Post on 24-Mar-2019
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Contoh
Anak Usia Sekolah
Menurut RSCM dan PERSAGI (1994), dalam bidang ilmu gizi dan
kesehatan, anak dikelompokkan menjadi usia prasekolah (1-6 tahun), anak usia
sekolah (7-12 tahun), dan remaja (13-18 tahun). Soetardjo (2011)
mengelompokkan anak berdasarkan usia menjadi tiga golongan yaitu: usia 1-3
tahun, 4-6 tahun, dan 7-9 tahun. Usia 1-3 tahun dan 4-6 tahun disebut sebagai
usia pra-sekolah, sedangkan usia 7-9 tahun sebagai usia sekolah. Laju
pertumbuhan pada ketiga kelompok anak ini menurun dibandingkan dengan laju
pertumbuhan cepat pada waktu bayi. Selama masa ini, anak memperoleh
keterampilan yang memungkinkannya untuk makan secara bebas dan
mengembangkan kesukaan makannya sendiri. Perkembangan keterampilan otot
membuat aktivitas fisiknya meningkat.
Anak usia sekolah berusaha mengembangkan kebebasan dan
membentuk nilai-nilai pribadi. Perbedaan antar anak antara lain tampak pada
kecepatan tumbuh, pola aktivitas, kebutuhan gizi, perkembangan kepribadian,
dan asupan makanan (Soetardjo 2011).
Kebutuhan gizi antar anak berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh ukuran dan
komposisi tubuh, pola aktivitas, dan kecepatan tumbuh. Ketersediaan dan
diterimanya makanan oleh anak tidak hanya ditentukan oleh pilihan makanan
orang tua, tetapi juga oleh keadaan lingkungan pada waktu makan, pengaruh
teman sebaya, iklan, dan pengalaman anak tentang makanan sebelumnya
(Soetardjo 2011).
Jenis Kelamin
Jumlah penderita anemia lebih banyak wanita dibanding pria. Beberapa
alasan wanita lebih banyak terkena anemia yaitu 1) Pada umumnya masyarakat
Indonesia lebih banyak mengonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani,
sehingga masih banyak yang menderita anemia; 2) Wanita lebih jarang makan
makanan hewani dan sering melakukan diit pengurangan makan karena ingin
langsing; 3) Mengalami haid setiap bulan, sehingga membutuhkan zat besi dua
kali lebih banyak daripada pria (Depkes 1998).
Uang Saku
Berdasarkan hasil penelitian Syafitri et al. (2009) mengenai kebiasaan
jajan siswa sekolah dasar menunjukkan bahwa lebih dari separuh siswa
6
mengalokasikan uang sakunya untuk keperluan membeli makanan jajanan
(68%). Terdapat hubungan yang positif dan signifikan (p<0.01) antara alokasi
uang saku untuk membeli jajanan dengan jumlah jenis makanan yang dibeli
siswa.
Karakteristik Orang Tua Contoh
Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola
konsumsi pangan, dan status gizi. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung
memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan
jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga
kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1989).
Pekerjaan Orang Tua
Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan. Semakin
tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak semakin besar (Engel et al 1994 diacu dalam Lusiana 2008). Pekerjaan
kepala keluarga berpengaruh terhadap status kesehatan keluarga (Sukarni
1994).
Hemoglobin Hemoglobin ialah sejenis pigmen yang terdapat dalam sel darah merah,
bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Hemoglobin yang
mewakili lebih dari 95% dari protein pada sel darah merah, mengandung 60%
besi tubuh. (Brody 1994). Setiap molekul hemoglobin merupakan konjugasi dari
protein (globin) dan empat molekul hem (Gibson 2005).
Nilai hemoglobin darah merupakan salah satu indikator paling umum
yang digunakan untuk mengetahui anemia gizi besi. Nilai hemoglobin kurang
peka terhadap tahap awal kekurangan besi, akan tetapi berguna untuk
mengetahui beratnya anemia. Nilai hemoglobin yang rendah menggambarkan
kekurangan besi yang sudah lanjut. Hemoglobin merupakan indikator yang
paling sering digunakan untuk melihat defisiensi besi karena murah, mudah
untuk dilakukan, dan cepat. Tetapi, kadar hemoglobin juga dipengaruhi oleh
faktor lain selain defisiensi besi. Nilai Hb yang rendah mungkin juga disebabkan
oleh kekurangan protein atau vitamin B6 (Almatsier 2006).
