Post on 20-Dec-2015
BAB I
PENDAHULUAN
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau
2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar diregio hipokondria
dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondriasinistra. Hati memiliki dua
lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan
posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial
dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat
padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputiseluruh permukaan hati. Setiap
lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yangdisebut sebagai lobulus, yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsionalorgan yang terdiri atas lempeng-lempeng
sel hati dimana diantaranya terdapatsinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena
dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang
melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam
darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. Hati mempunyai
fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya yaitu pembentukan dan
ekskresi empedu, pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan. Penimbunan vitamin dan
1
mineral, mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain, hati
juga berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi. (1,2,3,4)
Abses hati masih merupakan masalah kesehatan dan sosial pada beberapa
negara di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Prevalensi yang tinggi sangat erat
hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang
buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di
daerah perkotaan. Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh
karenainfeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari
sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi
dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi
atausel darah didalam parenkim hati. (1)
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses
hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial
abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP inimerupakan kasus yang relatif
jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400SM) dan dipublikasikan pertama
kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek,
status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arusurbanisasi
2
menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan.Di negara yang
sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkansecara endemik
dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapadekade terakhir ini telah
banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis,etiologi, bakteriologi, cara
diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. (2)
BAB II
LAPORAN KASUS
Dilaporkan kasus yang ditemukan di ruangan rajawali bawah, RSUD
Anutapura,Palu. Identitas pasien, nama Tuan Moh.Zain, umur 48 tahun, alamat Desa
3
Sibalaya Utara, Kec. Tanamulava, Kab. Sigi, pekerjaan Kepala Desa, agama Islam,
pasien masuk tanggal 21 september 2014.
Pasien masuk Rumah sakit dengan keluhan utama nyeri perut. Nyeri perut
dirasakan pada bagian perut kanan atas sejak ± 1 bulan yang lalu. Awalnya pasien
mengalami demam tetapi menurut pasien hanya demam-demam biasa (suhu badan
tidak terlalu panas). Setelah mengalami demam pasien kemudian mulai merasakan
nyeri perut kanan atas secara tiba-tiba. Rasanya seperti ditusuk-tusuk sampai tembus
kebelakang. Nyeri akan bertambah ketika pasien berjalan, dan agak berkurang ketika
berbaring. Pasien tidak mengalami kejang, sakit kepala (-), mimisan (-), gusi berdarah
(-), batuk kadang-kadang, flu (-), nyeri dada (-), sesak nafas (-). Pasien juga
mengalami mual tetapi tidak sampai muntah. Pasien mengatakan bahwa badannya
terasa lemas dan nafsu makan berkurang. Buang air besar pasien normal, berwarna
kuning kecoklatan. Buang air kecil kadang berwarna gelap seperti teh.
Riwayat penyakit sebelumnya dan kebiasaan/perilaku, pasien memiliki
riwayat BAB cair dialami sekitar 1 bulan lalu, BAB cair selama 3 hari namun sembuh
dengan sendirinya. Riyawat hipertensi (+), riwayat merokok dan mengkonsumsi
alkohol (+). Pasien biasa mengkonsumsi air minum yang bersumber dari pengairan
desa. Riwayat penyakit keluarga, tidak ada keluarga yang memiliki sakit serupa.
4
Dari pemeriksaan fisik di temukan kesadaran kompos mentis, TD : 110/80
mmHg, N: 80 kali/menit, P : 20 kali/menit, suhu : 37,3oC, konjungtiva anemis (+).
thorax: tidak ditemukan kelainan; abdomen: nyeri ketok regio hipokondrium dextra,
hepatomegali (+), konsistensi lunak, tepi tumpul, permukaan rata, murphy sign (+).
Nyeri tekan regio hipokondrium dextra.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin, didapatkan kesan
leukositosis dengan WBC 21,07x103/uL, RBC 3,67x106/uL, HGB 10,5 g/dL, HCT
33,0%, MCV 89,9 fL, MCH 28,8 pg, MCHC 31,8 g/dL, PLT 384x103/uL. Pada
pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 58 u/L, SGPT 44 u/L, Ureum 34 mg/dL,
Kreatinin 0,6 mg/dL.
Dari pemeriksaan USG abdomen didapatkan ukuran hepar membesar, tampak
lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x 9,5 cm
pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct dengan kesan
abses hepar. Dan dari hasil pemerikaan foto thorax (PA) didapatkan adanya kesan
elevasi diafragma kanan.
Dari anamnesis dan emeriksaan yang dilakukan, di ambil diagnosis kerja
abses hepar. Yang di diagnosis bandingkan dengan kolesistitis akut dan hepatoma.
Penanganan dari kasus ini adalah melalui non medikamentosa yaitu Istirahat yang
cukup (tirah baring). Menjaga higienitas makanan, minuman, tempat tidur, pakaian,
dan perlengkapan lainnya, diet lunak, tinggi karbohidrat dan tinggi protein.
