Post on 27-May-2019
Persepsi dan Preferensi Wajib Pajak Terhadap Praktisi Pajak: Agent of Compliance atau
Agent of Client? Studi Mix Method
Jenis Sesi Paper: Full paper
Yenni Mangoting
Universitas Kristen Petra
yenni@petra.ac.id
Cory Benata
Universitas Kristen Petra
corybenata@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris hubungan persepsi dan
preferensi wajib pajak terhadap praktisi pajak dan mengetahui peran praktisi pajak dalam
kepatuhan wajib pajak. Metode penelitian menggunakan mix method dengan
menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif menggunakan
Pearson Product Moment Correlation, sedangkan analisis kualitatif menggunakan
pendekatan interpretatif. Sample penelitian kuantitatif adalah 100 wajib pajak orang
pribadi yang menjalankan usaha dan menggunakan jasa praktisi pajak dan informan
praktisi pajak sebagai sumber data penelitian kualitatif. Hasil uji Pearson Product
Moment Correlation menunjukkan adanya korelasi positif signifikan antara persepsi
terhadap preferensi wajib pajak. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa preferensi wajib
pajak tentang praktisi pajak adalah sama dengan persepsinya. Hasil penelitian kualitatif
sebagai komplementari menjelaskan keberadaan tiga karakter praktisi pajak yang
teridentifikasi dalam penelitian ini, yaitu honest, creative, dan machiavellian yang
menjelaskan peran praktisi pajak dalam kepatuhan wajib pajak.
Kata Kunci: praktisi pajak, wajib pajak, mix method
Abstract
The purpose of this research is to determine the correlation between the perception of
taxpayers toward the preference of taxpayers in chossing tax practitioners and to know
how tax practitioners take their position in taxpayer compliance. The method of data
analysis using mix method that combine quantitative and qualitative approaches.
Quantitative approach uses Pearson Product Moment Correlation and Qualitative
approach uses interpretive. This research used 100 sample of individual taxpayers who run
private business and use tax practitioner. The stastistic result found that there are positive
significant correlation between taxpayers perception toward taxpayers preferences. The
correlation shows that taxpayer preferences about tax practitioners are the same as their
perceptions. The result of qualitative research as complementary explains the existence of
three characters of tax practitioners identified in this research, namely honest, creative,
and machiavellian. The three characters of the tax practitioner explain the role of tax
practitioners in taxpayer compliance.
Key Words: tax practitioner, taxpayer, creative, mix method
1. PENDAHULUAN Self Assessment adalah sistem pemungutan pajak mengandalkan integritas wajib pajak untuk
memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perpajakan. Self Assessment telah
menempatkan wajib pajak sebagai aktor sentral dalam sistem perpajakan, karena sistem pemungutan
tersebut telah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk melaksanakan
kewajiban pajaknya secara mandiri. Adanya pelimpahan kewenangan tersebut, mengharuskan
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam penerimaan pajak
menciptakan sistem perpajakan yang ramah bagi wajib pajak. Ramah dalam pandangan Mansury
(1996) adalah pentingnya menciptakan sistem perpajakan yang merupakan elaborasi kebijaksanaan
perpajakan (tax policy), undang-undang perpajakan (tax laws), dan administrasi perpajakan (tax
administration) dengan sederhana, karena sistem perpajakan berkaitan dengan kehidupan masyarakat
yang terus berkembang. Kesederhanaan tersebut harus dapat menjamin adanya kepastian hukum
sehingga dapat mencegah upaya-upaya penghindaran maupun penyelundupan pajak dan
penyalahgunaan wewenang.
Kompleksitas ketentuan perpajakan merupakan kendala dalam implementasi Self Assessment.
Umumnya wajib pajak mengandalkan praktisi pajak untuk mengatasi masalah tersebut sehingga dapat
menimbulkan biaya kepatuhan pajak tinggi (high cost compliance) akibat ketergantungan wajib pajak
terhadap jasa praktisi pajak. Selain kompleksitas, Klepper, Mazur, dan Nagin (1991); Hite dan McGill
(1992); Niemirowski dan Wearing (2003); Sakurai dan Braithwaite (2001); Carley dan Maxwell
(2006) menyebutkan bahwa kompetensi praktisi pajak digunakan untuk mengurangi ketidakpastian,
kesalahan penafsiran, interpretasi ketentuan perpajakan, dan penghematan waktu melaksanakan
kewajiban pajak.
Kompleksitas ketentuan perpajakan juga telah menjembatani kesenjangan pengetahuan yang
dimiliki wajib pajak dan praktisi pajak serta menciptakan interelasi antara keduanya. Tan (1998)
berpendapat adanya interelasi tersebut telah menciptakan peran besar praktisi pajak dalam kepatuhan
wajib pajak di New Zeland yang umumnya cenderung menyetujui nasihat praktisi pajak, baik yang
bersifat konservatif maupun agresif. Peran besar tersebut mengindikasikan adanya ketergantungan dan
kepercayaan wajib pajak kepada praktisi pajak sebagai cara mengalihkan risiko kesalahan
menafsirkan ketentuan perpajakan dan risiko sanksi administrasi di kemudian hari. Bagi praktisi pajak
kompetensi dalam mengeksplorasi kelemahan ketentuan perpajakan merupakan kekuatan untuk
menarik perhatian wajib pajak dalam rangka menciptakan strategi penghindaran pajak. Dalam
penelitiannya, Erard (1993) mencontohkan keberadaan praktisi pajak yang merangkap sebagai
akuntan dan pengacara banyak menggunakan area abu-abu (grey area) ketentuan perpajakan sebagai
strategi untuk mengurangi pembayaran pajak.
Keberadaan praktisi pajak dan kompetensi yang dimiliki, sedikit banyak telah memengaruhi
perilaku kepatuhan wajib pajak dan menciptakan kebergantungan wajib pajak yang pada akhirnya
berkontribusi dalam membentuk persepsi wajib pajak mengenai praktisi pajak. Webb dan Hussain
(2010) menjelaskan persepsi wajib pajak mengenai perpajakan mempunyai kekuatan untuk
memengaruhi perilaku kepatuhan mereka baik sesuai maupun tidak sesuai dengan ketentuan
perpajakan. Marliyah, Dewi, dan Suyasa (2004) menyebut jika persepsi seseorang merupakan hasil
seleksi terhadap sesuatu dan merupakan pengetahuan mengenai objek yang dimaksud. Sedangkan
Ismayanti (2010, hal. 31) dan Herman (2006, hal. 13) menjelaskan bahwa persepsi seseorang akan
menghasilkan sebuah preferensi yang merupakan serangkaian pilihan berdasarkan selera yang ikut
dikendalikan alam bawah sadar dengan pola tertentu yang unik bagi setiap orang.
Dalam konteks penelitian ini, persepsi wajib pajak mengenai praktisi pajak adalah hasil
seleksi terhadap pengetahuan wajib pajak yang telah dipengaruhi oleh stimulus lingkungan wajib
pajak menggenai gambaran utuh praktisi pajak dari sudut kompetensi dan motivasi dalam
melaksanakan kewajiban perpajakan. Persepsi wajib pajak mengenai praktisi wajib pajak akan
menghasilkan pilihan atau preferensi mereka terhadap praktisi pajak. Long dan Caudill (1987)
membuktikan ada hubungan positif signifikan antara persepsi wajib pajak dan pilihan mereka
terhadap praktisi pajak. Ketika penghasilan mereka tinggi dan ketentuan perpajakan dianggap
kompleks, wajib pajak memilih menggunakan praktisi pajak. Tan (1999) dalam penelitiannya juga
menemukan bukti preferensi wajib pajak terhadap praktisi pajak didasari adanya kecenderungan wajib
pajak memanfaatkan ambiguitas ketentuan perpajakan.
Sakurai dan Braithwaite (2001) menyebutkan, meskipun praktisi pajak mempunyai
kompetensi dalam memahami ketentuan perpajakan, tetapi motivasi wajib pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakan akan memengaruhi pembentukan persepsi wajib pajak mengenai praktisi pajak.
Ketika persepsi wajib pajak bahwa pembayaran pajak mengurangi kemampuan ekonomis mereka,
persepsi tersebut akan memengaruhi preferensi mereka dalam memilih jasa praktisi pajak. Stephenson
(2007) juga berpendapat bahwa persepsi yang dilandasi dengan motivasi pembayaran pajak akan
mengarahkan wajib pajak mencari praktisi pajak yang dapat memenuhi kebutuhan wajib pajak.
Beranjak dari latar belakang di atas, penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu untuk
mengetahui hubungan persepsi dan preferensi wajib pajak terhadap praktisi pajak dan memahami
bagaimana praktisi pajak memosisikan dirinya sebagai profesional dalam mendukung kepatuhan
pajak. Pentingnya mengetahui hubungan persepsi dan preferensi karena pengambilan keputusan wajib
pajak mengenai pilihan terhadap praktisi pajak seringkali didasari oleh persepsi. Selain itu,
mengetahui ada tidaknya korelasi antara persepsi dan preferensi wajib pajak akan membantu
pemerintah memahami sebagian perilaku wajib pajak dalam menjalankan kewajiban pajak mereka.
2. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Dalam pandangan Kotler (1995), persepsi akan memampukan seseorang menyeleksi, mengatur,
dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang
berarti mengenai sebuah objek. Bagi wajib pajak, persepsi adalah kemampuan menggunakan,
memahami, dan menafsirkan pengetahuan dan pengalaman masa lalu mengenai sistem perpajakan dan
interelasi dengan fiskus dan praktisi pajak sehingga membentuk dan memengaruhi preferensi pilihan
perilaku wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakan.
Wajib pajak menganggap bahwa pajak merupakan reduksi terhadap kemampuan ekonomis
mereka, sehingga ada upaya untuk melakukan penghindaran pajak baik dengan memanfaatkan
kelemahan ketentuan perpajakan atau penghindaran pajak agresif yang bertentangan dengan ketentuan
perpajakan. Wajib pajak yang menginginkan penghindaran pajak akan menggunakan jasa praktisi
pajak, karena praktisi pajak mempunyai kemampuan profesional dalam memahami seluk beluk
kelemahan ketentuan perpajakan (Carley dan Maxwell, 2006). Penelitian Devos (2012) menjelaskan
secara statistik adanya pengaruh yang signifikan peran praktisi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak.
Meskipun di luar faktor praktisi pajak, ketidakpatuhan wajib pajak di New Zeland juga disebabkan
oleh faktor perilaku, sumber pendapatan, pengetahuan perpajakan, kompleksitas ketentuan
perpajakan, dan keadilan (Niemirowski dan Wearing, 2003; Saad, 2012).
