatakan bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis

simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu

yang akan memudar dalam masa modern. Sebagaimana dikemukakan

C. Wright Mills menyangkut proses ini:

“Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral—dalam pemikiran, praktik, dan

bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans, kekuatan-kekuatan

modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang

mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang-sakral. Pada waktunya,

yang-sakral akan sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah

pribai”(Pipa Norris dan Ronald Inglehart, 2011:3).

Tesis pertama mengenai agama di tengah modernisasi

berakar pada kesadaran abad ke-19 (abad pencerahan). Sikap

Page | 9

umum masyarakat pada abad ini terhadap agama kurang

bersahabat. Mereka menganggap agama sebagai sesuatu yang patut

dimusuhi atau harus dicurigai karena dianggap sebagai produk

masa lalu yang dianggap kuno, membelenggu kebebasan manusia

dan kini digantikan oleh kebenaran akal (empiris). Walaupun

ada agama, namun agama dalam masyatrakat modern merupakan

agama humanis, yaitu agama yang disesuaikan dengan ciri

positivisme (Comte) atau pandangan Nietzsche (yang menganggap

tuhan telah mati) dan Marx (yang melihat agama sebagai candu).

Bila merujuk pada tesis Comte, maka pada masanya nanti manusia

akan berpaling dari tuhannya, manusia akan berpaling dari

berbagai mitos yang tidak jelas yang sulit dibuktikan dengan

akal sehat. Tuhan bukanlah sumber kebenaran yang utama.

manusia modern beralih pada logika, logika atau nalar

merupakan sumber kebenaran tertinggi. Artinya, Manusia mulai

berkiblat pada ilmu pengetahuan. Sehingga, Agama kemudian

bukan lagi diposisikan sebagai sebuah institusi yang dimaknai

alat untuk memecahkan masalah keduniawian, namun ia justru

dipisahkan dengan masalah duniawi.

Tesis kedua mengenai agama di tengah modernisasi pada

umumnya merupakan tesis yang memperdebatkan tesis yang

sebelumnya. Tesis kedua ini dibangun atas dasar semakin

meningkatnya pengaruh politik gerakan-gerakan keagamaan di

banyak tempat, seperti Kristen Kanan di Amerika Utara,

fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di

India, fundamentalisme Islam di banyak negara, termasuk di

Eropa, menyeruaknya konflik etno-religius dalam persoalan-

persoalan internasional. Hal itu juga terkait dengan makin

Page | 10

meningkatnya minat orang kepada berbagai jenis spiritualitas,

seperti “New Age”1), yang berbeda dari bentuk-bentuk lama agama

formal. Sehingga, Semua perkembangan ini menggerogoti asumsi-

asumsi pokok teori sekularisasi klasik, yang meramalkan peran

agama pada era modern semakin merosot.

Setelah mengulas berbagai perkembangan ini, Peter L.

Berger, salah satu pendukung utama teori sekularisasi selama

1960-an, menarik kembali klaim-klaim awalnya:

“Dunia sekarang ini, dengan beberapa pengecualian,… amat sangat religius

sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih religius

ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kepustakaan

oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara longgar disebut ‘teori

sekularisasi’ pada dasarnya salah.”(Pipa Norris dan Ronald

Inglehart, 2011:4).

Dalam sebuah kritik yang sangat keras dan kuat, Rodney

Stark dan Roger Finke menyatakan bahwa inilah saatnya untuk

membuang tesis sekularisasi:

1 New Age (gerakan zaman baru), adalah suatu gerakan spiritualyang terbentuk di pertengahan abad ke-20. Merupakan gabungan darispiritualitas Timur, dan Barat, serta tradisi - tradisimetafisika yang mengemukakan suatu filsafat yang berpusatkankepada manusia. Gerakan ini mulai dikembangkan dengan munculnyalatihan-latihan pengembangan diri, seminar pengembangan diri,yoga, waitankung, seminar kata-kata motivasi, dll. Tujuannyauntuk menciptakan sebuah "spiritualitas yang tanpa batasan ataudogma-dogma yang mengikat"(http://en.wikipedia.org/wiki/New_Age).

Page | 11

“Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang sama sekali salah dan

salah menafsirkan baik masa kini dan masa lalu, sekaranglah saatnya

untuk menguburkan doktrin sekularisasi dalam makam teori-teori yang

salah, dan mendoakannya agar doktrin itu ‘beristirahat dengan

tenang.”(Pipa Norris dan Ronald Inglehart, 2011:4).

Jeffrey Hadden (1987), menegaskan bahwa tesis

sekularisasi ini secara empiris adalah palsu, karena ditopang

oleh antagonisme para sosiologi terhadap agama yang

terorganisir bila dibandingkan dengan bukti yang sistematis.

Terhadap tesis sekularisasi itu Haden memberikan bukti-bukti,

yaitu:

1. Sejak berakhirnya perang dunia kedua terjadi kebangkitan

kembali suatu agama yang umum, sekurang-kurangnya di

Amerika Serikat.

2. Dalam tahun-tahun terakhir terdapat suatu pertumbuhan

besar dalam tradisi-tradisi keagamaan yang lebih

konservatif, yakni, evanggelis dan fundamentalis.