Berkurangnya kadar hemoglobin dalam sel darah merah berbanding lurus
dengan banyaknya zat besi yang tersedia dalam sel darah merah. Bila intake zat
7
besi yang dikonsumsi dari bahan pangan sedikit maka produktivitas hemoglobin
akan menurun (Depkes 1998).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kadar hemoglobin dalam
darah anak sekolah adalah:
a. Variasi biologis individu
Variasi biologis individu akan mempengaruhi kadar hemoglobin. Kadar
hemoglobin cenderung lebih rendah pada saat sore hari dibanding pagi hari
(Gibson 2005).
b. Umur dan jenis kelamin
Umur dan jenis kelamin adalah faktor penting yang menentukan kadar
hemoglobin. Nilai median hemoglobin naik selama 10 tahun pada masa
kanak-kanak selanjutnya akan meningkat pada masa pubertas. Perbedaan
kadar hemoglobin pada jenis kelamin yang berbeda jelas nyata pada usia
enam bulan. Anak laki-laki mempunyai kadar hemoglobin lebih rendah
dibandingkan dengan anak perempuan (Gibson 2005). Pada studi yang
dilakukan terhadap anak dan remaja yang memiliki keterbelakangan mental
juga menunjukkan adanya pengaruh yang nyata antara jenis kelamin dan usia
terhadap anemia yang digambarkan pada model regresi dengan nilai
(OR=0.63, 95% CI=0.41–0.95) untuk jenis kelamin, dan (OR=3.21, 95%
CI=1.77–5.82) untuk usia (Lin et al. 2010).
c. Ras atau bangsa
Ras atau bangsa diketahui mempengaruhi kadar hemoglobin. Individu dari
keturunan Afrika mempunyai nilai hemoglobin 5-10 g/dl lebih rendah dari
keturunan Kaukasian dengan mengabaikan umur, pendapatan, dan defisiensi
besi (Gibson 2005).
d. Keberadaan seseorang dari permukaan laut (ketinggian)
Seseorang yang berada pada ketinggian tertentu membangkitkan respon
penyesuaian diri untuk menurunkan tekanan darah parsial oksigen dan
mengurangi saturasi oksigen dalam darah. Hal ini terlihat nyata pada
ketinggian di atas 1000 meter. Kadar hematokrit dan hemoglobin seseorang
meningkat secara berangsur-angsur pada ketinggian yang semakin tinggi
(Gibson 2005).
e. Anemia defisiensi besi
Pada tahap ketiga defisiensi besi, simpanan besi dan persediaan besi ke
jaringan habis, sehingga kadar hemoglobin turun. Akan tetapi pemeriksaan
8
kadar hemoglobin bukan pemeriksaan yang sensitif pada tahapan ini (Arisman
2004; Gibson 2005). Pada anemia defisiensi zat besi yang berat, konsentrasi
hemoglobin <7 g/dl (Vijayaraghavan 2008).
f. Defisiensi mikronutrien lain
Beberapa defisiensi mikronutrien seperti vitamin A, B6, B12, Riboflavin, asam
folat, dan tembaga (Cu) dihubungkan dengan penurunan kadar hemoglobin
dan terjadinya anemia (Gibson 2005).
g. Infeksi parasit
Infeksi parasit seperti Plasmodium falciparum menyebabkan kadar
hemoglobin rendah dengan pecahnya eritrosit dan tertekannya produksi
eritrosit (Gibson 2005).
h. Berbagai status penyakit
Berbagai status penyakit dapat memepengaruhi kadar hemoglobin. Kadar
hemoglobin rendah timbul pada infeksi kronik dan peradangan. Status
penyakit kronik ini meliputi HIV-AIDS, hemoglobinopathies dan infeksi karena
Schistosomiasis, Trichuriasis, dan Ascaris (Gibson 2005).
Metode Penilaian Kadar Hemoglobin
Penentuan prevalensi anemia dalam suatu populasi melalui pengukuran
kadar hemoglobin dalam darah relatif sederhana dan tidak mahal. Metode ini
merupakan metode laboratorium terbaik untuk menentukan kadar hemoglobin
secara kuantitatif (WHO 2001).
Terdapat beberapa metode pemeriksaan kadar hemoglobin yang umum
digunakan, diantaranya adalah metode cyanmethemoglobin dan hemocue.
