Post on 07-Mar-2019
i
STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN PROGRAM
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UU NO.13 TAHUN
20 06 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN
WITNESS PROTECTION ACT 199 1 NO. 15/1991 AUSTRALIA
Pe nulisan Hukum
( Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk Me le ngkapi Sebagian Persyaratan guna
Me mpe roleh De rajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Se belas Mare t Surakarta
Ole h :
EKA WAHYU KEPTIANY
E0005153
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
PERSETUJUAN PEMB IMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN PROGRAM
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UU NO.13 TAHUN
20 06 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN
WITNESS PROTECTION ACT 199 1 NO. 15/1991 AUSTRALIA
Oleh
EKA WAHYU KEPTIANY
E0005153
Dise tujui untuk dipe rtahankan di hadapan De wan Pe nguji Penulisan Hukum
( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Se belas Mare t Surakarta
Pe mbimbing
Bambang Santoso, S.H.,M.Hum
NIP. 196802 0919890 31 001
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN PROGRAM
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UU NO.13 TAHUN
200 6 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN
WITNESS PROTECTION ACT 1991 NO. 15/1991 AUSTRALIA
Oleh
EKA WAHYU KEPTIANY
E00 05153
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Se belas Mare t Surakarta Pada :
Hari : SELASA
Tanggal : 20 JULI 20 10
DEWAN PENGUJI
1. EDY HERDYANTO,S.H., M.H. : ……………………………………. Ketua 2.KRISTIYADI,S.H.,M.Hum :……………………………………. Sekretaris 3.BAMBANG SANTOSO,S.H,.M.Hum : ……………………………………. Anggota
Mengetahui Dekan,
Moh. Jamin, S.H.M.Hum NIP. 196109301986011001
iv
PERNYATAAN
Nama : Eka wahyu keptiany NIM : E0005153
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul ”
STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN PROGRAM
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UU NO.13 TAHUN
2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN
WITNESS PROTECTION ACT 1991 NO. 15/1991 AUSTRALIA” adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang
saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juli 2010
yang membuat pernyataan
Eka Wahyu Ke ptiany NIM: E 0005153
v
ABSTRAK
EKA WAHYU KEPTIANY. E 0005153, 2010. STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN PROGRAM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UU NO.13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION ACT 1991 NO. 15/1991 AUSTRALIA , Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hokum pengaturan program perlindungan saksi dan korban menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan Witnees Protection Act 1991 No.15/1991 Australia.Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal bersifat preskriptif, mengkaji.. Sumber penelitian sekunder yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan sumber penelitian yang digunakan untuk mengetahui hokum pengaturan program perlindungan saksi dan korban menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan Witnees Protection Act 1991 No.15/1991 Australia yaitu studi kepustakaan dan rujukan internet. Di dalam Analisis digunakan silogisme deduksi dengan pengumpulan data untuk menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui mengenai persamaan dan perbedaan pengaturan lembaga perlindungan saksi dan korban menurut UU No.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan Witness Protection Agency menurut Witness Protection Act 1991 No.15/1991 Australia dan dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan pengaturan program perlindungan saksi dan korban menurut UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection act No.15/1991 Australia. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Persamaan pengaturan program perlindungan saksi dan korban menurut UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act No.15/1991 Australia adalah :kedua undang-undang ini adalah untuk memfasilitasi keselamatan orang yang sedang atau telah menjadi saksi dalam sidang pengadilan tindak pidana, Kelebihan pengaturan program perlindungan saksi dan korban menurut UU No. 16 tahun 2006 dengan menurut witness protection act No. 15/1991 Australia.adalah Perlindungan saksi pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak memberi kesempatan pada negara – negara lain untuk melakukan intervensi dalam persidangan sehingga kedaulatan hukum masih terjaga,Sedangkan kelemahannya adalah tidak diaturnya saksi pelengkap pada Undang – undang perlindungan saksi No.13 tahun 2006 sebagaimana diatur dalam witness protection act memungkinkan kesubjektifan jalannya persidangan Kata Kunci : saksi dan korban,-Witness Protection Agency-Witness Protection Act
vi
MOTTO
1.Sabar dalam mengatasi kesulitan dan bertindak bijaksana dalam mengatasinya
adalah sesuatu yang utama.
2. Ketergesaan dalam setiap usaha membawa kegagalan. (Herodotus )
3. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok adalah harapan.
4. Menunggu kesuksesan adalah tindakan sia-sia yang bodoh.
vii
PERSEMBAHAN
1. Alhamdulillah,,alhamdulillah...terima kasih ya ALLAH atas segalanya
yang Engkau berikan buat saya.
2. Terima kasih buat bpk Slamet,Ibu Anny yang selalu memberikan
cinta,doa,pengorbanan dan mencurahkan segalanya tanpa henti.
3. Terima kasih saya ucapkan kepada bpk Ali dan Ibu wied buat dukungan
dan doa .
4. Buat suamiku tercinta LETTU KAV M.SULISTYO NUGROHO...thanks
buat dukungan,semangat,doa,dll nya.selalu denganmu..
5. AD 73 NK,F 1398 ML,BG 2504 NI, ocy,dewi yang selalu mengantarkan
dan menemani saya disaat sedih dan senang.
6. Terima kasih kepada bpk dan ibu Siswono,bpk dan ibu Sumantri,atas
dukungan dan ijin yang telah diberikan kepada saya.
7. Terima kasih Buat mba merry,mba yenni,mba revi,mba halida,mba
lilik...yang selalu menyemangati saya di karang enda buat nyelesaikan
kuliah ini.
8. Untuk segenap pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan penulis satu
persatu yang membantu terselesaikannya skripsi ini.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas
rahmat-NYA sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan
Hukum yang berjudul ” STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN
PROGRAM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORB AN MENURUT UU
NO.13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
DENGAN WITNESS PROTECTION ACT 1991 NO. 15/1991 AUSTRALIA”
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat
bukti yang berhasil diungkap atau dimunculkan. Dalam proses persidangan,
terutama yang berkenaan dengan Saksi dan Korban, tidak sedikit kasus yang
kandas ditengah jalan disebabkan ketiadaan Saksi dan Korban yang
dapatmendukung tugas penegak hukum. Oleh karena itu, keberadaan Saksi dan
Korban merupakan suatu unsur yang sangat menentukan dalam suatu proses
peradilan pidana.
Peran Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini sangat
jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Adanya kasus-kasus yang
tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan oleh karena keengganan saksi
dan Korban untuk memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena
mendapat ancaman dari pihak-tertentu.
Penulis menyadari bahwa terselesainya Penulisan Hukum ini tidak
terlepas dari bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai
pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang
telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum selaku pembimbing penulisan skripsi
yang telah sabar memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi
Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
ix
4. Bapak Kristiyadi, S.H.,Mhum, selaku Dosen Hukum Acara P idana yang
telah berbagi ilmu dengan penulis.
5. Bapak M.rustamaji, S.H,.Mhum,selaku Dosen Hukum Acara Pidana yang
telah berbagi ilmu dengan penulis.
6. Bapak Isharyanto, S.H.,Mhum selaku pembimbing akademis, atas nasehat
yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan
skripsi ini.
8. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum dan Mas Wawan
anggota PPH yang banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
9. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum UNS, yang telah membantu
menyediakan bahan referensi yang berkaitan dengan topik penulisan hukum.
10. Bapak Joko yang telah banyak membantu penulis dalam mengurus segala hal
yang berhubungan dengan nilai dan skripsi.
11. Dan semua pihak yang telah membantu penyusunan penulisan hukum ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum atau Skripsi ini masih jauh
dari sempurna baik dari segi subtansi ataupun teknis penulisannya. Untuk itu
sumbang saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat penulis
harapkan demi perbaikan atau penyempurnaan lebih lanjut.
Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat kepada kita semua, terutama untuk penulisan, akademisi, praktisi serta
masyarakat umum.
Surakarta, Juli 2010
Penulis
EKA WAHYU KEPTIANY
NIM. E000515 3
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN...................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO.................................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI................................................................................................ x
DAFTAR TABEL........................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Pembatasan Masalah .............................................................. 9
C. Perumusan Masalah............................................................... 11
D. Tujuan P enelitian .................................................................... 11
E. Manfaat Penelitian .................................................................. 12
F. Metode Penelitian ................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan Hukum ................................................ 15
BAB II KERANGKA TEORI
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
a. Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum............... 17
2.Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
a Pengertian Saksi…………………………………. 18
b. Pengertian Korban................................................... 19
c. Pengertian Perlindungan......................................... 21
xi
d. Hak-hak Saksi dan Korban.............................................. 21
e. Kompensasi dan Restitusi................................................ 22
f. Saksi dan Korban dalam kondisi khusus......................... 23
g. Tata cara pemberian Perlindungan dan Bantuan............ 23
B. Kerangka Pemikiran................................................................. 24
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMB AHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan
Korban menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
dengan Witness Protection Act No.15/1991 Australia
1. Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan Korban dalam UU No.
13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
a. Latar Belakang UU No. 13 tahun 2006..................................... 26
b. Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban................................... 27
c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)................... 30
d. Syarat dan Tata Cara Pemberian Perlindungan………………. 33
e. Ketentuan Pidana........................................................................ 35
f. Ketentuan Peralihan…………………………………………… 37
2. Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan Korban dalam
Witness Protection Act No.15/1991 Australia
a. Purpose (tujuan)……………………………………………… 37
b. witness" means (saksi artinya)……………………………….. 37
c. Victorian witness pro tection program (program perlindungan saksi
Victoria) ………………………………………………………… 38
d. Inclusion in the Victorian witness protection program (Dimasukkan
dalam program perlindungan saksi Victoria)……………………. 39
e . Memorandum of understanding (nota kesepakatan)................ 40
f. Application for court order (permohonan untuk perintah
pengadilan…………………………………………………….. 41
g. Power of Sup reme Cou rt to mak e order (wewenang Mahkamah
Agung untuk membuat perintah)……………………………… 42
xii
h. Effect of authorizing cou rt order (Efek otorisasi perintah pengadilan)…. 43
i. Information not to be d isclosed ( Informasi tidak untuk umum)………… 43
j. Cessation of protection and assistance………………………………….. 45
k. Notice of involuntary termination, review and app eal…………………. 46
l. Restoration o f former identity (pemulihan identitas awal)……………… 46
m. . Transitional provision (Ketentuan Peralihan)………………………... 48
3. Persamaan dan Perbedaan
a. Persamaan………………………………………………………………. 48
b. Perbedaan………………………………………………………………. 49
B. Kelebihan dan Kelemahan Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan Korban
dengan Witness Act No. 15/1991 Australia.
a. Kelebihan................................................................................................. 49
b. Kelemahan............................................................................................... 50
C. Kelebihan dan Kelemahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006:
a. Kelebihan................................................................................................ 50
b. Kelemahan.............................................................................................. 50
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan.................................................................................... 52
B. Saran-Saran............................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat
bukti yang berhasil diungkap atau dimunculkan. Dalam proses persidangan,
terutama yang berkenaan dengan Saksi dan Korban, tidak sedikit kasus yang
kandas ditengah jalan disebabkan ketiadaan Saksi dan Korban yang
dapatmendukung tugas penegak hukum. Oleh karena itu, keberadaan Saksi dan
Korban merupakan suatu unsur yang sangat menentukan dalam suatu proses
peradilan pidana.