3. Kepercayaan dan perilaku katolik amerika telah secara

dramatis dipengaruhi oleh Majelis Vatikan Kedua, dengan

akibat bahwa wewenang gereja sekarang lebih kuat dari

pada yang pernah terjadi dalam sejarah Amerika.

4. Mayoritas orang Amerika masih menyatakan percaya kepada

Tuhan.

5. Statistik keanggotaan gereja di Amerika Serikat sedikit

saja berfluktuasi dalam 40 tahun lalu, dan malah

pengunjung gereja masih tetap stabil.

Page | 12

6. Kebaktian keagamaan (misalnya berdoa) juga masih sangat

stabil dalam dekade-dekade terakhir ini.

Timothy Crippen (1988) juga menyatakan bahwa agama dalam

masyarakat modern sebenarnya sedang mengalami trasformasi dan

eksistensinya tidak menurun. Agama tradisional mungkin saja

mengalami peyusutan makna dan peran, akan tetapi kesadaran

keagamaan tetap kuat dan termanifestasikan dalam kepercayaan-

kepercayaan dan ritual-ritual baru yang sesuai dengan bentuk-

bentuk organisasi modern yang unggul dan saling tukar-menukar

(Misalnya, New Age). Meskipun makna penting agama dapat saja

berkurang, namun agama akan tetap menjadi ciri yang lestari

dan permanen dalam sitem-sistem sosial budaya. Akan tetapi,

Crippen mengakui bahwa dari sudut pandang inklusivis memang

terdapat sekularisasi yang ekstensif dalam kehidupan sosial

dalam abad terakhir ini (Ishomuddin, 2002:62). Namun menurut

Yinger (1970) agama pada akhirnya nanti akan kembali menjadi

institusi “ residual “ yaitu institusi yang selalu ada. Agama

menjadi suatu alat untuk memberikan jawaban terhadap

pertanyaan akhir, karena pertanyaan akhir selalu ada agar

dapat mengurangi ketidakpastian. Kasus gempa bumi dan tsuanami

di Aceh misalnya, menunjukkan bahwa kecanggihan dan kekuatan

teknologi yang diciptakan manusia ternyata tidak mampu melawan

kekuatan alam. Pada kasus ini manusia akan kembali pada

kepercayaan bahwa ada kekuatan lain yang berada diluar

dirinya, dan kekuatan yang berada di luar akal manusia namun

nyata keberadaanya.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi kemampuan

berpikir atau kemampuan intelektual manusia, maka manusia akanPage | 13

semakin sadar bahwa tidak semua teka-teki atau permasalahan

dapat diselesaikan dengan menggunakan akal sehat. Mereka pada

akhirnya akan kembali mempercayai hal-hal yang sifatnya di

luar akal sehat. Mereka pada akhirnya akan kembali pada agama

untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup manusia, sehingga

keberadaan agama dalam masyarakat modern akan selalu ada, dan

tidak mungkin agama akan lenyap begitu saja. Agama menjadi

institusi yang abadi. Hal ini lebih disebabkan ada empat

pertanyaan atau teka-teki yang belum dapat dipecahkan manusia

modern dengan bantuan ilmu pengetahuannya (Martono, 2011:188),

yaitu:

1. Masalah eksistensi Tuhan. Ilmu pengetahuan tidak dapat

mengatakan apa-apa mengenai hal ini. Tidak ada tabung es

yang dapat mengisolasi Tuhan atau menyanggah eksistensi

tuhan.

2. Masalah tujuan hidup. Meskipun ilmu pengetahuan dapat

memberikan suatu definisi mengenai kehidupan dan

menggambarkan ciri-ciri organisme hidup, namun ilmu

pengetahuan tidak dapat menjelaskan mengenai apa tujuan

akhir dari suatu kehidupan.

3. Masalah kehidupan alam baka. Ilmu pengetahuan sama sekali

tidak dapat memberikan informasi mengenai hal ini, karena

ia tidak memiliki alat uji yang dapat membuktikan atau

menyanggah adanya “alam baka”.

4. Masalah moralitas. Ilmu pengetahuan dapat

mendemonstrasikan konsekuensi perilaku, namun tidak dapat

menunjukkan keunggulan moral suatu tindakan jika

dibandingkan tindakan yang lain.

Page | 14

Pada intinya, dari tesis kedua mengenai agama dalam

kehidupan modern ialah: masyarakat modern, ilmu pengetahuan

dan akal sehat bukanlah satu-satunya sistem kepercayaan di

dunia modern. Akan tetapi, Agama (spiritualitas) dalam

kehidupan modern tetap menjalankan peran pokok di semua

kelompok masyarakat.

Apakah Comte, Durkheim, Weber, dan Marx sepenuhnya salah

dalam keyakinan mereka tentang kemerosotan agama dalam

masyarakat industri? Apakah pandangan sosiologis yang dominan

selama abad ke-20 sepenuhnya salah? Apakah perdebatan tersebut

telah selesai? Pipa Norris dan Ronald Inglehart dalam karya

mereka yang berjudul “Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan

Politik di Dewasa Ini” (2011:5), mengatakan:

“Pembicaraan tentang pemakaman teori sekularisasi masih terlalu dini.