Metode cyanmethemoglobin adalah metode pengambilan darah dari pembuluh
darah vena. Sedangkan pada metode hemocue darah diambil dari pembuluh
kapiler.
Hemoglobin sangat baik ditentukan menggunakan darah vena yang
diantikoagulasi menggunakan etilendiamin tetraacetic acid (EDTA). Penggunaan
darah kapiler dari telinga, tumit, atau ujung jari bisa digunakan, namun akan
memberikan hasil yang kurang tepat, karena cairan intestinal akan
mengencerkan sampel darah kapiler, sehingga hasil pengukuran kadar Hb yang
diperoleh dari metode hemocue cenderung lebih besar (Gibson 2005). Metode
cyanmethemoglobin adalah metode yang direkomendasikan oleh International
Committee for Standardization in Hematology (ICSH) dan dianggap paling teliti
berdasarkan anjuran WHO (Gibson 2005).
9
Anemia
Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar
hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Nilai tersebut berbeda-
beda untuk kelompok usia dan jenis kelamin sebagaimana ditetapkan oleh
Depkes (2008) dari hasil Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 dan
tercantum pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Rentang nilai normal kadar hemoglobin perempuan dan laki-laki dewasa,
anak-anak, dan ibu hamil
Kelompok Nilai rerata Hb (g/dl) Nilai SD (g/dl) Rerata ± 1SD (g/dl)
Perempuan dewasa 13,00 1,72 11,28 - 14,72 Laki-laki dewasa 14,67 1,84 12,83 – 16,51 Anak-anak (≤ 14 tahun) 12,67 1,58 11,09 – 14,25 Ibu hamil 11,81 1,55 10,26 – 13,36
Sumber: Depkes 2008
Anemia adalah suatu kondisi terjadinya defisiensi dalam ukuran atau
jumlah sel darah merah atau jumlah molekul hemoglobin yang dikandungnya,
sehingga membatasi terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara
sel-sel darah dan jaringan-jaringan tubuh (Stopler 2004). Berdasarkan WHO
(2011) kadar hemoglobin yang merupakan indikator status anemia dan tingkat
keparahan anemia dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Kadar hemoglobin sebagai indikator dan tingkat keparahan anemia
Kelompok Tidak Anemia*
Anemia*
Ringan Sedang Berat
Anak usia 5-11 tahun >11,5 11,0-11,4 8,0-10,9 <8,0 Anak usia 12-14 tahun >12,0 11,0-11,9 8,0-10,9 <8,0
*Hemoglobin dalam g/dl
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel darah merah dan
kandungan hemoglobin di dalamnya. Berdasarkan ukuran sel darah merah, yaitu
anemia makrositik, mikrositik, dan normositik. Sedangkan anemia berdasarkan
kandungan hemoglobin di dalamnya, yaitu anemia hipokromik dan normokromik.
Pada anemia makrositik, ukuran sel darah merah dan jumlah hemoglobin yang
terkandung bertambah. Sebaliknya pada anemia mikrositik, ukuran sel darah
merah mengecil. Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak
mengalami perubahan. Sedangkan anemia hipokromik terjadi karena kandungan
hemoglobin dalam sel tiap sel darah merah berkurang, sehingga warna sel darah
merah pucat. Sementara pada anemia normokromik, kandungan hemoglobin
normal (Stopler 2004).
Kelompok usia yang paling rentan terhadap anemia adalah balita, anak-
anak, remaja, serta wanita hamil dan menyusui. Hal ini terjadi karena pada masa
10
balita, anak-anak dan remaja terjadi pertumbuhan yang sangat pesat. Pada ibu
hamil, anemia terjadi karena adanya peningkatan volume plasma darah. Pada
ibu menyusui, anemia dapat terjadi karena kebutuhan yang meningkat (FAO
2001).
Anemia mikrositik-hipokromik, biasanya terjadi karena kekurangan zat
besi, penyakit kronis tingkat lanjut, atau keracunan timbal. Anemia normositik-
normokromik biasanya karena penyakit kronis fase awal atau perdarahan akut.
Anemia makrositik biasanya karena kekurangan vitamin B12. Berdasarkan hasil
Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 menyatakan bahwa jenis anemia
terbanyak pada orang dewasa dan anak-anak adalah anemia mikrositik
hipokromik (60,2%). Jika dibandingkan antara anak-anak dan dewasa, anemia
mikrositik hipokromik ini lebih besar proporsinya pada anak-anak (Depkes 2008).
