Post on 25-Jul-2015
Bab 1
Prolog
aat aku membuka mataku, aku sudah terikat ketat di atas sebuah kursi kayu. Di
depanku, seorang pria tua yang botak namun brewokan sedang mengamatiku dengan
wajah sangar yang dibuat-buat agar aku takut. Sesekali dia akan mengusap-usap jenggotnya
yang sudah beruban atau menarik-narik kumisnya sampai rontok. Tubuhnya gemuk sekali,
sampai-sampai kancing bajunya hampir lepas. Dia memakai seragam polisi, lengkap dengan
segala atribut-atribut yang tak kumengerti apa artinya. Suparjono, demikian nama yang
tertera di seragamnya itu.
S
Aku sendiri hanyalah seorang anak kecil, dan aku satu-satunya orang yang bertubuh
kurus di ruangan kecil ini. Aku dikelilingi oleh tiga orang polisi bertubuh besar. Polisi atau
sipir, ya? Entahlah. Aku masih belum bisa membedakan antara polisi dan sipir penjara.
Bagiku mereka sama saja. Sama-sama menakutkan. Masing - masing membawa pentungan
besar berwarna hitam. Sebelum masuk ke ruangan ini, aku sempat melihat tulisan di depan
pintu : RUANG INTROGASI.
Ruangan ini pengap, bau, dan gelap. Hanya ada dua buah jendela berjaring, sehingga
pencahayaan di ruangan ini amat buruk. Sementara itu, lampu tidak dinyalakan karena hari
belum petang. Lantai ruangan ini hanyalah semen biasa dan kotor. Dindingnya berwarna
putih kusam, dan di salah satu sisinya, tepatnya di belakang polisi tua itu, terpancang
lambang burung garuda. Di sisi kiri dan kanan sang lambang negara tergantung foto presiden
dan wakil presiden. Di salah satu sudut ruangan, berdiri sebuah tiang bendera merah putih -
yang lebih cocok dikatakan bendera jingga abu-abu - yang sudah kusam. Aku menebak, pasti
bendera itu belum pernah dicuci selama bertahun-tahun. Beberapa benda yang terlihat baru
hanyalah sofa - sofa empuk yang diduduki oleh mereka.
“Anak tengik, sebutkan namamu!” perintah polisi tua itu kasar.
“Budi, pak,” jawabku singkat.
“Berapa umurmu!” serunya lagi. Dia baru saja melontarkan sebuah kalimat tanya
yang diperlakukan sebagai kalimat seru.
“Sepuluh tahun,” jawabku lagi. Aku berusaha tenang.
“Seorang anak kampung berumur sepuluh tahun, datang ke kota sendirian. Berani-
beraninya! Bukannya tinggal di desa dan bekerja sebagai petani, tapi kau malah datang ke
sini untuk menjadi seorang pencuri!! Anak kampung!!” dia mulai memaki-maki. Ah,
kebiasaan polisi.
Aku hanya diam. Kata-katanya memang ada benarnya.
“Saya tak habis pikir, bagaimana orang tuamu mendidik kamu. Tunggu dulu, atau
jangan-jangan, orang tuamu juga pencuri? Orang miskin pencuri! Yang bahkan tak bisa
membeli sandaljepit! Iya, ‘kan?” katanya dengan nada mengejek. Rekan-rekannya yang lain
tertawa. Dia berkata begitu pasti karena melihatku yang tidak memakai alas kaki apa-apa.
“Aku... Aku yatim piatu sejak lahir, pak,” jawabku.
“Pantas saja! Orang jalanan sepertimu memang tidak bermoral! Kalau saja orang-
orang seperti kamu yang menjadi pejabat negara, maka hancurlah negeri ini. Penjahat kecil
kurang ajar!”
Mereka tertawa lagi. Kali ini, suara mereka lebih keras.
Aku mengira-ngira mana yang lebih buruk. Apakah kelakuanku? Ataukah kelakuan
para pemimpin negara yang menculik siapa saja yang menentang mereka, lalu akhirnya
mereka hilang dan tak pernah kembali ke keluarga masing-masing? Akhir-akhir ini, kejadian
seperti itu memang sedang marak terjadi.
“Mail, Sugeng, bawa bocah ini ke penjara,” perintahnya.
“Siap, pak!” orang yang disebut memberi hormat.
Ini dia saatnya, pikirku. Salah seorang polisi itu menarik lenganku kuat-kuat. Yang
seorang lagi malah mencengkeram bahuku terlebih dahulu, dan dia menunjukkan ekspresi
senang saat melihatku kesakitan. Mereka tidak peduli kalau makhluk yang mereka kasari itu
hanyalah bocah kecil yang mungkin sepantaran dengan anak mereka.
***
Kini, aku diseret ke bagian yang lebih dalam dari Lembaga Pemasyarakatan ini. Apa
nama LP ini? Aku pun tak tahu. Yang aku tahu hanyalah sewaktu aku bangun tadi pagi, aku
sudah berada di klinik penjara dengan tubuh penuh luka. Satu hal lagi yang aku tahu,
semalam aku baru saja berhasil menjambret sebuah tas seorang nyonya. Dia berpakaian
sangat mewah, dan make up-nya tebal sekali. Masih untung aku hanya mencuri tas-nya,
bukan perhiasan-perhiasan yang melekat di sekujur tubuhnya. Hei, mungkin saja ‘kan nyonya
itu sebenarnya memang sengaja ingin memancing kedatangan para kriminal. Soalnya, harta
bendanya itu dia pamerkan dengan amat bangga di depan semua orang.
Pamer, hobi orang kaya yang takkan pernah bisa aku mengerti.
Di sepanjang lorong-lorong, aku melihat bilik – bilik yang ditutupi oleh terali besi. Di
dalamnya hidup bermacam-macam orang. Meskipun pakaian mereka semua sama, – yaitu
kemeja lengan panjang dan celana panjang berwarna biru polos, sama juga dengan yang aku
kenakan sekarang – namun tingkah polah mereka berbeda-beda. Ada yang diam kaku seperti
fosil. Ada yang bertingkah liar. Ada yang berteriak-teriak :”Bukan aku yang salah! Aku tidak
melakukan apapun! Keluarkan aku!”. Ada yang bermain judi. Ada yang berkelahi. Ada juga
yang tertawa-tawa bahagia. Rasanya seperti berada di rumah sakit jiwa.
Aku melihat beberapa petugas memukuli narapidana yang berkelahi itu. Sudah
dipukuli oleh lawan, dipukuli oleh polisi pula! Pada masa ini, penegakan HAM hanyalah
merupakan sebuah mimpi konyol yang akan mengganggu pekerjaan para oknum pemerintah.
Mereka yang merasa dirinya berkuasa tidak begitu peduli asalkan atasan mereka senang. Ya,
pengaruh pemerintah Jepang yang berlangsung sekitar dua puluh tahun yang lalu itu masih
tetap tersisa di dalam setiap jejak langkah mereka.
Lorong-lorong yang kulalui semakin lama semakin gelap. Mail dan Sugeng masih
saja menahan lenganku dengan erat. Sepertinya, mereka sudah terbiasa dengan keadaan
suram penjara itu, sehingga mereka bisa santai saja ngobrol di tengah-tengah suara makian
para tahanan. Malahan, mereka saling melontarkan lelucon masing-masing. Sampai akhirnya
mereka membuka gembok sebuah terali besi.
“Selamat datang di rumah barumu, anak kecil,” Sugeng mencampakkanku ke dalam
sebuah sel yang juga gelap.
“Belajarlah baik-baik dengan mereka,” seru Mail. Setelah mengunci kembali sel itu,
mereka menghilang
Mereka? Mereka siapa?, tanyaku dalam hati. Ah, itu dia! Sel ini memang lebih parah
dari ruangan yang tadi. Sangat gelap, tidak ada jendela satupun. Bahkan baunya lebih tengik
daripada bau susu basi. Namun perlahan mataku sudahi terbiasa dengan kegelapan, dan aku
bisa melihat di sudut ruangan, mereka berbisik-bisik. Penghuni sel ini ada sekitar lima-enam
orang. Kesemuanya remaja dan anak-anak. Kini, aku harus berhadapan dengan mereka, para
penghuni sel yang sudah berada di sana sebelumnya. Mereka tertawa menyambut kedatangan
keluarga baru.
Eits, tapi cuma untuk beberapa menit saja, pikirku.
“Hahahahaa, ada anak baru toh!” ujar salah seorang tahanan.
“Hei, kemari!” teriak yang satu lagi.
“Ceritakan kenapa kamu sampai ke sini. Pembunuhan, perzinahan, atau
penganiayaan?” kata yang lainnya. Mereka tertawa lagi. Aneh, mereka bisa tertawa di tempat
seperti ini. Yah, tapi keberadaanku di sini ‘kan cuma sebentar, kataku dalam hati. Aku
merogoh-rogoh ke dalam kantong celanaku. Ugh, kantongnya sempit.
“Kemarilah, anak kecil!” teriak seseorang. Aku tak menjawab.
“Setan cilik! Dengarkan kami!” teriak yang di sebelahnya. Aku tak mendengarkan.
Aku sibuk.
“HEI!”
“Hei! Sombong banget, sih! Sini, bocah!” teriak salah seorang di antara mereka. Dia
mendekatiku dan menarik kerah bajuku dengan kasar sampai kakiku menggantung.
Tubuhnya tinggi, dan di hadapan tubuhku yang kerdil, sosoknya tampak seperti raksasa.
Waduh! Teman-temannya yang lain tertawa lagi. Kenapa, ya? Sejak tadi ‘kok aku bertemu
dengan orang-orang yang suka menertawakan kelemahan orang lain.
Orang yang menarikku ini sangat mirip dengan korban kelaparan di Somalia. Hitam,
kurus, keriting, dan jelek.