Kritik-kritik di atas terlalu bersandar pada anomali-anomali tertentu dan

terlalu berfokus pada kasus-kasus Amerika Serikat (yang kebetulan

merupakan suatu kasus penyimpangan yang menonjol) dan tidak

membandingkan bukti-bukti yang ada secara sistematik di antara berbagai

macam masyarakat kaya dan miskin. Kita perlu bergerak lebih jauh dari

studi-studi tentang kehadiran di gereja Katolik dan Protestan di Eropa (di

mana kehadiran di gereja menurun) dan Amerika Serikat (di mana

kehadiran di gereja tetap stabil) jika kita ingin memahami berbagai

kecenderungan yang lebih luas dalam vitalitas keagamaan di gereja,

masjid, kelenteng, sinagog, dan kuil di seluruh dunia. Jelas bahwa tesis

sekularisasi yang lama perlu diperbarui. Jelas juga bahwa agama tidak

menghilang, dan tampaknya agama memang tidak mungkin menghilang.”

Page | 15

Pipa Norris dan Ronald Inglehart (2011:5) mengembangkan

suatu versi teori sekularisasi yang diperbaruhi, yaitu dengan

mengembangkan elemen-elemen kunci dari ulasan-ulasan

sosiologis tradisional yang menekankan kepada tingkat di mana

orang-orang mempunyai suatu rasa aman eksistensial—yakni,

perasaan bahwa kehidupan cukup aman sehingga ia bisa dijalani

begitu saja.

“Kami percaya bahwa pentingnya religiusitas terus bertahan dengan paling

kuat di kalangan masyarakat yang rentan dan terancam, khususnya

mereka yang hidup di negara-negara yang lebih miskin, yang menghadapi

berbagai risiko yang mengancam kehidupan personal. Kami beranggapan

bahwa rasa keterancaman fisik, sosial, dan personal merupakan faktor

kunci yang mendorong religiusitas, dan kami memperlihatkan bahwa

proses sekularisasi—suatu pengikisan sistematis dari praktik, nilai dan

keyakinan keagamaan—terjadi dengan paling jelas di kelompok-kelompok

sosial yang paling makmur yang hidup dalam masyarakat-masyarakat

pascaindustri yang kaya dan aman. Namun dalam masyarakat-masyarakat

yang relatif aman, sisa-sisa agama tidak musnah sama sekali; dalam

berbagai survei, sebagian besar orang Eropa masih mengungkapkan

keyakinan formal pada Tuhan, atau mengidentifikasi diri mereka sebagai

umat Katolik atau Protestan dalam bentuk-bentuk formal. Namun, dalam

masyarakat-masyarakat ini, arti penting dan vitalitas agama, yakni

pengaruh kuatnya terhadap bagaimana orang menjalani kehidupan

mereka sehari-hari, perlahan terkikis.”(Pipa Norris dan Ronald

Inglehart, 2011:6)

Page | 16

Pernyataan Pipa Norris dan Ronald Inglehart diatas

setidaknya dapat disimpulkan bahwa: rasa keamanan eksistensial

yang tidak dimiliki oleh penduduk negara miskin menjadi

pendorong bagi penduduk negara miskin tersebut untuk lebih

religius. Sedangkan pada penduduk negara kaya yang memiliki

keamanan eksistensial cenderung untuk lebih mengalami

sekularisasi, walaupun tidak keseluruhannya. Pipa Norris dan

Ronald Inglehart juga mengatakan bahwa secara keseluruhan, di

dunia sekarang ini, terdapat lebih banyak orang dengan

pandangan keagamaan tradisional dibanding sebelumnya—dan hal

ini disebabkan karena mereka merupakan bagian dari populasi

dunia yang terus bertambah.

“Dalam kenyataannya, semua negara di mana sekularisasi berlangsung

paling pesat memperlihatkan angka kesuburan jauh di bawah tingkat

penggantian—sementara masyarakat-masyarakat dengan orientasi

keagamaan tradisional memiliki angka kesuburan dua atau tiga kali lebih

tinggi dari tingkat penggantian. Masyarakat-masyarakat ini memuat

jumlah penduduk dunia yang semakin bertambah. Jurang yang makin

menganga antara (yang) sakral dan (yang) sekular di seluruh dunia

mempunyai dampak yang penting bagi perubahan budaya, masyarakat

dan politik dunia.” (Pipa Norris dan Ronald Inglehart, 2011:6)

Dari pernyataan-pernyataan Pipa Norris dan Ronald

Inglehart di atas, dapat disimpulkan bahwa terlepas dari

berbagai kecenderungan dalam sekularisasi yang terjadi di

negara-negara kaya, pengaruh sekularisasi tetap berpengaruh

terhadap negara miskin atau berkembang yang sekalipun masih

Page | 17

memiliki kepercayaan religius yang kuat. Hal ini disebabkan

oleh adanya jurang yang semakin menganga antara yang sakral

dan yang sekular di seluruh dunia. Jurang ini muncul sebagai

akibat dari semakin meningkatnya jumlah penduduk pada negara

miskin dibandingkan pada jumlah penduduk negara kaya. Sehingga

akibat lebih lanjut dari adanya Jurang antara yang sakral dan

sekuler ini adalah timbulnya perubahan budaya masyarakat dan

politik dunia. Dari fenomena ini, tidak berarti bahwa dunia

secara keseluruhan telah menjadi kurang religius, tetapi juga

menjadi lebih religius.

