Post on 29-May-2018
INTERASI POLITIK DALAM PROSES PEMBENTUKAN HUKUM
( STUDI UU NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH )
Oleh : Dr. Nurul Akhmad, SH, M,Hum.
1. Latar Belakang Pemilihan Judul Tema Penulisan.
Pemikiran yang melatarbelakangi penulis mengambil judul ”Interaksi Politik
dalam Pembentukan Hukum” untuk orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis Fakult
as Hukum UNNES tahun 2009 ini yaitu, pertama, adanya realita bahwa antara
hukum dan politik keduanya tidak dapat dipisahkan baik dalm pembentukan
maupun implementasinya. Soehardjo SS, pakar hukum tata negara Undip,
mengatakan “…antara hukum dan politik adalah pasangan, bila hukum dikaitkan
dengan recht, politik dikaitkan dengan macht, dengan demikian, hubungan antara
keduanya diungkapkan sebagai: ”. . . recht bendichte Werking des macht, nicht
macht bendichte Werking des recht....”1 Studi Moh. Mahfud (1994)2 dalam
disertasinya yang berjudul ”Perkembangan Politik : Studi tentang Pengaruh
Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia”, menunjukkan bahwa
ada pengaruh cukup signifikan antara konfigurasi politik terhadap produk hukum
1 ? Dalam karya tulis Soehardjo SS, yang berjudul “Kekuasaan Kehakiman dan Sistem Peradilan Berdasarkan UUD 1945, Suatu Analisis Atas Memorandum IKAHI II, Tanggal 23 Oktober 1996.
2 Moh. Mahfud MD, 1993,”Perkembangan Politik : Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia” (Disertasi Doktor), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
di Indonesia. Karena itu, kata Mahfud, kebanyakan produk hukum sudah
terkooptasi kekuasaan atau Muladi3 menyebutnya terjadi ”instrumentalisasi hukum
dan politisasi hukum” dalam kehidupan sosial. Begitu pula studi yang dilakukan
Loeby Loqman4 tentang tindak pidana politik sedikit banyak memberi gambaran
tentang ketidakjelasan konsep tindak pidana politik dalam perundang-undangan di
Indonesia. Ketidakjelasan ini dapat dilihat pada produk putusan peradilan pidana,
yaitu, yang di dalamnya terdapat inkonsistensi antara satu putusan dengan putusan
lainnya. Kedua, masih sedikit literatur yang dapat dijadikan sebagai bahan
rujukan dalam rangka pendidikan hukum5, pengkajian, dan pengembangan ilmu
hukum6 bidang politik. Literatur yang ada selama ini7 lebih banyak melihat hukum
( undang-undang ) dari sisi substansi 3 Muladi, ”Wajah Hukum Indonesia Menapak Tahun 2002”, yang disampaikan pada Seminar
Nasional Sehari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), 26 Januari 2002. Namun instrumentalisasi dan politisasi hukum merupakan hal wajar baik di negara demokratis maupun negara totaliter. Namun, instrumentalisasi dan politisasi hukum hanya sah apabila dikendalikan oleh asas-asas hukum demokrasi yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
4 Lihat Loeby Loqman, Delik-Delik Politik di Indonesia, Penerbit Hill-Co, Jakarta, 1993 hal 41.5 Menurut Satjipto Rahardjo, pintu masuk ke pendidikan hukum dengan pembelajaran dan diskusi
mengenai keadilan, ketidakadilan, kebenaran, kejujuran, penderitaan manusia, mengasihi (carring), diskriminasi dalam masyarakat dan seterusnya. Baru kemudian menyusul kepada wacana tentang hukum. Yang diharapkan dari rancangan seperti itu agar hukum bisa dijadikan sarana untuk mengabdi kepada kemanusiaan (Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagad Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm, 64).
6 DHM Weuwissen dalam Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara, Tahun 2006, hal 156-157, mengelompokkan ilmu hukum ada 2 kelompok besar, yaitu : Ilmu Hukum Praktis dan Ilmu Hukum Teoretis. Ilmu Hukum praktis menekuni kegiatan manusia dengan tujuan mewujudkan hukum dalam kenyataan sehari-hari secara konkret melalui pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum. Sedangkan Ilmu Hukum Teoretis menekuni refleksi teoretis terhadap hukum.
7 Di Indonesia literatur tentang studi interaksi politik dalam hukum dan implementasinya memang dirasakan masih sangat kurang atau terbatas. Literatur tentang studi interaksi politik dalam hukum dan implementasinya selama ini banyak mengacu pada buku-buku karangan dari M. Mahfud MD, seperti : Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, dan lain-lain.
( cita dan tujuan hukum8 ) serta bentuknya, dan bukan pada sisi proses
pembentukannya, yang sarat dengan konflik kepentingan ( conflict of interest ),
hegemoni politik, dan kompromi politik, sehingga arah dan konsentrasi
pengkajiannya lebih banyak pada persoalan prosedur dan legalitas pembentukan
hukum.
Sedangkan pemikiran yang melatarbelakangi dijadikannya UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai konsentrasi studi kasus dalam
pembentukan hukum dan implementasinya, yaitu : pertama, bahwa UU Pemda
tersebut selain substansinya mengatur tentang otonomi daerah juga mengatur
tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tentu dalam proses
pembentukan dan implementasinya sarat dengan interaksi politik, karena
menyangkut langsung kepentingan partai-partai politik. Kedua, di banyak daerah
implementasi UU tentang Pemda tersebut banyak menimbulkan konflik politik dan
gejolak di masyarakat, berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala
Daerah secara langsung, yang tentu sangat menarik untuk dijadikan sebagai objek
penelitian karena terjadinya diskongruensi antara das sein dan das sollen dengan
dibentuknya UU Pemda tersebut.
8 Menurut Radbruch seperti yang dikutip oleh Soejono Koesoemo Sisworo dalam buku kumpulan pidato pengukuhan guru besar Fakultas Hukum Undip tahun 1995, hal 121, cita dan tujuan hukum itu sekaligus berfungsi sebagai ukuran regulatif dan konstitutif. Selanjutnya dikatakan bahwa cita hukum atau keadilan (dalam arti luas) memiliki tiga komponen aspek yaitu : (1) keadilan dalam arti khusus/terbatas, yaitu yang berujud kesamaan formal di depan umum, (2) kegunaan menurut tujuan, (3) kepastian hukum atau legalitas, yang meletakkan dan menuntut kewajiban penataan kepada hukum yang berlaku.
2. Rumusan Permasalahan.
Secara teoretis permasalahan muncul karena adanya jarak antara harapan
atau Das Sollen dengan kenyataan atau Das Sein dibentuknya Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004, yaitu untuk mempercepat otonomisasi di daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi guna mewujudkan masyarakat yang lebih
sejahtera dan adil. Kenyataan yang terjadi di masyarakat pascakeluarnya Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 menunjukkan hal berbeda, banyak protes dari
masyarakat terkait dengan isi atau muatan UU Pemda tersebut9 yang dianggap
kurang menjamin kesamaan hak warga negara di dalam hukum dan pemerintahan,
gejolak dan kekacauan banyak terjadi daerah yang menyebabkan terjadinya
9 Secara konstruktif protes tersebut ditindaklanjuti dengan mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 32 Tahun yang dianggap merugikan hak konstitusional warga dan pemohonnya, yaitu : Pasal 1 angka 21, Pasal 57 ayat (1), dan (2), Pasal 65 ayat (4), Pasa1 89 ayat (3), Pasa1 94 ayat (2), dan Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22 E ayat (1) dan Pasa1 22 E ayat (5). Sebagai pemohonnya : Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (CETRO), Smita Notosusanto. Pasal 1 angka 21, Pasa1 57 ayat (1), Pasa1 65 ayat (4), Pasa1 66 ayat (3) huruf e, Pasa1 67 ayat ( 1) huruf e, Pasa1 82 ayat (2), Pasal 89 ayat (3), Pasal 94 ayat (2), Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22 E ayat (1), dan Pasa1 22 E ayat (5). Sebagai pemohonnya Ketua-ketua KPUD 16 Provinsi. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perihal "Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dalam ketentuan ini adalah Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D dan Pasa1 28 I. Sebagai pemohonnya Ketua-ketua Partai Politik Sulawesi Utara - Manado. Pasal 24 ayat (5) penetapan Wakil Kepala Daerah sebagai pasangan Kepala Daerah dalam Pilkada merupakan sebuah ketetapan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 Bab VI Pemerintahan Daerah, dan Pasal 18 ayat (4). Sebagai pemohonnya Anggota DPD (H. Biem Benjamin - Anggota DPD-RI/MPR/B-43). Pasal 56 sampai dengan Pasal 119 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125) bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3). Sebagai pemohonnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum Nasional (LBHN).
instabilitas daerah, yang semuanya itu menjadi faktor kendala bagi percepatan
pelaksanaan otonomi daerah10. Dengan kata lain terjadi diskongruensi11 antara
kenyataan dan harapan. Mendasarkan pada judul penelitian ini yaitu : “Interaksi
Politik” dalam Pembentukan Hukum, Studi tentang Pembentukan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Implementasinya dalam
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Jawa Tengah”, maka permasalahan
pokok dalam disertasi ini yaitu :
1. Bagaimana interaksi politik dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 terjadi ?
2. Sejauhmana interaksi politik dalam proses pembentukan UU 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah berpengaruh terhadap karakter hukum ?
3. Benarkah UU 32 Tahun 2004 belum menjamin terselenggranya pembangunan
demokrasi dengan baik di Indonesi ?
4.Tujuan dan Manfaat Penulisan
10 Beberapa media nasional dan lokal banyak memuat berita tentang adanya gejolak dan kekacauan serta anarkisme dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Di Kabupaten Tuban Jawa Timur terjadi gejolak dan kekacauan yang meluas yang dilakukan oleh para pendukung calon bupati yang kalah. Dari hasil penelitian tentang implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 dalam pemilihan Kepala Daerah secara langsung, diperoleh data bahwa di Kabupaten Semarang telah terjadi gejolak dan kekacauan yang di masyarakat yang dilakukan oleh para pendukung calon yang merasa calonnya dirugikan oleh KPUD. Para pendukung calon yang merasa calonnya dirugikan oleh KPUD juga merusak Kantor KPUD Kabupaten Semarang.
11 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Ancangan Metodologi, Presentasi, dan Publikasi Hasil Penelitian untuk Mahasiswa dan Peneliti Pemula Bidang Ilmu-Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora, Penerbit Pustaka Setia Bandung, 2002, Hal 94.
Tujuan penulisan tentang “Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum”
untuk orasi ilimiah pada acara kegiatan Dies Natalis Fakulat UNNES tahun 2009,
yaitu :
1. Untuk mengetahui lebih dekat sejauhmana interaksi politik yang terjadi dalam
prses pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) Republik
Indonesia ?
2. Sejauhmana interaksi politik dalam proses pembentukan hukum (UU Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerinta Daerah ) berpengaruh terhadap karakter
hukum ?
3. Manfaat Penulisan
Sedangkan manfaat dari tulisan”Interaksi Politik dalam Prose Pembentukan
Hukum “ Studi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu pertama, secara
akademis, hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan teori pada khazanah ilmu
hukum bidang politik, terutama menyangkut interaksi politik dalam pembentukan
undang-undang. Kedua, tulisan ini dapat menjadi titik tolak untuk melakukan
pengujian dan pemaknaan secara kritis terhadap beberbagai konsep, teori, dan
paradigma hukum bidang politik. Tulisan ini dapt menjadi “informasi ilmiah” bagi
eksekutif dan legislatif dan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam
merancang kebijakan hukum bidang politik yang lebih transparan, demokratis, dan
berkeadilan, serta humanis. Di samping itu, tulisan ini dapat pula menjadi
masukan bagi pembaharuan dan pengembangan ilmu12 hukum, khususnya bidang
politik.
Pondasi Teori
Teori-teori13 yang digunakan sebagai pondasi di sini adalah teori-teori yang
relevan dengan judul disertasi ini, baik dilihat dari substansi maupun segi
konteksnya, terutama dalam konteks Indonesia di mana di satu pihak Indonesia
memiliki heterogenitas nilai, suku, agama, di pihak lain secara nasional menganut
hukum nasional yang harus dianut oleh seluruh warga bangsa. Selain itu, teori-
teori yang diangkat di sini diharapkan bisa menjadi model wacana teoritis yang 12 Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda
Karya, Bandung, 1993 mengatakan, dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia rasional (Sollen) dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu hukum. Melalui kedua dimensi ini, ilmu hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.
13 Apa itu teori dan apa tujuannya dapat dibaca dalam buku David G. Wagner, 1984, The Grouw of Sosiological Theories, London Sage Publication, hal 26-34. Misalnya dikatakan bahwa theories provide general guidelines or strategies for approaching social phenomenon and suggest the theoriest should take to these phenomena, they are orienting strategies. Kemudian dijelaskan tiga unit teori, yaitu : a) a set of concept (either explicity degined) b) set assertions relating these concept to each other in account of sociological problem, and c) a spesification of the scope of aplication of the assetions . Sedangkan menurut Soentandyo W, teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti “perenungan “, yang pada gilirannya dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti ” cara atau hasil pandang ”, adalah suatu konstruksi di dalam cita atau ide manusia, yang dibangun untuk menggambarkan secara teflektif fenomena yang dijumpai didalam pengalaman. Dari kata dasar thea ini pulalah datang kata modern “ tater” yang berarti pertunjukan atau “ tontonan”. Didefinisikan dari rumusan yang demikian, berbicara tentang ”teori” tak pelak lagi orang niscaya akan diperjumpakan dengan dua macam realitas. Yang pertama adalah realitas in abstracto yang ada dalam ide yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang berupa realitas in concreto yang berada dalam alam pengalaman yang indrawi (dalam Soetandya Wignyosoebroto, ”Hukum, Metode, dan Dinamika Masalahnya ” ELSAM – HUMA, Jakarta, 2002, hlm 184-185 )
dapat membantu dalam mengembangkan perspektif hukum dalam bidang politik di
Indonesia, terutama untuk kepentingan ilmiah, legislatif, yudikatif dan eksekutif.
Teori-teori yang diangkat di sini diharapkan dapat dijadikan sebagai pisau analisis
dalam bab pembahasan.
Penjelasan teoretis yang dibahas menyangkut empat hal, yaitu
(1) hukum, (2) pembentukan hukum, (3) implementasi hukum, dan
(4) interaksi politik dalam pembentukan hukum dan implementasinya. Mengingat
salah satu tujuan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 diantaranya untuk
menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan demokratis,
maka juga dimunculkan beberapa teori tentang pembentukan hukum yang
demokratis.
a. Teori Hukum
Pondasi teori penulisan ini yaitu Untuk teori hukum, yang dipilih adalah
teori dari Nonet dan Selznick tentang hukum yang responsif, serta teori kritis atau
Critical Legal Studies (CLS) dari Roberto Mangabeira Unger. Kedua teori
hukum tersebut merupakan paradigma baru dalam hukum dan meninggalkan
paradigma lama. Dalam paradigma baru, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas
yang berdiri sendiri, melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas lain
dengan tujuan pokok untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di
dalam masyarakat14. Untuk itu, tidaklah heran jika hukum bisa berinteraksi dengan 14 Nonet, Philippe & Selznick, Philip, op.cit, hal. 73-74.
politik. Hukum yang demikian ini akan lebih mampu memahami atau
menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat.
Dengan demikian, didalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog untuk
memberikan wacana dan adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas.
Karena itu, hukum yang responsif tidak lagi mendasarkan pertimbangan juridis
belaka, melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif
dalam rangka untuk mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh
karena itu, para hakim di dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara
pandang untuk menyikapi hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the
traveller, must be ready for the morrow, it must have a principle”15. Hukum
sebagai sarana saja. Sebaliknya, keadilan harus menjadi tujuan yang mau dikejar,
meskipun tidak selalu menggunakan perspektif hukum. Karena itu diskresi dalam
artian positif perlu digunakan, tetapi tetap berpedoman bahwa diskresi dilakukan
untuk memperoleh keadilan substantif. Dengan demikian, fleksibilitas hukum yang
responsif itu tinggi terhadap hal-hal lain di luar hukum.
Konsep pembangunan hukum yang responsif yang dirumuskan oleh Philippe
Nonet dan Philip Selznick adalah sebuah konsep hukum yang memenuhi tuntutan-
tuntutan agar hukum dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial
yang sangat mendesak dan terhadap masalah-masalah keadilan sosial sambil tetap
15 Lloyd, Dennis, op.cit., hal. 326
mempertahankan hasil-hasil institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan
berdasar hukum.
Konsep hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik bahwa seringkali
hukum tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita
keadilan sendiri16. Sekalipun tesis Nonet dan Selznick ini bukanlah teori yang
mampu menyelesaikan semua problem praktis, tetapi memberikan perspektif dan
kriteria untuk mendiagnosis dan menganalisis problem-problem hukum yang
muncul di masyarakat dengan penekanan khusus atas dilema-dilema institusional
dan pilihan-pilihan kebijakan yang kritis17
Pada keadaan terdapatnya hukum responsif, kesempatan untuk berpartisipasi
dalam pembentukan hukum lebih terbuka. Dalam pengertian ini, arena hukum
menjadi semacam forum politik, dan partisipasi hukum mengandung dimensi
politik. Dengan perkataan lain, aksi hukum merupakan wahana bagi kelompok atau
organisasi untuk berperan serta dalam menentukan kebijaksanaan umum18. Dalam
konteks kebijakan hukum, pembangunan hukum seharusnya mencakup tiga hal.
Pertama, menjamin keadilan dalam masyarakat. Kedua, menciptakan ketentraman
hidup dengan memelihara kepastian hukum. Kepastian hukum berkaitan dengan
efektifitas hukum akan terjamin hanya bila negara mempunyai sarana-sarana yang
16 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition: Towards Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978, hlm. 4.
17 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Sinar Harapan, Jakarta, 1990, hlm. 158.
18 Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 18.
memadai untuk memastikan berlakunya peraturan-peraturan yang ada. Dalam hal
ini aparat penegak hukum memainkan peranan penting. Ketiga, mewujudkan
kegunaan dengan menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam
kehidupan bersama secara konkrit19. Dengan bergulirnya reformasi banyak pihak
yang telah memberikan kontribusi terhadap pembaharuan hukum di Indonesia,
mulai dari lembaga-lembaga pemerintah, partai politik, LSM hingga calon-calon
Presiden dan Wapres. Munculnya berbagai kontribusi pembaharuan hukum ini
merupakan wujud keprihatinan bangsa atas keterpurukan kondisi hukum sejak
pemerintahan orde lama yang mencapai puncaknya pada pemerintahan orde baru.
Pada kedua orde itu, pembangunan hukum kurang menjadi fokus perhatian
pemerintahan20.
Searah dengan teori hukum responsif adalah teori hukum kritis dengan
tokohnya Roberto Mangabeira Unger tentang Hukum Kritis atau Critical Legal
Studies ( CLS )21 atau lebih dikenal di Indonesia dengan Gerakan Studi Hukum
Kritis ( GSHK ). Teori hukum kritis ini diplih karena teori hukum inilah yang
paling relevan dengan judul disertasi ini. Roberto M. Unger, secara terang-
19 Huijbers, Theo, 1990, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 116-118.20 Pada orde lama, focus perhatian pemerintah pada sektor ekonomi, sedangkan pada orde baru,
fokus pemerintah dilakukan terhadap masalah stabilitas. Dengan menekankan pada stabilitas, semua potensi masyarakat yang dapat mengusik kekuasaan dihadapkan pada kekuatan aparat negara, seperti TNI dan Polri. Itulah sebabnya pada orde baru banyak aktifis dan kritikus ditangkap oleh aparat negara karena aktifitasnya dianggap dapat mengganggu stabilitas negara atau pemerintah. Dengan menggunakan strategi pembangunan hukum ortodok yang positivis-instrumentalisme hukum ditempatkan sebagai instrumen ampuh untuk melaksanakan ideologi dan program negara, serta melegitimasi visi para pihak yang memegang kekuasaan.
21 Roberto M. Unger , Gerakan Studi Hukum Kritis, ELSAM, Jakarta, 1999.
terangan menolak teori tentang pemisahan hukum dan politik ( law politics
distinction ). Menurutnya, tidak mungkin dalam proses-proses hukum, apakah
dalam membuat undang-undang atau menafsirkannya, berlangsung dalam konteks
bebas atau netral dari pengaruh-pengaruh moral, agama, dan pluralisme politik.
Lebih lanjut Unger mengatakan bahwa tidak mungkin mengisolasi hukum dari
konteks di mana ia eksis. Hubungan hukum dengan lingkungan sosial menurut
Unger dikonstruksikan sebagai “negotiable, subjective and poliy-dependent as
politics”22.
Roberto M. Unger juga menjelaskan tidak mungkin mengisolasi hukum
dari konteks di mana ia eksis, dan bagi mereka teori tersebut merupakan bentuk
penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan ideologis di balik
putusan-putusan hakim dan undang-undang. Bagi kalangan GSHK, hukum itu
dikonstruksikan sebagai "negotiable, subjective and policy-dependent as politics".
Menurut Unger ada dua alasan utama mengapa tidak mungkin
membayangkan netralitas dan objektivitas hukum, seperti dikutip di bawah ini:
First, procedure is inseparable from out came: every method makes certain legislative choices more likely than others... Second, each law making system it self embodies certain values; it incorporates a view of how power ought to be distributed in the society and how conflicts should be resolved23."
22 Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Edisi Bahasa Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999, hal XVI – XVII.
23 Lihat, Unger, Law and Modern Society, (New York: Free Press, 1975) hlm 180.
Dengan mengacu kepada proses-proses empiris pembuatan kebijakan
hukum, Unger menunjukkan betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan
politik, analisis hukum tidak hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi
doktrinal dan asas-asas hukum semata, sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi
secara alamiah, melainkan direkonstruksi secara sosial24.
Roberto M. Unger mengajukan kritik keras terhadap tradisi hukum liberal,
khususnya terhadap formalism dan objectivism. Inti serangan Unger terhadap
formalisme dan objektivisme yaitu untuk menunjukkan tidak sahihnya proyek ahli
hukum klasik abad ke-19, yang membayangkan bahwa di dalam struktur hukum
sudah terpasang-tetap
(built) demokrasi dan pasar. Percobaan memberlakukan konsep ini menjadi
perincian teknis hukum, menurut Unger justru berakhir dengan memperlihatkan
kedok kepalsuannya.
Unger menentang formalisme dan objektivisme itu dengan titik tolak dari
pemikiran bahwa setiap cabang doktrin harus bersandar diam-diam, kalau tidak
secara terang-terangan, pada suatu bentuk-bentuk interaksi manusia yang riil dan
realitis di bidang kehidupan realistik masyarakat tempat doktrin itu berlaku. Itu
artinya diperlukan suatu teori sosial yang dapat dipercaya. Katakanlah misalnya,
seorang ahli hukum tata negara, ia membutuhkan teori tentang republik demokratis
yang menggambarkan hubungan yang tetap antara masyarakat dan negara, sebelum
ia memahami atau membangun suatu doktrin hukum di bidang tata negara.
24 Analisis mengenai bagaimana hukum itu direkonstruksi dan bagaimana rekonstruksi itu sebetulnya diperlukan untuk mengabsahkan suatu tatanan.
Unger mengusulkan peninjauan ulang terhadap teori-teori sosial utama, yang
menawarkan perubahan linear masyarakat. Unger tidak mempercayai keniscayaan
jalannya sejarah - sebagaimana yang menjadi premis teori-teori sosial seperti
Marxisme misalnya. Unger juga terobsesi oleh pencarian alternatif yang radikal
baik terhadap Marxisme maupun Liberalisme25. Dalam konteks pencarian terhadap
alternatif inilah Unger menawarkan suatu program yang disebutnya sebagai
"Superliberalism"26. Menurutnya yang dimaksud dengan superliberalisme, oleh
Unger dijelaskan sebagai berikut :
Program ini mendesak fondasi pikiran liberal tentang negara dan masyarakat, tentang kemerdekaan dari ketergantungan dan penguasaan hubungan sosial oleh kemauan, sampai ke titik ketika semuanya melebur menjadi suatu ambisi besar: pembentukan suatu dunia sosial yang tidak begitu asing bagi suatu kepribadian yang dapat senantiasa melanggar peraturan generatif dari bangunan mental dan sosialnya sendiri serta menempatkan peraturan dan bangunan lain sebagai gantinya.
1.4.1 Teori Bekerjanya Hukum ( Pembentukan dan Implementasi ) dari
Robert Seidman
25 Saya mengatakan terobsesi, karena dengan gigih terus dikembangkannya di dalam berbagai karyanya, seperti pada karya triloginya, yang juga merupakan karya seminarnya, yaitu Social Theory: Its Situation and Its Taks (1987), Politics: A Work in Contructive Social Theory (1987); dan False Necessity (1987). Selain juga muncul dalam karyanya yang pertama, Knowledge and Politics (1975), dan di dalam buku ini, The Critical Legal Studies Movement (198G).