“Hei, jelek,” ucapnya tak tahu diri. “Ingat baik-baik, di tempat ini, aku pemimpinnya!
Namaku Ruben! Dan aku penguasa sel nomor 4239 ini. Jadi kalau aku suruh jawab, kau
harus jawab! Mengerti?” ucapnya disertai ucapan-ucapan “Ya, benar! Hidup Ruben! Ruben
jagoan!” dari ‘keluarga’-nya
Aku tetap tidak menjawab. Tanganku masih sibuk meraba-raba ke dalam kantongku.
Dalam keadaan itu, aku menatapnya dengan sangat tenang sedangkan sebelah tanganku tetap
berada di dalam kantong. Sepertinya dia tidak senang.
“Hei! Kenapa diam saja? Kau bisu ya?!! Paling tidak ucapkan satu kata!!” dia
berteriak tepat di telingaku. Tidak apa-apa, telingaku sudah terlatih untuk mendengar suara-
suara sumbang begitu.
“Ah, akhirnya bisa keluar juga,” kataku. Aku berhasil menarik sebuah benda dari
kantong celanaku yang sempit.
“Hah? Maksudmu apa..? HAH!! ITU KAN KUNCI PEN..!!”
Aku menutup mulutnya sebelum dia sempat menyelesaikan kata-katanya. Si korban
kelaparan itu langsung sadar juga kalau benda yang aku pegang itu adalah kunci penjara!
“Ssst! Jangan berisik,” bisikku. “Dengan ini kita bisa keluar,”
“Ta, tapi, bagaimana bisa kau..”
“Aku adalah seorang pencuri,” jawabku lagi. Sepertinya, dia langsung paham
segalanya tanpa perlu penjelasan apa-apa lagi. Di depan matanya ada seorang pencuri, yang
sudah pasti merupakan pencuri yang hebat. Dan yang terpenting adalah ini merupakan
kesempatan untuk keluar dari sel yang bobrok ini.
Si orang Somalia itu segera membebaskan aku. Dan dengan bodohnya, dia berteriak
sekuat tenaga, “Saudaraku, hari ini kita semua bebas! BEBAS!!” Serta merta terdengar
teriakan dari sel-sel yang di sekitarnya. “Bebaskan kami juga!! Sialan! Aku juga harus
bebas!” Dalam hitungan detik, seluruh penghuni penjara di lorong ini berteriak -teriak dan
membuat gaduh. Gawat, ini yang paling aku takutkan. Bagaimana kalau para petugas
mendengarnya? Kalau begini mudah ketahuan! Tolol!
Ah, tunggu dulu. Sebuah ide terlintas di kepalaku. Begini juga bisa, pikirku. aku
bergerak cepat. Pertama, sel nomor 4239 ini yang aku buka terlebih dahulu. Untung di setiap
kunci diberi nomor. Penghuni sel ini langsung keluar dan berteriak-teriak “Bebas! BEBAS!”
Kemudian aku langsung membuka kunci sel-sel lain. Dalam urusan gerak cepat, aku ahlinya.
Satu per satu tahanan-tahanan itu keluar dan membuat gaduh. Akhirnya semua sel di lantai
ini telah dibuka.
Kacau? Ya, memang. Tapi itu yang kuincar. Tubuhku kecil, dan di antara mereka aku
pasti bisa bersembunyi dengan baik. Tempat persembunyian paling baik justru di kerumunan
orang, demikian yang aku pelajari dari pengalaman mencuri selama tiga tahun.
“Diam semua! Kembali ke tempat masing-masing!” tiba-tiba dua orang petugas telah
datang. Lagi-lagi Mail dan Sugeng. Sesekali mereka menembakkan isi pistol mereka ke
langit-langit untuk membuat takut tahanan. Sayangnya, tidak ada yang takut. Penjahat-
penjahat itu dengan mudah merebut pistol itu dari mereka.
“Serbuuu!!” teriak Ruben. Maka, gerombolan narapidana itu menyerang dua orang
petugas malang yang tak berdaya itu. Petugas-petugas yang lain datang lebih banyak.
Penjahat-penjahat itu menyambut mereka dengan penuh sukacita. Perkelahian tak terelakkan.
Suara dentuman peluru terdengar nyaring. Teriakan orang-orang yang ingin bebas sangat
keras. Lantai mulai dipenuhi noda darah. Keadaan di situ sudah seperti perang.
Sementara itu, aku sudah tidak terlihat lagi di tempat itu.
***
Bab 2
Kecelakaan
Mbak Sukma, pembantu kami yang berbadan kurus dan rata seperti papan setrikaan,
sedang mencuci baju sambil bernyanyi-nyanyi riang. Bahunya megol-megol ke kiri dan
kanan. Kepalanya digeleng-gelengkan seperti penari dangdut. Bedanya, mbak Sukma lebih
mirip penari topeng monyet.
“Aim byutipul.. aim byutipul.. Its truuw.” Mulutnya maju ke depan menyanyikan lagu
Chris Brown yang seharusnya berjudul “You’re Beautiful”. Seperti yang Anda bayangkan,
suaranya cempreng abis! Kalau Chris Brown yang asli denger mbak Sukma nyanyi begini,
pasti mbak Sukma langsung dijadiin papan setrika betulan.
“Sukmaaaaaaaaa!!! Pagi-pagi ‘kok sudah ribut sih! Bisa diam nggaaaakk” jeritan
mama melengking, justru menambah keributan di pagi itu.
“Oh mamii, tudei aim so hepiiiiiiiiii!!” balas mbak Sukma dengan bahasa Inggris
berpasir-pasir.
Hahaha, kondisi seperti ini sudah biasa terjadi di rumah. Teriakan para wanita-wanita
membahana di rumah ini dari pagi hingga malam hari. Gue bahkan bisa mendengar teriakan-
teriakan itu dari dalam kamar mandi yang berisik ini.
“Tioooooo!!! Sarapan udah siap! Ayo makaaaaaannn!!!” jerit mama. Tuh ‘kan, apa
gue bilang.
“Bentar, ma!” gue membalas. Pasti tidak terdengar, soalnya suara gue nggak
sekencang suara mama.
“Tioooooo!!!!” Lagi-lagi suara jeritan. Baiklah, mandinya dipercepat saja.
Oh ya, kenalan dulu. Nama gue Theodore Rustam. Bukan Theodore Roosevelt ya,
hahahaha. Jika ada orang yang pertama kali melihat papan nama gue : Theodore R., biasanya
dia langsung terpikir ke salah satu perdana menteri Inggris yang hebat itu. Sebenernya, nggak
salah juga sih. Soalnya, papa gue yang memberikan nama ini emang sangat mengidolakan
tokoh itu. Jadilah gue diberi nama “Theodore” dengan nama panggilan “Tio”. Salam kenal.
Gue anak pertama dari tiga bersaudara. Gue yang paling tua merupakan mahasiswa
tingkat tiga fakultas kedokteran di sebuah universitas negeri paling top di Indonesia.
Sedangkan adik gue nomor dua dan tiga kembar, Diana dan Nadia Rustam, masih SMU kelas
2 di sebuah SMU swasta di Jakarta. Si kembar ini orangnya 3C, yaitu cantik, ceria dan
cerewet. Pasti mereka meniru sifat mama. Sedangkan gue meniru sifat papa yang pendiam.
Meskipun pendiam, gue sering bicara dalam hati ‘kok. Sifat gue juga nggak terlalu kaku dan
gue bukan anti sosial.
Pagi ini, gue harus datang ke kampus lebih cepat. Sebenarnya hari ini gue bebas kelas,
namun kami akan mengadakan rapat dan membahas tentang acara malam kekaraban klub
UKOR (Unit Kegiatan Olahraga) Catur yang akan kami adakan. Kebetulan, gue ikut menjadi
panitianya. Jadi, gue harus siap-siap secepat mungkin.
“Laporan-laporan penting, laptop, alat tulis, apa lagi ya? Uhm..” gue menyusun
barang-barang gue ke dalam tas.
“Tiooooooo!!!!” mama teriak lagi dari bawah. Gawat nih.
“Oke ma! OKE!”
Gue turun dari kamar gue. Kamar gue letaknya di lantai dua, sedangkan ruang makan
di lantai satu. Mama, Papa, si kembar, dan mbak Sukma sudah duduk mengelilingi meja
makan panjang bertaplak putih itu.
“Lama banget, sih!” sungut Nadia.
“Kakak tahu sendiri ‘kan? Ngedengerin suara mama itu sama aja dengan ngedengerin
suara kereta api! Sama-sama bising!” ujar Diana.
“Apa?!” mama teriak lagi. “Kalian berani sama mama?” Mama berhasil membuktikan
kebenaran perkataan si kembar. Papa diam saja, tapi dia terlihat senyum-senyum.
“Papa juga sama saja!” seru mama.
“Mama, sudahlah..” kataku mencoba menenangkan debat kusir aneh ini.
“Tio! Kamu juga sama saja!”
Ya ampun. Sudahlah, gue nyerah deh.
Seperti biasa, acara makan itu berlangsung begitu cepat. Papa harus segera pergi ke
kantor, dan sebelum itu beliau harus mengantar Nadia dan Diana ke sekolah. Gue sendiri
langsung pergi ke kampus naik motor pembelian papa untuk kado ulang tahun gue yang ke-
18, yang tadinya ditentang oleh mama habis-habisan. Mama sendiri setelah ini akan pergi ke
rumah tetangga, membahas hot gossip terbaru dengan jeng-jeng yang punya hobi yang sama
dengan mama. Kalau mbak Sukma? Setelah seluruh penghuni rumah ini pergi, maka rumah
ini akan dia jadikan karaoke house miliknya pribadi. Terus, berkaraoke ria deh sendirian.