2.3 Konsekuensi Sekularisasi Terhadap Agama

Kemunculan agama tidak lepas dari munculnya sebuah

kesadaran dalam diri manusia mengenai kekuatan yang melebihi

kekuatan dirinya. Keberadaan zat adikodrati yang berada di

luar diri manusia sudah diyakini sejak manusia tinggal dibumi.

Keyakinan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk simbol, citra

maupun dalam berbagai ritual atas dasar nilai-nilai yang

terkandung dalam agama dengan tujuan untuk mempertahankan

eksistensi manusia. Itulah sebabnya mengapa agama disebut

sebagai institusi sosial.

Institusi sosial pada umumnya dapat didefinisikan sebagai

suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-

pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah

dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi

hukum demi tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.

Page | 18

Institusi religius ialah suatu bentuk organisasi yang

tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-

peranan dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu,

mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum untuk mencapai

kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia supra-empiris.

Bagi manusia religius, kepentingan akhirat merupakan

kepentingan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Itu semua

harus dapat dicapai dengan pasti, karena itu semua dijadikan

norma satu-satunya dan segalanya. Dalam hal ini nilai-nilai

religius dirumuskan daya imperatifnya menjamah daerah-daerah

kejiwaan manusia yang paling dasar, yaitu hati nurani, yang

merupakan norma perintah dari tindakan konkret dalam segala

bidang kehidupan. Apabila kaidah-kaidah moral itu dipercaya

dan diterima sebagai berasal dari tuhan sebagai norma

terakhir, maka jelaslah nilai-nilai setinggi itu harus

mendapat jaminan yang pasti, baik mengenai kelestarianya

maupun berlakunya. Jaminan yang dirasa sanggup melaksanakanya

itu adalah sebuah institusi keagamaan. Mengapa harapan itu

diletakkan atas suatu institusi? Karena didalam institusi ada

serangkaian fungsi dan peran yang harus dilakukan oleh

fungsionaris yang kompeten. Artinya, dalam agama terdapat

kumpulan-kumpulan keagamaan atau petugas-petugas yang diangkat

secara resmi dalam status jabatan yang jelas dengan tujuan

didirikannya untuk melayani kebutuhan sektoral (bagian)

keagamaan secara mantap dan mendalam. Nilai-nilai keagamaan

yang dianggap penting untuk dikembangkan dan dibina,

disebarlusakan dan dinikmati dalam kadar yang lebih besar,

mendapat pembinaan secara khusus oleh komunitas-komunitas

Page | 19

kecil, pertama bagi kepentingan anggota-anggotanya sendiri dan

kemudian untuk kepentingan umat manusia umumnya. Misalnya

nilai ketaatan, nilai hidup, nilai kasih dan pengorbanan

kepada sesama, dan lain sebagainya yang diperaktekkan oleh

pendiri agama yang bersangkutan, mendapat pembinaan khusus

dalam tarekat-tarekat dan kongregasi-kongregasi religius. Itu

semua memerlukan adanya peraturan sentral yang mengatur

hubungan vertikal dan horisontal, ortodoksinya, dan cara

hidupnya, dan batas-batas kewenanganya. Dari sudut pandang ini

adanya kekuasaan pusat tidak dapat ditiadakan (Hendropuspito,

115: 1983)

Dari pertimbangan-pertimbangan diatas dapat disimpulkan

bahwa agama berkembang menjadi bentuk institusi, demi

terjaminnya stabilitas dan kontinuitas tercapainya

kepentingan-kepentingan dasar yang berkenaan dengan dunia

akhirat, yang bagi setiap homo-religiosus tidak dapat

dibiarkan begitu saja. Sehingga, untuk mencapai kepentingan

itu diperlukan adanya peraturan sentral yang mengatur hubungan

keagamaan yang dalam hal ini keberadaan kekuasaan pusat tak

terelakkan. Atau singkatnya, agama cenderung melestarikan

eksistensinya dan kemanfaatannya bagi masyarakat dalam bentuk

organisasi.

Sebagaimana telah diterangkan di atas proses yang

demikian itu merupakan tuntutan dari agama itu sendiri.

Tegasnya, demi lestarinya agama itu sendiri dan berkat

kedudukannya yang mapan serta organisasinya yang kuat dan rapi

agama tersebut memperoleh jaminan yang pasti bahwa tugasnya

yang mulia itu dapat mencapai hasil semaksimal mungkin.Page | 20

Apalagi adanya kesadaran yang mendalam dari semua umat

beragama bahwa agamanya dipanggil Tuhan untuk melayani

kebutuhan manusia yang terdalam (yaitu kebutuhan akhirat) yang

tidak boleh dilalaikan sedikit pun untuk tetap berjuang

mencapainya. Untuk kepentingan yang luar biasa itu (supra-

empiris) harus ada jaminan yang absolut yang sanggup

memberikan rasa aman yang mendalam.