26 Ibid.
Teori yang digunakan untuk melakukan analisis teoretis tentang
pembentukan hukum dan implementasinya adalah teori dari Robert Seidman yaitu
teori tentang bekerjanya hukum. Teori ini akan didayagunakan untuk melakukan
analisis tentang pembentukan hukum sekaligus juga untuk melakukan analisis
terhadap implementasi hukum27. Menurut teori ini, pembentukan hukum dan
implementasinya tidak akan lepas dari pengaruh atau asupan kekuatan-kekuatan
sosial dan personal28, terutama pengaruh atau asupan kekuatan sosial politik.
Dengan menggunakan teori bekerjanya hukum ini akan dapat dijelaskan
bagaimana pengaruh dari personal, lingkungan ekonomi, sosial, budaya, serta
politik dalam proses pembentukan dan implementasinya. Itulah sebabnya kualitas
dan karakter hukum juga tidak lepas dari pengaruh bekerjanya kekuatan-kekuatan
dan personal tersebut29, terutama kekuatan-kekuatan politik pada saat hukum itu
dibentuk. Dalam konteks disertasi ini maka kekuatan-kekuatan yang dimaksud
adalah realitas kekuatan-kekuatan politik di lingkungan di DPR RI, seperti semua
fraksi yang ada, anggota Pansus 2230, dan pemerintah, dan masyarakat yang
27 Meskipun secara khusus masalah implementasi hukum akan disandarkan pada payung teoretis. 28 Robert B. Seidman & William J. Chambles, Law, Order, and Power, Printed in United States of
America, Pubhlised Stimulant Costly in Canada Library of Congress Catalog Card No. 78-111948. 29 Penstudi mengasumsikan personal yang dimaksud oleh Robert Seidman dalam pembentukan
hukum tidak lain adalah para elit politik yang duduk dalam legislatif atau lebih tepat yang menjadi anggota panitia khusus (Pansus) 22, yaitu Pansus yang ditugasi untuk mempersiapkan dan membahas rancangan UU Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintah Daerah.
30 Dari hasil wawancara mendalam atau dept interview dengan para informan di DPR RI dan hasil studi dokumenter diperoleh penjelasan bahwa dalam rangka revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dibentuk panitia khusus yang kemudian diberi nama Pansus 22.
semuanya memiliki kepentingan yang besar terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004
yang merupakan revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah31.
Secara konstruktif teori Robert Seidman32 tentang bekerjanya hukum
dilukiskan oleh Satjipto sebagai berikut33 .
Gambar 1
Bekerjanya Hukum menurut Seidman
sebagaimana dilukiskan oleh Satjipto Rahardjo
Dari model bekerjanya hukum tersebut, oleh Seidman dirumuskan beberapa
pernyataan teoretis sebagai berikut:34
31 Kepentingan masing-masing kekuatan politik dalam revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dapat dilihat dalam Bab IV tentang Pembahasan disertasi ini.
32 Gambar aslinya dapat dilihat dari buku Robert B. Seidman & William J. Chambles, Law, Order, and Power, hal 21.
33 Lihat buku Satjipto Rahardjo, Hukum dan Mayarakat, Angkasa, Bandung , 1980, hlm. 27. 34 Robert B Seidman. Ibid, 1972.
Lembaga Pembuat Peraturan
Lembaga Penerap
Peraturan
Pemegang Peran
Norma
Umpan-balik
Faktor-faktor Sosial dan Personal
Norma
Aktivitas Penerapan sanksi
Faktor-faktor Sosial dan Personal
Faktor-faktor Sosial dan Personal
Umpan-balik
(1)Setiap peraturan hukum itu menunjukkan aturan-aturan tentang bagaimana
seseorang pemegang peran diharapkan untuk bertindak;
(2)Tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang pemegang peran sebagai
respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh
peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas lembaga
pelaksanaannya, serta dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain
sebagainya yang bekerja atas dirinya;
(3)Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respons
terhadap peraturan-peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh
peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dan dari seluruh
kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas
dirinya, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi;
(4)Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pembuat undang-undang
sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan
oleh berfungsinya peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-saksinya, dan dari
seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja
atas mereka, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan
birokrasi.
1.4.3 Teori Sistem Cybernetics
Cybernetics merupakan salah satu teori sistem mekanis (mechanism system},
yang secara analogi diterapkan dalam kehidupan manusia (living organism-human
life). Cybernetics diambil dari kata Yunani, ”kubernetes” yang sama artinya
dengan ”steersman” atau ”governor”, yang dalam bahasa Indonesia dapat
dipadankan dengan istilah ”alat” atau ”pengatur” (on an engine). Teori ini untuk
pertama kalinya dicetuskan oleh Norber Wiener, seorang Guru Besar
Matematika di Massachusetts Institute of Technology (MIT)35.
Teori ini kemudian menjadi teori yang sangat menarik, di samping karena
banyak disitir dan bahkan cenderung dikultuskan oleh ahli-ahli ilmu sosial, Karena
terutama, pertama, Cybernetics merupakan teori sistem mekanis abad ke-20-an
yang dibangun di atas prinsip-prinsip teori fisika, mekanis, dan matematika dalam
bentuk kombinasinya dengan teori sistem. Kedua, Cybernetics digunakan untuk
menjembatani pertentangan antara teori sistem (organis) dengan teori mekanis.
Ketiga, Cybernetics secara khusus diterapkan dalam perspektif komunikasi sosial.
Keempat, secara khusus juga diterapkan di dalam perspektif pengetahuan hukum.
Hal yang kemudian perlu disayangkan adalah banyak ahli sosial yang kemudian
menggunakan Cybernetics dalam perspektif teori-teori ilmu sosial umum sehingga
35 Wiener, Norbert. The Human Use of Human Beings, Cibernetic and Society, Doubleday & Company, Inc, New York 1950, dalam Lili Rasjidi Hukum Sebagai Suatu Sistem , Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993, hal 44 – 63.
dalam kondisi tertentu penggunaan itu justru mengakibatkan kaburnya prinsip-
prinsip Cybernetics36.
1. Teori Cybernetics
Cybernetics adalah teori komunikasi mekanis yang oleh Wiener dibangun di
atas prinsip-prinsip teori fisika dan matematika, khususnya teori probabilitas.
Kendatipun bertolak dari perkembangan fisika, namun sangatlah penting diingat
bahwa Cybernetics bukanlah teori fisika semata. Adalah lebih tepat
mengatakannya sebagai transformasi teori komunikasi mekanis yang berakar pada
fisika dan matematika ke dalam bentuk kehidupan manusia.
Wiener menyebutkan ”perintah” (commands) sebagai dasar utama sistem
komunikasi. Perintah oleh manusia digunakan sebagai alat untuk mengatur
lingkungannya. Sebagai suatu bentuk informasi, perintah merupakan alat yang
berada dalam posisi peralihan antara kondisi yang serba tidak teratur dengan
kondisi yang serba teratur. Perintah yang dikirim oleh suatu pihak kepada pihak
lain melalui sistem komunikasi, tidak selalu dapat dipahami seluruhnya oleh pihak
penerima perintah. Tindakan atau sikap, sebagai ekspresi dari reaksi penerima 36 Salah satunya adalah Parsons, yang menggunakan Cybernetics untuk menjelaskan hukum
sekadar sebagai bagian dan sistem norma belaka dalam sistem sosial, maka Wiener, pemil ik teori itu justru menempatkan hukum sebagai pusat kekuatan, pengendali, dan pengikat keseluruhan unsur-unsur sistem sosial. Perbedaan esensial penggunaan teori ini dalam hubungan dengan analisis hukum telah menunjukkan bahwa orang semacam Parson telah menggunakan teori-teori mekanis secara berlawanan atau mengingkari esensi teori-teori itu. Sehingga mengakibatkan tidak objektifnya hasil penggunaan teori-teori itu. Tentang hal ini dilihat lebih lanjut dalam : Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, 1984, h1m.115.
perintah, dan refleksi dari keterpahamannya terhadap perintah yang ia terima,
sering menunjukkan kesenjangan antara jumlah perintah dengan reaksi atas
perintah yang dikirim itu, sehingga kesalahpahaman, kesenjangan pengertian;
merupakan kecenderungan seperti apa yang oleh Gibbs diperkenalkan kepada kita
yaitu, pertumbuhan entropi.
Wiener tidak menemukan perbedaan esensial antara proses pemberian dan
penerimaan perintah pada mesin dan manusia. Manusia menerima perintah melalui
sistem sarafnya yang bekerja menyerupai sistem mekanis, yaitu melakukan proses
seleksi terhadap perintah (pesan) yang diterimanya. Proses ini berlangsung pada
sistem saraf yang berfungsi sebagai organ seleksi (sensory organ), setelah terlebih
dahulu berlangsung proses penerimaan melalui saraf penerima (receptor-organ),
seperti misalnya oleh saraf kinestesia (kinaesthesia), yang secara keseluruhan
dikoordinasikan oleh sistem saraf manusia.
Cybernetics menaruh perhatian besar terhadap proses penyelenggaraan
pesan (messages) dalam proses komunikasi itu. Perhatian terpenting oleh
Cybernetics ditempatkan pada kesamaan karakteristik yang menjadi dasar dari
proses komunikasi itu. Cybernetics akhirnya merupakan suatu teori pesan,
khususnya teori tentang kontrol otomatis yang berlangsung pada proses sistem
pesan itu, yaitu yang hakikatnya adalah suatu sistem kontrol mekanis.
2. Prinsip-Prinsip Dasar Cybernetics
Pada dasarnya Cybernetics merupakan teori pesan searah, yaitu proses
komunikasi (sistem komunikasi) antara pemberi pesan dengan penerima pesan.
Pemberi pesan merupakan pihak pertama yang memberi pesan kepada pihak kedua
(penerima pesan) yang mengakibatkan timbulnya reaksi pada pihak kedua untuk
memberikan informasi kepada pihak pertama, sejumlah kehendak pihak pertama.
Tanpa adanya pesan dari pihak pertama, pihak kedua tidak akan memberi reaksi
kepada pihak pertama. Sehingga pihak pertama, melalui pesan yang diberikannya,
juga berkedudukan sebagai pusat energi yang mendorong pihak kedua untuk
bereaksi, dan sebagai pengendali (controler) yang mengakibatkan pihak kedua
hanya melakukan kegiatan (reaksi) sejumlah kehendak pihak pertama. Karenanya,
teori ini disebut juga teori energi searah, atau juga teori kontrol searah.
Menurut Wiener, hakikat dari suatu sistem komunikasi adalah sistem pe-
rintah searah, dan sistem pengendalian searah. Sistem komunikasi itu merupakan
proses hubungan antara "pemberi pesan" (komunikan I) dengan "penerima pesan"
(komunikan II), melalui hal itu komunikan I memberikan pesan kepada komunikan
II. Jawaban dari (pesan balik) komunikan II semata-mata dianggap sebagai reaksi
otomatis (akibat) yang disebabkan oleh adanya aksi (pemberian pesan) dari
komunikan I, dan adanya pengendalian searah dari komunikan I yang
mengakibatkan komunikan II memenuhi kehendak (perintah - pesan) dari
komunikan I. Dalam formulasi kedua (control the action of another person) dari
pernyataan Wiener itu, proses perintah searah ini menjadi lebih tegas lagi. Bahwa
bagi Wiener, sistem pesan dan sistem kontrol otomatis itu hakikatnya adalah sistem
pemberian perintah (imperative mood-order) searah. Karena bagi Wiener, pesan
balik (reaksi) dari komunikan atas pesan atau kontrol yang diberikan oleh
komunikan I adalah refleksi dari pemahaman dan penerimaan komunikan II atas
perintah yang diberikan oleh komunikan I.
Gambar 2
Desain Proses Sistem Komunikasi Menurut Cybernetics
Keterangan:
PP = pusat perintah; melalui tindakan (action);
input = data hasil tindakan;
proses = penerimaan dan Pegolahan data;
output = hasil pengolahan data; menghasilkan reaksi tindakan/ informasi balik;
kontrol = monitor terhadap proses pengolahan data;
feedback = hasil kontrol; berfungsi sebagai input bagi proses berikutnya.
PP / K I
inputaksi
Proses outputreaksi
feedback
kontrol
Komunikan I atau pemberi perintah hanyalah bertugas melepaskan perintah
kepada komunikan II, dan perintah itu yang kemudian secara otomatis dianggap
melakukan pengendalian otomatis terhadap proses pada K II, yang akhirnya
membuat K II secara otomatis berproses dan memberikan reaksi sesuai dengan
perintah (kehendak) K I. Gambaran ini sekali lagi lebih memenuhi karakteristik
sistem pada kesatuan-kesatuan mekanis (mesin), sebab setiap mesin akan bekerja
secara otomatis setelah menerima instruksi. Proses penyaluran perintah ini dapat
diamati pada setiap proses mekanis pada benda-benda mekanis, seperti komputer,
tangga otomatis, proyektor film, dan lain-lain. Menurut Wiener, hal serupalah yang
juga dianggap berlangsung pada sistem perilaku manusia37.
Teori cybernetics ini akan digunakan untuk melakukan analisis terhadap
anggota Pansus 22, yaitu Pansus yang ditugasi untuk membahas RUU 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah. Sebagai anggota dan kepanjangan tangan dari
37 Sebagian analogi Wiener ini mungkin benar. Tetapi generalisasi teori Wiener yang seutuhnya diterapkan terhadap sistem perilaku manusia merupakan pusat kekeliruan Wiener untuk sebagian lain dari analoginya. Proses sensorik yang berlaku pada manusia dalam menentukan sikap sehubungan dengan perintah yang datang dari luar dirinya mungkin benar, seperti ketika ia melakukan perbandingan antara proses komunikasi antara sistem saraf manusia dengan mesin. Tetapi kelirulah jika output pada mesin dipastikan sama dengan output yang dihasilkan oleh proses sistem dalam diri manusia. Benarlah Wiener menyatakan bahwa reaksi (output) yang dihasilkan oleh proses sistem mekanis akan sama besar (sesuai) dengan input yang diterimanya. Tetapi, kelirulah jika rumusan ini diterapkan terhadap proses sensorik yang berlaku dalam diri manusia. Dalam proses penerimaan dan pengolahan pesan, mungkinlah berlangsung proses mekanis secara analogis, tetapi dalam hal output; mesin dan manusia lebih sering berbeda. Hal ini mungkin akan lebih mudah dipahami jika pada satu bagian manusia dimengerti sebagai sistem tertutup, terutama dalam menerima dan otomatisasi pengolahan pesan itu. Tetapi sikap dan perilaku menyimpang yang lebih sering diperlihatkan manusia mungkin akan lebih mendekatkan ia pada penjelasan bahwa manusia juga menyerupai proses sistem terbuka, dengan mempertimbangkan bahwa manusia merupakan kesatuan yang memiliki energi otonom, yang memungkinkan ia bertindak secara berlawanan dengan perintah. Dalam hal ini akan lebih tepat menempatkan manusia tidak dalam konteks mekanis (sistem tertutup), melainkan secara kontekstual menempatkannya pada sistem terbuka (high type of system) yang mengakui komponen-komponen nonmekanis yang ada pada ma-nusia. Wiener pada mulanya juga sangat mempertimbangkan unsur-unsur nonmekanis manusia seperti terminologi "soul", "life" dan lain-lain. Tetapi dorongan untuk menyusun teori komunikasi yang sifatnya aplikatif bagi seluruh sistem komunikasi, telah mendorongnya hanya mempertimbangkan komponen-komponen mekanis pada manusia. Kelemahan ini mungkin Iebih mudah dijelaskan melalui teori hukum yang dibentuknya.
fraksi, anggota pansus akan memperjuangkan kepentingan politik fraksinya.
Demikian juga fraksi, sebagai kepanjangan tangan dari partai, akan
memperjuangkan kepentingan partainya terhadap muatan dan isi UU 32 tahun
2004, terutama kepentingan dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepada
daerah. Semua aktivitas politik yang dilakukan dan diperjuangkan oleh anggota
pansus 22 akan selalu dikontrol dan dikendalikan oleh partainya masing-masing
melalui fraksinya masing-masing di DPR RI.
1.4.4 Teori Implementasi/Penegakan Hukum dari Joseph Goldstein
Menurut Muladi, implementasi atau penegakan hukum ( law enforcement )
adalah suatu usaha untuk menegakkan dan sekaligus nilai-nilai yang ada
dibelakang norma-norma tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa, penegakan
hukum yang ideal harus disertai kesadaran bahwa penegakan hukum merupakan
subsistem sosial, sehingga pengaruh lingkungan cukup berarti, seperti pengaruh
politik, ekonomi sosial budaya, Hankam, Iptek, pendidikan dan sebagainya. Itulah
sebabnya penegakan hukum tidak bisa hanya dapat mengandalkan logika dan
kekuasaan saja38.
Untuk dapat menganalisis interaksi politik dalam implementasi atau
penegakan UU Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanannya, penstudi
38 Dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro press, Semarang, Cet II 2002, hal 69.
memilih menggunakan teori penegakan hukum
( law enforcement ) dari Joseph Goldstein39, yang melihat bahwa implementasi
atau penegakan hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) Total
Enforcement, (2) Full Enforcement dan (3) Actual Enforcement. Penegakan hukum
menurut Goldstein ini berpangkal dari konsep penegakan hukum pidana
sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif ( substantive law of
crimes ), namun dalam realitasnya hal ini dimungkinkan dapat dilakukan
sepenuhnya, sebab adanya pembatasan dalam hukum acara sendiri sehingga
membatasi ruang gerak, disamping pengaruh dari faktor penegak hukum itu
sendiri. Oleh karena itu ada ruang dimana tidak dapat dilakukan penegakkan
hukum ( Area of No Enforcement ).
Hampir sama dengan Total Enforcement, Full Enforcement merupakan
ruang sisa dari Total Enforcement yang dikurangi oleh Area No Enforcement,
merupakan ruang dimana penegak hukum tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan yang dimiliki oleh penegakan
hukum itu sendiri. Pada Full Enforcement ini juga digunakan diskresi oleh penegak
hukum untuk memutuskan, melanjutkan atau tidak terhadap kasus tersebut.
39 Joseph Goldstein, Police Discretion Not to invoke the Criminal Proses: Low – Visibilty Disision in the Administration of Justice, dalam Goerge F. Cole, Criminal Justice: Law and Politics, secon edition, 1975.
Sementara Actual Enforcement adalah ruang penegakan hukum yang
sesungguhnya.
Atas dasar konstruksi pemikiran Joseph Goldstein di atas, memberi
pemahaman bahwa dalam implementasi atau penegakan hukum tidak mungkin
dapat dilaksanakan secara total enforcement atau full enforcement karena pertama,
secara substansial ketidakmungkinan hukum dapat menjangkau sampai pada
tujuannya ( ketertiban, keteraturan dan keadilan ) karena adanya pengaruh dan
intervensi dalam implementasinya40, terutama implementasi hukum bidang politik.
Kedua, adanya keterbatasan sarana dan prasarana di lingkungan penegak hukum.
Ketiga, adanya intervensi atau campur tangan baik dari dalam maupun luar
lembaga41, terutama intervensi kekuatan kekuasaan dan politik.
Pendapat Goldstein tentang penegakan hukum tersebut semakin
mendekatkan pada kebenaran untuk memotret implementasi atau penegakan
hukum bidang politik di Indonesia, khususnya implementasi UU Nomor 32 Tahun
40 Contoh yang bagus untuk menjelaskan hal ini adalah seandainya KUHP itu diberlakukan secara sepenuhnya atau total enforcement, maka penjara akan penuh dengan pengemis, kerena para pengemis atau gelandangan yang berada di jalan dapat dikenakan sanksi pidana karena menggangu ketertiban umum.
41 Contoh yang bagus untuk menjelaskan hal ini adalah penegakan hukum pidana, dimana dalam KUHAP dikatakan setelah ada laporan dari masyarakat, polisi berkewajiban untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, namun tidak semua laporan masyarakat tersebut dapat dilakukan penyelidikan dan penyidikan dengan cepat oleh polisi karena adanya keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Polisi. Selain keterbatasan sarana dan prasarana di lingkungan penegak hukum menjadi penyebab ketidakmungkinan hukum diimplementasikan dengan secara sepenuhnya. Ada faktor lain juga menjadikan hukum tidak dapat ditegakkan secara total karena adanya intervensi baik dari luar maupun dari dalam, seperti kepentingan oknum penegak hukum para pengacara dan intervensi dari penguasa maupun politik.
2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya mengatur tentang pemilihan
Kepala Daerah. Sejak dalam pembentukannya, undang-undang ini sarat dengan
konflik kepentingan politik ( conflict of interest ) oleh fraksi-fraksi, meskipun
akhirnya ada konsensus dan kompromi politik, tetapi bukan berarti tidak
menyisakan konflik karena di dalam konsensus dan kompromi politik tersebut ada
pihak yang lebih diuntungkan dan ada pihak yang merasa dirugikan. Belum
selesainya konflik secara tuntas dalam pembentukan undang-undang menjadi
kendala dalam tahap implementasinya karena nampak adanya ketidakadilan dan
ketidaksamaan hak politik. Inilah yang menjadikan undang-undang tersebut tidak
dapat dilaksanakan secara penuh ( full enforsement ) karena adanya ruang atau area
dimana hukum tidak dapat dilaksanakan ( Area No enforcement ).
1.4 Definisi Operasional
Dari judul dan permasalahan disertasi, maka perlu diberikan definisi
operasional agar tidak salah kaprah dalam menggunakan dan memaknai bahasa dan
istilah dalam kerangka disertasi ini.
1.5.1 Interaksi Politik
Yang dimaksudkan interaksi politik dalam disertasi adalah hubungan yang
saling mempengaruhi dan menekan antar kekuatan-kekuatan politik yang ada
dalam institusi DPR RI maupun antar kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam
institusi DPR RI dengan kekuatan politik di luar seperti pressure group, interest
group, elit politik, sampai kepada pendapat umum ( public opinion ). Interaksi
politik yang dimaksud dalam disertasi ini adalah interaksi politik yang terjadi
dalam proses revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah oleh
anggota legislatif di DPR RI, anggota Pansus 22, dan Mendagri selaku wakil dari
pemerintah.
1.5.2 Pembentukan Hukum
Pembentukan hukum yang dimaksud dalam judul disertasi ini adalah proses
pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai hasil revisi Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dianggap tidak
lagi sesuai dengan perubahan ketatanegaraan pascaamandemen UUD 1945 dengan
dinamika demokrasi yang berkembang di masyarakat menjadi UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
1.5.3 Implementasi hukum
Yang dimaksud dengan implementasi hukum dalam disertasi ini yaitu
penegakan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam
pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Jawa Tengah yang pada tahun 2005.
1.5 Metode Penelitian
Sebelum peneliti lebih jauh memaparkan hasil penelitian yang diperoleh,
terlebih dahulu dipaparkan metode penelitian yang dilakukan, termasuk justifikasi
terhadap pilihan metode dan pendekatan yang digunakan. Hal ini penting, karena
metode penelitian tidak hanya membicarakan bagaimana cara atau langkah-
langkah di lapangan yang berkenaan dengan data tersebut diperoleh serta
dianalisis, tetapi lebih dari itu, metode penelitian juga membicarakan paradigma
yang digunakan dalam mencoba memahami serta menginterpretasikan data
berdasarkan fakta yang ada, serta membicarakan bagaimana sifat data yang
diperoleh, dan bagaimana posisi peneliti dalam melihat data.
1.6.1 Paradigma Penelitian
Istilah paradigma berasal dari istilah Latin, yaitu paradigm yang berarti pola.
Kemudian kata paradigm diintroduksi oleh Khun dalam dua pengertian utama,
yaitu : pertama, sebagai totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan nilai, persepsi,
dan teknik yang dianut oleh akademisi maupun praktisi disiplin ilmu tertentu yang
mempengaruhi cara pandang realitas mereka. Kedua, sebagai upaya manusia
untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan yang mampu menjungkirbalikkan
semua asumsi maupun aturan yang ada.42
42 Lihat Sofian Efendi, Paradigma Pengembangan dan Administrasi Pembangunan, dalam LAN RI, Laporan Temu Kaji dan Peran Ilmu Administrasi dan Manajemen dalam Pembangunan, 1988.