Anemia Gizi
Anemia gizi adalah keadaan dimana kadar hemoglobin, hematokrit, dan
sel darah merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi
salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat
mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut (Arisman 2004). Anemia gizi
disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan
hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorpsi.
Zat gizi yang bersangkutan adalah besi, protein, piridoksin (vitamin B6) yang
berperan sebagai katalisator dalam sintesis hem di dalam molekul hemoglobin,
vitamin C yang mempengaruhi absorpsi dan pelepasan besi dari transferin ke
dalam jaringan tubuh, dan vitamin E yang mempengaruhi stabilitas membran sel
darah merah (Almatsier 2006). Anemia gizi tersebut berakar pada asupan yang
tidak adekuat, ketersediaan hayati rendah (buruk), dan kecacingan yang masih
tinggi (Arisman 2004). Anemia gizi yang umum terjadi di Indonesia adalah karena
defisiensi besi (Almatsier 2006).
Anemia defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di negara sedang
berkembang dibandingkan dengan negara yang sudah maju. Sebesar 36% atau
kira-kira 1400 juta orang dari perkiraan 3800 juta orang di negara sedang
berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju
hanya sekitar 8% atau kira-kira 100 juta orang dari perkiraan populasi 1200 juta
orang (Arisman 2004).
Secara umum ada tiga penyebab anemia defisiensi zat besi, yaitu: (1)
kehilangan darah secara kronis, sebagai dampak pendarahan kronis seperti
11
pada penyakit ulkus peptikum, hemoroid, infestasi parasit dan proses keganasan,
(2) asupan zat besi tidak cukup dan penyerapan tidak adekuat, dan (3)
peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan sel darah merah yang
lazim berlangsung pada masa pertumbuhan bayi, masa pubertas, masa
kehamilan, dan menyusui (Arisman 2004). Ketidaknormalan genetik dan
keracunan obat dapat menyebabkan anemia (Stopler 2004).
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi terakhir dari defisiensi besi
yang telah berlangsung lama, gejala-gejala yang muncul mencerminkan
kegagalan fungsi sistem-sistem tubuh (Stopler 2004). Tanda dan gejala anemia
defisiensi besi yang umum terjadi diantaranya: pucat, mudah lelah, berdebar,
takikardi, sesak napas. Kepucatan dapat diperiksa pada telapak tangan, kuku,
dan konjungtiva palpebra (Arisman 2004). Anemia defisiensi zat besi yang kronis
pada anak-anak dapat menimbulkan perubahan perilaku dan dapat mengganggu
fungsi kognitif, anak tidak dapat berkonsentrasi pada waktu yang lama dan
terlihat menutup diri (Vijayaraghavan 2008).
Kebiasaan Makan dan Jajan
Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih
pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik,
psikologik, sosial dan budaya (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan merupakan
hasil interaksi antar beberapa peubah dan terbentuk sejak kecil. Menurut Sanjur
(1982), kebiasaan makan mencakup empat komponen: konsumsi pangan,
preferensi terhadap makanan, ideologi (pengetahuan) terhadap makanan dan
sosial budaya pangan. Menurut Riyadi (2006) kebiasaan makan adalah cara-
cara yang dipakai orang pada umumnya untuk memilih bahan makanan yang
mereka makan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, kebudayaan dan
sosial.
Kebiasaan makan pada anak usia sekolah tergantung pada kehidupan
sosial di sekolah. Anak usia sekolah cenderung lebih menyukai makan secara
bersamaan dengan teman sekolahnya. Kadang-kadang anak malas makan di
rumah, hal ini disebabkan akibat stres atau sakit (Hidayat dan Alimul 2004).
Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan. Kebiasaan
untuk jajan dapat ditemukan pada semua lapisan masyarakat pada berbagai
tingkat sosial ekonomi (Kusharto 1984 diacu dalam Rizki 2010). Kebiasaan jajan
dapat dipengaruhi oleh persepsi seorang terhadap makanan jajanan tersebut.
12
Aspek negatif dari jajan yang terlalu sering yaitu dapat mengurangi nafsu makan
anak di rumah (Khomsan 2002).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis
dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang
dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang
penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau
berdasarkan aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai
sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari
(Kusharto dan Sa’diyyah 2007).