Medikamentosa IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, Antibiotik : Amoksisilin 500 mg 3 x 1
5
tablet (terapiawal), Metronidazole 0,5mg/8jam/IV, Antipiretik : Sistenol tablet 500
mg 3x1 tablet (jika panas). Operatif (Pertimbangan insisi drainase abses perkutaneus)
BAB III
PEMBAHASAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem
6
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus di dalam parenkim hati. Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu
a. Abses hati amebic (AHA)
AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal, paling
sering terjadi di daerah tropis/subtropik. AHA lebih sering terjadi endemic di negara
berkembang dibanding AHP. AHA terutama disebabkan oleh E.
Histolytica.
Salmonella Thypi
Entamoeba Hystolytica
Streptokokus
Escherichia Coli
Pada amebiasis hati penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica. Hanya
sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala amebiasis
invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu strain patogen dan non
patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain E.hystolitica ini berbeda berdasarkan
kemampuannya menimbulkan lesi pada hati.(1,6)
Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti. Ada beberapa
mekanisme yang telah dikemukakan antara lain faktor virulensi parasit yang
menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit,
imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan penurunan imunitas
cell-mediated. (1,6)
7
Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme :
Strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen.
Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung pada
interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama
pada flora bakteri.
Mekanisme terjadinya amebiasis hati :
Penempelan E.hystolitica pada mukus usus.
Pengerusakan sawar intestinal.
Lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell-
mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit
tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll.
Penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian besar
melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai
nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma
diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis
seperti jaringan fibrosa. Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun
setelah terjadinya amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi
tanpa didahului riwayat disentri amebiasis. (1,6)
b. Abses hati piogenik (AHP/ Hepatic Abcess, Bacterial Liver Abcess)
AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan sanitasi
kurang. Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
8
anaerobic streptococci, klebsiella pneumonia, bacteroides, fusobacterium, S. aureus,
S. milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia
enterolitica, S. typhi, brucella militensis, dan fungal.Pada era pre-antibiotik, AHP
terjadi akibat komplikasi apendisitis bersamaan dengan fileflebitis. Bakteri patogen
melalui a. hepatica atau sirkulasi vena portal masuk ke dalam hati, sehingga terjadi
bakterimia sistemik, atau menyebabkan komplikasi infeksi intraabdominal
(diverticulitis, peritonitis, dan infeksi post operasi). (1,7,8)
Sedangkan saat era antibiotik, terjadi peningkatan insidensi AHP akibat
komplikasi dari sistem biliaris (kolangitis, kolesistitis). Hal ini karena makin tinggi
angka harapan hidup dan makin banyak pula orang lanjut usia dikenai penyakit
sistem biliaris ini. AHP juga bisa akibat trauma, luka tusuk / tumpul, dan kriptogenik.
(1,7,8)
Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari :
a) Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan
pielflebitis porta atau emboli septik.
b) Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis septik
dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu empedu,
kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.
c) Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti abses
perinefrik, kecelakaan lau lintas
d) Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.
e) Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ lanjut usia.
9
Manifestasi akut lebih sering pada abses hati amuba dari pada piogenik.
Jarang sekali penderita dengan ruptur abses hepar menyebabkan syok. Banyak pasien
dewasa yang memiliki gejala yang sama, namun lebih berat pada abses hati piogenik.
Pasien dengan abses hati amuba sering memiliki riwayat penyakit diare (20-50%).
Gejala klinis yang klasik pada abses hati amuba dapat berupa demam yang tidak lebih
dari 38,5 °C, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri
tekan. Jarang sekali disertai ikterus, prekoma, atau koma. Bila lobus kiri yang
terkena, akan ditemukan massa di daerah epigastrium. Kadang-kadang gejalanya
tidak khas dan timbul pelan-pelan. Penderita tidak kelihatan sakit berat seperti pada
abses karena bakteri. (1,6,7)
No Gejala Presentase (%)
1 Nyeri perut 84-93
2 Demam 80-93
3 Menggigil 41-73
4 Nausea 45-85
5 Berat badan menurun 29-45
6 Diare 17-60
7 Batuk 2-41
No Tanda Presentase (%)
1 Nyeri tekan perut kanan atas 67-80
2 Hepatomegali 18-53
3 Tanda peritoneal 18-20
4 Ikterus 4-12
10
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang
lebih berat dari abses hati amuba. Secara klinis, ditemukan demam yang naik turun,
rasa lemas, penurunan berat badan dan nyeri perut. Nyeri terutama di bawah iga
kanan atau pada kuadran kanan atas. Dapat dijumpai gejala dan tanda efusi pleura.
(1,6,7)
Nyeri sering berkurang bila penderita berbaring pada sisi kanan. Demam
hilang timbul atau menetap bergantung pada jenis abses atau kuman penyebabnya.