Pendapat Khun di atas kemudian diintroduksi lagi oleh Scott, yaitu bahwa
paradigma diartikan sebagai pencapaian hal yang baru dan dijadikan sebagai pola
untuk pemecahan masalah masa yang muncul di masa mendatang. Hal menarik
dari pengertian ini adalah bahwa paradigma adalah cara pemecahan suatu masalah
yang seharusnya memiliki daya prediksi masa depan. Selain itu, paradigma
diartikan sebagai kesatuan nilai, ide, ukuran dan pandangan umum yang oleh
kalangan ilmuwan tertentu digunakan sebagai cara kerja ilmiah 43
Dalam suatu penelitian, paradigma merupakan persoalan dasar atau subject
matter yang perlu dilihat, sebab paradigma akhirnya akan berpengaruh terhadap
keseluruhan langkah dalam proses penelitian yang sedang dilakukan, baik
menyangkut bagaimana cara melihat, maupun memproses serta menganalis data.
Bahkan perbedaan paradigma dengan sendirinya akan berpengaruh pada perbedaan
konsep, teori, asumsi dan kategori tertentu yang melatarbelakangi penelitian
tersebut dan oleh karenanya berujung pada perbedaan simpulan yang diambil. Oleh
karena itu, dalam perspektif paradigma persoalannya bukan “benar atau salahnya”
suatu penelitian, tetapi landasan paradigma apa yang melatarbelakangi penelitian,
menjadi sangat penting untuk diketahui. Paradigma dalam penelitian ini dipahami
sebagaimana Guba dan Lincoln memahaminya sebagai “set of basic beliefs” atau
keyakinan dasar sebagai sistem filosofi utama, induk atau “payung”, yang
43 Lihat Mustopadijaya, Paradigma-Paradigma Pembangunan Administrasi Negara dan Manajemen Pembangunan , dalam LAN RI, Ibid, hlm 78.
merupakan konstruksi manusia ( human construction ),44 bukan dalam pengertian
agama atau wahyu yang datangnya dari Illahi, tetapi lebih didasari pada bagaimana
subjek ( baca : Peneliti ) meyakini dunianya. Untuk itu, Paradigma tidak hanya
dipandang sebagai “pendekatan atau approach”45 ataupun “subject matter”
( substansi ) dalam ilmu pengetahuan,46 tetapi lebih dari itu yaitu ideologi atau
keyakinan terhadap bidang yang akan ditekuni, sehingga disanalah menurut
Thomas Kuhn ilmu pengetahuan dianggap bermula, berasal, berakar, dicetak, dan
bersumber/mengalir.47 Hal ini dikarenakan paradigma merupakan “disciplinary
matric”, yakni suatu pangkal, wadah, tempat, cetakan, atau sumber disiplin ilmu
pengetahuan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma
“constructivism”. Dipilihnya konstruktivisme sebagai paradigma dalam penelitian
ini tentunya didasari oleh beberapa hal, seperti yang disebutkan di bawah ini :
a. Dilihat dari objek yang diteliti tentang interaksi politik dalam pembentukan
hukum dan implementasinya, maka terlihat bahwa dalam perspektif ontologinya
terlihat bahwa objek penelitiannya bersifat plural, yaitu banyak faktor yang
44 Guba dan Lincoln, Competing Paradigms In Qualitative Research, di dalam N. K. Danzin dan Y. S. Lincoln (Ed) Handbook of Qualitative Research, Sage Publication, London, 1994, hal 108
45 W.L. Nouman, Social Research Methods dalam Erlyn Indarti, Legal Constructivism: Paradigma Baru Pendidikan Hukum Dalam Rangka Membangun Masyarakat Madani, Majalah Masalah-masalah Hukum Vol. XXX No. 3 Juli-September 2001, Hal139-153.
46 Menurut George Ritzer, a Paradigm is a fundamental image of the subject matter within a science. It serves to define what should be studied, what questions should be asked, how they should be asked, and what rules should be followed in interpreting the answer obtained. The paradigm is the scientific community (or sub community) from another. It subsumes, defines, and interrelates the exemplars, theories and methods and instruments that exist within it. Lihat George Ritzer, Sociology: a Multiple Paradigm Science, Boston Allyn and Bocon, 1975, hal. 7
47Karya Thomas Khun ini tertuang dalam : The Structure of Scientific Revolution, Chicago University Press, 1962, 2nd ed. 1970.
melingkupi sebagai suatu proses politik, yang tidak lepas dari pengalaman
sosial, individual, latar belakang sosial politik, budaya, ekonomi, dan
pendidikan para aktornya.
b. Demikian juga konsep implementasi hukum, banyak faktor yang melingkupi.
Hal tersebut dapat dipahami karena hukum itu suatu realitas sosial sekaligus
konstruksi sosial, sehingga kebenaran akan pemahaman suatu konsep sangat
tergantung pada bagaimana masyarakat tersebut melakukan interpreatif
terhadap fenomena yang ada.
c. Di samping itu, pemilihan paradigma konstruktivisme berkaitan dengan tujuan
dari penelitian ini yaitu untuk melakukan rekonstruksi data-data yang sangat
plural untuk dikonstruksikan menjadi konsep hukum, dalam hal ini hukum yang
mengatur pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lebih
demokratis, berkualitas, dan efisien.
1.6.2 Metode Pendekatan dan Jenis Penelitian.
Metode yang digunakan dalam studi ini yaitu Yuridis sosiologis atau Sosio-legal
approach. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mempelajar keterkaitan hukum dengan
institusi sosial lainnya. Sebab, pada dasarnya, institusi hukum tidak dapat dilihat
sebagai entitias normatif yang mandiri atau isoterik, tetapi justru harus dilihat sebagai
bagian darai sistem sosial yang tentu saja kait mengkait dengan variabel-variabel sosial
lainnya.
Metode kualitatis dipakai untuk menghasilkan data diskritif naratif mengenai
interaksi anggota pansus dan semua pihak yang terlibat dalam pembentukan UU 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah yang menjadi fokus atau sasaran studi ini. Secara
teknis metode ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode lainnya,
seperti dikatakan Singarimbun48 sebagai berikut, pertama, menyesuaikan metode
penelitian kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua,
metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan
responden. Ketiga , metode ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman
pengaruh bersama pola-pola nilai yang dihadapi.
Melihat objek penelitian ini, yang banyak ditekankan pada perilaku manusia dan
interaksinya yang selalu berubah-ubah sesuai dengan dinamika yang terjadi, maka jenis
penelitian ini adalah kualitatif. Menurut David D. William, sebagaimana yang dikutip
oleh Sanafiah Faisal mengatakan bahwa, Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian
lainnya dalam tiga hal pokok, yaitu (1) pandangan-pandangan dasar (axioms) tentang
sifat realitas yang bersifat ganda dan hasil konstruksi dalam pengertian dan holistik,
hubungan peneliti dengan yang diteliti sifatnya interaktif dan tak dapat dipisahkan,
posibilitas penarikan generalisasi hanya dimungkinkan dalam ikatan konteks dan waktu
(idiographic statements), peranan nilai dalam penelitian merupakan suatu keharusan dan
karenanya penelitian kualitatif tidak bebas nilai sifatnya. (2) Karakteristik pendekatan
penelitian itu sendiri dan (3) proses yang diikuti untuk melaksanakan penelitian
kualitatif49.
1.6.3 Sumber, Metode Pengumpulan dan Analisis Data
1.6.3.1 Sumber Data
48 M. Singarimbun dan Sofian Efenddi , Metode Penelitian Survei, Jakarta : LP3ES, 1995, hl 34.49 Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, penerbit Y A 3 Malang, 1990,
Hal. 17 .
Ada dua sumber data dalam penelitian ini, yaitu data yang bersifat primer
dan data yang bersifat sekunder. Sumber data yang bersifat primer adalah kata-
kata dan tindakan. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan dalam bentuk
wawancara yang lepas, sehingga pandangan dari masyarakat tentang objek
penelitian ( berupa interaksi politik dalam pembentukan hukum dan
implementasinya ), tercermin dari hasil penuturan yang sifatnya langsung. Sumber
data yang bersifat sekunder berupa sumber-sumber lain yang non-manusia ( non-
human source of information )50 juga dijadikan sumber dalam penelitian ini
seperti : dokumen, rekaman/cetakan ( record ), buku, disertasi/tesis, majalah,
buletin, arsip, dokumen pribadi/dokumen resmi, foto, dan data statistik.
1.6.3.2 Informan Penelitian
Informan kunci yang digunakan sebagai informan awal dalam penelitian ini
adalah :
1. Ketua atau anggota fraksi yang ada di DPR RI sebagai kepanjangan tangan
partai politik dalam pembentukan hukum;
2. Ketua dan anggota Pansus 22;
3. Pejabat staf DPR RI yang terlibat dalam proses penyiapan materi RUU dan
pembahasan RUU Nomor 32 Tahun 2004;
4. Pejabat Depdagri yang ditugasi untuk mempersiapkan dan menyusun pokok-
pokok pikiran RUU Nomor 32 Tahun 2004 dan terlibat juga dalam pembahasan
RUU Nomor 32 Tahun 2004;
50 Sanafiah Faisal, Op Cit, hal 53
5. Ketua-ketua partai politik di tingkat cabang dan wilayah di Kabupaten yang
menyelenggarakan Pilkada;
6. Ketua dan anggota KPUD Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah yang
menyelenggarakan Pilkada;
7. LSM atau stakeholder yang memantau jalannya Pilkada di Jawa Tengah, secara
independen.
1.6.3.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama dalam
mengungkap suatu realitas yang akan diteliti. Karena sebagai pusat dan instrumen
utama dalam penelitian, maka kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup
rumit.
1.6.3.4 Pengamatan ( Observasi )
Setidaknya ada tiga situasi sosial yang diamati dalam penelitian ini,51 yaitu :
lokasi/fisik tempat suatu situasi sosial itu berlangsung, manusia-manusia pelaku
atau actors yang menduduki status/posisi tertentu dan memainkan peranan-peranan
51 Sanafiah Faisal. Op Cit, hal 77
tertentu, dan kegiatan atau aktivitas para pelaku pada lokasi/tempat berlangsungnya
suatu situasi sosial.
1.6.3.5 Wawancara
Meskipun peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan pusat kegiatan,
namun wawancara sebagai salah satu cara pengumpulan data tetap digunakan,
bahkan dengan wawancara yang sifatnya terbuka dan terstruktur, peneliti bisa lebih
jauh melihat dan memahami realitas sosial yang sedang diteliti.
Namun demikian, dalam wawancara yang dilakukan sejauh mungkin peneliti
menghindari kesan mempengaruhi informan dalam mengungkapkan realitas dan
fakta sosial, sehingga wawancara tersebut berlangsung dalam tataran yang wajar
dan normal.
1.6.3.6 Catatan Lapangan
Di samping kedua instrumen penelitian tersebut di atas
( observasi dan wawancara ), peneliti juga menggunakan catatan lapangan52 sebagai
instrumen pembantu dalam rencana penelitian ini. Dengan catatan lapangan ini
diharapkan mampu menjadi perantara antara apa yang sedang dilihat dan diamati
antara peneliti dengan realitas dan fakta sosial.52 Bogdan dan Biklen mengartikan catatan lapangan sebagai catatan tertulis tentang apa yang
didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Lihat Lexy J. Moeleong, Op Cit, hal 153.
1.6.3.7 Analisis Data
Aktivitas yang cukup krusial dalam penelitian kualitatif adalah analisis data.
Dikatakan krusial karena pada tahap inilah seluruh data yang terkumpul dimaknai
ulang dan dianalisis, karena melalui pemaknaan ulang data yang terkumpul
menjadi memiliki makna.53
Sesuai dengan paradigma konstruktivisme, maka teknik analisis utama
terhadap data yang terkumpul dalam penelitian ini menggunakan hermeneutik-
dialektikal.54 Hal ini didasari oleh bahwa ekspresi-ekspresi manusia bersisi
komponen penuh makna. Penggunaan hermeneutik sebagai metode analisis data
memposisikan peneliti dan objek penelitian dalam sebuah konteks tradisi, yang
mengimplikasikan bahwa peneliti telah memiliki sebuah pra-pemahaman atas
objek ketika melakukan kajian terhadap objek tersebut, sehingga kenetralan
pemikiran dalam suatu penelitian merupakan suatu kemustahilan.55
53 Menurut Sudarwan Danim, data harus bermakna jika ditafsirkan atau dianalisis pada konteksnya. Lebih jauh lihat Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Ancangan Metodologi, Presentasi dan Publikasi Hasil Penelitian untuk Mahasiswa dan Peneliti Pemula Bidang Ilmu-Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humanioran, Penerbit CV. Pustaka Setia Bandung, 2002, hlm. 209
54 Secara etimologis, kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Istilah hermeneutik ini mengingat pada mitologi Yunani yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus kedalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalah-pahaman tentang pesan dewa-dewa akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Lebih jauh lihat E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Edisi Revisi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1999, hal 23-24
55 Netralitas suatu ilmu pengetahuan menjadi perdebatan yang cukup lama dikalangan ilmu sosial, hal ini ketika para ilmuwan sosial melihat dan melirik kemajuan yang dicapai oleh ilmu eksakta (ilmu alam) dimana paradigmatic positivisme memposisikan peneliti diluar obyek kajian yang akan diteliti.
Penggunaan hermeneutik dalam penelitian ini dilakukan baik pada tataran
metode, filsafat, maupun kritik.56 Pada tataran hermeneutik sebagai suatu metode,
peneliti berlaku sebagai seorang “pendengar yang baik”, di mana informan
khususnya anggota DPR RI dan para pejabat di lingkungan Depdagri, dibiarkan
dengan bebas menceritakan interaksi politik yang terjadi selama proses
pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004, serta bagaimana pendapatnya setelah
diimplentasikannya undang-undang tersebut. Penggunaan hermeneutik ini kiranya
mampu mendeskripsikan fenomenologi “desain” manusia dalam temporalitas dan
historitasnya. Khusus terhadap dokumen hukum ( semua produk hukum yang
berkaitan dengan pemilihan Pilkada ) hermeneutik dipergunakan untuk melihat sisi
dalam serta latar sosial terbentuknya suatu teks
( undang-undang ).57
Data yang diperoleh dari informan ( masyarakat ) dilakukan analisis dengan
menggunakan model interaktif ( interactive model of analysis ) yaitu suatu aktivitas
di mana dari data yang terkumpul dilakukan pemilahan dengan tujuan diperolehnya
Namun demikian keberpihakan terhadap suatu nilai dalam suatu konsep, teori dan atau penelitian merupakan hal yang penting, dan ini menurut Like Wilardjo merupakan ciri dari aksiologis (lebih lanjut lihat Like Wilardjo, Realita dan Desiderata, Duta wacana University Press, Yogyakarta, 1990, h.169). Bahkan Habermas menilai ketidakberpihakan suatu nilai (value free) dalam suatu teori merupakan suatu hal yang ilusi sifatnya. Sebab menurutnya memandang fakta sosial sebagai bebas nilai akan berakibat manipulasi oleh fakta-fakta atas suatu teori ilmu, dan teori itu tidak menyadari bahwa fakta yang dijaringnya itu penuh dengan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai tersendiri. Lihat lebih jauh dalam Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987, Hal. 30. dan dalam Ibrahim Ali Fauzi, Jurgen Habermas, Seri Tokoh Filsafat, Penerbit Teraju, Jakarta 2003. Hal. 44.
56 Lihat Josef Bielcher, Hermeneutika Kontemporer : Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat dan Kritik, (alih bahasa oleh Masmuni Mahatma), Penerbit Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003
57 Menurut S. Sumaryono, hermenutik mau tidak mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum. Lebih lanjut menurutnya, interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi, yaitu : yang tersurat dan yang tersirat, atau bunyi hukum dan semangat hukum. Lebih jauh lihat S. Sumaryono, Op Cit, hal. 29
data yang dinilai relevan terhadap penelitian ini, kemudian data tersebut diolah
guna ditarik menjadi simpulan.58 Cara yang sama juga disarankan oleh Mattew B.
Miles dan Michael Huberman59 yang memberikan gambaran secara skematis
berupa siklus dari proses analisis data penelitian kualitatif, seperti gambar yang
sudah dimodifikasi di bawah ini:
Gambar 3
Siklus analisis data penelitian kualitatif
yang sudah dimodifikasi
1.6.3.8 Validitas Data58 Penggunaan model interaktif (Interactive Model of Analysis) ini menurut Esmi Warasih sangat
tepat digunakan ketika penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif, lebih jauh lihat Esmi Warasih, Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Bahan Pelatihan Metodologi Penelitian Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1999, hal. 52
59 Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta, 1999, hal. 16
Pengumpulan Data
Penyajian data
Reduksi Data
Kesimpulan/ Verifikasi
Pengujian atas kehandalan data ( Validitas ) dilakukan dengan teknik
trianggulasi data,60 yaitu melakukan cek silang antara satu data dengan data yang
lainnya, baik yang diperoleh melalui observasi, wawancara terstruktur maupun
catatan lapangan. Trianggulasi ini tidak hanya dilakukan terhadap data yang
diperoleh dari DPR RI dan Kantor Depdagri serta Partai-Partai Politik, tetapi
karena independensinya turut serta mengawal proses jalannya pembentukan hukum
dan implementasinya, seperti : LSM, Organisasi Pemantau Pilkada, Media Cetak,
Tokoh Masyarakat, dan lain-lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
60 Ibid, hal 20
Dalam bab II atau tinjauan pustaka ini penstudi memaparkan hasil
penelusuran terhadap kepustakaan yang terkait dan masih relevan dengan judul
disertasi ”Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum dan
Implementasinya : Studi Tentang Pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004
dan Implementasinya dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di
Jawa Tengah”, sehingga penstudian ini dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara akademis.
2.1 Pengertian Interaksi
Dalam kamus politik interaksi dimaknai sebagai bentuk pengaruh-
mempengaruhi, hubungan antara suatu sistem dengan sistem lainnya.61 Menurut
Blumer, interaksi adalah proses dimana kemampuan berpikir dikembangkan dan
diperlihatkan. Semua jenis interaksi tak hanya selama sosialisasi, dan memperbesar
kemampuan kita untuk berpikir, lebih dari itu, pemikiran membentuk proses
interaksi. Dalam kebanyakan interaksi, aktor harus memperhatikan orang lain dan
menentukan kapan dan bagaimana cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang
lain. Lebih jauh Blumer mengatakan dalam berinteraksi tidak selamanya
melibatkan pemikiran. Blumer membedakan ( mengikuti Med ) dua bentuk
61 Lihat B.N. Marbun, Kamus Politik, Edisi Baru, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Cet. Kedua, Jakarta, 2003, hal 231. Bandingkan juga pengertian interaksi tersebut dalam kamus ”The Little Oxford Dictionary” yang mengatakan bahwa “Interaction is act on each other”. Lihat Julia Swannell (Edited), The Little Ozford Dictionary, F.A. Thorpe Publishing Ltd, Anstly Britain, 1989, hal 281.
interaksi yang relevan dikemukakan, yakni : (1) interaksi nonsimbolik, yaitu
percakapan atau gerak isyarat ( menurut Med ) tidak melibatkan pemikiran, dan
(2) interaksi simbolik, memerlukan proses mental.62
Dalam perspektif teori interaksi sosial, dikatakan proses interaksi yang
paling efektif adalah interaksi yang dilakukan dengan tatap muka. Dengan tatap
muka ekspresi bahasa dan tingkah laku dapat terlihat secara utuh, yang kemudian
dapat memberikan pemahaman dalam berinteraksi. Dalam situasi tatap muka
subjektifitas orang lain akan muncul dan terbuka. Artinya orang lain akan dengan
bebas memaknai dan menafsirkan setiap bahasa yang muncul yang wujudnya lisan
maupun dalam bentuk sikap dan tingkah laku. Dalam situasi tatap muka orang lain
adalah nyata sepenuhnya. Kenyataan ini merupakan bagian kenyataan hidup
sehari-hari. Dalam tatap muka dapat dipahami tipikasi orang dan tipikasi ini
secara terus menerus mempengaruhi jalannya interaksi. Skema-skema tipikasi
yang muncul dalam tatap muka bertimbal balik. Dalam interaksi terbuka untuk
saling membentuk tipikasi ( campur tangan ). Dengan kata lain, skema-skema
tipikasi dapat bernegoisasi terus menerus dalam situasi tatap muka63.
2.2 Partai Politik dan Peran yang Dilakukan
62 George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Fajar Interpratama Offset, 2004, hal 290.
63 Tom Camblell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, Kanisius, Jakarta, 1994.
Pengertian politik mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga
karena keluasannya tersebut, maka pembicaraan mengenai politik pada dasarnya
membicarakan negara dengan segala substansi yang ada padanya, baik struktur,
institusi, aparatur, sistem pemerintahan dan lain sebagainya. Selain itu politik juga
menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan, hakekat negara serta bentuk
dan tujuan negara di samping menyelidiki hal-hal seperti pressure group, interest
group, elit politik, pendapat umum ( public opinion ), peranan partai politik dan
pemilihan umum.64
Mendasarkan pada judul disertasi ini, maka yang dimaksudkan dengan
politik adalah kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam DPR RI, yang secara
kelembagaan terwadahi dalam fraksi-fraksi dan perseorangan yang tersebar dalam
komisi-komisi, maupun institusi Depdagri sebagai realitas institusi politik dari
pemerintah. Dengan demikian itu, maka yang dimaksudkan interaksi politik dalam
disertasi ini adalah hubungan yang saling mempengaruhi dan menekan antar
kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI maupun antar
kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI dengan kekuatan
politik di luar seperti pressure group, interest group, elit politik, sampai kepada
pendapat umum ( public opinion ) .64 Ibnu Kencana Syafie, "Ilmu Politik" Rineka Cipta, hal 19, 1977. Bandingkan juga dengan
pendapat Wilbur White yang mengatakan bahwa politics science adalah " The study of the formation , forms and proceses of the state and governments”, maksudnya ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari asal mula, bentuk-bentuk negara, proses negara-negara dan pemerintahan-pemerintahan. Lihat Wilbur White's Political Dictionary dalam F. Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, Dhiwantara Bandung 1987 .
Menurut Raja Louis XIV pada abad 16, partai politik harus didefinisikan
sebagai organisasi perjuangan dan harus sesuai dengan hukum65. Sementara
menurut Ferdinand Lasalle sebelum demokrasi berkembang, peran partai
politik lebih banyak dilakukan oleh pemimpinnya, semua organisasi politik harus
tunduk pada palu yang ada di tangan pemimpinnya. Itulah yang menjadikan para
pemimpin partai politik pada saat itu berwatak diktator66. Namun demikian partai
politik pada saat itu sudah menunjukkan fungsinya sebagai penyanggah demokrasi
karena secara nyata sudah memiliki visi dan tujuan untuk membuat kesejahteraan
umum, yang tidak lain adalah berorientasi untuk merebut kekuasaan. Setelah itu
yang berlaku adalah adagium Actonian yang terkenal itu : power tend to corrupt,
absolutely power tend to corrupt absolutely.
Lain lagi menurut Weber, menurutnya partai politik adalah sarana untuk
perjuangan untuk bersama-sama melaksanakan politik, atau perjuangan untuk
mempengaruhi pendistribusian kekuasaan, baik di antara kelompok-kelompok di
dalam suatu negara atau sebagai “striving to share power on stiving to influence
the distribution of power, either among states or among group within state“
( Sebuah upaya untuk membagi kekuasaan atau sebuah upaya untuk 65 Robert Michels, Partai Politik, Kecenderungan Oligarki dalam Birokrasi, Rajawali Press,
Jakarta, hlm 46. Tulisan Louis XIV sendiri bisa dapat dilihat pada memories de Louis pour L’constructio du Doupin, Paris, Annotes par Charles Deys, 1860, Vol II hlm 123.
66 Ferdinand Lasalle, seorang pendiri partai buruh yang revolusioner pada pada 16, menyatakan bahwa kediktatoran yang nyata ada dalam suatu masyarakat, yang benar secara teoretik, itu harus diwujudkan dalam praktik nyata. Lasalle mengatakan bahwa seluruh anggota masyarakat biasa harus mengikuti apa yang dititahkan oleh pemimpinnya, bahkan secara membabi buta dan tentu saja seluruh organisasi politik Itu cerita organisasi politik di abad ke-16 dimana kediktatoran masih merajalela dan demokrasi belum berkembang seperti sekarang.
mempengaruhi cara pembagian kekuasaan di antara negara atau kelompok di
dalam
negara )67. Menurut Budiardjo,68 partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-
cita yang sama. Tujuan kelompok tersebut adalah untuk memperoleh kekuasaan
dan kedudukan politik, sebagai medium untuk menyampaikan gagasan-gagasan,
tujuan, dan visi yang berasal dari kelompok mereka. Cara yang dilakukan oleh
partai politik untuk kekuasaan dan kedudukan dilakukan dengan mentaati aturan
main bersama agar mekanisme dinamika politik dapat berjalan dengan tertib.