Disisi lain, sekali agama masuk dalam sistem kelembagaan

dan menjadi di suatu hal yang rutin, maka agama itu akan

menghadapi kesulitan yang timbul dari rutinitas itu. Bahkan

bukan hanya sekedar kesulitan yang dihadapinya, tetapi lebih

tepat kalau itu disebut dengan “dilema” (Hendropuspito,

1984:127). Sebab, pada saat agama itu menjadi institusi dan

selama masih dekat dengan saat pendiriannya, agama itu belum

mengalami kesulitan yang berarti. Tetapi jika agama itu

memasuki zaman yang situasi kultural dan sosialnya jauh

berbeda dengan situasi tempat berdirinya, dimana keberhasilan

manusia dalam beberapa bidang penting (ilmu pengetahuan,

teknologi dan informasi) membuat meningkatnya kesadaran

(psikologis) bahwa manusia bukan saja dapat mengontrol dunia

fisik, tetapi juga mengatur dan menentukan jalan sejarahnya

sendiri atas tanggung jawabnya sendiri inilah yang membuat

agama menghadapi problem baru yang sulit untuk dipecahkan

(dilema). Sebab, dalam keseluruhan proses perubahan itu, agama

tidak atau belum mengalami perubahan. Dengan kata lain agama

di dalam situasi baru itu tinggal tetap sama seperti pada

titik waktu sebelumnya.

Page | 21

Hendropuspito (1984) dalam bukunya yang berjudul

Sosiologi Agama, mengemukakan 4 (empat) dampak dilema yang

dihadapi setiap agama yang telah menjelma dalam institusi,

yaitu:

1. Jika agama mau mempertahankan kemurnian asli

(otentik) pendirinya sepanjang zaman dari masa ke masa

dalam pagar-pagar kepranataanya yang tak tertembus oleh

pengaruh pemikiran baru maka karisma itu tak akan

tersentuh dan tak akan berkembang. Akibatnya lebih jauh

agama itu sendiri akan kehilangan daya tariknya, karena

tidak sanggup menyajikan kekayaannya kepada manusia

menurut selera zamannya. Akan tetapi, karisma otentik itu

akan mengalami erosi dan kehilangan pamornya, jika agama

itu membiarkanya berkembang bebas dalam bentuk apa pun

dan menurut selera siapa pun juga tanpa memberikan

pembatasan-pembatasan dalam bentuk peraturan yang di

ikuti pengawasan yang cermat. Dan akibat lebih jauh dari

kebebasan yang tak terbatas itu, karisma itu akan

menguap kabur dan agama itu kehilangan fungsinya di

tengah masyarakat. Sekurang-kurangnya akan timbul

perpecahan yang terus-menerus dalam sekte-sekte yang

saling bertentangan sebagai akibat dari prinsip kebebasan

penafsiran menurut seleranya sendiri-sendiri.

2. Agama dihadapkan pula dengan pilihan yang sulit

berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kepemimpinan,

yaitu memilih kepemimpinan karismatik ataukah

kepemimpinan rasional. Di dalam agama terdapat unsur

kekuasaan dan pimpinan pada tingkat sektoral kerohanian.

Page | 22

Secara umum telah diketahui bahwa kehidupan bersama

keagamaan akan mengalami kekacauan (anarki, anomi) jika

tidak diatur dan dikemudikan oleh unsur pimpinan yang

berwewenang. Namun, jika agama memandang pimpinan sebagai

unsur yang mutlak dan harus diwujudkan dalam kenyataan

hidup sehari-hari, agama akan terbentur pada kesulitan-

kesulitan tersebut diatas. Misalnya, bila agama memilih

bentuk kepemimpinan karismatis, pilihan itu akan

mendatangkan kesulitan yang tidak kecil. Jika agama

memilih bentuk pimpinan yang rasional, agama tidak bebas

pula dari kesulitan yang tidak kalah beratnya. Memilih

bentuk kepemimpinan karismatis memang dapat mendatangkan

keuntungan, tetapi juga kerugian. Keuntungannya antara

lain: agama dapat dikembangkan dengan kepesatan yang luar

biasa berkat “karisma” yang dimiliki seorang pemimpin

karismatis. Sebab, seorang pemimpin karismatis mempunyai

bakat-bakat yang luar biasa yang berasal langsung dari

Tuhan, dan yang tidak dimiliki seorang pemimpin biasa.

Akan tetapi, kekuasaan seorang pemimpin karismatis dapat

berubah menjadi kekuasaan yang sewenang-wenang,

diktatorial, dan mutlak. Ini berarti bahwa para penganut

agama baik pada tingkat individual maupun kategorial

tidak diberi hak untuk bersuara, ikut ambil bagian dalam

menentukan garis-garis perencanaan pengembangan dan

penghayatan agama. Misalnya, pada agama Katolik tingkat

parokial, episkopal (keuskupan), tingkat universal dan

pada sektor hidup kebiaraan: keseluruhan peraturan

ditentukan oleh pimpinan tarekat atau kongregasi.