Persoalan independensi praktisi pajak juga menjadi perhatian pemerintah yang memiliki
otoritas memungut pajak. Bagi pemerintah, praktisi pajak adalah kepanjangan tangan pemerintah atau
agent of compliance yang akan membantu melaksanakan meningkatkan kepatuhan wajib pajak
(Killian dan Doyle, 2004). Namun demikian, tidak mudah mengharapkan praktisi pajak sebagai agent
of compliance, karena adanya ketergantungan ekonomis praktisi pajak kepada wajib pajak sehingga
ada kecenderungan praktisi pajak dapat mengikuti keinginan wajib pajak untuk melakukan
penghindaran pajak secara agresif. Thuronyi dan Vanistendael (1996) mengatakan bahwa sistem
perpajakan tidak dapat berjalan dengan baik tanpa bantuan praktisi pajak, meskipun pemerintah perlu
menciptakan regulasi untuk menyeimbangkan peran praktisi pajak baik sebagai kepanjangan tangan
pemerintah (agent of compliance) maupun kepanjangan tangan klien (agent of client).
Fakta tersebut menjadi dasar pemetaan karakter praktisi pajak dalam penelitian Sakurai dan
Braithwaite (2001) berdasarkan persepsi dan preferensi wajib pajak yaitu creative consultant, honest
consultant, dan cautious consultant. Cautious consultant merupakan praktisi pajak yang memiliki
penghindaran pajak dengan memanfaatkan celah-celah yang belum diatur dalam ketentuan perpajakan
(tax avoidance). Honest consultant merupakan tipe praktisi pajak yang selalu mematuhi peraturan
perpajakan yang ada, memiliki integritas yang tinggi dan bersikap jujur atas semua tindakan yang
dilakukan meskipun saat sedang berada dalam keadaan yang ambigu. Creative consultant merupakan
tipe praktisi pajak yang agresif dalam perencanaan pajak. Praktisi pajak tipe ini memiliki jaringan luas
yang dapat dimanfaatkan untuk menangani kasus-kasus pemeriksaan pajak klien.
Sedangkan William dan Simmons (2008) menggambarkan empat karakteristik profesional
pajak, yaitu profesional pajak yang menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial perusahaan
sehingga anti terhadap skema penghindaran pajak agresif, profesional pajak yang menilai negatif
skema penghindaran pajak agresif tetapi masih berpotensi untuk terlibat dalam tindakan penghindaran
pajak, profesional pajak yang berorientasi machiavellianisme kuat dan memiliki keyakinan yang
rendah terhadap pentingnya etika dan tanggungjawab sosial, dan profesional pajak dengan orientasi
machiavellianisme kuat tetapi masih bersikap lunak terhadap skema penghindaran pajak agresif.
Penelitian ini hanya menggunakan tiga karakter praktisi pajak, yaitu honest, creative, dan
machiavellian.
Karekterisasi tersebut sebenarnya secara empiris telah menggambarkan adanya peran ganda
praktisi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak. Satu sisi praktisi pajak berperan mendukung kepatuhan
wajib pajak melalui kejujuran dan penolakan terhadap implementasi penghindaran pajak baik yang
sesuai maupun bertentangan dengan ketentuan perpajakan, tetapi sisi yang lain praktisi pajak justru
dapat melemahkan kepatuhan wajib pajak baik melalui penghindaran pajak yang memanfaatkan
kelemahan ketentuan perpajakan maupun implementasi penghindaran pajak agresif.
Dualisme peran praktisi pajak tersebut juga menyebabkan adanya gap antara keinginan wajib
pajak dan harapan praktisi pajak. Wajib pajak berkeinginan melaksanakan ketentuan perpajakan
dengan baik dan benar tetapi praktisi pajak dapat bertentangan dengan itu sehingga melakukan
persuasi agar wajib pajak mau mengimplementasikan penghindaran pajak agresif dengan risiko
terdeteksi dan pemeriksaan pajak yang rendah (Stephenson, 2006).
Setelah mengetahui hubungan persepsi dan preferensi wajib pajak, untuk memvalidkan dan
melebarkan data kuantitatif, penelitian ini akan mengimplementasikan pendekatan kualitatif sebagai
komplementari hasil penelitian kuantitatif dengan informan praktisi pajak untuk mendapatkan
pengetahuan dari level yang berbeda mengenai perilaku praktisi pajak dalam sistem perpajakan.
Memahami bagaimana implementasi peran praktisi pajak dalam sistem perpajakan akan membantu
pemerintah memetakan regulasi dan melakukan re-posisi peran praktisi pajak sehingga lebih memberi
manfaat bagi sistem perpajakan nasional.
Untuk memenuhi tujuan penelitian di atas, penelitian ini menggunakan metode pendekatan
campuran (mix method) dalam melihat suatu fenomena tunggal dari sudut yang berbeda sehingga
menghasilkan tingkat keandalan dan kesahihan hasil penelitian. Analisis data dilakukan dengan
menggabungkan dua pendekatan, yaitu pendekatan positivisme-kuantitatif untuk menguji hipotesis.
Analisis data kualitatif menggunakan pendekatan interpretatif akan menjawab pertanyaan penelitian
yaitu bagaimana perilaku praktisi pajak dalam sistem perpajakan. Sedangkan analisis kuantitatif
dalam penelitian ini untuk menguji hipotesis:
H0: Persepsi wajib pajak tidak berhubungan dengan preferensi wajib pajak terhadap praktisi pajak
H1: Persepsi wajib pajak berhubungan dengan preferensi wajib pajak terhadap praktisi pajak
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian lanjutan yang sebelumnya telah dilakukan dengan
menguji hubungan antara persepsi dan preferensi wajib pajak terhadap praktisi pajak. Hasil
penelitian kuantitatif dalam penelitian ini akan dilengkapi menggunakan pendekatan
kualitatif sebagai komplementari. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan
mix method atau penelitian campuran dengan menggabungkan dua pendekatan, yaitu
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kemunculan mix method karena adanya debat
epistemologi antara paradigma positivis yang berorientasi pada analisis kuantitatif dan
eksperimen untuk menguji hipotesis secara deduktif. Sedangkan paradigma kualitatif yang
memfokuskan pada pemahaman suatu fenomena secara holistik subjektif dan pengambilan
keputusan dilakukan secara induktif (Amaratunga, Baldry, Sarshar, dan Newton, 2002).
Ilmu pengetahuan bukan hanya sekedar menguji (to test), memprediksi (to predict)
atau menjelaskan (to explain) sebuah teori, tetapi melepaskan nilai-nilai yang terintenalisasi
dalam diri subjek yang sebenarnya mengkonstruksi realitas sosial itu sendiri. Ilmu
pengetahuan berusaha memecahkan persoalan nyata yang terjadi melalui interaksi-interaksi
dalam dunia sosial yang menggunakan manusia sebagai subjek dan juga objek. Brannen
(2005) menggarisbawahi pentingnya mix method ketika penelitian kuantitatif berusaha
memahami perilaku aktual dari objek atau subjek penelitian tetapi memiliki keterbatasan
sumber daya. Dengan penelitian kualitatif persoalan tersebut terjawab melalui pertanyaan
kuisioner yang dirancang khusus mengeksplorasi pemikiran informan penelitian mengenai
sebuah fenomena sosial. Kehadiran mix method dalam pandangan Suparno (2008, hal. 71)
adalah untuk melihat suatu realitas dari sudut pandang atau perspektif yang berbeda.
Oleh karena itu, perlunya memandang dan mengkaji suatu fenomena dari sudut
pandang yang lain dengan melibatkan individu dan persepsinya untuk memahami realistas
atau orisinalitas yang sebenarnya bukan menggantungkan pada keterwakilan populasi yang
menjadi fokus penelitian kualitatif (Somantri, 2005). Brannen (2005) memetakan bahwa
analisis data dalam penelitian mix method dapat dilakukan dengan elaborasi atau ekspansi,
inisiasi, komplementari, dan kontradiksi untuk menghasilkan wawasan yang lebih besar.
3.1 TAHAPAN ANALISA DATA
Penelitian ini menggunakan desain eksplanatori yang melakukan analisis data
kuantitatif terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan analisis data kualitatif sebagai
komplementari. Desain eksplanatori digunakan jika tujuan penelitian yang dilakukan adalah
untuk menguraikan, mengelaborasi, atau menjelaskan temuan kuantitatif seperti dalam
gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1
Desain Penelitian Mix Method
Sumber: diolah kembali
Analisa data kuantitatif menggunakan Pearson Product Moment Correlation untuk
mengetahui korelasi antar variabel persepsi dan preferensi. Sedangkan analisa data kualitatif
menggunakan metode interpretatif untuk memahami bagaimana praktisi pajak memosisikan
dirinya sebagai profesional dalam mendukung kepatuhan pajak..
Analisis data kualitatif menggunakan flow model yang diinisiasi oleh Miles dan
Huberman (1994). dengan memfokuskan pada tiga aktivitas utama setelah pengumpulan data
yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Setelah
pengumpulan data melalui wawancara dilakukan, peneliti melakukan dokumentasi dengan
membuat transkrip wawancara untuk mengidentifikasi pernyataan-pernyataan informan.
Hasil wawancara mengalami proses reduksi untuk mengungkap esensi atas setiap
pernyataan informan. Meminjam istilah dalam fenomenologi, reduksi dilakukan dengan cara
bracketing dan horizonalization. Bracketing adalah proses menempatkan fenomena dalam
“keranjang” atau tanda kurung, dan memisahkan hal-hal yang dapat mengganggu untuk
memunculkan kemurnian. Sedangkan horizonalization dilakukan dengan cara, peneliti
menemukan pernyataan-pernyataan penting dari wajib pajak, kemudian peneliti akan
melakukan inventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan dengan fenomena
dalam penelitian ini. Reduksi data menghasilkan unit-unit bermakna atau tema sebagai
interpretasi hasil wawancara dengan informan. Tahap akhir dalam analisis kualitatif adalah
kesimpulan dan verifikasi yang dilakukan dengan mengkonstruksikan kembali seluruh
penjelasan tentang tema atau unit-unit bermakna yang telah dihasilkan dalam proses analisi
data sebelumnya.
3.2 SUMBER DATA DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Sumber data kuantitatif adalah data primer yang diperoleh dengan menyebarkan
kuisioner kepada 100 wajib pajak orang pribadi di wilayah Surabaya dengan komposisi 44%
laki-laki dan 56% perempuan. Sedangkan sumber data kualitatif adalah wajib pajak dan
praktisi pajak
Penyebaran kuisioner dilakukan secara online dan manual dengan mendatangi
responden satu per satu. Bidang usaha responden cukup bervariasi dengan informasi, 67%
memiliki usaha di bidang perdagangan sparepart, bahan bangunan, bahan kue, obat-obatan,
kosmetik, 28 % di bidang jasa, dan 5% di bidang manufaktur. Umur responden dalam
rentang 20-40 tahun 79% dan rentang 50-60 tahun sebanyak 21%. Omzet usaha responden
dibagi dalam dua kategori, yaitu yang tidak lebih dari 4,8 milyar 84% dan lebih dari 4,8
milyar 16%. Responden penelitian kuantitatif adalah praktisi pajak dan wajib pajak yang
menggunakan jasa praktisi pajak itu sendiri. Wawancara dengan informan wajib pajak dan
praktisi pajak dilakukan sesuai dengan jam dan tempat yang ditentukan oleh informan
penelitian.