Sepandangan dengan Weber adalah Budiardjo mengatakan tentang tujuan
partai politik secara umum yaitu : (1) sebagai komunikasi politik, (2) sebagai
sarana sosialisasi politik, (3) sebagai sarana rekrutmen politik, dan (4) sebagai
media pengatur konflik. Cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut
antara negara yang satu dengan yang lainnya tentunya berbeda-beda. Perbedaan
tersebut disebabkan karena perbedaan sosiologi politik di setiap bangsa69.
67 Dalam Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Aneka Cipta, Jakarta, 2001, hlm 22.68 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1985, hal 161.69 Dalam Saiful Arif, “Ilusi Demokrasi” Desantara, 2003, hlm 93. Lebih lanjut Budiardjo
mengatakan, bahwa penerapan sistem demokrasi di masing-masing negara yang mengaku demokrasi pun berbeda-beda, ada yang menganut sistem partai tunggal, sistem dwi-partai, dan multi-partai. Masing-masing memiliki argumen dan dasarnya sendiri-sendiri. Umumnya bentuk penerapan sistem partai politik di suatu negara bergantung pada kondisi kekhasan suatu negara itu sendiri, seperti ideologi, kepentingan, wilayah, agama, dan seterusnya.
Pendapat lainnya tentang partai politik yaitu dari Carl j. Friedrich ( 1967 :
419 )70, yang mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia ( a
group of human beings ) yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk
merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
kepemimpinan partainya. Penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya
berupa kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material. Menurut Soltau
( 1961:199 ) mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara ( a
group of citizenship ) yang mengorganisasikan, yang bertindak sebagai satu
kesatuan politik yang memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan
menguasai pemerintahan dan menyelenggarakan kebijakan publik mereka.
Sigmund Neuman
( 1963:352 ) menjelaskan bahwa partai adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik
( society sagents ) yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta
merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan sedangkan sutau golongan atau
golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda.
Paradigma yang mendasari pemikiran partai politik adalah, bagaimana
memperoleh kekuasaan dan dengan kekuasaan itu dapat menguasai dan
mengendalikan pemerintahan. Paradigma politik ini diapresiasikan ke dalam
berbagai paradigma untuk memperoleh dukungan, seperti kesejahteraan ekonomi,
sosial-budaya, moralitas, kemanusiaan, agama, dan sebagainya. Untuk itu, tidak
70 Ibid hlm 95.
mengherankan jika lantas ada beberapa partai politik yang landasan pendiriannya
adalah agama, ideologi, kepentingan ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa, pada umumnya partai politik hanya bekerja
untuk merebut kekuasaan dalam pemilu. Perkara program partai yang
direncanakan dan dikampanyekan dapat memajukan kepentingan umum bisa
direalisasikan atau tidak merupakan masalah berikutnya. Hal ini yang membuat
politik merupakan panggung yang amat kotor, penuh tipu daya, dan rekayasa71.
2.3 Konsep Tentang Hukum
Sebelum jauh membicarakan tentang pembentukan hukum dan
implementasinya, akan sangat berguna jika terlebih dahulu dipahami tentang
konsep hukum, sehingga akan mampu memberikan pemahaman yang lebih utuh
pengetahuan tentang hukum.
Menurut Hart, HLA, bahwa hukum adalah merupakan sebuah konsep,72 dan
menurut Soetandyo Wignyosoebroto tak ada konsep yang tunggal mengenai apa
yang disebut hukum itu. Menurut pendapatnya dalam sejarah pengajian hukum
71 Didalam demokrasi seringkali aktivitas politik dituding menodai moralitas. Namun demikian, sepanjang tidak melanggar konstitusi secara formal tetap dikatakan demokratis, sebab ukuran demokrasi hanyalah sekadar mekanisme-mekanisme kuantitatif dan bukan akibat apa yang akan ditimbulkan oleh perbuatan itu. Hal itu menunjukkan bahwa demokrasi, apapun bentuknya, lemah akuntabilitas moralnya. Misalnya politik uang (money politics). Tentu saja politik uang hanya bisa dilakukan oleh kelompok yang memiliki basis ekonomi kuat-meskipun memiliki kepentingan yang minimal, sedangkan bagi yang tidak memiliki uang tidak akan bisa melakukan hal yang sama dengan lawan politiknya meskipun mengemban kepentingan politik yang lebih luas dan signifikan. Kejadian ini sangat rentan dan biasa dilakukan oleh partai politik modern, bahkan dalam suatu negara yang dianggap paling demokratis sekalipun, hal seperti itu bisa terjadi.
72 Hart, HLA, The Concept of Law, Oxford at The Clarendon Press London, 1981 hal. 13.
tercatat sekurang-kurangnya ada 3 konsep hukum yang pernah dikemukakan
orang, yaitu :
(a) hukum sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal, dan
menjadi bagian inheren sistem hukum alam;
(b) hukum sebagai kaidah-kaidah dan positif yang berlaku pada suatu waktu dan
tempat tertentu, dan terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan
politik tertentu yang berlegitimasi; dan
(c) hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem
kehidupan bermasyarakat, baik dalam proses-proses pemilihan ketertiban dan
penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan
pola-pola perilaku yang baru.73
Dijelaskannya pula, bahwa konsep tersebut (a) di atas ada konsep yang
berwarna moral dan filosofis, yang melahirkan cabang kajian hukum yang amat
moralistis. Konsep (b) jelas kalau konsep positivistis tidak hanya Austinian juga
yang pragmatik realis dan yang Neo-Kantian atau Kelselian yang melahirkan
kajian-kajian Ilmu hukum positif. Konsep-konsep (c) adalah konsep sosiologik
atau antropologik, yang kemudian melahirkan kajian-kajian sosiologi hukum,
antropologi hukum, atau cabang kajian yang akhir-akhir ini banyak dikenal dengan
nama "hukum dan masyarakat”.74 Apa yang disebutkan terakhir inilah yang
menjadi topik pembahasan tulisan ini. Selain itu, patut dicatat konsepsi-konsepsi
hukum seperti apa yang diungkapkan di atas juga tidak mencakup dan dapat 73 Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum dan Metode-Metode Kajiannya, BPHN 1980, hal. 2.74 Ibid hal. 2
memasukkan seluruh konsepsi tentang hukum yang berlaku pada masa akhir-akhir
ini.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam arti luas konsepsi hukum tidak
hanya merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat tetapi meliputi pula lembaga/institusi dan
proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah dan asas-asas itu dalam
kenyataan.75 Konsepsi ini dapat dinilai sebagai konsepsi yang kompromistis.
Djojodigoeno mengajukan suatu konsepsi yang tidak memandang hukum
sebagai rangkaian pengugeran, seperti pada tahun lima puluhan, tetapi sebagai
rangkaian pengugeran ( normering ) tingkah laku dan perbuatan orang.
Pengugeran ini ukurannya, ialah ”unsur-unsur yang menentukan cita-cita keadilan
yang hidup dalam masyarakat” dan ”pengugeran” harus langsung dipergantungkan
pada perikatan-perikatan yang menentukan peragaan masyarakat dan nilai-nilai
yang dijunjung rakyat dalam hubungan timbal balik dan saling menentukan.
Selanjutnya dikatakan :
“een onophoudelijk zich vernieuwend process van normeringen door een gemeenschap, rechtstreeks of door middel van hare gezagsorganen, van de voor zakelijk verhouding en relevante handelingan van hare leden, dat de zin heeft orde, gerechtigheid en gezamelijke welvaart te funderen en te onderhouden”. (hukum adalah suatu proses pengugeran yang terus menerus memburu yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung atau dengan perantaraan alat 75 Mochtar Kusuma Atmadja, Pidato sambutan dan pengarahan Menteri Kehakiman pada Upacara
Pembukaan Sejarah Hukum BPHN, Simposium Sejarah Hukum, Buana cipta Bandung, 1976, halaman 5.
kekuasaannya, perihal perbuatan-perbuatan dalam hubungan pamrih (lugas) dan tindak laku dari anggota-anggotanya, yang mempunyai makna untuk memberi dasar dan mempertahankan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan bersama).76
A.A.G. Peters memandang hukum sebagai bagian dari masyarakat. Ia
melihat di dalam hukum itu, di satu pihak endapan dari perbandingan kekuatan
yang nyata dan kepentingan-kepentingan yang dominan, sedang di lain pihak juga
aspirasi untuk keadilan dan legitimitasi. Ajaran ini mengkaji hukum dengan
ukuran-ukuran yang dipergunakan oleh hukum itu sendiri. Ia hendak mengetahui
sejauh mana di belakang bentuk juridis yang universal tersembunyi isi yang khas,
yang ditentukan oleh perbandingan kekuatan
( power relationship ) dan struktur kepentingan. Watak hukum yang
sesungguhnya dapat dipahami dari aspirasi-aspirasi menuju hukum yang optimal,
yang melekat pada asas-asas hukum, yang tertuju mengurangi kesewenang-
wenangan penguasa dan melindungi hak-hak asasi manusia.77
Walaupun tiga pendapat yang disebutkan terakhir, tidak dapat dimasukkan
ke dalam salah satu konsepsi mengenai hukum seperti yang dikemukakan oleh
Soetandyo, tetapi kalau diteliti secara seksama ketiga pendapat tersebut ternyata
hukum sebagai realita, masyarakat diberi penekanan secara khusus, sehingga 76 Djojodigoeno, M.M. What is Recht?; Over de aard van het recht asssocial process van
normeringen, UNTAG University Press, Jakarta, 1971, G. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977, halaman 15.
77 Peters, AAG, Het rechtskarakter van het recht, Deventer, 1972, lihat Soedarto, Op. Cit, halaman 17.
tidak berlebihan bila dikatakan pendapat tersebut juga sebagai bentuk variasi
daripada konsepsi hukum yang sosiologik.
Bilamana berbicara tentang hukum dalam perspektif sosial, ada beberapa
perspektif tentang ( fungsi ) hukum di dalam masyarakat.
Antonie A.G. Peters mengemukakan ada tiga perspektif yaitu :
Perspektif kontrol sosial dari hukum. Tinjauan demikian ini dapat disebut
sebagai tinjauan dari sudut pandangan seseorang polisi terhadap hukum ( the
policeman view of the law ). Untuk memahami fungsi hukum dalam perspektif
ini dapat diajukan teori Emile Durkheim;
Perspektif kedua dari fungsi hukum di dalam masyarakat adalah perspektif
Social Engineering, merupakan tinjauan yang dipergunakan oleh para pejabat (
the official's perspective of the law ) dan oleh karena pusat perhatiannya adalah
apa yang diperbuat oleh pejabat penguasa dengan hukum, maka tinjauan ini
kerapkali disebut juga the technocrat's view of the law. Yang dipelajari di sini
adalah sumber-sumber kekuasaan yang dapat dimobilisasikan dengan
menggunakan hukum sebagai mekanisme. Untuk memahami hukum dalam
perspektif ini diajukan teori Max Weber mengenai hukum dan perubahan
masyarakat.
Perspektif yang ketiga adalah perspektif emansipasi masyarakat dari hukum.
Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum ( the bottom's up
view of law ) dan dapat pula disebut sebagai perspektif konsumen ( the
consumer's perspective of the law ). Dengan perspektif ini ditinjau
kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan hukum sebagai sarana untuk
menampung aspirasi masyarakat. Untuk memahami fungsi hukum dalam
perspektif emansipasi masyarakat dari hukum, oleh Peters ditunjuk konsepsi
yang dikemukakan oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick mengenai hukum
responsif.78
Apa yang dikemukakan oleh Peters di atas masih dapat dipersoalkan lebih
lanjut, misalnya berkenaan dengan konsepsi ”social engineering” kiranya tidaklah
sesempit yang dikemukakan oleh
Peters, karena seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto tentang social
engineering merupakan cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang
teratur dan direncanakan terlebih dahulu, yang mengandung makna hukum sebagai
alat untuk merubah masyarakat79. Yang masih dapat dikaitkan dengan apa yang
dikemukakannya di dalam tulisannya yang lain adalah salah satu fungsi hukum
78 Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni Bandung, 1982. halaman 10 - 11.
79 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Rajawali Press, Jakarta, 1980, halaman 115.
sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial ( law as a facilitation of
social interaction ).80
Atau seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo di dalam
disertasinya, bahwa hukum sebagai sarana social engineering adalah
penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan
masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-
perubahan yang diinginkan.81 Namun karena hal itu tidak perlu untuk
diperdebatkan karena dalam tulisan ini hanya ingin menyoroti bagaimana pengem-
bangan konsep sosiologik tentang hukum yang dikaitkan dengan salah satu
perspektif yang diungkapkan oleh Peters.
Pandangan yang dikemukakan di atas adalah senada pula dengan apa yang
dikemukakan oleh Lawrence Rosen, seorang ahli sosiologi hukum dari Pronceton
University, yang melihat adanya tiga dimensi penting pendayagunaan pranata-
pranata hukum di dalam masyarakat yang sedang berkembang, yakni :
1. Hukum sebagai pencerminan dan wahana bagi konsep-konsep yang berbeda
mengenai tertib dan kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan pernyataan dan
perlindungan kepentingan masyarakat.
80 Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni Bandung, 1981, halaman 44.81 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial. Alumni Bandung, 1979,
halaman 142.
2. Hukum dalam peranannya sebagai pranata otonom dapat pula merupakan
pembatas kekuasaan sewenang-wenang, pendayagunaan hukum tergantung
pada kekuasaan-kekuasaan lain di luarnya.
3. Hukum dapat didayagunakan sebagai sarana untuk mendukung dan mendorong
perubahan sosial ekonomi.82 Namun di sini tidak tergambar kemungkinan
berperannya hukum sebagai sarana penampung aspirasi masyarakat.
2.4 Ciri-Ciri Hukum
2.4.1 Ciri-Ciri Hukum Represif
Setiap aturan hukum berpotensi represif, karena dalam hal tertentu dia
sangat terikat pada status quo dan selalu tampil sewenang-wenang agar kekuasaan
bisa efektif. Karena itu ciri-ciri hukum yang represif adalah sebagai berikut :
1. Lembaga-lembaga hukum secara langsung mempunyai akses kepada kekuasaan
politik, sehingga hukum diidentifikasikan dengan negara.
2. Perhatian utama para pejabat hukum adalah bagaimana melestarikan kekuasaan.
3. Para aparat hukum yang khusus, seperti polisi, memiliki kekuasaan yang
independen, terisolasi dari konteks sosialnya, dan mempunyai kemampuan
untuk mempertahankan kekuasaannya.
4. Penguasa memiliki hukum ganda, yaitu dengan melembagakan keadilan kelas (
class justice ) dan melegitimasi pola-pola subkordinasi sosial.
82 Mulyana W. Kusumah, Peranan dan Pendayagunaan Hukum dalam Pembangunan, Alumni Bandung, 1982, halaman 4–5.
5. Hukum pidana mencerminkan dominasi kekuasan dan dilestarikannya
moralisme hukum.83
Menurut Philip Nonet dan Philip Selznick dalam bentuknya yang jelas dan
sistematis, hukum represif menunjukkan karakter-kerakter berikut ini84 :
1. Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik; hukum
diidentifikasikan sama dengan negara dan disubkordinasikan pada tujuan
negara ( raison d'etat ).
2. Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam
administrasi hukum. Dalam ”perspektif resmi” yang terbangun, manfaat dari
keraguan ( the benefit of the doubt ) masuk ke sistem, dan kenyamanan
administratif menjadi titik berat perhatian.
3. Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi pusat-
pusat kekuasaan yang independen; mereka terisolasi dari konteks sosial yang
berfungsi memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.
4. Sebuah rezim ”hukum berganda” ( ”dual law” ) melembagakan keadilan
berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola
subkordinasi sosial.
5. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum yang
akan menang.
83 Ibid, hal. 33.84 Philip Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Pilihan Masa Depan, Huma, 2003, hal
26. Buku ini judul aslinya adalah “Law & Society in Transition : Toward Reponsive Law.
Sebelum diuraikan lebih lanjut ciri-ciri hukum yang represif, maka perlu
dijelaskan dulu istilah ”keadilan kelas” ( class justice ) dan ”moralisme hukum”.
Gagasan tentang ”class justice” 85 memberi jalan kepada hukum untuk
melegitimasi dan secara paksa melembagakan ”class justice”. Hal itu disebabkan
ada integrasi hukum dan politik yang erat dalam bentuk subordinasi langsung
lembaga-lembaga hukum dengan elit-elit publik dan privat yang memerintah.
Hukum merupakan alat yang dapat dibengkokkan yang siap sedia berkonsolidasi
dengan kekuasaan dan menjaga privatisasi. Selanjutnya, diskresi pejabat
merupakan sesuatu yang tak terhindarkan yang segera menghasilkan dan
merupakan jaminan bagi penyalahgunaan hukum untuk kekuasaan. Sebaliknya
”moralitas hukum” tidak cocok dengan moralitas komunal dimana sebuah
komunitas mempunyai moralitasnya sendiri yang harus dipertahankan dan
dipelihara. Namun moralitas hukum mencoba untuk membuat modelnya sendiri
dalam sebuah lembaga yang akan membedakannya dengan anggota lain yang
bukan termasuk dalam lembaga yang bersangkutan. Model-model itu bisa berupa
nilai-nilai khusus yang harus dikejar oleh lembaga yang bersangkutan sehingga
bisa dijadikan aturan perilaku bagi para anggotanya dan sekaligus menentukan
bagaimana perilaku yang benar itu dan mana pula yang tidak benar. Tujuannya
agar dapat membimbing perilaku manusia secara efektif.
85 Ibid, hal. 44-46.
Selanjutnya, dijelaskan pula ciri-ciri hukum yang represif,86 Pertama, norma
menjadi tujuan bagi dirinya sendiri, bukan sebagai sarana sebagaimana yang
dipahami selama ini. Kedua, norma itu tampaknya tidak cukup kuat berlaku bagi
penguasa. Norma itu berlaku untuk orang-orang kecil. Ketiga, apabila terjadi
diskresi, maka hal itu dilakukan semata-mata berdasarkan selera penguasa atau
pejabat hukum yang bersangkutan, dan bukan dalam kerangka mencari kebenaran
materiil, Keempat, pelaksanaan norma dilaksanakan dengan cara paksaan yang
pada gilirannya sulit dikontrol, karena tidak ada batasan yang jelas. Kelima, hukum
disubkordinasikan langsung pada politik kekuasaan, sehingga hukum lalu menjadi
produk kekuasaan. Dengan demikian hukum benar-benar menjadi instrumen
kekuasaan untuk menekan atau melegitimasi kekuasaan. Keenam, pelanggaran
terhadap norma dianggap sebagai penyimpangan dan karena itu harus diberi
sanksi. Ketujuh, tidak dimungkinkannya kritik terhadap norma, karena itu sama
artinya dengan tidak loyal kepada kekuasaan. Ciri-ciri hukum yang represif seperti
ini didasarkan pada praktik-praktik penegakan hukum secara empiris oleh
penguasa negara di berbagai negara setelah ”rule of law” telah disepakati sebagai
rules yang mempedomani perilaku manusia, baik penguasa, rakyat ataupun
masyarakat. Namun seperti pada awal mulanya hukum itu dibentuk bertujuan
untuk mencegah kesewenang-wenangan oleh para penguasa yang lain di zaman
86 Ibid, hal. 32-33.
”ancient regime”, maka Nonet dan Selznick mencoba menamai hukum yang
demikian sebagai hukum yang otonom.
2.4.2 Ciri-Ciri Hukum yang Otonom
Yang dimaksud Nonet dan Selznick dengan hukum yang otonom adalah
hukum yang lepas sama sekali dari kekuasaan dan aturan-aturan hukum menjadi
sumber untuk mencegah terjadinya respresif oleh penguasa. Dalam sejarah hal ini
telah dibuktikan oleh apa yang disebut “rule of law” di mana lembaga-lembaga
hukum memperoleh cukup kewenangan untuk menetapkan standar-standar
pembatasan terhadap pelaksanaan kekuasaan.
Karena itu untuk mengenali hukum yang otonom, maka ciri-cirinya sebagai
berikut :
1. Hukum terpisah dari politik, kebebasan peradilan terjamin, ada permisahan
yang tegas antara fungsi yudisial dan legislasi;
2. Aturan hukum menentukan ruang lingkup tanggung jawab pejabat yang
berkuasa dan pada waktu yang sama pula lembaga-lembaga hukum sangat
dibatasi kewenangannya untuk bertindak sesuai dengan kreativitasnya.
Kemudian aksesnya ke ranah politik menjadi sangat terbatas;
3. Prosedur merupakan jantungnya hukum. Aturan hukum merupakan tujuan
utamanya, bukan keadilan substantif;
4. Kepercayaan kepada hukum dimengerti sebagai kepatuhan yang ketat terhadap
aturan-aturan hukum positif hukum yang otonom berpusat pada hakim dan
terikat pada aturan. Hakim menjadi simbol aturan-aturan hukum dan bukan
pada polisi atau para pembuat UU. 87
Bila dicermati ciri-ciri hukum yang otonom di atas, maka beberapa catatan
berikut ini akan sangat membantu untuk mengenali hukum yang otonom lebih
jauh. Pertama, yang menjadi tujuan utama dari hukum yang otonom adalah
meletakkan dasar-dasar yang jelas bagi siapa saja yang dilakukan penguasa kepada
masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Jadi tindakan apa pun yang dilakukan
harus selalu didasarkan pada ketentuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Kedua,
dituntut kejujuran untuk melaksanakan ketentuan dan taat pada prosedur yang
sudah ditetapkan, sehingga ketentuan yang ada mengikat, baik bagi yang berkuasa
maupun bagi yang dikuasai. Ketiga, diskresi sama sekali tidak dimungkinkan
karena semuanya sudah ditentukan oleh peraturan yang sudah ditentukan
sebelumnya. Dengan demikian, moral yang mendasari bekerjanya hukum yang
otonom adalah ”moralitas konstitusi”. Atau dengan kata lain hukum yang otonom
itu sangat UU oriented.
Dari gambaran hukum yang otonom seperti ini dapat dilacak di dalam
pikiran Kelsen dengan teori hukum murninya. Seperti diketahui, teori ini pada
dasarnya menekankan bahwa hukum sama sekali otonom dan berdiri sendiri dan 87 Ibid, hal. 54.
keabsahan sebuah tindakan harus selalu dipahami dalam terminologi moral atau
sistem norma dan nilai yang lain.
Pandangan ini tidak selalu bisa diikuti oleh setiap zaman. Hal ini disebabkan
oleh adanya perkembangan dimana tuntutan masyarakat demikian cepat sementara
hukum cenderung mengikuti dari belakang yang lama kelamaan hukum itu tak bisa
akomodatif lagi dengan perkembangan zamannya. Menghadapi perkembangan
yang demikian tak bisa lain dibutuhkan sebuah hukum yang bisa merespons
keadaan yang berkembang di dalam masyarakat. Hukum yang demikian
nampaknya lebih cocok mengakomodir kebutuhan masyarakat yang demikian
cepat berubah dan berkembang. Karena itulah menurut Nonet dan Selznick hukum
yang bisa merespons keadaan itu dinamakan hukum yang responsif.
2.4.3 Ciri-Ciri Hukum yang Responsif
Dalam paham Nonet dan Selznick88, hukum yang responsif itu adalah hukum
yang siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama.
Artinya, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia
harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk
mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat89. Atas dasar
tersebut tidaklah heran jika hukum bisa berinteraksi dengan politik, dan Hukum
yang demikian akan lebih mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan
88 Philippe Nonet & Philippe Selzniick, Hukum Responsif, Pilihan di Masa Depan, Huma, Jakarta, 3003, hlm. 59-61.
89 Nonet, Philippe & Selznick, Philip, op.cit., hal. 73-74.
dan ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, di dalam
hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta adanya
pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum yang responsif tidak
lagi selalu mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan juridis melainkan
mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk
mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh karena itu, para hakim di
dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara pandang untuk menyikapi
hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the traveller, must be ready for the
morrow, it must have a principle”90.
Salah satu tokoh penganut realism hukum ( legal realism ) yang bernama
Jerome Frank mengatakan, pencarian hukum responsif telah menjadi kegiatan teori
hukum modern yang terus-menerus dilakukan. Lebih lanjut Jerome Frank
mengatakan, tujuan utama penganut realisme hukum ( legal realism ) adalah untuk
membuat hukum "menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. ”Untuk
mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan ”bidang-bidang yang memiliki
keterkaitan secara hukum”,91 agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup
pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan
resmi para aparat hukum.