Peran Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini sangat
jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Adanya kasus-kasus yang
tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan oleh karena keengganan
saksi dan Korban untuk memberikan kesaksian kepadapenegak hukum karena
mendapat ancaman dari pihak-tertentu.Perlindungan Saksi dan Korban dalam
proses peradilan pidana diindonesia, suatu fakta yang sangat berbeda dengan
perlindungan bagi tersangka atau terdakwa dalam Undang-Undang nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah merumuskan
sejumlah hak bagi tersangka atau terdakwa yang melindunginya dari berbagai
kemungkinan pelangaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai
dengan Pasal 68 KUHAP. Oleh karena itu sudah tiba saatnya memberikan
perhatian yang lebih besar padapihak-pihak lain yang terlibat dalam proses
peradilan pidana terutama Saksi dan Korban..
Dengan berdasarkan pada asas kesamaan dalam hukum (equality before
the law) yang menjadi salah satu prasyarat dalam suatu negara hukum, Saksi
dan Korban dalam proses peradilan pidana harus pula diberi perangkat hukum
untuk menjamin perlindungan hukum bagi Saksi dan Korban. Perlunya
perlindungan hukum bagi korban kejahatan secara baik bukan saja menjadi isu
nasional, tetapi juga isu internasional. Oleh karena itu permasalahan ini perlu
2
memperoleh perhatian yang serius. Perhatian dunia internasional terhadap
permasalahan ini dapat dilihat dengan dibentuknya Declaration of Basic
Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan
Bangsa-bangsa, sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di
Milan, Italia pada September 1985 yang dalam rekomendasinya disebutkan:
Offenders or third parties responsible for their behavior should, where
appropriate, make fair restitution victims, their families or dependent. Such
restitution should include the return of property or payment for the harm or loss
suffered, reimbursement of expenses incurred as result of the victimization, the
provision of service and the restoration of rights ( Dikdik M Arif Mansyur dan
Elisatris Gultom, 2007: 23).
Banyak ditemukan dalam praktek bahwa korban kejahatan kurang
mendapatkan perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang
sifatnya immaterial maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat sebagaimana
di kutip oleh S. H Kadish, dalam Encyclopedia of Crime and justice bahwa, “to
much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the
victims” (New York: The Free Pres: A devision of Macmilan Inc, 1983:Volume 4
hlm:1600). Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi
keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan untuk memperoleh
keleluasaan dalam memperjuangkan hak-haknya adalah kecil (Chaerudin dan
Syarif Fadillah, 2004:47).
Indonesia sebagai salah satu Negara yang juga wajib memberikan
perlindungan hukum bagi korban kejahatan, setelah beberapa waktu melalui
proses yang sangat panjang akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006, Pemerintah
berhasil mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Saksi dan
Korban menjadi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
Lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2006 tersebut diharapkan dapat
memberikan perlindungan hukum kepada saksi dan korban kejahatan, karena
3
secara singkat dalam undang-undang tersebut mulai memperluas hak-hak yang
dimiliki oleh saksi dan korban baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Kesaksian seorang saksi di pengadilan diatur dalam Pasal 184 Undang Undang
Nomor 8 tahun 1981 atau Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ketentuan tersebut menyatakan, keterangan saksi di pengadilan menjadi salah
satu alat bukti yang sah. Selanjutnya Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyatakan
keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Ayat ke-3 dari Pasal
yang sama berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
berlaku apabila disertai dengan alat bukti lainnya.” Dari sini dapat diartikan,
keterangan lebih dari satu orang saksi saja tanpa disertai saksi atau alat bukti
lainnya, dapat dianggap cukup untuk membuktikan apakah seorang terdakwa
bersalah atau tidak.
Banyaknya kasus di pengadilan yang tidak terungkap karena minimnya saksi
yang bersedia memberikan kesaksiannya menjadi permasalahan yang signifikan
dalam penegakan hukum dan keadilan di negara ini. Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya telah mengatur mengenai perangkat
dan dasar hukum perlindungan saksi, perangkat dan dasar hukum perlindungan
saksi dalam KUHAP yaitu:
1. adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali untuk :
a) anak yang umurnya belum cukup 15 tahun (Pasal 171 butir (a))
b) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya
baik kembali (Pasal 171 butir (b))
2. dapat didengarkannya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 173)
3. dapat ditunjukan juru bahasa bagi saksi yang tidak paham bahasa Indonesia
(Pasal 177)
4. dapat ditunjukan penterjemah bagi saksi bisu tuli serta tidak dapat menulis
(Pasal 178)
Peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai
perlindungan saksi terus-menerus mengalami perkembangan, namun di dalam
peraturan tersebut belum juga terdapat atau mengatur mengenai suatu lembaga
4
yang khusus menangani permasalahan terhadap perlindungan terhadap saksi dan
korban. Adapun peraturan perundangan-perundangan di Indonesia yang
mengatur mengenai perlindungan saksi, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau KUHP
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau
KUHAP
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
8. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan DalamPencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang
10. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat
11. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi
dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat
12. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme
13. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak
Pidana Terorisme
14. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan
Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
15. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
5
Dilihat dari sudut perundang-undangan, kedudukan saksi – termasuk korban-
berada dalam posisi yang lemah. KUHP misalnya, bahkan mengancam dengan
pidana, saksi yang tidak datang ketika penegak hukum memintanya untuk
memberikan keterangan. Apabila kita mencoba untuk membandingkan perlindungan
hukum bagi saksi disatu pihak dan tersangka/terdakwa dipihak yang lain, mungkin
kita akan sampai pada suatu pemikiran apakah hak-hak tersangka terdakwa diberikan
karena kedudukannya yang lemah sehingga rawan abuse of power. Sementara saksi
sebagai warga masyarakat, juga korban sebagai pihak yang langsung dirugikan
kepentingannya, karena telah diwakili oleh negara yang berperan sebagai pelaksana
proses hukum dianggap tidak perlu lagi memiliki sejumlah hak yang memberikan
perlindungan baginya dalam proses peradilan. Sesungguhnya apabila kita cermati
dalam kenyataannya, kondisi saksi tidak jauh berbeda dengan tersangka/terdakwa,
mereka sama-sama memerlukan perlindungan,karena:
1. Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu
hal yang mudah.
2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya
karena dianggap bersumpah palsu.
3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman,
teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan.
4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya
5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang
tersangka/terdakwa.
Meskipun secara teoritis, saksi – terutama saksi korban telah diwakili
kepentingannya oleh aparat penegak hukum, namun dalam kenyataannya mereka hanya
dijadikan alat hukum untuk mendukung, memperkuat argumentasi untuk memenangkan
perkara. Kemenangan aparat penegak hukum, dengan keberhasilannya membuktikan
kesalahan terdakwa dan meyakinkan hakim mengenai hal itu, sesungguhnya juga
merupakan kemenangan masyarakat (termasuk korban). Namun tidak jarang aparat
penegak hukum mengabaikan pihak yang diwakilinya. Apakah korban merasa puas
dengan tuntutan jaksa atau putusan hakim, misalnya, merupakan hal-hal yang tidak
pernah diperhatikan.
6
Manifestasi ketidakpuasan masyarakat terhadap perlakuan pihak yang
mewakilinya, kemudian muncul dalam berbagai bentuk mulai dari tindakan pelemparan
sepatu pada hakim, perusakan gedung pengadilan, sampai pada tindakan main hakim
sendiri, yang akhir-akhir ini marak terjadi. Tindakan-tindakan anarki yang dilakukan
masyarakat tersebut berpangkal tolak dari perasaan tidak puas, perasaan diperlakukan
tidak adil dalam diri masyarakat, yang kemudian seringkali bermuara pada dugaan
terjadinya praktik KKN di kalangan aparat penegak hukum.
Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut, setidaknya kondisi
ketidakpercayaan terhadap penegak hukum ini sangat berdampak buruk pada proses
penegakkan hukum. Apabila kita ingin mengembalikan proses penegakan hukum ke
dalam jalurnya semula maka sudah saatnya diberikan perhatian yang lebih besar pada
pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan – selain tersangka/terdakwa dan aparat
penegak hukum. Berdasarkan pada asas kesamaan dalam hukum – equality before the
law-, yang merupakan syarat suatu negara hukum, tidak berlebihan kiranya bila pada
saksi – termasuk saksi korban – diberikan sejumlah hak yang akan memberikan
perlindungan padanya.
Sebagai wakil dari negara yang telah menerima mandat dari warga
masyarakatnya, aparat penegak hukum dikatakan memiliki posisi yang lebih kuat
daripada si pelanggar hukum. Kondisi ini yang kemudian menimbulkan kekhawatiran
akan adanya kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum dalam menjalankan
kewenangan yang dimilikinya. Hal yang tadinya hanya merupakan kekhawatiran ini
kemudian terbukti dengan tidak sedikitnya berita tentang praktik-praktik penyiksaan
yang dilakukan oleh aparat dalam rangka memperoleh pengakuan dari
tersangka/terdakwa. Oleh karena itu merupakan hal yang wajar bila kemudian muncul
simpati pada pihak yang lemah ini. Bentuk simpati ini antara lain dengan diberikannya
seperangkat hak pada tersangka/terdakwa untuk membela dirinya melalui proses hukum
yang adil.
