Post on 28-Feb-2018
TINJAUAN PUSTAKA
Kulit Daging Buah Kopi
Kulit kopi terdiri dari:
1. Lapisan bagian luar tipis yakni yang disebut ”Exocarp”; lapisan ini kalau
sudah masak berwarna merah.
2. Daging buah; daging buah ini mengandung serabut yang bila sudah masak
berlendir dan rasanya manis, maka sering disukai binatang kera atau
musang. Daging buah ini disebut ”Mesocarp”.
3. Kulit tanduk atau kulit dalam; kulit tanduk ini merupakan lapisan tanduk
yang menjadi batas kulit dan biji yang keadaannya agak keras. Kulit ini
disebut ”Endocarp”.
Gambar kulit daging buah kopi
(AAK, 1988).
Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif
dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah
mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar dalam ransum. Bahan pakan
Universitas Sumatera Utara
konvensional yang sering digunakan dalam penyusunan ransum sebagian besar
berasal dari limbah dan pencarian bahan pakan yang belum lazim digunakan.
Setelah kopi dipanen, kulitnya dikupas. Kemudian, bijinya dijemur. Biasanya,
kulit kopi kecoklatan yang dipisahkan dari biji-biji kopi tersebut akan dibuang
begitu saja. Atau, paling tidak kulit kopi yang dipisahkan dari biji itu tadi
dikumpulkan. Lalu, dibiarkan hingga busuk. Selanjutnya, ditaruh di sekeliling
pohon kopi. Maksudnya, sebagai pengganti pupuk yang bertujuan untuk
menyuburkan tanaman. Umumnya, hal seperti itulah yang sering dilakukan petani
kopi.
Kulit buah kopi merupakan limbah dari pengolahan buah kopi untuk
mendapatkan biji kopi yang selanjutnya digiling menjadi bubuk kopi. Kandungan
zat makanan kulit buah kopi dipengaruhi oleh metode pengolahannya apakah
secara basah atau kering seperti terlihat pada tabel. Kandungan zat makanan kulit
buah kopi berdasarkan metode pengolahan. Pada metode pengolahan basah, buah
kopi ditempatkan pada tanki mesin pengupas lalu disiram dengan air, mesin
pengupas bekerja memisahkan biji dari kulit buah. Sedangkan pengolahan kering
lebih sederhana, biasanya buah kopi dibiarkan mongering pada batangnya
sebelum dipanen. Selanjutnya langsung dipisahkan biji dan kulit buah kopi
dengan menggunakan mesin.
Tabel 1. Kandungan zat makanan kulit buah kopi berdasarkan metode pengolahan
Metode pengolahan
BK (%)
% Bahan Kering
PK SK Abu LK BETN Basah 23 12.8 24.1 9.5 2.8 50.8 Kering 90 9.7 32.6 7.3 1.8 48.6
Sumber : Murni dkk., (2008)
Universitas Sumatera Utara
Menurut data statistik (BPS, 2003), produksi biji kopi di Indonesia
mencapai 611.100 ton dan menghasilkan kulit kopi sebesar 1.000.000 ton. Jika
tidak dimanfaatkan akan menimbulkan pencemaraan yang serius. Pengolahan cara
kimia dengan amoniak (NH3) disebut sebagai amoniasi. Keuntungan pengolahan
ini, selain meningkatkan daya cerna juga sekaligus meningkatkan kadar protein,
dapat menghilangkan aflatoksin dan pelaksanaannya sangat mudah.
Kelemahannya pengolahan ini utamanya untuk pakan ruminansia. Amoniak dapat
menyebabkan perubahan komposisi dan struktur dinding sel sehingga
membebaskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa dan
memudahkan pencernaan oleh selulase mikroorganisme. Amoniak akan terserap
dan berikatan dengan gugus asetil dari bahan pakan, kemudian membentuk garam
amonium asetat yang pada akhirnya terhitung sebagai protein bahan. Struktur
dinding sel kulit kopi menjadi lebih amorf dan tidak berdebu, sehingga menjadi
lebih mudah di tangani. Dalam keadaan tertutup (plastik belum dibuka/bongkar),
bahan pakan yang diamoniasi dapat tahan lama.
