Tugas 5

Post on 04-Dec-2015

219 views 2 download

description

Hukum Agraria

Transcript of Tugas 5

SENGKETA TANAH SRIWEDARITaman Sriwedari adalah sebuah kompleks taman di Kecamatan

Lawiyan, Kota Surakarta. Sejak era Pakubuwana X, Taman Sriwedari menjadi tempat diselenggarakannya tradisi hiburan Malam Selikuran. Saat ini kepemilikan Taman Sriwedari menjadi sengketa antara Pemerintah Kota Surakarta dengan ahli waris keluarga KRMT Wirjodiningrat. Pemerintah Kota Solo dan ahli waris keluarga KRMT Wirjodiningrat, saling mengklaim berhak mengelola atau memilki lahan seluas 9,9 hektar di jantung Kota Solo tersebut.

Sejarah tanah Sriwedari dimulai pada 13 Juli 1877, Raden Mas Tumenggung (RMT) Wirjodiningrat membeli tanah seluas kurang lebih 99.889 M2 (10ha) dari Mr Yohannes Busselar, seorang pedagang Belanda. Jual beli tertuang dalam Akta Jual Beli Nomor 10 pada 13 Juli 1877 yang dibuat dihadapan notaris Mr Pieter Yacobus Serle di Surakarta. Setelah jual beli, RMT Wirjodiningrat mengantongi bukti kepemilikan tanah Sriwedari seluas 10 ha dalam kutipan Recht Van Eigendom (R.V.E) Verponding Nomor 295.

Setelah Kemerdekaan, tanah seluas 10 ha tersebut, menurut Anwar Rachman SH MH, selaku kuasa hukum ahli waris RMT Wirjodiningrat, dipakai Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta untuk Museum Radya Pustaka, Taman Hiburan Rakyat Sriwedari dan Stadion Olahraga Sriwedari tanpa seizin ahli waris Wirjodiningrat. Ahli waris RMT Wirjodiningrat, kemudian pada 24 September 1970 mengajukan gugatan kepada Pemkot Surakarta, Yayasan Radya Pustaka dan Penguasa Keraton ke PN Surakarta.

Dalam risalah putusan pengadilan yang dirangkum secara singkat, dalam gugatan perdata itu, pengadilan memutuskan tanah persil persil Recht Van Eigendom (R.V.E.) Verponding Nomor 295 dan bangunan yang berdiri di atasnya adalah milik RMT Wirdjodiningrat dan merupakan barang peninggalan yang belum dibagi waris dan menyatakan Pemkot Surakarta tidak berhak menguasai dan menempati tanah atau bangunan tersebut serta menghukum Pemkot Surakarta untuk membayar sewa tanah/bangunan yang selama ini ditempati dan putusan tersebut dikukuhkan Mahkamah Agung pada tanggal 17 Maret 1983.

Sengketa tanah muncul kembali setelah ahli waris alm. R.M.T.Wiryodiningrat mengetahui bahwa tanah Sriwedari ternyata

oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta telah diterbitkan sertipikat Hak Pakai Nomor 11 dan 15 ke atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta dengan luas tanah 98.889 m2. Ahli waris R.M.T.Wiryodiningrat sangat dirugikan dengan terbitnya 2 sertifikat Hak Pakai Nomor tersebut.

Pada tanggal 4 November 2002 ahli waris R.M.T.Wiryodiningrat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dalam rangka membatalkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 11 dan 15 tersebut. Dalam putusan tertanggal 17 Juni 2003 menyatakan, majelis hakim membatalkan sertifikat Hak Pakai No:11 dan No:15 Sriwedari atas nama Pemkot Surakarta dan memerintahkan Kantor Pertanahan mencabut kedua sertifikat tersebut. Setelah kalah, Kantor Pertanahan Surakarta mengajukan banding sampai Kasasi ke MA. Pada tanggal 20 Pebruari 2006, MA menolak kasasi dan menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dan atas putusan Mahkamah Agung tersebut, Kantor Pertanahan Surakarta mengajukan PK dan permohonan PK ditolak oleh MA RI pada tanggal 17 April 2009.