***
Dua orang pengamen sedang beraksi di lampu merah. Penampilan mereka persis
berandalan. Yang seorang rambutnya gimbal. Dia mengenakan celana robek-robek dan baju
yang penuh aksesoris. Sepatunya hitam sobek dan ukurannya sangat besar. Di kedua
pergelangan tangannya yang kasar melingkar banyak sekali gelang murahan. Kalungnya
mirip kalung dukun, ada pernak-pernik tengkorak di ujungnya. Anehnya, wajahnya justru
terlihat jenaka, dan dia juga membawa tamborin. Sangat tidak cocok dengan kostumnya.
Yang satu lagi lebih normal. Paling tidak, dia tidak mengenakan aksesoris
kampungan, ataupun celana dan sepatu yang sobek seperti yang digunakan temannya.
Rambutnya dibuat berdiri ke atas, dan dia mengenakan kaos tanpa lengan berwarna hijau
seperti seragam tentara. Satu-satunya aksesoris yang dia pakai adalah sebuah anting di
telinganya sebelah kiri. Wajahnya sangat serius dan dia membawa gitar merk Ibanez.
Mereka berdua bernyanyi dengan sungguh-sungguh. Suara keduanya sama-sama
serak, dengan jangkauan wilayah suara yang tinggi. Mereka berpindah-pindah dari satu
angkot ke angkot lain. Apabila jalan raya macet, maka itu merupakan kesempatan mereka
untuk meningkatkan jumlah pendapatan hari ini.
Sementara itu, di belakang gue sedang mengantri di tengah kemacetan. Pemandangan
yang amat lumrah ditemui di kota Jakarta. Gue melihat ke arloji hitam pemberian mama.
“Gawat, kalau begini terus gue bisa terlambat,”
Memandang jauh ke depan, mobil-mobil itu tidak bergerak sama sekali. Lampu tetap
saja berwarna merah. Sementara polisi lalu lintas tidak satupun kelihatan batang hidungnya.
Gue mengelap keringat gue. Berada di dalam kemacetan lalu lintas yang penuh polusi dan
suara bising klakson mobil dalam waktu cukup lama benar-benar terasa seperti neraka. Tiba-
tiba, ada sebuah motor yang naik ke trotoar jalan. Motor itu kemudian melaju dengan
santainya di sana. Pengendaranya sama sekali tak peduli dengan para pejalan kaki yang
menggerutu menghindari jalur motor itu. Gue kemudian berpikir, cara itu boleh juga dicoba.
Maka, gue langsung mengikuti cara orang setengah waras itu. Bruummm!!
Sesuai dugaan, para pejalan kakilah yang menghindar dari jalur motor gue. Jargon
”Utamakan Pejalan Kaki” sudah tidak berlaku. Jalan gue cukup mulus. Setelah sampai di
belokan depan, gue bisa segera kembali ke jalan raya. Jaraknya sekitar tiga puluh meter lagi.
Tiga puluh meter lagi... Gue mendengar lontaran kutukan dan sumpah serapah dari
para pejalan kaki kota Jakarta yang malang.
Dua puluh meter lagi... Sepertinya ada yang melempari gue dengan tomat. Hah?
Darimana? Entahlah..
Sepuluh meter lagi... Bagus, tidak ada halangan lagi.
Satu meter lagi...
Tiba-tiba, dua orang pengamen yang tadi turun dari angkot tepat ke depan gue!
Mereka terkejut dan langsung melompat ke jalan raya. Gue langsung membelokkan stang
motor dan akhirnya menabrak dinding sebuah toko. Motor gue hancur, dan gue terpental ke
jalan raya, tepat menimpa dua orang pengamen tersebut. Kaca mata gue pecah. Mobil-mobil
yang berusaha menghindari kami justru menabrak mobil-mobil di sebelahnya. Tabrakan antar
mobil tidak bisa dihindari.
Setelah itu, keadaan semakin kacau. Sebelum pingsan, gue sempat mendengar suara
sirine ambulans.
Gue nggak pernah menyangka, kelak peristiwa tabrakan ini akan menjadi titik
perubahan nasib gue. Namun gue baru akan menyadari hal itu nanti. Sekarang, gue cuma bisa
berbaring di atas tandu dengan kesadaran yang sudah sepenuhnya hilang.
***
Namaku Bento, rumah real estate
Mobilku banyak, harta melimpah
Orang memanggilku, bos eksekutif
Tokoh papan atas, atas s’galanya
Asyik!
Lagu ‘Bento’ karya Iwan Fals memang fenomenal. Lagu ini. Ini adalah pekerjaan
sehari-hari kami berdua.
Aku sudah mengenanya sejak kecil, sejak kami masih tinggal di Pangururan, Sumatra
Utara, kampung halaman kami tercinta. Amron ini orangnya sebenarnya baik dan lucu,
meskipun penampilannya terlihat liar. Dia paling suka tokoh Rambo, sehingga dia berusaha
menirunya habis-habisan. Sayangnya, tidak sedikitpun dia berhasil meniru tokoh legenda
dalam televisi itu. Dengan wajah sangar dan rambut gimbal awut-awutan, dia lebih mirip
gelandangan yang tidur di jalanan.
Aku ingat, tiga tahun yang lalu dia pernah berkata begini padaku.
“Rocky, nanti aku mau jadi kayak si Rambo! Macho! Berotot! Rambo!” katanya
suatu hari dengan logat Batak yang kental. Pasti dia berkata begitu karena baru saja
menonton film Rambo IV di rumahku.
“Bah! Asing-asing do hamu! Mana bisa kau jadi Rambo, lae!” balasku dengan logat
yang sama. Biasanya, Anda akan memanggil seorang pria Batak dengan sebutan ‘lae’ apabila
pria itu memiliki marga yang sama dengan marga wanita yang Anda nikahi. Namun,
panggilan ini juga sering dipakai dalam pergaulan. Sebutan persahabatan ini cara
penulisannya ‘lae’, tapi cara pengucapannya ‘lek’.
“Bisalah.. Jangan anggap remeh kau. Cita-cita itu penting. Biarpun orang susah kayak
kita-kita ini, tapi kita harus punya mimpi lae,” ujar Amron mantap. Wah, bisa juga dia
mengatakan sesuatu yang bagus seperti itu. “Kau sendiri mau jadi apa, lae?” tanya Amron
padaku.
“Aku.. Aku mau jadi penyanyi, lae,” jawabku tegas. Tak dinyana, Amron tertawa.
Sialan, tawanya keras sekali.
“Bahh! Kayak kau jadi penyanyi? Hancurlah dunia hiburan kau buat lae!
Huahahahaha!” ledeknya lagi. Sekali tertawa, seorang lelaki Batak akan mengeluarkan tawa
yang paling keras, seakan-akan dia tidak punya penderitaan apa-apa lagi. Apalagi jika di
depan sesama orang Batak. Wuadaw!
“Ketawakmu itulah,” ujarku ketus. “Apalah salahnya aku bilang begitu?”
“Sori, lae. Huahahahaha. Aku nggak nyangka aja kau punya mimpi kayak gitu.”
Amron masih tertawa.
“Daripada jadi Rambo? Hah! Rambo itu adanya cuma di tipi! Sadarnya kau? Udah
gilak kau kurasa pun!” aku membalas. Tawanya berhenti.
“Makanya, nanti akulah yang membuat Rambo itu jadi kenyataan!” Amron masih saja
keras kepala mempertahankan kekonyolannya.
“Maksudmu?”
“Yaa.. Nanti aku pasti jadi tentara lae. Tapi sebelumnya aku ganti nama dulu,”
Kali ini, aku yang tertawa keras-keras. Amron kelihatan tidak senang.
“Janganlah kau tertawakan cita-cita orang, lae. Itulah namanya terpesona, lae. Kalo
kau udah terpesona, kau pasti melakukan apa pun untuk itu..”
“Jadi, kau terinspirasi sama sosok Rambo, begitu? Kau kebanyakan nonton film
Rambo, lae.”
“Lihatlah dirimu sendiri dulu. Kenapalah bisa kau terpikir mau jadi penyanyi, lae?
Nggak macho! Jadi laki-laki itu harus macho, lae!” Amron membalas.
“Siapa bilang? Eh, lihatlah juara-juara kontes menyanyi di tipi-tipi. Lihat nama-
namanya. Joy Tobing! Judika Sihotang! Ikhsan dan Rini Idol! Mereka orang Batak ‘kan lae?
Ada juga Margareth dan Maria MamaMia! Mereka juga orang Batak, ya nggak? Terus, cobak
lihat artis-artis kita sekarang. Marcell, Derby Romero, dan Bams vokalis Samsons. Mereka
semua punya marga Batak!” aku menjelaskan dengan berapi-api.
“Nah.. Kau juga kebanyakan nonton tipi, lae,” kata-kata Amron dengan amat
menjengkelkan sukses membalas ejekanku.
“Artinya, kita orang Batak punyak potensi jadi penyanyi! Ngerti nggak?”
“Ya.. Ya, ya..”
“Ron! Ah, yang seriuslah dulu!” aku kesal dengan sikapnya yang satu ini.
“Nggak semua orang Batak pintar nyanyi lae,” katanya.
“Iya memang. Tapi.. Ah, udahlah. Capek aku bicara samamu. Terserahmulah,”
“Kau juga sama denganku, lae.”
Meskipun dulu kami sempat bertengkar konyol, namun nyatanya sekarang kami di
sini, di Ibukota negara ini, sedang mencari makan dengan suara kami. Amron setuju juga
menjadi penyanyi, biarpun dia lebih suka jadi rocker dadakan.