Kulit kopi mempunyai kandungan BK=91.77, PK=11.18, LK=2.5,
SK=21.74 dan TDN=57.20% (Amonimus, 2005). Namun demikian kulit kopi
hanya sebagian kecil dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia dan sebagian
besar lainnya dibuang atau dibenamkan dalam tanah untuk digunakan sebagai
pupuk organik pada lahan perkebunan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Kandungan zat gizi kulit kopi
Zat Nutrisi Kandungan (%) Kandungan (%) Tanpa diamoniasi Setelah diamoniasi
Bahan Kering 90.52 94.85 Lemak Kasar 1.31 1.93 Serat Kasar 34.11 27.52 Protein Kasar 6.27 8.67 Abu 7.54 8.47 Kadar Air 9.48 5.15
Hasil Analisa Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2010)
Amoniasi
Amoniasi merupakan proses perlakuan terhadap bahan pakan limbah
perkebunan dengan menambahkan bahan kimia berupa kaustik soda, sodium
hidroksi atau urea. Umumnya masyarakat lebih banyak menggunakan urea ini
sebagai bahan kimia yang digunakan karena lebih mudah untuk memperolehnya.
Dibanding cara pengolahan kimia yang lain (NaOH), amoniasi
mempunyai beberapa keuntungan, antara lain : 1). Sederhana cara pengerjaannya
dan tidak berbahaya; 2). Lebih murah dan mudah dikerjakan dibanding dengan
NaOH; 3). Cukup efektif untuk menghilangkan aflaktosin khususnya pada jerami;
4). Meningkatkan kandungan protein kasar; 5). Tidak menimbulkan polusi dalam
tanah. (Sugeng, 1995).
Satu-satunya sumber NH3 yang murah dan mudah diperoleh adalah urea.
Urea yang banyak beredar untuk pupuk tanaman pangan adalah dalam bentuk :
(Siregar, 1995)
Universitas Sumatera Utara
Urea dengan rumus molekul CO (NH2)2 banyak digunakan dalam ransum
ternak ruminansia karena mudah diperoleh, harga murah dan sedikit keracunan
yang diakibatkannya dibanding biuret. Secara fisik urea berbentuk kristal padat
berwarna putih dan higroskopis. Urea mengandung nitrogen sebanyak 42 – 45%
atau setara dengan potein kasar antara 262 – 281% (Belasco, 1945).
Urea yang ditambahkan dalam ransum ruminansia dengan kadar yang
berbeda-beda ternyata dirombak menjadi protein oleh mikroorganisme rumen.
Sejumlah protein dan urea dalam ransum nampaknya mempertinggi daya cerna
sellulosa dalam hijauan (Anggorodi, 1979).
Dari hasil percobaan Chuzaemi (1987) dengan level urea yang lebih tinggi
yaitu 6 dan 8% secara in vivo selain dapat meningkatkan kecernaan bahan
kering dan bahan organik juga energinya. Energi tercerna (De) meningkat dari
6,07 MJ menjadi 8,32 dan 9,54 MJ.
Hijauan
Pada umunya makanan domba berasal dari hiajaun yang terdiri dari
berbagai rumput dan daun-daunan. Hijauan merupakan bahan makanan yang
kandungan serat kasarnya relative tinggi yang termasuk kelompok bahan makanan
hijauan segar yaitu hay dan silase. Ternak domba merupakan hewan yang
memerlukan hijauan dalam jumlah yang besar kurang lebih 90% (Sugeng, 1995).
Konsumsi hijauan pakan dapat ditingkatkan dengan pemberian pakan
secara “ad libitum”. Peningkatan konsumsi akibat meningkatnya tingkat
pemberian pakan disebabkan oleh semakin besarnya peluang untuk memilik
(seleksi terhadap pakan yang diberikan. Bagian daun tanaman hijauan tropis
dikonsumsi lebih banyak dibandingkan dengan bagian batang. Ternak kambing
Universitas Sumatera Utara
dan domba yang diberi hijauan pakan potongan memilih bagian daun yang
umumnya lebih tinggi kecernaannya dibandingkan batang. Pemilihan daun
dibandingkan batang mungkin terutama disebabkan oleh perbedaan sifat fisik dari
tanaman tersebut. Daun yang berbulu mungkin tidak akan dikonsumsi yang
berarti bahwa pemilihan terjadi bukan hanya karena faktor gizi, tetapi juga
dipengaruhi perbedaan tekstur yang mempengaruhi palatabilitas
(Woozicka-Tomaszewska, et al., 1993).
