Post on 11-Feb-2016
description
BAB IPENDAHULUAN
Perdarahan postpartum adalah penyebab utama kematian ibu. Semua wanita yang
sedang hamil lebih dari 20 minggu beresiko untuk mengalami perdarahan post-partum
dan turunannya. Walaupun frekuensi kematian ibu telah menurun sangat pesat di negara-
negara maju, namun perdarahan postpartum tetap merupakan penyebab kematian utama
di negara-negara miskin dan berkembang.
Maternal mortality rate yang berhubungan langsung dengan kehamilan di
Amerika Serikat adalah sekitar 7-10 wanita per 100.000 kelahiran hidup. Statistik
nasional mencatat bahwa kira-kira 8% dari kematian tersebut adalah disebabkan oleh
karena perdarahan postpartum (Berg, 1996). Di negara-negara maju, perdarahan
postpartum biasanya termasuk peringkat 3 teratas penyebab mortalitas ibu, bersama-sama
dengan embolism dan hipertensi. Di negara-negara berkembang, beberapa negara
memiliki angka kematian ibu lebih dari 1000 wanita per 100.000 kelahiran hidup, dan
statistik WHO mencatat bahwa 25% dari kematian tersebut adalah disebabkan oleh
karena perdarahan postpartum, atau mencapai lebih dari 100.000 kematian ibu per tahun
(Abouzahr, 1998)
Frekuensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan
adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di
negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 8%.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut: atonia uteri (50%-
60%), retensio plasenta (16%-17%), sisa plasenta (23%-24%), laserasi jalan lahir (4%-
5%), kelainan darah (0,5-0,8%)
BAB IIISI
2.1 DEFINISIDefinisi dari perdarahan postpartum masih sangat subjektif dan problematis. Perdarahan
postpartum didefinisikan sebagai hilangnya darah lebih dari 500 ml setelah kelahiran
pervaginam atau lebih dari 1000 ml setelah kelahiran dengan sectio cesarean (Baskett,
1999). Hilangnya darah dalam 24 jam pertama disebut sebagai perdarahan postpartum
primer, sedangkan hilangnya darah setelah 24 jam dari kelahiran disebut perdarahan
postpartum sekunder.
Perkiraan hilangnya darah selama proses kelahiran adalah sangat subjektif dan
sangat tidak akurat. Penelitian-penelitian menemukan bahwa banyak petugas-petugas
penolong persalinan secara konsisten meremehkan jumlah darah yang sebenarnya hilang.
Beberapa proposal lain menyatakan dengan memakai patokan turunnya hematokrit
sebanyak 10% untuk mendefinisikan perdarahan postpartum, tetapi perubahan ini
tergantung dari waktu pemeriksaan dan jumlah resusitasi cairan yang diberikan.
(Cunningham, 2001).
Pertimbangan lain adalah perbedaan kapasitas dari setiap individual untuk
merespons hilangnya darah. Seorang wanita yang sehat mengalami peningkatan volume
darah sebanyak 30-50% pada kehamilan tunggal dan lebih toleran terhadap kehilangan
darah daripada wanita yang menderita anemia, gangguan jantung, ataupun dehidrasi dan
preeklampsia. Oleh karena itu, banyak peneliti menyarankan untuk menegakkan
diagnosis perdarahan postpartum dengan berapapun jumlah darah yang hilang yang
mengancam stabilitas hemodinamik dari ibu.
2.2 ETIOLOGIPerdarahan postpartum dapat disebabkan oleh banyak faktor potensial, namun yang
paling sering adalah oleh karena atonia uteri, yaitu kegagalan dari uterus untuk
berkontraksi dan beretraksi setelah kelahiran plasenta. Perdarahan postpartum pada
kehamilan sebelumnya adalah faktor resiko utama dan setiap usaha harus dilakukan
untuk mengetahui keparahan dan penyebabnya. Pada suatu penelitian di Amerika Serikat,
induksi dan augmentasi kelahiran, chorioamnioitis, penggunaan MgSO4 dan riwayat
perdarahan postpartum sebelumnya, semuanya berhubungan dengan peningkatan resiko
terjadinya perdarahan postpartum. (Jackson, 2001).
Sebuah penelitian population-based yang baru-baru dipublikasikan (Shinner,
2005) mendapatkan faktor resiko yang menyebabkan perdarahan post-partum adalah
retensio plasenta, distosia pada kala II, plasenta akreta, laserasi, kelahiran dengan bantuan
instrumen, bayi besar, hipertensi, induksi kelahiran, dan augmentasi kelahiran dengan
oksitosin.
Untuk mempermudah mengingat penyebab dari perdarahan postpartum, singkatan
4T sering digunakan, yaitu: Tonus, Tissue, Trauma, dan Thrombosis.
2.2.1 TONUS
Atonia uteri dan kegagalan kontraksi dan retraksi otot-otot pada myometrium dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat dan parah dan juga shock hipovolemik.
Overdistensi uterus, baik absolut ataupun relatif, adalah faktor resiko utama untuk
terjadinya atoni. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh karena multifetal gestasi,
macrosomia, polyhidramnion, atau kelainan kongenital (seperti hidrocephalus);
abnormalitas struktural uterus; atau kegagalan dalam melahirkan plasenta.
Kontraksi miometrium yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh karena
kelelahan karena prolonged labor maupun oleh karena proses kelahiran yang terlalu
cepat, terutama jika dilakukan dengan rangsangan. Hal ini juga dapat disebabkan oleh
karena inhibisi oleh obat-obatan seperti agen anestesi golongan halotan, nitrat, NSAID,
MgSO4, beta-simpatomimetik, dan nifedipine. Penyebab lain adalah plasenta yang
terletak pada segmen bawah uterus, toxin bakteri (seperti chorioamnionitis,
endomyometritis, septicemia), hipoksia karena hiperperfusi atau Couvelaire uterus pada
abruptio plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif.