Page | 23

Kalau agama memilih alternatif yang kedua yaitu

bentuk kepemimpinan rasional, pilihan ini juga membawa

keuntungan dan kerugian. Keuntungannya antara lain:

kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemimpin agama

sudah ditutup dengan peraturan rasional yang dibuat oleh

wakil-wakil golongan yang ada dalam agama itu. Sekurang-

kurangnya itu bertindak secara diktatorial sudah

diperkecil. Namun kerugiannya adalah, bahwa agama yang

berbentuk yuridis formal akan menjurus kerutinisasi,

birokrasi, dan stagnasi.

Sejarah perkembangan agama membuktikan bahwa agama-

agama untuk menghindari dua ujung ektrem itu

(kepemimpinan karismatik dan kepeminpinan rasional)

dengan mengambil jalan tengah, yaitu memilih bentuk

kepemimpinan berupa suatu gabungan dari kepemimpinan

karismatis dan kepemimpinan rasional. Dari kombinasi

kepemimpinan tersebut terbentuk suatu kepemimpinan berupa

kekuasaan agama sama dengan kekuasaan negara (hidup

keagamaan sama dengan hidup kenegaraan). Sehingga agama

menjadi tempat penyimpanan nilai-nilai sosio-budaya dari

masyarakat. Akibatnya adalah nilai religius yang khas

milik agama tertentu menjadi tercampur baur dengan nilai

kultural masyarakat setempat, sehingga sulit dibedakan

lagi dengan jelas kekhususan ajaran agama dari unsur-

unsur budaya bangsa setempat. Contoh ektrem yang sering

terdengar ialah ungkapan berikut. “pergaulan bebas adalah

kebudayaan Kristen dan membunuh bayi perempuan adalah

identik dengan kebudayaan Hindu di India”. Tentu saja

Page | 24

asumsi-asumsi yang menyatakan hal itu merupakan bagian

dari ajaran agama tersebut tidak teruji kebenaranya.

sebab asumsi-asumsi masyarakat tersebut hanya berpatokan

pada kebudayaan suatu wilayah tertentu. Karena adanya

kecenderungan pergaulan bebas di negara-negara Barat yang

dominan beragama Kristen, sehingga sebagian masyarakat

berasumsi bahwa pergaulan bebas merupakan kebudayaan

Kristen. Sama halnya dengan di India, disana berkembang

suatu kebudayaan: bahwa seorang laki-laki memiliki

kedudukan ekonomis lebih tinggi dibandingkan seorang

perempuan (dalam hal mahar, dan bekerja mencari uang),

sehingga terjadi kecenderungan bagi pasangan yang

memiliki bayi perempuan akan membunuhnya baik pada saat

didalam kandungan maupun setelah lahir. Karena pembunuhan

bayi perempuan cenderung terjadi di masyarakat India yang

notabene beragama Hindu, sebagian masyarakat pun ber-

asumsi bahwa kebudayaan tersebut merupakan bagian dari

kebudayaan Hindu. Terlepas dari contoh itu kenyataan

bahwa suatu agama identik dengan kebudayaan suatu bangsa

menimbulkan akibat yang merugikan agama itu sendiri.

Kerugian yang harus diderita oleh agama yang

demikian itu antara lain:

a. Kredibilitas agama tersebut cenderung untuk diragukan

oleh kalangan pemeluk agama yang terdidik ( intelektual).

Karena mereka menganggap soal masuk agama menjadi hal

yang otomatis (ikut-ikutan) dan bukan merupakan hasil

jerih payah usaha mencari dan menguji secara rasional.

Sehingga, ciri khas agama adalah “ penyerahan diri secara

Page | 25

rela dan spontan” kepada Tuhan menjadi lenyap karena

orang masuk agama dengan sendiri atau paksaan lingkungan

sekitar.

b. Dengan adanya ajaran ( ideologi) agama yang bercampur

dengan sistem budaya masyarakat setempat, jiwa

konservatisme asli ( setempat) bertumbuh dan bertambah

kokoh, karena mendapat pupuk yang baik dari konservatisme

agama yang bersangkutan. Misalnya, kebudayaan (nilai dan

norma yang mengikat pada simbol-simbol yang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari, seperti pakaian, dan juga

mengikat perilaku masyarakatnya) di Aceh yang dipengaruhi

oleh nilai-nilai agama Islam mendapat sifat konservatif

yang lebih kuat dengan adanya legitimasi dari UU No. 44

tahun 1999 tentang penyelengaraan keistimewaan provinsi

daerah Aceh dan UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan

Aceh. Atas status Daerah Istimewa Nanggroeh Aceh

Darussalam dalam menjalankan pemerintahannya, pemerintah

Aceh dapat leluasa memperkuat sistem budaya yang bercorak

Islam ke dalam peraturan daerahnya. Contohnya: diwajibkan

memakai jilbab bagi perempuan Muslim di tempat umum, dan

hukum cambuk bagi yang melakukan perjudian, pencurian dan

bentuk maksiat lainnya.

