Post on 20-Jun-2015
TUGAS ULUMUL HADITSDosen Pengampu : Ahmadi, M.Pd
Disusun Oleh :
MAWADAH WAROHMAH
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2013 / 2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat serta
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Walaupun masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, namun
penulis berharap agar makalah ini dapat dipergunakan dan di manfaatkan baik di
dalam kampus atau diluar kampus. Dalam melaksanakan makalah ini banyak
pihak yang terlibat dan membantu sehingga dapat menjadi satu makalah yang
dapat di baca dan dimanfaatkan. Akhirnya kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Sekian dari saya
mengucapkan banyak terima kasih
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah
Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah
keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam
kajian keislaman. Secara struktural hadits merupakan sumber ajaran islam
setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak menemukan
penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam Al-Qur’an,
maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu, hadits
merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu
hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul
(hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang
tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih
dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits Mardud salah satunya
adalah hadits Dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama
hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat.
Dalam hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah
suatu hadits dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak.
B. PERUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut;
1. Apa pengertian hadits Shahih, Hasan dan Dhoif?
2. Apa syarat-syarat hadits Shahih?
3. Apa penyebab hadits dhoif Serta macam-macamnya?
4. Bagaimana tingkatan-tingkatan shahih?
C. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai sarana untuk menambah
ilmu pengetahuan yang telah kita miliki terutama tentang ilmu hadits
mengenai Hadits Shahih, Hasan dan Dhoif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ILMU HADITS
Hadits merupakan kalimat musytaq dari kalimat hadatsa secara bahasa
yaitu baru, terjadi, sedangkan secara istilah adalah apa yang disandarkan
kepada nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan shifat
tabiat dan akhlaqnya.
Didalam pembahasan ilmu mustholahul hadits ada satu pembahasan
mengenai khobar (hadits) terdapat yang maqbul dan mardud. Khobar maqbul
adalah kebenaran orang yang menyampaikan khobarnya itu lebih
kuat/terpercaya (rajih) serta wajib dijadikan sebagai hujjah (dalil) dan
mengamalkanya. Sedangkan khobar mardud adalah kebenaran orang yang
menyampaikan khobarnya itu tidak kuat/terpercaya serta tidak boleh dijadikan
sebagai hujjah (dalil). Adapu khobar maqbul ditinjau dari perbedaan derajat
dibagi atas dua yaitu shahih dan hasan.
B. PEMBAGIAN HADITS SESUAI DENGAN PERBEDAAN DERAJAT
1. Hadits Shahih
a) Pengertian Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha -
yashihhu - suhhan wa sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari
cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu :
�ة� ل ع� � و�ال ذ�و�ذ� ش� �ر� غ�ي م�ن� �ه�اه� �ت م�ن �لى� إ �ه� �ل م�ث ع�ن� �ط� الض�اب الع�د�ل� �ق�ل� �ن ب �د�ه� ن س� �ص�ل� �ت ا .م�ا
Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad
dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat. Imam Al-Suyuti
mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung
sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz
dan tidak ber’ilat”.
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam
Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat
dijadikan hujah, yaitu: pertama, apabila diriwayatkan oleh para
perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal
sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan
dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi
perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad,
terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi
hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan
orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat), kedua,
rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau
dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
b) Syarat-syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
Setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari
perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian
sampai akhir sanad dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi
terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang
menerima hadits langsung dari Nabi,bersambung dalam
periwayatannya. Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung
bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para
perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang
rawi yang dha’if, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat
mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya
sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala
tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.
3) Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut
mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang
diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah
mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah
didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut
kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang
disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau
didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang
lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya
4) Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang
bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah
perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini
dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih
kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau
jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus
diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah
penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
5) Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat
penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat
merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika
dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya
kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya
menjadi tidak shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits
tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak terdapat
kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi baik pada
sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-
sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah
pada sanad.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut
�ن� ب �ر� �ي ب ج� �ن� ب م�ح�م�د� ع�ن� ه�اب� ش� �ن� اب ع�ن� م�ال�ك/ �ا ن �ر� ب خ�� أ ق�ال� �و�س�ف� ي �ن� ب �د�الله� ع�ب �ا �ن ح�د�ث
)" . رواه �الط;و�ر� ب �م�غ�ر�ب� ال ف�ي� أ ق�ر� صم الله� و�ل� س� ر� م�ع�ت� س� ق�ال� �ه� �ي ب
� أ ع�ن� � م�ط�ع�م
البخاري)
" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin
jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar
rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR.
Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
1) Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut
mendengar dari gurunya.
2) Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi
hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a) Abdullah bin yusuf : tsiqat muttaqin.
b) Malik bin Annas : imam hafid
c) Ibnu Syihab Aj-Juhri : Ahli fiqih dan Hafidz
d) Muhammad bin Jubair : Tsiqat.
e) Jubair bin muth'im : Shahabat.
3) Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih
kuat serta tidak cacat.
c) Klasifikasi Hadits Shahih
1. Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya
bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-
orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan
‘Illat yang tercela.
2. Hadits Shahih li - Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya
hanya berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain
yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi
hadits shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits
shahih li-ghairihi.
حتى بالصدق مشهورا كونه مع بط الضا فظ الحا درجة متأخراعن رواته ماكان هو
ذالك يجبر ما أوارجح لطريقه مساو اخر طريق من فيه وجد ثم حسنا حديثه يكون
فيه القصورالواقع
Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula
merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi’ dan syahid, maka
kedudukannya berubah menjadi shahih li - Ghairihi.
d) Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib
diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma
hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi
dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya
sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu
al-Quran dan hadits mutawatir. oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan aqidah.
e) Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan
rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya.
Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan
sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi
derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari
Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu
Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang
tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan
sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya
lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu
Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh
tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut
1) Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja
4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-
Bukhari dan Muslim
5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-
Bukhari saja
6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan
Muslim saja
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari
dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara
berurutan sebagai berikut:
1) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2) Shahih Muslim (w. 261 H).
3) Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4) Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5) Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6) Shahih Ibn As-Sakan.
7) Shahih Al-Abani.
3. Hadits Hasan
a) Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat
“al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang
dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-
Atsqalani yaitu:
� و�ال ذ�و�ذ� ش� �ر� غ�ي م�ن� �ه�اه� �ت م�ن �ل�ى إ �ه� �ل م�ث ع�ن� �ط�ه� ض�ب خ�ف� �ذ�ي� ال �ع�د�ل� ال �ق�ل� �ن ب �د�ه� ن س� �ص�ل� �ت ا م�ا
�ة� ل ." ع�
Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak
syad dan tidak pula cacat. Pada dasarnya, hadits hasan dengan
hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang
hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang
meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara
hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama. Contoh hadits
hasan adalah sebagai berikut:
�ن� ب �ر� �ك ب �ي ب� أ ع�ن� �ي �ج�و�ن ال ان� ع�م�ر� �ي� ب
� أ ع�ن� �ع�ي الض;ب �م�ان� �ي ل س� �ن� ب ج�ع�ف�ر� �ا �ن ح�د�ث �ة� �ب �ي ق�ت �ا �ن حد�ث
صم : : : الله� و�ل� س� ر� ق�ال� �ق�و�ل� ي Wالع�د�و ة� �ح�ض�ر� ب �ي ب� أ م�ع�ت� س� ق�ال� ع�ر�ي� ش�
� األ� م�و�س�ي �ي ب� أ
الحديث ..... �و�ف� ي الس; �ل� ظ�ال �ح�ت� ت �ة� ن �ج� ال �و�اب� ب� أ �ن� " إ
Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan
kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu
bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku
berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda :
sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…
”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
b) Klasifikasi Hadits Hasan
1) Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan
yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad
hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat
(‘Illat) yang merusak hadits.
2) Hadits Hasan li-Ghairi Hadits yang pada sanadnya ada
perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi dia
bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam
meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad
lain yang bersesuaian dengan maknanya. Jumhur ulama
muhaddisin memeberikan definisi tentang haditst hasan li-
Ghairihi sebagai berikut:
. منه والظهر الخطاء كثير وليسمغفال أهليته تتحقق لم مستور من مااليخلوإسناده
, آخر وجه من نحوه أو مثله برويتة معروفا الحديث متن ويكون مفسق سبب
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur
(tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak
tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya
adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna
dari sesuatu segi yang lain.
Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dha’if.
Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia
meningkat menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang
menolong, maka hadits tersebut akan tetap berkualitas dha’if.
c) Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun
derajatnya dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat
diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam
menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama
hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang
kehujjahan hadits hasan.
4. Hadits Dhoif
1) Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah,
sedangkan secara istilah yaitu;
و�ط�ه� ر� ش� م�ن� ط� ر� ش� �ف�ق�د� ب ، �ح�س�ن� ال ص�ف�ة� �ج�م�ع� ي �م� ل م�ا
Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi)
dengan cara hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits
itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang
hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat
dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang sangat lemah. Karena
kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya
sebagai dasar hukum.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;
" ة� " �ر� ي ه�ر� �ي ب� أ ع�ن� �م�ي ي اله�ج� �م�ة� �م�ي ت �ي ب
� أ ع�ن� � م �ر� ث� األ � �م ح�ك�ي �ق� ط�ر�ي م�ن� �ذ�ي� م�ي Wر� الت ج�ه� خ�ر�
� م�اأ
ل� : " �ز� �ن أ �م�ا ب �ف�ر� ك ف�ق�د� �ا �اه�ن ك و�� أ �ر�ه�ا د�ب ف�ي fأة �م�ر� ا و�
� أ f �ضا ائ ح� �ي �ت أ م�ن� ق�ال� صم Wي� �ب الن ع�ن�
م�ح�مWد� " ع�ل�ى
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami
“dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia
berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang
perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah
mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi
Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini :
“ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim
al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari
segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami
sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut
Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang
yang bermuka dua.
Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:
1) Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas
2 bagian yang perama adalah terputus secara dzhohir (nyata) :
a) Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad
baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu
orang sesudah tabi’in (Sahabat).
c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau
lebih secara berurutan.
d) Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada
sanadnya dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia
bertemu atau sezaman dengannya apa yang ia tidak pernah
dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan
yang lainnya seperti qaala.
2) Sebab penyakit pada rawi
3) Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam
adalah dan dhobit (hafalannya), adapun yang pertama penyakit
pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
a) Pendusta
b) Tertuduh dusta
c) Fasiq
d) Bid’ah
e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu
a) Jelek hafalannya
b) Lalai
c) Menyelisihi yang tsiqat
d) Ucapan yang menipu
e) Klasifikasi Hadits Dha’if
Dha’if karena tidak bersambung sanadnya
a) Hadits Munqathi Hadits yang gugur sanadnya di satu
tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama
seseorang yang tidak dikenal.
b) Hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari
awal sanadnya secara berturut-turut.
c) Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang
dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir
tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang
pertama menerima hadits dari Rasul Saw
Mursal al-Jali Hadits yang tidak disebutkannya (gugur)
nama sahabat dilakukan oleh tabi’in besar.
Mursal al-Khafi. Pengguguran nama sahabat dilakukan
oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits
yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup
sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar
sebuah hadits.
d) Hadits Mu’dhal
Hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-
turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-
tabi'in maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy
e) Hadits Mudallas yaitu hadits yang diriwayatkan menurut
cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat
cacat
Dha’if karena tiadanya syarat adi
1. Hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang
ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa
dan dusta, baik sengaja maupun tidak
2. Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh
dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau
tanpak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun
perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun
ragu.
3. Dha’if karena tiadanya Dhabit.
a. Hadits Mudraj
Hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan,
padahal bukan (bagian dari) hadits
b. Hadits Maqlub
Hadits yang lafaz matannya terukur pada salah
seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian
didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya
disebutkan belakangan, atau mengakhirkan
penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau
dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang
lain
c. Hadits Mudhtharib
Hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang
berbeda padahal dari satu perawi dua atau lebih,
atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan
tidak bisa ditarjih.
d. Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya
dengan hadits riwayat lain terjadi karena perubahan
titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak
berubah. Hadits Muharraf yaitu hadits yang
perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan
syakal kata sedangkan bentuk tulisannya tidak
berubah.
4. Dha’if karena Kejanggalan dan kecacatan
a. Hadits Syad
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul,
akan tetapi bertentangan (matannya) dengan
periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih
utama.
b. Hadits Mu’allal
Hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan
penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya
tampak selamat dari cacat
5. Dha’if dari segi matan
a. Hadits Mauquf
Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik
berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya.
Periwayatannya, baik sanadnya bersambung
maupun terputus
b. Hadits Maqthu
Hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan
disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun
perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu
adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in
c. Kehujahan Hadits Dhoif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits
kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-
Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh
digunakan, dengan beberapa syarat:
a) Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu
sangat banyak jenisnya dan banyak
jenjangnya. Dari yang paling parah sampai
yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di
antara hadits dhaif yang bisa dijadikan
hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah
dan syariah (hukum halal haram). Hadits
yang level kedhaifannya tidak terlalu parah,
boleh digunakan untuk perkara fadahilul
a’mal (keutamaan amal).
b) Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau
dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul
a’mal, harus didampingi dengan hadits
lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus
shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi
pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash
yang sudah shahih.
c) Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh
meyakini Ke-Tsabit-annya. Maksudnya,
ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu,
kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini
merupakan sabda Rasululah SAW atau
perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan
adalah bahwa kita masih menduga atas
kepastian datangnya informasi ini dari
Rasulullah SAW.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Derajat suatu hadits itu memiliki beberapa kemungkinan, bisa saja kita
katakan shahih, hasan, ataupun dhaif itu tergantung kepada 2 hal yaitu
keadaan sanadnya dan keadaan perawinya. Akan tetapi oleh para ulama telah
diberikan kemudahan bagi para peneliti hadits untuk mengetahui derajat
hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits seperti yang paling terkenal adalah
kitab “tahzibul kamal fi asmaail rijal” yang menerangkan tentang keadaan
perawinya, apakah dia itu pendusta, bid’ah, fasiq dan yang lainnya. Akan
tetapi semua ulama telah sepakat tentang keshahihan hadits yang dikeluarkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga kita tidak perlu lagi untuk
meneliti atas kedaan sanad dan perawinya akan tetapi yang mesti ingat hadits-
hadits selain dari imam bukhari dan imam muslim mesti kita telaah kembali
akan keshahihannya.