Penilaiaan Konsumsi Pangan
Menurut Gibson (2005) penilaian konsumsi pangan individu dapat
dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode penilaian secara kuantitatif
terdiri atas food record dan recall. Metode kuantitatif didisain untuk mengukur
kuantitas konsumsi pangan individu selama periode satu hari. Penambahan
jumlah hari yang diukur akan dapat memperkirakan kebiasaan intake individu.
Metode kuantitatif yang sering digunakan dalam penilaian konsumsi
pangan individu salah satunya adalah metode mengingat kembali atau recall 24
jam. Prinsip metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah
bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu (Supariasa et
al. 2001). Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2007), pada metode recall ini dicatat
mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu
(biasanya recall 24 jam). Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan
menanyakan jumlah pangan dalam URT, setelah itu baru dikonversikan ke
dalam satuan berat.
Metode recall 24 jam memiliki kelebihan diantaranya adalah: (1)
pelaksanaanya mudah dan tidak membebani responden, (2) biaya relatif murah,
(3) cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden, (4) dapat memberikan
gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu, sehingga dapat dihitung
intake zat gizi sehari. Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah: (1) tidak
dapat menggambarkan recall sehari-hari, apabila hanya dilakukan recall satu
kali, (2) ketepatannya sangat bergantung pada daya ingat dari responden, (3)
kemungkinan responden tidak menyampaikan apa yang sebenarnya dikonsumsi,
13
(4) membutuhkan tenaga yang terampil dalam menggunakan alat-alat bantu, (5)
responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan penelitian
(Supariasa et al. 2001).
Kecukupan Gizi
Angka Kecukupan Gizi
Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang
diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut
kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu, seperti kehamilan
dan menyusui (Riyadi 2006). Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VIII, kecukupan zat gizi anak yang berusia 7-9 tahun serta pria dan wanita usia
10-12 tahun adalah disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 3 Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan untuk anak usia 7-9 tahun
serta pria dan wanita usia 10-12 tahun.
Kategori umur
Zat Gizi
Energia
(kkal) Protein
a
(gram) Vitamin A
b
(RE) Vitamin C
c
(mg) Fe
d
(mg)
Anak (7-9 tahun) 1800 45 500 45 10 Laki-laki (10-12 tahun) 2050 50 600 50 13 Perempuan (10-12 tahun) 2050 50 600 50 20
Sumber: (aHardinsyah & Tambunan 2004;
bMuhilal & Sulaeman 2004;
cSetiawan &
Rahayuningsih 2004; dKartono & Soekatri 2004)
Energi
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,
pengaturan suhu, dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai
cadangan energi, dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka
pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (IOM 2002)
diacu dalam Hardinsyah dan Victor (2004).
Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan
protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan
minyak, buah berlemak (alpokat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari, dan
kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah
dan kacang kedelai), dan aneka pangan produk turunannya. Pangan sumber
energi yang kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, serealia lainnya,
umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang dan
kurma), dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein
antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk turunannya.
14
Protein
Protein terdiri dari asam-asam amino. Protein atau asam amino esensial
berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekspresi
genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk
pertumbuhan. Komposisi dan jumlah asam amino esensial ini dalam suatu
protein pangan turut menentukan mutu protein dari suatu jenis pangan. Mutu
protein juga ditentukan oleh daya cerna protein. Semakin lengkap komposisi dan
jumlah asam amino esensial dan semakin tinggi daya cerna protein suatu jenis
pangan atau menu, maka semakin tinggi mutu proteinnya (Gibney, Vorster, &
Kok 2002) diacu dalam Hardinsyah dan Tambunan (2004). Pangan hewani
mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati. Di
Indonesia kontribusi energi dari protein hewani terhadap total energi relatif
rendah yaitu 4% (Hardinsyah et al. 2001) di dalam Hardinsyah dan Tambunan
(2004), yang menurut FAO RAPA (1989) sebaiknya sekitar 15% dari total energi.
Apabila terjadi defisiensi protein, maka akan menyebabkan gangguan pada
absorpsi dan transportasi zat-zat gizi termasuk besi (Almatsier 2006).
Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging,
unggas, ikan, dan kerang. Sedangkan sumber yang berasal dari pangan nabati
seperti kedelai dan produk olahannya (tempe, tahu, dan kacang-kacangan
lainnya). Protein yang berasal dari pangan hewani mengandung 40% besi hem
dan 60% besi nonhem. Protein yang berasal dari bahan pangan hewani
mempunyai faktor yang membantu penyerapan zat besi, mutu cerna (digestibility)
dan daya manfaat (utilizable) yang tinggi dibandingkan dengan protein nabati
(Almatsier 2006).