Dapat terjadi ikterus, ascites dan diare. Ikterus, terutama terdapat pada abses hati
piogenik karena penyakit saluran empedu disertai dengan kolangitis supurativa dan
pembentukan abses multiple. Jenis ini prognosisnya buruk.(1,6,7)
Pada pemeriksaan mungkin didapatkan hepatomegali atau ketegangan pada
perut kuadran lateral atas abdomen atau pembengkakan pada daerah intercosta.
Ketegangan lebih nyata pada perkusi. Apabila abses terdapat pada lobus kiri,
mungkin dapat diraba massa di epigastrium.(1,6,7)
No Gejala Presentase (%) Tanda Presentase(%)
1 Demam 80 Hepatomegali 50
2 Nyeri perut 50 Nyeri tekan 50
3 Menggigil 40 Ikterus 25
4 Mual dan muntah 35 Efusi pleura 20
5 Berat badan
menurun
30
11
Dalam kasus ini, seorang Pasien laki-laki 48 tahun masuk rumah sakit dengan
nyeri abdomen kuadran kanan atas sejak ± 1 bulan yang lalu secara tiba-tiba seperti
ditusuk-tusuk tembus belakang. Nyeri bertambah ketika berjalan dan berkurang
ketika berbaring. Riwayat demam sub febris (+), nausea (+), vomitus (-), malaise (+),
anoreksia (+). BAK berwarna seperti teh. Pasien memiliki riwayat BAB encer sekitar
1 bulan lalu yang berlangsung selama kurang lebih 3 hari. Namun sembuh dengan
sendirinya. TD : 110/80 mmHg, N: 80 kali/menit, P : 20 kali/menit, suhu : 37,3 oC,
thorax: tidak ditemukan kelainan; abdomen: nyeri ketok regio hipokondrium dextra,
hepatomegali (+), konsistensi lunak, tepi tumpul, permukaan rata, murphy sign (+).
Sesuai dengan teori yang ada bahwa secara umum, gejala dapat timbul secara
mendadak (bentuk akut), atau secara perlahan-lahan (bentuk kronik). Dapat timbul
bersamaan dengan stadium akut dari amebiasis intestinal atau berbulan-bulan atau
bahkan bertahun-tahun setelah keluhan intestinal sembuh. Pada bentuk akut,
gejalanya lebih nyata dan biasanya timbul dalam masa kurang dari 3 minggu.
Keluhan yang sering diajukan yaitu rasa nyeri di perut kanan atas. Rasa nyeri terasa
seperti tertusuk – tusuk dan panas, demikian nyerinya sampai ke perut kanan. Dapat
juga timbul rasa nyeri di dada kanan bawah, yang mungkin disebabkan karena iritasi
pada pleura diafragmatika. Pada akhirnya dapat timbul tanda – tanda pleuritis. Rasa
nyeri pleuropulmonal lebih sering timbul pada abses hepatis jika dibandingkan
dengan hepatitis. Rasa nyeri tersebut dapat menjalar ke punggung atau skapula kanan.
Pada saat timbul rasa nyeri di dada dapat timbul batuk – batuk. Keadaan serupa ini
timbul pada waktu terjadinya perforasi abses hepatis ke paru – paru. Sebagian
12
penderita mengeluh diare. Hal seperti itu memperkuat diagnosis yang dibuat. Gejala
demam merupakan tanda yang paling sering ditemukan pada abses hepar. Gejala
yang non spesifik seperti menggigil, anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah
badan dan penurunan berat badan merupakan keluhan yang biasa didapatkan. Lebih
dari 90 % didapatkan hepatomegali yang teraba nyeri tekan. Hati akan membesar
kearah kaudal atau kranial dan mungkin mendesak kearah perut atau ruang
interkostal. Pada perkusi diatas daerah hepar akan terasa nyeri. Konsistensi biasanya
kistik, tetapi bisa pula agak keras seperti pada keganasan. Pada tempat abses teraba
lembek dan nyeri tekan. Dibagian yang ditekan dengan satu jari terasa nyeri, berarti
tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa nyeri tekan dengan satu jari mudah
diketahui terutama bila letaknya di interkostal bawah lateral. (6)
Banyak penderita abses hati amuba hanya mengalami sedikit perubahan
parameter laboratorium. Penulis lain menyebutkan pada penderita dengan abses hati
amuba akut tidak didapatkan anemia, tetapi didapatkan derajat leukositosis yang
cukup bermakna, sedangkan pada penderita dengan penyakit kronis mengalami
anemia dengan leukositosis yang tidak jelas. Pada pemeriksaan hematologi pada
abses hati amuba didapatkan hemoglobin antara 10,4-11,3%, sedangkan leukosit
berkisar umumnya antara 10.000-12.000/ml. Pada abses hati piogenik, leukositosis
didapatkan pada 70% penderita, sementara anemia didapatkan pada kira-kira 50%
kejadian. Abnormalitas test faal hati lebih jarang terjadi dan lebih ringan pada abses
hati amuba dibanding abses hati piogenik. Hiperbilirubinemia didapatkan hanya pada
13