Hijauan pakan ternak merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia
dan berfungsi tidak saja sebagai pengisi perut, tetapi juga sumber gizi, yaitu
protein, sumber tenaga vitamin dan mineral. Untuk dapat mencapai tingkat
produksi domba yang tertinggi maka usaha perbaikan kearah penyediaan,
pengadaan dan nilai makanan hijauan haruslah itingkatkan, misalnya dengan
memasukkan beberapa jenis hijauan dari luar negri. Rumput lapangan merupakan
salah satu jenis rumput yang telah lama dikenal oleh petani peternak dan
disenangi domba. Namun pemberian rumput lapangan sebagai sumber hijauan
untuk domba tidak dapat meningkatkan produksi dan hanya menyokong
kebutuhan zat-zat makanan untuk memenuhi kebutuhan pokok (Obst, dkk., 1978).
Tabel 3. Komposisi nutrisi rumput lapangan
Uraian Jumlah Bahan kering (%) 27,91 Protein kasar (%) 10,62 Lemak kasar (%) 8,33 Serat kasar (%) 23,25 BETN (%) 47,56 Kadar abu (%) 9,98 Energi (Kg.Cal) 4,32
Sumber : Laboratorium IP2TP Sei Putih – Galang (1997)
Universitas Sumatera Utara
Ransum Domba
Ransum adalah bahan makanan yang diberikan kepada ternak selama 24
jam. Ransum terdiri dari bermacam-macam hijauan dan bermacam-macam bahan
selain hijauan makanan ternak. Ransum yang diberikan kepada ternak hendaknya
dapat memenuhi beberapa persayaratan berikut.
a. Mengandung gizi yang lengkap, protein, karbohidrate, vitamin dan
mineral. Makin banyak ragam bahan makin baik.
b. Digemari oleh ternak. Ternak suka melahapnya. Untuk ini ransum
hendaknya sesuai dengan selera ternak atau mempunyai cita rasa yang
sesuai dengan lidah ternak.
c. Mudah dicerna, tidak menimbulkan sakit atau gangguan yang lain.
d. Sesuai dengan tujuan pemeliharaan.
e. Harganya murah dan terdapat di daerah setempat.
(Lubis, 1998).
Tabel 4. Kebutuhan harian zat-zat makanan untuk ternak domba
BB Kg
BK Energi Protein Ca (g)
P (g) Kg % BB
ME (Mcal)
TDN (Kg)
Total (g)
DD
5 0.14 - 0.6 0.61 51 41 1.91 1.410 0.25 2.5 1.01 1.28 81 68 2.3 1.615 0.36 2.4 1.37 0.38 115 92 2.8 1.920 0.51 2.6 1.8 0.5 150 120 3.4 2.325 0.62 2.5 1.91 0.53 160 128 4.1 2.830 0.81 2.7 2.44 0.67 204 163 4.8 2.3
Sumber : NRC (1995)
Bungkil Inti Sawit
Menurut Devendra (1997) protein bungkil inti sawit lebih rendah dari pada
bungkil yang lain. Namun demikian masih dapat dijadikan sebagai sumber
Universitas Sumatera Utara
protein. Kandungan asam amino esensialnya cukup lengkap, imbangan kalsium
fospor cukup lengkap.
Tabel 5. Kandungan nilai gizi bungkil inti sawit
Uraian Kandungan (%) Berat Kering 92.6 a
Protein Kasar 15.4 a
Lemak Kasar 2.4 a
Serat Kasar 16.9 a
TDN 72 b
Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2005) b. Laboraotrium Ilmu Makanan Ternak IPB Bogor (2008) Dedak Padi
Dedak padi merupakan hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah
menjadi beras yang mengandung bagian luar yang tebal, tetapi bercampur dengan
bagian penutup beras. Hal ini yang mempemngaruhi tinggi atau rendahnya serat
kasar dedak. Bila dilihat dari pengolahan gabah menjadi beras dapat digantikan
serat kasarnya tinggi (Rasyaf, 1992).