3.3 DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
Variabel independen yaitu persepsi wajib pajak diukur melalui pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan karakteristik praktisi pajak, machiavellian, creative, dan honest.
Machiavellian adalah praktisi pajak dengan nasihat penghindaran pajak agresif yang
bertentangan dengan ketentuan perpajakan. Praktisi pajak creative adalah praktisi pajak yang
melakukan penghindaran pajak agresif namun tidak selalu manipulatif dan bekerja dalam
“grey area” peraturan. Sedangkan praktisi pajak honest adalah pribadi yang jujur, tidak
mengambil resiko meskipun ketentuan perpajakan multiinterpretasi dan ambigu.
Variabel dependen adalah preferensi wajib pajak yang diukur melalui pertanyaan
mengenai karakteristik praktisi pajak, machiavellian berfokus kepada keuntungan
dibandingkan moral konservatif, mengambil jalan pintas demi efisiensi dan efektivitas tanpa
memperhatikan peraturan yang ada, dan menganggap kegiatan penggelapan pajak sebagai hal
yang biasa. Praktisi pajak creative adalah praktisi yang melakukan penghindaran pajak
agresif tetapi tidak manipulatif dengan memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan
(loopholes). Sedangkan honest adalah praktisi pajak yang memiliki integritas tinggi, royal
dalam memberikan informasi, dan memberikan nasihat kepada klien agar tidak melakukan
skema penghindaran pajak.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 ANALISIS KUANTITATIF Analisis data kuantitatif menggunakan Pearson Product Moment (PPM) untuk mengukur
besarnya hubungan linear antara dua variabel. Korelasi PPM memiliki rentang nilai antara +1 dan -1.
Nilai 1 berarti hubungan antara variabel sangat kuat dan positif. Sedangkan nilai 0 berarti hubungan
antara variabel sangat lemah atau tidak terdapat hubungan sama sekali, dan nilai -1 berarti hubungan
antara variabel sangat kuat dan negatif. Rumus PPM yang digunakan adalah:
∑
√∑ ∑
Keterangan:
= koefisien korelasi Pearson Product Moment antara persepsi wajib pajak dan preferensi wajib pajak
x = jumlah nilai Persepsi wajib pajak
y = jumlah nilai Preferensi wajib pajak
Uji reliabilitas menggunakan internal korelasi dengan teknik analisis Cronbach’s Alpha dengan nilai
alpha yang menunjukkan reliabilitas lebih besar atau sama dengan 0,6. Hasil uji validitas dalam
penelitian ini menunjukkan semua item pertanyaan yang mengukur tiap variabel memiliki nilai r
hitung > r tabel. Uji normalitas menggunakan one-sample kolmogorov-smirnov test dan diketahui
bahwa nilai hitung signifikansi dari uji normalitas variabel lebih besar dari nilai alpha (0,05) yakni
0,999, sehingga menunjukkan data telah berdistribusi normal. Hasil uji linearitas menunjukkan bahwa
besar nilai sig.linearity adalah 0,000 yaitu lebih kecil dari alpha 0,05, sedangkan nilai sig.deviation
from linearity adalah sebesar 0,680 yaitu lebih besar dari alpha 0,05. Hasil tersebut menunjukkan
adanya hubungan linear signifikan antara persepsi dan preferensi wajib pajak.
Hasil statistik deskriptif dalam tabel 1 di bawah menjelaskan persepsi wajib pajak terhadap
karakteristik praktisi pajak yang melebar menjadi enam kategori, yaitu machiavellian, creative,
honest, machiavellian & creative, creative & honest, dan gabungan dari ketiga karakteristik praktisi
pajak tersebut yakni machiavellian, creative, & honest consultant berdasarkan analisa jawaban yang
diberikan dalam kuesioner.
Tabel 1
Persepsi Wajib Pajak mengenai Praktisi Pajak No. KARAKTERISTIK JUMLAH
1. Machiavellian 1
2. Creative 1
3. Honest 9
4. Machiavellian & Creative 8
5. Creative & Honest 40
6. Machiavellian, Creative & Honest 41
TOTAL 100
Hasil statistik deskriptif juga memetakan preferensi wajib pajak terhadap praktisi dalam tabel
2 berikut ini.
Tabel 2
Preferensi Wajib Pajak dalam Memilih Praktisi Pajak No. KARAKTERISTIK JUMLAH
1. Machiavellian 8
2. Creative 14
3. Honest 78
TOTAL 100
Pemetaan berdasarkan hasil kuesioner adalah sebagai berikut: 8 responden memilih preferensi
machiavellian dengan rincian 1 responden dengan persepsi machiavellian, 2 responden dengan
persepsi machiavellian dan creative, dan 4 responden dengan persepsi gabungan dari ketiga
karakteristik praktisi pajak. Ada 14 responden yang memilih preferensi creative dengan rincian 1
responden dengan persepsi creative, 5 responden dengan persepsi machiavellian dan creative, 4
responden creative dan honest, dan 5 responden dengan persepsi gabungan dari ketiga karakteristik
praktisi pajak. Terdapat 78 responden yang memilih preferensi honest dengan rincian 9 responden
dengan persepsi honest, 1 responden dengan persepsi machiavellian dan creative, 36 responden
creative dan honest, dan 32 responden dengan persepsi gabungan dari ketiga karakteristik praktisi
pajak.
Hasil statistik deskriptif di atas menjelaskan suatu hubungan antara persepsi wajib pajak
dengan preferensi. Responden dengan persepsi honest memilih preferensi honest, responden dengan
persepsi creative memilih preferensi creative, responden dengan persepsi machiavellian dan creative
cenderung memilih preferensi creative. Sedangkan responden dengan persepsi creative dan honest
maupun machiavellian, creative, dan honest cenderung memilih honest.
Hasil korelasi variabel persepsi dan preferensi yang ditunjukkan dalam tabel 2 memiliki nilai
0,625. Angka tersebut mengindikasikan adanya hubungan kuat karena berada pada rentang angka 0,60
– 0,799. Pengujian hipotesis dilakukan dengan melihat nilai signifikansi dengan cara uji dua sisi ((Sig.
(2-tailed)) untuk melihat ada tidaknya hubungan antar kedua variabel. Dengan menggunakan batas
alpha sebesar 5% (0,05), jika probabilitas > 0,05 maka H0 ditolak dan apabila probabilitas < 0,05
maka H0 diterima.
Tabel 3
Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment Correlations
Persepsi_Total Preferensi_Total
Persepsi_Total Pearson Correlation 1 .625**
Sig. (2-tailed) .000
N 100 100
Preferensi_Total Pearson Correlation .625**
1
Sig. (2-tailed) .000
N 100 100
**Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari nilai Sig.(2-tailed) sebesar 0,000 < 0,05 maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara persepsi wajib pajak dengan preferensi wajib
pajak. Tabel 4 memberi informasi korelasi antara masing-masing persepsi dan preferensi. Angka
korelasi 0.545, dibandingkan dengan 0.317, dan -0.161 menandakan korelasi terkuat antara persepsi
wajib pajak bahwa praktisi pajak machiavellian, demikian juga preferensi wajib pajak tersebut bahwa
praktisi pajak machiavellian. Artinya wajib pajak akan memilih praktisi pajak sesuai dengan persepsi
wajib pajak sebelumnya. Korelasi yang kuat tersebut diartikan adanya persamaan antara persepsi
dengan preferensi wajib pajak terhadap karakter praktisi pajak yang dipilih dan membuktikan bahwa
wajib pajak menggunakan praktisi pajak sesuai dengan apa yang dipersepsikan sebelumnya (Benata,
2016)
Tabel 4
Korelasi Persepsi dan Preferensi terhadap Tiga Tipe Praktisi Pajak Correlations
X1 X2 X3 Y1 Y2 Y3
X1 Pearson Correlation 1 .553**
-.335**
.545**
.317**
-.161
Sig. (2-tailed) .000 .001 .000 .001 .109
N 100 100 100 100 100 100
X2 Pearson Correlation .553**
1 -.009 .326**
.615**
-.126
Sig. (2-tailed) .000 .930 .001 .000 .210
N 100 100 100 100 100 100
X3 Pearson Correlation -.335**
-.009 1 -.155 .122 .428**
Sig. (2-tailed) .001 .930 .125 .228 .000
N 100 100 100 100 100 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Keterangan:
X1 = Persepsi Wajib Pajak (Machiavellian Consultant)
X2 = Persepsi Wajib Pajak (Creative Consultant)
X3 = Persepsi Wajib Pajak (Honest Consultant)
Y1 = Preferensi Wajib Pajak (Machiavellian Consultant)
Y2 = Preferensi Wajib Pajak (Creative Consultant)
Y3 = Preferensi Wajib Pajak (Honest Consultant)
Selain menunjukkan adanya kesamaan antara persepsi dan preferensi wajib pajak terhadap praktisi
pajak, hasil analisa kuantitatif menunjukkan keberadaan praktisi pajak yang tidak saja sebagai agent
of compliance dari sisi pemerintah tetapi juga agent of client dari sisi wajib pajak melalui keberadaan
praktisi pajak honest, creative, dan Machiavellian
4.2 HASIL ANALISIS KUALITATIF
Penulis memberikan bracketing yaitu tanda kurung terhadap setiap keterangan dalam
wawancara informan yang akan menjadi fokus penafsiran makna. Peraturan perpajakan yang
kompleks dan minimnya adukasi dan sosialisasi menjadi hambatan tersendiri bagi wajib pajak dalam
menjalankan Self Assessement sebagai sistem yang mengandalkan kesukarelaan, kemandirian, dan
kejujuran wajib pajak. Sebagai wajib pajak Joko mengungkapkan pernyataan berikut ini:
“Saya menggunakan praktisi pajak karena sejujurnya saya (tidak begitu memahami peraturan
pajak). Peraturan perpajakan (cukup kompleks dan sulit dipahami)”
Fenomena kompleksnya ketentuan pajak telah menjadi persoalan klasik banyak negara yang
mengandalkan pajak sebagai sumber penerimaan utama. sesungguhnya salah satu keberhasilan
pemungutan pajak adalah simplifikasi sistem perpajakan termasuk ketentuan perpajakan itu sendiri.
Bagi Joko kompleksitas ketentuan perpajakan tersebut adalah sebuah kesulitan dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan secara Self Assessment. Untuk mengantisipasi kesulitan dalam melakasanakan
kewajiban perpajakan, Joko menggunakan jasa praktisi pajak. Alasan Joko menggunakan praktisi
pajak menjadi alasan bagi banyak wajib pajak dengan kondisi yang sama. Kompleksitas dan minimnya
pengetahuan perpajakan menjadi latar belakang mereka melibatkan praktisi pajak.