Vitamin A
Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A
esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Dalam
makanan vitamin A biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat
pada asam lemak rantai panjang. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam
beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu: retinol (bentuk alkohol), retinal
(aldehida), dan asam retinoat (bentuk asam). Vitamin A berperan dalam
pembentukan sel darah merah melalui interaksi dengan besi (Almatsier 2006).
Retinol dan besi, sama-sama diangkut oleh negative phase protein, yaitu
Retinol Binding Protein (RBP) dan transferin. Sintesis kedua protein ini tertekan
bila ada infeksi. Apabila asupan vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, maka
15
dengan kemampuan vitamin A melawan infeksi, akan terjadi penurunan derajat
infeksi. Akibatnya sintesis retinol binding protein dan transferin kembali normal.
Kondisi ini memungkinkan besi retinol yang semula terjebak di tempat
penyimpanan dapat dimobilisasi kembali. Dengan menghilangnya infeksi, besi
yang semula ditahan makrofag akan dilepas kembali ke sirkulasi dan diangkut
transferin untuk kepentingan eritropoeisis (Turnham 1993) diacu dalam Zarianis
(2006).
Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan besi di dalam tubuh
untuk dapat mensintesa hemoglobin. Status vitamin A yang buruk berhubungan
dengan perubahan metabolisme besi pada kasus kekurangan besi. (Gillespie,
1998) diacu dalam Zarianis (2006). Beberapa penelitian membuktikan bahwa
vitamin A mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kadar
hemoglobin. Pemberian suplemen vitamin A 110 mg pada anak yang
kekurangan vitamin A (retinol <0,60 μmol/L) dapat meningkatkan hemoglobin dan
transferrin saturasi (Bloem 1990) diacu dalam Zarianis (2006).
Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan karoten terutama
di dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu (di
dalam lemaknya), dan mentega. Margarin biasanya diperkaya dengan vitamin A.
Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah-
buahan yang berwarna kuning jingga, seperti daun singkong, daun kacang,
kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning,
pepaya, mangga, nangka masak, dan jeruk. Minyak kelapa sawit yang berwarna
merah kaya akan karoten (Almatsier 2006).
Vitamin C
Vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air. Dalam
keadaan kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut vitamin C
mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena
panas. Vitamin C tidak stabil dalam larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam
larutan asam. Vitamin C adalah vitamin yang paling labil. Vitamin C mempunyai
banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Banyak proses
metabolisme dipengaruhi oleh asam askorbat, namun mekanismenya belum
diketahui dengan pasti. Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus
halus sehingga mudah diabsorpsi. Absorpsi besi dalam bentuk nonheme
meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C berperan dalam
memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati (Almatsier
16
2006). Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu
sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, pepaya,
gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daun-
daunan dan jenis kol (Almatsier 2006).
Besi (Fe)
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam
tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia
dewasa. Besi memiliki beberapa fungi esensial di dalam tubuh: sebagai alat
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di
dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan
tubuh. Zat besi merupakan komponen penting dalam Hb darah, mioglobin,
sitokrom, dan enzim katalase dan peroksidase. Sebagian besar besi dalam
bentuk feri direduksi menjadi bentuk fero. Hal ini terjadi dalam suasana asam di
dalam lambung dengan adanya HCl dan vitamin C yang terdapat di dalam
makanan (Almatsier 2006).
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan zat besi adalah keasaman
lambung dan bioavailabilitas termasuk pemacu dan penghambat penyerapan
besi nonheme. Menurunnya keasaman lambung karena berbagai sebab,
misalnya konsumsi antasida berlebihan, dapat menghambat penyerapan besi.
Vitamin C dan asam organik merupakan pemacu penyerapan besi nonheme,
sedangkan fitat, polyfenol, protein nabati dan kalsium merupakan penghambat
penyerapan besi nonheme (Gallagher 2004).