2.2.2 TISSUE
Kontraksi uterus dan retraksi memicu terjadinya pelepasan dan ekspulsi plasenta.
Pelepasan yang komplit dan ekspulsi plasenta menyebabkan berlanjutnya retraksi dan
oklusi optimal pembuluh-pembuluh darah endometrium.
Retensio beberapa bagian plasenta sering terjadi jika plasenta memiliki
succenturiate atau lobus tambahan. Setelah lahirnya plasenta dan perdarahan minimal
terjadi, plasenta harus diinspeksi untuk mencari adanya pembuluh darah fetal yang
muncul dari tepi plasenta dan terputus pada ujung membran. Hal ini merupakan tanda
adanya lobus tambahan yang mungkin masih tersisa.
Plasenta biasanya mengalami retensio pada kehamilan preterm (terutama <24
minggu) dan perdarahan yang signifikan biasanya terjadi. Hal ini harus menjadi
pertimbangan pada semua kelahiran pada masa-masa awal gestasi, baik yang terjadi
spontan maupun dirangsang. Penggunaan misoprostol untuk terminasi kehamilan
trimester kedua ternyata dapat menurunkan frekuensi terjadinya retensio plasenta jika
dibandingkan dengan penggunaan teknik intrauterin prostaglandin.
Kegagalan pelepasan lengkap plasenta terjadi juga pada plasenta akreta dan
variannya. Pada kondisi ini, plasenta telah menginvasi melebihi tempat melekatnya dan
menempel secara abnormal. Perdarahan yang signifikan dari daerah normal tempat
melekatnya plasenta sebelumnya mungkin menandakan adanya akreta parsial. Komplit
akreta dimana seluruh permukaan plasenta melekat secara abnormal, atau invasi yang
lebih luas pada plasenta inkreta atau perkreta, mungkin tidak secara langsung
menyebabkan perdarahan yang banyak, namun dapat berkembang bersamaan dengan
usaha yang lebih agresif untuk memisahkan plasenta.
Semua pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan tentang resiko terjadi
perdarahan postpartum yang gawat, termasuk kemungkinan diperlukannya transfusi dan
histerektomi. Darah dapat menyebabkan terjadi distensi pada uterus dan menghambat
kontraksi yang efektif.
2.2.3 TRAUMA
Kerusakan pada traktus genitalis dapat terjadi spontan atau melalui manipulasi dalam
usaha melahirkan bayi. Kelahiran melalui sectio cesarea rata-rata menyebabkan
kehilangan darah dua kali lipat daripada kelahiran pervaginam. Beberapa penyebab
perdarahan postpartum yang dapat terjadi karena trauma antara lain adalah:
a. Ruptur Uteri
Ruptur uterus sering terjadi pada pasien dengan scar dari operasi sectio
cesarea sebelumnya. Semua uterus yang telah mengalami prosedur yang
menyebabkan terjadinya disrupsi total maupun parsial dinding uterus harus
dipertimbangkan beresiko untuk mengalami ruptur uterus pada kehamilan yang akan
datang. Hal ini meliputi fibroidektomi, uteroplasti untuk kelainan kongenital, reseksi
cornual atau cervical, dan perforasi uterus saat dilatasi, kuret, biopsi, histeroskopi,
laparoskopi, atau pemasangan IUD.
Ruptur uteri adalah kejadian yang jarang terjadi tetapi merupakan kegawatan
obstetrik yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi, dengan angka insiden kira-
kira 1 dari 1514 kehamilan (0.07%). Di negara-negara maju, angka ruptur uteri pada
wanita normal tanpa parut uterus adalah 1 dari 7440 kehamilan (0.013%).
Sebagian besar ruptur uteri terjadi pada wanita yang memiliki parut uterus,
yang sebagian besar adalah karena riwayat kelahiran melalui sectio cesarean. Satu
parut bekas SC angka resiko terjadinya ruptur uteri sebanyak 0.51%, sedangkan
wanita dengan dua atau lebih parut uterus resikonya meningkat menjadi 2%.
Kelompok wanita yang juga beresiko terjadi ruptur uteri antara lain adalah wanita
yang menjalani penutupan histerotomi satu lapis, jarak kehamilan yang pendek
setelah kelahiran sebelumnya melalui sectio cesarean, kelainan kongenital pada
uterus, fetus dengan macrosomia, sejarah pemakaian prostaglandin, dan kegagalan
percobaan kelahiran pervaginam (trial of labor).
Intevensi pembedahan setelah terjadinya ruptur uteri dalam waktu kurang dari
10-37 menit sangat penting untuk meminimalkan resiko cedera perinatal pada fetus.
Namun kelahiran dalam jangka waktu ini tidak menjamin tidak terjadi hipoksia dan
asidosis metabolik pada fetus.
Ruptura uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat
berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada
kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada
bagian bawah uterus. Pada robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula.
Apabila robekan tidak terjadi pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal itu
dinamakan kolpaporeksis. Kadang-kadang sukar membedakan antara ruptura uteri
dan kolpaporeksis. Apabila pada ruptura uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut
robek, hal itu dinamakan ruptura uteri kompleta; jika tidak ruptura uteri inkompleta.
Pinggir ruptura biasanya tidak rata; letaknya pada uterus melintang, atau membujur,
atau miring dan bisa agak ke kiri atau ke kanan. Ada kemungkinan pula terdapat
robekan dinding kandung kencing.
Tanda awal yang paling penting dan konsisten pada ruptur uteri adalah adanya
bradikardi fetus yang berlangsung lama dan persisten. Tanda-tanda lain antara lain
adalah nyeri abdomen, kelainan pada perjalanan persalinan, dan perdarahan per
vaginam.