Tidak berarti setelah menggunakan jasa praktisi pajak, Joko menggunakan jasa praktisi pajak
tersebut untuk mengatur sedemikian rupa pembayaran pajaknya sesuai dengan keinginan. Integritas
berdasarkan keyakinan agama yang dianut menjadi landasan Joko dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya.
“ya itu tadi...saya ini kan orang beragama. Angsuran PPh yang dibayarkan 5 juta per bulan.
PPN yang dibayarkan rata-rata 9 jutaan. Logikanya saya kan menyumbang ke pemerintahdan
belum tentu perusahaan lain juga seperti saya”
Pengalaman spiritual telah membentuk persepsi Joko dalam menjalankan kewajiban perpajakan
yang juga akan memengaruhi preferensinya terhadap praktisi pajak. Kontribusi praktisi pajak dalam
kepatuhan wajib pajak cukup signifikan. Selain menghemat waktu, wajib pajak tidak akan
dibingungkan dengan urusan administrasi pajak. Keberadaan praktisi pajak ditengarai sebagai upaya
menjembatani, mengurangi, dan mengalihkan risiko sanksi perpajakan karena minimnya pemahaman
dan pengetahuan perpajakan wajib pajak. Pada dasarnya, wajib pajak memercayakan kewajiban
perpajakan mereka kepada praktisi pajak yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang memadai
agar mereka dapat fokus pada pengeloaan manajemen perusahaan. Namun demikian adanya
kecenderungan praktisi pajak terlibat dalam pelemahan kepatuhan wajib pajak dapat digambarkan
melalui pernyataan praktisi pajak Andika berikut ini:
“Praktisi pajak (pasti berperan), wajib pajak sebenarnya (apa kata) praktisi pajak. Misalnya,
(mau bayar pajak segini nggak). Jika wajib pajak menyetujui, praktisi pajak (akan
menyesuaikan)”
Pernyataan informan praktisi pajak “…mau bayar pajak segini nggak…” mencerminkan ada
peran yang dimainkan praktisi pajak atas kepatuhan wajib pajak. Peran praktisi pajak dipengaruhi
oleh perilaku wajib pajak itu sendiri. Peran praktisi pajak yang agresif justru ditimbulkan oleh
perilaku pasif wajib pajak dalam menjalankan kewajiban mereka. Kondisi ini dapat dipahami sebagai
kesempatan bagi praktisi pajak untuk mengatur sedemikian rupa pembayaran pajak terhutang apakah
sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan. Bagi wajib pajak tertentu keberadaan praktisi
pajak dianggap telah menyelesaikan sebagai besar kewajiban pajak mereka.
Hal tersebut tidak dapat dihindari karena wajib pajak pasif dan merasa bertanggungjawab hanya
pada saat pembayaran pajak terhutang. Namun demikian, kondisi tersebut mengindikasikan bahwa
secara tidak langsung, wajib pajak telah mengarahkan keinginannya kepada praktisi pajak untuk
megatur pembayaran pajak terhutang. Pengungkapan dua fakta di atas menjelaskan bahwa persepsi
wajib pajak akan membentuk preferensi terhadap praktisi pajak. Hal tersebut selaras dengan penelitian
OECD (2008) yang menyebutkan bahwa perilaku praktisi pajak salah satunya dipengaruhi oleh
perilaku kliennya dalam melaksanakan kewajiban pajak mereka.
Interelasi antara wajib pajak dan praktisi pajak sedikit banyaknya dipicu oleh kesenjangan
pengetahuan ketentuan perpajakan dan kekuatiran kelalaian dalam melaksanakan kewajiban
perpajakan yang berbuntut pada penegakkan hukum (law enforcement) melalui sanksi dan denda
administrasi. Namun demikian, keinginan wajib pajak untuk meningkatkan pemahaman pengetahuan
pajak mereka dihalangi oleh persepsi bahwa peraturan perpajakan itu kompleks dan ambigu yang
kemudian memunculkan ketergantungan mereka kepada jasa praktisi pajak. Tetapi ketergantungan
tersebut tidak selalu berdampak positif, karena pengetahuan ketentuan perpajakan yang dimiliki oleh
praktisi pajak dapat memengaruhi perilaku kepatuhan wajib pajak. Chaca sebagai praktisi pajak pada
sebuah Kantor Akuntan Publik menjelaskan pengalaman yang dihadapi berikut ini:
Klien awalnya telah menggunakan praktisi pajak sebelum menggunakan jasa kami. Omzet klien
besar. Tidak masuk akal, jika mereka (tidak punya persediaan)
Pendapat Chaca menegaskan keberadaan praktisi pajak agresif yang telah mereduksi kepatuhan wajib
pajak. Logika ekonomi mengatakan bahwa penghasilan berbanding lurus dengan pembayaran pajak.
Omzet besar akan diikuti dengan pembayaran pajak yang juga besar sepanjang beban-beban yang
digunakan untuk memeliharan, mendapatkan, dan menagih penghasilan proposional dengan omzet
perusahaan. Chaca kembali menjelaskan ada kecenderungan praktisi pajak “bermain” atau bertindak
agresif dalam mereduksi kepatuhan wajib pajak melalui cara-cara yang bertentangan dengan
ketentuan perpajakan, seperti dalam penjelasan:
(Lebih banyak) yang menggunakan perencanaan pajak dengan memanfaatkan kelemahan
ketentuan perpajakan. Tetapi tidak menutup kemungkinan (praktisi pajak yang menjadi praktisi
borongan), yaitu membuat laporan keuangan sekaligus menghitung pajaknya, sehingga lebih
mudah mengatur jumlah pajak terhutang.
Perencanaan pajak sejauh ini dianggap sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable
tax avoidance). Otto dkk. (2015) menambahkan bahwa perencanaan pajak adalah bentuk
penghindaran pajak (tax avoidance) legal atau ekstrimnya nyaris melanggar hukum dengan tujuan
mengurangi pembayaran pajak melalui interpretasi ketat atas inkonsistensi dan ambiguitas ketentuan
perpajakan dan memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan. Kreativitas dan penguasaan
ketentuan perpajakan merupakan syarat implementasi perencanaan pajak yang legal, meskipun
seringkali perencanaan pajak dijadikan alasan bagi praktisi pajak yang justru melakukan penghindaran
pajak ilegal. Tidak mudah memisahkan penghindaran pajak dan penggelapan pajak, sehingga, alibi
perencanaan pajak sering menjadi strategi penghindaran pajak bagi praktisi pajak.
Kemampuan teknis praktisi pajak tidak ada artinya jika tidak disertai dengan kecerdasan moral
dan intelektual. Kecerdasan moral dapat memengaruhi motivasi praktisi pajak sehingga mampu
mempertahankan independensinya dengan menolak mengikuti keinginan wajib pajak melakukan
penghindaran pajak agresif yang melanggar ketentuan perpajakan. Hal tersebut diungkapkan oleh
Chaca dalam pernyataan berikut ini:
“(Saya pernah diajak) oleh praktisi pajak lain, untuk membantu wajib pajak yang menghendaki
pajak yang dibayarkan (diatur sedemikian rupa sesuai kehendaknya), (bukan) berdasarkan
peraturan perpajakan”
Chaca hidup dalam komunitas praktisi pajak. Komunikasi dan interelasi antar kolega dapat
menjadi sarana saling mempersuasi. Chaha pernah diminta untuk melakukan penghindaan pajak
agresif bahkan yang melanggar ketentuan perpajakan. Sejak awal Chaca membentengi dirinya
dengan kecerdasan moral dan mengendalikan dirinya dari keinginan melakukan penghindaran pajak
yang melanggar ketentuan perpajakan. Komitmen profesional menjadi ujung tombak Chaca sehingga
tetap berjalan dalam tataran etis sebagai praktisi pajak. Sebagai praktisi pajak berpengalaman,
kekuatiran dan ketakutan akan konsekuensi yang harus dihadapi jika melakukan pelanggaran kode
etik menjadi pengangannya, seperti dalam ungkapan berikut ini:
“Saya menikmati peran saya sebagai praktisi pajak, selain itu jantung saya cuma satu, nggak
ada cadangannya.”
Thuronyi dan Vanistendael (1996) menyadari pergeseran peran praktisi pajak sehingga meminta
pemerintah tidak hanya perlu meregulasi peran praktisi pajak tetapi melindungi wajib pajak dari
praktisi pajak yang tidak bermoral dan tidak berkompeten. Salah satunya dilakukan dengan cara
meminimalisasi peran praktisi pajak dan menciptakan sistem pemungutan pajak yang mengandalkan
pihak ketiga sebagai pemotong atau pemungut.
Masih ada praktisi pajak yang mempertimbangkan antara fee yang diterima dengan risiko jika
melakukan penghindaran pajak. Bona menjelaskan terkadang praktisi pajak mencari celah dengan
kemampuan teknis yang mereka miliki untuk mengestimasi dan menilai risiko atas kepatuhan atau
ketidakpatuhan dalam rangka menciptakan strategi penghindaran pajak agresif.
“Jika tax planning lebih memfokuskan pada kesempatan memanfaatkan kelemahan ketentuan
perpajakan. Tax target fokus pada penyesuaian pajak terhutang (dengan keinginan wajib
pajak)”
Sebagai manusia rasional, praktisi pajak tidak terhindar dari keinginan-keinginan yang sifatnya money
oriented.Wajib pajak yang memberikan imbalan tinggi sebagai kompensasi atas permintaan
melakukan penghitungan pajak berdasarkan keinginan mereka terkadang memicu keagresifan praktisi
pajak dalam penghindaran pajak.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksplanatori atau eksplanatif yang
bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua atau lebih gejala atau variabel. Dalam
konteks penelitian mix method, desain eksplanatori digunakan untuk menjelaskan apakah
hasil penelitian kuantitatif atau kualitatif mana yang lebih dulu dilakukan. Dalam penelitian
ini, analisis kualitatif digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian kuantitatif.
Hasil uji hipotesis membuktikan secara empiris adanya hubungan positif signifikan
antara persepsi dan preferensi wajib pajak dalam memilih praktisi pajak. Hasil uji tersebut
menunjukkan bahwa persepsi wajib pajak terhadap praktisi pajak sama dengan preferensi
wajib pajak. Artinya wajib pajak memilih praktisi pajak berdasarkan persepsi awalnya. Hasil
penelitian ini menyetujui argumentasi Sakurai dan Braithwaite (2001) dan Sutanto dan
Tjondro (2013) bahwa karakteristik praktisi pajak muncul berdasarkan motivasi wajib pajak
ketika melaksanakan kewajiban pajak.