Proses hukum yang adil merupakan cita-cita dari pelaksanaan hukum acara
pidana. Namun sayang, nampaknya hal ini hanya dikaitkan dengan tersangka/terdakwa,
karena seperti dikemukakan oleh Tobias dan Petersen, bahwa unsur-unsur minimal dari
7
due process itu adalah: “hearing, counsel, defense, evidence and a fair and impartial
court”
Kepedulian yang demikian besar kepada tersangka/terdakwa menimbulkan
persepsi bahwa the pendulum has swung too far, karena seolah-olah telah mengabaikan
pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi – termasuk saksi
korban. Peradilan pidana selama ini lebih mengutamakan perlindungan kepentingan
pelaku tindak pidana. Padahal peradilan pidana sebagai institusi yang berwenang
menjatuhkan sanksi pidana pada orang yang melanggar hukum pidana acapkali menjadi
tolok ukur penilaian terhadap watak penguasa dan atau masyarakatnya. Negara sebagai
wakil publik, melalui peradilan pidana mendapat sorotan dalam dua hal. Pertama,
bagaimana melaksanakan proses hukum terhadap tersangka/terdakwa pelanggar hukum
pidana dan yang kedua, bagaimana memperlakukan tersangka/terdakwa, yang juga
merupakan bagian dari anggota masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian
dalam menetapkan kebijakan dan dalam bertindak, agar kepentingan-kepentingan yang
harus dilindungi mendapatkan porsi yang seimbang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi fokus perhatian dalam suatu
proses peradilan adalah orang yang melanggar hukum, yaitu tersangka/terdakwa dalam
peradilan pidana atau tergugat dalam perkara perdata. Namun berbeda dengan tergugat,
tersangka/terdakwa sebagai orang yang dianggap telah mengganggu nilai-nilai yang
disepakati bersama ini harus berhadapan dengan aparat negara yang bertugas
menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut undang-undang menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan
pengalaman praktek keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling dominan
dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir tidak ada perkara pidana dalam
acara pemeriksaan biasa dan acara pemeriksaaan singkat yang pembuktiannya tidak
dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi. Namun apabila yang terungkap di sidang
pengadilan hanya ada satu keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa
dikuatkan atau didukung oleh keterangan saksi lain atau alat bukti lain, yang sah, maka
kesaksian yang berdiri sendiri tersebut tidak dapat dipakai sebagai alat bukti (Adnan
Paslydja, 1997, 10).
8
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
perkara pidana. Tidak ada suatu perkara pidana yang tidak luput dari pembuktian alat
bukti keterangan saksi. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, program pemberian
perlindungan hukum bagi saksi dan korban memegang peran yang sangat penting,
terutama dalam kaitannya dengan kasus-kasus pidana seperti:
1.Tindak pidana yang dilakukan dengan kekerasan (khususnya kekerasan terhadap
perempuan dan anak). Tindak pidana yang dilakukan dengan kekerasan terhadap
perempuan --terutama tindak pidana perkosaan-- merupakan suatu bentuk kejahatan
yang paling rendah tingkat penyelesaiannya, karena sebagian besar saksi korban tidak
melaporkan viktimisasi yang dialaminya kepada pejabat yang berwenang. Dalam
berbagai penelitian ditemukan pula bahwa pelaku perkosaan pada umumnya adalah
orang yang dikenal oleh korban, bahkan seringkali salah satu anggota keluarganya,
dan pelaporan mungkin justru akan mengakibatkan adanya further victimization
terhadap korban. Kondisi semacam ini sebenarnya dapat diatasi dengan pemberian
hak pada korban untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap berbagai bentuk
intimidasi dari tersangka/pelaku.
2.Tindak pidana narkotika dan psikotropika:
Telah menjadi pengetahuan umum bahwasanya kejahatan yang berkenaan
dengan narkotika dan psikotropika --khususnya pengedaran dan perdagangannya--
lebih banyak merupakan kejahatan yang dilakukan secara terorganisir daripada secara
individual. Sebagai akibatnya, hanya informasi orang dalam sajalah yang lebih
memungkinkan terungkapnya kasus-kasus ini. Ketiadaan perlindungan pada ‘orang
dalam’ (atau keluarganya) yang ingin bersaksi inilah yang merupakan salah satu
kendala untuk menanggulangi peredaran narkotika dan psikotropika.
3. Tindak pidana korupsi:
Tindak pidana korupsi, sebagai bagian dari white collar crime, adalah salah satu
bentuk kejahatan yang sulit dideteksi apalagi diproses dalam proses peradilan pidana.
Umumnya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang
diperolehnya. Dengan demikian pada sebagian besar kasus korupsi dilakukan oleh
9
pembuat keputusan bukan pada tingkat bawah. Dalam posisi semacam ini, apabila
seseorang --yang katakanlah pegawai bawahan-- mengetahui bahwa atasannya
melakukan tindak pidana korupsi, kemungkinan besar ia enggan melaporkan kasus
tersebut karena khawatir akan mengancam pekerjaannya yang sudah jelas berada di
bawah si pelaku tersebut. Tanpa adanya perlindungan hukum terhadap orang-orang
seperti ini, kemungkinan besar kasus-kasus korupsi yang besar tidak akan pernah
terungkap.
4. Tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat atau penguasa :
Dengan seperangkat kekuasaan yang ada padanya, pejabat atau penguasa
yang melakukan tindak pidana tidak akan sulit untuk membungkam bawahannya agar
tidak melaporkan pada yang berwajib mengenai tindak pidana yang dilakukannya.
5. Tindak pidana pelanggaran HAM yang berat
Mekanisme perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan kasus-
kasus kejahatan HAM juga diakui dunia sebagai sebuah keniscayaan. Mahkamah
Pidana Ad-hoc untuk bekas negara Yugoslavia dan untuk Rwanda secara eksplisit
menyebutkan hal tersebut pada statuta dan aturan teknis prosedur pengadilan. Hal
yang sama juga termaktub secara eksplisit di statuta Mahkamah Pidana Internasional
yang mulai beroperasi tanggal 1 Juli 2002. Pasal 6(d) Deklarasi PBB tentang Prinsip-
prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (UN
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power)
juga menyatakan bahwa proses peradilan harus “[...] mengambil langkah-langkah
untuk meminimalisir ketidaknyamanan korban, melindungi privasi mereka, manakala
dibutuhkan, dan memastikan keselamatan mereka dan juga anggota keluarga saksi-
saksi mereka dari intimidasi dan tindakan balas dendam.” (measures to minimise
inconvenience to victims, protect their privacy, when necessary, and ensure their
safety, as well as that of their families and witnessess on their behalf, from
intimidation and retaliation). (Rita Olivia, 2002).
Kesaksian yang berkualitas hanya akan dapat diperoleh jika ancaman-
ancaman baik yang bersifat fisik maupun psikis terhadap saksi (saksi pelapor, saksi
biasa, saksi ahli), kerugian-kerugian materiil dan berbagai masalah lainnya yang
10
menjadi kendala, dihilangkan. Salah satu cara yang dapat diberlakukan adalah dengan
memberikan perlindungan kepada saksi (Bambang Santoso,2003). Perlindungan
terhadap saksi baru dapat dilakukan apabila telah ada ketentuan-ketentuan seperti
yang telah dikenal di negara-negara lain seperti, Amerika Serikat berupa
Victim/Witness Protection Act 1982 , di Australia dengan Witness Protection Act
1996, Queensland dengan Witness Protection Act 2000 dan di berbagai negara
lainnya. Sedangkan di Indonesia sampai saat ini belum ada ketentuan yang secara
eksplisit memberikan perlindungan kepada saksi.
Di Australia perlindungan saksi diatur oleh Witness Protection Act
No.15/1991. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk memfasilitasi
keselamatan orang yang sedang atau telah menjadi saksi dalam sidang pengadilan
tindak pidana. Yang menarik dari undang-undang ini adalah otoritas atau badan
persemakmuran Negara lain diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan atau
investigasi tindak kejahatan atau korupsi, dijelaskan pula pada Pasal 3 tentang
undang-undang perlindungan saksi pelengkap, yang disisipi dengan No. 58 tahun
1996 Pasal 4 ayat 1 dari Negara persemakmuran atau Negara lain.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk menganalisa
mengenai persamaan dan perbedaan pengaturan lembaga perlindungan saksi dan
korban menurut UU No.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
dengan Wwitness Protection Agency menurut Witness Protection Act 1991
No.15/1991 Australia, dengan mengambil judul Penulisan Hukum : “STUDI
KOMPARASI HUKUM PENGATURAN PROGRAM PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN MENURUT UU NO.13 TAHUN 2006 TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS
PROTECTION ACT 1991 NO. 15/1991 AUSTRALIA”
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam setiap
penelitian karena dibuat untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara
jelas dan sistematis sehingga penelitian akan lebih terarah pada sasaran yang akan
dicapai. Perumusan masalah dibuat untuk lebih menegaskan masalah yang akan
11
diteliti, sehingga dapat ditemukan satu pemecakan masalah yang tepat dan
mencapai tujuan. Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah persamaan dan perbedaan pengaturan program perlindungan saksi dan
korban menurut UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dengan Witness Protection Act No.15/1991 Australia.
2. Apakah kelebihan dan kelemahan pengaturan program perlindungan saksi dan
korban dengan Witness Protection Act No. 15/1991 Australia.
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan
maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dalam
penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan program perlindungan saksi
dan korban menurut UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban dengan Witness Protection Act No.15/1991 Australia
b. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan pengaturan program
perlindungan saksi dan korban menurut UU No.13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection act
No.15/1991 Australia
2. Tujuan Subjektif
a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun
penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam
meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman
Penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek
lapangan hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang
sangat berarti bagi penulis.
12
c. Memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan
yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari
penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Merupakan salah satu sarana bagi Penulis untuk mengumpulkan data
sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk
mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk sedikit memberi sumbangan pengetahuan dan pikiran dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada
khususnya.
c. Untuk mendalami teori–teori yang telah Penulis peroleh selama menjalani
kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan Penulis dalam bidang hukum sebagai bekal
untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak hukum maupun
untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri
ini agar dapat ditegakkan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan
serta tambahan pengetahuan bagi pihak–pihak yang terkait dengan
masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Metode adalah pedoman cara seorang ilmuwan mempelajari dan memahami
lingkungan–lingkungan yang dihadapi (Soerjono Soekanto, 1986:6). Untuk
mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan hukum ini maka digunakan
13
metode penelitian tertentu yang sesuai. Adapun metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian yang digunakan bersifat normatif yaitu
penelitian yang difokuskan pada bahan pustaka atau data sekunder, yang
mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Bahan-bahan
tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik
suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah pengaturan lembaga
perlindungan saksi dan korban menurut undang-undang nomor 13 tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban dengan witness protection agency
menurut protection act 1991 act nomor 15/1991 Australia.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran secara lengkap dan
sistematis terhadap obyek yang diteliti. Suatu penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya
adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu
di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun
teori-teori baru. (Soerjono Soekanto,1986:10).