Aku punya suara yang bagus. Aku tahu itu dan aku sangat bangga. Selain itu suaraku
lebih tinggi daripada suara orang lain. Aku juga sangat suka membuat lagu. Sejak kecil
sampai sekarang, lagu karyaku sudah mencapai angka 72 buah lagu! Jumlah yang fantastis,
meskipun setengah dari lagu itu liriknya tidak jadi, dan seperempat lagi sangat jelek untuk
ditampilkan.
Namun, aku yakin suatu saat nanti aku akan berdiri di atas sebuah panggung yang
meriah, dalam siraman cahaya lampu sorot dan puluhan kamera yang akan menangkap
gambarku. Aku akan menjadi bintang, dengan jutaan penggemar di seluruh negeri. Aku
sangat yakin itu. Kalau bisa, aku ingin menjadi panyani seperti Chris Brown.
Amron sendiri sebenarnya memiliki suara yang sangat dahsyat. Power suaranya
sangat kuat, dan sama seperti penyanyi-penyanyi Batak lainnya, suaranya sangat tinggi.
Hanya saja kontrol suaranya tidak begitu bagus, dan dia memang tidak begitu suka
‘bernyanyi’. Dia lebih suka ‘berteriak’ ketika bernyanyi.
Ini mimpi kami. Takkan kulepas, meski harus mati.
“Woi! KIKI!! Jangan melamun!!” Amron tiba-tiba mengagetkanku.
“Apa sih, Ron? Kenapa.. HUAAA!”
Tiba-tiba, dari sisi sebelah kananku, muncul sebuah motor yang melaju dengan cepat.
Motor edan, dia melaju di atas trotoar. Sampai kapan negeri ini dipenuhi oleh orang yang
suka melanggar peraturan?
Aku dan Amron melompat ke jalan raya secepat mungkin. Untunglah tidak kena.
Pengemudi motor itu menabrak dinding sebuah toko. Astaga, ini pasti jadi kecelakaan
pikirku. Ternyata tidak sampai di situ saja. Si pengemudi terpental, tepat ke arah kami.
“AAAAHHHHHH!!!!” aku dan Amron berteriak ketakutan.
BRUKK! Semuanya gelap.
***
Bab 3
Mimpi Buruk
Gue melihat piano kesayangan gue, tepat di depan mata gue. Dulu, sewaktu kecil, gue
pernah ikut kursus piano. Pengajarnya sangat ramah dan sabar. Namanya Ibu Anita.
Wajahnya cantik dan lembut, dan beliau sangat pandai bermain piano. Dulu, setiap sore
beliau akan datang ke rumah dan beliau mengajari lagu-lagu yang sangat gue suka. Eh,
tunggu dulu, bukankah itu beliau? Beliau duduk tepat di samping gue..
“Tio.. Kali ini, kita belajar lagu baru, oke..?”
“Eh? Bu Anita..”
“Ya?” dia memandang gue dengan senyum yang sangat lembut.
“Bukannya ibu sudah..”
“Sudah apa?”
Gue terdiam. Sudah meninggal, seharusnya kalimat gue diakhiri dengan kata-kata itu.
Namun, beliau kini persis di sebelah gue.. Bahkan gue bisa mencium aroma parfumnya yang
harum. Tidak mungkin beliau sudah meninggal. Beliau masih hidup. Pasti selama ini gue
hanya bermimpi. Ya, mimpi buruk.
“ Dengerin baik-baik ya.. Piano Ronata I karya Mozart..”
Dan beliau memainkan sebuah lagu bertempo cepat. Ekspresinya yang lembut
berubah menjadi serius saat bermain piano. Namun senyuman manisnya tetap melekat di
sana. Gue terlena melihat permainan ibu Anita. Jari-jarinya sangat cepat, lincah, tepat, dan
terkontrol.
Gue terlena mendengar dentingan piano tersebut. Gue takjub. Rasanya gue pengen
cepat-cepat ikut memainkan tuts-tuts hitam putih itu.
Tiba-tiba gue mendengar suara frekuensi tinggi.. Suara itu berdengung dan terdengar
seperti “Oooo.. Ooo.. Oooo.. Oooo..” berulang-ulang.
“Suara apa itu, bu?” gue bertanya.
“Suara ibu bermain piano, sayang,” jawab ibu Anita.
“Bukan itu, ada suara lain,”
“Suara apa?”
“Seperti.. Huruf ‘O’?” aku tidak bisa mengatakan dengan jelas suara apa yang aku
dengar.
Ibu Anita langsung berhenti bermain. Kesunyian yang mendadak itu tiba-tiba terkesan
seram.
“I, ibu.. Ibu Anita kenapa?” gue jadi takut.
“Jadi.. Kamu mendengar suara itu?” tanya beliau. Gue jadi takut. Apakah suara itu
tidak boleh didengar? Tapi itu, bukanlah sepenuhnya kemauan gue. Gue ‘kan nggak bisa
memilih mana suara yang bisa gue dengar dan mana yang nggak bisa.
Bu Anita menatapku dengan sedih. Sorot matanya dalam dan kelam. Belum pernah
gue melihat ekspresi beliau yang seperti itu, seperti merindukan sesuatu, sekaligus ingin
membuangnya jauh-jauh. Sementara itu, suara ‘Oooo’ misterius itu semakin lama semakin
nyaring. Beliau kemudian tersenyum lembut.
“Tio, pergilah..”
“Pergi ke mana, bu?”
“Waktumu belum tiba... Pergilah, sayang,”
“Ibu Anita..”
Gue merasa ngantuk. Mata gue pelan-pelan tertutup dan sosok bu Anita menghilang.
Dan semuanya menjadi gelap. Tapi, suara misterius itu semakin terdengar jelas. Kini, gue
bisa mendengar dengan baik, apa kata suara itu.
“TIOOOOOOOOOOOO!!!!!”
Ah, ternyata suara misterius itu menyebutkan nama gue. Tunggu dulu, sepertinya gue
mengenal suara itu. Itu suara mama! Gue membuka mata, dan gue melihat memang benar, itu
mama!
“Anakku, Tioooo!”
“Mama..”
“Ma, mama! Kak Tio sudah sadar. Kak Tio sudah sadar!” Nadia berseru di sebelahku.
Diana mencoba menenangkan mama. “Lihat itu, ma. Lihat! Tenanglah! Kak Tio bangun!”
“Tio! Kamu sudah bangun! Tioo!” mama menangis sejadi-jadinya sambil memeluk
gue. Ternyata, gue sedang berbaring di sebuah rumah sakit. Samar-samar, gue melihat mama
dan si kembar, teman-teman mama, dan teman gue Sharon dan Steven, semuanya
mengelilingi ranjang besi ini. Papa tidak terlihat. Gue mencoba bangun, dibantu oleh Nadia.
Ternyata tidak begitu sulit, kalau saja mama tidak menindihku.
“Nadia, ambilkan kaca mata gue dong,”
“Kaca mata kakak sudah rusak,”
“Rusak? Memangnya gue kenapa?” gue mengingat-ingat kejadian semalam. Oh iya!
Akhirnya gue ingat. Gue dengan gilanya menerobos kemacetan melalui trotoar, dan hampir
menabrak dua orang pengamen. Kemudian gue terpental, terus... Ingatan gue cuma sampai di
situ.
“Kami takut banget, lho kak. Soalnya kakak berulang-ulang menyebutkan nama ibu
Anita yang udah meninggal..” kata Diana.
“Iya, bener-bener. Kakak bikin takut aja,” Nadia membenarkan.
“Apa luka gue parah?”
“Nggak ‘kok. Kata dokter, besok juga kakak sudah bisa keluar. Tapi malam ini kakak
harus tidur di rumah sakit,” jelas Nadia.
“Lo emangnya ngapain sih sampai ngebut-ngebut segala?” tanya Sharon, salah satu
teman seangkatan sekaligus rekan kerja di kepanitiaan ini.
“Gue ‘kan pengen ikut rapat..” jawabku sekenanya.
“Lho, rapat kemarin ‘kan udah dibatalin. Malam sebelumnya, gue udah ngirim SMS
‘kok. Masa’ lo nggak lihat sih?” tanya Sharon lagi sambil mengibaskan rambutnya yang
sebahu.
“Hahh? Masa’ sih?”
“Maaf, kak. Malam sebelumnya ‘kan handphone kakak Diana pinjem..” kata Diana
takut-takut. “Sebenernya SMS itu masuk, tapi nggak sengaja Diana hapus,”
“Pantesan aja. Yah, lagian mungkin kecelakaan ini udah takdir lo kali,” canda Steven,
teman gue yang tinggi kaya’ tiang listrik.
“Gila lo. Kecelakaan dibilang takdir. Justru ini mimpi buruk, tahu!” gue agak kesal
dengan candaan begitu.
“Ya, ini mimpi buruk buat kamu, Tio,” akhirnya mama angkat bicara. Kami semua
diam.
“Maksud mama?”
“Mulai hari ini, kamu mama larang naik motor! Dulu juga mama sudah bilang sama
papa kalau motor bisa buat kamu kecelakaan, tapi papa nggak pernah mau dengerin papa.
Pokoknya mama nggak tahu lagi, mulai sekarang kamu nggak boleh naik motor! Kalau mau
pergi ke kampus naik Trans Jakarta aja. Lebih aman! Atau suruh aja papa kamu jadi sopir
kamu buat nganterin kamu ke kampus. Kalau papa marah, jangan takut. Biar mama yang
bicara sama papa. Itu juga kesalahan papa karena udang ngasih izin sama kamu buat naik
motor. Pokoknya..”
Badan gue langsung lemas. Mama masih berkoak-koak, sementara temen-temen gue
cekikikan ngelihat tingkah mama gue. Nggak punya motor pribadi di kampus bisa jadi
kesulitan tersendiri. Pengen nebeng, gengsi. Waduh, bingung. Kalau begini gawat juga nih..