Mekanisme Ruptur Uteri
Pada umumnya uterus dibagi atas dua bagian besar: korpus uteri dan serviks
uteri. Batas keduanya disebut ismus uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak hamil. Bila
kehamilan sudah kira-kira ± 20 mg, dimana ukuran janin sudah lebih besar dari
ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR ismus ini.
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dari
Bandl. Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat pada 2-3 jari di atas
simfisis, bila meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya
ruptura uteri mengancam (RUM).
Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari uterus.
Sedangkan kalau uterus telah cacat, mudah dimengerti, karena adanya lokus minoris
resistens (LMR).
Rumus mekanisme terjadinya ruptura uteri: R = H + O
dimana:
R = Ruptura
H = His kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)
Pada waktu in-partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap
dan cervix menjadi lunak (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab
partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan
hebatnya (his kuat), rnaka SBR yang pasif ini akan tertarik ke atas, menjadi
bertambah regang dan tipis. Lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu
terjadilah robekan pada SBR tadi.
Dalam hal terjadinya ruptur uteri jangan dilupakan peranan dari anchoring
apparatus untuk memfiksir uterus yaitu ligamentum rotunda, ligamentum latum,
ligamentum sacrouterina, dan jaringan parametra.
Menurut cara terjadinya ruptura uteri diadakan perbedaan antara: 1) ruptura
uteri spontan; 2) ruptura uteri traumatik; 3) ruptura uteri pada parut uterus.
Ruptura uteri spontan
Yang dimaksudkan ialah ruptura uteri yang terjadi secara spontan pada uterus
yang utuh (tanpa parut). Faktor pokok di sini ialah bahwa persalinan tidak maju
karena rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak lintang
dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin diregangkan. Pada
suatu saat regangan yang terus bertambah melampaui batas kekuatan jaringan
miometrium: terjadilah ruptura uteri. Faktor yang merupakan predisposisi terhadap
terjadinya ruptura uteri ialah multiparitas; di sini ditengah-tengah miometrium sudah
terdapat banyak jaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi
kurang, sehingga regangan lebih mudah menimbulkan robekan. Oleh banyak penulis
dilaporkan pula bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh dukun-dukun memudahkan
timbulnya ruptura uteri. Pada persalinan yang kurang lancar, dukun-dukun itu
biasanya melakukan tekanan keras ke bawah terus-menerus pada fundus uteri; hal ini
dapat menambah tekanan pada segmen bawah uterus yang sudah regang dan
mengakibatkan terjadinya ruptura uteri. Pemberian oksitosin dalam dosis yang
terlampau tinggi dan/atau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula menyebabkan
ruptura uteri.
Gejala-gejala
Sebelum terjadi ruptura uteri umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala
ruptura uteri membakat. Ia gelisah, pernapasan dan nadi menjadi cepat serta dirasakan
nyeri terus menerus di perut bawah. Segmen bawah uterus tegang, nyeri pada
perabaan dan lingkaran retraksi (Bandl) tinggi sampai mendekati pusat, ligamenta
rotunda tegang. Pada saat terjadinya ruptura uteri penderita kesakitan sekali dan
merasa seperti ada yang robek dalam perutnya; tidak lama kemudian is menunjukkan
gejala-gejala kolaps dan jatuh dalam syok. Pada waktu robekan terjadi perdarahan;
pada ruptura uteri kompleta untuk sebagian mengalir ke rongga perut dan untuk
sebagian keluar per vaginam. Seringkali seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam
rongga perut; pada pemeriksaan vaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau
teraba tinggi dalam jalan lahir. Pada ruptura uteri inkompleta perdarahan yang
biasanya tidak seberapa banyak, berkumpul di bawah peritoneum atau mengalir
keluar. Janin umumnya tetap tinggal di uterus. Pada pemeriksaan ditemukan seorang
wanita pucat dengan nadi yang cepat dan dengan perdarahan pervaginam. Segera
setelah ruptura uteri terjadi, dan janin masuk ke dalam rongga perut, is dapat diraba
dengan jelas pada pemeriksaan luar, dan di sampingnya ditemukan uterus sebagai
benda sebesar kepala bayi. Lambat laun perut menunjukkan meteorismus kadang-
kadang disertai defense musculaire dan janin lebih sukar diraba. Pada ruptura uteri
kompleta kadangkadang juga pada pemeriksaan vaginal, robekan dapat diraba,
demikian pula usus dalam rongga perut melalui robekan.
Ruptura uteri traumatik
Ruptura uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh,
kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi
pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup
tahan terhadap trauma dari luar. Yang lebih sering terjadi ialah ruptura uteri yang
dinamakan ruptura uteri violenta. Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen
bawah uterus dan usaha vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya
ruptura uteri. Hal itu misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang
dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan
besar yang lain ialah ketika melakukan embriotomi. Berhubung dengan itu, setelah
tindakan-tindakan tersebut di atas dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang
sukar, perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui
apakah terjadi ruptura uteri. Gejala-gejala ruptura uteri violenta tidak berbeda dari
ruptura uteri spontan.
Ruptura uteri pada parut uterus
Ruptura uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio
sesarea; peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk
mengangkat mioma (miomektomi), dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut
karena kerokan yang terlampau dalam. Di antara parut-parut bekas seksio sesarea,
parut yang terjadi sesudah seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptura
uteri daripada parut bekas seksio sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal
ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah
uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih balk, sehingga
parut lebih kuat. Ruptura uteri pada bekas parut seksio sesarea klasik juga lebih sering
terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan mulai, sedang peristiwa tersebut pada
parut bekas seksio sesarea profunda umumnya terjadi pada waktu persalinan. Ruptura
uteri pasca seksio sesarea bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan
lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam
hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan secara mendadak, melainkan lambat laun
jaringan di sekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan
terjadilah ruptura uteri. Di sini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat
ruptura uteri inkompleta. Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria besar terbuka
dan timbul perdarahan yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan
untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-
kadang masih ada.
Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat
bekas luka. Jika arteria besar terluka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan
syok janin dalam uterus meninggal pula.
b. Partus Kasep
Partus kasep adalah suatu keadaan persalinan yang mengalami kemacetan dan
berlangsung lama sehingga menimbulkan komplikasi baik pada ibu dan ataupun janin
Partus kasep menurut Harjono adalah merupakan fase terakhir dari suatu partus yang
macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul gejala-gejala seperti dehidrasi,
infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksia dan kematian janin dalam rahim.
1. Komplikasi pada ibu
Edema vagina / vulva .
Edema porsio.
Ruptur uteri.
Banyak penulis melaporkan dan sepakat bahwa kebiasaan yang dilakukan
oleh dukun-dukun memudahkan terjadinya ruptur uteri. Pada persalinan yang kurang
lancar, dukun-dukun biasanya melakukan tekanan-tekanan keras ke bawah terus
menerus pada fundus uteri, hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah
rahim yang sudah teregang dan mengakibatkan ruptur uteri.
- Febris, yaitu temperatur rektal 37.6 C.
- Dehidrasi.
- Tanda infeksi intrauterin.
2. Komplikasi pada janin
Kaput suksedanium yang besar, karena kepala janin tertekan terlalu lama.
Fetal distess, yang ditandai dengan gerak anak yang berkurang,
takikardi/bradikardi, dan air ketuban yang bercampur mekonium
Kematian janin
Trauma dapat terjadi setelah terjadinya kelahiran yang lama, terutama jika
pasien pada pasien terdapat cephalopelvic disproportion (CPD) baik relatif maupun
absolut dan uterus telah dirangsang dengan oksitosin maupun prostaglandin.
Menggunakan monitor tekanan intrauterin dapat mengurangi resiko ini.
c. Laserasi Jalan Lahir
Laserasi serviks sering terjadi pada kelahiran dengan bantuan forceps, dan
serviks harus selalu diinspeksi setelah kelahiran dengan menggunakan teknik ini.
Kelahiran pervaginam dengan bantuan alat (forceps atau vacuum) tidak boleh
dilakukan tanpa adanya dilatasi serviks yang lengkap. Laserasi pada serviks dapat
terjadi secara spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat menahan lahirnya bayi
walaupun belum terjadi bukaan lengkap. Sangat jarang dimana serviks diinsisi pada
posisi jam 2 dan 10 untuk memfasilitasi kelahiran kepala yang terjebak pada saat
kelahiran sungsang (insisi Duhrssen).
Laserasi pada dinding samping vagina sering terjadi pada kelahiran dengan
bantuan forceps, dan dapat juga terjadi secara spontan, tertutama jika terdapat
presentasi ganda dimana terdapat tangan bayi bersamaan dengan kepala. Laserasi
mungkin dapat terjadi saat manipulasi untuk melahirkan distosia bahu. Laserasi
sering terjadi pada daerah yang menutupi spina ischiadica. Frekuensi laserasi dinding
samping vagina dan serviks sekarang mungkin telah berkurang, berhubung dengan
telah jarangnya digunakan forceps midpelvis dan khususnya prosedur rotasi
midpelvis.
Trauma pada dinding vagina bagian bawah dapat terjadi spontan maupun oleh
karena episiotomi. Laserasi spontan biasanya melibatkan fourchette posterior.
Trauma juga dapat terjadi oleh karena manipulasi fetus baik internal maupun
eksternal. Resiko tertinggi kemungkinan berhubungan dengan versi internal dan
ekstraksi bayi kembar yang kedua. Namun ruptur uteri juga dapat terjadi sekunder
dari versi eksternal.
Trauma dapat terjadi sekunder dari usaha untuk mengeluarkan plasenta yang
mengalami retensio baik secara manual maupun dengan instrumentasi. Uterus harus
selalu dikendalikan dengan tangan pada abdomen saat melakukan prosedur tersebut.
Injeksi salin/oksitosin melalui vena intraumbilikal dapat mengurangi perlunya teknik
pengeluaran yang lebih invasif.
2.2.4 THROMBOSIS
Beberapa saat memasuki periode postpartum, gangguan sistem koagulasi dan platelet
tidak selalu langsung menyebabkan perdarahan yang masif. Hal ini disebabkan oleh
karena efisiensi dari kontraksi dan retraksi uterus untuk mencegah perdarahan (Baskett,
1999). Deposisi fibrin di tempat melekatnya plasenta dan clots di dalam pembuluh darah
yang mensuplai darah ke plasenta memegang peranan penting dalam beberapa jam
setelah partus, dan abnormalitas pada sistem ini dapat menyebabkan perdarahan post
partum sekunder.
2.3 PATOFISIOLOGISelama kehamilan volume darah ibu meningkat hingga kira-kira 50% (dari 4 Liter
menjadi 6 Liter). Volume plasma meningkat lebih dari volume total RBC, menyebabkan
menurunnya konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Peningkatan volume darah
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perfusi unit uteroplasenta dan untuk menyediakan
cadangan untuk kehilangan darah saat kelahiran. (Cunningham, 2001).