10% penderita abses hati amuba. Pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin
2,67-3,05 gr%, globulin 3,62-3,75 gr%, total bilirubin 0,9-2,44 gr%, alkali fosfatase
270,4-382 u/L sedangkan SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63 u/L. Karena pada
abses amuba terjadi destruksi aktif parenkim hepar, dapat terjadi peningkatan PPT
(Plasma Prothrombin Time). Pemeriksaan feses penderita, meskipun dengan sampel
yang didapatkan dengan proktoskop bukan merupakan cara yang dapat dipercaya
untuk mendiagnosis investasi amuba. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya
teridentifikasi pada 15% sampai 50% (penulis lain menyebutkan 15,4%) penderita
abses amuba hepar, karena infeksi usus besar seringkali telah mereda saat penderita
mengalami abses hepar. Complement fixation test lebih dapat dipercaya dibanding
riwayat diare, pemeriksaan kotoran dan proktoskopi. Diagnosis sering ditegakkan
dengan aspirasi dari kavitas abses, prosedur yang relatif tidak berbahaya. Tropozoit
amuba ditemukan pada kurang dari sepertiga pasien. Banyak penderita abses hati
amuba hanya mengalami sedikit perubahan parameter laboratorium. Penulis lain
menyebutkan pada penderita dengan abses hati amuba akut tidak didapatkan anemia,
tetapi didapatkan derajat leukositosis yang cukup bermakna, sedangkan pada
penderita dengan penyakit kronis mengalami anemia dengan leukositosis yang tidak
jelas. Pada pemeriksaan hematologi pada abses hati amuba didapatkan hemoglobin
antara 10,4-11,3%, sedangkan leukosit berkisar umumnya antara 10.000-12.000/ml.
Pada abses hati piogenik, leukositosis didapatkan pada 70% penderita, sementara
anemia didapatkan pada kira-kira 50% kejadian. Abnormalitas test faal hati lebih
jarang terjadi dan lebih ringan pada abses hati amuba dibanding abses hati piogenik.
14
Hiperbilirubinemia didapatkan hanya pada 10% penderita abses hati amuba. Pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,67-3,05 gr%, globulin 3,62-3,75 gr%,
total bilirubin 0,9-2,44 gr%, alkali fosfatase 270,4-382 u/L sedangkan SGOT 27,8-
55,9 u/L dan SGPT 15,7-63 u/L. Karena pada abses amuba terjadi destruksi aktif
parenkim hepar, dapat terjadi peningkatan PPT (Plasma Prothrombin Time).
Pemeriksaan feses penderita, meskipun dengan sampel yang didapatkan dengan
proktoskop bukan merupakan cara yang dapat dipercaya untuk mendiagnosis
investasi amuba. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15%
sampai 50% (penulis lain menyebutkan 15,4%) penderita abses amuba hepar, karena
infeksi usus besar seringkali telah mereda saat penderita mengalami abses hepar.
Complement fixation test lebih dapat dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan
kotoran dan proktoskopi. Diagnosis sering ditegakkan dengan aspirasi dari kavitas
abses, prosedur yang relatif tidak berbahaya. Tropozoit amuba ditemukan pada
kurang dari sepertiga pasien. (6)
Untuk kasus abses hepar pyogenik pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukosit meningkat dengan jelas (> 10.000/mm3) didapatkan pada 75-96% pasien,
walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai normal. Laju endap darah biasanya
meningkat dan dapat terjadi anemia ringan yang didapatkan pada 50-80% pasien.
Alkali fosfatase dapat meningkat yang didapatkan pada 95-100 pasien. Peningkatan
serum aminotransferase apartat dan serum aminotransferase alanin didapatkan pada
48-60% pasien. Prognosis buruk bila kadar serum amino transferase meningkat.
Peningkatan bilirubin didapatkan pada 28-73% pasien. Penurunan albumin (<3 g/dL)
15
dan peningkatan globulin (>3 g/dL) masih diamati. Protrombin time meningkat pada
71-87 pasien.(6)
Dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin, didapatkan kesan
leukositosis dengan WBC 21,07x103/uL, RBC 3,67x106/uL, HGB 10,5 g/dL, HCT
33,0%, MCV 89,9 fL, MCH 28,8 pg, MCHC 31,8 g/dL, PLT 384x103/uL. Pada
pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 58 u/L, SGPT 44 u/L, Ureum 34 mg/dL,
Kreatinin 0,6 mg/dL. Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien
terdapat peningkatan enzim-enzim hati ( SGOT SGPT) yang menunjukan telah terjadi
gangguan fungsi hati. Adanya proses infeksi memicu terjadinya peningkatan produksi
enzim-enzim hati sehingga kadar enzim-enzim tersebut tinggi didalam darah.