90 Lloyd, Dennis, op.cit., hal. 32691 Jerome Frank, "Mr. Justice Holmes and Non-Euclidian Legal Thinking," Cornell Lazu
Quarterly 17 (1932) : 568, 586. Frase ini juga digunakan oleh James William Hurst, yang berbicara mengenai pencarian sebuah "tatanan hukum yang responsif dan bertanggung jawab," yang "mampu memberi respon positif terhadap perubahan-perubahan dalam konteks sosial." Lihat James William Hurst, "Problems of Legitimacy in the Contemporary Lagal Order," OklahomaLazu Review 24 (1971) : 224, 225, 229.
Untuk memudahkan pemahaman ketiga jenis kategori hukum berikut
implementasinya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 1
Tiga kategori Hukum menurut Nonet dan Selznick92
H. Represif H. Otonom H. ResponsifTujuan Aturan Legitimasi Kewenangan
Legitimasi Perlindungan sosial Kejujuran Prosedur Keadilan Substansif
Aturan mendetail tapi lemah
Elaborasi, mengikat pembuat dan diatur kuat melekat pada kewenangan hukum
Disubkordinasi pada prinsip dan kebijakan
NalarDaya ikatnya bagi pembuat aturan Adhoc, Articular
Terikat aturan Memperluas kemampuan kognitif
DiskresiMembantu untuk hal-hal yang khusus oportunis
Delegasi menyempit Meluas namun tetap berpegang pada tujuan
Pemaksaan Meluas, lemahBatasannya
Terkontrol oleh hukum
Mencari alternatif, insentif, sistem mempertahankan diri terhadap kewajiban
Moralitas Moralitas komunal, moralisme hukum Moralitas konstittis Moralitas masyarakat,
moralitas atas kerjasama
Harapan patuh Tak bersyarat Titik tolak aturan
Tak patuh ditentukan dalam kaitannya dengan pelanggaran substansif
Tabel ini memperlihatkan dengan jelas kecenderungan hukum yang lebih
akomodatif kepentingan masyarakat adalah hukum yang responsif. Akan tetapi ada
persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian dari pihak penegak hukum,
yaitu apakah penegak hukum mempunyai kemampuan yang memadai untuk
menjalankan hukum yang responsif seperti itu ? Karena di sana dituntut beberapa
kualifikasi yang esensial yaitu pertama, mulai bekerja dengan paradigma baru 92 Nonet. Philippe & Selnick, Philip, op.cit., hal. l6
dimana penegak hukum tidak hanya tunduk pada basis-basis hukum sebagai
landasan berpikirnya, tetapi juga berusaha sejauh mungkin menggunakan pisau
analisis non-hukum. Akibatnya, interaksi hukum dengan politik tidak bisa
dihindari lagi.
Kedua, kebenaran atau keadilan tak pernah bisa dicapai hanya dengan
perspektif tunggal karena hal itu hanya mengingkari kebenaran dan keadilan itu
sendiri. Untuk itu diperlukan aparat hukum yang berwawasan luas, yang rasional,
kritis.
2.4.4 Ciri-Ciri Hukum Progresif
Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak untuk kepentingan sendiri,
melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum
progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdog-matiek.
Tradisi atau aliran ini hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri
dengan membicarakan dan melakukan analisis kedalam, khususnya hukum sebagai
suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia di luar
seperti manusia, masyarakat, kesejahteraan, ditepiskannya93.
Dengan tradisi analytical jurisprudence atau rechtdogmatiek, hukum
progresif ingin secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat
dengan manusia dan masyarakat. Meminjam istilah Nonet & Selznick, hukum
progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe yang demikian itu, hukum akan 93 Philippe Nonet & Philip Selznick, Op.cit,1978.
selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Nonet
dan Selznick menyebutnya sebagai “tire souvereignity of purpose”. Lebih lanjut
mereka mengatakan:
“This a distinctive feature of responsive law is the search of implicit values in rules and policies... a more “flexible” interpretation that sees rules as bound to specific problems and contexts, and undertakes to identify the values at stake in procedural protection." Dengan mengatakan itu mereka sekaligus juga mengritik doktrin "due process of law”.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick sebetulnya bisa dikembalikan
kepada pertentangan antara analytical jusrisprudence di satu pihak dan
sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di
dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet.
Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak
otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat.
Hukum progresif berbagi faham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre
karena hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan
dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari
bekerjanya hukum. Dalam aliran realisme, pemahaman orang mengenai hukum
melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan "looking towards last things,
consequencies, fruits". Realisme memalingkan mukanya, "from abstraction, verbal
solutions, bad apriori reasons, fixed principles, closed systems, and pretended
absolutes and origins". Sebaliknya ia menghadapkan mukanya kepada
"completeness, adequacy, facts, actions and powers"94
Karena kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum
progresif juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound”95.
Pound menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan-peraturan, melainkan
keluar dari situ dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. Dikatakan
oleh Pound :
“... to enable and to compel law making, and also interpretation and application of legal rules, to make more account, and more intelligent account, of the social facts upon which law must proceed and to which it is to be applied...".
Hukum progresif juga bisa dilacak mundur sampai ke aliran yang dikenal
sebagai Interessenjurisprudenz di Jerman sekitar dekade awal abad kedua puluh.
Aliran ini mengatakan bahwa, hakim tidak bisa dibiarkan untuk hanya konstruksi
dalam membuat putusan. Cara demikian ini akan menjauhkan hukum dari
kebutuhan hidup yang nyata. Mengutip pendapat Heck, “... The legislator wants
protection of interests ... The legislator can realise his so & intention and satisfy
the needs of life only if the judge is more that slot-machine functioning according
to the law of logical mechanics ... The primacy of logic is thus replaced by the
primacy of an examination and valuation of life ... 96
94 Friedmann, Wolfgang, Legal Theory, London: Stevens and Sons Ltd., 1953. 95 Roscoe Pound, “Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence”, Harvard Law Review Vol.
25, Desember 1912. 96 Friedman, op Cit 1953.
Kedekatan hukum progresif pada teori-teori hukum alam terletak pada
kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Han Keisen disebut sebagai "meta-
juridical". Teori hukum alam mengutamakan "the search for justice" daripada
lainnya, seperti dilakukan oleh aliran analitis. Hukum progresif mendahulukan
kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut
”logika dan peraturan”.
Barangkali ada juga yang mempertanyakan tentang hubungan antara hukum
progresif dengan Critical Legal Studies ( CLS ) yang muncul tahun 1977 di
Amerika Serikat. Memang keduanya mengandung substansi kritik sehingga
muncul pertanyaan tersebut bisa dipahami. CLS muncul karena ketidakpuasan
terhadap penyelenggaraan hukum di negeri itu. Buku-buku seperti "With Justice
for None"97 dan 'Trials Withouth Truth"98 bisa mewakili ketidakpuasan tersebut.
CLS langsung menusuk jantung pikiran hukum Amerika yang dominan, yaitu
suatu sistem hukum liberal yang dikisarkan pada pikiran politik liberal dikatakan
oleh seorang penstudi :
“... a group of legal scholars has generated an body of literature that challenges some of the most cherished ideals of modem Western legal and political trough… The major theoretical aim of the movement is to provide a critique of liberal legal and political philosophy, and at the total point of the critique, lies the concept of the rule of law.99
97 Gerry Spence, With Justice for None - destroying an American myth, New York: Penguin Books, 1989.
98 Pizzi, William T, Trials Withouth Truth - why our system of criminal trials has become an expensive failure and what we need to do to mbuifd it, New York : New York University Press, 1999.
Pikiran liberal yang merangkul rule of law itu sebetulnya bertentangan
dengan lain prinsip esensial dalam alam pikiran politik liberal. Dikatakan, bahwa
"Law can not perform the liberal task of constraining power and protecting people
from intolerance and oppression, so even I the rule of law did exist, it could not
accomplish its liberal goals."100 Hukum progresif juga menggandeng kritik
terhadap sistem hukum yang liberal itu, karena hukum Indonesia juga turut
mewarisi sistem tersebut. Namun tujuan hukum Progresif tidak hanya terpusat
pada kritik terhadap sistem yang liberal. Ini terutama terletak pada konsep
”progresif” dan ”progresivisme” dalam hukum progresif, sebagaimana akan
diuraikan di bawah.
Apabila hukum itu bertumpu pada ”peraturan dan perilaku”, maka hukum
progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan demikian,
faktor dan kontribusi manusia dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang
ada. Faktor manusia ini adalah simbol dari unsur-unsur greget ( compassion,
empathy, sincerety, edication, commitment, dare dan determination ). Ini
mengingatkan kepada ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang
baik, maka dengan peraturan yang burukpun saya bisa membuat putusan yang
baik”. Mantan Hakim Agung, Bismar Siregar, sering mengatakan bahwa “keadilan
ada di atas hukum” dan oleh karena itu ia selalu memutus berdasar hati-nurani
99 Andrew Altman, Critical Legal Studies a liberal critique, Princerton, N.J. : Princeton Univ. Press, 1990.
100 Ibid.
terlebih dahulu dan baru kemudian dicarikan peraturannya, oleh karena hakim
harus memutus berdasarkan hukum. Mengutamakan faktor manusia daripada
hukum, membawa untuk memahami hukum sebagai suatu proses dan proyek. Hal
itu berkali-kali dikemukakan dengan mengatakan bahwa hukum itu selalu dalam
proses membangun dirinya. Karl Renner merumuskan hal tersebut dengan sangat
bagus pada waktu mengatakan, "The development of the law gradually works out
what is socially reasonable".101
Hukum progresif berbagi pendapat yang sama dengan pikiran-pikiran yang
dikemukakan di atas. Ia tidak bergerak pada arah legalistik positivistik, tetapi lebih
tidak mutlak digerakkan oleh perundang-undangan, tetapi lebih pada azas
sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum
perundang-undangan, tetapi bergerak pada azas non-formal. Bukti-bukti untuk itu
merupakan peluang untuk menjalankan hukum progresif.
Hukum progresif bisa merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum
modern yang sarat dengan birokrasi dan prosedur, sehingga sangat berpotensi
meminggirkan kebenaran dan keadilan. Hukum progresif tidak berpendapat bahwa
ketertiban ( order ) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan, melainkan
menerima dan mengakui kontribusi institusi-institusi yang bukan negara.
Ketertiban juga didukung oleh bekerjanya institusi bukan-negara tersebut.102
101 Karl Renner, The Development of capitalist property and the legal instituions complementary to the property norm, sosiology of Law. Vilhelm Aubert (ed), Hamondswort: Penguin Book, 1969.
102 Robert C., Ellideson, Order Without Law, Cambridge, Mass : Harvard University Press, 1991.
2.4.5 Gerakan Studi Hukum Kritis
Searah dengan hukum progresif yaitu aliran hukum kritis atau lebih dikenal
dengan critical legal studies ( CLS ). Di Indonesia oleh para penganut paham ini
disebut dengan Gerakan Studi Hukum Kritis
( GSHK ). Salah satu pemerhati tentang gerakan hukum kritis ini adalah Satjipto
Rahardjo, sang begawan hukum Indonesia103.
Munculnya Gerakan hukum kritis dilatarbelakangi oleh adanya
ketidakpuasan yang dirasakan secara luas oleh kalangan hukum, bukan hanya
terbatas pada kalangan GSHK, terhadap tradisi pemikiran hukum Barat pada
umumnya. Ketidakpuasan itu, menurut hasil observasi
Harold Berman104, ahli sejarah hukum, berakar pada sesuatu yang lebih serius,
yakni merebaknya suatu krisis yang sangat dalam pada tradisi hukum Barat. Krisis
itu telah menyebabkan doktrin, postulat, sistem penalaran atau interpretasi hukum,
dan seterusnya yang terdapat di dalam tradisi hukum Barat itu digugat dan
dipertanyakan kembali relevansinya. Sementara jawaban terhadap krisis itu belum
muncul, yang akhirnya bermuara pada ketidakpuasan yang digambarkan tadi.
Yang dimaksud oleh Berman dengan ketidakpuasan tersebut adalah :
103 Dalam banyak kesempatan mengajar dalam Program Doktor Ilmu Hukum beliau sering mengatakan : “betapa pentingnya kita untuk belajar hukum seperti apa yang ada dalam gerakan hukum kritis, lebih lanjut beliau mengatakan gerakan hukum kritis ini merupakan upaya untuk meluruskan kembali doktrin tentang hukum modern, yang selalu mengutamakan prosedur untuk mendalilkan adanya kebenaran.
104 Lihat Harold J. Berman, Law and Revolation: The Formation of the Western Legal Tradition (Cambridge: Harvard University Press, 1983), khususnya bab I.
The crisis of the Western legal tradition is not merely a crisis in legal philosophy but also a crisis in law it self. Legal philosophers have always debated, and presumably always will debate, whether law is founded in reason and morality or whether it is only the will of the political ruler. It is not necessary to resolve that debate in order to conclude that as heirs to the Western legal tradition have been rooted in certain belie forpostulates: that is, the legal system themselves have presupposed the validity of those beliefs. Today those beliefs orpostolates-such as the structural integrity of law, its ongoingness, its religious roots, its transcendent qualities- are rapidly disappearing, not only from the minds of philosophers, not only from the minds of lawmakers, judges, lawyers, law teachers, and other members of legal profession, but from the consciousnesss of the vast majority of citizens, the peopels as whole; and more than that, they are disappearing from the law itself105.
Dalam konteks krisis secara umum yang melanda tradisi hukum Barat itulah
GSHK hadir untuk memberikan pencerahan dan dengan mengembangkan
pemikiran alternatif terhadap pemikiran atau teori hukum liberal. Yang paling
menonjol dari doktrin hukum kritis ini yaitu menolak adanya pemisahan hukum
dengan politik. Paham hukum kritis ini memandang bahwa, hukum merupakan
bangunan dari kepentingan politik yang tidak memungkinkan hukum dapat
dipisahkan dari politik, baik dalam proses pembuatan maupun dalam
implementasinya106. Tokoh utama dari paham GSHK adalah Roberto M. Unger.
Ada dua kecenderungan utama dapat dibedakan dalam Gerakan Studi
Hukum Kritis. Kecenderungan yang pertama yaitu yang memandang doktrin masa
lalu atau masa kini sebagai ungkapan suatu visi khusus dari masyarakat sambil
105 Harold J. Berman, Ibid, hlm. 39. 106 Lihat Gerakan Studi Hukum Kritis, 1999, bagian pengantar ( XVII ),
menekankan sifat yang bertentangan dan dapat dimanipulasi dari argumen
doktriner. Hal-hal yang mendahuluinya secara langsung terletak pada teori-teori
hukum antiformalis dan pendekatan-pendekatan strukturalis terhadap sejarah
kebudayaan107.
Kecenderungan yang kedua, tumbuh dari teori-teori sosial Marx dan Weber
serta cara analisis sosial dan historis yang menggabungkan metode fungsionalis
dengan tujuan-tujuan radikal. Titik tolaknya terletak pada tesis ”hukum dan doktrin
hukum mencerminkan, menegaskan, dan membentuk kembali pembagian dan
hierarki sosial yang melekat dalam suatu jenis atau tahap organisasi sosial, seperti
kapitalisme”. Namun, tesis ini telah semakin dimodifikasi oleh kesadaran bahwa
tipe-tipe atau tahap-tahap kelembagaan itu kekurangan karakter kohesif dan yang
ditakdirkan menerima atribut-atribut teori kiri untuk mereka108.
Kedua kecenderungan ini menantang gaya doktrin hukum dan teori hukum
dominan yang mencoba memperhalus dan mengabadikan gaya ini. Keduanya tidak
mengakui usaha untuk mempertalikan susunan sosial yang berlaku dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat industri, sifat manusia, atau tatanan moral.
107 Literatur tentang kecenderungan pemikiran tentang hal ini dapat dilihat dari : Kennedy, "The Structure of Blackstone's Commentaries" dalam 28 Buffalo Iaw Review 205 (1979), dan Kelxnan, "Interpretive Construction in the Substantive Criminal Law" dalam 33 Stanford Law Review 591 (1981).
108 Lihat M. Horwitz, The Transformation of American Law, 1780-1860 (1977); Trubek, “Complexity and Contradiction in the Legal Order: Balbus and the Challenge of Critical Social Thought about Law” dalam 11 Law & Society Review 527 (1977). Banyak di antara esai dalam D. Ivairys. ed., The Politics of Law : A Progressive Critique (1982) juga memberi contoh pandangan ini.
Namun, keduanya harus mengambil suatu sikap yang jelas tentang metode, isi, dan
bahkan kemungkinan pemikiran preskriptif dan programatis, barangkali karena
beberapa di antara asumsi-asumsi itu menerima warisan tradisi radikal yang
menjadikannya sukar untuk mengubah usul konstruktif menjadi lebih dari sekadar
pernyataan komitmen atau antisipasi sejarah.
Makna penting dari kontras di antara kecenderungan-kecenderungan ini
seharusnya tidak dinyatakan secara berlebihan. Kerja yang sesungguhnya sering
lebih sedikit berbeda daripada penafsiran-penafsiran abstrak yang dialamatkan ke
kecenderungan-kecenderungan itu. Banyak tulisan tidak masuk ke dalam satu di
antara dua kelompok yang disebutkan itu109.
2.5 Wacana Teoretik Interaksi Politik Dalam Hukum
Menurut Max Weber, hukum tidak dapat lepas dari kepentingan-
kepentingan dan pengaruh termasuk kepentingan dan pengaruh politik. Adalah
seperti apa yang dikatakan oleh yang mengatakan bahwa, hukum itu dipengaruhi
kepentingan-kepentingan, baik itu kepentingan material maupun kepentingan-
kepentingan ideal dan menurut pendapatnya, hukum juga sangat dipengaruhi cara
berpikir kelas-kelas sosial dan kelompok-kelompok yang berpengaruh termasuk
109 Lihat Gordon, "Historicism in Legal Scholarship" dalam 90 Yale Law journal 1017 (1981); Parker, "The Past of Constitutional Theory--and Its Future" dalam 42 Ohio State Law Journal 223 (1981); Simon, "The Ideology of Advocacy: Procedural justice and essional Ethics" dalam 1978 Wisconsin Law Review 29; Stone, 'The Post-war Paradigm in American Labor Law" dalam 90 Yale Law journal 1509 (1981).
partai politik.110 Bahkan secara ekstrim Grifiths mengatakan bahwa, suatu undang-
undang tidak akan pernah ada tanpa ada suatu keputusan politik, begitu pula
rincian undang-undang akan menentukan pula pengaruh suatu kebijakan politik111.
Sependapat dengan Max Weber, Seorang ahli hukum bernama Donald
Black, pada tahun 70-an sudah mengingatkan masyarakat agar tidak memaknai
hukum sekadar sebagai barisan kalimat dalam perundang-undangan112. Senada
dengan Black adalah Meir Friedman, mengajarkan ada tiga unsur dalam hukum,
yakni substance,
( aturan main ), structure ( pranata penegak hukum ), dan legal culture
( budaya hukum ), artinya hukum bukan sekadar yang tertulis melainkan juga
norma agama, etika, dan norma sosial113.
Menurut Milovanovic 114 tokoh aliran Legal Realism dan pendukungnya
seperti Karl Lewellyn dan Frank secara tegas menentang paham hukum yang
formal mekanik, lebih mendahulukan rasionalitas yang substantif, dan menolak
kerja hakim yang menekankan pada metode deduksi dalam memahami hukum.
Pendapat tersebut diikuti oleh paham sociological dan realistis jurisprodence,yang
110 Max Weber dalam buku “HAM, KEJAHATAN NEGARA DAN IMPERIALISME MODAL, Agung dan Asep, Pustaka Pelajar, 2001, hal XXII.
111 Jhon Grifiths, Is Law Important, 54.N.Y.U.L REV 339 (1976) dalam Robert B, Seidman & Nalin Abeyeskere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis.
112 Donald Black dalam bukunya Behavior of Law (1976). Black menegaskan hukum bukan sekadar perangkat aturan-aturan, baik tertulis tak tertulis, namun harus dipahami sebagai perilaku.
113 Lihat Kompas 29 Juli 2001.114 Dragan Molovanovic, A Primer The Sociology of Law, New York , Harrow and Heston, 1994,
hal 89-90.
berpendapat bahwa hukum tidak bebas dari konteks-konteksnya. Mereka menolak
hukum sebagai sistem normatif yang tertutup, yang lepas dari konteks-
konteksnya, yakni politik, sosial maupun kultural. Tokoh kaum realis, Oliver
Wendell Holmes mengatakan, Law has not been logic, it exprerience. Hukum
bukanlah suatu sistem teks normatif yang tertutup. Karena itu kemurnian hukum
dengan menutup diri dari pengaruh konteks-konteksnya adalah suatu upaya yang
tidak hanya sia-sia tetapi juga tidak realistis115.
Hukum, sekalipun telah dibentuk dalam wujudnya yang formal sebagai
produk kebijakan suatu badan pemerintahan negara yang terbilang tinggi, bukanlah
sesuatu yang sakral dan berstatus di atas segala-galanya ( the suprene law –state,
de hoogste rechstaat ). Alih-alih menurut konsepnya yang mutakhir, hukum pada
hakikatnya adalah produk aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan
oleh kepentingan-kepentingan ekonomi mereka yang ditujukan ke norma-norma
sosial dan/atau nilai-nilai ideal kultur mereka.
Pemahaman tidak dapatnya hukum dipisahkan dari politik semakin meluas
setelah gerakan pemikiran kritis, yang dikenal dengan The Critical Legal Studies
Movement ( CLS ) tidak bisa menerima produk hukum yang positivis-formalis.
Karena itu, sekalipun merupakan hasil kesepakatan yang sah, tetapi apakah benar-
benar bisa bersifat netral dan dapat ditegakkan oleh lembaga yudisial yang
115 Soetandiyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Realitas Perkembangan Sosial Politik dan Perkembangan Kritik-Teoretik yang Mengarah Mengenai Fungsinya, 2003, hal 13.
independen dan tidak memihak. Menurut CLS, formalisme hukum hanya akan
berdaya guna melegitimasi para elit yang tengah berkuasa termasuk elit politik.
Rakyat banyak terkecoh oleh formalisme pemikiran di bawah prinsip rule of law.
Hukum dan teorinya menurut Kruish, hakikatnya sebagai suatu ideologi dengan
fungsinya sebagai pelegitimasi, berlangsung melalui proses-proses refikasi dan
proses hegemoni politik.116
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa sistem hukum dipengaruhi oleh sistem
yang lebih luas yang disebut “super system” yaitu sistem sosial117 ( social system
) dimana sistem hukum itu di bangun. Sistem sosial ini dapat berupa sistem sosial
budaya, sistem politik, sistem ekonomi, sistem ilmu pengetahuan, teknologi dan
lain-lain. Ini berarti bahwa sistem hukum harus dibangun dari berbagai bahan yang
terdapat dimana sistem hukum itu dibangun. Lebih jauh Satjipto Rahardjo
menyatakan, “konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat dari konsentrasi energi
politik”.118 Pendapat tersebut sangat tepat apabila disandingkan realitas yang
sesungguhnya terjadi dalam proses pembentukan hukum di DPR RI, dimana
berbagai sistem politik yang ada di DPR RI ikut melingkupi, terutama sistem
politik dari partai-partai politik yang besar. Dengan demikian sistem hukum
116 Soentandyo Wignjosoebroto, Op Cit hal 12.117 Sistem sosial yang dimaksud adalah : sistem sosial ekonomi, politik, pendidikan, sistem sosial
budaya termasuk adat istiadat dan karakter manusianya dimana hukum itu akan dibuat. 118Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan
Hukum Nasional, Penerbit Sinar Baru Bandung, 1985, Hal. 71.
( nilai-nilai hukum ) yang terbangun dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sejatinya
adalah manifestasi dari sistem politik, terutama sistem politik dari partai-partai
politik yang besar.
Menurut Trasymashus, “hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka
yang kuat”119. Kondisi dimana kalahnya hukum ketika harus berhadapan dengan
politik dalam perspektif konflik adalah hal yang dimungkinkan120. Tidak berlebihan
jika kemudian dikatakan, fenomena menonjolnya fungsi instrumental hukum
sebagai sarana kekuasaan politik dan itu bersifat dominan serta lebih besar
dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Lebih dari itu, instrumental hukum
menjadi penopang tangguh struktur politik, ekonomi, dan sosial.121
Pandangan pluralis mengatakan bahwa, hukum qada dan terbentuk karena
shift atau pergeseran kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang
berbeda-beda122. Perbedaan kepentingan antar kelompok ini dapat menimbulkan
terbentuknya koalisi dalam menanggapi isu-isu dan permasalahan tertentu, dan
menumbuhkan kekuasaan melalui dan dengan jalan proses politik. Kelompok--
119 Dalam karangan ilmiah yang ditulis oleh Haryatmoko, di Surat Kabar Harian Kompas dengan judul “ Hukum dan Moral dalam Masyarakat Majemuk”, Kompas 10 Juli 2001
120 Menurut Bruce L. Berg, “from this conflict perspective, then, criminal laws serve a central purpose of protecting the haves from the haves nots and maintaining their superior position in society”. Lebih jauh lihat Bruce L. Berg, Law Enforcement, An Introduction To Police In Society, Allyn And Bacon, A Division Of Simon & Schuster, Inc, Boston, 1991, hal.9.