Saat aterm, perkiraan aliran darah menuju ke uterus adalah sekitar
500-800ml/menit, yaitu sekitar 10-15% dari cardiac output. Sebagian besar aliran ini
melewati plasenta bed dengan tahanan rendah. Pembuluh darah uterus yang menyuplai
plasenta bed menembus suatu anyaman serat-serat myometrium. Saat serat-serat otot ini
berkontraksi setelah kelahiran, retraksi uterus lalu terjadi. Retraksi adalah sifat unik dari
otot-otot uterus untuk mempertahankan ukurannya yang pendek setelah terjadinya
kontraksi yang terus menerus. Pembuluh-pembuluh darah lalu terjepit dan terpelintir oleh
anyaman otot ini dan dalam keadaan normal, aliran darah dengan cepat akan teroklusi.
Susunan serat-serat otot ini sering dikenal sebagai ‘living ligatures’ atau ‘physiologic
sutures’ dari uterus.
Atonia uteri adalah kegagalan dari serat-serat myometrium untuk berkontraksi
dan retraksi. Hal ini adalah penyebab utama terjadinya perdarahan postpartum dan
biasanya terjadi segera setelah kelahiran bayi hingga 4 jam setelah kelahiran. Trauma
pada traktus genitalis (uterus, serviks, vagina, labia, klitoris) pada saat kehamilan
menghasilkan perdarahan yang lebih banyak daripada keadaan tidak hamil karena
peningkatan aliran darah ke jaringan-jaringan ini.
2.4 GEJALA KLINISWalaupun gejala klinis yang tampak pada perdarahan postpartum paling sering terjadi
secara dramatis, namun perdarahan dapat terjadi secara lambat dan terlihat tidak berarti
tetapi pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya darah hingga batas kritis dan terjadi
shock. Perawatan rutin pada periode postpartum harus meliputi observasi dan
dokumentasi vital sign dan kondisi, hilangnya darah pervaginam, dan tonus dan ukuran
uterus. Uterus harus secara periodik dimasase untuk mengeluarkan clots yang
terakumulasi di uterus maupun di vagina.
Presentasi yang umum dari perdarahan postpartum adalah adanya perdarahan
pervaginam yang masif yang secara cepat akan menyebabkan timbulnya tanda-tanda
shock hipovolemik. Hilangnya darah secara cepat ini merefleksikan kombinasi dari
tingginya aliran darah uterus dan penyebab yang paling sering dari perdarahan
postpartum yaitu atonia uterus. Perdarahan biasanya terlihat pada introitus, dan hal ini
terjadi jika plasenta telah lahir. Jika plasenta masih in situ, maka sejumlah darah yang
signifikan mungkin tertahan di dalam uterus di belakang plasenta yang baru terpisah
sebagian, pada membran, atau keduanya.
Bahkan setelah lahirnya plasenta, darah dapat terakumulasi pada uterus yang
atonik. Untuk alasan ini, maka ukuran dan tonus uterus harus terus dimonitor pada kala
III dan juga pada kala IV, setelah lahirnya plasenta. Jika penyebab perdarahan bukan oleh
karena atonia uterus, maka hilangnya darah mungkin berlangsung lebih lambat dan
gejala-gejala klinis hipovolemia baru tampak setelah beberapa waktu. Perdarahan yang
berasal dari trauma mungkin tersamar dalam bentuk hematoma pada retroperitoneum,
broad ligament atau traktur genitalia bagian bawah, atau cavum abdomen. Gejala klinis
hipovolemia dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Jumlah darah
yang Hilang (ml)
Tekanan darah
(sistolik)
Gejala dan Derajat shock
500-1000
(10-15%)
Normal Palpitasi, takikardi,
pusing
Dapat dikompensasi
1000-1500
(15-25%)
Sedikit turun
(80-100 mmHg)
Lemas, takikardi,
berkeringat
Ringan
1500-2000
(25-35%)
Turun sedang
(70-80 mmHg)
Pucat, oliguri,
gelisah
Sedang
2000-3000
(35-50%)
Turun drastis
(50-70 mmHg)
Kolaps, sesak napas,
anuria
Berat
2.5 DIAGNOSIS
Perdarahan postpartum biasanya bermanifestasi sangat cepat, sehingga prosedur
diagnostik yang dapat dilakukan umumnya terbatas pada pemeriksaan fisik dari struktur
yang terlibat.
Asesmen tonus uterus dan ukurannya dikerjakan dengan meletakkan satu tangan
pada fundus dan mempalpasi bagian anterior dari uterus. Adanya uterus yang lunak baik
dengan perdarahan pervaginam berat ataupun meningkatnya ukuran uterus menandakan
adanya atonia uterus. Adanya atonia uterus dan perdarahan biasanya mencegah diagnosis
perdarahan postpartum oleh sebab yang lain, oleh karena ketidakmampuan untuk
memvisualisasikan organ yang lain. Untuk alasan ini dan oleh karena hilangnya darah
dengan cepat sekunder karena atonia, manajemen dan kontrol atonia adalah yang paling
utama.
Jika plasenta telah dilahirkan, dari pemeriksaan mungkin ditemukan adanya
bagian yang mengalami retensio. Jika belum dilahirkan atau jika gumpalan darah
mengalami retensi atau fragmen plasenta menyebabkan distensi plasenta dan perdarahan
terus terjadi, maka eksplorasi manual dan pengeluaran harus segera dilakukan. Tindakan
ini juga sekaligus terapeutik dengan jalan mengosongkan uterus dan memungkinkan
terjadinya kontraksi, juga untuk membantu diagnosis adanya plasenta akreta dan ruptur
uterus. Laserasi vagina dan serviks juga dapat dipalpasi pada pemeriksaan ini.
Jika atonia uterus telah diatasi dan perdarahan dari yang bersumber dari uterus
minimal, pemeriksaan yang teliti dilakukan pada traktus genitalis bagian bawah untuk
mencari sumber perdarahan pada area ini. Palpasi dan inspeksi juga dapat dilakukan
untuk menemukan hematoma. Serviks dan vagina harus seluruhnya diinspeksi.