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat
dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan besi nonheme dalam
makanan nabati. Besi heme hanya merupakan bagian kecil dari besi yang
diperoleh dari makanan (kurang lebih 5% dari besi total makanan), terutama di
Indonesia, namun yang dapat diabsorpsi dapat mencapai 25% sedangkan
nonheme hanya 5%. Agar dapat diabsorpsi, besi nonheme di dalam usus halus
harus berada dalam bentuk terlarut. Besi nonheme diionisasi oleh asam
lambung, direduksi menjadi bentuk fero dan dilarutkan dalam cairan pelarut
seperti asam askorbat, gula, dan asam amino yang mengandung sulfur
(Almatsier 2006).
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan
Pengetahuan merupakan hasil proses penginderaan terhadap objek
tertentu. Proses penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
17
penglihatan, pendengaran, penciuman rasa, dan melalui kulit. Pengetahuan
merupakan faktor dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau responden
dalam pengetahuan yang ingin diketahui (Notoatmodjo 2003). Pengetahuan gizi
merupakan aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman responden tentang
ilmu gizi, jenis zat gizi, serta interaksinya terhadap status gizi dan kesehatan.
Pengetahuan gizi merupakan landasan yang penting dalam menentukan
konsumsi makanan (Khomsan 2000). Tingkat pengetahuan gizi seseorang
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan.
Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik
pula keadaan gizinya (Irawati et al. 1992 di dalam Sukandar 2007).
Pengetahuan kesehatan merupakan hasil investasi dari pendidikan
kesehatan dalam jangka pendek. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh
terhadap perilaku sebagai hasil investasi jangka menengah dan selanjutnya
perilaku kesehatan akan berpengaruh terhadap peningkatan indikator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran dari pendidikan kesehatan (Notoatmojo 1993).
Infeksi Kecacingan
Berdasarkan Forum Koordinasi Pusat Program Pembinaan Anak dan
Remaja (1996) menyatakan bahwa Infeksi kecacingan adalah ditemukannya telur
larva atau cacing dewasa dalam tubuh, baik disertai atau tanpa gejala penyakit.
Jenis infeksi kecacingan yang dimaksud adalah infeksi cacing melalui tanah,
antara lain cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris
trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale). Obat cacing yang digunakan dalam pengobatan adalah obat cacing
yang memenuhi kriteria: efektif terhadap beberapa jenis infeksi kecacingan,
aman (efek samping minimal), tersedia di pasaran dan harganya terjangkau oleh
pemerintah ataupun masyarakat. Obat yang dianjurkan adalah Pyrantel pamoate
dengan dosis 10 mg per kg BB, diberikan dengan dosis tunggal. Apabila infeksi
cacing gelang telah rendah, dan ada masalah infeksi cacing cambuk di daerah
itu, selanjutnya dipakai albendazole dengan dosis 400 mg per anak, diberikan
dengan dosis tunggal. Dampak pengobatan ini akan menghilangkan infeksi
kecacingan sehingga konsumsi makanan dapat lebih bermanfaat antara lain
untuk kesehatan, perkembangan kegairahan serta produktivitas kerja. WHO
18
(1987) diacu dalam Par’I (1999) menyatakan bahwa akibat infeksi cacing gelang
(Ascaris lumbricoides) yang menyerang anak mengakibatkan menurunnya status
gizi berdasarkan indikator BB/U, penurunan penyerapan laktosa dalam usus,
menurunnya kadar vitamin A dalam plasma dan pendeknya waktu transit
makanan dalam usus. Akibat infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale)
mengakibatkan terjadinya anemia defisiensi zat gizi besi.
Ascaris lumbricoides atau cacing gelang memiliki panjang 10-15 cm dan
biasanya bermukim dalam usus halus. Sekitar 25% dari seluruh penduduk dunia
terinfeksi cacing ini, terutama di negara tropis (70-90%). Cacing betina
mengeluarkan telur dalam jumlah yang sangat banyak, sampai 200.000 telur
sehari yang dikeluarkan dalam tinja. Penularan terjadi melalui makanan yang
terinfeksi oleh telur dan larvanya yang berkembang dalam usus halus. Larva ini
menembus dinding usus melalui hati kemudian ke paru-paru. Setelah mencapai
tenggorokan, lalu larva ditelan untuk kemudian berkembang biak menjadi cacing
dewasa di usus halus. Obat pilihan pertama adalah mebendazol, albendazol, dan
pirantel. Seringkali kur harus diulang dengan kur kedua, karena tidak semua
cacing atau telurnya dapat dimusnahkan pada tahap pertama. Anggota keluarga
juga mungkin merupakan pembawa kista dan sebaiknya juga diobati. Albendazol
(Eskazole) adalah derivat karbamat dari benzimidazol, berspektrum luas
terhadap Ascaris, Oxyuris, Taenia, Ancylostoma, Strongyloides, dan Trichiuris.