Leukositosis sendiri muncul akibat dari proses infeksi. Sebagai salah satu upaya
sistem imun untuk melawan mikroorganisme penyebab infeksi.
Kelainan foto dada pada abses hati amuba dapat berupa peninggian kubah
diafragma kanan, berkurangnya gerak diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses
paru.(7)
16
Gambaran Foto Dada Abses Hati Amuba
Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak, hanya mungkin dapat
berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati jarang
didapatkan berupa air fluid level.(7,9)
Untuk mendeteksi abses hati amuba, USG sama efektifnya dengan CT atau
MRI. Sensitivitasnya dalam diagnosis abses hati amuba 85-95 %. USG dapat
mendeteksi kelainan sebesar 2 cm disamping sekaligus dapat melihat kelainan traktus
bilier dan diafragma. Keterbatasan USG terutama kelainan pada daerah tertentu,
pasien gemuk atau kurang kooperatif.(7)
Abses hati amuba stadium dini kelihatan seperti suatu massa dan jika terjadi
pencairan bagian tengah, terlihat sebagai kista. Gambaran ultrasonografi pada abses
hati amuba adalah:(7)
17
Bentuk bulat atau oval
Tidak ada gema dinding yang berarti
Ekogenesitas lebih rendah dari parenkim hati normal
Bersentuhan dengan kapsul hati
Peninggian sonik distal
USG Abses Hati Amuba
Sensitivitas Tomografi Computer berkisar 95-100% dan lebih baik untuk
melihat kelainan di daerah posterior dan superior. Tetapi tidak dapat melihat
integritas diafragma, sehingga tidak dapat menentukan efusi pleura sebagai efusi
reaktif atau ruptur dari diafragma.(7,9)
18
Gambaran CT Scan Abdomen Abses Hati Amuba dengan kontras IV dan oral.
Gambaran ini tidak dapat dibedakan dengan abses hati piogenik.
Gambaran CT Scan Abdomen Abses Hati Amuba pada pasien yang sama dengan
gambar 8 di atas tanpa kontras
Membedakan abses piogenik dengan abses amuba pada hepar seringkali tidak
dapat dilakukan dengan mempergunakan kriteria klinis, pemeriksaan laboratorium
rutin dan pemeriksaan radiologis. Karena itu, pemeriksaan serologi diperlukan untuk
memastikan adanya infeksi amuba. Respon antibodi bergantung pada lamanya sakit
19
dan negatif pada minggu pertama. Titer antibodi dapat bertahan berbulan-bulan
sampai tahunan pada pasien di daerah endemik. Jadi tidak begitu spesifik untuk
daerah endemik, tetapi sangat spesifik untuk daerah bukan endemik. Pemeriksaan
serologi yang dapat dilakukan meliputi IHA (Indirect Hemagglutination), GDP (Gel
Diffusion Precipitin), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay),
counterimmunelectrophoresis, indirect immunofluorescence, dan complement
fixation. IHA dan GDP merupakan prosedur yang paling sering digunakan. IHA
dianggap positif jika pengenceran melampaui 1:128. Sensitivitasnya mencapai 95%.
Bila tes tersebut diulang, sensitivitasnya dapat mencapai 100%. IHA sangat spesifik
untuk amubiasis invasif, tetapi hasil yang positif bisa didapatkan sampai 20 tahun
setelah infeksi mereda. GDP meskipun dapat mendeteksi 95% abses hepar karena
amuba, juga mendeteksi colitis karena amuba yang noninvasif. Jadi, tes ini sensitif,
tetapi tidak spesifik untuk abses amuba hepar. Namun demikian, GDP dapat
dikatakan tidak mahal, mudah dilaksanakan, dan jarang sekali tetap positif sampai 6
bulan setelah sembuhnya abses. Karena itu, bila pada pemeriksaan radiologi
ditemukan lesi "space occupying" di hepar, GDP sangat membantu untuk
memastikan apakah kelainan tersebut disebabkan amuba.(7)
ELISA, counterimmunelectrophoresis, dan indirect immunofluorescence juga
sangat sensitif dan cepat prosedurnya untuk mendiagnosis amubiasis invasif. Namun
pemeriksaan tersebut masih sulit didapatkan dibanding IHA dan GDP dan harganya
lebih mahal. Prosedur "compement fixation" merupakan pemeriksaan serologi
pertama yang dikembangkan untuk mendiagnosis amubiasis invasif, namun
20
pelaksanaannya sukar dan sensitivitasnya kurang. Karena itu, pemeriksaan ini jarang
digunakan. (7)
Pada kasus ini, tidak semua pemeriksaan penunjang dilakukan. Hal ini
dikarenakan fasilitas yang tersedia tidak lengkap. Dari pemeriksaan USG abdomen
didapatkan ukuran hepar membesar, tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic,
batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi
vascular maupun bile duct dengan kesan abses hepar. Dan dari hasil pemerikaan foto
thorax (PA) didapatkan adanya kesan elevasi diafragma kanan. Pada pasien abses hati
amebik, foto thorax menunjukan peninggian kubah diafragma kanan dan
berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru.
Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval, tidak ada gema
dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan
dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal.
Abses hepar dapat di diagnosis bandingkan dengan beberapa penyakit serupa
yang memiliki manifestasi klinis hampir sama yaitu hepatoma yang merupakan tumor
ganas hati primer. Pada hepatoma ini didapatkan penurunan berat badan, nyeri perut
sebelah kanan atas, anoreksia, malaise, dan terdapat benjolan pada perut kanan atas.
Sedangkan dari pemeriksaan fisik terdapat hepato megali yang berbenjol-benjol, dan
stigmata penyakit hati kronik. Diagnosis banding selanjutnya adalah kolestitis akut
yang merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang
disertai keluhan nyeri perut kana atas, nyeri tekan dan peningkatan suhu tubuh. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan perut kanan atas yang disertai dengan tanda-
21
tanda peritonitis lokal, murphy sign (+). Dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis dan dari hasil USG didapatkan penebalan dinding kandung
empedu.(6,7,8)
Penanganan abses hati yang di anjurkan adalah pemberian Antibiotik. Dengan
ditemukannya metronidazol, sebagian besar kasus abses hati amuba hepar tidak lagi
memerlukan tindakan bedah. Aspirasi perkutan atau tindakan bedah diperlukan bila
diagnosisnya masih belum dapat dipastikan atau bila terjadi komplikasi. Golongan
imidasol meliputi metronidazol, tinidazol, dan niridazol dapat memberantas amuba
pada usus maupun hepar. Metronidazol peroral, 750 mg, tiga kali sehari selama
sepuluh hari, dapat menyembuhkan 95% penderita abses amuba hepar. Pemberian
intravena sama efektifnya, diperlukan pada penderita yang mengalami rasa mual atau
pada penderita yang keadaan umumnya buruk. Hasil yang positif pada pemberian
metronidazol secara empiris dapat memperkuat diagnosis abses amuba hepar.
Perbaikan gejala klinis terjadi dalam 3 hari dan pemeriksaan radiologis menunjukkan
penurunan ukuran abses dalam 7 sampai 10 hari. Metronidazol tidak mahal dan aman,
namun merupakan kontraindikasi pada kehamilan. Efek samping yang dapat terjadi
ialah mual dan rasa logam. Neuropati perifer jarang terjadi.(6,7,8)
Emetin, dehidroemetin, dan klorokuin berguna pada abses amuba hepar yang
mengalami komplikasi atau bila pengobatan dengam metronidazol gagal.10,14 Karena
obat ini hanya memberantas amuba yang invasif, diperlukan pemberian obat yang
bekerja dalam usus secara bersamaan. Pemberian metronidazol dapat dilanjutkan.
22
Setelah terapi abses hepar diberikan, direkomnedasikan pemberian agen luminal
untuk mencegah kekambuhan. Agen Luminal yang efektif untuk amubiasis seperti
iodokuinol, paronomysin dan diloxanide furoate. Emetin dan dehidroemetin diberikan
secara intramuskular. Emetin memiliki "therapeutic range" yang sempit. Dapat
terjadi proaritmia, efek kardiotoksik yang diakibatkan akumulasi dosis obat. Penderita
yang mendapat obat ini harus tirah baring dan dilakukan pemantauan tanda vital
secara teratur. (6,7,8)
Emetin dan dehidroemetin diindikasikan terutama untuk penderita yang
mengalami komplikasi paru, karena biasanya keadaan umumnya buruk dan
memerlukan terapi "multidrug" untuk mempercepat perbaikan gejala klinis.
Dehydroemetine 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (maksimum 99 mg/hari) selama
10 hari. Klorokuin dapat diberikan per oral. Dosisnya 1g/hari selama 2 hari dan
diikuti 500/hari selama 20 hari. Meskipun efek samping penggunaan klorokuin lebih
sedikit dibanding emetin dan dehidroemetin, obat ini kurang poten serta sering terjadi
relaps jika digunakan sebagai obat tunggal. Saat ini klorokuin digunakan bersamaan
dengan emetin dosis rendah untuk strain amuba yang resisten terhadap metronidazol.