Untuk memperoleh hakhaknya yang masih dikuasai Pemkot Surakarta, ahli waris Wirjodiningrat mengajukan gugatan pengosongan ke PN Surakarta. Namun gugatan tersebut, oleh majelis hakim tidak dapat diterima karena nebis in idem, dengan pertimbangan, dalam perkara yang sama telah diputus dan Pemkot Surakarta telah membayar uang ganti rugi sewa tanah yang ditempati kepada ahli waris.

Berdasar putusan PN Surakarta itu, ahli waris mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang dan telah diputus pada 16 Juli 2012 dengan putusan, Membatalkan putusan PN Surakarta dan menyatakan tanah dan bangunan obyek sengketa seluas 99.889 M2, milik para penggugat selaku ahli waris almarhum Wirjodiningrat serta menghukum para tergugat dan atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk menyerahkan tanah seluas 99.889 M2 beserta bangunan yang ada di atasnya kepada ahli waris RMT Wirjodiningrat.

Atas putusan banding Pengadilan Tinggi Semarang tersebut, Pemkot Surakarta mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan permohonan kasasi telah diputus tanggal 5 Desember 2013 dengan amar putusan: Menolak Permohonan Kasasi Pemkot Surakarta. Putusan MA itu

baru diterima ahli waris pada pertengahan Desember 2014 dan oleh juru sita pengadilan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.

Perkara itu terus bergulir hingga saat ini. Setelah melalui proses di semua tingkat peradilan selama puluhan tahun, Mahkamah Agung (MA) memenangkan Wirjodiningrat sebagai pemilik lahan Sriwedari. MA juga memerintahkan Pemkot Surakarta segera mengosongkan lahan Sriwedari. Kasus sengketa tersebut saat ini masih dalam proses peninjauan kembali (PK). Di tengah proses PK itulah, Pengadilan Negeri (PN) Solo berdasarkan putusan MA mengirimkan Aannaming atau teguran kepada Pemkot Suolo, pengelola Museum Radya Pustaka, dan Keraton Surakarta supaya hadir di kantor PN Solo pada 29 September 2015. Aannaming juga memerintahkan ketiga lembaga itu mengosongkan Museum Radya Pustaka, karena delapan hari setelah kehadiran mereka PN akan mengeksekusi. Pejabat Wali Kota Solo, Budi Suharto, melawan teguran itu dengan mengajukan penundaan eksekusi karena Sriwedari merupakan ruang publik. Tak hanya Pemkot Solo, para seniman dan budayawan pun melakukan perlawanan.

Pakar hukum dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Muh Jamin, menilai posisi Pemkot Solo memang lemah dari sisi hukum. Namun, di sisi lain, dia melihat Sriwedari merupakan salah satu ikon kota. Menurutnya, demi kepentingan publik, sebaiknya tidak semua lahan Sriwedari dieksekusi. Kemudian, dari sisi hukum Pemkot Solo berada di posisi yang lemah. Sengketa ini sudah lama berlangsung, dan upaya hukum yang dilakukan Pemkot juga selalu kalah. Dia mengatakan keputusan MA 2013 lalu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu sudah semestinya pelaksanaan pengosongan itu dilaksanakan. Menurutnya, ketika Pemkot Solo mengalah, hal itu bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk menaati proses hukum yang berlaku. Kalau selama ini masyarakat dituntut untuk taat hukum. Kenapa ini tidak dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini Pemkot Solo).

Di sisi lain, keberadaan Sriwedari saat ini sudah melekat sebagai ikon Kota Solo. Sriwedari juga sudah melekat menjadi kepentingan publik dan sudah menjadi bagian sejarah kota. Menurutnya, sebaiknya tidak semua lahan di Sriwedari dieksekusi. Jadi harus ada pemahaman kepada ahli waris, bahwa soal Sriwedari ini bukan hanya kepentingan Pemkot saja, tetapi juga kepentingan publik. Di sana ada Radya Pustaka yang

sudah menjadi benda cagar budaya. Jadi sriwedari tidak sepenuhnya diserahkan ke ahli waris. Harus ada win-win solution untuk menyelesaikan sengketa tanah sriwedari ini. Kedua pihak yaitu ahli waris dan Pemkot Solo harus ada pengorbanan demi kepentingan publik.

Sumber: id.wikipedia.org berita.suaramerdeka.com merdeka.com solopos.com