121 Mulyana W. Kusuma, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum. Rajawali, Jakarta 1986 Hal 19-20.
122 Pendapat Lawrence dalam Geral Turkel, Law and Society, Critical Aprroaches, Bab 5 : Hukum hal 89-106
kelompok ini bertindak melalui partai-partai politik dan pemilihan-pemilihan, yang
dapat membuat dan menjadikan mereka dapat mengontrol dan mengendalikan
hukum negara.
Perbincangan dan perdebatan tentang pendekatan pluralisme ini pada
awalnya dimulai oleh Robert Dahl dalam satu studi tentang kekuasaan yang
dilakukan di New Haven, Connecticut pada tahun 1961. Dalam mempelajari
kekuasaan dan penyusunan hukum dan peraturan yang berlaku di New Haven,
Dahl menemukan adanya 3 kelompok terorganisir yang saling bertentangan dan
dihadapkan pada konflik yang merupakan sumber yang digunakan oleh para
politisi dan pegawai pemerintah kota sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan dalam sentra kekuasaan.
Pembahasan tentang pluralisme ini secara lebih menyeluruh dikemukakan
Lawrence Friedman ( 1977 ). Menurutnya, hukum adalah hasil dari persaingan dan
perbedaan kepentingan antara kelompok-kelompok yang ada, yang seringkali
membutuhkan kekuatan dalam jumlah dan jenis yang berbeda-beda. Hubungan
yang terjadi antara persaingan dan perbedaan kepentingan kelompok dengan
terbentuknya kekuasaan melalui hukum adalah, kemampuan mereka kelompok-
kelompok tersebut untuk membentuk opini publik, dengan cara memperkuat dan
memperluas kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai mereka masing-masing.
Perdebatan kepentingan dan nilai-nilai yang mereka miliki akan membawa dampak
kepada terciptanya persaingan antar kelompok tadi untuk sama-sama bersaing dan
berkompetisi menanamkan pandangan-pandangan mereka dalam pengambilan
keputusan yang nantinya akan dipakai sebagai dasar-dasar pengambilan keputusan
untuk menetapkan hukum dan peraturan, serta implementasi atau penerapannya.
Secara kontras, para elit yang ada di lembaga dan badan-badan hukum, mereka
melakukan usaha untuk mengelola dan menegakkan kekuatan atau kekerasan
ekonomi dan politik, yang dikonsentrasikan bagi kelompok-kelompok yang sedang
berkuasa, yang memiliki kontrol terbesar dalam pengambilan keputusan dalam
lembaga-lembaga pemerintahan. Para elit di badan-badan hukum mengemukakan
argumen mereka, bahwa sementara mereka melakukan pengaturan atau kontrol
terhadap kelompok yang sedang berkuasa, mereka kurang dapat melakukan
kontrol terhadap masyarakat secara detail dan menyeluruh, pada waktu yang
bersamaan.
Secara spesifik, GSHK ( Gerakan Studi Hukum Kritis ) melalui Roberto M.
Unger123 mengkritik teori pemisahan hukum dan politik
( law politics distinction ). Teori ini mengandalkan bahwa, hukum itu
dikonstruksikan secara objektif, seperti yang didalilkan oleh Ronald Dworkin,124
“law is based on “obyective” decicion of principle, while polincs dependen on
“subjektive decicion of policy”. Inilah yang ditolak keras oleh GSHK. Mereka
menyatakan, tidak mungkin proses-proses hukum (apakah itu dalam membuat
undang-undang atau menafsirkannya) berlangsung dalam konteks bebas atau netral 123 Lihat Roberto M. Unger, Knowledge and Politics (New York; Free Press, 1975) Hlm 63. 124 Lihat Ronald Dworkin , A Matter of Priciples (Cambridge : Harvard University Press, 1985)
dipengaruhi pengaruh moral, agama dan pluralisme politik. Kalangan GSHK
kadang mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis, dan bagi
mereka teori tersebut merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya latar
belakang politik dan dialogis dibalik putusan-putusan hakim dan undang-undang125.
Makanya berbeda dengan teori liberal, bagi kalangan GSHK hukum
dikonstruksikan sebagai “negotiable, subjektictive dan poly dependent as politis”.
Menurut Roberto M. Unger ada dua alasan utama mengapa tidak mungkin
membayangkan netralitas dan objektivitas dalam hukum, karena seperti di bawah
ini :
First procedure is inseparable from outcame: every methode makes certain legislatifve choices more likely than other………. Second, each law making sistem it self embodies certain values; it incorporateas a view of haw power ought to be ditrubuted in the society and how conflicts should be recolved.126
Dengan mengacu kepada proses-proses empiris pembuatan kebijakan
hukum, Unger menunjukkan betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum
dan politik. Analisis hukum yang hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi
doktrinal dan asas-asas hukum semata dengan demikian mengisolasikan hukum
dari konteksnya. Sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah,
melainkan direkonstruksi secara sosial.127 Kritik terhadap teori pemisahan hukum 125 Untuk mendapatkan uraian yang lengkap mengenai kritik-kritik GSHK terhadap doktrin, teori,
dan asas-asas hukum liberal, dapat dilihat dalam Mark Keman, A Guide to Critical Studies (Cambridge : Harvard University Press, 1987).
126 Lihat, Unger, Law and Modern Society, (New York, Free Press , 1975)127 Analisis mengenai bagaimana hukum itu direkonstruksi untuk mengabsahkan suatu tatanan
sosial tertentu dapat dilihat dalam analisis Kennedy terhadap karya ahli hukum abad 18, William Blackstone, yang sangat berpengaruh pada proses pembentukan hukum di Amerika. Kennedy, The Structure of Blackston’s Commentaries”, (1978) 28 Buffalo Law Rev.
dan politik yang dipaparkan di atas, hanya merepresentasikan salah satu aspek dari
kritik GSHK terhadap tradisi hukum liberal. Meskipun demikian, lewat uraian
singkat mengenai kritik terhadap asas pemisahan hukum dan politik, apa yang
ingin diungkap GSHK sebetulnya juga ikut tersibak, yaitu menggunakan
kontradiksi internal di dalam teori hukum liberal. Maksudnya adalah kesenjangan
yang tajam antara apa yang diidealkan dan apa yang ada dalam realis. Kesenjangan
inilah yang menurut kalangan GSHK menyebabkan dan gagal memahami secara
koheren antara aturan ( rules ) di satu pihak dengan nilai-nilai ( values ) di pihak
lain. Di sinilah letaknya apa yang dikatakan di muka sebagai “self-contradiction”
atau “incoherent” di dalam struktur internal pemikiran
( doktrin ) hukum liberal itu. Sebagai akibatnya adanya kontradiksi-kontradiksi
internal, menurut Roberto M. Unger 128 “Inabalit, to arrive at a coherent
understanding it the relation between rules and values in social life”.
2.6 Wacana Teoretik Tentang Pembentukan Hukum
Sebagai sarana pengintegrasi sosial, hukum tidak akan mungkin bekerja
dalam ruang hampa. Menurut Harry C. Bredemeier, ketika hukum bekerja dalam
sebuah tatanan sosial, maka ia akan selalu mendapatkan asupan dari bidang-bidang
yang lain seperti bidang ekonomi, politik, dan budaya. Asupan yang diterima oleh
hukum itu menjadi masukan ( input ) dan keluaran ( ouput ) yang dikembalikan ke 128 Lihat Roberto M. Unger, Knowledge and Politics (New York : Free Press, 1975) Hal 63.
dalam masyarakat.129 Lebih lanjut Harry C. Bredemeier mengatakan, itulah
sebabnya hukum dalam realitasya berfungsi sebagai faktor pengintegrasian
masyarakat, maka hukum harus mampu menyelesaikan konflik secara tertib,
sebagaimana yang dikatakan oleh Bredemeier :
”The law fungtiono of the las is the orderly resolotion of conflict. As this implies, “the law” ( the clearest model of which J. Shall take to be the court system ) is brought into operation after there violted by someove else”130
Mengikuti alur pemikiran yang demikian itu, maka dalam menjalankan
fungsinya sebagai pengatur kehidupan sosial, hukum harus menjalani suatu proses
yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-
beda. Dalam garis besarnya aktivitas tersebut berlangsung dalam dua proses
hukum, yakni proses pembuatan hukum dan proses implementasi hukum. Apabila
ingin berbicara lebih pasti, maka proses pembuatan hukum itu sesungguhnya
mengandung pengertian yang sama dengan istilah proses pembuatan undang-
undang, untuk istilah proses implementasi hukum lazim orang menggunakan
istilah proses penegakan undang-undang,131 sekalipun pada prinsipnya proses
129 Pandangan yang demikian itu sebagaimana dikemukakan oleh Harry C. Bredemeier dengan menggunakan kerangka berpikir teori sistem yang dikembangkan oleh Talcott Parsons (Harry C. Bredemeier, “Law as an Integrative Mechanism”, dalam William M. Evan (ed.), Law and Sociology. New York: The Free Press of Gloencoe, 1962, halaman 73-90). Uraian yang demikian itu dapat dibaca juga dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-3, 1991, halaman 143-158.
130 Ibid.131 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm 175-176. Istilah
proses hukum yang digunakan di sini memiliki makna yang lebih luas, yang tidak hanya sekadar menggambarkan jalannya suatu proses peradilan. Yang dimaksudkan dengan proses hukum di sini adalah “perjalanan yang ditempuh hukum untuk menjalankan fungsinya mengatur masyarakat atau kehidupan bersama, yakni semenjak proses pembuatannya hingga penegakannya”.
hukum tersebut juga mengupayakan agar substansi dari suatu undang-undang
dapat dijalankan atau ditegakkan.
Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan pola
pembentukan hukum untuk mengatur tatanan kehidupan sosial agar tercipta
suasana yang aman dan tertib. Di dalam masyarakat demokratis yang modern,
badan legislatif dapat dianggap sebagai prototipe penguasa yang berdaulat dalam
membuat kebijakan pembuatan hukum. Penegasan kebijakan oleh badan atau
lembaga ini akan merupakan salah satu sumber primer bagi suatu sistem hukum
untuk mengonsepsikan standar-standar yang akan digunakan untuk menyalurkan
aspirasi masyarakat.
Proses hukum tersebut merupakan momentum yang memisahkan keadaan
tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Itu berarti proses
pembuatan hukum merupakan sarana pemisah antara “dunia sosial” dan “dunia
hukum”, yakni dunia di mana segala hal yang diatur itu mulai ditundukkan pada
tatanan hukum. Dengan demikian, segala hal tersebut tidak tunduk pada ukuran-
ukuran dan penilaian sosiologis, melainkan sudah mulai tunduk pada penilaian
hukum, ukuran hukum, dan rumusan-rumusan akibat-akibat hukum yang
ditetapkan.
Pada prinsipnya proses pembuatan hukum tersebut berlangsung dalam tiga
tahapan besar, yakni tahap inisiasi, tahap sosio-politis dan tahap juridis, dan tahap
penyebarluasan atau desiminasi.132 Pertama, tahap inisiasi merupakan tahap yang
menandakan lahirnya atau munculnya suatu gagasan dalam masyarakat tentang
perlunya pengaturan suatu hal melalui hukum. Aktivitas yang berlangsung pada
tahap inisiasi ini masih murni merupakan aktivitas sosiologis. Ia tampil sebagai
bentuk reaksi terhadap sebuah fenomena sosial yang diprediksikan dapat
mengganggu atau mengancam keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di sinilah letak betapa pentingnya
kajian-kajian sosiologis dalam memberikan sumbangan informasi yang memadai
untuk memperkuat gagasan tentang perlunya pengaturan sesuatu hal dalam tatanan
hukum. Kedua, aktivitas yang berlangsung pada tahap sosio-politis ini dimulai
dengan mengolah, membicarakan ( mendiskusikan ), mengkritisi, mempertahankan
gagasan awal yang berasal dari masyarakat melalui pertukaran pendapat antara
berbagai golongan dan kekuatan dalam masyarakat. Pada tahapan ini suatu gagasan
akan mengalami ujian, apakah ia bisa terus digelindingkan untuk berproses
menjadi sebuah produk hukum ataukah berhenti di tengah jalan. Apabila gagasan
tersebut gagal dalam ujian tersebut, maka dengan sendirinya akan hilang dan tidak
dipermasalahkan lagi oleh dan di dalam masyarakat. Sebaliknya, apabila gagasan
tersebut berhasil untuk menggelinding terus, maka bentuk serta isinya juga
mengalami perubahan dibandingkan dengan pada saat ia muncul untuk pertama
132 Ibid halaman 178.
kalinya. Perubahan itu menjadikan bentuk dan isi gagasan tersebut semakin luas
dan dipertajam.133
Selanjutnya pada tahap yang ketiga, yakni tahap juridis merupakan tahap
akhir di mana gagasan tersebut dijabarkan atau dirumuskan lebih lanjut secara
lebih teknis menjadi ketentuan-ketentuan hukum, termasuk menetapkan sanksi-
saksi hukumnya. Tahap ini melibatkan kegiatan intelektual yang bersifat murni dan
tidak terlibat konlik kepentingan
( conflict of interest ) politik, yang tentunya ditangani oleh tenaga-tenaga yang
khusus berpendidikan hukum. Aktivitas yang paling ditekankan di sini adalah
merumuskan bahan hukum tersebut menurut bahasa hukum, meneliti konteksnya
dalam sistem hukum yang ada sehingga tidak menimbulkan gangguan sebagai satu
kesatuan sistem.134
Tahap terakhir adalah tahap desiminasi atau penyebarluasan. Tahap ini
merupakan tahap sosialisasi sebuah produk hukum diterapkan di masyarakat.
Sosialisasi ini berpengaruh terhadap bekerjanya hukum di masyarakat. Betapapun
secara substansial hukum bagus tetapi jika tidak disosialisasikan dengan baik,
maka hukum tersebut tidak dapat diterapkan dengan baik di masysarakat.
Sebaliknya jika suatu produk hukum dapat disoliasasikan dengan baik, maka
hukum tesebut dapat berfungsi dengan baik di masyarakat.
133 Satjipto Rahardjo, Ibid., 1991, halaman 177-178. 134 Satjipto Rahardjo, Ibid., 1991, halaman 178.
Hasil akhir dari seluruh proses pembuatan hukum sebagaimana diuraikan di
atas memiliki keterkaitan yang erat dengan tipologi masyarakat di mana hukum
dibuat dan diberlakukan. Chambliss dan Seidman membuat pembedaan hukum
menurut “tipologi masyarakat yang berbasis konsensus pada nilai-nilai” dengan
“tipologi masyarakat yang berbasis konflik”. Tipologi masyarakat yang berbasis
pada kesepakatan nilai-nilai ( value concensus ) selalu menghendaki agar tatanan
hukum yang dibuat itu hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku di
dalam masyarakat. Pembuatan hukum di sini hanya merupakan pencerminan dari
nilai-nilai yang disepakati dan dipertahankan oleh warga masyarakat. Langkah
pembuatan hukum seperti itu dimungkinkan, karena pada tipologi masyarakat yang
demikian sedikit sekali mengenal adanya konflik-konflik atau tegangan secara
internal sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang menjadi
landasan kehidupannya. Itu berarti, tidak terdapat perbedaan yang signifikan di
antara para anggota masyarakat mengenai apa yang seharusnya dipertahankan di
dalam masyarakat.135
Pada tipologi masyarakat yang berbasis pada konflik tidak terlalu
mengandalkan kemantapan dan kelestarian nilai-nilai, melainkan pada perubahan
135 William J. Chambliss & Robert B. Seidman. Law, Order and Power. Reading, Massachusetts: Adison-Wesley Publishing Company, 1971, halaman 17, 56. Masyarakat dengan model tanpa konflik adalah masyarakat dengan tingkat perkembangan yang sederhana. Satjipto Rahardjo mencontohkan bahwa kalau di Indonesia tipologi masyarakat dapat dihubungkan dengan masyarakat yang menjadi pendukung hukum adat, yakni dalam pengertiannya yang masih tradisional dan tingkat perkembangannya belum begitu kompleks (Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Penerbit Angkasa, 1979, halaman 49-50).
dan konflik-konflik sosial.136 Dalam situasi masyarakat yang demikian itu, nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat berada dalam situasi konflik satu sama lain,
sehingga keadaan ini juga akan tercermin dalam pembentukan hukumnya. Tipologi
masyarakat seperti ini ditandai dengan tingkat perkembangan yang lebih maju dan
telah mengalami pembagian kerja yang relatif memadai dan terorganisir secara
baik. Menurut Chambliss dan Saidman, pada tipologi masyarakat yang demikian
ini ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi dalam pembentukan hukumnya,
yaitu:137 pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, di
mana negara merupakan senjata di tangan lapisan yang berkuasa dan sekalipun
terdapat pertentangan nilai-nilai di masyarakat, namun negara tetap dapat berdiri
sebagai badan yang tidak memihak, di dalam mana nilai-nilai dan kepentingan-
kepentingan yang bertentangan dapat disesuaikan tanpa mengganggu kehidupan
masyarakat.
Apabila dalam proses pembentukan hukum terjadi pertentangan nilai-nilai
serta kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, maka menurut Schuyt
sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo, terdapat dua kemungkinan yang
dapat timbul, yakni: (a) hukum dipakai sebagai sarana untuk mencairkan
136 Uraian yang secara khusus membahas tentang teori konflik dapat ditemukan dalam Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisis Kritik, Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986.
137 William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Op Cit., 1971, halaman 17, 57. Baca juga dalam Satjipto Rahardjo, Op Cit., 1979, halaman 50.
pertentangan dalam masyarakat,138 dan (b) hukum sebagai tindakan yang
memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut. Pandangan Schuyt yang
demikian itu mengisyaratkan, bahwa di dalam suatu masyarakat yang tidak
berlandaskan kesepakatan nilai-nilai itu, proses pembuatan hukum selalu
merupakan semacam endapan pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam
masyarakat. Pada kemungkinan yang pertama, pembuatan hukum merupakan suatu
jalan untuk melakukan pencairan pertentangan. Lalu kemungkinan yang kedua,
lebih menjelaskan tentang apa yang dapat timbul apabila masyarakat merasa
tertipu oleh janji-janji atau penyelesaian yang dilakukan melalui pembuatan
hukum.139
Proses merumuskan sesuatu hal dalam sebuah tatanan hukum tidak
berlangsung secara liner dan searah, melainkan berlangsung secara timbal balik
dalam alur input-output. Bredemeier berpendapat bahwa input primer yang
dimasukkan oleh badan pembuat hukum ( badan legislatif ) ke dalam sistem
hukum ini akan berupa deskripsi-deskripsi ideal mengenai segala urusan kehidupan
sosial kemasyarakatan. Deskripsi-deskripsi ideal tersebut dapat terpola dalam
berbagai pertimbangan hukum maupun dalam tampilan yang lebih operasional
berupa rumusan pasal-pasal hukum ( undang-undang ). Sebaliknya, output yang
138 Pandangan yang demikian itu sejalan dengan Lewis A. Coser yang berpendapat, bahwa “konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok (Baca dalam Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV. Radjawali, 1992, halaman 108).
139 Satjipto Rahardjo, Ibid., 1979, halaman 51.
dihasilkan oleh sistem hukum yang bertemalian dengan input tersebut akan berupa
penerapan kebijakan hukum tersebut kepada berbagai persoalan spesifik yang
dihadapi oleh masyarakat. Dalam situasi seperti ini badan penerap hukum
( pengadilan, dan lain sebagainya ) tidak akan bersikap pasif atau menjadikan
dirinya semata-mata sebagai pelaksana teknis terhadap kebijakan-kebijakan hukum
yang dibuat oleh badan legislatif. Lembaga penerap hukum mulai
menginterpretasikan kebijakan hukum tersebut secara kreatif. Interpretasi dari
lembaga penerap hukum jelas akan memberikan dampak kepada tatanan hukum
berupa “input sekunder”.140
Saling memberi antara badan pembuat dan penerap hukum ini tentu tidak
berlangsung secara otomatis dan secara normal mengikuti alur yang diinginkan
oleh lembaga pembuat hukum. Tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi antara
tatanan hukum dengan kedua lembaga hukum tersebut dalam situasi-situasi
tertentu dapat mengalami gangguan yang berat. Badan-badan penerap hukum,
misalnya, mungkin membuat interpretasi-interpretasi yang tidak bersumber pada
kebijakan badan pembuat hukum ( badan legislatif ), atau bahkan dengan terang-
terangan mengabaikan ketentuan undang-undang yang ada. Sebaliknya, lembaga
kekuasaan negara dapat menolak apa yang diputuskan oleh lembaga penerap
hukum, atau gagal memaparkan secara jelas kebijakan-kebijakan umum yang dapat
dipakai sebagai pedoman dalam melakukan tindakan yudisial. Singkatnya, 140 Harry C. Bredemeier, Op Cit., 1962.
interaksi antara kedua pihak ini sering berjalan secara tidak seimbang, mantap, dan
tepat.
Proses pertukaran antara “pedoman kebijakan” dengan “interpretasi atas
kebijakan” seperti itu terkadang sangat mudah terganggu dan menjadi gagal,
karena badan pembuat hukum ( badan legislatif ) selalu berada di bawah pengaruh-
pengaruh opini publik terutama politik, yang selalu berubah-ubah secara
mendadak, dan selalu ditekan oleh tuntutan-tuntutan golongan yang mempunyai
kepentingan berbeda.
Dari sisi yang lain, interaksi antara sistem hukum ( termasuk dalam hal ini
lembaga pembuat dan penerap hukum ) dengan sistem politik juga dapat
mengganggu proses pembuatan maupun penerapan kebijakan hukum. Bredemeier
mengingatkan, bahwa tidak ada jaminan sedikit pun bahwa setiap keputusan
yudisial itu pasti akan diimplementasikan secara otomatis. Terkadang input
pelaksanaan keputusan yang diperlukan oleh sistem hukum dapat ditahan atau
dimentahkan kembali oleh sistem politik. Penahanan demikian itu, dalam situasi-
situasi tertentu akan dapat menyebabkan pergeseran sistem hubungan antara
lembaga penerap hukum dengan negara ke arah bentuknya yang bersifat otoriter.141
141 Bredemeier mencontohkan bahwa dulu pernah terjadi di negara bagian Georgia memindahkan secara besar-besaran orang-orang India Cherokee dengan jalan menggiring mereka dalam suatu long mars yang sangat berat, sekalipun Mahkamah Agung pada waktu itu menyatakan bahwa Georgia tidak berhak mengambil-alih tanah-tanah orang Cherrokee. Belum lama berselang Conggress menolak pemberian kekuasaan kepada Jaksa Agung untuk menuntut pejabat-pejabat yang menentang keputusan-keputusan anti-diskriminasi ras yang telah dibuat oleh badan pengadilan (Harry C. Bredemeier, Op Cit., 1962).