Kombinasi klorokuin dan emetin dapat menyembuhkan 90% sampai 100% penderita
amubiasis ekstrakolon yang resisten. (6,7,8)
Penderita yang mendapat pengobatan amubisid sistemik namun gejala
klinisnya tidak menunjukkan perbaikan lebih dari 72 jam setelah dimulainya
pengobatan, akan menunjukkan perbaikan dengan cara aspirasi rongga abses. Dalam
hal ini, aspirasi berguna tidak hanya untuk mengurangi gejala-gejala penekanan,
23
tetapi juga untuk menyingkirkan adanya infeksi bakteri sekunder. Aspirasi juga
mengurangi risiko ruptur pada abses yang volumenya lebih dari 250 ml, abses yang
terletak pada lobus kiri hepar, atau lesi yang disertai rasa nyeri hebat dan elevasi
diafragma, dan untuk membedakan dengan abses hati piogenik Aspirasi juga
bermanfaat bila terapi dengan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada
kehamilan. Tidak ada indikasi untuk melakukan injeksi obat-obatan ke dalam kavitas
abses. Sebaiknya aspirasi ini dilakukan dengan tuntunan USG. Bila abses
menunjukkan adanya infeksi sekunder, drainase terbuka adalah pilihan terapinya. (6,7,8)
Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum dan
perikardial. Tingginya viskositas cairan abses amuba memerlukan kateter dengan
diameter yang besar untuk drainase yang adekuat. Infeksi sekunder pada rongga abses
setelah dilakukan drainase perkutan dapat terjadi.(7)
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
membaik dengan terapi konservatif. Laparotomi diindikasikan untuk perdarahan yang
jarang terjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur
abses. Tindakan operasi juga dilakukan bila abses amuba mengenai sekitarnya.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi sekunder
juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan
tidak berhasil. Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam
mengevaluasi terjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal. Sepanjang tindakan ini,
kateter perkutan dimasukkan dengan tuntunan laparoskopi akan berhasil
mengeluarkan abses dan mencegah tindakan laparotomi. (6,7,8)
24
Diperkirakan 10% pasien dengan abses amuba hati akan mengalami
komplikasi. Dari penelitian yang baru-baru ini diadakan di China dengan 503 kasus
abses amuba hati yang didokumentasikan sepanjang 21 tahun, didapatkan 22%
mengalami komplikasi dengan perforasi. Perforasi tersering meliputi struktur pleura
dan paru (72%), ruang subfrenik (14%), dan ruang peritoneum (10%). Pada penelitian
lain (India Selatan) dengan 200 kasus abses amuba hati yang didapati antara tahun
1989 dan 1991, komplikasi yang didapat 4% termasuk pleural efusi (dua kasus),
konsolidasi paru (4 kasus), efusi perikardial (1 kasus), dan ascites (2 kasus). Peneliti
di negara Barat melaporkan insidens komplikasi sebanyak 23%. Disebutkan pula
pada sebuah penelitian bahwa pasien-pasien dengan komplikasi didapatkan
perubahan yang bermakna dari hemoglobin, hematokrit, prothrombin time, total
protein, albumin, LDH, dan BUN. Juga titer antibodi terhadap E. histolytica
meningkat pada kelompok ini. (6,7,8)
Seperti halnya abses piogenik, angka kematian meningkat pada pasien-pasien
ini. Komplikasi tersering adalah ruptur abses ke dalam peritoneum atau ke dalam
toraks. Abses dapat juga menyebabkan erosi organ di sekitarnya atau mendapat
infeksi sekunder bakterial. Sangat jarang, hemobilia dan kegagalan hepar timbul
sebagai akibat pertumbuhan yang erosif dari abses hati amuba.(7)
Sistem pleuropulmonum merupakan sistem tersering terkena bila abses amuba
hepar ruptur. Secara khusus, kasus tersebut berasal dari lesi yang terletak di lobus
kanan hepar. Abses menembus diafragma dan akan timbul efusi pleura, empyema,
25
abses pulmonum, atau pneumonia. Fistula bronkopleura, biliopleura, dan
biliobronkial juga dapat timbul dari ruptur abses amuba. Pasien-pasien dengan fistula
ini akan menunjukkan ludah yang berwarna kecoklatan yang berisi amuba yang ada.
Kebanyakan komplikasi pleuropulmonum berespons baik terhadap antibiotik dan
drainase. Pasien-pasien dengan amuba empyema akan mengakibatkan sesak napas
dan perselubungan hemitoraks. Ini akan memerlukan terapi multimedikamentosa,
pemasangan toraks drain, dan sering torakotomi dengan dekortikasi. Torakotomi
mungkin juga diperlukan pada pasien-pasien dengan fistula biliobronkial yang tidak
membaik dengan pengobatan konservatif. (6,7,8)
Tiga puluh persen dari komplikasi abses amuba, termasuk kontaminasi
peritoneal, berasal dari abses hepar kanan. Penanganan amubiasis ruptur
intraperitoneal masih kontroversial. Beberapa penulis menganjurkan terapi antibiotik
sistemik saja, yang lain menganjurkan drainase perkutan. Pasien-pasien dengan
perdarahan yang mengancam nyawa atau yang gagal pada pengobatan konservatif
memerlukan laparotomi, drainase abses, dan irigasi amubisidal. Terapi amubisidal
sistemik adalah pengobatan awal dari fistula hepatokutan. (6,7,8)
Pada kurang dari 2% pasien, abses hepar kiri dapat mengalami ruptur ke
dalam perikardium. Pada kebanyakan pasien, akan timbul gagal jantung kongestif.