3. Jenis Data
Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data dasar yang
berupa data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku
pustaka, ruang lingkupnya sangat luas meliputi data atau informasi,
penelaahan dokumen, hasil penelitian sebelumnya, dan bahan kepustakaan
seperti buku-buku literatur, koran, majalah, dan arsip yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan berupa data sekunder, yang berupa :
a. Bahan Hukum Primer
14
Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka yang
mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis
gunakan adalah :
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3) UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
4) Witness Protection Act Act No.15/1991 Australia
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
hukum primer, seperti :
1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/ terkait dalam penelitian
ini.
2) Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
3) Buku-buku penunjang lain.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dn bahan hukum
sekunder, diantaranya bahan dari media internet yang relevan dengan
penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan datanya adalah dengan
dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan bahan-
bahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteiti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi.
Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang
berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti
peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang perlu
diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Analisa data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan
masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian diolah pokok
15
permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang bersifat normatif. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis yang bersifat kualitatif.
Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan
data deskriptif-analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis
atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai
sesuatu yang utuh. (Soerjono Soekanto,1986:250).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan dari isi
penulisan hukum, maka penulis membagi penulisan hukum ini menjadi empat
bab. Adapun sistematika dari penulisan hukum ini sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, jadwal
penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang teori-teori yang melandasi
penelitian hukum. Pada bab ini dibahas mengenai pengaturan lembaga
perlindungan saksi dan korban menurut Undang-Undang Nomor 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness
Protection Agency menurut Protection Act 1991 act Nomor 15/1991
Australia.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan
yaitu tentang persamaan dan perbedaan pengaturan program
perlindungan saksi dan korban menurut UU No.13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act
No.15/1991 Australia serta kelebihan dan kelemahan pengaturan
program perlindungan saksi dan korban dengan Witness Protection
Agency menurut Witness Act act No. 15/1991 Australia
BAB IV : PENUTUP
16
Bab ini berisi mengenai simpulan dan saran terkait dengan pembahasan
permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
a. Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum
Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah perbandingan
hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di
Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah yang telah dipergunakan
untuk hal yang sama di bidang hukum perdata, yaitu perbandingan hukum
perdata. Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan
definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum terkenal.
Rudolf B. Schlesinger seabagaimana dikutip oleh Romli mengatakan bahwa,
perbandingan hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan
bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi
unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. (Romli Atmasasmita, 2000 :
7). Winterton sebagaimana dikutip oleh Romli mengemukakan, bahwa
perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu perbandingan sistem-sistem
hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang
dibandingkan. (Romli Atmasasmita, 2000 : 7).
Gutteridge dalam Romli menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah
suatu metoda yaitu metoda perbandingan yang dapat digunakan dalam semua
cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law
(hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem
hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari
hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang
lain. (Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72 di terjemahkan dalam
buku Romli Atmasasmita, 2000 : 7).
18
Lemaire mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu
pengetahuan (yang juga mempergunakan metoda perbandingan) mempunyai
lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-
sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. (Romli Atmasasmita, 2000 : 9)
2. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
a Pengertian Saksi
Pengertian saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) menggunakan konsep tentang
pengertian saksi seperti yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Saksi dinyatakan sebagai orang yang hendak memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan/ atau ia alami sendiri. Perbedaan dengan rumusan KUHAP adalah bahwa
rumusan saksi dalam UU PSK mulai dari tahap penyelidikan sudah dianggap
sebagai saksi sedangkan KUHAP hanya dimulai dari tahap penyidikan.
Tentang perlindungan terhadap Pelapor sendiri telah lebih awal diatur
dalam Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menjelaskan bahwa pelapor tidak dapat diajukan dalam sidang
pengadilan melainkan harus dilindungi identitas dan alamatnya. Saksi
dalam rumusan UU PSK dinyatakan sebagai saksi yang akan memberikan
keterangan untuk mendukung proses penyelesaian perkara pidana. Saksi
dalam definisi ini terpisah dengan pihak lain yang ada korelasi dengan saksi
yang bisa terlibat atau mendapatkan hak-hak yang tercatum dalam Undang-
Undang ini.
Pembentuk Undang-Undang lebih memilih pihak-pihak yang
termasuk dalam pengertian saksi dalam UU ini dipisah yaitu antara saksi itu
sendiri dengan keluarga saksi. Pada poin 5 Pasal 1 UU PSK menjelaskan
tentang siapa yang dimaksud dengan keluarga saksi yaitu orang yang
mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah, atau
mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan saksi
dan/ atau korban. Rumusan tentang saksi yang demikian berbeda, misalnya,
19
dengan pengertian saksi dalam Undang-Undang tentang perlindungan saksi
negara Kanada yang menyatakan bahwa seorang saksi dalam program in
adalah :
a. saksi adalah seseorang yang memberikan atau setuju untuk memberikan
informasi atau bukti atau yang ambil bagian dalam suatu hal yang terkait
dengan suatu penyelidikan atau investigasi atau penuntutan suatu
kejahatan, dan yang mungkin membutuhkan perlindungan karena resiko
keamanan atas dirinya dalam kaitan dengan penyelidikan, investigasi, atau
penuntutan tersebut, atau
b. seseorang yang karena hubungan atau ikatannya dengan orang yang
disebut pada bagian a diatas mungkin juga membutuhkan perlindungan
karena alasan yang sama seperti bagian a diatas
(www.elsam.or.id/031807/html).
Ketentuan mengenai dapat dimasukkannya pihak lain selain saksi dan
keluarga saksi akan menjamin bahwa pihak-pihak lain yang mempunyai
hubungan dengan saksi juga akan mendapatkan perlindungan. Undang-Undang
perlindungan saksi negara Kanada.tidak mendefenisikan saksi, namun langsung
menyatakan pihak-pihak yang dapat ikut dalam program perlindungan.
UU Perlindungan Saksi di Quensland (Queensland, Witness Protection Act
2000) juga menyatakan bahwa seseorang yang boleh diikutsertakan ke dalam
perlindungan saksi adalah orang yang membutuhkan perlindungan dari suatu
bahaya yang muncul karena orang tersebut telah membantu, atau sedang
membantu, suatu badan penegak hukum dalam menjalankan fungsinya. Namun,
jika menurut Undang-Undang Perlindungan Saksi di Afrika Selatan (South
Afrika,Witness Protection Bill 1998) saksi didefinisikan sebagai setiap orang yang
sedang atau dapat diminta, atau yang telah memberi kesaksian dalam suatu
persidangan.
b Pengertian Korban
Korban dalam UU PSK dinyatakan sebagai seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental dan/ atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana. Sedangkan pengertian keluarga korban dalam UU ini adalah orang
20
yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah, atau
mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan saksi
dan/ atau korban. Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara pemberian perlindungan
kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat yaitu menyatakan bahwa korban
adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan
sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari
pihak manapun.
Jika pengertian korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34
Tahun 1985 memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu korban adalah orang-orang,
baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan
atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara,
termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian
kerugian (harm) menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985,
meliputi kerugian fisik maupun mental (physical or mental injury), penderitaan
emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss), atau
perusakan substansial dari hak-hak asasi para korban (substansial impairment of
their fundamental rights).
Selanjutnya disebutkan, bahwa seseorang dapat dipertimbangkan sebagai
korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan,
dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara si pelaku
dan korban. Istilah korban juga mencakup keluarga dekat atau orang-orang yang
menjadi tanggungan korban, dan juga orang-orang yang menderita kerugian
karena berusaha mencegah terjadinya korban. Adapun mengenai pengertian
korban sebenarnya terdapat berbagai pengertian yang sedikit banyak memiliki
perbedaan, berikut adalah paparan perbandingannya :
1) Menurut UU PSK : Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana.
21
2) Menurut PP No 2 Tahun 2002 : Korban adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
3) Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban : Korban adalah orang
orang yang, secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian, termasuk
luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau
perusakan yang substansial atas hak dasarnya, lewat tindakan atau pembiaran
yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di negara-negara
anggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang
bisa dikenai pidana
c. Pengertian Perlindungan
Istilah perlindungan dalam UU PSK adalah bentuk perbuatan untuk
memberikan tempat bernaung atau berlindung bagi seseorang yang
membutuhkan, sehingga merasa aman terhadap ancaman sekitarnya. Pengertian
perlindungan ini hampir sama dengan pengertian perlindungan dalam PP No. 2
Tahun 2002 yang menyatakan bahwa perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan
yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk
memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan
pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Istilah perlindungan secara umum beserta tujuannya terdapat dalam
Pasal 1 poin 6 dan Pasal 4 UU PSK, untuk pembahasan lebih lanjut akan
diuraikan dalam bagian pembahasan penelitian.ini.P
d. Hak-Hak Saksi dan Korban
Pemberian hak-hak kepada saksi dan korban dalam UU PSK banyak
memasukkan hal-hal baru yang belum diatur dalam Peraturan perundang-
undangan sebelumnya. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa seorang
saksi dan korban berhak:
22
1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikan;
2) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
3) memberikan keterangan tanpa tekanan;
4) mendapat penerjemah;
5) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6) mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
7) mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
8) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
9) i. mendapat identitas baru;
10) mendapat tempat kediaman baru;
11) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
12) mendapat nasihat hukum; dan/atau
13) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir .
e. Kompensasi dan Restitusi
Para korban berhak mengajukan ke pengadilan hak atas kompensasi bagi
korban tindak pidana dengan kekerasan dan pelanggaran HAM berat dan hak atas
restitusi oleh pelaku tindak pidana, yaitu terdapat dalam Pasal 7 UU ini. Hak-hak
tersebut diatas dapat diberikan dengan keputusan pengadilan. Sedangkan
pengaturan tentang kompensasi dan restitusi diatur lebih lanjut dengan
PP. Dalam kasus pelanggaran HAM berat sudah terdapat Peraturan Pemerintah
tentang pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yaitu PP No. 3 Tahun
2002. sedangkan pengaturan tentang restitusi oleh pelaku tindak pidana selain
diatur dalam Peraturan Pemerintah diatas juga diatur dalam KUHP.