2.6 PENCEGAHAN PERDARAHAN POSTPARTUMMencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan
terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu
bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang
baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat
dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan da-
rah, dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan
keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterotonika). Setelah ketuban
pecah kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir
diberikan 1 ampul methergin atau kombinasi dengan 5 satuan sintosinon (=sintometrin
intravena). Hasilnya biasanya memuaskan.
2.7 TERAPITerapi medis: penanganan pasien dengan perdarahan postpartum terdiri dari 2 komponen
utama, yaitu:
1) Resusitasi dan manajemen perdarahan obstetrik dan, kemungkinan juga shock
hipovolemik
2) Identifikasi dan manajemen dari penyebab perdarahan.
Penanganan perdarahan postpartum yang berhasil memerlukan kedua hal tersebut di atas
dilakukan secara simultan dan sistematis.
2.7.1 MANAJEMEN PERDARAHAN OBSTETRIK
Pasien dengan perdarahan postpartum memerlukan tindakan agresif untuk
mengembalikan dan memelihara volume darah yang beredar (dan sekaligus tekanan
perfusi) pada struktur-struktur vital. Semua unit medis yang terlibat dalam penanganan
ibu hamil harus memiliki protokol untuk manajemen perdarahan obstetrik.
Diagnosis perdarahan postpartum ditegakkan dengan observasi jumlah perdarahan
dan keadaan klinis pasien. Jumlah darah yang hilang dan tingkat kesadaran pasien dan
vital signs dimonitor secara kontinyu. Setelah diagnosis ditegakkan, segera beritahu
petugas yang diperlukan. Tingkat keparahan dan penyebab perdarahan menentukan juga
petugas khusus mana yang perlu dipanggil, tetapi minimal 1 dokter spesialis kandungan
dan 1 petugas anestesi diperlukan. Bidan dan perawat yang memiliki skill dan
berpengalaman sangat penting. Memberitahu pusat penyedia darah juga penting,
sehingga ketersediaan produk darah dapat segera terpenuhi jika diperlukan dengan
segera. Pastikan ketersediaan ruang operasi.
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan pada wanita yang mengalami perdarahan obstetrik kadang-kadang
dilakukan terlalu konservatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena:
1) perdarahan yang terjadi sering dianggap remeh
2) wanita biasanya mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi hilangnya darah
saat dalam keadaan sehat dan karena keadaan hipervolemia saat kehamilan
3) pertimbangan dalam over resusitasi yang ditakutkan dapat menyebabkan edema
pulmoner
4) kegagalan untuk mengetahui gangguan keseimbangan cairan tubuh
Segera laksanakan resusitasi cairan. Meninggikan kaki dapat meningkatkan
venous return dan konsisten dengan posisi yang digunakan untuk melakukan diagnosa
dan menangani penyebab perdarahan. Berikan oksigen dan peroleh akses ke intravena.
Semua line intravena (IV) dimulai sejak di ruang bersalin dan jika mungkin digunakan
kanula dengan ukuran yang sufisien jika perdarahan postpartum menjadi berat. IV line
dengan ukuran 14G dapat memasukkan 2 kali lipat cairan jika dibandingkan dengan 18G
dalam periode waktu yang sama. Saat inpartu, pasang setidaknya 1 IV line pada ibu
dengan resiko perdarahan postpartum, dan pertimbangkan pemasangan IV line kedua
pada ibu dengan resiko yang sangat tinggi.
Lakukan resusitasi awal dengan volume besar cairan kristaloid, seperti normal
saline (NS) ataupun ringer lactate (RL), melalui jalur intravena perifer. Akses vena
sentral tidak diperlukan pada sebagian besar pasien dengan perdarahan postpartum,
namun jika diperlukan tindakan ini tidak boleh ditunda. Ambil darah untuk pemeriksaan
dasar. NS adalah cairan yang cocok digunakan oleh karena harganya yang murah dan
kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan tranfusi darah. Resiko hiperkloremik
asidosis sangat jarang terjadi pada perdarahan postpartum. Jika lebih dari 10 Liter
kristaloid digunakan, maka pertimbangkan untuk menggunakan larutan RL.
Cairan yang mengandung dextrose, seperti dextrose 5% dalam air, tidak memiliki
peran berarti dalam penanganan perdarahan postpartum. Hilangnya 1 Liter darah
memerlukan penggantian 4-5 Liter kristaloid karena sebagian besar kristaloid yang
masuk tidak ditahan dalam ruang intravaskuler melainkan masuk ke ruang interstisial.
Hal ini akan menyebabkan edema beberapa hari setelahnya. Ginjal yang sehat dengan
mudah akan mengeksresikan cairan yang berlebihan ini. Lakukan pemberian awal
kristaloid yang tidak terbatas, dengan tujuan infus adalah mengganti volume yang hilang
dalam beberapa menit. Perdarahan postpartum hingga 1500 mL pada wanita hamil yang
normal dapat ditangani dengan pemberian kristaloid saja jika penyebab perdarahan dapat
dihentikan. Hilangnya darah umumnya memerlukan tambahan tranfusi PRBC.
Karena sebagian besar volume kristaloid akan berpindah ke ruang interstisial,
maka penggunaan koloid untuk resusitasi telah diteliti. Koloid sebagian besar akan
tertahan di ruang intravaskuler, yang termasuk albumin, dextran, hidroxyethyl starch
(HES), dan gelatin yang dimodifikasi. Volume koloid yang banyak (>1000-1500
mL/hari) dapat menyebabkan efek samping pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid
yang telah diteliti memiliki kelebihan terhadap NS, dan karena harganya yang mahal dan
efek samping yang disebabkannya, maka kristaloid lebih direkomendasikan untuk
resusitasi.