Tentang hubungan input-output dalam proses bekerjanya hukum
sebagaimana digagas oleh Bredemeier tersebut sesungguhnya bertolak dari teori
sistem cybernetics 142 dengan tokohnya Wiener. Itulah sebabnya para pencetus
teori sistem pada umumnya atau teori cybernetics pada khususnya merumuskan
beberapa proposisi atau pernyataan teoretik sebagai berikut:
Pertama, sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam
satu kesatuan interaksi ( proces ); Kedua, masing-masing elemen ( subsistem )
terkait dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung (
interdependence of its parts ); Ketiga, kesatuan elemen yang kompleks itu
membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen
pembentuknya itu ( the whole is more than the sum of its parts ); Keempat,
keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya ( the whole
determines the nature of its parts ); Kelima, bagian dari keseluruhan itu tidak dapat
dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (
the parts cannot be understood concidered in isolation from the whole ); Keenam,
142 Apabila dilacak lebih jauh teori Cybernetics yang dikembangkan oleh Parsons dalam memahami masyarakat ini sesungguhnya diadopsi dari seorang Guru Besar Matematika di Massachusetts Institute of Technology bernama Norbert Wiener (1950). Bahkan, dasar yang dipakai oleh Weiner sebagai dasar untuk membangun teori cybernetics itu berasal dari “teori integrasi” dalam bidang ilmu fisika yang dikembangkan oleh Lebesgue seorang fisikawan asal Prancis (Baca misalnya dalam Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1993, halaman 44-46). Uraian mengenai teori cybernetics dapat dibaca dalam Ian Craib, Teori-teori Sosial Modern: dari Parsons sampai Habermas. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, cetakan ke-3, 1994, halaman 69-71.
bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan
dalam keseluruhan ( system ) itu.143
Menurut Robert B. Seidman dan William J. Chambliss, bahwa proses
bekerjanya hukum sangat ditentukan oleh empat komponen utama, yakni lembaga
pembuat hukum ( undang-undang ), birokrasi penegakan hukum, para pemegang
peran, dan pengaruh kekuatan personal dan sosial. Tiga komponen yang pertama
( lembaga pembuat hukum, birokrasi penegakan hukum, dan pemegang peran ) itu
berperan dalam koridor hukum, sedangkan kekuatan personal maupun sosial
merupakan komponen “non-hukum” yang memiliki andil yang tidak kalah
pentingnya dalam menentukan arah bekerjanya hukum.144
Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Seidman, peraturan yang
diundangkan oleh lembaga yang berwenang ( legislatif, dan lain-lain ) dalam suatu
negara modern mempunyai dua sasaran kembar. Aspek yang pertama ialah
peraturan hukum yang dibuat itu dimaksudkan untuk mengarahkan warga negara
( masyarakat ) agar berbuat menurut cara-cara tertentu. Sasaran yang demikian itu
menurut Kelsen merupakan “bentuk sekunder” dari peraturan hukum. Sasaran
yang kedua ditujukan kepada para penerap hukum atau penegak hukum (termasuk
hakim, dan lain sebagainya ) untuk mengarahkan mereka dalam menerapkan sanksi
143 Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Op Cit., 1993, halaman 40144 William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Ibid, 1971, halaman 12. Baca juga Robert B
Seidman. “Law and Development, A. General Model”, dalam Law and Society Review, Tahun VI, 1972, halaman 322-339.
manakala ada warga negara yang melanggar peraturan hukum tersebut. Sasaran
hukum yang kedua ini oleh Kelsen dikategorikan sebagai “bentuk primer” dari
peraturan hukum.145
Pandangan Kelsen mengisyaratkan bahwa, pada prinsipnya suatu peraturan
hukum yang dibuat oleh lembaga pembuat hukum itu memiliki arti yang sangat
penting dalam merubah perilaku warga masyarakat sebagai pemegang peran.
Sekalipun demikian, terwujud atau tidaknya tujuan pembuatan hukum yang
demikian itu sangat ditentukan oleh struktur normatif dan kelembagaan, ideologi-
ideologi, hambatan-hambatan fisik di dalam masyarakat, struktur sosial, mitos-
mitos dan tradisi-tradisi masyarakat, nilai-nilai yang dihayati, dan masih banyak
yang lain. Komponen-komponen tersebut juga ikut berpengaruh terhadap sikap dan
tindakan para penerap hukum ( termasuk para penegak hukum: hakim, jaksa,
polisi, dan lain sebagainya ). Itulah sebabnya, dalam kerangka umum proses
bekerjanya hukum, Seidman memasukan para pembuat dan penerap hukum
sebagai bagian dari para pemegang peran
( role ocupant ).
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Seidman sendiri mengakui, bahwa
peran-peran yang dimainkan oleh lembaga pembuat hukum, birokrasi penegakan
hukum maupun para pemegang peran, tidak hanya dikontrol dan dikendalikan oleh
aturan hukum, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain di luar hukum, yakni 145 Robert B. Seidman, Ibid., 1972, halaman 322-339.
kekuatan personal ( individu ) dan kekuatan sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
lain sebagainya. Kekuatan-kekuatan non-hukum pula yang membangkitkan atau
mendorong lembaga pembuat hukum mempertimbangkan kembali pemberlakuan
hukum yang dibuat itu atau menyempurnakan atau bahkan mencabut
pemberlakuannya. Kekuatan non-hukum itu juga ikut membangkitkan atau
mendorong para pelaksana birokrasi untuk merubah aktivitas birokrasi dalam
menerapkan peraturan hukum.
Pada kesempatan lain Satjipto Rahardjo mengatakan perlunya pemikiran
tentang model penegakan hukum yang disebut penegakan hukum progresif. Secara
konseptual, keadilan progresif diharapkan mampu menghasilkan keadilan
substantif yang didikotomikan dengan keadilan prosedural146. Lebih lanjut Satjipto
Rahardjo menyebutkan ada dua determinasi penting dalam penegakan hukum
progresif. Pertama, determinasi dari komponen penegakan hukum yang meliputi
hakim, jaksa, polisi dan advokat. Di antara mereka, perlu duduk bersama
menyamakan persepsi. Suatu tindakan yang tidak mungkin dapat dilakukan bagi
mereka yang mengukuhi hukum liberal. Kedua, determinasi mengenai tujuan yang
akan dicapai. Penegakan hukum harus beringsut dari permainan kata ke pencarian
makna sosial. Persamaan persepsi dapat dicapai manakala masing-masing penegak
hukum mampu melihat dalam demensi luas bukan sekadar kepastian melainkan
juga kemanfaatan hukum. Senada dengan pandangan Satjipto Rahardjo tentang
146 Dalam pidato pengukuhan Guru Besar . Yusriadi, hal 34-35, 18 Februari 2006
penegakan hukum yang progresif adalah Binawan mengatakan, sekalipun secara
konseptual ada keadilan prosedural dan keadilan substantif, namun pertentangan
antara keadilan prosedural dan keadilan progesif adalah hal yang normal sebab ada
ketegangan internal yakni ketegangan antara kepastian hukum ( certainty ) dan
keadilan ( justice ), merupakan dua cita-cita pokok hukum147. Di satu sisi, keadilan
prosedural mengedepankan kepastian hukum sedangkan keadilan progesif
mengedepankan keadilan dalam arti luas dan dinamis.
Secara lebih lengkap Wilhelm Lundsted148 menegaskan bahwa hukum baru
memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan, hukum bukan apa-apa.
Menurutnya tanpa substansi hukum pun, sebenarnya hukum dapat dihasilkan,
karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum149.
Lebih lanjut Wilhelm Lundsted justru menegaskan bahwa aturan bertingkah laku
tersebut bukan apa-apa. Pendapat itu mungkin cukup masuk akal bagi Indonesia
karena terbukti bahwa dengan banyaknya aturan, ternyata juga makin banyak
tuntutan.
Seorang pakar hukum Belanda Taverne berpendapat sebagai berikut150 :
"Berikanlah aku hakim yang baik, jaksa yang baik serta polisi yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun akan memperoleh hasil yang baik”.
147 Ibid 148 Wilhelm Lundsted seorang filosof hukum terkenal dengan aliran realismenya,
mengatakan bahwa hukum itu bukan apa-apa (Law is nothing). Ia mengartikan hukum tidak seperti penganut paham konvensional yang memaknakan hukum sebagai aturan bertingkah laku manusia yang apabila tidak ditaati akan memberikan sanksi terhadap si pelaku
149 Dalam Antonius Sujata, “ Reformasi dalam Penegakan Hukum”, Jakarta, Jambatan, 2000, hl 6.150 Ibid.
Sifat baik dari aparat tersebut mencakup integritas moral serta
profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas akan
dapat mengarah kepada rekayasa yang tidak dilandasi moral. Sementara integritas
saja tanpa profesionalisme bisa menyimpang keluar dari jalur-jalur hukum.
Masalah lainnya dalam implementasi atau penegakan hukum adalah cara
memaknai atau interpretasi terhadap suatu produk undang-undang. Perbedaan
interpretasi terhadap undang-undang seringkali menjadi sumber konflik hukum di
masyarakat151.
Secara umum setiap produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh
pembuat undang-undang akan tergambar dengan sendirinya maksud dan tujuan
dibuatnya undang-undang bersangkutan. Begitu pula makna dari setiap konsep
yang digantikan. Akan tetapi ada pula undang-undang yang tidak begitu jelas
maksud dari pembuatnya dan makna dari setiap konsep yang termaktup di
dalamnya.
151 Contoh yang paling bagus untuk menjelaskan hal ini adalah implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak konflik dalam Pilkada yang disebabkan karena adanya perbedaan dalam memaknai atau menafsirkan Pasal-Pasal dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Pasal yang sering menimbulkan perbedaan dalam memaknai atau memaknai yaitu Pasal 59 tentang persyaratan pendidikan bagi calon pasangan Kepala Daerah. Kerusuhan di Kabupaten Semarang dalam Pilkada juga disebabkan karena adanya perbedaan dalam memaknai pasal 59 tersebut.
Dalam perspektif Hermeneutika 152, interpretasi yang ideal adalah
menggunakan dua cara, yaitu interpretasi oleh pembuat undang-undang atau
”interpretasi autentik153 dan interpretasi menurut konteks pembacanya atau
zamannya. Dengan menggunakan kedua interpretasi ini akan terhindar dari
dogmatisme berpikir, karena kebenaran dalam ilmu selalu bersifat nisbi dan tidak
pernah mengenal ketunggalan. Dia selalu bersifat tentatif dari waktu ke waktu
akan selalu mengalami perubahan dan kemajuan. Makna inilah yang selalu
dikumandangkan Hegel dalam filsafatnya bahwa yang benar adalah keseluruhan.154
Makna terdalam dari filsafat Hegel ialah setiap pengetahuan dan pengertian yang
baru selalu bersifat dialektis, karena selalu menggeser pengertian yang kurang
tepat. Dengan mendasarkan pada filsafat Hegel inilah, maka dapat ditarik suatu
kongklusi interpretasi sebagai upaya manusia untuk memahami tentang sesuatu
( something of something ).155 Adalah suatu kekeliruan epistemologis, bila hanya
mengandalkan pada satu interpretasi yang belum tentu dapat menangkap dengan
tepat sesuai makna yang terkandung pada sebuah teks perundang-undangan.
2.7 Implementasi dan Berlakunya Hukum
152 Recour, Poul 1976, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning, The Texas Christian University Press, hal. 22, 30, 31. Juga lihat hal. 28. Di sini Recoeur menjelaskan bahwa “Hermeneutical Circle” orang dapat memahami sesuatu sehingga mempercayainya. Maka dari itu di dalam buku-buku teks, hermeneutika terkenal dengan sebuah “maxim” yang berbunyi “Believe in orer to understand in order to believe”.
153 Interpretasi ini tidak dapat ditafsir lain oleh pembacanya selain harus setia pada penafsiran yang sudah ditetapkan oleh pembuatnya. Kesetiaan pada penafsiran yang sudah ada, secara hermeneutik kerap disebut dengan istilah ”otonomi teks” atau "independensi teks”.
154 Magnis-Suseno, Franz, op.cit hal 10-12. 155 Ricouer, Poul, op.cit, hl 22.
Menurut Soerjono Soekanto156, ada lima faktor yang memberikan kontribusi
pengaruh pada mekanisme penegakan hukum, yaitu pertama, faktor hukum (
subtance ) atau peraturan perundang- undangan. Kedua, faktor aparat penegak
hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan
penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor
masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan, yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor
kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo157, membedakan berbagai unsur yang
berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya
pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria
kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang
terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-
undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa
dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan
sosial.
156 Soerjono Soekanto. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta: 1983. hat. 4-5.
157 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, 1983, hlm 23-24.
Kedua pandangan di atas tampaknya saling berkesesuaian. Kelima unsur
sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat direduksikan menjadi tiga
unsur sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. Sebaliknya ketiga unsur
yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dapat pula dirinci lebih lanjut menjadi
lima unsur seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Melengkapi kedua
pandangan di atas, menarik juga diperhatikan pandangan Jerome Frank, tentang
berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa
faktor ini meliputi selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka
politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi158 .
Dari beberapa proposisi di atas, dapat memberikan gambaran yang jelas
tentang proses penegakan hukum yang meliputi tahapan pembuatan hukumnya, ta-
hapan pemberlakuan dan penegakannya sampai pada tahap pelaksanaan
putusannya, adalah bersifat dinamis dan kontekstual. Dinamis dalam arti corak dan
bentuknya mengikuti dinamika dari waktu ke waktu, sedangkan kontekstual dalam
pengertian terkait erat pada interaksi berbagai faktor pendukung sebagaimana
disebutkan di atas.
Telah lazim diungkapkan bahwa hukum khususnya dalam bentuknya
sebagai undang-undang merupakan produk politik, artinya ialah bahwa undang-
undang dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbagai kekuatan sosial dan
158 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Kanisius 1991, hal. 122.
kemudian diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk merealisasikan
kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada.
Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungi tersebut meliputi
kepentingan individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.
Moh. Mahfud MD159 sampai pada kesimpulan, bahwa dalam kenyataannya
produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang
melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum
itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling
bersaingan. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam hubungan antara
subsistem hukum dan subsistem politik hukum, politik ternyata memiliki
konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang
lemah160. Kondisi demikian menurut Sri Soemanti161 mengeksplisitkan bahwa
perjalaam politik di Indonesia tidak ubahnya seperti perjalanan kereta api di luar
relnya, artinya banyak sekali praktik politik yang secara substantif bertentangan
aturan-aturan hukum.
Statemen-statemen di atas memberikan penegasan, bahwa di dalam realitas
empirisnya politik sangat menentukan bekerjanya hukum, mulai sejak proses
159 Mahfud MD, Hubungan Kausalitas Antara Politik dan Hukum di Indonesia, 1993, Artikel dalam Majalah Gelora Hukum Nomor IV Tahun 1993 Fakultas Hukum UMS. Hal. 4.
160 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm. 71.
161 Sri Soemanto, Perkembangan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan, dalam Moh. Mahfud MD, Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Penegakan Hukum, dalam Majalah Gelora Hukum Nomor IV Tahun 1993. FH UMS.
pembentukan sampai dengan tahap implementasinya. Menurut Moh Mahfud162,
pengaruh politik akan berpengaruh pada karakteristik produk-produk dan proses
pembuatannya. Mahfud kemudian sampai pada kesimpulan bahwa, hubungan
kausalitas antara hukum dan politik, khususnya dalam bidang hukum publik
tampak dengan jelas bahwa sistem politik yang demokratis senantiasa melahirkan
produk hukum yang berkarakter responsif atau populistik sedangkan sistem politik
yang otoriter senantiasa melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks atau
koservatif.163
Secara juridis dan ideologis, instansi penegak hukum dan aparat penegak
hukum di Indonesia merupakan suatu kesatuan sistem yang terintegrasi dalam
membangun satu misi penegakan hukum. Konsepsi ideologis demikian tidak atau 162 Moh. Mafmud MD, Hubungan Kausalitas Antara Hukum dan Politik di Indonesia. Artikel
dalam Majalah Gelora Hukum FH UMS Nomor IV Tahun 1993, hlm. 4-5. 163 Dalam hal ini lebih lanjut Moh. Mahfud MD memberikan contoh tentang pengaruh keadaan
politik terhadap produk hukum, berupa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kedua undang-undang tersebut lahir pada era Orde Baru tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam yang melatarbe lakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. Undang-Undang Perkawinan lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan Undang-Undang Peradilan Agama lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan sikap saling akomodasi. Perbedaan kondisi politik melahirkan implikasi yang berbeda, terutama dalam penentuan pilihan atas materi produk hukum. RUU Perkawinan yang diajukan pada periode konflik politik, ternyata menyulut protes dan demonstrasi karena materinya memuat banyak hal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat itu, pemerintah yang tidak mesra dengan Islam mengajukan RUU yang dipandang dari sudut aqidah Islam harus ditolak, sementara orang Islam sendiri yang sedang agak oposan dengan pemerintah, mencurigai RUU tersebut sebagai upaya mengecilkan Islam. Dengan demikian menjadi jelas bahwa keadaan politik saling curiga dan konflik itu telah melahirkan rancangan produk hukum yang juga menggambarkan kesaling curigaan. Fenomena tersebut berbeda dengan apa yang terjadi pada kasus Undang-Undang Peradilan Agama. RUU yang lahir pada saat hubungan antara pemerintah dan umat Islam secara holitis saling melakukan akomodasi ini ternyata mendapat dukungan luas dari umat Islam karena hal itu seakan-akan menjadi kado mewah bagi umat Islam. Menurut Mahfud, 8 fenomena pembuatan kedua undang-undang itu merupakan bukti betapa keadaan politik tertentu memberi jalan bagi munculnya pembuatan hukum dengan karakteristik yang tertentu pula.
kurang melihat kondisi wilayah dan faktor sosio-kultural masyarakat yang
heterogen serta faktor-faktor personal dari aparat penegak hukum sendiri yang juga
dalam kenyataannya sangat heterogen.
Statemen di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kendatipun
penegakan hukum secara prinsip adalah satu, namun secara substantif penegakan
hukum, penyelesaian perkara akan melibatkan seluruh integritas kepribadian para
aparat penegak hukum yang terlibat di dalamya. Dalam hal ini Satjipto Rahardjo164
mengemukakan, bahwa kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan, bahwa para
penegak hukum sebagai kategori manusia dan sebagai jabatan, akan cenderung
memberikan penafsirannya sendiri terhadap tugas-tugas yang harus
dilaksanakannya sesuai dengan tingkat dan pendidikan, kepribadiannya dan masih
banyak faktor-faktor pengaruh lain lagi.
Dalam rangkaian mekanisme penegakan hukum yang meliputi tahap
pembentukan hukum dalam berbagai fasenya, dikemukakan oleh Satjipto
Rahardjo, bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum
dijalankan itu dibuat. Dengan demikian terlihat betapa besarnya peranan penegak
hukum yang menduduki posisi sebagai anggota badan legislatif yang merupakan
salah satu mata rantai mekanisme penegakan hukum165.
164 Satjipto Raharjo , Masalah Penegakan Hukum, Alumnus, Bandung, hlm. 26-27.165 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, hlm 23.
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie166, norma hukum dapat berlaku
karena beberapa pertimbangan filosofis, pertimbangan juridis, pertimbangan
sosiologis, pertimbangan politis dan pertimbangan yang bersifat administratif.
1. Keberlakuan Filosofis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum
itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara.
Seperti dalam pandangan Hans Kelsen mengenai ”gerund-norm” atau dalam
pandangan Hans Nawiasky tentang "staatsfundamentalnorm", pada setiap negara
selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang
diyakini sebagai sumber dari Segala sumber nilai luhur dalam kehidupan
kenegaraan yang bersangkutan.167
Untuk hal ini, nilai-nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung
dalam Pancasila sebagai ”staatsfundamentalnorm". Di dalam rumusan kelima sila
Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas
kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan
berbhineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi
segenap rakyat Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai-nilai filosofis tersebut
yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang terdapat dalam
166 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 240.167 Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006).
berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Keberlakuan Juridis
Keberlakuan juridis adalah keberlakuan norma hukum dengan daya ikatnya
untuk umum sesuatu dogma. yang dilihat dari pertimbangan
bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku
apabila norma hukum sendiri memang (i) ditetapkan sebagai norma hukum
berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau yang lebih tinggi seperti dalam
pandangan Hans Kelsen dengan teorinya “Stuffenbau Theorie des Recht”168 (ii)
ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara
suatu kondisi dengan akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A. Logemann169 (iii)
ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang
berlaku seperti dalan pandangan W. Zevenbergen170, dan (iv) ditetapkan sebagai
norma hukum oleh lembaga yang memang berwewenang untuk itu. Jika ketiga
kriteria tersebut telah terpenuhi sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang
bersangkutan dapat dikatakan memang berlaku secara juridis.
3. Keberlakuan Politis168 Lihat "Stuffenbau Theorie" yang dikembangkan oleh Hans KeLsen. Kelsen,
Op Cit.169 J.H.A. Logemann (1954) dalam Purnadi Purbacaraka, Op.Cit., hal. 116.170 Lihat pandangan W. Zevenbergen mengenai soal ini dalam bukunya terbit pada tahun 1925,
dalam Ibid. hal. 114-115.
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila
pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang
nyata ( riele machtsfactoren ). Meskipun norma yang bersangkutan didukung oleh
masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis negara, dan
memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik
yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin
mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan
perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan ( power
theory ) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu
norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma
hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan
bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah
cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang
bersangkutan dari segi politik.
4. Keberlakuan Sosiologis
Pandangan sosiologis mengenai keberlakuan ini cenderung lebih
mengutamakan pendekatan yang empiris dengan mengutamakan beberapa pilihan
kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan ( recognition theory), (ii) kriteria penerimaan (
reception theory ), atau (iii) kriteria faktisitas hukum. Kriteria pertama ( principle
of recognition ) menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur memang
mengakui keberadaan dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri
terhadap norma hukum yang bersangkutan. Jika subjek hukum yang bersangkutan
tidak merasa terikat, maka secara sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak
dapat dikatakan berlaku baginya.
Kriteria penerimaan sebagai kriteria kedua (principle of reception) pada
pokoknya berkenaan dengan kesadaran masyarakat yang bersangkutan untuk
menerima daya-atur, daya-ikat, dan daya-paksa norma hukum tersebut baginya.
Inilah yang dijadikan dasar Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa di
Hindia Belanda dahulu yang berlaku adalah hukum adat, bukan hukum Islam.
Menurutnya, kalaupun hukum Islam itu secara sosiologis dapat dikatakan berlaku,
maka hal itu semata-mata disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat hukum
adat sudah meresepsikannya ke dalam tradisi hukum adat masyarakat setempat171
Sedangkan kriteria ketiga menekankan pada kenyataan faktual (faktisitas
hukum), yaitu sejauh mana norma hukum itu sendiri memang sungguh-sungguh
berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat. Meskipun suatu norma hukum
secara juridis formal memang berlaku, diakui ( recognized ), dan diterima (
171 Pendapat Christian Snouck Hurgrognje ini banyak ditentang oleh para sarjana hukum Indonesia, terutama oleh Hazairin beserta murid-muridnya, seperti Sayuti Thalib, Mohammad Daud Ali, dan sebagainya. Bahkan, sarjana Belanda sendiri seperti C. van den Berg mempunyai pendapat yang sama sekali berbeda dengan Snouck Hurgrognje mengenai soal ini yang dikenal dengan istilah teori “receptie in complexu”. Sedangkan Hazairin dan Sayuti Thalib mengembangkan teori yang dikenal dengan "receptie a contrario". Lihat Hazairin, Op Cit.
received ) oleh masyarakat sebagai sesuatu yang memang ada ( exist ) dan berlaku
( valid ), tetapi dalam kenyataan praktiknya sama sekali tidak efektif, berarti dalam
faktanya norma hukum itu tidak berlaku. Oleh karena itu, suatu norma hokum baru
dapat berlaku secara sosiologis apabila norma dimaksud memang berlaku menurut
salah satu kriteria tersebut.
Dalam perspektif implementasi hukum bidang politik, kajian sosiologis
hukum menjadi lebih menarik, terutama dalam penyelesaian sengketa politik, yang
memperlihatkan banyaknya variabel yang ikut berpengaruh, namun sekaligus
memperlihatkan keefektifan penyelesaian perkara politik di luar jalur pengadilan,
yang dilakukan dengan melalui mediasi oleh pihak ketiga. Hal itu menunjukkan,
bahwa keadilan tidak hanya dapat diperoleh di pengadilan, tetapi lebih jauh dari
itu, keadilan yang sebenarnya muncul kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan
oleh para pihak yang bersengketa.
2.8 Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia
Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh
konsep hukum172 yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas
172 Oleh Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra, dalam Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hl. 111, konsep hukum diartikan : ”Sebagai garis-garis dasar , kebijaksanaan hukum yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum. Garis-garis dasar kebijaksanaan ini hakikatnya merupakan pernyataan sikap suatu masyarakat hukum terhadap berbagai pilihan tradisi atau budaya hukum, filsafat atau teori hukum, bentuk hukum, desain-desain pembentukan, dan penyelenggaraan hukum yang hendak dipilihnya (Dalam Hukum Sebagai Suatu Sistem, hlm. 111). Lebih lanjut dikatakan, Penetapan konsep ini merupakan tahap awal yang sangat penting bagi proses pembentukan, penyelenggaraan, dan pembangunan hukum suatu masyarakat hukum. Arti pentingnya terletak pada potensi yang dimiliki oleh suatu konsep hukum, yang pada gilirannya merupakan dasar dan orientasi bagi suatu proses penyelenggaraan dan pembangunan hukum. Pada tahap ini, suatu masyarakat hukum harus memilih dan menetapkan suatu desain pembentukan, penyelenggaraan, dan pembangunan hukum yang dipilihnya,
pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam
masyarakat sederhana, pembentukannya dapat berlangsung sebagai proses
penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses
pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan
kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat negara yang
menganut sistem Eropa Kontinental atau tradisi hukum sipil, pembentukannya
dilakukan oleh badan legislatif. Sedangkan dalam masyarakat negara yang
menganut tradisi hukum kebiasaan ( common law ) kewenangannya terpusat pada
hakim ( judges as a centralof legal creation )173.