Mama masih saja bercerita panjang lebar sama dengan luas. Sedikitnya, gue lega
karena ada yang peduli sama gue. Punya orang-orang seperti mereka merupakan anugrah
yang tak terkira. Gue merebahkan badan di ranjang yang tidak seempuk ranjang di rumah
gue. Tapi lumayan nyamanlah.
Tunggu dulu.
Sepertinya ada yang hampir terlupakan.
Bagaimana nasib dua orang pengamen itu?
***
“Ron, punya teman kayak kau itu memang anugrah yang tak terkira, ya.”
“Bah! Darimana pulak kau belajar kata-kata itu, Ki?”
“Itu karanganku sendiri, lae. Namanya juga pembuat lagu, pasti punya kamus kata-
kata puitis,” jawab Rocky sotoy.
“Ah, terserah kaulah itu. Aduh, masih sakit kali kakiku ini, lae,” kata Amron.
Rocky dan Amron berada di dalam sebuah rumah kontrakan yang luasnya hanya 3 X
4 meter. Sebenarnya, ‘rumah’ itu hanyalah kamar kos untuk satu orang mahasiswa, namun
mereka hanya sanggup menyewa yang seperti itu untuk dua orang. Perabotan di ruangan itu
khas untuk pelajar: sebuah kursi dan meja belajar, lemari, kasur tidur, dan kamar mandi
dalam. Dinding-dinding ruangannya dipenuhi oleh banyak poster dan coretan-coretan.
Jendela kamarnya hanya satu, itupun mengarah ke tempat pembakaran sampah.
Ruangan itu setidaknya cukup untuk menampung mereka yang sedang membalut
luka-luka mereka dengan perban.
“Sialan jugak rumah sakit itu. Kalau nggak ada uang, kita nggak dilayani. Si orang
kaya brengsek itu juga sama aja,” kata Rocky. Sifat buruk Rocky adalah dia temperamental
dan mudah mendendam.
“Wajarnya itu. Namanya juga orang Indonesia, rumah sakit Indonesia. Di negara kita
ini, orang-orang yang punyak uang yang dihargai,” kata Amron.
“Berarti orang kaya itu diobati, padahal kita nggak?”
Amron mengangguk.
“Nggak bisa gitu aja, Ron. Kita harus balas perbuatannya. Dia nggak tahu rupanya
kalau persatuan orang Batak ini kuat. Kita bisa panggil kawan-kawan kita,”
“Terus kau mau ngapain? Mau nyerang orang kaya itu? Apa gunanya cobak? Biarpun
nanti dendammu terbalas, tapi nggak ada gunanya. Salah-salah kau malah masuk penjara,”
Amron sudah biasa menghadapi dan menenangkan sahabatnya ini kalau sedang
marah.
“Tapi, nggak adil, Ron! Kita nggak boleh membenarkan yang biasa. Tapi kita harus
membiasakan yang benar! Orang kecil ditindas itu biasa, tapi bukan berarti tindakan itu
benar! Nggak boleh gitulah, lae. Biasakan yang benar! Jangan benarkan yang biasa!”
“Terus kenapa?!” Amron agak kesal sekarang. Seperti biasa, Rocky tidak mau
mengalah. Padahal itu jauh lebih menghemat energi.
Rocky terdiam. Wajahnya jelas ingin protes. Namun dia tak mau melawan sahabatnya
itu. Bukan hanya takut persahabatn mereka retak, tapi Amron juga sangat mengerikan kalau
marah.
“Iya juga ya, lae. Benar apa katamu. Mengeluh nggak ada gunanya..”
“ Iya. Emang begitunya nasib kita ini. Kita orang kecil, lae. Nggak usah macam-
macam,” kata Amron lagi. “Lihat ajalah orang-orang yang sering demo itu. Hampir semua
nggak dipedulikan. Protes nggak protes, hasil sama. Udahlah, sekarang kita obati dulu lukak-
lukak kita ini.”
“Okelah, lae..”
***
Sharon duduk di tepi ranjang. Roknya tidak begitu dirapikan, sehingga gue bisa
melihat kakinya yang panjang, putih mulus dan indah. Steven sepertinya tahu apa yang gue
lihat, jadi dia ikut nyengir-nyengir. Sharon sendiri cuek. Dia lebih sibuk memperhatikan
laptop yang ada di pangkuannya. Sedangkan mama dan adik-adik gue udah pulang untuk
mengambil makanan.
“Jadi, untuk acara malam keakraban nanti, kita butuh hiburan. Bagaimana kalau kita
memanggil artis?” usul Sharon.
“Artis? Gila lo, kita nggak akan sanggup membayar honornya!” kataku.
“Gue sih setuju aja. Panggil Agnes Monica atau Sherina, atau kalau bisa panggil Lady
Gaga atau Rihanna” kata Steven. Yang satu ini emang rada-rada sinting.
“Hush! Elo emang sinting, Stev. Gue tahu siapa artis yang bisa kita undang tanpa
memberatkan kas panitia. Karena dia itu temennya dari temennya temen gue,” ujar Sharon
dengan nada bangga. Gue dan Steven saling melirik. Kata-kata ‘temennya dari temennya
temen’ sangat tidak meyakinkan.
“Siapa?” tanya kami berbarengan.
“Arjuna”
“Apa? Siapa?”
“ARJUNA! A-R-J-U-N-A!! Si penyanyi yang sedang naik daun!”
“Haaahhh!!!”
***
Bab 4
The Brightest Star
owok itu keluar dari mobil limousin hitam yang mengkilap di depan pintu sebuah
gedung. Dari atas sampai bawah, seluruh pakaiannya bermerk dan gaya. Rompinya
berwarna biru tua, senada dengan warna dasinya. Dia mengenakan kemeja lengan panjang
yang sangat putih. Sepertinya perusahaan - perusahaan deterjen akan menggunakan kemeja
itu untuk iklan di televisi. Celananya bahan berwarna hitam. Sangat halus, sehingga lalat pun
tidak akan bisa hinggap di sana. Gaya rambutnya diatur sedemikian rupa, sehingga bagian
belakang berdiri dan bagian depan turun. Mereka menyebut gaya rambut itu dengan sebutan
“Harajuku”. Namun dia tidak mau mengecat rambut hitamnya itu.
C
Siapa saja yang melihatnya akan terpesona. Kaum wanita akan histeris berteriak-
teriak menyebut-nyebut namanya, dan kaum pria hanya bermimpi kapankah gadis-gadis
cantik akan memperlakukan mereka seperti itu. Sementara itu, kaum banci akan langsung
jatuh cinta. “Aura seorang artis sejati” demikian nama pancaran cahaya yang dimiliki oleh
orang tersebut. Dia adalah seorang superstar.
“Arjuna! I love you!”
“Arjunaa! Kiss me please..!!!”
“Arjuna! ARJUNAAA!!”
Orang yang dipanggil tersenyum dengan cool. Dia menanggapinya dengan senyum
menawan. Sesekali dia mengerlingkan matanya pada gadis-gadis yang menurutnya paling
seksi, kemudian mengizinkan mereka mengambil foto-fotonya secara eksklusif. Dia sudah
biasa menghadapi hal semacam itu.
Begitu pintu gedung dibuka, kilatan blitz dari kamera-kamera wartawan langsung
membanjirinya. Seorang pesuruh membantunya membuka jas hitamnya. Kemudian, atas
permintaan seorang wartawan, dia berpose seperti seorang petinju yang sedang melancarkan
jurus mautnya : uppercut.
“Ooh.. Lihat! Artis besar kita sudah datang! Arjuna sudah datang!” seorang pembawa
acara berteriak dari atas panggung. Rontak hampir seluruh penonton berdiri. Kebanyakan
penonton itu adalah perempuan, dan suara jeritan mereka menggelegar di ruangan itu:
“ARJUNAAA!!!” Sebagian penonton membawa spanduk dan foto dirinya besar-besar.
“Arjuna, mari, naik ke atas ring sebentar,” kata si pembawa acara. Arjuna naik dengan
langkah sigap. “Berikan sepatah dua patah kata untuk semua hadirin yang ada di sini, Arjuna”
ujar si pembawa acara itu. Dia menyerahkan sebuah mike kepada Arjuna. Arjuna menerima
benda itu dengan senang hati. Penonton semakin berisik. Teriakan nama Arjuna berulang kali
semakin lama semakin kuat.
“Ssssttt,” Arjuna memberi tanda dengan tangannya. Serta merta kerumunan orang itu
tenang. Kalau tidak diam, nanti suara pujaan hati mereka tidak bisa terdengar.
“Terima kasih atas perhatiannya, para hadirin,” ujarnya. “Saya sangat menghargai apa
yang kalian berikan kepada saya,”
Penonton itu serentak ribut lagi. Para wanita mulai berteriak lagi. Arjuna! Arjuna!
Arjuna! Arjuna mengangkat tangannya lagi. Mereka diam lagi. Begitu mudahnya bagi dia
untuk mengatur para penonton. Inilah kehebatan seorang artis.
“Penting untuk saya ingatkan kepada Anda semua... Bahwa sekarang ini, kita semua
akan menyaksikan sebuah pertandingan tinju!”
Ya! Mereka memang sedang berada di sebuah gedung tinju. Bukan di atas pentas.
Namun penonton yang sedemikian banyaknya itu, terutama para wanita, dan juga para
wartawan majalah dan televisi datang ke tempat itu bukanlah untuk melihat atlet-atlet tinju
kebanggaan Indonesia yang sedang bertanding, namun untuk melihat Arjuna. Fans yang
fanatik luar biasa sampai terlihat menyebalkan. Bagaimanapun, tindakan semacam itu sangat
berlebihan
“Namun, atas permintaan Anda semua, saya akan menyumbangkan sebuah lagu untuk
Anda sekalian.. Sekaligus ebagai pembuka pertandingan ini.” Sambung Arjuna lagi.