Persepsi wajib pajak mengenai praktisi pajak murni berdasarkan pandangan masing-
masing wajib pajak yang dipengaruhi oleh faktor internal seperti keinginan, minat dan
motivasi, pengharapan dan pengalaman masa lalu, juga faktor eksternal seperti situasi,
keadaan sosial, waktu, keadaan tempat kerja. Preferensi wajib pajak terhadap praktisi pajak
adalah kecenderungan wajib pajak untuk memilih sesuatu yang dianggap lebih prioritas, lebih
diminati, dan memberi keuntungan lebih baik bagi wajib pajak. Persepsi wajib pajak
mengenai kewajiban membayar pajak yang terbentuk secara bebas telah memengaruhi
preferensi wajib pajak terhadap praktisi pajak. Ketika wajib pajak membangun resistensi
untuk menghindari kewajiban pajak bahkan melalui cara-cara yang bertentangan dengan
ketentuan perpajakan, wajib pajak akan memilih praktisi pajak berdasarkan persepsi awal
tersebut. Sebaliknya, ketika persepsi wajib pajak menganggap bahwa pajak adalah sebuah
komitmen perwujudan bakti kepada negara, persepsi tersebut memengaruhi preferensi wajib
pajak terhadap praktisi pajak (Sakurai dan Braithwaite, 2001)
PERILAKU EKONOMI PRAKTISI DAN WAJIB PAJAK: KONTRIBUSI TERHADAP
PENGHINDARAN PAJAK AGRESIF
Bagi wajib pajak, praktisi pajak adalah sosok yang dianggap mumpuni untuk
melaksanakan kepatuhan pajak mereka. Kemampuan teknis dalam memahami ketentuan
perpajakan menjadikan praktisi pajak piawai dalam memanfaatkan kelemahan atau celah-
celah ketentuan perpajakan.
Karakter machiavellian praktisi pajak yang agresif melalui tindakan penghindaran
pajak ilegal teridentifikasi dalam penelitian ini. Praktisi pajak yang berorientasi pada fee yang
diberikan klien menjadi faktor utama bertindak di luar jalur ketentuan perpajakan. Karakter
tersebut dapat disebabkan adanya ketergantungan finansial kepada klien dan keberadaan
pasar jasa konsultan pajak yang kompetitif, sehingga independensi dan integritas lambat laun
tidak menjadi pegangan praktisi pajak tersebut (Killian dan Doyle, 2004).
Keberadaan praktisi pajak machiavellian dapat dipengaruhi oleh perilaku kepatuhan
wajib pajak itu sendiri. Dalam kondisi tersebut, praktisi pajak berupaya mempertahankan
pasar dan eksistensinya di hadapan klien, bukan hanya melalui kompetensi yang dimiliki,
tetapi dengan upaya-upaya yang dapat menciptakan ketergantungan klien kepada praktisi
pajak melalui tindakan penghindaran pajak agresif. Pernyataan tersebut sejalan dengan Tan
(1999) yang menjelaskan, bahwa wajib pajak dapat memutus kontrak jika mereka tidak
menyetujui rekomendasi praktisi pajak, meskipun tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah
rekomendasi yang diberikan bersifat konservatif atau agresif.
Thuronyi dan Vanistendael (1996) mencermati perilaku praktisi pajak machiavellian
yang mempersiapkan wajib pajak untuk melanggar hukum karena melakukan penggelapan
pajak tetapi praktisi pajak lain lebih memilih bertindak creative dengan memanfaatkan
inkonsistensi, ambiguitas, dan kelemahan ketentuan perpajakan. Selain hasil penelitian
Arestanti, Herawati, dan Rahmawati (2016), menegaskan bahwa sebanyak 50 konsultan pajak
di kota Surabaya yang dijadikan sample penelitian membuktikan keberadaan karakter
machiavellian sebagai faktor individu yang berpengaruh negatif terhadap pembuatan
keputusan etis.
Meskipun tidak secara eksplisit mengatakan bahwa praktisi pajak melakukan
penghindaran pajak agresif, tetapi Niemirowski dan Wearing (2003) berkeyakinan jikalau
praktisi pajak, meskipun dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terikat dengan
kode etik, tetapi dominasi peran wajib pajak dapat mengarahkan mereka untuk
meminimalkan pembayaran pajak.
Sebagai sosok yang paling mengerti tentang ketentuan perpajakan, terkadang praktisi
pajak berangkat dengan alibi bahwa tindakan mereka sebatas memanfaatkan kelemahan
ketentuan perpajakan. Adanya prinsip dalam kasus The Duke of Westminster yang sering
dikutip oleh hakim pengadilan pajak misalnya dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT
29050/PP/M.III/13/2011 yang menyatakan bahwa “...wajib pajak pada dasarnya bebas untuk
mengatur bagaimana mereka bertransaksi untuk menekan beban pajaknya sepanjang tidak
melanggar ketentuan perpajakan...”(Wijaya, 2014). Prinsip tersebut sering dijadikan
pembenaran bagi praktisi pajak untuk sebuah skema perencanaan pajak yang sebenarnya
merupakan penggelapan pajak.
Hal tersebut tercermin melalui keberadaan praktisi pajak creative. Praktisi pajak
creative adalah praktisi pajak yang melakukan penghindaran pajak dengan memanfaatkan
inkonsistensi, ambiguitas, dan kelemahan ketentuan perpajakan. Praktisi pajak creative
umumnya bertindak hati-hati dan bertindak tidak seagresif praktisi pajak machiavellian.
Sama-sama memanfaatkan sistem pemungutan pajak Self Assessment, tetapi praktisi pajak
creative tidak akan mengambil tindakan seagresif praktisi pajak machiavellian, karena
praktisi pajak creative menghindari penghindaran pajak agresif untuk meminimalkan risiko
audit dan sanksi apabila terdeteksi dikemudian hari. Strategi penghindaran pajak lebih
diarahkan pada perencanaan pajak yang konservatif sebatas memanfaatkan kelemahan
ketentuan perpajakan. Prinsipnya membayar pajak hemat tidak berarti melakukan kecurangan
pajak. Australian Tax Officers (ATO) memahami bahwa praktisi pajak tidak hanya
menjalankan fungsinya memberikan nasihat kepada kliennya, mempersiapkan pelaporan
pajak klien dengan benar tetapi juga memberikan jasa mengelola risiko dalam rangka
minimalisasi pembayaran pajak (Niemirowski dan Wearing, 2003). Pengelolaan risiko untuk
tujuan minimalisasi pajak adalah bentuk implementasi kreativitas atas kompetensi yang
dimiliki praktisi pajak.
MEMPERTAHANKAN FUNGSI SEBAGAI AGENT OF COMPLIANCE
Selain creative dan machiavellian, keberadaan praktisi pajak honest juga teridentifikasi
dalam penelitian ini. Kekuatiran dan ketakutan mengenai sanksi perpajakan yang akan
dihadapi wajib pajak sebagai kliennya serta keteguhan berpegang pada kode etik menjadi
landasan praktisi pajak berjalan dalam kecerdasan moralnya. Bagi praktisi pajak honest, fee
wajib pajak bukanlah segalanya dibanding kemungkinan adanya risiko yang harus dihadapi.
Bagi praktisi pajak honest, keberadaan profesinya tidak hanya mengandalkan kompetensi
yang tinggi, melainkan kepemilikan kecerdasan moral yaitu integritas dalam menjalankan
tanggung jawab profesionalnya dan kemandirian secara ekonomi.
Dalam penjelasan di atas disebutkan bahwa persuasi teman sejawat, perilaku pasif
wajib pajak, dan persepsi wajib pajak bahwa implementasi Self Assessment belum
mendatangkan keadilan bagi wajib pajak jelas dapat mempengaruhi perilaku professional dan
dapat melemahkan fungsi praktisi pajak sebagai agent of compliance. Tetapi upaya
pelemahan tersebut diantisipasi dengan karakter integritas dan kecerdasan moral yang
dibangun oleh praktisi pajak. Adanya pergeseran pemahaman mengenai pentingnya moral
praktisi pajak sehingga dapat menghindari tekanan klien yang meminta praktisi pajak
melakukan penghindaran pajak secara agresif (Blanthorne, Burton, dan Fisher, 2008).
Penelitian Gupta (2015) menjelaskan perilaku praktisi pajak di New Zeland yang
bertindak secara konservatif dalam memberikan nasihat yang royal kepada wajib pajak.
Mereka akan memberikan penjelasan yang lengkap kepada wajib pajak untuk menghindari
adanya tuntutan dikemudian hari. Praktisi pajak di New Zeland memiliki prinsip kuat bahwa
dalam melaksanakan jasa profesionalismenya, mereka wajib meningkatkan kepatuhan pajak
para kliennya tanpa perlu menggadaikan tanggungjawab dan integritasnya. Penelitian Gupta
(2015) juga membuktikan bahwa kepuasan wajib pajak terhadap layanan praktisi pajak justru
bertumpu pada adanya interaksi yang terbuka ketika praktisi pajak mau mendengarkan wajib
pajak, mempunyai pengalaman teknis dan kompetensi yang tinggi, serta mempunyai niat
untuk kooperatif.
DILEMA PRKATISI PAJAK: AGENT OF COMPLIANCE ATAU AGENT OF CLIENT
ATO dalam penelitian Tomasic dan Pentony (1991) mengakui begitu dalamnya peran
praktisi pajak dalam kepatuhan pajak sehingga mereka bergantung pada keberadaan praktisi
pajak, apalagi dengan sistem Self Assessment, dimana praktisi pajak dapat saja mengganggu
sistem perpajakan jika diinginkan. Praktisi pajak berpendapat bahwa “it’s not my role to
improve compliance with the system” atau mereka juga mengatakan “ you can’t force a client
to prepare a correct tax return”. Pendapat tersebut menandakan bahwa urusan kepatuhan
bukan berada pada wilayah praktisi pajak.
Dilema praktisi pajak terjadi manakala mereka diperhadapkan pada misi sebagai agent
of compliance dan agent of client. Sulit menghadapi dilema tersebut di tengah keterbatasan
praktisi pajak sebagai manusia rasional yang mempunyai banyak keinginan dan harapan, dan
keterbatasan. Perbedaan kepentingan ini menimbulkan expectation gap yaitu celah antara
peran praktisi pajak sebagai agent of compliance dan peran yang dipersepsikan oleh wajib
pajak ataupun praktisi pajak itu sendiri. Expectation gap tersebut tercermin melalui hasil
penelitian ini bahwa praktisi pajak cenderung untuk melakukan pelemahan terhadap
kepatuhan wajib pajak.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa preferensi wajib pajak dapat menjelaskan
bagaimana para praktisi pajak mengambil peran dalam sistem kepatuhan pajak baik untuk
meningkatkan maupun melemahkan kepatuhan wajib pajak. Melalui persuasi sejawat,
tawaran fee wajib pajak, minimnya pengetahuan wajib pajak, perilaku wajib pajak pasif,
kecerdasan moral dan integritas baik wajib pajak maupun praktisi pajak, dan kompleksitas
ketentuan perpajakan. Nienaber (2010) mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku etis praktisi pajak, yaitu: regulasi praktisi pajak, hubungan antara
praktisi pajak dan wajib pajak, preferensi wajib pajak, kompetensi wajib pajak, risiko, dan
informasi wajib pajak. Preferensi wajib pajak telah menunjukkan motivasi perilaku
kepatuhan pajak mereka melalui pilihan terhadap praktisi pajak. Wajib pajak memandang
bahwa praktisi pajak adalah pihak yang tidak hanya dapat membantu mereka menyelesaikan
kewajiban pajak tetapi juga mampu mengurangi pembayaran pajak melalui strategi
penghindaran pajak baik yang legal maupun ilegal.