Tabel 6. Kandungan nilai gizi dedak padi
Uraian Kandungan (%) Berat Kering 91.86 Protein Kasar 10.54 Lemak Kasar 12.44 Serat Kasar 14.97
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2005)
Onggok
Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioca dihasilkan limbah yang
disebut onggok. Ketersediaan onggok sangat bergantung pada jumlah varietas dan
mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, ekstraksi pati tapioka Moertinah
(1984) melaporkan bahwa dalam pengolahan ubi kayu menghasilkan 15-20 % dan
5-20 % onggok kering, sedangkan onggok basah dihasilkan 70-79 %.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 7. Kandungan nilai gizi onggok
Uraian Kandungan (%) Berat Kering 81.7 Protein Kasar 0.6 Lemak Kasar 0.4 Serat Kasar 12
TDN 76 Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2000) Molases
Molases merupakan hasil sampingan pengolahan tebu menjadi gula.
Bentuk fisiknya berupa cairan yang kental dan berwarna hitam. Kandungan
karbohidrat, protein dan mineral yang cukup tinggi, sehingga bisa dijadikan pakan
ternak walaupun sifatnya sebagai pakan pendukung. Kelebihan molasses terletak
pada aroma dan rasanya, sehingga bila dicampur pada pakan ternak bisa
memperbaiki aroma dan rasa ransum (Widayati dan Widalestari, 1996).
Tabel 8. Kandungan nilai gizi molasses
Uraian Kandungan (%) Berat Kering 67.5 Protein Kasar 3-4 Lemak Kasar 0.08 Serat Kasar 0.38
TDN 81 Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2000) Urea
Murtidjo (1990) menyatakan bahwa pemberian Nitrogen Non Protein
(NPN) pada makanan domba dalam batas tertentu, seperti penggunaan urea cukup
membantu ternak untuk mudah mnegadakan pembentukan asam amino esensial.
Universitas Sumatera Utara
Urea CO(NH2)2 bila diberikan kepada ruminansia melengkapi sebagian
dari protein oleh mikroorganisme dalam rumen. Untuk itu diperlukan sumber
energi seperti jagung dan molasses (anggorodi, 1990). Basri (1990) menyatakan
bahwa selain meningkatkan kualitas hijauan, urea juga dapat sebagai pengganti
protein butir-butiran. Urea dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein
dan pertumbuhan produksi ternak ruminansia.
Ultra Mineral
Mineral adalah zat organik, yang dibutuhkan dalam jumlah yang kecil,
namun berperan penting agar proses fisiologis dapat berlangsung dengan baik.
Mineral digunakan sebagai kerangka pembentukan tulang, gigi, pembentukan
darah, pembentukan darah, pembentukan jaringan tubuh serta diperlukan sebagai
komponen enzim yang berperan dalam proses metabolisme didalam sel.
Penambahan mineral dalam pakan ternak dapat dilakukan untuk mencegah
kekurangan mineral dalam pakan (Setiadi dan Inouno, 1991).
Garam
Garam atau biasanya dikenal dengan NaCl merangsang sekresi saliva.
Terlalu banyak garam akan menyebabkan retensi air sehingga menimbulkan
udema. Defisiensi garam lebih sering terdapat pada hewan herbivora dari pada
hewan lainnya. Ini disebabkan hijauan dan butiran mengandung sedikit garam.
Gejala defisiensi garam adalah nafsu makan hilang, bulu kotor, makan tanah,
keadaan badan tidak sehat, produksi mundur sehingga menurunkan bobot badan
(Anggorodi, 1990).
Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan sistem pencernaan ternak domba mengalami tiga fase
perubahan. Fase pertama, pada waktu domba dilahirkan sampai dengan umur
tiga minggu yang disebut non ruminansia karena pada tahapan ini fungsi
system pencernaan sama dengan pencernaan mamalia lain. Fase kedua mulai
umur 3-8 minggu disebut fase transisi yaitu perubahan dari tahap non ruminansia
menjadi ruminansia yang ditandai dengan perkembangan rumen. Tahap ketiga
fase ruminansia dewasa yaitu setelah umur domba lebih dari 8 minggu
(Van Soest, dkk., 1983)
Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik atau pun
mikrobial. Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau penguyahan dalam mulut
dan gerakan-gerakan saluran pencernaan yang di hasilkan oleh kontraksi otot
sepanjang usus. Pencernaan secara enzimatik atau kimiawi di lakukan oleh enzim
yang di hasilkan oleh sel-sel dalam tubuh hewan dan yang berupa getah-getah
pencernaan (Tillman et al., 1991).