Transfusi Darah
Segera siapkan transfusi darah jika perdarahan terjadi terus menerus dan diperkirakan
telah melebihi 2000 mL atau keadaan klinis pasien mencerminkan keadaan ke arah shock
walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang agresif. Data dari berbagai sumber
mendapatkan bahwa hanya 1 dari 16-40 wanita yang mengalami perdarahan postpartum
memerlukan transfusi jika manajemen aktif kala tiga digunakan, sedangakan jika
manajemen ekspektasi digunakan didapatkan 1 dari 9 wanita memerlukan tranfusi.
Whole blood sudah jarang ditemukan pada sebagian besar tempat, dan untuk
banyak alasan, maka PRBC digunakan bersamaan dengan komponen-komponen darah
lainnya dan diberikan jika ada indikasi. Sebagian besar unit medis harus memiliki akses
terhadap PRBC O-type Rh-negatif yang belum dicrossmatch untuk persiapan mengatasi
perdarahan yang sangat masif. Sediakan darah yang telah dicrossmatch untuk tranfusi
dalam 30 menit. Petugas medis harus mengetahui kemampuan unit penyedia darah untuk
menyediakan darah sesuai dengan waktu, tipe dan jumlah yang diperlukan dalam keadaan
darurat. Komunikasi yang baik dengan unit transfusi sangat penting.
Tujuan dari tranfusi adalah segera melakukan transfusi 2-4 U PRBC untuk
menggantikan kapasitas pengangkutan oksigen yang hilang dan untuk mengganti volume
cairan yang hilang. Gunakan infus set dengan filter khusus, dan gunakan penghangat
darah jika infus rate >100mL/min atau total volume yang ditransfusikan tinggi. Resiko
dari transfusi antara lain adalah infeksi, reaksi transfusi, dan perkembangan antibodi
atipikal. Resiko terjadinya hipotermia dicegah dengan penggunaan penghangat darah.
Respons terhadap Resusitasi
Monitor tingkat kesadaran pasien, nadi, tekanan darah, dan urine output selama dilakukan
resusitasi. Urine output sebanyak 30 mL/jam mengindikasikan perfusi ginjal yang
adekuat. Monitor juga CBC count, koagulasi, dan gas darah untuk melihat status asam-
basa. Pulse oximetry juga sangat berguna untuk memonitor perfusi jaringan dan saturasi
oksigen. Auskultasi paru dapat membantu mendeteksi terjadinya edema pulmoner atau
perkembangan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pada pasien kritis yang
mengalami perdarahan terus menerus, pemasangan central venous line dapat berguna
dalam resusitasi. Pemasangan arterial line juga dapat membantu monitoring tekanan
darah. Tetapi hanya sedikit pasien dengan perdarahan postpartum yang memerlukan
monitoring invasif seperti itu.
2.7.2 MANAJEMEN FAKTOR PENYEBAB PERDARAHAN POSTPARTUM
a. Atonia Uteri
Tergantung pada banyaknya perdarahan dan derajat atonia uteri, dibagi dalam 3
tahap:
Tahap I Perdarahan yang tidak begitu banyak dapat diatasi dengan cara
pemberian uterotonika, mengurut rahim (massage), dan memasang gurita.
Tahap II Bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak, selanjutnya
berikan infus dan transfusi darah dan dapat dilakukan:
- perasat (maneuver) Zangemeister
- perasat (maneuver) Fritch
- kompresi bimanual
- kompresi aorta
- tamponade utero-vaginal
- jepitan arteri uterina dengan cara Henkel.
Tamponade utero-vaginal walaupun secara fisiologis tidak tepat, hasilnya masih
memuaskan, terutama di daerah pedesaan di mana fasilitas lainnya sangat minim atau
tidak ada.
Tahap III Bila semua upaya di atas tidak menolong juga, maka usaha terakhir
adalah menghilangkan sumber perdarahan, dapat ditempuh dua cara, yaitu dengan
meligasi arteri hipogastrika atau histerektomi.
b. Trauma traktus genitalis:
Trauma pada traktus genitalis adalah penyebab perdarahan postpartum yang paling
mungkin jika uterus berkontraksi baik. Gunakan analgesia yang tepat serta cahaya
dan posisi yang baik dalam bekerja.
Visualisasikan secara langsung dan inspeksi serviks dengan bantuan ring
forceps. Anterior lip dijepit dan serviks diinspeksi dengan menggunakan ring forceps
kedua yang diletakkan pada arah jam 2, diikuti dengan gerakan memutar sehingga
semua sirkumferensial dapat diinspeksi. Laserasi kecil dan tidak berdarah pada
serviks tidak memerlukan penjahitan. Jahit semua perdarahan yang lebih panjang dari
2 cm.
Gunakan benang absorbable (catgut atau polyglycolic), dengan jahitan jelujur
interlocking (Feston) untuk semua repair kecuali untuk kulit perineum. Pastikan
semua jahitan dimulai diatas apex dari robekan. Jika apex tidak dapat
divisualisasikan, jahit setinggi mungkin lalu gunakan untuk menarik sehingga apex
robekan dapat terlihat. Laserasi diobservasi perdarahannya setelah robekan selesai
dijahit.
Laserasi pada liang vagina harus divisualisasikan dengan baik dan sejauh
mana laserasi yang terjadi harus diketahui sebelum melakukan repair. Laserasi yang
terletak tinggi pada liang vagina dan tampak ekstensi dari serviks kemungkinan dapat
melibatkan uterus atau menuju ke broad ligament atau hematoma retroperitoneal.
Kedekatan organ ureter pada forniks vagina lateral, dan dasar dari buli-buli pada
forniks anterior, harus dipertimbangkan dalam melakukan perbaikan, karena
penempatan jahitan yang salah dapat menyebabkan terjadinya fistula genitourinari.