Dalam perkembangannya, terutama di negara-negara ketiga,
berkecenderungan untuk menggabungkan kedua tradisi itu. Kecenderungan ini
tidak hanya terlihat pada negara-negara ketiga, tetapi juga pada negara-negara yang
pada mulanya secara ketat memegang salah satu dari kedua tradisi besar itu, seperti
Inggris, negara-negara Eropa, dan Amerika. Kecenderungan ini ini tampak sebagai
penjelajahan baru peradaban manusia dalam bidang hukum untuk mendapatkan
dengan seutuhnya mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, psikologi, dan seluruh aspek kemasyarakatannya. Mereka harus memilih desain yang mampu memelihara, mengembangkan, dan meningkatkan nilai-nilai peradaban yang dimilikinya. Untuk tradisi hukum, mereka harus memilih budaya hukum tertulis, tidak tertulis, atau kombinasi di antara keduanya, dengan mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing tradisi itu. Untuk filsafat atau teori hukum, mereka harus memilih positivisme hukum, mazhab sejarah, konsepsi hukum pragmatis, atau teori-teori lainnya, dengan sepenuhnya mempertimbangkan nilai-nilai yang melatarbelakangi dan yang terkandung dalam teori-teori atau konsep-konsep itu. Untuk pembentukan, penyelenggaraan, dan pembangunan hukum, mereka harus menetapkan sikap, konsep, dan detail-detail konsep dari masing-masing proses itu.
173 Ibid hlm. 112.
formulasi paling ideal bagi usaha perwujudan tujuan-tujuannya sebagai suatu
negara hukum.
Memang ada sedikit perbedaan antara perkembangan di Eropa kontinental
dan Inggris. Di Eropa yang mendasarkan pada hukum legislasi atau tertulis
perkembangan berjalan lebih cepat daripada Common Law di Inggris yang lebih
bersikukuh pada hukum tradisionalnya. Hukum Romawi yang coba dibawa ke
Inggris pada abad ke-enam ditolak karena akan mengganggu kontinuitas
perjalanan hukum yang berbasis tradisi itu ( Common Law ). Penolakan tersebut
menjelaskan mengapa Inggris tidak menyukai hukum yang dibuat melalui badan
perundang-undangan. Positivisme Inggris berbeda dari pada positivisme Eropa
Daratan.
Formulasi kombinatif kedua tradisi di atas memberikan kecenderungan
pembentukan hukum dapat dilakukan baik oleh hakim, lembaga legislatif, maupun
badan-badan administratif yang melakukan fungsi semacam itu. Risikonya
memang tidak kecil karena perluasan fungsi semacam itu dapat mengaburkan
kompetensi dari setiap komponen pembentuk hukum. Di samping secara kuantitas
hukum menjadi sangat kompleks, perluasan itu juga dapat mengakibatkan
overlapping substansi atau perselisihan pandangan tentang suatu gejala hukum.
Maka masalah serius yang segaris dengan lintasan masalah ini adalah kekaburan
hukum.
Negara Indonesia sebagai negara hukum, konsep hukumnya mengikuti
Eropa Kontinental, dimana pembentukan hukumnya dilakukan oleh badan
legislatif atau disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ). Landasan Juridis
pemberian kewenangan kekuasaan pembentukan undang-undang kepada badan
legislatif atau DPR didasarkan pada pertama, UUD 1945, yang merupakan hukum
dasar dan hukum tertinggi ( gerundgezetz, groundwet ) yang menjadi bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Pada Pasal
20 UUD 1945, Ayat (1) dikatakan : ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk”174. Kemudian ayat (2) : ”Setiap rancangan undang-
undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama”.175 Juga dalam ayat (5) : dikatakan : ”Dalam hal rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam
waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,
rancangan undang-undang terebut sah menjadi undang-undang”.
Oleh perancangnya, Ayat (5) dimaksudkan untuk mengantisipasi
kemungkinan karena sesuatu hal Presiden tidak mau memberikan persetujuannya
dan untuk menghindari keterlambatan dalam proses pembentukan undang-undang
karena pihak pemerintah tidak mau atau mengulur waktu untuk memberikan
174 Pasal ini merupakan hasil amandemen UUD 1945 yang pertama (1)175 Pasal ini hasil amandemen yang pertama (1)
persetujuan. Kemungkinan lain ayat (5) dimaksudkan untuk mensejajarkan
kewenangan dalam pembentukan undang-undang antara DPR dengan Presiden176.
Landasan Juridis kedua, yaitu UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan
Pembentukan Perundang-undangan. Kewenangan DPR dalam pembentukan
undang-undang secara rinci dalam undang-undang ini diatur dalam Bab IV tentang
”Perencanaan Penyusunan Undang-Undang” dan Bab V tentang ”Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan” ( Pasal 17 sampai Pasal 25 ).
Dalam Bab II tentang Asas Peraturan Perundang-undangan berisi Pasal 5, 6,
dan 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan bahwa dalam “membentuk”
Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik. Asas-asas yang dimaksud itu meliputi :
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan
keterbukaan.
Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan' adalah, bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas
yang hendak dicapai. Yang dimaksud dengan asas "kelembagaan atau organ 176 Pada rezim orde baru, meskipun kedudukan DPR sama dengan Presiden dalam pembentukan
undang-undang, namun dalam prakteknya, DPR seringkali tidak berdaya menghadapi tekanan dan intervensi dari Presiden. Itulah yang menjadikan hukum pada orde baru tidak lebih sebagai sarana dan alat untuk melindungi kepentingan penguasa atau instrumen of power.?
pembentuk yang tepat” adalah, bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Sedangkan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-
undangannya. Asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa, setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan
perundang-undangan di dalam masyarakat, baik secara filosofis, Juridis maupun
sosiologis. Sedangkan yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan
kehasilgunaan" adalah bahwa, setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Asas lain yang juga disebut di atas adalah asas "kejelasan rumusan", yaitu
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Sementara itu,
yang dimaksud sebagai asas "keterbukaan" adalah bahwa, dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk seluas-
luasnya memberikan masukan dalam proses pembuatan atau pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Pasal 6 ayat (i) UU No. 10 Tahun 2004 juga menentukan
adanya asas-asas yang harus terkandung dalam materi muatan setiap peraturan
perundang-undangan. Asas-asas yang dimaksud adalah asas :
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah, bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan
dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Selain itu, dianut pula adanya
"asas kemanusiaan", yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional. Sedangkan "asas kebangsaan" adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan dan watak bangsa
Indonesia yang pluralistik ( kebhinnekaan ) dengan tetap menjaga prinsip negara
kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, yang dimaksud dengan asas ”kekeluargaan" adalah bahwa,
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Asas
yang lain adalah "asas kenusantaraan”, yaitu bahwa, setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat
di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila. "Asas Bhinneka Tunggal Ika" adalah bahwa, setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk agama,
suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang
menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dam bernegara.
Demikian pula dengan "asas keadilan" dapat dipahami dengan pengertian
bahwa, setiap materi muatau peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. "Asas
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa, setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial. "Asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah
bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menim-
bulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Sedangkan yang dimaksud dengan ”asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan" adalah bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Selain asas-asas tersebut di atas, peraturan perundang-undangan tertentu
dapat pula berisi asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya, dalam bidang hukum
pidana dikenal luas antara lain adanya asas-asas, seperti asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), asas pembinaan narapidana,
dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Semua asas ini berlaku
dalam bidang hukum pidana yang dapat ditambahkan dalam rangka asas-asas
seperti yang dimaksud di atas. Sementara itu, dalam bidang hukum perdata, dapat
dikemukakan pula contoh, seperti adanya asas-asas yang bersifat universal, seperti
asas ikatan kesepakatan ( sanctity of contract ), asas kebebasan berkontrak
( freedom of contract ), dan asas itikad baik
( te goede trouw ).
2.9 Pembentukan Undang-Undang yang Demokratis
Pembahasan tentang pembentukan undang-undang yang demokratis tidak
bisa dilepaskan dari studi sosiologi hukum177. Apabila memang demikian, maka
pembentukan undang-undang akan dilakukan dengan melihat dan menempatkan
aktivitas tersebut dalam suatu konteks yang lebih substansial daripada artifisial.
Yang dimaksud artifisial adalah penyusunan undang-undang yang dikenal sebagai
legal drafing yang melihat penyusunan undang-undang pada kaidah-kaidah
konvensional-juridis-teknis. Berbeda dengan karakteristik tersebut, sosiologi
hukum tidak membahasnya sebagai suatu pekerjaan yang bersifat teknik dan
spesialistis, melainkan sebagai aktivitas masyarakat secara keseluruhan.
Ditempatkan pada model ”sociological jurisprudence” Donald Black, maka
penyusunan undang-undang akan dibicarakan sebagai suatu aktivitas yang
melibatkan struktur sosial dan perilaku masyarakat178. Disebabkan oleh kehadiran
faktor struktur sosial tersebut menjadi relevanlah untuk membicarakan penyusunan
undang-undang demokratis. Penyusunan undang-undang yang demokratis tidak
177 Ibid.178 Black, Donald, Sosiological Justice, New York : Oxford University Press, 1989, hlm. 21.
lain merupakan satu aspek dari pembuat undang-undang dalam suatu konteks
struktur sosial tertentu.
Dari perspektif sosiologi hukum, pokok pembicaraan mengenai penyusunan
undang-undang yang demokratis termasuk cukup relevan, semata-mata atas dasar
pertimbangan, bahwa tindakan dan pekerjaan dalam masyarakat tidak pernah dapat
diisolasikan secara steril, tetapi saling berhubungan antara subsistem yang satu
dengan subsistem yang lainnya.
Melihat penyusunan undang-undang sebagai aktivitas masyarakat secara
keseluruhan, mendorong kita untuk mempertanyakan kembali konstatasi-konstatasi
tradisional dan stereotopis tentang pekerjaan tersebut. Konstatasi stereotopis adalah
isue-isue yang ditanamkan dalam pembuatan undang-undang, seperti bahwa
undang- undang itu “mengatur masyarakat”, ”menertibkan masyarakat”,
”melindungi kepentingan umum”, dan ”menimbulkan efek yang dikehendaki”.
Dalam doktrin normatif-legalistik yang mendominasi pemikiran hukum,
pertanyaan-pertanyaan tersebut dilampaui saja ( taken for granted ). Dengan
demikian maka membuat undang-undang memang identik dengan mengatur dan
menertibkan masyarakat, melindungi masyarakat dan sebagainya. Sosiologi hukum
mempertanyakan kembali semua yang selama ini dalam doktrin normatif diterima
sebagai sesuatu yang sudah mapan, sehingga tidak perlu diragukan dan
dipertanyakan lagi. Pertanyaan itu adalah : apakah hukum itu benar-benar
melakukan hal-hal yang ingin ia lakukan ( doing what is said to do ), apakah
hukum itu memang sungguh-sungguh mengatur rakyat atau masyarakat ( really
ordering people ), dan apakah hukum itu memang pada akhirnya memberikan efek
seperti dikehendakinya ?
Jenis pertanyaan tersebut cukup relevan dalam sosiologi pembuatan hukum,
oleh karena menuntun kita kembali untuk dapat melihat kepada hakikat hukum
sebagai sarana untuk mengatur masyarakat secara substansial. Melalui koridor
pertanyaan tersebut kita akan mampu melihat penyusunan undang-undang sebagai
suatu cara untuk memajukan dan melindungi kepentingan tertentu atau
mengutamakan suatu kepentingan di atas yang lain. Informasi yang demikian itu
tentunya sangat relevan untuk mengetahui apakah suatu undang-undang itu disusun
secara demokratis atau tidak.
Selama ini pembuatan undang-undang lebih menitikberatkan pada kebenaran
prosedur saja, yang manakala suatu undang-undang sudah dibuat melalui prosedur
yang ditentukan, menjadilah ia undang-undang yang baik. Dari kaca mata sosiologi
hukum tidak cukup hanya sampai di situ, karena ingin tahu secara lebih mendalam,
seperti bagaimanakah muatan kepentingan undang-undang itu, misalnya seberapa
besar kepentingan fraksi-fraksi kecil terakomodir dalam undang-undang tersebut.
Apabila berbicara mengenai prosedur pembuatan undang-undang, misalnya dilihat
apakah undang-undang itu sudah dibuat menurut tata cara yang memungkinkan
suara rakyat diutarakan dengan sebaik-baiknya.
Studi hukum yang mulai ditarik keluar dari batas-batas ranah perundang-
undangan sudah terjadi sejak dekade abad dua puluh, yaitu dengan kemunculan
sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound ( 1911 ). Pound
mengajukan gagasan tentang suatu studi hukum yang juga memperhatikan efek
sosial dari bekerjanya hukum. Studi tentang hukum tidak bisa dibatasi hanya
tentang studi logis terhadap peraturan-peraturan hukum dan penerapannya,
melainkan juga akibat yang ditimbulkan terhadap masyarakat179.
Sejak sosiologi hukum melihat hukum sebagai bagian yang sama sekali tak
dapat dipisahkan dari masyarakat, maka pada waktu kita membicarakan masalah
penyusunan atau pembuatan undang-undang, pendekatan tersebut diterapkan juga.
Di atas sudah dikemukakan, bahwa pekerjaan tersebut tidak dapat dilihat sebagai
suatu kegiatan yang absolut otonom dan steril. Dalam kerangka penglihatan yang
demikian itu, pembuatan undang-undang bukan dilihat sebagai pekerjaan yang
bersifat teknis-profesional, melainkan suatu pekerjaan yang memiliki asal-usul
179 Roscou Pound, Scope and Purpose of Sosiological Jursiprudence, dalam Harvar Law Review, Jilid XXIV, No. 8, June, 1911 dan XXV No. 2 Dec. 1911.
sosial, tujuan sosial, serta dampak sosial. Oleh Bernard, hal ini disebut sebagai
proses rekonstruksi sosial.180
Apabila pembuatan undang-undang dijadikan obyek kajian ilmu
pengetahuan, maka aspek sosial tersebut harus dibicarakan dengan sebaik-baiknya.
Tuntutan tersebut semata-mata didasarkan pada tugas ilmu pengetahuan untuk
mengamati dengan cermat dan menjelaskan hal-hal yang menjadi obyek kajiannya.
Tanpa menempatkan pembuatan undang-undang dalam konteks tersebut di atas
sangatlah sulit untuk membuat deskripsi mengenai realitasnya yang penuh dan
penjelasan yang baik mengenai pembuatan undang-undang itu.
"To know the true of the community is what constitutes the sciensce of
legislation; the art consists in finding the means to realize that good...”. Begitulah
kata-kata pertama Jeremy Bentham dalam karyanya yang kemudian terkenal
dengan, "Theory of Legislation", yang diterbitkan pada Tahun 1975181.
180 Bernard, L. Tansya, Hukum dalam Ruang Sosial, Srikandi, Surabaya, 2005, hl. 3. Lebih lanjut, Bernard mengatakan, konsep "konstruksi sosial" ditawarkan Peter L. Berger, seorang ahli sosiologi pengetahuan, dalam rangka membahas gerak hidup relasi pengetahuan dan realitas, antara mind dan matter. Dengan mengatakan bahwa mind menciptakan matter, Berger mencoba mengoreksi sekaligus melengkapi ide dasar Marx yang melihat matter-lah yang menciptakan mind. Berger banyak dipengaruhi Edmund Husserl, seorang fenomenolog yang memberi konteks sosial atas konsep "dunia kehidupan" yang dipahami sebagai realitas sosial orang-orang biasa. Konsep dasar konstruksi sosial yang diajukan Berger, melihat masyarakat sebagai suatu proses yang berlangsung secara dialektis dan simultan, dengan mengikuti tiga momen, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Ketiga momen ini terus tanpa henti.Teori ini secara konseptual disajikan dalam tulisannya bersama T Luckmann, The Social Construc-tion of Reality, New York: Doubleday & Company, Inc, 1966.
181 Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, Bombay, India : NM. Triparti, 1975.
Dengan demikian studi terhadap pembuatan undang-undang sudah bersatu
belaka dengan studi dan penelitian sosiologis, oleh karena ia tak dapat melepaskan
diri dari “finding the means to realize the true good of the community”. Bentham
menekankan, bahwa obyek dari pemerintahan dan hukum adalah “the greatest
happiness of the community"182. Dengan mematok tujuan tersebut maka ilmu
hukum dan khususnya ilmu pembuatan hukum tidak dapat dipisahkan dari
sosiologi hukum183. Uraian Bentham mengenai "happiness of society" tersebut
mendekatkan kajian-kajiannya kepada sosiologi hukum, sejak dengan begitu ia
harus membicarakan masalah "pains and pleasures", "sensibilities", "ends of law",
"disposition", "expectations", dan lain-lainnya. Dengan bertindak seperti itu
Bentham berurusan dengan fakta sosial, melakukan kajian analitik kontekstual dan
taksonomis untuk mengorganisasikan fakta sosial dalam rangka suatu pengkajian
ilmiah. Kajian Bentham mengenai pembuatan hukum sudah keluar dari analisis
teknis legislasi ke arah pembahasannya di dalam kerangka kehidupan sosial yang
lebih besar. Ukuran-ukuran yang digunakan bukan lagi semata-mata rasionalitas,
logika, prosedur dan yang semacamnya, melainkan hal-hal yang lebih sosiologis
sifatnya sebagaimana dapat dibaca dari kutipan di sekitar Bentham tersebut diatas.
182 Ibid.183 Baxi, Upendra. “Introduction” dalam Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, Bombay,
India, N.M. Triarthi, 1975.
Salah satu aspek dari sosiologi pembuatan undang-undang adalah
penggunaan undang-undang untuk mewadahi atau menampung permasalahan
dalam masyarakat. Dengan demikian pembuatan undang- undang merefleksikan
hal-hal yang tengah terjadi dalam masyarakat, bagaimana masyarakat
mempersiapkannya, bagaimana keinginannya untuk menyelesaikan, dan
bagaimana masyarakat tidak ingin melihat hal-hal yang terjadi atau
menyembunyikannya.
Ditempatkan pada latar belakang tersebut, maka pembuatan undang-undang
dapat merupakan endapan dari konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam hubungan ini Duverger mengatakan bahwa sejak undang-undang selalu
merupakan endapan dari adu kekuatan politik, maka ia juga memanggil terjadinya
konflik-konflik dalam masyarakat184.
Undang-undang dapat dibuat sebagai sarana penyelesaian konflik, tetapi
sekaligus juga bisa menimbulkan konflik-konflik baru. Suatu undang-undang yang
pada saat diundangkan mendapat pujian, tidak menutup kemungkinan bagi
184 Schuyt, C.J.M. Rectts Sociologie, Rotterdam : Universitarire Pers, 1971, hl. 99.
timbulnya konflik di belakang hari185. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa
undang-undang menyimpan potensi konflik.
Tentang pembentukan hukum yang demokratis, juga dapat dijelaskan
dengan teori komunikasi dari Habermas.186 Teori ini menjelaskan kesejajaran
berdialog dalam perumusan hukum. Pengambilan teori ini untuk menjelaskan
pembentukan undang-undang yang demokratis, lebih dasarkan pada realita, bahwa
proses pembentukan undang-undang tidak dapat dipisahkan dari interaksi
komunikasi para legislator. Oleh karena itu dapat dikatakan baik atau buruknya
undang-undang sangat dipengaruhi oleh corak komunikasi atau dialog para
legislator pada saat pembentukan undang-undang187.
Menurut Habermas, perbincangan ( diskursus ) yang bisa dikategorikan
sebagai perbincangan yang ”baik” harus memenuhi beberapa syarat. Syarat itu
antara lain, adalah bahwa individu yang terlibat harus sepenuhnya bebas188,
dipandang dan diperlakukan sejajar, serta mampu berpikir rasional. Dua syarat
pertama penting untuk menciptakan perbincangan yang sungguh fair, sedang 185 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, adalah contoh yang bagus untuk
menjelaskan hal ini. Pada saat undang-undang tersebut diundangkan, banyak pujian dan harapan, karena dengan UU tersebut akan terwujud pemerintahan yang demokratis, yang dimulai dari penyelenggaraan Kepala Daerah secara langsung dan demokratis. Namun setelah UU terebut diimplementasikan, banyak gugatan berupa uji materiil terhadap beberapa pasal UU tersebut karena merugikan hak konstitusional warga negara. Oleh sebagian masyarakat UU tersebut juga dituding sebagai biang terjadinya konflik dalam penyelenggaraan Kepala Daerah karena beberapa pasalnya memang berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat, seperti pasal yang mengatur tentang tata cara rekrutmen pasangan Kepala Daerah berikut pencalonannya di KPUD.
186 Hubermas, Jurgen , 2001 Between Fact an Norm, Constribution to a discourse theory of Law and Democrasy (alih bahasa : William Rehg), Massachusetts, The MIPR Press.
187 Hasil diskusi penstudi dengan beberapa ahli bahasa Universitas negeri Semarang pada saat bedah Focus Goup Discussion (FGD) untuk membedah disertasi ini dari prespetik kebahasaan.
188 Yang dimaksud disini, yaitu suatu kondisi di mana para legislator tidak mendapat tekanan dari manapun, seperti partai-fraksi, atau kelompok pressure group, sehingga dapat melakukan olah pikir dengan baik.
syarat ketiga penting untuk menciptakan pertimbangan yang dapat dipertanggung-
jawabkan secara etis dan moral. Lebih lanjut Habermas mengatakan, kompromi
dalam merumuskan hukum harus memenuhi tiga syarat, yaitu (a) lebih
menguntungkan bagi semua daripada sama sekali tidak ada kesepakatan, (b)
menghindari ”penumpang gelap” ( free riders ) yang menarik diri dari kerja sama,
dan (c) menghindarkan adanya pihak-pihak yang dirugikan, yaitu yang memberi
terlalu banyak bagi kerjasama itu padahal hanya mendapatkan sedikit keuntungan.
Jika semua syarat komunikasi dalam berdialog merumuskan hukum dan
kompromi sebagaimana disyaratkan oleh Habermas tersebut dapat dilakukan
dalam proses pembentukan undang-undang oleh wakil rakyat di DPR, maka dapat
dikatakan proses pembentukan undang-undang telah berjalan secara demokratis.
Tetapi sebaliknya, jika syarat tersebut tidak dapat penuhi, tidak salah jika
dikatakan proses pembentukan undang-undang tidak demokratis189.
Menurut Satjipto Rahardjo, penyusunan atau pembuat undang-undang, pada
dasarnya merupakan suatu aktivitas yang melibatkan struktur sosial dan perilaku
masyarakat. Di dalam sosial kemasyarakatan yang demokratis, maka akan terdapat
penyusunan undang-undang yang demokratis pula, sehingga akan menghasilkan
sistem dan tatanan hukum yang demokratis. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo
mengatakan, kualitas penyusunan undang-undang yang demokratis akan berjalan
189 Teori Habermas ini akan digunakan oleh penstudi sebagai salah satu pisau analisis dalam membahas pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada bab III.
sesuai dengan dinamika demokratisasi dalam masyarakat. Untuk menyusun
Undang-Undang yang demokratis, dapatlah ditempuh dengan menciptakan
”transparansi” dan ”partisipasi” ( lebih besar ) dalam pembuatan hukum.
Sedangkan di dalam masyarakat dan sistem sosial totalitarian, akan menghasilkan
sistem dan tatanan hukum yang totalitarian, meskipun tidak tertutup kemungkinan
hukum yang totalitarian tersebut dapat muncul dalam tradisi kultur hukum yang
biasa/normal190.
Dari studi ini akhirnya dapat ditarik suatu kongklusi, yaitu ”pembentukan
undang-undang yang demokratis tidak dapat dipisahkan dari pengaruh lingkungan
sosialnya”. Bagaimanapun, pendekatan dan analisis sosiologi hukum akan
menempatkan hukum di dalam konteks, apakah itu struktur dan perilaku sosial
yang melingkupinya. Dalam kontek disertasi ini, maka tesis tersebut dapat
didiskripsikan sebagai berikut :
1. Interaksi politik dalam pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak dapat
dipisahkan dari struktur politik dan perilaku politik yang melingkupi. Dalam
hal ini yang dimasud struktur dan perilaku sosial adalah struktur politik dan
lingkungan politik pada saat pembentukan UU tersebut dilakukan.
2. Struktur dan perilaku politik yang demokratis sangat berpengaruh pada
karakter atau corak undang-undang yang dihasilkan menjadi undang-undang
yang demokratis. Dalam konteks UU Nomor 32 Tahun 2004, tingkat dinamika
demokrasi yang terjadi pada saat pembentukan undang-undang tersebut akan
berpengaruh pada muatan atau isi UU Pemda tersebut.190 Jurnal Ilmu Hukum, vol. 2 Fakultas Hukum UMS, Badan Penerbit UMS, Surakarta, Th. 1999.