Kompensasi, restitusi dan bantuan rahabilitasi diatas merupakan bagian dari
upaya pemulihan bagi korban pelanggaran HAM yang berat yang mempunyai
tujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan kepada para
23
korban dengan menghilangkan atau memperbaiki sejauh mungkin akibat-akibat
dari tindakan salah dengan mencegah dan menangkal pelanggaran.
Yang dimaksud dengan ”kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan
oleh negara, karena pelaku tidak mampu memeberikan ganti kerugian sepenuhnya
yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan Yang dimaksud dengan ”restitusi”
adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku
atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:
a) Pengembalian harta milik,
b) Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan,
c) Penggantian biaya untuk tindakan tertentu
g. Saksi dan Korban dalam Kondisi Khusus
Dalam UU PSK kondisi khusus adalah kondisi dimana saksi tidak dapat
memberikan kesaksian dipersidangan. Saksi dalam kondisi ini adalah saksi dan/
atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat berat atas
persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung
dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa (Pasal 9 ayat 1). Saksi
sebagaimana pada ayat 1 dapat memberikan kesaksian secara tertulis dan
disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda
tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut (ayat 2).
Saksi atau sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat pula didengar kesaksiannya secara
langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang
berwenang. Syarat yang lainnya adalah adanya persetujuan hakim, dan
mekanisme pemberaian kesaksian tersebut harus diberikan dihadapan pejabat
yang berwenang.
h. Tata Cara Pemberian Perlindungan dan Bantuan
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 membagi tata cara mengenai
pemberian perlindungan dan bantuan secara berbeda, perlindungan yang
dimaksud adalah hak-hak yang diberikan sesuai dengan Pasal 5 sedangkan
bantuan seperti yang diatur dalam Pasal 6, mengenai penjabaran lebih lanjut
terhadap Tata Cara Pemberian Perlindungan dan Bantuan juga akan penulis
kemukakan penjabarannya dalam bagian pembahasan penelitian ini.
24
B. Kerangka Pemikiran
Penyelesaian Perkara Pidana
Alat Bukti
Keterangan Saksi
Perlu Perlindungan
Sistem Hukum Common Law
(Australia)
Civil Law (Indonesia)
Program Perlindungan
UU Perlindungan Saksi dan Korban
Adanya ancaman
Persamaan dan Perbedaan
Kelebihan dan kelemahan
Perbandingan
25
PENJELASAN
Peran Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini sangat
jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Adanya kasus-kasus yang
tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan oleh karena keengganan
saksi dan Korban untuk memberikan kesaksian kepadapenegak hukum karena
mendapat ancaman dari pihak-tertentu.Perlindungan Saksi dan Korban dalam
proses peradilan pidana diindonesia, suatu fakta yang sangat berbeda dengan
perlindungan bagi tersangka atau terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah merumuskan
sejumlah hak bagi tersangka atau terdakwa yang melindunginya dari berbagai
kemungkinan pelangaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai
dengan Pasal 68 KUHAP. Oleh karena itu sudah tiba saatnya memberikan
perhatian yang lebih besar padapihak-pihak lain yang terlibat dalam proses
peradilan pidana terutama Saksi dan Korban..
26
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan
Korban menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dengan Witness Protection Act No.15/1991 Australia
1. Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan Korban dalam UU No. 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
a. Latar Belakang UU No. 13 tahun 2006
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah
keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami
sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam rangka menemukan dan
mencari kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana. Penegak hukum dalam menemukan dan mencari kejelasan tentang
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami
kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban
disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi
dan/atau korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan
pidana.
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada
alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses
persidangan, terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang
tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas
penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang
sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan
Korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat
perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak
terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban
27
takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat
ancaman dari pihak tertentu. Dalam rangka menumbuhkan partisipasi
masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang
kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan
kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat
membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal
tersebut kepada penegak hukum.
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan
keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa
terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan
perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu
keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk
melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum,
karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di
Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya
mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur
dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan asas kesamaan di depan
hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum,
Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan
perlindungan hukum.
b. Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban
Perlindungan yang diberikan melalui UU PSK adalah perlindungan
khusus yang diberikan kepada saksi dan korban dimana bobot ancaman atau
tingkat kerusakan yang derita oleh saksi dan/ atau korban ditentukan melalui
proses penetapan oleh LPSK. Definisi mengenai perlindungan dalam UU
PSK terdapat pada Pasal 1 angka 6. Menurut UU PSK perlindungan adalah
28
segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan. Lebih lanjut dalam
UU PSK menyatakan bahwa perlindungan saksi dan korban adalah
bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/ atau korban
dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan.
Pasal 5 UU PSK, Pasal 6, dan Pasal 7 menjadi rujukan mengenai hak-
hak, bentuk-bentuk perlindungan, dan bentuk bantuan yang dijamin oleh
undang-undang. Dalam Pasal 5, terdapat 13 (tiga belas) hak saksi dan atau
korban yang dalam konteks pemberian perlindungan akan diberikan oleh
LPSK. Dalam Pasal 5 tersebut, UU PSK menyebutkan bahwa perlindungan
utama yang dperlukan adalah perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,
dan harta benda, serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan
kesaksiannya dalam proses perkara yang berjalan.. Selain Pasal 5 itu, korban
juga memiliki hak atas kompensasi dan hak atas restitusi sebagaimana diatur
pada Pasal 7 UU PSK. Menurut UU PSK, dalam Pasal 6 khusus terhadap
korban pelanggaran hak asasi manusia berhak pula atas bantuan medis dan
bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Undang-Undang No. 13 tahun 2006 memberikan perlindungan pada
Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam
lingkungan peradilan. Sedangkan Perlindungan Saksi dan Korban
berasaskan pada:
1) penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
2). rasa aman;
3). keadilan;
4) tidak diskriminatif; dan
5). kepastian hukum.
Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman
kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap
proses peradilan pidana. Menurut UU No. 13 tahun 2006 Seorang Saksi dan
Korban berhak:
29
1). memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya,
2) serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya;
3) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan;
4) memberikan keterangan tanpa tekanan;
5) mendapat penerjemah;
6) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
7) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
8) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
9) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
10) mendapat identitas baru;
11) mendapatkan tempat kediaman baru;
12) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;.
13) mendapat nasihat hukum; dan/atau
14)memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Hak-hak tersebut diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak
pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Korban
dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak
sebagaimana di atas, juga berhak untuk mendapatkan:
1) bantuan medis; dan
2).bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
1) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat;
2) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku
tindak pidana. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh
pengadilan.
30
Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap
penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang. Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya
berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat
memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara
tersebut scdang diperiksa. (2) Saksi dan/atau Korban dapat memberikan
kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang
berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang
memuat tentang kesaksian tersebut. Saksi dan/atau Korban dapat pula
didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan
didampingi oleh pejabat yang berwenang.
Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik
pidana maupun. perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama
tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Ketentuan ini tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang
memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) tidak merinci
tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut. Perumus UU
kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu
bagian atau bab tersendiri dalam UU No 13 tahun 2006 seperti peraturan
lainnya, melainkan menyebarkan di seluruh UU.
31
Adapun tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam UU No 13
Tahun 2006, yaitu:
1. Menerima permohonan Saksi dan/ atau Korban untuk perlindungan
2. Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/ atauKorban
3. Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/ atau Korban
4. Menghentikan program perlindungan Saksi dan/ atau Korban
5. Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak atas
kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku
tindak pidana
6. Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili
korban untuk bantuan
7. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan
diberikannya bantuan kepada Saksi dan/ atau Korban
8. Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan
pemberian perlindungan dan bantuan.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU
PSK terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun jika
diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-
undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai. Ada
beberapa hal penting yang sebaiknya menjadi kewenangan LPSK adalah yang
seharusnya masuk di dalam UU No 13 Tahun 2006 yakni :
1. Diberikan wewenang untuk menentukan layanan-layanan apa yang akan
diberikan bagi saksi, untuk memberikan bukti dalam persidangan apapun.
LPSK sebaiknya diperbolehkan membuat peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan :
a) bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan;
b) penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan;
c) konsultasi bagi para saksi; dan
32
d) hal-hal lain yang oleh LPSK dipandang sangat perlu diatur untuk
menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan;
2.Melaksanakan tugas-tugas administratif menyangkut perlindungan saksi dan
orang orang terkait, termasuk menyangkut perlindungan sementara dan
layanan- layanan lainnya.
3.Membuat perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan dilakukan oleh
orang-orang, institusi atau organisasi. Misalnya membuat kesepakatan dengan
Departemen dilingkungan Pemerintahan lainnya, atau membuat perjanjian
dengan orang, institusi atau organisasi untuk kepentingan LPSK yang lebih
luas.
4.Diberikan wewenang untuk (1) menggunakan fasilitas atau perlengkapan-
perlengkapan milik atau yang ada di bawah penguasaan Depertemen, orang,
institusi atau organisasi tersebut; (2) mendapatkan dokumen-dokumen atau
informasi lainnya yang dibutuhkan dalam rangka perlindungan seseorang
yang dilindungi; atau menyangkut berbagai hal yang akan membuat
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini
dapat berjalan.
5.Menetapkan langkah-langkah dan cara-cara bagaimana ketentuan-ketentuan
UU PSK mesti dijalankan oleh kantor-kantor cabangnya jika ada dan
menunjuk tempat-tempat yang akan difungsikan sebagai tempat-tempat aman.
LPSK harus juga mengawasi para staf di lembaga perlindungan saksi; dan
boleh menjalankan kewenangan serta harus melaksanakan fungsi atau
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan atau dibebankan
kepadanya oleh atau berdasarkan Undang-Undang.
6.Secara tertulis mendelegasikan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas yang
diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepadanya kepada anggota lain di
LPSK. Anggota LPSK yang didelegasikan kewenangan, fungsi dan tugas-
tugas sebagaimana dimaksud dalam bagian di atas, harus menjalankan
kewenangan, melaksanakan fungsi dan tugas-tugas dibawah pengawasan dan
petunjuk dari ketua LPSK;
33
7.Ketua LPSK dapat sewaktu-waktu mencabut pendelegasian secara tertulis,
dan pendelegasian kewenangan, fungsi dan tugas-tugas tidak menghalangi
ketua menjalankan, melaksanakan atau mengerjakan kewenangan, fungsi dan
tugas-tugas itu sendiri;
8.Semua Departemen dilingkungan Pemerintah harus memberikan bantuan yang
sekiranya diperlukan dalam rangka menjalankan, melaksanakan atau
mengerjakan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan
atau dibebankan kepada ketua oleh atau menurut UU PSK.