Jahitan dilakukan dengan menggunakan benang absorbable, dengan teknik jelujur
interlocking (Feston). Jahitan harus dimulai dan diakhiri pada apex luka. Lalu,
laserasi harus diobservasi untuk melihat adanya perdarahan setelah repair selesai.
Penekanan pada luka untuk mencapai hemostasis dapat dilakukan.
c. Perdarahan pada kelahiran Cesarean:
Di masa lalu, sebagian besar perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam
adalah disebabkan oleh karena atonia uterus, namun, data terbaru menunjukkan
bahwa banyak kasus sekarang yang berhubungan dengan persalinan melalui Sectio
Cesarean.
Ruptur uteri juga telah menjadi penyebab yang lebih sering terjadinya
perdarahan postpartum yang masif yang memerlukan tindakan histerektomi.
Mayoritas kasus-kasus ini adalah pasien dengan riwayat persalinan dengan Sectio
Cesarean. Selalu lakukan konseling pada pasien dengan riwayat plasenta previa dan
terutama pasien dengan scar segmen bawah uterus (SBR) pada saat antenatal care
mengenai resiko terjadinya perdarahan postpartum dan kemungkinan perlunya
transfusi, bahkan histerektomi. Pastikan pasien-pasien ini dirawat di fasilitas dengan
sumberdaya yang mampu menangani jika komplikasi terjadi.
Manajemen perdarahan setelah sectio cesarea maupun karena ruptur uteri
tidak berbeda jauh dengan kelahiran pervaginam. Resusitasi agresif dilakukan dengan
tujuan utama mengembalikan volume sirkulasi dan kapasitas pengangkutan oksigen
serta memperbaiki hemostasis. Kompresi bimanual dapat dilakukan jika terjadi atonia
uteri. Injeksi uterotonika langsung intramyometrium dapat dilaksanakan. Vasopressin
(0.2 U dalam 1 mL NS) dapat juga langsung diinjeksikan ke myometrium, dengan
menghindari pembuluh darah. Pembuluh darah pada plasenta bed dapat diligasi
tersendiri untuk menghentikan perdarahan. Jika reproduksi tidak dikehendaki lagi,
maka segera pertimbangkan histerektomi, juga jika perdarahan dan kerusakan pada
uterus tampak sangat berat.
d. Ruptur Uteri:
Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan persalinan harus dilakukan dengan
cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan distosia; dan pada
persalinan wanita yang pernah mengalami seksio sesarea atau pembedahan lain pada
uterus. Pada persalinan dengan kemungkinan distosia perlu diamat-amati terjadinya
regangan segmen bawah uterus dan apabila tanda-tanda itu ditemukan, persalinan
harus diselesaikan dengan segera, dengan cara yang paling aman bagi ibu dan anak.
Mengenai pencegahan ruptura uteri pada wanita yang pernah mengalami seksio
sesarea, di beberapa negara terdapat pendapat bahwa sekali seksio, seterusnya seksio.
Pendirian ini tidak dianut di Indonesia. Seorang wanita yang mengalami seksio
sesarea untuk sebab yang hanya terdapat pada persalinan yang memerlukan
pembedahan itu untuk menyelesaikannya, diperbolehkan untuk melahirkan pervagi-
nam pada persalinan berikutnya. Akan tetapi ia harus bersalin di rumah sakit, supaya
diawasi dengan baik. Kala II tidak boleh berlangsung terlalu lama dan pemberian
oksitosin tidak dibenarkan. Ketentuan bahwa tidak perlu dilakukan seksio sesarea
ulangan pada wanita yang pernah mengalami seksio sesarea tidak berlaku untuk
seksio sesarea klasik.
Di sini, berhubung adanya bahaya yang lebih besar akan timbulnya ruptura
uteri, perlu dilakukan seksio sesarea. Malahan penderita hendaknya dirawat 3 minggu
sebelum jadwal persalinan. Dapat dipertimbangkan pula untuk melakukan seksio
sesarea sebelum persalinan mulai, asal kehamilannya benar-benar lebih dari 37
minggu. Apabila terjadi ruptura uteri, tindakan yang terbaik ialah laparotomi. Janin
dikeluarkan dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini jika
janin sudah tidak dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin tidak
dilahirkan pervaginam, kecuali jika janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus
dengan kepala sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan terhadap
diagnosis ruptura uteri. Dalam hal ini, setelah janin di lahirkan, perlu diperiksa
dengan satu tangan dalam uterus apakah ada ruptura uteri.
Pada umumnya pada ruptura uteri tidak dilakukan penjahitan luka dalam
usaha untuk mempertahankan uterus. Hanya dalam keadaan yang sangat istimewa hal
itu dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir luka harus rata
seperti pada ruptura parut bekas seksio sesarea, dan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Pengobatan untuk memerangi syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan
penderita dengan ruptura uteri.
Histerektomi harus dipertimbangkan sebagai pilihan utama jika terjadi
perdarahan uterus yang terus menerus dan tidak dapat dihentikan, atau jika lokasi dari
ruptur uteri terletak di beberapa tempat, longitudinal, atau terletak di bagian bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwono P. Ilmu Kandungan Edisi Kedua. Jakarta, Yayasan Bina Pustaka. 1999.
Smith, John R. Postpartum Hemorrhage.
Available at: http://www.emedicine.com/med/topic3568.htm. E-medicine. 2006.
R. Mochtar. Sinopsis Obstetri Jilid Satu. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998
Gerard GN, Krystle QP, et.al. Uterine Rupture in Pregnancy.
Available at: http://www.emedicine.com/med/topic3746.htm. E-medicine. 2006.