c. Kerugian lain yang timbul selanjutnya ialah: kehidupan

agama yang dikendalikan oleh pemimpin yang religius

bersama dengan pemimpin sekuler (profan) mengundang

munculnya intoleransi ( tidak tenggang rasa) terhadap

golongan lain. Situasi demikian itu dijumpai dalam

sejarah semua agama besar. Proses kejadiaan mulai

Page | 26

diikuti. Karena adanya rasa saling membutuhkan

perlindungan antara pemimpin agama dengan pemimpin

rasional. Maksudnya, pemimpin agama membutuhkan kekuasaan

negara untuk menarik kembali orang-orang yang ragu

terhadap keimanan kepada ketaatan yang ikhlas. Sedangkan

pemimpin negara membutuhkan agama untuk melestarikan

nilai-nilai sosial. Maka pemimpin negara cenderung

melindungi agama dan lembaga-lembaga keagamaan dari

ancaman bahaya. Dari rasa saling butuh perlindungan itu

terbentuklah persekutuan. Kedua kekuasaan itu bersama-

sama bekerja untuk menegakkan agama sebagaimana mestinya.

Sehingga golongan masyarakat yang dianggap lemah imannya

karena tidak menemukan kepuasan hati dari agama yang

dianutnya dengan membuat agama baru atau sekte-sekte yang

dianggap sesat dilakukan pembersihan dengan mengejaran,

penganiayaan bahkan pembunuhan oleh masyarakat agama dari

unsur-unsur penyesatan tersebut. Gerakan pembersihan

tersebut pun dapat dukungan (restu) entah diam-diam atau

terang-terangan dari pemimpin rasional (pemerintahan

negara). Bukan hanya sekte-sekte sesat yang dibersihkan

dengan pengejaran, penganiayaan dan pembunuhan, tetapi

kaum kafir (pemabuk, penjudi, penzina, dll) sebagai biang

keladi semua ketidakberesan di negara itu juga

dibersihkan dan pemimpin agama setempat membiarkan hal

demikian itu terjadi. Misalnya: seperti yang dikabarkan

oleh Kantor Berita Radio Nasional melalui

rri.co.id/index.php/berita tanggal 24 Mei 2013, bahwa “Ormas

Islam Almanar Cirebon Grebek Pimpinan Aliran Sesat

Page | 27

Munadzaf”. Dan juga dalam radarcirebon.com yang mengabarkan

bahwa ormas Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat

(GAPAS) grebek tokoh miras di Kecamatan Kedawung,

Kabupaten Cirebon pada 9 Maret 2013.

Jadi kesimpulannya ialah, bahwa persekutuan dari

pimpinan agama dengan pimpinan masyarakat mendatangkan

sikap-sikap intoleransi dan membuat agama itu sendiri tak

berfungsi baik (disfungsional) yang diakibatkan oleh

adanya unsur-unsur pengejaran, penganiayaan bahkan

pembunuhan. Akibatnya, situasi itu menimbulkan gerakan

anti agama (anti ormas).

3. Dilema simbolisasi keagamaan. Agama-agama berusaha

untuk menjelaskan hal-hal rohaniah yang abstrak dan

supra-empiris, dengan lambang-lambang yang diambil dari

dunia benda yang konkret mudah ditangkap oleh

pancaindera. Peng-obyek-an perkara rohani ke dalam

simbol-simbol akan menimbulkan kesulitan. Pertama lambang

yang menandakan hakikat rohani yang dilambangkan. Kedua

yang berkenaan dengan tata sikap terhadap benda lambang

tersebut. Misalnya seperti Hijab Style.

Peng-obyek-an perkara rohani dalam lambang itu tidak

dapat disangkal bahwa itu bukan hanya mengurangi, tetapi

juga menghilangkan arti dan makna yang sebernarnya

(aslinya) yang hendak dikomunikasikan kepada manusia dan

dinikmati olehnya. Pikiran dan perasaan manusia

dibelokkan kepada “benda tiruan” yang dapat menyesatkan

dari yang sebenarnya. Dalam hal ini, orang tidak

Page | 28

mengalami pengisian, melainkan pengasingan (alienasi) dan

pengosongan.

Dilema simbolisasi keagamaan yang selanjutnya yaitu

berupa simbol ritual atau upacara keagamaan (liturgi).

Upacara keagamaan yang di ulang berkali-kali akan

menimbulkan rasa bosan dan frustasi. Orang diharuskan

melakukan gerakan rutin, ikut hanyut dalam arus otomatis

yang harus dipercayai sebagai sarana mutlak untuk

mendapatkan nilai rohani yang diinginkan. Di sini orang

dihadapkan dengan dilema: kalau orang tidak ikut dalam

upacara rutin itu mereka tidak akan mendapat apa-apa;

bahkan merasa berdosa karena tidak menaati perintah

Tuhan. Tetapi bila ia ikut, ia malah merasa bosan dan

kecewa.