Lagi-lagi gedung itu bergetar oleh teriakan para penonton. Arjuna mulai
mempersiapkan diri. Ring dikoRongkan sebagai panggungnya. Kedua atlet yang sudah
berada di sudut merah dan biru harus mengalah, meskipun jengkel pada si superstar muda ini.
Musik dimulai. Dan dengan karakter vokalnya yang lembut, Arjuna mulai menyanyikan
lagunya yang berjudul You Love Me So.
I can feel your heart
Oh, it is so warm and smooth
And I like it
I can feel your love
I feel like my dreams come true
Where you’re the Goddess of my life
Please wait, oh baby
I’m still not ready
Just let our love flow
(flow, flow, flow)
Goin’ where the time will bring both of our love
In to this eternity
Eternity of our love
Everything happens for reasons
So you’re everything for me
Coz’ you’re the reasons
That I have life now
I have no doubt to give my life
For you the one that I love
And I’m sure deep in your heart
You love me so
***
Gue sedang mendengar lagu You Love Me So yang sedang beken akhir-akhir ini.
Ternyata lagu ini memang bagus. Benarkah Sharon bisa membawa sang artis ke acara malam
keakraban nanti? Sepertinya keren kalau bisa.
“Stev, gimana menurut lo tentang artis yang bakal nampil di acara makrab kita nanti?”
tanyaku pada Steven.
“Nggak bagus. Kenapa bukan artis cewek? Harusnya artis itu minimal seperti Gita
Gutawa,” jawab Steven. Ya ampun, nih anak emang benar-benar pecinta wanita nggak ada
obat. Keputusan yang salah, gue nanya sama orang kaya’ dia. Mendingan gue kembali
mengerjakan tugas gue.
Pagi ini, kami berdua sedang berada si perpustakaan. Kami duduk mengerjakan tugas
dari dosen membuat makalah tentang analisis penyebab dan penanggulangan penyakit syaraf,
minimal dua puluh lembar. Steven sepertinya bisa mengerjakan tugas ini dengan cepat. Meski
sel-sel syaraf waras di otaknya rusak, tapi dia mampu memahami materi tentang syaraf ini
dengan baik. Biar rada aneh begitu, Steven ini termasuk orang dengan IP tertinggi di fakultas
kami. Seperti yang pernah dikatakan seseorang kepadaku, “Orang jenius dan gila hanya beda
tipis”. Sementara gue sendiri hanya bisa menelan ludah dengan IP tertinggi selama ini hanya
3,25. Sangat sulit bagiku untuk meraih nilai yang bagus.
“Hei guys! Lagi pada ngapain nih?” Sharon datang dan langsung nimbrung. Satu lagi
orang jenius datang.
“Ini nih, lagi ngerjain tugas makalah,”
“Oh, yang itu. Punya gue udah selesai tuh’ sejak dua minggu yang lalu,” kata Sharon
dengan santainya.
“Cepet banget! Kami aja baru mulai nih!” gue kaget.
“Lho? Tugas ini ‘kan diberikan satu bulan yang lalu? Jadi begitu diberikan, gue
langsung ngerjain makalah itu. Gue bahkan udah ngumpulin tugas itu sama Pak Santoso.
Beliau kelihatan senang banget,”
“Lo bisa diam nggak sih? Gue juga bentar lagi selesai nih,” kata Steven. Semua orang
tahu mereka memang bersaing dalam akademis.
“Week! Sirik aja lo!” ledek Sharon.
Gue membandingkan dua makhluk berjenis kelamin berbeda yang ada di hadapan gue
ini. Keduanya merupakan jenius, sering mendapatkan penghargaan, dan menjadi bintang
kelas. Namun keduanya sangat berbeda, baik dalam sifat maupun perilaku.
Sharon, naama lengkapnya Sharon Jodie Lin. Dia keturunan orang Cina, sehingga
kulitnya putih, matanya sipit, dan rambutnya lurus. Wajahnya cantik banget ditambah lagi
rambut yang pendek sebahu. Dia selalu memakai pakaian yang modis dan parfumnya sangat
wangi. Tubuhnya tinggi, sekitar 170 cm, dan bentuk tubuhnya proporsional. Dia mengenakan
kacamata berwarna pink yang lucu dan penjepit rambut berwarna senada. Dia selalu tampak
rapi dan bersih. Kemana-mana, dia akan memeluk buku-buku tebal, dan jika ada waktu
luang, dia akan belajar dengan tekun. Benar-benar sosok mahasiswa teladan sang pemudi
harapan bangsa.
Sangat bertolak belakang dengan Sharon, Steven memiliki habit yang jauh berbeda.
Namanya singkat, hanya satu kata. Kulitnya sawo matang asli Indonesia. Bentuk badannya
mirip tiang listrik, tinggi, kurus. Wajahnya tidak begitu jelas, karena rambutnya yang ikal dan
berantakan selalu menutupi wajahnya. Rambut itu tidak pernah terlihat rapi. Bahkan kami
ragu kalau dia rajin mandi. Kadang-kadang bau badannya menyebar tajam, dan gigi-giginya
berwarna kuning. Bajunya asal-asalan, bahkan jarang disetrika. Tingkah lakunya juga aneh,
dan sifat genitnya terhadap wanita berlebihan. Dia tidak pernah belajar. Bahkan sebelum
menjelang ujian penting atau olimpiade sekalipun dia tidak pernah belajar. Namun TUHAN
memberikan hidayah yang amat besar kepada orang ini. Kalau bersamanya, ada kalanya gue
ngerasa TUHAN itu nggak adil.
Jika musim ujian tiba, gue akan langsung memanggil mereka untuk menjadi private
teacher. Dan biasanya akan terjadi pola seperti ini. Sharon duduk di sebelah kiri gue,
mengajari gue dengan tekun, sekaligus memberikan tips-tips untuk pelajaran tersebut.
Sementara itu, Steven duduk di sebelah kanan gue sambil main game di iPad. Ketika muncul
soal sulit, Sharon akan memberikan solusi yang cukup masuk akal. Namun tiba-tiba Steven
nimbrung dan menyanggah Sharon. Kemudian Steven memberikan solusi yang lebih mudah
dan lebih tepat. Kemudian mereka akan berdebat saling berteriak dari sisi kiri dan kanan gue.
Sementara gue hanya bisa diam, semakin bingung.
Mereka adalah bintang kelas kami. Dan gue sangat bangga sekaligus bahagia bisa
menjadi sahabat mereka berdua. Merekalah bintang yang sesungguhnya. Mereka berbeda
dengan bintang-bintang televisi yang bersinar di suatu waktu namun akan meredup di saat
lain. Di dalam hati ini, mereka akan bersinar selama-lamanya.
***
Bab 5
Detik - Detik Penentuan
Sore ini, kami sedang mempersiapkan segala sesuatunya. Kami bertiga, gue, Sharon
dan Steven masuk seksi acara, sehingga tugas kami yang paling merepotkan sekaligus yang
paling menyenangkan. Rentetan acara sudah kami buat dengan matang. Apalagi kehadiran
Arjuna sudah bisa dipastikan. Semuanya sudah bekerja keras dengan baik. Ini akan menjadi
makrab yang hebat.
Peserta makrab tahun ini sangat banyak. Kebanyakan justru datang dari luar klub
yang tidak mengerti cara bermain catur sama sekali. Pastilah karena seksi humas sukses
mempublikasikan acara ini dengan embel-embel “Bintang tamu spesial : Arjuna”. Aneh juga
sih, sebab olahraga catur tidak ada hubungannya dengan artis manapun. Dunia seorang
pecatur adalah dunia pikir dan strategi. Dunia seorang pecatur adalah dunia otak kiri, bukan
otak kanan yang lebih mengarah ke kesenian.
Sisi positifnya adalah, dengan bertambahnya jumlah peserta maka uang iuran makrab
yang harus dibayar jadi semakin sedikit. Betapa hebatnya pengaruh orang-orang seperti itu.
Gue berpikir dalam hati, kapan gue bisa punya pengaruh seperti itu? Saat itu, gue belum tahu
bahwa di detik-detik penentuan nanti, gue akan bertemu dengan orang-orang yang akan
merubah takdir gue.
***
“Ron, kakimu gimana? Udah sehat?” tanya Rocky.
“Lumayanlah. Ayok kita kerja lagi,” ujar Amron.
Siang itu, Rocky dan Amron kembali bekerja mengamen di jalan raya. Hiruk
pikuknya kendaraan bermotor menjadi anugrah untuk mereka, karena itu berarti calon
pendengar mereka semakin banyak. Mereka tidak pernah menyangka jika salah satu mobil
yang ada di jalan itu dinaiki oleh orang yang akan merubah takdir mereka setelah ini.
Mobil itu dicat berwarna silver, bagus sekali. Di depan mobil itu ada lambang seekor
kuda hitam sedang berdiri. Rocky mengetuk kaca mobil tersebut. Sang sopir mobil membuka
kaca mobil itu sedikit.
“Ada apa?” tanyanya.
“Selamat siang, pak. Mohon kesediaannya untuk membantu kami, orang kecil,”
“Kami tidak mencuri, kami tidak merampok, kami tidak mengemis. Kami ini
mengamen, pak. Kiranya lagu kami mampu menenangkan hati bapak di tengah-tengah
kemacetan ini,” sambung Amron.
Sang sopir menurunkan kembali kaca mobilnya, tanda bahwa dia tidak berminat
sedikitpun.
“Nggak apa-apa, Rocky. Kita nyanyi aja, pasti nanti dia melunak,” kata Amron.