9.Kewenangan lainnya yang dibutuhkan oleh lembaga ini dalam kaitannya
dengan lembaga penegak hukum lainnya adalah hak memberikan rekomendasi
tentang kondisi saksi maupun korban termasuk ketika saksi akan memberikan
keterangan dalam persidangan-persidangan pidana.
10. Memiliki hak untuk tidak memberikan informasi tentang data-data tertentu
dari saksi (rahasia) yang masuk dalam program perlindungan saksi
d. Syarat dan Tata Cara Pemberian Perlindungan
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan
mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
1) sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
2) tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
3) basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
4) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
Tata cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:
1) Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri
maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan
permohonan secara tertulis kepada LPSK;
2) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan tersebut.
3) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari
sejak permohonan perlindungan diajukan.
Dalam hal LPSK menerima permohonan, Saksi dan/atau Korban
Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti
34
syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. Pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban memuat:
1) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam
proses peradilan;
2) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan
dengan keselamatannya;
3) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara
apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada
dalam perlindungan LPSK;
4) kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada
siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi
dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan
kesediaan. Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat
dihentikan berdasarkan alasan:
1) Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan
dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
2) atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan
pejabat yang bersangkutan;
3) Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam
perjanjian; atau LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak
lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
2) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban harus
dilakukan secara tertulis.
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada
seorang Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang
bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK. LPSK
menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban.
Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan
35
jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan. Keputusan LPSK mengenai
pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau Korban harus diberitahukan secara
tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak diterimanya permintaan tersebut.
Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK
dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang. Dalam
melaksanakan perlindungan dan bantuan instansi terkait sesuai dengan
kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
e. Ketentuan Pidana (1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan
kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau
Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban
tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana
pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200.
000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi
dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau
Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit
Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
36
(4) Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga
Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal
6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(5)Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau
keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban
tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(6)Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-
hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal
6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan
kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(7) Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban
yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan
oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(8) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38,
Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman
pidananya ditambah dengan 1/3.
37
f. Ketentuan Peralihan
Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau
Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
2. Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan Korban dalam Witness
Protection Act No.15/1991 Australia
a. Purpose (tujuan)
The purpose of this Act is to facilitate the security of persons who are, or
have been, witnesses in criminal proceedings. (tujuan dari UU ini adalah
untuk memberikan fasilitas keamanan bagi orang yang sedang atau telah
menjadi saksi dalam suatu tindak pidana.)
b. witness" means (saksi artinya) :
(a) a person who has given, or agreed to give, evidence on behalf of the
Crown in (seseorang yang memberikan atau setuju memberikan bukti
sebagai mahkota dalam ) :
(i) proceedings for an offence; or (terjadinya kejahatan atau)
(ii) hearings or proceedings before an authority that is declared by the
Minister, by notice published in the Government Gazette, to be an
authority to which this paragraph applies; or ( dengar pendapat
atau proses sebelum otoritas yang dinyatakan oleh Menteri, dengan
pemberitahuan diterbitkan dalam Lembaran Pemerintah, untuk
menjadi otoritas yang berlaku ayat ini atau)
(b) a person who has given, or agreed to give, evidence otherwise than as
mentioned in paragraph (a) in relation to the commission or possible
commission of an offence against a law of Victoria, the Commonwealth
or another State; or (Orang yang telah diberikan, atau setuju untuk
memberi, bukti-bukti selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (a)
dalam kaitannya dengan komisi atau komisi kemungkinan pelanggaran
terhadap hukum Victoria, Persemakmuran atau Negara lain atau )
38
(c) a person who has made a statement to the Chief Commissioner of Police,
another member of the police force or an approved authority in relation
to an offence against a law of Victoria, the Commonwealth or another
State; or (Orang yang telah membuat pernyataan kepada Kepala
Komisaris Polisi, anggota lain dari kepolisian atau disetujui otoritas
dalam kaitannya dengan pelanggaran terhadap hukum Victoria,
Persemakmuran atau Negara lain atau)
(d) a person who, for any other reason, may require protection or other
assistance under this Act. (seseorang yang, karena alasan lain, mungkin
membutuhkan perlindungan atau bantuan lain berdasarkan Undang-
undang ini)
c. Victorian witness protection program (program perlindungan saksi Victoria)
(1) The Chief Commissioner of Police, through the establishment and
maintenance of a Victorian witness protection program, may take such
action as he or she thinks necessary and reasonable to protect the safety
and welfare of a witness or a member of the family of a witness. (Kepala
Komisaris Polisi, melalui pembentukan dan pemeliharaan suatu program
perlindungan saksi Victoria, dapat mengambil tindakan tersebut karena
ia pikir perlu dan masuk akal untuk melindungi keselamatan dan
kesejahteraan saksi atau anggota keluarga seorang saksi)
(2) That action may include—(tindakan ini meliputi) :
(a) applying for any document necessary—( mengajukan permohonan
dokumen yang diperlukan)
(i) to allow the witness or family member to establish a new identity; or
(mengijinkan saksi atau anggota keluarga untuk membuat identitas
baru atau )
(ii) otherwise to protect the witness or family member; ( melakukan
tindakan lain untuk melindungi saksi atau keluarganya)
(b) relocating the witness or family member; ( memindahkan tempat
tinggal saksi atau anggota keluarga)
39
(c) providing accommodation for the witness or family member;
(menyediakan akomodasi bagi saksi atau anggota keluarga)
(d) providing transport for the property of the witness or family member;
(menyediakan kendaraan untuk harta milik saksi atau anggota keluarga)
(e)doing any other things that the Chief Commissioner of Police considers
necessary to ensure the safety of the witness or family member
(melakukan tindakan lain dimana Kepala Komisioner Polisi memandang
perlu untuk menjamin keamanan saksi atau anggota keluarga)
(3) The Chief Commissioner of Police must not obtain documentation for a
witness or family member that represents that the witness or family
member—(Kepala Komisaris Polisi tidak boleh mendapatkan
dokumentasi untuk saksi atau anggota keluarga yang menunjukkan
bahwa saksi atau anggota keluarga)
(a) has a qualification that he or she does not have; or (memiliki
kualifikasi bahwa ia tidak memiliki)
(b) is entitled to a benefit that he or she is not entitled to. ( Berhak atas
suatu keuntungan bahwa ia tidak berhak untukl)
d. Inclusion in the Victorian witness protection program (Dimasukkan
dalam program perlindungan saksi Victoria)
(1) The Chief Commissioner of Police has the sole responsibility of deciding
whether to include a witness in the Victorian witness protection program,
including cases where an approved authority has requested that a witness
be included in the program. (Kepala Komisaris Polisi mempunyai
tanggung jawab untuk memutuskan apakah akan menyertakan seorang
saksi dalam program perlindungan saksi Victoria, termasuk kasus di mana
otoritas yang telah disetujui telah meminta agar saksi dimasukkan dalam
program)
(2) A witness may be included in the Victorian witness protection program only
if—(Seorang saksi dapat disertakan dalam program perlindungan saksi
Victoria hanya jika)
40
(a) the Chief Commissioner has decided that the witness be included; and
(Ketua Komisaris telah memutuskan bahwa saksi akan disertakan)
(b) the witness agrees to be included; and (saksi setuju untuk dimasukkan
dan)
e . Memorandum of understanding
(1) Before the Chief Commissioner of Police can apply for an authorizing
court order, he or she must enter into a memorandum of understanding
with the witness. memorandum of understanding must—( Sebelum Kepala
Komisaris Polisi dapat mengajukan permohonan untuk otorisasi perintah
pengadilan, dia harus masuk ke dalam nota kesepakatan dengan saksi. nota
kesepahaman harus)
(a) set out the basis on which the witness is included in the Victorian
witness protection program and details of the protection and assistance
that are to be provided; and (ditetapkan dasar yang menjadi saksi
termasuk dalam program perlindungan saksi Victoria dan rincian
perlindungan dan bantuan yang akan diberikan dan)
(b) contain a provision to the effect that protection and assistance under the
program may be terminated if the witness breaches a term of the
memorandum of understanding. (berisi ketentuan yang menyatakan bahwa
perlindungan dan bantuan di bawah program dapat dihentikan jika saksi
istilah pelanggaran dari nota kesepahaman)
A memorandum of understanding may contain provisions relating to—
(a) any outstanding legal obligations of the witness and how they are to be
dealt with; and (Sebuah Nota Kesepahaman mungkin berisi ketentuan-
ketentuan yang berkaitan dengan)
(b) any legal obligations that the witness may or may not enter into; and
(c) the surrender and issue of passports; and
(d) the issue of any documents relating to the new identity of the witness; and
(e) the prohibition of the witness from engaging in specified activities; and
(f) marriage, family maintenance, taxation, welfare or other social or domestic
obligations or relationships; and
41
(g) any other obligations of the witness; and
(h) repealed by No. 58/1996 s. 7(2)(a).
(i) if a new identity is to be extended to any members of the family of the
witness, provisions relating to paragraphs (a) to (h) in relation to each
member of the family to the extent that such provisions are necessary; and
(j) any other matter for which it may be necessary or convenient to make
provision.
A memorandum of understanding must contain a statement advising the
witness of his or her right to complain to the Deputy Ombudsman about the
conduct of the Chief Commissioner of Police or another member of the police
force in relation to the matters dealt with in the memorandum. A memorandum
of understanding must be signed—( Sebuah Nota Kesepahaman harus berisi
pernyataan memberikan saran kepada saksi haknya untuk mengeluh kepada
Wakil Ombudsman tentang pelaksanaan Kepala Komisaris Polisi atau anggota
lain dari kepolisian dalam kaitannya dengan hal-hal yang dibahas dalam
memorandum. Sebuah Nota Kesepahaman harus terdaftar)
(a) by the witness; or (oleh saksi atau)
(b) if the witness is under the age of 18, by a parent or guardian of the witness;
or (jika saksi berusia di bawah 18 tahun oleh orang tua atau wali saksi)
(c) if the witness otherwise lacks legal capacity to sign, by a guardian or other
legal personal representative of the witness. (jika saksi sebaliknya tidak
mempunyai kecakapan hukum untuk menandatangani, oleh wali atau
perwakilan secara hukum saksi lainnya)
If (jika) :
(a) a parent or guardian of a witness has signed a memorandum of
understanding because the witness was under the age of 18; and
(b) the memorandum is still operating after the witness turns 18-- the Chief
Commissioner of Police may require the witness to sign the memorandum.
f. Application for court order (permohonan untuk perintah pengadilan)
(1) The Chief Commissioner of Police may apply to the Supreme Court for a
court order authorizing a nominated member or members of the police force to
42
make a new entry in the register of births or register of marriages in respect of
a witness or a witness and specified members of the family of the witness.