Frandson (1992) menyatakan bagian-bagian system pencernaan adalah
mulut, farinks, oesophagus (pada ruminansia merupakan perut depan atau
forestomach), perut glandular, usus halus, usus besar serta glandula aksesoris yang
terdiri dari glandula saliva, hati dan pankreas.
Ekosistem Rumen
Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang
menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Kerja ekstansif
bakteri dan mikroba terhadap zat-zat makanan menghasilkan pelepasan produk
akhir yang dapat diasimilasi. Papaila berkembang dengan baik sehingga luas
permukaan rumen bertambah 7 kalinya. Dari keseluruhan asam lemak terbang
Universitas Sumatera Utara
yang diproduksi, 85% diabsorbsi melalui epitelium yang berada pada dinding
retikulo-rumen (Blakely and Bade, 1982).
Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dan mikroorganisme yang paling
sesuai dan dapat hidup dapat ditemukan didalamnya. Tekanan osmos pada rumen
mirip dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 38-42ºC, pH
dipertahankan dengan adanya absorbsi asamlemak dan amonia. Saliva yang
masuk kedalam rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mmpertahankan
pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabakan oleh tingginya kadar ion HCO3 dan PO4
(Arora, 1995).
Cairan rumen segar didapat dengan memeras isi rumen. Cairan
ditempatkan ke dalam termoa yang telah dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu
39ºC. Cairan rumen ditambahkan gas CO2 supaya kondisi anaerob sampai
dilakukan inokulasi (Afdal dan Erwan, 2007).
Peran Mikroba Rumen
Kelompok utama mikroba yang berperan dalam pencernaan ruminanasia
terdiri dari bakteri, protozoa, dan jamur yang jumlah dan komposisinya bervariasi
tergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak (Preston dan Leng, 1987).
Mikroba rumen berpengaruh sangat besar terhadap status nutrisi ternak
ruminansia karena selain mencerna pakan juga merupakan sumber zat nutrisi
utama yaitu protein. Bakteri rumen banyak jenisnya dan populasinya berkisar
antara109 -1012 sel /ml isi rumen (Stewart, 1991). Menurut Baldwin dan Allison
(1983) lebih kurang 80% bakteri rumen membutuhkan amonia untuk proses
pertumbuhannya.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi lingkungan rumen yang kondusif akan mendukung pertumbuhan
mikroba yang maksimal terutama bakteri pencerna serat (bakteri selulolitik)
sehingga meningkatkan kecernaan ransum dan pada akhirnya akan meningkatkan
(konsumsi bahan kering, bahan organik dan zat nutrien lainnya), disamping laju
pengosongan isi rumen lebih cepat berlangsung.
Populasi protozoa, salah satu jenis mikroba yang hidup di dalam rumen,
berkisar antara 105-106 sel/ml cairan rumen (Ogimoto & Imai, 1981), dan sangat
tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi. Protozoa biasanya memberikan
kontribusi sekitar 40% dari total nitrogen mikroba rumen. Walaupun populasinya
hanya setengah dari populasi bakteri yang ada dalam rumen, tetapi biomassanya
jauh lebih besar yaitu mencapai 50% dari total biomassa seluruh mikroba rumen
(Jouany, 1991).
Adanya mikroba dan aktifitas fermentasi di dalam rumen merupakan
salah satu karakteristik yang membedakan sistem pencernaan ternak ruminansia
dengan ternak lain. Mikroba tersebut sangat berperan dalam mendgradasi pakan
yang masuk ke dalam rumen menjadi produk-produk sederhana yang dapat
dimanfaatkan oleh mikroba maupun induk semang dimana aktifitas mikroba
tersebut sangat tergantung pada ketersediaan nitrogen dan energi
(Offer dan Robert, 1996).