“Ya, aku setuju. Bagaimana kalo kita bawa lagu yang lagi ngetop akhir-akhir ini?”
usul Rocky.
“Oke,” jawab Amron. Dan inilah detik-detik perubahan takdir mereka. Rocky mulai
bernyanyi.
I can feel your heart
Oh, it is so warm and smooth
And I like it
Suara Rocky mengalun dengan keras. Timbre pita suaranya tebal dan vibrasinya
sempurna. Suaranya terdengar serak, namun sangat seksi dan enak didengar. Perlahan-lahan,
kaca jendela mobil itu terbuka.
I can feel your love
I feel like my dreams come true
Where you’re the Goddess of my life
Kemudian, giliran Amron yang bernyanyi. Berbeda dengan Arjuna, si penyanyi asli,
yang membawakan bagian ini dengan nada rendah, Amron membawa bagian ini dengan nada
satu oktaf lebih tinggi. Karakter vokal Amron juga lebih tegas dan keras.
Please wait, oh baby
I’m still not ready
Just let our love flow
(flow, flow, flow)
Goin’ where the time will bring both of our love
In to this eternity
Eternity of our love
Di bagian berikutnya, Amron dan Rocky bernyanyi bersama. Warna suara mereka
berdua menyatu.
Everything happens for reasons
So you’re everything for me
Coz’ you’re the reasons
That I have life now
I have no doubt to give my life
For you the one that I love
And I’m sure deep in your heart
You love me so
Prok! Prok! Prok! Seseorang keluar dari mobil sambil bertepuk tangan.
“Hebat! Hebat! Saya nggak pernah menyangka kalau lagu saya bisa dinyanyikan
seperti ini,” kata orang itu. Amron dan Rocky terperangah melihat orang di depan mereka.
“Sebenarnya, sekarang ini saya sedang dalam perjalanan menuju sebuah villa di
puncak. Apakah kalian mau ikut? Saya ingin ngobrol-ngobrol dengan kalian. Lagipula, saya
nggak terlalu suka hanya duduk diam dengan seorang supir yang tidak punya selera humor,”
kata Arjuna lagi. Rocky dan Amron saling pandang. “Tenang saja, penghasilan kalian hari ini
akan saya bayar dua kali lipat,” tambahnya lagi.
Maka, mobil yang berisi sekelompok orang dengan kombinasi aneh itu melaju dengan
pesat menuju villa Sari Indah.
***
Sudah pukul 21.00 WIB. Arjuna masih belum datang. Para peserta kelihatan mulai
berisik. Bahkan ada yang jelas-jelas mulai berteriak Tampilkan Arjuna! Arjunanya mana?
Panitianya payah! Nggak becus! Ini gawat, bisa-bisa orang-orang ini mengamuk jika Arjuna
tetap belum datang.
“Sharon! Bagaimana ini? Di mana bintang tamu kita itu?” gue bener-bener cemas.
“Aduh, katanya tadi mereka sedang terjebak macet. Gue juga nggak bisa memastikan,
kapan rombongan mereka akan tiba di sini,” kata Sharon.
“Rombongan? Dia berangkat sama siapa? Sama temennya temen temen lo itu?”
“Iya.. Dan mereka belum sampai juga. Aduhh.. Tio, ini gimana? Lo penanggung
jawab seksi acara kan? Mikir juga dong,”
Ya ampun. Lagi-lagi karakter bangsa ini keluar. Ketika dihimpit masalah, dia
langsung melemparkan tanggung jawab ke orang lain. Padahal orang yang berjanji bakal
mendatangkan selebritis top ‘kan dia!
“Gimana kalau jadwal dia menyanyi diundur jadi besok? Acara makrab ini ‘kan
empat hari tiga malam, jadi dia masih bisa tampil besok,” usul Steven.
“Bodoh! Kita ‘kan udah memberitahu jadwal-jadwal kita kepada para peserta! Kalau
kita tidak konsisten, bisa malu seksi acara!” Sharon mengundang perkelahian yang tak perlu.
“Oh, ya? Baiklah nona sok pintar. Karena gue bodoh lo harus tanggung jawab
memikirkan solusi permasalahan ini,” serang Steven.
“Lho, bukan cuma gue aja dong. Lo semua juga harus bertanggung jawab!” balas
Sharon.
“Kalian berdua bisa diam nggak!” gue teriak. Kepala gue rasanya hampir pecah
mendengar ocehan-ocehan nggak jelas itu.
“Dengar, sekarang gue bakal bicara dulu sama penonton supaya mereka tenang..
Sementara itu coba cari solusi lain,” perintah gue.
Gue kemudian naik ke atas pentas yang berbentuk setengah lingkaran itu. Dari atas
pentas, gue bisa melihat para peserta yang sudah kasak-kusuk di tribun kursi yang bentuknya
bertangga-tangga itu. Dari tadi sore, sebenarnya mereka sudah melihat berbagai macam
penampilan, mulai dari parodi musikal, sexy dancer, sulap, dan penayangan video tentang
UKOR Catur itu sendiri. Namun mereka belum puas. Yang mereka tunggu-tunggu adalah
Arjuna. Beberapa orang bahkan membawa spanduk besar bertuliskan Arjuna dan foto close
up wajahnya yang besar. Sedikit banyak, gue jadi kesal sama superstar sok keren itu.
“Para peserta makrab diharapkan untuk tenang,” ujar gue lewat mikrofon. Sepertinya
tidak berhasil. Mereka semakin ribut.
“Sekali lagi, saya minta kepada para peserta makrab. Silakan tenang sebentar,” kata
gue lagi.
Tiba-tiba salah seorang cewek gendut berkepang dua berteriak: “Mana ARJUNA?!”
Busyet! Kontan, peserta-peserta yang lain juga mulai memberikan teriakan-teriakan serupa.
Uhmm.. Gue heran deh. Kenapa sih dari kemarin gue harus berhadapan dengan teriakan-
teriakan semacam ini ya?
“ARJUNA! ARJUNA! ARJUNA! ARJUNA! ARJUNA! ARJUNA! ARJUNA!”
Pada detik itu, gue bener-bener udah stress menghadapi orang -orang yang
kelakuannya kayak kerbau pengen kawin itu.
“Oke, stooooop!!” gue teriak sekenceng mungkin. “STOOP!” DUKK!
Ngiiiiiiiiiiinnnng!!!!! Gue teriak sambil membanting mikrofon. Mereka diam juga. Entah
karena teriakanku, atau karena dengingan suara mikrofon, atau karena ekspresiku yang tidak
biasa marah. namun
“Arjuna belum datang,” ujarku ketakutan.
“HUUUUUUUUUU!!!!!!!!!”
Kerumunan itu sekarang terlihat sangat marah. Sekarang, gue bener-bener takut.
Gimana kalau setelah ini imej diri gue yang kalem dan menyenangkan berubah jadi
menyebalkan? Gimana kalau setelah ini gue jadi dibenci banyak orang? Ini bener-bener
berlawanan dengan apa yang gue harapkan selama ini. Aduh, kalau gue minta maaf, mereka
terima nggak ya? Gue bener-bener khawatir.
“Lo harus nyanyi! Di depan kami semua!” perintah si kepang. Ternyata si kepang ini
orangnya pemberani sekali. Mungkin, dia bisa saja pergi ke timur tengah menjadi tentara
perdamaian sukarela, asalkan demi Arjuna. Kawanan penonton pun mulai bereaksi lagi.
Sepertinya mereka sepakat untuk menghukum gue. Gue ‘kan nggak pernah nyanyi! Aduh,
tapi harga diri gue justru mengatakan hal ini:
“Baiklah, kalau begitu. Gue bakal menyanyi untuk kalian. Malam ini, gue ‘Arjuna’
kalian,” Entah setan darimana yang menyuruh gue berkata begitu. Padahal gue sekalipun
nggak pernah mencoba menyanyi sebelumnya. Uhmm.. semoga gue ingat lirik lagunya si
artis sialan itu.
Para peserta mulai mencibir. Gue bisa mendengar ucapan-ucapan seperti :”Bisa apa
dia?”, “Sombong sekali!”, ”Sok banget sih”, dan “Malam ini, ayo kita kerjain dia!”.
Ya TUHAN, gue hanya berserah kepada-Mu. Dan inilah detik-detik perubahan takdir
gue! Gue menutup mata. Gue takut kalau melihat mereka menertawakan gue nantinya. Gue
lalu mengambil nafas., lalu tanpa musik intro, tanpa mengambil nada dasar terlebih dahulu,
dengan tempo yang lebih lambat dari tempo aslinya, gue langsung aja nyerobot.
I can feel your heart
Oh, it is so warm and smooth
And I like it
Tiba-tiba suara-suara di sekeliling gue berhenti. Apakah mereka sudah kabur? Gue
nggak tahu kalau saat itu mereka terpesona.
“Tio..?” Sharon menatapku takjub.
I can feel your love
I feel like my dreams come true
Where you’re the Goddess of my life
Please wait, oh baby
I’m still not ready
Just let our love flow
(flow, flow, flow)
Hei, ternyata bernyanyi menyenangkan juga. Gue masih belum berani membuka mata
gue, dan gue nggak tahau kalau di depan gue, para penonton mulai melambai-lambaikan
tangannya, ke kiri dan ke kanan.
Goin’ where the time will bring both of our love
In to this eternity
Eternity of our love
Di bagian ini, gue mengambil nafas dulu. Tiba-tiba gue mendengar suara lain, yang
terdengar familiar, namun tidak begitu gue kenali. Suara yang begitu lembut.
Everything happens for reasons
So you’re everything for me
Coz’ you’re the reasons
That I have life now
Ternyata itu Arjuna! Dia datang! Para penonton geger. Gue membuka mata gue, dan
gue melihat dia, berdiri tepat di samping gue, lengkap dengan kostum panggungnya.