Penanganan dari amubiasis perikardial adalah nonoperatif, dengan angka kematian
yang rendah dengan aspirasi jarum dan amubisidal sistemik dibanding prosedur
drainase terbuka. (6,7,8)
26
Tidak seperti abses hati piogenik, angka kematian pada abses amuba hepar
tercatat dalam sejarah lebih rendah. Tahun 1935, Ochner melaporkan 9% pasien
dengan abses amuba meninggal karena penyakitnya. Para peneliti mengevaluasi
pengobatan dengan antibiotik saja, antibiotik dikombinasikan dengan aspirasi jarum,
dan antibiotik dengan drainase terbuka, telah dilaporkan dengan angka kematian yang
sama antara 2% sampai 3%.(6,7,8,9,10,11)
Beberapa faktor klinis telah dikaitkan dengan prognosis yang jelek pada
pasien-pasien dengan abses amuba hepar. Peningkatan umur, manifestasi klinis yang
lambat, encephalopathy, multipel abses, volume abses > 500 ml, dan komplikasi
seperti ruptur intraperikardial atau komplikasi pulmonum meningkatkan tiga kali
angka kematian. Hiperbilirubinemia (>3,5 mg/dL) juga termasuk faktor resiko,
dengan ruptur timbul lebih sering pada pasien-pasien dengan jaundice. Kadar
hemoglobin 8 g/dL dan serum albumin <2 g/dL juga meningkatkan resiko ruptur.
Meskipun demikian, kebanyakan pasien dengan abses amuba hepar, dengan atau
tanpa komplikasi, memiliki respons yang baik terhadap pengobatan medis dan dapat
sembuh. (6,7,8,9,10,11)
BAB IV
27
KESIMPULAN
1. Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus di dalam parenkim hati. Abses hati terbagi 2 secara umum,
yaitu
a. Abses hati amebic (AHA)
b. Abses hati piogenik (AHP/ Hepatic Abcess, Bacterial Liver Abcess)
2. Pasien dengan abses hati amuba sering memiliki riwayat penyakit diare (20-
50%). Gejala klinis yang klasik pada abses hati amuba dapat berupa demam
yang tidak lebih dari 38,5 °C, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang nyeri
spontan atau nyeri tekan. Jarang sekali disertai ikterus, prekoma, atau koma.
Bila lobus kiri yang terkena, akan ditemukan massa di daerah epigastrium.
Kadang-kadang gejalanya tidak khas dan timbul pelan-pelan. Penderita tidak
kelihatan sakit berat seperti pada abses karena bakteri.
3. Penanganan abses hati yang di anjurkan adalah pemberian Antibiotik. Hasil
yang positif pada pemberian metronidazol secara empiris dapat memperkuat
diagnosis abses amuba hepar. Perbaikan gejala klinis terjadi dalam 3 hari dan
pemeriksaan radiologis menunjukkan penurunan ukuran abses dalam 7 sampai
10 hari.
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Sudoyo A.W, et all. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteraan Uiversitas
Indonesia, Jakarta
2. Sulaiman et all, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati edisi pertama, Jayabadi,
Jakarta
3. Guyton et all, 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11, EGC, Jakarta
4. Robbins et all, 2007, Buku Ajar Patologi Klinik Volume 2 edisi 7, EGC, Jakarta
5. Gunawan et all, 2008, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Balai Penerbit UI, Jakarta
6. Daniel Matei Brailita, MD; Chief Editor: Julian Katz, MD, 2013, Amebic
Hepatic Abscesses, Medscape. [Diakses pada tanggal 10 november 2014 from
http://emedicine.medscape.com/article/183920-overview#showall]
7. Ruben Peralta, MD, FACS; Chief Editor: John Geibel, MD, DSc, MA, 2014,
Liver Abscess, Medscape, [Diaksess pada tanggal 10 november 2014 from
http://emedicine.medscape.com/article/188802-overview]
8. Todd A Nickloes, DO, FACOS; Chief Editor: John Geibel, MD, DSc, MA, 2014,
Pyogenic Hepatic Abscesses, Medscape, [ Diakses pada tanggal : 10 november
2014 from http://emedicine.medscape.com/article/193182-overview ]
9. José Maria Salles, Luis Alberto Moraes and Mauro Costa Salles, 2003, Hepatic
Amebiasis, Federal University of Pará, Belém/PA; Medical Federal University of
Pará, Belém/PA; Medical [ Diakses pada tanggal : 10 November 2014 from
http://www.scielo.br/pdf/bjid/v7n2/a03v7n2
10. Sherwood, 2001, System Pencernaan, dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
sistem. Egc, Jakarta
11. Arief Mansjoer, 2001, Kapita Selekta Kedokteran; Jilid 1, Edisi Ketiga; Media
Aesculapius; Jakarta
29