Frecknall-Hughes dan Kirchler (2015), memetakan dua jenis jasa yang dilaksanakan
oleh praktisi pajak, yaitu jasa kepatuhan pajak (tax compliance work) yang memastikan
apakah kewajiban pajak yang dilakukan oleh wajib pajak telah sesuai dengan peraturan pajak
yang berlaku dan perencanaan/penghindaran pajak (tax planning/avoidance work). Dalam
pengertian Frecknall-Hughes dan Kirchler (2015) perencanaan/penghindaran pajak
cenderung mengarah kepada tindakan meminimalkan beban pajak secara agresif yang
bertentangan dengan ketentuan perpajakan. Demikian juga Spilker, Ronald G. Worsham, dan
Prawitt (1999) yang menyatakan bahwa praktisi pajak bertindak agresif dalam
menginterpretasikan ketentuan perpajakan yang mengandung multiinterpretasi, namun
demikian praktisi pajak juga dapat bertindak konservatif dalam melakukan tindakan
penghindaran pajak sehingga tidak melanggar ketentuan perpajakan. Kompetensi praktisi
pajak dalam perencanaan pajak mengarah pada motivasi manajemen laba. Pernyataan
tersebut ditegaskan oleh Oponu (2015) melalui uji beda persepsi menjelaskan jika akuntan
publik memiliki sensitifitas lebih tinggi dibanding praktisi pajak dalam hal praktek
manajemen laba. Hal ini berarti, akuntan publik lebih tidak setuju atau lebih tidak
mendukung praktik manajemen laba dibanding praktisi pajak.
Sistem pemungutan pajak Self Assessment yang melibatkan kemandirian wajib pajak
dalam memenuhi kewajiban pajak mereka bukanlah sebuah perkara mudah. Apalagi
elaborasi kompleksitas ketentuan perpajakan dengan Self Assessment dapat ditangkap sebagai
sebuah kesempatan bagi wajib pajak ataupun praktisi pajak untuk mengimplementasikan
penghindaran pajak agresif. Self Assessment dan kompleksitas tersebut menciptakan agency
relationship yaitu kontrak antara praktisi pajak dengan wajib pajak dan kontrak praktisi pajak
dan pemerintah. Wolfman dan Holden (1982) menyadari bahwa adanya peran ganda praktisi
pajak tidak dapat dihindari apalagi sistem pemungutan pajak menggunakan Self Assessment.
Bahwa praktisi pajak harus membantu wajib pajak memenuhi kewajiban pajaknya yang
dilaksanakan dengan Self Assessment tetapi pada sisi yang lain mereka juga diperhadapkan
pada kepentingan untuk melindungi kepentingan umum yang bergantung pada penerimaan
pajak.
Agency relationship adalah kontrak yang dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman wajib pajak mengenai ketentuan perpajakan, namun demikian kontrak ini dapat
digunakan untuk mengeksploitasi celah-celah dalam ketentuan perpajakan dalam rangka
meminimalkan beban pajak secara agresif. Agency relationship diggambarkan oleh Pickhardt
dan Prinz (2014) dan Suci (2011) melalui terjadinya interaksi yang dinamis antara wajib
pajak, konsultan pajak, dan petugas pajak. Bahkan, begitu dinamisnya interaksi antara wajib
pajak, konsultan pajak, dan petugas pajak dapat mengarah pada kemitraan yang menyimpang
ketika pihak-pihak tersebut bekerja sama dengan “damai” untuk mengurangi jumlah pajak
yang akan disetor ke negara.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa agresivitas penghindaran pajak tidak hanya
bergantung pada motivasi wajib pajak, tetapi praktisi pajakpun memberikan andil dalam
tindakan agresivitas tersebut. Meskipun keputusan kepatuhan pajak berada di tangan wajib
pajak, tetapi nasehat konsultan pajak atau kepasifan wajib pajak yang menyerahkan semua
urusan kewajiban pajak kepada praktisi pajak memberikan pengaruh yang cukup besar
kepada kepatuhan wajib pajak. Bahkan di Australia, wajib pajak dapat menekan praktisi
pajak dengan menghentikan kontrak jika praktisi pajak tidak memenuhi permintaan klien
(Niemirowski dan Wearing, 2003). Keseluruhan hasil penelitian baik analisis data kuantitatif
maupun kualitatif menunjukkan pentingnya mengetahui persepsi wajib pajak terhadap
praktisi pajak, karena persepsi dikonstruksi oleh wajib pajak sendiri berdasarkan pengalaman
mereka termasuk bagaimana mereka memaknai kewajiban pajak yang melekat sebagai warga
negara.
5. SIMPULAN, KONTRIBUSI PENELITIAN, DAN SARAN PENELITIAN
SELANJUTNYA
5.1 SIMPULAN Studi persepsi wajib pajak adalah representasi pengalaman wajib pajak yang berkontribusi
dalam pembentukan sebuah tindakan. Penelitian ini membuktikan adanya hubungan positif antara
persepsi wajib pajak dan preferensi. Artinya preferensi wajib pajak terhadap praktisi pajak sama
dengan persepsinya dalam memilih praktisi pajak. Hal tersebut menandakan persepsi wajib pajak
telah mengarahkan tindakan wajib pajak dalam mereferensikan pilihannya terhadap praktisi pajak.
Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini yang berperan sebagai komplementari hasil penelitian
kuantitatif menjelaskan hasil persepsi dan preferensi wajib pajak melalui keberadaan tiga karakter
praktisi pajak yang teridentifikasi dalam penelitian ini, yaitu honest, creative, dan machiavellian.
Keberadaan karakter tersebut menandakan bahwa praktisi pajak tidak sepenuhnya bertindak sebagai
agent of compliance, tetapi dapat bertindak sebagai agent of client yang dapat mengarah pada
penghindaran pajak agresif.
5.2 KONTRIBUSI PENELITIAN
Secara praktis, penelitian ini menjadi referensi bagi Direktur Jenderal Pajak (DJP) sebagai pembuat
kebijakan untuk meregulasi kembali peran dan posisi sentral praktisi pajk dalam sistem perpajakan.
Selama ini DJP lebih memfokuskan dengan meningkatkan kualitas teknis konsultan pajak dengan
mewajibkan praktisi pajak mengikuti pendidikan pelatihan berkelanjutan, tetapi melupakan aspek
pendidikan untuk meningkatkan kecerdasan moral praktisi pajak.
Secara kebijakan, hasil penelitian ini dapat berkontribusi bagi DJP untuk merekonstruksi
kembali relasi antara DJP sebagai regulator dan praktisi pajak sebagai intermediari. Rekonstruksi
hubungan tersebut diperlukan, karena sistem perpajakan terkadang tidak berjalan sesuai dengan yang
diinginkan oleh wajib pajak, sehingga wajib pajak menggunakan intermediari yaitu praktisi pajak
untuk membantu menyelesaikan kewajiban pajak mereka.
5.3 SARAN PENELITIAN SELANJUTNYA
Hasil penelitian kualitatif bersifat subjektif atau merupakan temuan dari kasus-kasus yang
sifatnya individual. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dapat menggunakan temuan konsep-
konsep atau pernyataan yang dihasilkan dalam penelitian ini, antara lain: persuasi sejawat, tawaran fee
wajib pajak, minimnya pengetahuan wajib pajak, perilaku wajib pajak pasif, kecerdasan moral dan
integritas baik wajib pajak maupun praktisi pajak, dan kompleksitas ketentuan perpajakan sebagai
variabel yang dapat diuji dalam hubungannya dengan pengaruh praktisi pajak dalam kepatuhan wajib
pajak.
REFERENSI
Amaratunga, D., Baldry, D., Sarshar, M., dan Newton, R. 2002. Quantitative and qualitative research in the
built environment. Work Study, 51 (1), 17-31.
Arestanti, M. A., Herawati, N., dan Rahmawati, E. 2016. Faktor-Faktor Internal Individual dalam Pembuatan
Keputusan Etis: Studi pada Konsultan Pajak di Kota Surabaya. Jurnal Akuntansi dan Investasi, 17 (2),
104-117.
Benata, C. 2016. Persepsi Wajib Pajak Mengenai Praktisi Pajak dan Preferensi Wajib Pajak Dalam Memilih
Praktisi Pajak: Machiavellian Consultant, Creative Consultant, dan Honest Consultant. S1,
Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Blanthorne, C., Burton, H., dan Fisher, D. 2008. The Aggressiveness of Tax Professional Reporting: Examining
The Influence of Moral Reasoning. Working Paper Series, 14.
Brannen, J. 2005. Mixed Methods Research: A Discussion Paper. Working Papers, National Centre for
Research Methods, 1-30.
Carley, K. M., dan Maxwell, D. T. 2006. Understanding Taxpayer Behavior and Assessing Potential IRS
Interventions Using Multiagent Dynamic-Network Simulation. Proceedings of the 2006 Internal
Revenue Service Research Conference, Washington, DC, 93-106.
Devos, K. 2012. The impact of tax profesionals upon the compliance bahavior of Australian individual
taxpayers. Revenue Law Journal, 22 (1), 1-26.
Erard, B. 1993. Taxation with representation, an analysis of the role of tax practitioners in tax compliance.
Journal of Public Economics, 52, 163-197.
Frecknall-Hughes, J., dan Kirchler, E. 2015. Towards a General Theory of Tax Practice. Social & Legal
Studies, 24 (2), 289-312.
Gupta, R. 2015. Relational Impact of Tax Practitioners' Bahavioural Interaction and Service Satisfaction:
Evidence from New Zeland. eJournal of Tax Research 13 (1), 76-107.
Herman, G. 2006. Reading People, Cara Efektif untuk Menggerakkan Orang serta Mengatasi dan Mencegah
Penolakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Ismayanti. 2010. Pengantar Pariwisata. Jakarta: Grasindo.
Killian, S., dan Doyle, E. 2004. The Aggression Among Tax Professionals The Case of South Africa. Journal
of Accounting, Ethics & Public Policy, 4 (3), 159-189.
Klepper, S., Mazur, M., dan Nagin, D. 1991. Expert Intermediaries and Legal Compliance: The Case of Tax
Prepares. Journal of Law & Economics 34, 205-229.
Kotler, P. 1995. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control: Prentice Hall.
Long, J. E., dan Caudill, S. B. 1987. The Usage and Benefit of Paid Tax Return Preparation National Tax
Journal, 40 (1), 35-46.