Terutama dianjurkan pada echinococciosis (cacing pita anjing). Di dalam hati zat
ini segera diubah menjadi sulfoksidanya, yang diekskresikan melalui empedu dan
urin. Efek sampingnya berupa gangguan lambung dan usus, demam, rontok
rambut, dan exanthema (Tjay dan Rahardja 2007).
Status Kesehatan
Status kesehatan individual diartikan sebagai hasil proses yang
digambarkan oleh fungsi produksi kesehatan yang menghubungkan status
kesehatan dengan bermacam-macam input kesehatan (pelayanan kesehatan,
makanan, dan sanitasi lingkungan) (Hardjono 2000). Status kesehatan dapat
diukur dengan sebuah indikator kesehatan. Indikator yang dapat digunakan
adalah angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Morbiditas
lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya. Morbiditas
berhubungan erat dengan faktor lingkungan seperti perumahan, air minum dan
kesehatan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di
suatu daerah (Subandriyo 1993 diacu dalam Rizki 2010).
KERANGKA PEMIKIRAN
Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar
hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Anemia hampir dialami
oleh semua tingkatan usia dan salah satunya adalah anak usia sekolah. Anemia
gizi yang umum terjadi di Indonesia adalah karena defisiensi besi (Almatsier
2006). Nilai hemoglobin darah merupakan salah satu indikator paling umum yang
digunakan untuk mengetahui anemia gizi besi. Keadaan tertentu seperti
mengidap penyakit TBC dan malaria, kehilangan darah, kekurangan zat gizi
lainnya, dan kecacingan akan memperberat anemianya (Depkes 1998).
Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh kebiasaan makannya
(Suhardjo 1989). Kebiasaan makan (food habit) dan jajan berhubungan dengan
pola konsumsi pangan contoh. Kebiasaan makan yang baik mendorong
terpenuhinya kebutuhan gizi dimana pada kebiasaan makan yang baik, konsumsi
pangan akan baik dan memenuhi kebutuhan gizi.
Karakteristik contoh meliputi usia, jenis kelamin, uang saku, serta
pengetahuan gizi dan kesehatan mempengaruhi pola konsumsi pangan secara
langsung, baik dalam frekuensi, jenis dan jumlah konsumsi pangan. Anak usia
sekolah merupakan masa dimana anak sudah dapat memilih makanan yang ia
sukai dan kebutuhan energi mereka lebih besar dibandingkan dengan anak usia
pra-sekolah. Uang saku contoh mempengaruhi daya beli contoh terhadap
pangan, sehingga uang saku berhubungan dengan pola konsumsi pangan
contoh dalam hal frekuensi, jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi.
Pengetahuan gizi dan kesehatan contoh yang baik dapat menuntun seseorang
dalam pemilihan pangan yang akan dikonsumsi Suhardjo (1989), sehingga hal ini
juga mempengaruhi pola konsumsi pangan contoh.
Anemia kurang besi dipengaruhi juga oleh konsekuensi dari infeksi
kecacingan dengan hilangnya darah secara kronis. Penyakit kecacingan dan
anemia gizi merupakan masalah yang saling terkait dan dijumpai bersamaan
dalam suatu masyarakat, yaitu karena rendahnya sosial ekonomi masyarakat
dan sanitasi lingkungan yang sangat tidak memadai sehingga memudahkan
terjadinya penularan penyakit infeksi terutama infeksi kecacingan (Passi dan Vir
2001).
20
Keterangan Gambar :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang diteliti
: Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar
hemoglobin siswa sekolah dasar.
Daya Beli dan
Ketersediaan
Pangan
Konsumsi Pangan,
Tingkat Kecukupan
Energi
Protein
Zat Besi
Vitamin A
Vitamin C
Kadar
Hemoglobin
Status Anemia
Morbiditas, Infeksi
Kecacingan
Karakteristik Contoh:
Usia
Jenis Kelamin
Uang saku
Karakteristik Keluarga:
Pendidikan orang tua
Pekerjaan orang tua
Pendapatan orang tua
Sanitasi dan
higiene lingkungan
Kebiasaan
makan dan jajan
Pengetahuan gizi
dan kesehatan