Kualitas pakan yang rendah seperti yang umum terjadi di daerah tropis
menyebabkan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia sebagian besar dipasok
oleh protein mikroba rumen. Soetanto (1994) menyebutkan hampir sekitar 70 %
kebutuhan protein dapat dicukupi oleh mikroba rumen.
Universitas Sumatera Utara
Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang
mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang (Volatyle Fatty Acids =
VFA’s) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam
isobutirat dan asam isovalerat. VFA’s diserap melalui dinding rumen dan
dimanfaatkan sumber energi oleh ternak. Sedangkan produk metabolis yang tidak
dimanfaatkan oleh ternak pada umumnya berupa gas akan dikeluarkan dari rumen
melalui proses eruktasi (Barry et al., 1977). Namun, yang lebih penting ialah
mikroba rumen itu sendiri, karena biomas mikroba yang meninggalkan rumen
merupakan pasokan protein bagi ternak ruminansia. Sauvant et al, (1995)
menyebutkan bahwa 2/3 –3/4 bagian dari protein yang diabsorbsi oleh ternak
ruminansia berasal dari protein mikroba.
Produk akhir fermentasi protein akan digunakan untuk pertumbuhan
mikroba itu sendiri dan dapat digunakan untuk mensintesis protein sel mikroba
rumen sebagai pasokan utama protein bagi ternak ruminansia. Menurut Arora
(1995) sekitar 47% sampai 71% dari nitrogen yang ada di dalam rumen berada
dalam bentuk protein mikroba.
Volatyle Fatty Acid (VFA)
VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan
sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA
menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba
rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur
fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Komposisi VFA didalam rumen berubah
dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf, dan frekuensi
Universitas Sumatera Utara
pemberian pakan, serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan
kecukupan energi bagi ternak (Sakinah,2005).
Kisaran produk VFA cairan rumen normal yang mendukung pertumbuhan
mikroba adalah adalah 80 sampai 160 mM. Produksi VFA total menunjukkan
jumlah pakan (terutama karbohidrat yang merupakan prekusor produksi VFA total
yang difermentasikan oleh mikroba rumen (Sutardi, 1980). Sakinah (2005)
menambahkan, semakin sedikit produksi VFA yang dihasilkan maka semakin
sedikit pula protein dan karbohidrat yang mudah larut. Penurunan VFA diduga
berhubungan dengan kecernaan zat makanan, dimana VFA tersebut digunakan
sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan
untuk pertumbuhan sel tubuhnya.
Arora (1995), menyatakan bahwa sumber protein yang utama bagi ternak
ruminansia berasal dari protein mikrobia rumen, dan protein pakan yang lolos dari
degradasi di dalam rumen. Kebutuhan protein untuk hidup pokok pada ternak
ruminansia dapat dipenuhi melalui optimasi sintesis protein mikrobia di dalam
rumen tetapi pada kondisi fisiologis tertentu memerlukan tambahan protein dari
pakan.
Amonia (NH3)
Protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen pada awalnya akan
mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptida, lalu dihidrolisa
menjadi asam amino yang kemudian secara cepat dideaminasi menjadi amonia.
Keduanya akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein
mikroba. Umumnya proporsi protein yang didegradasi dalam rumen sekitar
70-80%, atau 30-40% untuk protein yang sulit dicerna. Kandungan protein
Universitas Sumatera Utara
ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan
konsentrasi NH3 di dalam rumen (McDonald et al.,2002). Selain itu, tingkat
hidrolisis protein bergantung kepada daya larutnya yang akan mempengaruhi
kadar NH3. Gula terlarut yang tersedia di dalam rumen dipergunakan oleh mikroba
untuk menghabiskan amonia (Arora, 1995). Jika pakan defisien protein atau tinggi
kandungan protein yang lolos degradasi, maka konsentrasi NH3 rumen akan
rendah (lebih rendah dari 50 mg/l atau 3,57 mM) dan pertumbuhan organisme
rumen akan lambat (Satter dan Slyter, 1974). Sebaliknya, jika degradasi protein
lebih cepat daripada sintesis protein mikroba, maka NH3 akan terakumulasi dan
melebihi konsentrasi optimumnya. Sutardi (1980) menyatakan kadar amonia yang
dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal
berkisar antara 4-12 mM.
Peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan
mengurangi produksi amonia, karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk
pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut
dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat
NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan
sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah
tersedia (Ranjhan, 1977, disitasi Astriana, D, 2009).
Amonia oleh mikroba rumen digunakan sebagai sumber nitrogen dalam
mensintesis tubuhnya, sehingga kecukupan amonia mutlak diperlukan bagi
perkembangan mikroba rumen. Peningkatan populasi mikroba sangat
menguntungkan bagi hewan ternak, selain meningkatkan kecernaan pakan dalam
rumen ternak juga akan mendapat pasokan protein mikroba yang telah mati dan
Universitas Sumatera Utara
mengalir ke usus. Produksi amonia yang dapat memenuhi kebutuhan tidak akan
merugikan sintesis mikroba rumen, sebaliknya jika produksi amonia rendah akan
mempengaruhi produksi sintesis mikroba rumen. Sutardi (1977) menyatakan
amonia dalam rumen diproduksi terus-menerus walaupun sudah terjadi akumulasi
dan agar NH3 dapat dimanfaatkan oleh mikroba penggunaannya perlu disertai
dengan sumber energi yang mudah difermentasi.
Ternak Domba
Domba dan kambing pada hakekatnya merupakan dua genus dari bovidae
yang berdekatan. Namun demikian ada perbedaan yang mencolok yakni domba
dan kambing tidak dapat di kawin silangkan, hal ini berkaitan dengan domba yang
memiliki kelenjar yang terdapat di bawah yang terbuka serta mengecilkan sekresi
yang ada kalanya berlebihan, sehingga domba sering mengeluiarkan air mata.
Disamping itu juga terdapat kelenjar dicelah-celah kukunya yang menghasilkan
sekresi yang bersifat minyak serta memiliki bau yang khas. Kelenjar ini memberi
petunjuk bagi domba yang tersesat dari kawanannya. Ciri khas yang lain dari
domba adalah tanduknyayang berpenampang segitiga yang tumbuh melilit seperti
spiral (Murtidjo, 1992).
Akan tetapi domba yang kiat sekarang merupakan hasil domestikasi
manusia yang sejarahnya diturunkan dari tiga jenis domba liar, yakni:
1. Mouflon (Ovis Musimon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari
Eropah Selatan dan Asia Kecil.
2. Argoli (Ovis Ammon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia
Tengah dan memiliki tubuh besar yang mencapai tinggi 1,20 meter.
3. Urial (Ovias Vignei), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia
Universitas Sumatera Utara
(Sugeng, 1992).
Domba sudah sejak lama diternakkan orang. Semua jenis domba memiliki
karakteristik yang sama. Semua adalah golongan atau kerajaan (kingdom) hewan
yang termasuk Phylum : Chordata, Kelas : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Famili :
Bovidae, Genus : Ovis aries (Blackely dan Bade, 1998).
Menurut Sodiq dan Abidin (2002), beberapa kelebihan domba yang dapat
diperoleh, antara lain :
- Reproduksinya efisien, yang dapat ditingkatkan dengan jalan usaha
perbaikan tatalaksana pemeliharaan.
- Pada waktu laktasi, penggunaan energi untuk produksi air susu dapat lebih
efisien dibandingkan dengan ternak lain.
- Daya adaptasi ternak domba terhadap lingkungan yang keras cukup tinggi,
sehingga dapat mengkonsumsi lebih banyak jenis pakan hijauan.
- Domba memiliki daya seleksi yang lebih efektif dalam kondisi
penggembalaan dibandingkan dengan jenis ternak lain.
- Domba lebih tahan terhadap beberapa penyakit, terutama Tryponoso
miosis dibandingkan dengan ternak lain.
Populasi domba di Indonesia pada tahun 2008 sebanyak 9,605,338 ekor
dan angka sementara populasi domba tahun 2009 sebanyak 10,471,991 ekor, di
Sumatera Utara pada tahun 2008 sebanyak 268,291 ekor dan angka sementara
populasi domba tahun 2009 sebanyak 268,479 ekor
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2009).
Universitas Sumatera Utara