“Tio, giliranmu,” katanya. Darimana dia tahu nama gue? Entahlah. Sekarang giliran
gue bernyanyi dan gue nggak punya waktu untuk memikirkan hal itu.
I have no doubt to give my life
For you the one that I love
And I’m sure deep in your heart
You love me so
***
Bab 6
Heaven of Dreams
antung gue masih berdetak cepat. Gue nggak percaya kalau gue baru saja menghibur
sekian banyak penonton. Mereka yang tadinya mencibir gue justru bertepuk tangan paling
keras. Entah kenapa, gue merasakan suatu kepuasan dan kebanggan yang sulit diungkapkan
dengan kata-kata. Arjuna memberi hormat dan memberi kiss-bye ke arah penonton. Gue
J
cuma berdiri kaku, bingung mau ngapain. Ah, iya juga. Gue sadar. Pasti semua tepuk tangan
ini diberikan untuk Arjuna, bukan untuk gue. Lagian, mana mungkin ‘kan mereka memberi
tepuk tangan untuk gue. Mustahil banget.
“Beri tepuk tangan kepada teman kita yang sudah bernyanyi dengan amat bagus, beri
penghargaan tertinggi kepada... Tio!” teriak Arjuna penuh semangat. Gue kaget. Apa?
Penonton itu bertepuk tangan untuk gue yang nggak seberapa ini. Tidak mungkin, pasti
mereka bertepuk tangan karena disuruh oleh Arjuna.
“Para penonton sekalian, terima kasih banyak atas kehadirannya,” kata Arjuna. “Gue
pengen memberi pengumuman kecil, nih. Temen-temen tolong tenang dulu, ya?”
Semua penonton itu mematuhi kata-kata Arjuna sesegera mungkin. Hebat sekali. Gue
bahkan nggak bisa menyuruh mereka diam dalam setengah jam, namun dia melakukannya
dalam hitungan detik.
“Pertama-tama, gue minta maaf dulu. Gue terjebak macet, jadi gue nggak bisa datang
ke tempat ini tepat waktu. Apakah kalian akan memaafkan aku?” tanya Arjuna.
“Tentu saja!” jawab para penonton. Enaknya jadi artis. Semua kesalahannya bisa
dilupakan begitu saja.
“Jadi, gue terlambat datang itu bukan karena panitianya yang payah ataupun karena
teman kita ini, Tio, yang sudah bernyanyi untuk kita semua. Kalian mengert kan?”
“Ngerti dong,” kata penonton itu lagi. Wuah! Bagaimana caranya dia bisa membuat
kawanan orang liar itu menjadi penurut? Aura sang artis sejati memang beda.
“Jadi, karena keterlambatan ini, gue bawa oleh-oleh temen baru nih buat kalian.
Namanya Rocky dan Amron! Sambutlah mereka!”
Penonton antusias menyambut orang-orang yang tidak jelas rupanya ini. Sepertinya
Arjuna juga punya bakat untuk menjadi presenter yang hebat. Tunggu dulu! Gue mengenali
dua orang itu! Kami saling pandang.
“Aaah!” gue kaget setengah mati.
“Kau! Si anak kaya!” orang yang bernama Rocky seperti ingin menghajar gue.
Waduh, gawat. Pasti mereka masih dendam.
“Rocky! Tenanglah!” yang seorang lagi yang bernama Amron menenangkan
temannya itu.
“Kalian sudah saling kenal? Wah, gue nggak nyangka lho..” ujar Arjuna riang.
“Baiklah, sekarang kami berempat akan menyanyikan lagu You Love Me So versi akustik
yang hanya bisa kalian dengar di sini. Ini langka, lho..” ujar Arjuna kepada penonton. Kami
bertiga terkejut. Apaa? Seenaknya saja dia menentukan apa yang akan terjadi. Namun sudah
terlambat untuk protes.
“Rocky, kamu hafal chord lagu You Love Me So, bukan? Mainkan lagu itu dengan
gitarmu. Namun jangan dirambas. Lebih baik kamu memainkannya dengan petikan akustik,
seperti main harpa,” Arjuna mulai memberi perintah.
“Amron, mainkan tamborinmu seperti tadi siang. Caramu memainkannya sudah tepat,
hanya saja temponya kita turunkan, oke?”
Rocky dan Amron hanya mengangguk.
“Tio.. Kamu bisa main alat musik?”
Gue menggeleng. “Tapi, kita bisa bertanya pada para penonton di sini,” gue memberi
usul.
“Ide bagus,” kata Arjuna. Dia langsung melakukan hal yang gue usulin, dan tak
disangka-sangka, si cewek gendut berkepang itu naik ke atas panggung dengan penuh
semangat. Gue baru tahu dia bisa main biola. Untunglah dia membawa biola itu.
“Eh, gue punya nama, ya. Nama gue Putri, bukan ‘si kepang’, ngerti nggak?” Wuah,
si kepang, eh, Putri emang galak banget. Gue mendadak merasa kasihan sama Arjuna.
“Oke, gue ngerti,” jawab gue kalem.
“Tio, Rocky, Amron, kita berempat nyanyi bersama. Tio nyanyi biasa aja. Gue akan
mengambil suara bass. Rocky, ambil suara tenor. Amron, ambil suara begitu aku kasih tanda,
oke?” jelas Arjuna.
Kami semua siap. Penonton siap. Satu.. Dua.. Tiga..
“Tunggu dulu,” Arjuna menunda lagi. Gue baru sadar, ternyata pertunjukan itu
memang butuh banyak persiapan dan banyak kata ‘tunggu’.
“Grup kita ini belum kita beri nama. Menurut kalian, bagusnya apa?” Rocky dan
Amron menggelengkan kepala.
“Tio?”
“Uhmm.. Bagaimana kalau The Dream Team? Hehehee..” gue cengar-cengir. Bego
banget, julukan itu lebih pantas untuk tim olahraga yang berisi pemain-pemain emas. Aduh,
kenapa gue nggak menyebutkan nama Grand Master aja sih?
“Hahaha, baiklah. Itu juga lucu. Amron, coba sebutkan cita-citamu!”
“Hah? Cita-citaku.. Aku mau masuk surga,” jawab Amron polos. Gue hampir saja
tertawa lepas kalau saja Arjuna tidak mengatakan “Wow! Cita-cita yang mulia sekali!”
“Hemm.. The Dream Team... Surga.. Heaven...” Arjuna terlihat berpikir. Gue nggak
bisa menebak jalan pikiran artis muda ini.
“Baiklah, kita sepakat, grup kita ini kita beri nama ‘Heaven of Dreams’!” seru Arjuna
semangat.
“Oooh!” Amron dan Rocky langsung setuju. Mungkin mereka menganggap kata-kata
bahsa inggris itu keren. Tapi.. Tunggu dulu! Heaven of dreams? Surga impian? Apakah ini
grup religius? Bukan! Ini hanyalah grup dadakan yang terbentuk dengan sembrono dalam
waktu sepuluh menit.
“Tio?”
“Baiklah, gue setuju,” gue udah lelah. Arjuna mengambil mik dan bicara dengan
suara yang dibuat-buat mirip dengan suara pembawa acara nominasi.
“Ladies and gentlemen. Saksikanlah penampilan dari....’Heaven of Dreams’! Beri
tepuk tangan yang meriah!”
Penonton bersorak. Dan di sinilah kami, saling menyatukan suara. Pertama-tama
Rocky memainkan gitarnya sesuai arahan Arjuna. Gitar itu dimainkan seperti bermain harpa.
Sementara itu, si cewek berkepang memainkan biolanya dengan amat khidmat, nada-nadanya
dimainkan sama persis dengan nada reffrain lagu You Love Me So. Rocky memberi tanda
masuk.
I can feel your heart
Oh, it is so warm and smooth
And I like it
Setelah verse pertama, verse berikutnya adalah giliran gue.
I can feel your love
I feel like my dreams come true
Where you’re the Goddess of my life
Setelah itu, gue, Arjuna, dan Rocky bernyanyi bertiga sesuai pembagian suara
masing-masing. Amron memukul tamborin dua kali terlebih dahulu. Suara kami
menghasilkan harmoni yang sangat indah.
Please wait, oh baby
I’m still not ready
Just let our love flow
(flow, flow, flow)
Goin’ where the time will bring both of our love
In to this eternity
Eternity of our love
Kemudian, sambil memukul tamborinnya cepat-cepat, Amron mengeluarkan suara
menggelegar yang kedengarannya seperti :
Yeaaaaaaahhh! One, Two, Three, Go!
Kami berempat kemudian bernyanyi:
Everything happens for reasons
So you’re everything for me
Coz’ you’re the reasons
That I have life now
I have no doubt to give my life
For you the one that I love
And I’m sure deep in your heart
You love me so
Kami mendapat standing applaus yang luar biasa! Semua penonton memberikan
standing applaus! Lama banget! Mungkin ada sekitar 2 - 3 menit. Whew! Amazing!
Unbelievable! Rocky dan Amron terlihat lebih takjub daripada gue. Gue bener-bener senang.
Gue nggak pernah menyangka, pada detik ini, di dalam hati gue timbul sebuah perasaan yang
sangat kuat. Gue mengenal perasaan ini sebagai keinginan, hasrat, atau impian. Pada detik
itu, gue, yang cuma bisa main catur pas-pasan, gue yang nggak pernah menonjol, gue yang
selalu kalem dan mendengarkan setiap perintah orang tua, gue yang sedan belajar menjadi
dokter, tiba-tiba berkeinginan untuk menjadi sesuatu yang nggak pernah gue duga selama ini.
Gue pengen menjadi.... seorang penyanyi.
***
Bab 7
Impian Ayah