Mansury, R. 1996. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: IND - HILL- CO Jakarta.
Marliyah, L., Dewi, F. I. R., dan Suyasa, T. Y. S. 2004. Persepsi terhadap Dukungan Orangtua dan Pembuatan
Keputusan Karir Remaja. Jurnal Provitae, 1 (1).
Miles, M. B., dan Huberman, A. M. 1994. Qualitative Data Analysis: Sage Publications. Inc.
Niemirowski, P., dan Wearing, A. J. 2003. Taxation Agents and Taxpayer Compliance Journal of Australian
Taxation 6(2), 166-200.
Nienaber, S. 2010. Factors That Could Influence The Ethical Behaviour of Tax Professionals Meditari
Accountancy Research in Nursing & Health, 18 (1), 33-46.
OECD. 2008. Study into the Role of Tax Intermediaries. Cape Town Forum Meeting, 3-88.
Oponu, S. H. A. 2015. Persepsi Akuntan Publik dan Konsultan Pajak Terhadap Praktik Manajemen Laba.
Program Sarjana, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Otto, F., Michael, F., Philip, G., Gertraud, L., Martina, N., dan Martin, S. 2015. Tax Avoidance, Tax Evasion
and Tax Havens. Stand Mei.
Pickhardt, M., dan Prinz, A. 2014. Behavioral Dynamics of Tax Evasion - A Survey. Journal of Economic
Psychology, 40, 1-19.
Saad, N. 2012. Tax Non-Compliance Behaviour: Taxpayer's View. Procedia - Social and Behavioral Sciences,
65, 344-351.
Sakurai, Y., dan Braithwaite, V. 2001. Taxpayers' Perception of The Ideal Tax Adviser: Playing Safe or Saving
Dollars Working Paper 5,1-32.
Somantri, G. R. 2005. Memahami Metode Kualitatif. Makara, Sosial Humaniora, 9 (2), 57-65.
Spilker, B. C., Ronald G. Worsham, J., dan Prawitt, D. F. 1999. Tax Professionals' Interpretations of Ambiguity
in Compliance and Planning Decision Context. The Journal of The American Taxation Association, 21
(2), 75-89.
Stephenson, T. 2006. The Gap Between What Taxpayers Want and What Tax Professionals Think They Want: A
Reexamination of Client Expectations and Tax Professional Aggressiveness. The Graduate School
University of Kentucky.
Stephenson, T. 2007. Do Client Shares Prepares' Self Assessment of the Extent to Which They Advocate for
Their Clients. Accounting Horizons, 21 (4), 411-422.
Suci, A. 2011. 151 Konspirasi Dunia, Paling Gila & Mencengangkan: Wahyu Media.
Suparno, P. 2008. Action Research, Riset Tindakan untuk Pendidik. Jakarta: Grasindo.
Sutanto, L., dn Tjondro, E. 2013. Persepsi Wajib Pajak terhadap Konsultan Pajak dan Preferensi Wajib Pajak
dalam Memilih Konsultan Pajak: Honest Consultant, Creative Consultant, dan Cautious Consultant.
Tax Accounting Review, 3 (2).
Tan, L. M. 1998. Types of Advice from Taxpayers: A Preliminary Examination of Taxpayers's Preference.
Discussion Paper Series, Department of Accountancy and Business Law, Massey University
Palmerston North, 4-29.
Tan, L. M. 1999. Taxpayers' Preference for Type of Advice From Tax Practitioner: A Preliminary Examination.
Journal of Economic Psychology, 20 (4), 431-447.
Thuronyi, V., dan Vanistendael, F. 1996. Regulation of Tax Professional. In V. Thuronyi (Ed.), Tax Law
Design and Drafting (Vol. 1, pp. 1-26).
Tomasic, R., dan Pentony, B. 1991. Taxation Law Compliance and The Role of Professional Advisers. Aust &
NZ Journal of Criminology, 24, 241-257.
Webb, J., dan Hussain, J. G. 2010. Developing an Understanding of Taxpayer Perceptions in an Economic
Crisis. Journal of Finance and Management in Public Services, 9 (2).
Wijaya, I. 2014. Mengenal Penghindaran Pajak, Tax Avoidance. Retrieved from
William, S. E., dan Simmons, R. S. 2008. Social Responsibility, Machiavellianism and Tax Avoidance: A
Study of Hong Kong Tax Professionals Accounting, Auditing & Accountability Journal 21 (5), 695-
720.
Wolfman, B., dan Holden, J. P. 1982. Ethical Problems in Federal Tax Practice Harvard Law Review, 95 (8),
1995-2009.
LAMPIRAN
Uji Validitas dan Reliabilitas Data
X (Persepsi Wajib Pajak)
Correlations
X1_1 X1_2 X1_3 X1_4 X1_5 X1_6 X1_7 X2_8 X2_9
X2_1
0
X2_1
1
X2_1
2
X2_1
3
X3_1
4
X3_1
5
X3_1
6
X3_1
7
X3_1
8
X3_1
9
X3_2
0 Total
X1_1 Pearson
Correlatio
n
1 .406
*
*
.491*
*
.315*
*
.378*
*
.328*
*
.264*
*
.218* .199
* .156 .244
* .143 .260
** -.104 -.015 -.081 -.165 -.194 -.160 -.117
.418*
*
Sig. (2-
tailed) .000 .000 .001 .000 .001 .008 .029 .047 .121 .014 .157 .009 .305 .886 .421 .101 .054 .112 .248 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X1_2 Pearson
Correlatio
n
.406*
*
1 .434
*
*
.328*
*
.434*
*
.449*
*
.510*
*
.231*
.289*
*
.260**
.386**
.197* .316
** -.094 -.073 -.167 -.205
*
-
.270**
-.251
* -.181
.477*
*
Sig. (2-
tailed) .000 .000 .001 .000 .000 .000 .021 .004 .009 .000 .049 .001 .351 .470 .098 .041 .007 .012 .071 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X1_3 Pearson
Correlatio
n
.491*
*
.434*
*
1 .400
*
*
.443*
*
.445*
*
.451*
*
.250* .163 .204
* .402
** .296
** .206
* -.021 -.023 -.084 -.170 -.116 -.127 -.086
.543*
*
Sig. (2-
tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 .012 .106 .041 .000 .003 .040 .835 .818 .403 .091 .251 .207 .397 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X1_4 Pearson
Correlatio
n
.315*
*
.328*
*
.400*
*
1 .669
*
*
.532*
*
.508*
*
.367*
*
.328*
*
.073 .328**
.275**
.291**
-
.282**
-.241
*
-
.316**
-
.354**
-
.306**
-
.337**
-
.311**
.409*
*
Sig. (2-
tailed) .001 .001 .000 .000 .000 .000 .000 .001 .469 .001 .006 .003 .004 .016 .001 .000 .002 .001 .002 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X1_5 Pearson
Correlatio
n
.378*
*
.434*
*
.443*
*
.669*
*
1 .417
*
*
.462*
*
.343*
*
.365*
*
.176 .309**
.305**
.429**
-.130 -.096 -.092 -.192 -.189 -.211* -.084
.556*
*
Sig. (2-
tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .080 .002 .002 .000 .196 .340 .361 .056 .060 .035 .404 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X1_6 Pearson
Correlatio
n
.328*
*
.449*
*
.445*
*
.532*
*
.417*
*
1 .679
*
*
.319*
*
.322*
*
.117 .466**
.242* .317
** -.245
*
-
.258**
-.210
* -.247
* -.256
*
-
.261**
-.229
*
.487*
*
Sig. (2-
tailed) .001 .000 .000 .000 .000 .000 .001 .001 .245 .000 .015 .001 .014 .009 .036 .013 .010 .009 .022 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X1_7 Pearson
Correlatio
n
.264*
*
.510*
*
.451*
*
.508*
*
.462*
*
.679*
*
1 .343
*
*
.346*
*
.344**
.459**
.118 .307**
-.211* -.234
*
-
.262**
-
.296**
-
.304**
-
.327**
-.246
*
.482*
*
Sig. (2-
tailed) .008 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .242 .002 .035 .019 .009 .003 .002 .001 .014 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X2_8 Pearson
Correlatio
n
.218* .231
* .250
*
.367*
*
.343*
*
.319*
*
.343*
*
1 .626
*
*
.337**
.246* .538
** .499
** -.042 .023 -.013 -.061 -.036 -.091 -.016
.567*
*
Sig. (2-
tailed) .029 .021 .012 .000 .000 .001 .000 .000 .001 .014 .000 .000 .675 .819 .897 .544 .721 .367 .872 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X2_9 Pearson
Correlatio
n
.199*
.289*
*
.163 .328
*
*
.365*
*
.322*
*
.346*
*
.626*
*
1 .451**
.136 .482**
.684**
-.128 -.053 .000 -.037 -.053 -.112 .020 .553
*
*
Sig. (2-
tailed) .047 .004 .106 .001 .000 .001 .000 .000 .000 .177 .000 .000 .203 .597 1.000 .715 .602 .269 .846 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X2_1
0
Pearson
Correlatio
n
.156 .260
*
*
.204* .073 .176 .117
.344*
*
.337*
*
.451*
*
1 .169 .332**
.556**
.174 .231* .147 .105 .093 .090 .169
.561*
*
Sig. (2-
tailed) .121 .009 .041 .469 .080 .245 .000 .001 .000 .093 .001 .000 .084 .021 .145 .299 .358 .376 .092 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X2_1
1
Pearson
Correlatio
n
.244*
.386*
*
.402*
*
.328*
*
.309*
*
.466*
*
.459*
*
.246* .136 .169 1 .233
* .222
* -.125 -.092 -.185 -.232
* -.232
* -.149 -.186
.413*
*
Sig. (2-
tailed) .014 .000 .000 .001 .002 .000 .000 .014 .177 .093 .020 .026 .214 .364 .066 .020 .020 .139 .064 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X2_1
2
Pearson
Correlatio
n
.143 .197*
.296*
*
.275*
*
.305*
*
.242* .118
.538*
*
.482*
*
.332**
.233* 1 .536
** -.083 -.021 .196 .142 .177 .046 .215
*
.584*
*
Sig. (2-
tailed) .157 .049 .003 .006 .002 .015 .242 .000 .000 .001 .020 .000 .412 .838 .051 .158 .079 .648 .032 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X2_1
3
Pearson
Correlatio
n
.260*
*
.316*
*
.206*
.291*
*
.429*
*
.317*
*
.307*
*
.499*
*
.684*
*
.556**
.222* .536
** 1 .035 .135 .084 -.013 -.023 -.098 .099
.640*
*
Sig. (2-
tailed) .009 .001 .040 .003 .000 .001 .002 .000 .000 .000 .026 .000 .726 .179 .407 .898 .822 .331 .329 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X3_1
4
Pearson
Correlatio
n
-.104 -.094 -.021
-
.282*
*
-.130 -
.245*
-
.211*
-.042 -.128 .174 -.125 -.083 .035 1 .916**
.321**
.324**
.323**
.326**
.307**
.237*
Sig. (2-
tailed) .305 .351 .835 .004 .196 .014 .035 .675 .203 .084 .214 .412 .726 .000 .001 .001 .001 .001 .002 .017
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X3_1
5
Pearson
Correlatio
n
-.015 -.073 -.023 -
.241*
-.096
-
.258*
*
-
.234*
.023 -.053 .231* -.092 -.021 .135 .916