4. Unsur- unsur keagamaan lain yang menimbulkan dilema,

misalnya peraturan- peraturan moralistis yang dikeluarkan

berabad- abad yang lalu namun masih berlaku bagi umat

yang hidup dalam zaman modern. Kebanyakan berupa larangan

atau pantangan, misalnya larangan meminta bunga untuk

uang yang dipinjamkan, larangan penggunaan alat-alat

kontrasepsi modern, dll.

Dari penelusuran terbatas di atas, tentang luasnya dan

dalamnya permasalahan yang dihadapi semua agama dalam

kehidupan sekuler dapat ditarik kesimpulan bahwa: sebagai

fenomena sosial yang berbentuk institusi bukan hanya agama

yang mengalami dilema dalam kehidupan sekuler tetapi juga

dialami oleh masyarakat (disebabkan oleh adanya perselisihan,

Page | 29

intoleransi, penganiayaan, dll). Dan celakanya lagi ialah,

untuk menghilangkan atau sekurang-kurangnya menipiskan keadaan

tersebut harus ditempuh melalui rintangan-rintangan yang

dilematik.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sekularisasi merupakan suatu bagian dari arus besar

proses sosial dan perubahan sosial di dalam masyarakat. Arti

sekularisasi dalam perkembanganya mendapat arti yang berbeda-

beda sesuai dengan konteks masalah yang sedang aktual menurut

penelitian golongan atau bangsa yang berkepentingan. akan

tetapi, masalah sekularisasi menurut arti kata yang lebih

luas, sekularisasi mengandung arti: suatu gerakan (sosial)

yang diarahkan kepada terwujudnya otonomi dunia dan nilai

duniawi dengan mengikutsertakan agama dan nilai-nilai

keagamaan. Sedangkan gerakan sekular yang tidak

mengikutsertakan Tuhan dan nilai-nilai keagamaan disebut

dengan istilah sekularisme (dalam arti negatif).

Sekularisasi oleh para pakar sosiologi pun mendapat

pandangan yang berbeda-beda, bahkan perdebatan. Perdebatan

para sosiolog mengenai sekularisasi ini umumnya dapat di bagi

kedalam dua kubu. Kubu pertama, adalah kubu yang memandang

Page | 30

agama perlahan-lahan akan pudar dan tidak begitu penting

perannya bersamaan dengan makin majunya masyarakat industri

atau sekular. Sedangkan kubu kedua memandang bahwa agama dalam

masyarakat modern sebenarnya sedang mengalami trasformasi dan

eksistensinya tidak menurun. Kekuatan nalar manusia modern

ternyata tidak mampu mengalahkan kekuatan agama yang penuh

dengan teka-teki. Kecanggihan teknologi tetap saja tidak mampu

memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi manusia. Pada

akhirnya, manusia akan kembali mengakui eksistensi agama,

agama menjadi institusi yang abadi.

Terlepas dari eksistensi agama sebagai institusi yang

abadi, ternyata agama dalam kehidupan sosial yang terus

berkembang tidak lepas dari kesulitan-kesulitan yang mana

Hendropuspito dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Agama

(1987: 127) disebut dengan dilema. Dilema yang dialami agama

disebabkan oleh semakin maju dan kompleksitasnya kehidupan

modern tidak dibarengi dengan adanya perubahan agama (pranata-

pranata) yang sesuai dengan keinginan manusia modern. Artinya:

agama dalam situasi baru itu tinggal tetap sama seperti pada

titik waktu sebelumnya (saat pendiriannya).

Setidaknya ada beberapa dilema yang dialami agama dalam

kehidupan modern, yaitu:

1. dilema yang dialami institusi agama jika agama mau

mempertahankan kemurnian aslinya atau membiarkan ajaran

agama berkembang bebas sesuai dengan keinginan manusia.

2. Dilema yang dialami institusi agama yang berkenaan dengan

masalah kekuasaan atau kepemimpinan (antara pemimpin

karismatis atau pemimpin rasional).

Page | 31

3. Dilema agama dalam hal simbolisasi keagamaan.

4. Dilema dalam hal-hal peraturan moralitas dimasa lalu.

Bukan hanya agama yang mengalami dilema dalam kehidupan

sekuler tetapi juga dialami oleh masyarakat (disebabkan oleh

adanya perselisihan, intoleransi, penganiayaan, dll). Dari

fenomena ini, tidak berarti bahwa dunia secara keseluruhan

telah menjadi kurang religius, tetapi juga menjadi lebih

religius.

Page | 32

DAFTAR PUSTAKA

Martono, Nanang. 2011. Sosiologi perubahan sosial:

perspektif klasik, modern, post modern, dan poskolonial.

Jakarta: Rajawali Pers

Robertson, Roland. 1988. Agama: Dalam Analisis dan

Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali Pers

Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta

Selatan: Ghalia Indonesia

Agus, Bustanuddin. 2003. Sosiologi Agama. Padang:

Universitas Andalas Press

Hendropuspito. 1984. Sosiologi Agama.Yogyakarta:

Kanisius

Norris Pipa, Ronald Inglehart. 2011. Sekularisasi

Ditinjau Kembali: Agama dan Politik di Dewasa Ini.

Jakarta: Yayasan Abad Demokrasihttp://en.wikipedia.org/wiki/New_Age

Page | 33