(Kepala Komisaris Polisi dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Agung untuk perintah pengadilan otorisasi yang dicalonkan anggota atau
anggota kepolisian untuk membuat entri baru dalam daftar kelahiran atau
mendaftar perkawinan dalam hal saksi atau saksi dan anggota tertentu keluarga
saksi).
(2) The Chief Commissioner of Police must provide such evidence as the Supreme
Court may require so as to satisfy itself as to the matters specified in section 7.
(Kepala Komisaris Polisi harus memberikan bukti seperti Mahkamah Agung
sehingga mungkin memerlukan untuk memuaskan dirinya sebagai untuk hal-hal
yang ditetapkan pada bagian 7)
g. Power of Supreme Court to make order (wewenang Mahkamah Agung untuk
membuat perintah)
The Supreme Court may make an authorizing court order if it is satisfied that—
(Mahkamah Agung dapat membuat perintah pengadilan yang sah jika itu
memuaskan bahwa)
(a) the person named in the application as a witness, was a witness to or has
knowledge of an indictable offence and is or has been a witness in criminal
proceedings relating to the indictable offence; and (orang yang disebutkan
dalam aplikasi sebagai saksi, menjadi saksi atau memiliki pengetahuan
tentang suatu pelanggaran yg dpt dituntut dan sedang atau telah menjadi saksi
dalam proses pidana yang berkaitan dengan pelanggaran yg dpt dituntut)
(b) the life or safety of the person or of a member of his or her family may be
endangered as a result of the person being a witness; and (Kehidupan atau
keselamatan orang atau anggota keluarganya dapat terancam punah sebagai
akibat dari orang yang menjadi saksi; untuk)
(c) a memorandum of understanding in accordance with section 5 has been
entered into between the witness and the Chief Commissioner of Police; and
43
(d) the person is likely to comply with the memorandum of understanding. (nota
kesepakatan sesuai dengan bagian 5 sudah masuk ke antara saksi dan Kepala
Komisaris Polisi; dan)
h. Effect of authorizing court order (Efek otorisasi perintah pengadilan)
On the making of an authorizing court order—( Pada pembuatan suatu
otorisasi perintah pengadilan)
(a) the member or members of the police force nominated in the authorizing court
order may make any entries in the register of births or register of marriages
that are necessary to give effect to the order; and (anggota atau anggota
kepolisian dinominasikan dalam otorisasi perintah pengadilan dapat membuat
entri di dalam register kelahiran atau mendaftar perkawinan yang dibutuhkan
untuk memberikan dampak untuk order dan)
(b) the Registrar is required to give the member or members of the police force
nominated in the authorizing court order access to the register of births or
register of marriages and to give such assistance as the member or members of
the police force may require; and (Panitera diperlukan untuk memberikan
anggota atau anggota kepolisian dinominasikan dalam perintah pengadilan
otorisasi akses ke register atau mendaftar kelahiran perkawinan dan untuk
memberikan bantuan tersebut sebagai anggota atau anggota kepolisian mungkin
memerlukan dan)
(c) the Chief Commissioner of Police must maintain records showing details of the
original birth entry or original marriage entry of each person in respect of
whom an entry is made under paragraph (a).
i. Information not to be disclosed (
(1) A person must not, either directly or indirectly, make a record of, disclose, or
communicate to another person any information relating to the making of an
entry in the register of births or the register of marriages under this Act,
unless it is necessary to do so— ( Seseorang tidak boleh, baik secara langsung
maupun tidak langsung, membuat catatan, mengungkapkan, atau
berkomunikasi dengan orang lain setiap informasi yang berkaitan dengan
44
pembuatan sebuah entri di dalam register kelahiran atau register perkawinan
di bawah Undang-undang ini, kecuali jika perlu melakukannya)
(a) for the purposes of this Act; or (untuk tujuan dari UU ini atau)
(b) for the purposes of an investigation by the Deputy Ombudsman; or (untuk
keperluan investigasi oleh Wakil Ombudsman)
(c) to comply with an order of the Supreme Court. (untuk mematuhi perintah
dari Mahkamah Agung)
Penalty: Imprisonment for 5 years. (pidana : 5 tahun penjara)
(2) Despite sub-section (1), the Chief Commissioner of Police may disclose the
former identity of a witness or a member of the family of a witness for the
purpose of obtaining documents relating to the new identity of the witness or
family member. (Meskipun sub-ayat (1), Ketua Komisaris Polisi dapat
mengungkapkan identitas mantan saksi atau anggota keluarga saksi untuk
tujuan mendapatkan dokumen yang terkait dengan identitas baru saksi atau
anggota keluarga)
(3) Subject to sub-section (4), a person who is or has been a witness or a member
of the family of a witness must not, either directly or indirectly, disclose or
communicate to another person—( Subject to sub-bagian (4), orang yang
sedang atau telah saksi atau anggota keluarga seorang saksi tidak boleh, baik
secara langsung atau tidak langsung, mengungkapkan atau berkomunikasi
dengan orang lain)
(a) the fact that he or she or a member of his or her family has entered a
memorandum of understanding under section 5; or (fakta bahwa dia atau
dia atau anggota keluarganya telah memasuki suatu nota kesepakatan di
bawah bagian 5)
(b) details of the memorandum of understanding; or (rincian nota
kesepahaman atau)
(c) information relating to anything done by the Chief Commissioner of Police
or another member of the police force under this Act; or
(d) information about any member of the police force gained by the person as
a result of anything done under this Act.
45
Penalty: Imprisonment for 5 years.
(4) Sub-section (3) does not apply to a disclosure or communication—
(a) that has been authorised by the Chief Commissioner of Police; or
(b) that is necessary for the purposes of an investigation by the Deputy
Ombudsman; or
(c) that is necessary to comply with an order of the Supreme Court.
(5) A person must not, without lawful authority, disclose information—
(a) about the identity or location of a person who is or has been—
(i) included on the Victorian witness protection program; or
(ii)included in a witness protection program conducted by the
Commonwealth or another State under a complementary witness
protection law; or
(b) that compromises the security of such a person.
Penalty: Imprisonment for 10 years. (pidana : 10 tahun penjara)
j. Cessation of protection and assistance
(1) Protection and assistance provided to a person under the Victorian witness
protection program must be terminated by the Chief Commissioner of Police
if the person requests in writing that it be terminated.
(2) Protection and assistance provided to a person under the Victorian witness
protection program may be terminated by the Chief Commissioner of Police
if—
(a) the person deliberately breaches a term of the memorandum of
understanding or a requirement or undertaking relating to the program;
or
(b) the person's conduct or threatened conduct is, in the opinion of the Chief
Commissioner, likely to threaten the security or compromise the
integrity of the program; or
(c) the circumstances that gave rise for the need for protection and
assistance for the person cease to exist-- and the Chief Commissioner is
of the opinion that, in the circumstances, the protection and assistance
should be terminated.
46
.
k. Notice of involuntary termination, review and appeal
(1) If the Chief Commissioner of Police decides under section 16(2) to terminate
protection and assistance to a person he or she must—
(a) take reasonable steps to notify the person of the decision; and
(b) notify the relevant approved authority (if any) of the decision.
(2) Within 28 days after receiving notification under sub-section (1)(a), a person
may apply in writing to the Chief Commissioner for a review of the decision.
(3) If an application is made under sub-section (2), the Chief Commissioner—
(a) must review the decision and give the person a reasonable opportunity to
state his or her case; and
(b) after the review, must confirm or reverse the decision; and
(c) after doing so, must inform the person in writing.
(4) If the Chief Commissioner confirms the decision, he or she must inform the
person—
(a) of the reasons for the confirmation; and
(b) of the person's rights under sub-section (5).
(5) Within 3 days after being informed of the confirmation of a decision to terminate
protection and assistance, a person may appeal to the Deputy Ombudsman.
(6) The Deputy Ombudsman--
(a) must determine an appeal under sub-section (5) within 72 hours after
receiving it; and
(b) in doing so, may make any decision that could have been made by the Chief
Commissioner.
l . Restoration of former identity (pemulihan identitas awal)
(1) If--
(a) a person has been provided with a new identity under the Victorian witness
protection program; and
(b) protection and assistance to the person under the program are terminated--
47
the Chief Commissioner of Police, if he or she considers it appropriate to do
so, may take such action as is necessary to restore the person's former
identity.
(2) The Chief Commissioner must take reasonable steps to notify the person of a
decision under sub-section (1).
(3) If the Chief Commissioner proposes to take action to restore a person's
identity, the person may apply in writing to the Chief Commissioner for a
review of the decision. (Jika Komisaris mengusulkan untuk mengambil
tindakan untuk mengembalikan identitas seseorang, orang mungkin berlaku
secara tertulis kepada Komisaris untuk meninjau keputusan)
(4) If an application is made under sub-section (3), the Chief Commissioner—
(a) must review the decision and give the person a reasonable opportunity to
state his or her case; and (harus meninjau kembali keputusan dan
memberikan kesempatan orang yang masuk akal untuk menyatakan kasus
nya dan)
(b) after the review, must confirm or reverse the decision; and
(c) after doing so, must inform the person in writing.