** 1 .294
** .308
** .343
** .327
** .286
**
.289*
*
Sig. (2-
tailed) .886 .470 .818 .016 .340 .009 .019 .819 .597 .021 .364 .838 .179 .000 .003 .002 .000 .001 .004 .004
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X3_1
6
Pearson
Correlatio
n
-.081 -.167 -.084
-
.316*
*
-.092 -
.210*
-
.262*
*
-.013 .000 .147 -.185 .196 .084 .321**
.294**
1 .900**
.848**
.743**
.974**
.404
*
*
Sig. (2-
tailed) .421 .098 .403 .001 .361 .036 .009 .897 1.000 .145 .066 .051 .407 .001 .003 .000 .000 .000 .000 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X3_1
7
Pearson
Correlatio
n -.165 -
.205*
-.170
-
.354*
*
-.192 -
.247*
-
.296*
*
-.061 -.037 .105 -.232* .142 -.013 .324
** .308
** .900
** 1 .932
** .850
** .892
**
.336*
*
Sig. (2-
tailed) .101 .041 .091 .000 .056 .013 .003 .544 .715 .299 .020 .158 .898 .001 .002 .000 .000 .000 .000 .001
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X3_1
8
Pearson
Correlatio
n -.194
-
.270*
*
-.116
-
.306*
*
-.189 -
.256*
-
.304*
*
-.036 -.053 .093 -.232* .177 -.023 .323
** .343
** .848
** .932
** 1 .865
** .836
**
.335*
*
Sig. (2-
tailed) .054 .007 .251 .002 .060 .010 .002 .721 .602 .358 .020 .079 .822 .001 .000 .000 .000 .000 .000 .001
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X3_1
9
Pearson
Correlatio
n -.160 -
.251*
-.127
-
.337*
*
-
.211*
-
.261*
*
-
.327*
*
-.091 -.112 .090 -.149 .046 -.098 .326**
.327**
.743**
.850**
.865**
1 .718**
.273
*
*
Sig. (2-
tailed) .112 .012 .207 .001 .035 .009 .001 .367 .269 .376 .139 .648 .331 .001 .001 .000 .000 .000 .000 .006
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
X3_2
0
Pearson
Correlatio
n -.117 -.181 -.086
-
.311*
*
-.084 -
.229*
-
.246*
-.016 .020 .169 -.186 .215* .099 .307
** .286
** .974
** .892
** .836
** .718
** 1
.399*
*
Sig. (2-
tailed) .248 .071 .397 .002 .404 .022 .014 .872 .846 .092 .064 .032 .329 .002 .004 .000 .000 .000 .000 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Total Pearson
Correlatio
n .418
*
*
.477*
*
.543*
*
.409*
*
.556*
*
.487*
*
.482*
*
.567*
*
.553*
*
.561**
.413**
.584**
.640**
.237* .289
** .404
** .336
** .335
** .273
** .399
** 1
Sig. (2-
tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .017 .004 .000 .001 .001 .006 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.721 21
Lampiran 1 : Uji Validitas dan Reliabilitas Data
Y (Preferensi Wajib Pajak)
Correlations
Y1_1 Y1_2 Y1_3 Y1_4 Y1_5 Y2_6 Y2_7 Y2_8 Y2_9 Y2_10 Y3_11 Y3_12 Y3_13 Y4_14 Y3_15 TOTAL
Y1_1 Pearson
Correlation 1 .601
** .426
** .185 .260
** .186 .175 .176 .284
** .210
* -.229
* -.230
* -.267
** -.266
** -.125 .432
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .065 .009 .065 .082 .081 .004 .036 .022 .021 .007 .007 .214 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y1_2 Pearson
Correlation .601
** 1 .567
** .187 .304
** .195 .052 .211
* .280
** .176 -.342
** -.288
** -.311
** -.245
* -.139 .414
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .062 .002 .052 .605 .035 .005 .080 .000 .004 .002 .014 .168 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y1_3 Pearson
Correlation .426
** .567
** 1 .192 .260
** .151 .062 .240
* .340
** .211
* -.266
** -.175 -.221
* -.187 -.158 .446
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .055 .009 .133 .539 .016 .001 .035 .007 .082 .027 .062 .117 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y1_4 Pearson
Correlation .185 .187 .192 1 .367
** .146 .269
** .180 .175 .193 -.231
* -.169 -.157 -.123 -.045 .382
**
Sig. (2-tailed) .065 .062 .055 .000 .146 .007 .073 .081 .054 .021 .092 .119 .224 .656 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y1_5 Pearson
Correlation .260
** .304
** .260
** .367
** 1 .311
** .210
* .145 .221
* .189 -.180 -.188 -.095 -.216
* -.163 .422
**
Sig. (2-tailed) .009 .002 .009 .000 .002 .036 .150 .027 .060 .074 .061 .348 .031 .106 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y2_6 Pearson
Correlation .186 .195 .151 .146 .311
** 1 .432
** .647
** .244
* .407
** -.140 -.112 -.164 -.171 -.077 .533
**
Sig. (2-tailed) .065 .052 .133 .146 .002 .000 .000 .015 .000 .165 .268 .102 .088 .447 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y2_7 Pearson
Correlation .175 .052 .062 .269
** .210
* .432
** 1 .539
** .347
** .316
** -.042 -.098 -.121 .012 -.007 .528
**
Sig. (2-tailed) .082 .605 .539 .007 .036 .000 .000 .000 .001 .681 .332 .229 .907 .942 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y2_8 Pearson
Correlation .176 .211
* .240
* .180 .145 .647
** .539
** 1 .272
** .468
** -.130 -.087 -.118 -.035 -.051 .590
**
Sig. (2-tailed) .081 .035 .016 .073 .150 .000 .000 .006 .000 .198 .390 .243 .731 .616 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y2_9 Pearson
Correlation .284
** .280
** .340
** .175 .221
* .244
* .347
** .272
** 1 .339
** -.266
** -.344
** -.231
* -.246
* -.141 .412
**
Sig. (2-tailed) .004 .005 .001 .081 .027 .015 .000 .006 .001 .008 .000 .021 .014 .163 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y2_10 Pearson
Correlation .210
* .176 .211
* .193 .189 .407
** .316
** .468
** .339
** 1 -.096 -.149 -.158 -.099 -.055 .506
**
Sig. (2-tailed) .036 .080 .035 .054 .060 .000 .001 .000 .001 .344 .140 .116 .329 .586 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y3_11 Pearson
Correlation -.229
* -.342
** -.266
** -.231
* -.180 -.140 -.042 -.130 -.266
** -.096 1 .831
** .793
** .731
** .826
** .278
**
Sig. (2-tailed) .022 .000 .007 .021 .074 .165 .681 .198 .008 .344 .000 .000 .000 .000 .005
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y3_12 Pearson
Correlation -.230
* -.288
** -.175 -.169 -.188 -.112 -.098 -.087 -.344
** -.149 .831
** 1 .696
** .773
** .758
** .277
**
Sig. (2-tailed) .021 .004 .082 .092 .061 .268 .332 .390 .000 .140 .000 .000 .000 .000 .005
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y3_13 Pearson
Correlation -.267
** -.311
** -.221
* -.157 -.095 -.164 -.121 -.118 -.231
* -.158 .793
** .696
** 1 .745
** .675
** .254
*
Sig. (2-tailed) .007 .002 .027 .119 .348 .102 .229 .243 .021 .116 .000 .000 .000 .000 .011
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y4_14 Pearson
Correlation -.266
** -.245
* -.187 -.123 -.216
* -.171 .012 -.035 -.246
* -.099 .731
** .773
** .745
** 1 .627
** .289
**
Sig. (2-tailed) .007 .014 .062 .224 .031 .088 .907 .731 .014 .329 .000 .000 .000 .000 .004
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Y3_15 Pearson
Correlation -.125 -.139 -.158 -.045 -.163 -.077 -.007 -.051 -.141 -.055 .826
** .758
** .675
** .627
** 1 .398
**
Sig. (2-tailed) .214 .168 .117 .656 .106 .447 .942 .616 .163 .586 .000 .000 .000 .000 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
TOTAL Pearson
Correlation .432
** .414
** .446
** .382
** .422
** .533
** .528
** .590
** .412
** .506
** .278
** .277
** .254
* .289
** .398
** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .005 .005 .011 .004 .000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.696 16
Uji Normalitas Data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 100
Normal Parametersa,b
Mean
.0000000
Std. Deviation 3.87919880
Most Extreme Differences
Absolute .037
Positive .021
Negative -.037
Kolmogorov-Smirnov Z .369
Asymp. Sig. (2-tailed) .999
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Uji Linearitas
ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Preferensi * Persepsi Between Groups (Combined)
1313.080 28 46.896 2.952 .000
Linearity 950.608 1 950.608 59.847 .000
Deviation from
Linearity 362.472 27 13.425 .845 .680
Within Groups 1127.760 71 15.884
Total 2440.840 99
Preferensi Wajib Pajak Terhadap Praktisi Pajak: Studi Mix Method
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 26
Uji Hipotesis
Correlations
Persepsi_Total Preferensi_Total
Persepsi_Total Pearson Correlation 1 .625
**
Sig. (2-tailed) .000
N 100 100
Preferensi_Total Pearson Correlation .625
** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 100 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Uji Hipotesis (Sambungan)
Correlations
X1 X2 X3 Y1 Y2 Y3
X1 Pearson Correlation 1 .553**
-.335**
.545**
.317**
-.161
Sig. (2-tailed) .000 .001 .000 .001 .109
N 100 100 100 100 100 100
X2 Pearson Correlation .553**
1 -.009 .326**
.615**
-.126
Sig. (2-tailed) .000 .930 .001 .000 .210
N 100 100 100 100 100 100
X3 Pearson Correlation -.335**
-.009 1 -.155 .122 .428**
Sig. (2-tailed) .001 .930 .125 .228 .000
N 100 100 100 100 100 100
Y1 Pearson Correlation .545**
.326**
-.155 1 .398**
-.326**
Sig. (2-tailed) .000 .001 .125 .000 .001
N 100 100 100 100 100 100
Y2 Pearson Correlation .317**
.615**
.122 .398**
1 -.205*
Sig. (2-tailed) .001 .000 .228 .000 .041
N 100 100 100 100 100 100
Y3 Pearson Correlation -.161 -.126 .428**
-.326**
-.205* 1
Sig. (2-tailed) .109 .210 .000 .001 .041
N 100 100 100 100 100 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).