(5) If the Chief Commissioner confirms the decision, he or she must inform the
person—(Jika Komisaris mengkonfirmasi keputusan, ia harus
memberitahu orang)
(a) of the reasons for the confirmation; and (alasan untuk konfirmasi dan)
(b) of the person's rights under sub-section (6). (Dari orang hak-hak di bawah
sub-bagian
(6) Within 3 days after being informed of the confirmation of a decision to take
action to restore a person's former identity, the person may appeal to the
Deputy Ombudsman. (Dalam waktu 3 hari setelah mendapat informasi dari
konfirmasi dari keputusan untuk mengambil tindakan untuk mengembalikan
mantan seseorang identitas, orang dapat mengajukan banding kepada Wakil
Ombudsman)
(7) The Deputy Ombudsman--
48
(a) must determine an appeal under sub-section (6) within 72 hours after
receiving it; and (harus menentukan banding dalam sub-ayat (6) dalam
waktu 72 jam setelah menerima itu; dan)
(b) in doing so, may make any decision that could have been made by the Chief
Commissioner. (Dalam melakukannya, dapat membuat keputusan yang
bisa telah dibuat oleh Ketua Komisaris)
(8) If the Chief Commissioner—(jika Kepala Komisoner)
(a) takes action under this section to restore a person's former identity; and
(b) notifies the person in writing that they are required to return to the Chief
Commissioner all documents provided to them that relate to the new identity
provided under the Victorian witness protection program—(Orang akan
memberitahu secara tertulis bahwa mereka diharuskan untuk kembali ke
Komisaris semua dokumen yang diberikan kepada mereka yang berhubungan
dengan identitas baru yang tersedia dalam program perlindungan saksi
Victoria)
l. Transitional provision (Ketentuan Peralihan)
A person who has entered a memorandum of understanding with the Chief
Commissioner of Police that is in force immediately before the commencement of
section 11 of the Witness Protection (Amendment) Act 1996 is taken to be a
witness included on the Victorian witness protection program and the
memorandum of understanding continues to have effect after that commencement
according to its tenor. (Seseorang yang telah memasuki nota kesepahaman
dengan Ketua Komisaris Polisi yang berlaku segera sebelum dimulainya bagian
11 dari Perlindungan Saksi (Amendment) Act 1996 adalah diambil untuk menjadi
saksi dimasukkan dalam program perlindungan saksi Victoria dan nota
kesepahaman tetap memiliki efek setelah itu dimulai sesuai dengan tenor).
3. Persamaan dan Perbedaan
a. Persamaan
Kedua undang-undang ini adalah untuk memfasilitasi keselamatan orang
yang sedang atau telah menjadi saksi dalam sidang pengadilan tindak pidana.
49
Pengertian saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) menggunakan konsep tentang
pengertian saksi seperti yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Saksi dinyatakan sebagai orang yang hendak memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan/ atau ia alami sendiri, pada witness protection saksi juga didefinisikan
sebagai seseorang yang telah membuat pernyataan kepada Kepala Komisaris
Kepolisian, anggota lain dari kepolisian atau pihak berwenang yang sah dalam
kaitannya dengan suatu pelanggaran terhadap salah satu hukum di Victoria,
atau Persemakmuran atau Negara lain.
a. Perbedaan
Pada witness protection act otoritas atau badan Persemakmuran atau
negara lain diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan atau
investigasi dalam kaitannya dengan pelaksanaan tindakan tersebut, atau
diduga melakukan, kejahatan, atau korupsi. Juga pada witness protection
act Kepala Komisaris Kepolisian dapat memohon kepada perintah
pengadilan yang berwenang, untuk membuat nota kesepahaman dengan
saksi.
B. Kelebihan dan Kelemahan Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan
Korban dengan Witness Act No. 15/1991 Australia.
1. Kelebihan
Perlindungan saksi pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak
memberi kesempatan pada negara – negara lain untuk melakukan
intervensi dalam persidangan sehingga kedaulatan hukum masih terjaga,
tetapi pada witness protection, saksi dituntut untuk lebih objektif dalam
memberi keterangan karena telah membuat nota kesepahaman dengan
kepala komisaris polisi, prosedur untuk menjadi saksi lebih kompleks
dibandingkan dengan Undang – Undang No.13 tahun 2006.
50
2. Kelemahan
Tidak diaturnya saksi pelengkap pada Undang – undang perlindungan
saksi No.13 tahun 2006 sebagaimana diatur dalam witness protection
memungkinkan kesubjektifan jalannya persidangan.
b. Kelebihan dan Kelemahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006:
1. Kelebihan
Undang-undang ini telah mencakup perlindungan dan hak saksi dan korean,
lembaga yang bersangkutan, yaitu LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban), dilengkapi dengan syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan
bantuan, serta ketentuan pidana, ketentuan peralihan, ketentuan penutup, dan
penjelasan, sehingga perlindungan saksi dan korban menjadi jelas.
2. Kelemahan
a) Dalam Pasal 5 Ayat (1) Huruf (i), identitas baru yang diberikan
kepada saksi dan korban dalam kasus-kasus tertentu tidak
dijelaskan secara detail.
b) Dalam Pasal 28 Huruf (b), syarat pemberian perlindungan dan
bantuan diberikan sesuai dengan tingkat ancaman yang
membahayakan saksi dan/atau korban, sedangkan ancaman itu
sendiri adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat,
baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi
dan/atau korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan
pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana,
sehingga tidak perlu memperhatikan tingkat ancaman.
c) Dalam Pasal 30 Huruf (d), kewajiban saksi dan/atau korban untuk
tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya
di bawah perlindungan LPSK, sedangkan saksi dan/atau korban
pasti tetap memerlukan interaksi dengan dunia luar, misalnya
dengan orang terdekatnya.
51
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan apa yang diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut :
1. Persamaan pengaturan program perlindungan saksi dan korban menurut UU
No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness
Protection Act No.15/1991 Australia adalah :kedua undang-undang ini adalah
untuk memfasilitasi keselamatan orang yang sedang atau telah menjadi saksi
dalam sidang pengadilan tindak pidana. Pengertian saksi dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU
PSK) menggunakan konsep tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saksi dinyatakan
sebagai orang yang hendak memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/ atau ia alami sendiri, pada
witness protection act saksi juga didefinisikan sebagai seseorang yang telah
membuat pernyataan kepada Kepala Komisaris Kepolisian, anggota lain dari
kepolisian atau pihak berwenang yang sah dalam kaitannya dengan suatu
pelanggaran terhadap salah satu hukum di Victoria, atau Persemakmuran atau
Negara lain.
Perbedaannya pada witness protection act otoritas atau badan Persemakmuran
atau negara lain diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan atau
investigasi dalam kaitannya dengan pelaksanaan tindakan tersebut, atau
diduga melakukan, kejahatan, atau korupsi. Juga pada witness protection
Kepala Komisaris Kepolisian dapat memohon kepada perintah pengadilan
yang berwenang, untuk membuat nota kesepahaman dengan saksi.
2. Kelebihan pengaturan program perlindungan saksi dan korban menurut UU
No. 16 tahun 2006 dengan menurut witness protection act No. 15/1991
52
Australia.adalah Perlindungan saksi pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tidak memberi kesempatan pada negara – negara lain untuk melakukan
intervensi dalam persidangan sehingga kedaulatan hukum masih terjaga, tetapi
pada witness protection act, saksi dituntut untuk lebih objektif dalam memberi
keterangan karena telah membuat nota kesepahaman dengan kepala komisaris
polisi, prosedur untuk menjadi saksi lebih kompleks dibandingkan dengan
Undang – Undang No.13 tahun 2006. Undang-undang ini telah mencakup
perlindungan dan hak saksi dan korean, lembaga yang bersangkutan, yaitu
LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), dilengkapi dengan syarat
dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan, serta ketentuan pidana,
ketentuan peralihan, ketentuan penutup, dan penjelasan, sehingga
perlindungan saksi dan korban menjadi jelas.
Sedangkan kelemahannya adalah tidak diaturnya saksi pelengkap pada
Undang – undang perlindungan saksi No.13 tahun 2006 sebagaimana diatur
dalam witness protection act memungkinkan kesubjektifan jalannya
persidangan. Dalam Pasal 5 Ayat (1) Huruf (i), identitas baru yang diberikan
kepada saksi dan korban dalam kasus-kasus tertentu tidak dijelaskan secara
detail. Dalam Pasal 28 Huruf (b), syarat pemberian perlindungan dan bantuan
diberikan sesuai dengan tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau
korban, sedangkan ancaman itu sendiri adalah segala bentuk perbuatan yang
menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang
mengakibatkan Saksi dan/atau korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan
pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana, sehingga tidak
perlu memperhatikan tingkat ancaman. Dalam Pasal 30 Huruf (d), kewajiban
saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun
mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK, sedangkan saksi
dan/atau korban pasti tetap memerlukan interaksi dengan dunia luar, misalnya
dengan orang terdekatnya.
53
B. Saran-Saran
1. Aparat penegak hukum masih banyak yang belum memahami arti
pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi saksi dan korban,
sehingga perlu dilakukan sosialisasi UU No. 16 tahun 2006 secara lebih
intensif kepada mereka.
2. Kelemahan UU No. 13 tahun 2006 perlu segera dibenahi seperti misalnya,
masih terbatasnya kewenangan LPSK dalam melaksanakan tugasnya.
3. Pemerintah harus menunjukkan political will yang kuat dalam
mewujudkan komitmen untuk melaksanakan UU No. 16 tahun 2006
secara optimal, mislanya dengan menydiakan budget yang memadai.
54
DAFTAR PUSTAKA Buku dan Internet
Amirudin dan Zaenal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Anonim. 2005. Pedoman Penulisan Hukum. Surakarta: UNS Press. _______________. 2006. Kebijakan formulatif hukum pidana dalam upaya perlindungan saksi dalam proses pidana (suatu studi dalam perspektif “penal policy”). Surakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Eko Setyo Budi. 2003. Tinjauan Yuridis Perlindungan Saksi dan Korban Dalam KUHAP (UU No.8 tahun 1981) dan Implikasinya terhadap Proses Peradilan Di Indonesia. Skripsi Fakultas Hukum UNS.
Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana. Bandung: CV Mandar Maju. Moeljatno. 1990. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara. ________. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. M. Yahya Harahap. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP- Jilid II.
Jakarta: Pustaka Kartini. Soenarto Soerodibroto R. 2003. KUHP dan KUHAP. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press _______________dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. Supriyadi Widodo Eddyono, dkk. 2006. Beberapa Model Lembaga Perlindungan Saksi. http://www.elsam.or.id/.pdf (diakses tanggal 12 desember 2009)
55
Jurnal
Harkristuti Harkrisnowo. 2002 Korupsi, Konspirasi dan Keadilan Di indonesia. Kajian atas perkara pencemaran nama baik oleh Endin Wahyudin. Jakarta: Dictum edisi I Jurnal Kajian Putusan Pengadilan
Rita Olivia. 2002. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Peradilan HAM: Kunci
memperoleh kebenaran Materiil. Jakarta: Mingguan Komisi Nasional HAM Undang-Undang UU Perlindungan Saksi Australia (witness Protection Agency Australia)
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/34 Tahun 1985 (United Nations : Declaration of
Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power UN
G.A.Resolution 40/34 1985)
UU Perlindungan Saksi Kanada (Canada, Witness Protection Bill 1997)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
atau KUHP
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan DalamPencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap
Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan
Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
56
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap
Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus
Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban