Post on 21-Nov-2020
STUDI KOMPARATIF
RITUAL TEDHAK SITEN DI JAWA
DAN HATSU TANJO DI KYUSHU JEPANG
SKRIPSI
LINTANG VIOLETTA YUVINDA PUTRI
NIM 135110607111003
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
STUDI KOMPARATIF
RITUAL TEDHAK SITEN DI JAWA
DAN HATSU TANJO DI KYUSHU JEPANG
SKRIPSI
LINTANG VIOLETTA YUVINDA PUTRI
NIM 135110607111003
Diajukan Kepada Universitas Brawijaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat
dan berkah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul “Studi
Komparatif Ritual Tedhak Siten di Jawa dan Hatsu Tanjo di Kyushu Jepang”
dengan lancar. Penulisan skripsi ini kemudian memiliki tujuan untuk memenuhi
syarat guna mendapatkan gelar Sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Brawijaya,Malang.
Dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini penulis mendapatkan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin meyampaikan
terimakasih kepada:
1. Bapak Prof.Ir. Ratya Anindita,MS.Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu
Budaya.
2. Bapak Syariful Muttaqin,M.A selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu
Budaya yang telah memberikan bantuan serta kontribusi dalam rangka
membantu kelancaran studi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Brawijaya.
3. Ibu Ulfah Sutiyarti,M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
Jepang yang telah memberikan banyak kontribusinya terhadap kelancaran
studi Penulis dan mahasiwa Pendidikan Bahasa Jepang lainnya serta untuk
motivasi yang selalu diberikannya dalam berbagai kesempatan.Serta
4. Retno Dewi Ambarastuti,M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
Pembimbing Skripsi yang telah memberikan banyak bimbingan, dukungan
dan arahan selama proses penyusunan skripsi.
5. Rr. Ratih Hayuningdyah Orang Tua Penulis dan Segenap Keluarga yang
telah memberikan dukungan serta segala sesuatu yang selama ini penulis
butuhkan. Serta untuk motivasinya yang tiada henti diberikan kepada
penulis selama proses pengerjaan Skripsi sehingga tidak ada kata
‘menyerah’ sampai akhir.
6. Chaula Imanita Berti yang memberikan masukan dan informasi mengenai
data temuan penulis. Tateishi Kenta dan Eyang Djati Kusumo yang
vii
bersedia memberikan informasi dan menjadi narasumber dalam penelitian
ini.
7. Teman-teman terbaik Penulis, Virga, Hamidah, Zuriatme, Fatkul, Arafat,
Ela, Bagus, Ana, Ari, Robby, Billy serta tidak lupa ムムたち dan
kesayangan yang senantiasa menyediakan waktu, dukungan moril,
dukungan materi dan motivasi tiada hentinya.
Terakhir, penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan, doa, dan motivasi. Semoga penelitian ini dapat
memberikan banyak manfaat bagi berbagai pihak baik dari segi pengembangan
penelitian maupun berbagai kebutuhan lainnya.
Malang, Juni 2017
Penulis
viii
ABSTRAK
Violetta Yuvinda Putri, Lintang. 2017. Studi Komparatif Ritual Tedak Siten di
Jawa dan Hatsu Tanjo di Kyushu Jepang.Program Studi Pendidikan Bahasa
Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.
Pembimbing : Retno Dewi Ambarastuti
Kata Kunci : Budaya, Tedak Siten, Hatsu Tanjo
Masyarakat pada zaman dahulu kala seringkali menjadikan budaya sebagai
acuan dalam melakukan sesuatu. Seringkali mereka membuat serangkaian upacara
atau ritual untuk memperingati perayaan tertentu. Tedak Siten merupakan sebuah
ritual masyarakat Jawa yang dilaksanakan untuk menyambut bayi dalam rangka
memasuki usia balita. Tedak Siten ini kemudian memiliki beberapa kesamaan
dengan salah satu ritual dari Kyushu, Jepang bernama hatsu tanjo. Seperti halnya
tedak siten, upacara hatsu tanjo ini juga dilaksanakan untuk menyambut bayi saat
mereka memasuki usia balita.
Adapun penelitian ini menggunakan metode observasi langsung berupa
wawancara dengan narasumber untuk mendapatkan data kualitatif yang kemudian
dijabarkan menggunakan pendekatan deskriptif. Berdasarkan latar belakang
penelitian tersebut, rumusan masalah yang ditarik peneliti adalah 1) persamaan
ritual tedak siten dan hatsu tanjo serta 2) perbedaan ritual tedak siten dan hatsu
tanjo.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya persamaan pada kedua ritual
yaitu dalam hal menginjak perantara dan hal yang berkaitan dengan ritual
meramal masa depan sang bayi. Sedangkan perbedaan terletak pada tingkat
kerumitan dari upacara tedak siten yang pada pelaksanaan ritualnya memang lebih
kompleks dibandingkan dengan hatsutanjo. Adapun saran peneliti terhadap
penelitian berikutnya adalah untuk mengkaji peran orang tua dalam kedua ritual
maupun peneltian khusus terhadap penggunaan jaddah dan mochi dalam kedua
ritual.
ix
要旨
オ ッ 2017年 ワ島 ッ
祝い 九州 初誕生祝いを対象 比較研究 日本語教育学科 人文
学部 大学
指導教官: ッ ノ バ
キ ワ :風習 ッ 祝い 初誕生祝い
社会 あ 文化を軸 物事を行 い 何 を祝う
儀式等を作 い ッ 祝い 幼児 幼少期を迎え 際 行わ
ワ島 あ 伝統風習 あ こ 風習 日本 九州 あ 初誕生祝い
いう伝統風習 幾 類似 を有 ッ 祝い 同 く 初
誕生祝い 幼児 幼少期を迎え 際 行わ い 儀式 あ
本研究 研究方法 記述的 解説さ 質的 を取得
筆者 研究対象者 ビ を実施 直接的 ポ いう研究
方法を用い そ 上記 述べ 研究背景 基 本研究 問題的
) ッ 祝い 初誕生祝い 類似 ) ッ 祝
い 初誕生祝い 相違 いう
本研究 結果 こ 儀式 い 類似 幼少期を迎え 事
幼児 将来性を占う事を目的 行わ いう 一方 こ 儀式
相違 段取 複雑さ あ ッ 祝い 初誕生祝い 比べ
よ 一層複雑 あ 次 研究 こ 儀式 け 親 役割又
ッ 祝い 使わ ッ 初誕生祝い 使わ 餅 役割を研
究 事 筆者 勧 い
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………........ i
PERNYATAAN KEASLIAN……………………………………..................... ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………........ iii
KATA PENGANTAR……………...................................................................... vi
ABSTRAK………………………………………………................................... viii
要旨……………………………………………………………………............... ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………........... x
DAFTAR TABEL……………………………………………............................ xii
DAFTAR TRANSLITERASI……………………………………………....... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang...............……………………………………………. 1
1.2 Fokus Penelitan ……………………………………………............... 8
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………......... 1.4 Manfaat Penelitian................................................................................
1.4.1 Manfaat Teoritis...........................................................................
1.4.2 Manfaat Praktis ...........................................................................
1.5 Definisi Operasional ............................................................................
9
9
9
10
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Budaya …………………………………………................................. 13
2.2 Tedhak Siten …………………………………………………............ 15
2.2.1 Tata Cara Tedhak Siten ………................................................... 17
2.3 Hatsu Tanjo ……………………………….........................................
2.3.1Tata Cara Hatsu Tanjo ..................................................................
24
24
2.4 Penelitian Terdahulu ……………………………………………........ 26
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ………………..…………………….......................... 30
3.2 Data …………………………………................................................. 31
3.3 Pengumpulan Data ……………………………….............................. 3.4 Teknik Analisa Data ............................................................................
31
33
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Temuan …………………………………………………………........ 4.1.2 Tabel Perbandingan Makna ........................................................
35
4.2 Pembahasan ………………………………………………………….
4.2.1 Persamaan Tedhak Siten dan Hatsu Tanjo ................................
4.2.2 Perbandingan Makna Tedhak Siten dan Hatsu Tanjo ...............
37
37
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ………………………………………………................... 5.2 Saran.......................................................................................................
71
72
xi
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvi
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1.1
Tabel 4.2
Perbandingan pada upacara tedhak siten dan hatsu
tanjo...........................................................................................
Perbandingan makna ................................................................
24
26
xiii
DAFTAR GAMBAR
1. 2.1
2. 2.2
3. 2.3
4. 2.4
5. 4.1
6. 4.2
7. 4.3
8. 4.4
9. 4.5
Ritual tedhak siten........................................................................
Tanjo mochi..................................................................................
Issho mochi.............................................................................
Mochi fumi..................................................................................
Jadah dan tangga arjuna............................................................
Kurungan ayam...........................................................................
Udik-udik.....................................................................................
Mochi dan waraji........................................................................
Alat-alat untuk erabitori..............................................................
12
15
16
16
31
32
33
33
34
xiv
DAFTAR TRANSLITERASI
あ ア a い イ i う ウ u え エ e o
ka ki ku ke ko
sa shi su se so
ta chi tsu te to
na ni nu ne no
ha hi fu he ho
ma mi mu me mo
ya yu yo
ra ri ru re ro
わ ワ wa
ga gi gu ge go
za zu zo
da zu de do
ba bi bu be bo
pa pi pu pe po
kya kyu kyo
sha shu sho
cha chu cho
nya nyu nyo
hya hyu hyo
mya myu myo
rya ryu ryo
gya gyu gyo
ja ju jo
bya byu byo
pya pyu pyo
n wo
Partikel ha ditulis sebagai /wa/
Partikel he ditulis sebagai /e/
Bunyi panjang hiragana /a/ ditulis sebagai /aa/
Bunyi panjang hiragana /i/ ditulis sebagai /ii/
Bunyi panjang hiragana /u/ ditulis sebagai /uu/
Bunyi panjang hiragana /e/ ditulis sebagai /ee/
Bunyi panjang hiragana /o/ ditulis sebagai /oo/
Huruf mati rangkap ditulis (tsu kecil)
Bunyi panjang katakana ditulis sebagai [ ]
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya merupakan sesuatu yang menjadi representasi dari adat istiadat,
agama, bahkan pandangan dari sekelompok masyarakat tertentu. Akan tetapi,
meskipun budaya mencerminkan jati diri dari sekelompok masyarakat tertentu,
beberapa daerah memiliki kesamaan dalam segi nilai budaya maupun bentuk dan
macam tradisi dan ritual. Salah satu budaya yang memiliki persamaan di berbagai
daerah di beberapa negara adalah tradisi persiapan anak untuk menghadapi dunia
baru.
Untuk mempersiapkan anak menghadapi dunia baru, masyarakat pada
dahulu kala membuat serangkaian upacara atau ritual agar anak dapat diberkahi
oleh Tuhan atau dewa. Upacara tersebut berlangsung dalam kurun waktu sekian
lama hingga berkembang menjadi tradisi yang selalu diperingati dan
dilaksanakan oleh beberapa generasi. Menurut El Rais (2012:686), tradisi adalah
kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam
masyarakat, penilaian atau anggapan bahwa cara-cara telah ada merupakan baik
dan benar.
Sebagai masyarakat yang memiliki tradisi yang kental, masyarakat jawa
meyakini jika segala sesuatu dikaitkan dengan beberapa ritual atau upacara
tertentu. Upacara tersebut meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan
lingkungan hidup, manusia sejak dari kelahiran, kanak-kanak, remaja, dewasa,
2
sampai dengan kematiannya, juga upacara-upacara itu dilakukan dalam
rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak
dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Dengan upacara tersebut harapannya adalah agar hidup senantiasa “selamet”
(Darori, 2000:130-131).
Dalam setiap upacara adat, tentunya terdapat berbagai macam ritual
didalamnya. Ritual adalah serangkaian tindakan yang melibatkan agama atau
magic, yang kemudian dimantapkan melalui tradisi. Ritual berbeda dengan
pemujaan, karena ritual merupakan tindakan yang bersifat keseharian
(Winnick:2005). Di Indonesia khususnya di Jawa mengenal upacara menyambut
bertumbuhnya bayi memasuki masa balita yang ditandai dengan pertama kalinya
bayi berjalan yang disebut dengan tedhak siten / tedhak siti yang artinya
menginjak tanah. Upacara ini diyakini menjadi awal mula kehidupan dan prediksi
masa depan sang anak. Menurut kepercayaan Jawa, manusia hidup dipengaruhi
oleh empat unsur, yaitu bumi, api, angin dan air, maka untuk menghormati bumi
inilah upacara tedhak siten diadakan. Harapannya agar si anak selalu sehat,
selamat, dan sejahtera dalam menapaki jalan kehidupannnya (Sutrisno, 2005:21).
Tedhak siten merupakan bagian dari adat dan tradisi masyarakat Jawa Tengah.
Upacara ini dilakukan ketika seorang bayi berusia tujuh bulan dan mulai belajar
duduk dan berjalan di tanah. Secara keseluruhan, upacara ini dimaksudkan agar
mereka mandiri di masa depan. Upacara tedhak siten selalu ditunggu-tunggu oleh
orang tua serta kerabat keluarga Jawa karena dari upacara ini mereka dapat
memperkirakan minat dan bakat anak yang baru saja dapat berjalan. Dalam
pelaksanaannya, upacara ini dihadiri oleh seluruh keluarga inti, serta kerabat
3
keluarga lainnya. Para keluarga hadir untuk mendoakan agar sang anak dapat
terhindar dari gangguan setan.Dalam upacara tedhak siten salah satu persiapan
yang harus disiapkan oleh orang tua adalah tujuh buah jadah atau ketan. Anak
akan dipandu untuk melalui tujuh buah wadah berisi tujuh jadah berwarna.
Seperti halnya di Jawa, di Jepang juga terdapat tradisi serupa yaitu hatsu
tanjo (初誕生). Hatsu Tanjo adalah tradisi masyarakat Jepang untuk menyambut
tahun pertama kelahiran sang anak. Ritual hatsu tanjoadalah salah satu dari ritual
yang diadakan untuk menyambut kelahiran dan pertumbuhan bayi dalam agama
Buddha di Jepang.Meskipun Jepang merupakan negara maju, Jepang selalu
mempertahankan budaya yang ada di Jepang, upacara hatsu tanjo salah
satunya.Tetapi, dikarenakan menurunnya angka kelahiran di Jepang menurun pula
masyarakat yang menjalankan ritual ini.
Ciri khas dari ritual hatsu tanjo adalah mochi. Mochi adalah makanan khas
Jepang yang terbuat dari nasi yang ditumbuk. Mochi memiliki tekstur yang
lengket sama seperti ketan atau jadah. Di Jepang, mochi menjadi makanan yang
menjadi tanda untuk memulai sesuatu yang baru, seperti tahun baru, makanan
pertama bayi, dan untuk perayaan ulang tahun.Mochi yang digunakan biasanya
mochi dipesan di kuil-kuil tertentu.
Ada dua tata cara hatsu tanjo di Jepang. Yang pertama sama dengan tata
cara ritual tedhak siten, masyarakat di daerah Kyushu menjalankan upacara hatsu
tanjo dengan menginjakkan kaki dan berjalan di atas mochidengan menggunakan
waraji atau sandal dari rotan. Kedua masayarakat Jepang pada umumnya
menjalan ritual tersebut dengan memanggul mochi seberat 1,8 kilogram
dipunggung lalu berjalan dengan membawa mochi tersebut.
4
Masyarakat Jepang percaya bahwa anak yang bisa berjalan sebelum upacara
hatsu tanjo dilaksanakan, maka di masa yang akan datang sang anak akan
meninggalkan rumah. Oleh karena itu, orang tua tidak boleh membantu anak saat
upacara berlangsung, justru orang dewasa akan melemparkan mochi yang lebih
kecil agar sang anak terjatuh pada saat berjalan diatas mochi atau pada saat
memanggul mochi.Pada saat upacara Hatsu Tanjo selesai, anak dianggap akan
menerima roh baru setiap tahunnya.
Selain mochi dan jadah, dalam upacara tedhak siten dan hatsu tanjo
memiliki persamaan lain, yaitu ritual memilih barang. Pada upacara hatsu
tanjoterdapat ritual yang disebut dengan erabitori (選び取り ) yang artinya
memilih dan menyimpan. Orang tua akan menyiapkan beberapa barang yang
berhubungan dengan keluarga atau barang apapun yang diinginkan seperti sempoa,
uang, pensil dan lain-lain, lalu sang anak akan berjalan dan memilih barang,
barang yang menjadi pilihan sanganak akan menjadi gambaran masa depan anak.
Seperti halnya erabitori, dalam tedhak siten sang anak juga akan
dihadapkan dengan beberapa pilihan barang yang disediakan, dan benda yang
dipilih akan menjadi gambaran sang anak di masa depan. Bedanya adalah dalam
upacara tedhak sitensang anak akan dimasukkan kedalam kurungan ayam terlebih
dahulu.
Meskipun dari dua negara yang berbeda, tedhak siten dan hatsu tanjo
memiliki beberapa kesamaan, yaitu ritual dengan menggunakan bahan dasar
ketan: jadah dan mochi. Kesamaan lainnya adalah, berjalan untuk yang pertama
kalinya, dan memilih barang-barang yang nantinya akan menjadi gambaran minat
dari sang anak di masa depan. Bedanya adalah pada upacara tedhak sitenorang tua
5
diperbolehkan untuk membimbing sang anak ketika berjalan, sedangkan pada
upacara hatsu tanjo orang tua tidak diperbolehkan untuk membantu sang anak
sama sekali.
Dengan adanya persamaan dan perbedaan tersebut, peneliti tertarik untuk
membahasa perbandingan antara kedua upacara tersebut dengan judul “Studi
Komparatif Ritual Tedhak Siten di Jawa dan Hatsu Tanjo di Kyushu Jepang”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jelaskan di atas, maka dapat
ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah perbandingan dari ritual tedhak siten dan hatsu tanjo?
2. Apakah perbandingan dari makna tedhak siten dan hatsu tanjo?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dari ritual tedhak siten dan
hatsu tanjo.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbeedaan makna tedhak siten dan
hatsu tanjo.
1.4 ManfaatPenelitian
1.4.1 ManfaatTeoritis
6
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan inspirasi, serta
masukan terhadap beberapa penelitian berikutnya terutama dengan topik
relevansi budaya.
1.4.2 ManfaatPraktis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan dan
pengetahuan mengenai perbandingan budaya dari dua negara yaitu Jepang
dan Indonesia serta beberapa perbandingan budaya lain.
1.5 DefinisiIstilahKunci
1. Budaya: Adat istiadat yang sudah menjadi tradisi.
2. Tedhak Siten:Upacara atau ritual yang dilaksanakan untuk
menyambut bayi ketika pertama kali berjalan di Jawa.
3. Hatsu Tanjo:Upacara atau ritual untuk memperingati ulang tahun
pertama bayi dan menyambut pertama kali bayi berjalan.
4. Studi Komparatif : Penelitian yang membandingkan dua obyek untuk
mecari persamaan atau perbedaan.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Budaya
Budaya adalah sebuah pemikiran, adat istiadat atau akal budi. Kata budaya
diambil dari bahasa sansekerta yaitu “buddhayah”. Arti dari kata ini adalah
bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan akal serta budi manusia. Budaya
juga dapat diartikan sebagai yang diguanakan sekelompok masyarakat yang
diturunkan dari generasi kepada generasi berikutnya
Budaya juga dapat didefinisikan sebagai kegiatan kepercayaan. Menurut
E.B Taylor (1871) , budaya ialah suatu keseluruhan yang kompleks meliputi
kepercayaan, kesusilaan, seni, adat istiadat, hukum, kesanggupan dan kebiasaan
lainnya yang sering dipelajari oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat.
Menurut Kluckhohn dan Kelly dalam Harsojo (1967:109-110) berpendapat
bahwa budaya adalah semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik
yang eksplisit maupun insplisit, rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu,
sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia.
Menurut pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya
adalah tindakan atau adat istiadat yang mencerminkan tingkah laku suatu
kelompok masyarakat. Tidak hanya perilaku, budaya juga mencerminkan
kepercayaan, kesusilaan, seni, adat istiadat, hukum dan kebiasaan lainnya yang
ada dan dipelajari secara turun-temurun oleh suatu kelompok masyarakat.
Unsur-unsur budaya terbagi kedalam beberapa hal. Antara lain :
2
1. Adanya perilaku-perilaku tertentu.
2. Adanya kebiasaan-kebiasaan.
3. Adanya kepercayaan.
4. Adanya adat istiadat.
5. Adanya tradisi.
6. Adanya gaya berpakaian.
Ciri-ciri budaya terbagi ke dalam beberapa hal. Antara lain :
1. Budaya bisa disampaikan dari orang ke orang, dari kelompok ke
kelompok serta dari generasi-generasi.
2. Budaya bukan bawaan, namun dipelajari.
3. Budaya berdasarkan simbol.
4. Budaya bersifat selektif.
5. Budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang bisa berubah sepanjang
waktu.
6. Berbagai unsur budaya saling berkaitan.
7. Etnosentrik
Dalam penelitian ini, peneliti mengacu pada poin berbagai unsur budaya
saling berkaitan. Karena penulis meneliti dua budaya yang berada di negara yang
berbeda.
Budaya yang dilangsungkan secara terus menerus disebut tradisi. Tradisi
menurut Funk dan Wagnalls dalam muhaimin (2001:11), tradisi dimaknai sebagai
kebiasaan, praktek, yang telah diwariskan secara turun-temurun. Tradisi juga bisa
diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun diwariskan oleh nenek moyang.
3
Tradisi lahir disaat tertentu ketika orang menetapkan fragmen tertentu dari
warisan masa lalu sebagai tradisi.
Tradisi lahir dari masyarakat, dipengaruhi oleh masyarakat, kemudian
masyarakat muncul lalu dipengaruhi oleh tradisi (Hanafi, 2003:3). Hal ini
menandakan bahwa tradisi dan masyarakat saling berkaitan. Tanpa adanya
masyarakat, tradisi tidak akan tumbuh dan berkembang, dan tanpa adanya tradisi
masyarakat tidak akan muncul.
Tradisi berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen
tradisi tertentu dan mengabaikan fragmen yang lain. Tradisi dapat bertahan dalam
jangka waktu tertentu dan tradisi ini dapat hilang bila benda material dibuang dan
gagasan ditolek atau dilupakan.
Sejarah tradisi lahir yaitu melalui dua cara. Cara pertama, tradisi muncul dari
bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tidak diharapkan serta
melibatkan rakyat banyak. Karena sesuatu alasan, individu tertentu menemukan
warisan historis yang menarik. Perhatian, ketakziman, kecintaan dan kekaguman
yang kemudian disebarkan melalui berbagai cata, memengaruhi rakyat banyak.
Sikap takzim dan kagum itu berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara,
penelitiaan dan pemugaran peninggalan purbakala serta menafsir ulang keyakinan
lama. Semua perbuatan itu memperkokoh sikap. Kekaguman dan tindakan
individu menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial sesungguhnya .
Begitulah tradisi dilahirkan. Proses kelahiran tradisi sangat mirip dengan
penyebaran temuan baru, hanya saja dalam kasus tradisi ini lebih berarti
penemuan atau penemuan kembali yang telah ada di masa lalu ketimbang
penciptaan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
4
Cara kedua, tradisi muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu
yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau
dipaksakan oleh individu yang berpengaruh atau berkuasa. Raja mungkin
memaksakan tradisi dinastinya kepada rakyatnya. Diktator menarik perhatian
rakyatnya kepada kejayaan bangsanya di masa lalu. Kemudian militer
menciptakan sejarah pertempuran besar kepada pasukannya. Perancang mode
terkenal menemukan inspirasi dari masa lalu dan mendiktekan gaya “kuno”
kepada konsumen.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengenal kesadaran sejarah
pada masyarakat yaitu melalui upacara. Upacara yang dimaksud bukanlah upacara
dalam pengertian upacara yang secara formal sering dilakukan, seperti upacara
penghormatan bendera melainkan upacara adat yang melibatkan ritual-ritual
tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu pula.
Upacara adat adalah serangkaian tindakan yang terikat pada aturan tertentu
berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam
kehidupan masyarakat, antara lain, upacara penguburan, upacara perkawinan, dan
upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat adalah suatu upacara yang
dilakukan secara turun-temurun yang berlaku di suatu daerah. Dengan demikian,
setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri, seperti upacara perkawinan,
upacara labuhan, upacara camas pusaka dan sebagainya. Upacara adat yang
dilakukan di daerah juga tidak lepas dari unsur sejarah.
Upacara pada dasarnya merupakan bentuk perilaku masyarakat yang
menunjukkan kesadaran terhadap masa lalunya. Masyarakat menjelaskan tentang
5
masa lalunya melalui upacara. Melalui upacara, kita dapat melacak tentang asal
usul baik itu tempat, tokoh, sesuatu benda, kejadian alam, dan lain-lain.
2.2 Tedhak Siten
Tedhak siten berasal dari kata thedak yang berarti turun atau menginjak
sedang siten berasal dari kata siti yang berarti tanah. Dengan demikian maksud
dari upacara tedhak siten adalah upacara turun tanah. Tedhak siten dilakukan
ketika seorang anak sudah mencapai umur pitung lapan (7x35 hari) atau delapan
bulan kalender masehi. Biasanya si anak sudah mulai belajar berjalan. Artinya,
sudah harus turun ke tanah (Utomo,2002:21).
Satu tahun dalam kalender bulan ada 12 bulan dan tiap bulan dirinci menjadi
pasar, 1 pasar ada 5 hari. Peringatan yang mendasar kombinasi posisi matahari
dan bulan akan berulang setiap 7x5 hari. Leluhur kita menentukan penanggalan
berdasarkan pengaruh gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi. Weton adalah
hari atau tanggal kelahiran seseorang. Menurut masyarakat jawa weton dapat
mempengaruhi sifat atau watak seorang anak. Wetonhari kelahiran yang berulang
setiap 35 hari tersebut perlu dihormati.
Pada dasarnya kita hidup di dunia, terkurung, terbelenggu oleh dunia. Dalam
tedhak siten dapat dilihat anak sebenarnya tidak senang dimasukkan ke dalam
kurungan dan menangis minta pertolongan pada ibunya. Manusia yang sadar pun
ingin kembali pada yang maha kuasa.
6
Manusia memiliki beberapa tahap perkembangan diri. Pertama tahap bayi
yang sangat bergantung pada orang tua dan orang lain, hanya bisa meminta.
Tahap kedua adalah anak muda yang mandiri. Tahap ketiga adalah seorang yang
dewsa, yang sudah sadar akan kemandirian, tidak egoitis dan menyadari bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang saling bergantung satu sama lain. Awal dari
tahap kedua dimulai ketika anak pertama kali belajar berjalan, dalam tahap ini
anak juga sudah mulai belajar melakukan aktivitasnya sendiri.
Gambar 2.1Ritual tedhak siten
Bayi lahir dengan naluri awal untuk makan. Apapun yang dipeganya akan
dimasukkan kedalam mulut. Pada waktu seorang anak berusia 7x35 hari, atau
kira-kira berusia 6 bulan, inting-naluri bawaan genetiknya masih ada, tetapi dalam
perkembangandiri selanjutnya, insting bawaan akan terdorong ke dalam alam
bawah sadar, tertutup oleh kegiatan-kegiatan baru. Pada saat anak berusia sekitar
6 bulan tersebut, potensi anak dapat diketahui. Pemilihan beberapa benda dalam
Tedhak siten seperti buku tulis, dompet, perhiasan, gunting, kitab sastra selaras
dengan pengetahuan itu. Potensi anak akan nampak jelas, sehingga orang tua
paham bagaimana meningkatkan potensi anak sebaik-baiknya.
7
Bagi orang tua sendiri, kelahiran anak adalah anugerah dari Tuhan Yang
Maha Esa. Semenjak di dalam kandungan hingga kelahirannya, setiap orang tua
selalu berharap agar kelak anak tersebut menjadi manusia yang berguna.
Pengharapan orang tua kepada anaknya diwujudkan dalam bentuk upacara adat
(adat jawa) yang dimulai sejak bayi dalam kandungan, hingga anak tersebut lahir.
2.2.1 Tata Cara Tedhak Siten
Upacara adat pasti memiliki tata cara dalam pelaksanaannya. Dalam setiap
langkah yang harus disiapkan memiliki makna tersendiri. Tedhak siten
dimaksudkan untuk menggambarkan persiapan seorang anak sampai dewasa
dalam menjalani fase kehidupan dengan baik dan benar. Adapun tata cara upacara
thedak siten adalah sebagai berikut :
1. Upacara biasanya dilaksakan pada pagi hari. Sang anak akan dituntun oleh
ibunya berjalan menginjak 7 piring jadah atau ketan dengan warna yang
berbeda-beda. Angka 7 (tujuh) dalam bahasa jawa disebut pitu memiliki
makna pitulungan atau pertolongan, sedangkan tujuh piring jadah
berwarna memiliki makna bermacam-macam fase kehidupan yang akan
dialami. Berjalan diatas jadah secara bertahap memiliki harapan sang anak
akan mampu melewati kehidupan pada setiap tahapnya dengan batuan atau
pertolongan Tuhan Yang MahaEsa.
2. Selanjutnya anak akan dituntun menaiki tangga yang terbuat dari tebu.
Tebu memiliki makna antebing kalbu atau kemantaban hati. Dalam proses
ini, anak diharapkan memiliki kemantaban hati dalam menjalani hidupnya
mulai dari kecil hingga dewasa.Setelah turun dari tebu, anak akan dituntun
berjalan menuju gundukan pasir. Anak akan melakukan ritual ceker-ceker
8
atau mengais pasir dengan kakinya. Hal ini bertujuan agar anak dapat
mencari nafkah ketika sudah dewasa.
3. Anak kemudian dimasukkan kedalam kurungan ayam yang sudah dihias.
Dalam kurungan tersebut terdapat benda-benda untuk memprediksi minat
dari sang anak, misalnya bohlam, uang, buku, mainan, alat hitung dan lain-
lain.
4. Berikutnya adalah bapak atau kakek akan menyebar udik-udik atau uang
logam yang sudah dicampur dengan berbagai macam uang. Harapannya
adalah agar anak menjadi orang yang dermawan sehingga melancarkan
rejekinya.
5. Setelah itu, anak dimandikan dengan kembang tujuh rupa atau bunga tujuh
rupa. Tujuannya adalah agar anak membawa nama baik keluarga, agama
dan berguna bagi masyarakat.
6. Terakhir, sang anak akan didandani dengan pakaian yang bagus dan bersih,
tujuannya agar anak mempunyai jalan kehidupan yang bagus dan dapat
membanggakan orang tua.
Dari tahapan-tahapan tersebut dapat diketahui bahwa setiap ritual memiliki
makna atau arti sendiri-sendiri. Segala sesutu yang dipersiapkan dalam upacara
tedhak siten adalah simbol dari harapan orang tua untuk anaknya di masa depan.
2.3 Hatsu Tanjo
Hatsu tanjo 初誕生 berarti ulang tahun pertama. Dalam budaya
Jepang, ulang tahun hanya dirayakan sekali yaitu pada saat umur 1 tahun.
9
Perayaan ini diselenggarakan dengan menggunakan tanjo mochi (誕生餅) atau
mochiulang tahun.
Gambar 2.2Tanjo Mochi
Pada ulang tahun pertama diadakan acara untuk meramal masa depan sang
anak. Masyarakat Jepang pada umumnya melaksanakan upacara hatsu tanjo
dengan membungkus mochi menggunakan furoshiki(風呂敷/kain pembungkus).
Mochi tersebut berwarna putih, dan bertuliskan nama sang anak berwarna merah.
Mochi ini memiliki berat 1800cc atau sekitar 1,8 kilogram. Selama upacara
berlangsung, orang tua dilarang membantu anak untuk berjalan dengan lancar.
Orang yang lebih dewasa akan melemparkan mochi kecil agar sang anak jatuh.
Upacara menggendong mochi ini disebut “shoi” atau “seoi” mochi (背負餅) issho
mochi (一升餅).
Gambar 2.3Issho Mochi
10
Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, di Kyushu perayaan hatsu
tanjo dilakukan dengan sedikit berbeda. Upacara di Kyushu disebut dengan mochi
fumi (餅踏み) yang artinya menginjak mochi.Sang anak harus menginjak mochi
berwarna merah dan putih dengan menggunakan sandal anyaman yang disebut
waraji (草鞋). Bedanya dengan masyarakat Jepang pada umumnya, orang tua
boleh membimbing sang anak ketika berjalan diatas mochi.
Gambar 2.3 mochi fumi
Pada dasarnya, kedua cara upacara ini memiliki tujuan yang sama, yaitu
agar sang anak diberkahi kesehatan, makanan dan enman 円満. Enman adalah
respesentasi dari kesempurnaan, harmoni, kedamaian, kelancaran, kelengkapan,
kepuasan dan integritas. Pada penelitian ini penulis memilih untuk meneliti hatsu
tanjo yang ada di Kyushu.
2.3.1 Tata cara upacara hatsu tanjo
Pada momen hatsu tanjo keluarga di Jepang berkumpul untuk merayakan
satu tahun ulang tahun sang anak. Kelurga akan mendoakan anak agar diberi
kelancaran dalam hidupnya. Berikut adalah prosesi upacara hatsu tanjo:
11
1. Upacara dilakukan dirumah. Anak akan dituntun untuk menginjak mochi
berwarna merah dan putih dengan menggunakan waraji. Makna dari
mochi adalah sesuatu yang baru, sedangkan warna merah adalah kelahiran
sedangkan putih adalah kematian.
2. Selanjutnya, keluarga akan melemparkan mochi kecil gara sang anak
terjatuh. Ritual ini dimaksudkan agar anak tidak meninggalkan atau
melupakan orang tuanya ketika dewasa nanti. Masyarakat jepang percaya
anak yang bisa berjalan sebelum upacara akan cepat meninggalkan rumah.
3. Terakhir, anak akan diberikan beberapa barang yang akan memprediksi
karir atau masa depan anak. Ritual ini disebut erabitori. Tidak hanya
memprediksi masa depan, pilihan yang diambil anak juga bisa
memperkiraan karirnya di masa lalu. Benda-benda tersebut adalah kuas
atau pensil, sempoa, penggaris atau alat ukur, sumpit atau alat makan,
kamus, dan bola
Setiap ritual dalam hatsu tanjo juga memiliki makna agar anak
dimudahkan jalannya di masa depan nanti. Terlepas dari kenyataan yang akan
dihadapi, keluarga sang anak berharap agar sang anak akan sukses dan selalu
memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya.
2.4 Penelitian terdahulu
Terdapat dua penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan penulisan
penelitian ini. Penelitian terdahulu yang pertama memiliki obyek yang sama yaitu
tedhak siten. Penelitian tersebut berjudul MAKNA TRADISI TEDHAK SITEN
DAN RELEVANSINYA DENGAN AJARAN ISLAM DI DESA SUKOSONO
12
KECAMATAN KEDUNG KABUPATEN JEPARA karya Ida Sholihatin dari
UIN Walisongo Semarang yang dilakukan pada tahun 2015.Persamaan penelitian
ini adalah sama-sama menggunakan tedhak siten sebagai obyek penelitian
dan.Perbedaanya adalah penelitian terdahulu mencari relevansi dengan ajaran
Islam. Dalam penelitian ini, ditemukan beberapa relevansi antara tedhak siten
dengan ajaran Islam yaitu mengikat tali persaudaraan dan mensyukuri nikmat
Tuhan yang diberikan.
Penelitian terdahulu yang kedua adalah STUDI KOMPARATIF UNSUR
PEMBENTUK DRAMA TRADISIONAL NOH DAN WAYANG TOPENG
MALANGAN karya Chaula Imanita Bherti dari Universitas Brawijaya yang
dilakukan pada tahun 2014. Penelitian ini sama-sama mengambil tema budaya dan
membandingkan dua budaya. Dalam penelitian ini Chaula lebih fokus terhadap
unsur pembentuk kedua budaya yaitu sejarah dan naskah pada setiap drama.
Teknik pengumpulan data juga memiliki kesamaan yaitu wawancara dan studi
literatur, bedanya dalam penelitian milik Chaula juga menggunakan metode
observasi. Dalam penelitian ini Chaula menemukan beberapa kesamaan antara
noh dan topeng malangan, yaitu skenario yang digunakan, jenis topeng-topeng
yang digunakan, dan penokohan yang terdapat pada noh dan topeng malangan.
20
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Menurut Nazir (1988:63), metode deskriptif merupakan suatu metode
dalam meneliti sekelompok manusia, suatu kondisi, suatu objek, suatu sistem
pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari
penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, suatu gambaran, atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antarfenomena yang sedang diselidiki.
Sedangkan menurut Moleong (2007:6), penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian dan dideskripsikan dalam bentuk kata-kata serta bahasa
yang berada pada suatu konteks khusus dengan memanfaatkan berbagai metode
yang alamiah.Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh suatu gambaran yang
utuh mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti. Penelitian
kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan orang
yang diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka.
Jenis penelitian deskriptif kualitatif dalam penelitian ini kemudian
digunakan untuk mendeskripsikan tentang perbandingan ritual dan makna tedhak
siten di Jawa dan ritual hatsu tanjo di Kyushu, Jepang.
2
3.2 Data dan Sumber Data
Menurut Sutopo (2006:56-57), sumber data merupakan tempat data
diperoleh dengan menggunakan metode tertentu baik yang berupa manusia,
artefak, ataupun dokumen-dokumen. Pada penelitian kualitatif, kegiatan untuk
memperoleh sumber data merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan secara sadar,
terarah dan bertujuan untuk memperoleh suatu informasi yang diperlukan.
Adapun sumber data yang ada pada penelitian iniadalah buku, jurnal, internet.
Data dalam penelitian kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, bukan
dalam bentuk angka. Data dalam penelitian kualitatif diperoleh melalui berbagai
macam teknik pengumpulan data misalnya wawancara, analisis dokumen, diskusi
terfokus, atau observasi yang telah dituangkan dalam catatan lapangan. Data
dalam penelitian ini adalah wawancara dan analisis dokumen.
Dalam penelitian ini, peneliti juga akan melakukan wawancara dengan
beberapa narasumber mengenai hatsu tanjo dan tedhak siten. Narasumber yang
akan peneliti wawancarai adalah Eyang djati Kusumo sebagagai narasumber
untuk tedhak siten. Beliau merupakan budayawan dan mantan anggota DPR RI.
Selain itu, narasumber penelitian ini adalah Tateishi Kenta native speaker dari
kyushu Jepang.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk
mendapatkan data dalam sebuah penelitian. Menurut Sugiyono (2009:225),
pengumpulan data dapat diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dokumentasi,
3
dan gabungan/triangulasi. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian kali ini adalah studi literatur dan wawancara.
Studi literatur adalah cara yang digunakan untuk mengumpulkan data-data
dari sumber yang berhubungan dengan topik penelitian. Sumber dari studi literatur
dapat diambil dari jurnal, buku, dokumentasi, internet dan pustaka. Menurut
Pohan dalam Prastowo (2012:81) kegiatan studi literatur bertujuan
mengumpulkan data dan informasi ilmiah, berupa teori-teori, metode, atau
pendekatan yang pernah berkembang dan telah didokumentasikan dalam bentuk
buku, jurnal, naskah, catatan, rekaman, dan dokumen lainnya.
Wawancara adalah salah satu metode pengumpulan data dengan bertanya
langsung kepada responden untuk mendapatkan informasi. Sedangkan menurut
Esterberg dalam Sugiyono (2013:231), wawancara merupakan pertemuan dua
orang atau lebih yang bertujuan untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya
jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu.Untuk
menghindari kehilangan informasi, maka peneliti akan menggunakan alat bantu
perekam dalam melakukan wawancara kepada informan.
3.4Teknik Analisis Data
Menurut Moleong (2004:280- 281), analisis data merupakan sebuah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam sebuah pola, kategori, dan
satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukannya sebuah tema dan tempat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Teknik analisis data
yang peneliti lakukan dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan data mengenai tedhak siten dan hatsu tanjo.
4
2. Membaca setiap referensi mengenai tedhak siten dan hatsu tanjo.
3. Mewawancarai Eyang Djati Kusumo narasumber yang memahami
tentang tedhak siten.
4. Mewawancarai Tateishi Kenta narasumber yang mengetahui tentang
hatsu tanjo.
5. Menganalisis persamaan dari tedhak siten dan hatsu tanjo.
6. Hasil analisis referensi dan wawancara menggambarkan persamaan
dan perbedaan dari tedhak siten dan hatsu tanjo.
7. Menarik kesimpulan.
24
BAB IV
TEMUAN DAN BAHASAN
4.1 Temuan
Setelah peneliti melakukan wawancara dengan narasumber, peneliti
menemukan proses pada masing-masing upacara. Peneliti juga menemukan
beberapa persamaan dan perbedaan pada masing-masing prosesi. Berikut adalah
tabel pembeda pada setiap prosesi.
Tabel 4.1.1 tabel perbandingan pada upacara tedhak siten dan hatsu tanjo.
No Unsur Tedhak Siten Hatsu Tanjo
1 Prosesi
1. Anak melakukan ritual
tedhak jadah.
2. Anak menaiki tangga
arjuna.
3. Melakukan ritual ceker-
ceker.
4. Kemudian anak
dimasukkan ke dalam
kurungan ayam dan
memilih benda-benda
untuk memprediksi
masa depan anak.
5. Bapak atau kakek
menyebar udik-udik.
6. Anak dimandikan
dengan kembang 7 rupa
dan dipakaikan baju
yang bagus dan bersih.
1. Anak melakukan
ritual mochi fumi.
2. Anak dibimbing
untuk menghentak-
hentakkan kakinya di
atas mochi oleh orang
tua.
3. Orang tua akan
melemparkan mochi
yang lebih kecil atau
memberikan
hentakkan kecil.
4. Anak melakukan
ritual erabitori.
5. Keluarga yang sudah
bekerja memberikan
uang sebagai hadiah
25
2 Alat yang
digunakan
1. Jadah
2. Tangga tebu
3. Pasir
4. Kurungan ayam
5. Kembang 7 rupa
6. Alat tulis
7. Alat hitung
8. Uang
9. Jajan pasar
10. Mainan
1. Mochi
2. waraji
3. alat hitung
4. alat tulis
5. mainan
6. uang
7. penggaris
8. alat makan
3. Waktu dan
tempat
Pagi hari di pekarangan
rumah.
Tidak ada waktu spesifik.
Upacara dilaksanakan
dirumah, beberapa orang
juga melaksanakannya di
kuil.
Dari tabel di atas diketahui bahwa tedhak siten dan hatsu tanjo memiliki
beberapa kesamaan juga perbedaan. Salah satu persamaan adalah pada prosesi
menginjak mochi dan jadah. Perbedaan pada prosesi pertama adalah, jadah yang
diinjak memiliki 7 warna, sedangkan mochi yang diinjak memiliki 2 warna saja.
Selain prosesi, alat yang digunakan, dan waktu penulis juga menemukan
makna dari masing-masing prosesi. Berikut adalah tabelmakna pada setiap prosesi
dan media dari tedhak siten dan hatsu tanjo.
26
Tabel 4.1.2 tabel perbandingan makna
No Ritual Tedhak siten Hatsu tanjo
1 Menginjak tanah Tedhak jadah
1. Diharapkan anak
mampu melewati
kehidupan dengan
bantuan dari Tuhan
Yang Maha Esa
2. Jadah memiliki
makna supaya anak
“lengket” dengan
bumi
Mochi fumi
1. Anak dapat
menginjakkan kaki
dengan yakin dan
menjdi orang yang
kuat
2. Mochi memiliki
makna memulai
sesuatu yang baru
2 Memantabkan hati Menaiki tangga tebu
1. Tebu = anteb ing
kalbu
2. Diharapkan
memiliki
kemantaban hati
Tidak ada
3 Kesejahteraan hidup Ceker-ceker
1. Diharapkan anak
dapat mencari
nafkah ketika
dewasa
Tidak ada
4 Memohon rejeki Menyebar udik-udik
1. Diharapkan anak
menjadi orang yang
dermawan sehingga
tidak menghambat
rejekinya
Keluarga yang lebih tua
memberikan uang
1. Uang diberikan
sebagai hadiah dan
memiliki harapan agar
anak tidak kekurangan
tidak kekurangan
uang saat dewasa.
5 Agar mengingat orang
tua
Tidak ada
Melemparkan mochi
kecil
1. Agar anak tidak
meninggalkan orang
tuanya ketika dewasa.
6 Memprediksi masa
depan
Memilih barang-barang
1. Untuk meprediksi
masa depan anak
dan mengetahui
bakat minat anak
Erabitori
1. Untuk meramalkan
masa depan anak.
7 Membersihkan badan Mandi kembang tujuh
rupa
1. Diharapkan anak
dapat membawa
Tidak ada
27
nama baik keluarga,
agama, dan berguna
untuk masyarakat.
Pada kedua upacara sama-sama memiliki makna yang baik untuk sang anak
ketika dewasa nanti. Selain persamaan makna, kedua upacara ini juga memiliki
beberapa perbedaan makna dalam setiap prosesinya.
4.2 Pembahasan
Seperti yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya, tedhak siten
merupakan salah satu tradisi dari masyarakat jawa untuk merayakan pertama kali
anak belajar berjalan atau menginjak bumi. Sedangkan hatsu tanjo adalah upacara
untuk merayakan ulang tahun pertama dan pertama kali anak belajar berjalan.
Meskipun berasal dari dua negara yang berbeda, kedua tradisi ini memiliki
beberapa kesamaan. Selain itu, kedua tradisi ini memiliki beberapa perbedaan
dalam setiap prosesinya. Untuk membandingkan kedua ritual, maka peneliti akan
membahas setiap prosesi dan makna dari masing-masing upacara ini.
4.2.1 Persamaan dan perbedaan tedhak siten dan hatsu tanjo
4.2.1.1 Prosesi
A. Tedhak siten
Masyarakat jawa memiliki keyakinan bahwa manusia dan bumi memiliki
keterikatan. Eyang Djati Kusumo menjelaskan bahwa dalam kehidupan terdapat
dua jagad yaitu jagad gedhe dan jagad cilik, jagad cilik melambangkan manusia
28
sedangkan jagad gedhe melambangkan bumi. Jagad cilik tidak dapat hidup
makmur dan bahagia tanpa adanya jagad gedhe. Bumi dan manusia memiliki
keterkaitan, bumi memberikan dan manusia merawat. Bumi memberikan sumber
daya untuk manusia agar bisa hidup dan manusia sebaiknya dapat merawat bumi
sebagai bentuk terima kasih kepada bumi. Oleh karena itu, ketika anak pertama
kali dapat menginjak bumi, maka orang tua memperkenalkan bumi kepada anak
melalui ritual tedhak siten.
Upacara tedhak siten ini juga sebagai wujud syukur atas karunia Tuhan atas
anak yang dititipkan kepada orang tua. Pada saat upacara, keluarga juga
menyiapkan tumpeng dengan ayam utuh. Masyarakat jawa menggunakan
tumpeng untuk setiap perayaan. Tumpeng adalah nasi kuning yang memiliki
bentuk kerucut dan terdapat 7 macam lauk disekitarnya.
Upacara ini, biasanya dilaksanakan di pelataran rumah. Seluruh keluarga
dan tetangga akan hadir pada upacara ini. Prosesi pertama adalah tedhak jadah
atau menginjak jadah. Selain jadah, juga terdapat jenang sengkoloatau bubur
ketan berwarna merah dan putih yang berarti ilang kolo ne atau hilang sialnya.
Jadah memiliki 7 warna yaitu merah, putih, hijau, hitam, biru, putih, kuning, ungu
yang melambangkan warna-warni kehidupan. Anak yang masih belajar berjalan
dituntun oleh orang tuanya untukberjalan diatas 7 buah jadah yang diletakkan di
atas tempeh atau wadah yang terbuat dari bambu.
Setelah itu, anak dituntun untuk menaiki tangga yang tebuat dari tebu yang
disebut tangga arjuna. Biasanya anak akan tertatih ketika menaikki tangga, tidak
jarang anak akan menangis saat prosesi berlangsung. Selanjutnya anak dituntun
29
berjalan keatas gundukan pasir dan melakukan ritual ceker-ceker, kemudian anak
dimasukkan kedalam kurungan ayam yang sudah dihias dengan bunga-bunga.
Dalam kurungan ayam telah tersedia berbagai macam barang seperti buku, pensil,
kalkulator, alat-alat kedokteran, mainan, dan jajan pasar. Anak dibimbing untuk
memilih salah satu dari barang yang nantinya akan menjadi prediksi masa depan
sang anak. Biasanya anak diperbolehkan untuk memilih beberapa barang sesuai
dengan keinginan orang tua.
Setelah itu, keluarga akan melemparkan udik-udik atau uang logam yang
sudah dicampur dengan kembang tujuh rupa. Biasanya yang melemparkan udik-
udik adalah ayah dan kakek, tetapi dengan seiring perkembangan zaman anggota
keluarga yang lain akan ikut menyebarkan udik-udik yang dilemparkan kearah
tamu.
Prosesi terakhir adalah memandikan anak dengan kembang 7 rupa. Ibu akan
menyiramkan anak dengan air kembang lalu mengganti pakaian sang anak dengan
pakaian yang lebih bagus. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan bersama
keluarga dan tamu undangan.
Upacara tedhak siten biasanya diadakan dengan meriah dan dipandu oleh
seorang pemandu acara wanita. Pemandu acara harus mengerti setiap prosesi dan
makna yang terkandung dalam setiap langkah yang diambil sang anak.
A. Hatsu tanjo
Perayaan hatsu tanjo di Jepang tidak semeriah perayaan tedhak siten di
Jawa. Ritual ini hanya dihadiri oleh keluarga yang tinggal serumah dengan sang
30
anak. Upacara ini memiliki beberapa versi diantaranya issho atau shoi mochi, tate
mochi dan mochi fumi. Masyarakat Kyushu menjalankan hatsu tanjo dengan
mochi fumi yaitu dengan menginjak mochi.
Mochi memiliki tekstur kenyal dan lengket sama seperti jadah. Mochi
terbuat dari beras mochi atau mochigome. Menurut Tateishi Kenta, mochi
memang sering digunakan untuk perayaan di Jepang, seperti untuk tahun baru,
kelahiran, peresmian gedung baru dan lain lain.
Warna mochi untuk ritual mochi fumi lebih sederhana dari tedhak
siten.Mochi dalam ritual ini hanya memiliki dua warna yaitu merah dan putih.
Mochi yang diinjak memiliki berat sekitar 2 kilogram yang melambangkan
kehidupan dan kematian seseorang.
Tata cara ritual mochi fumi adalah, anak akan dipakaikan sandal yang
terbuat dari rotan atau yang disebut dengan waraji. Setelah itu , anak didampingi
orang tua akan berjalan dan menginjak mochi. Tetapi, biasanya anak akan
menangis saaat ritual ini karena merasa tidak nyaman dengan sandal rotan. Oleh
karena itu, beberapa orang tua tidak memakaikan waraji agar anak merasa lebih
nyaman.
Pada saat berjalan diatas mochi anggota keluarga lainnya akan menyanyikan
lagu untuk menyemangati sang anak. Lagu yang dinyanyikan adalah sebagai
berikut :
あんよ が 上手、あんよ が 上手、あんよ が 上手
Anyo ga jouzu, anyo ga jouzu, anyo ga jouzu
Kaki kecil hebat, kaki kecil hebat, kaki kecil hebat
31
Apabila anak sudah pintar berjalan orang tua akan melemparkan mochi kecil
agar anak terjatuh. Biasanya tidak semua anak akan dilempari mochi karena hal
tersebut juga dapat membahayakan sang anak. Setelah berjalan diatas mochi, anak
merangkak kearah barang-barang yang sudah disusun oleh orang tuanya. Barang-
barang tersebut adalah sempoa, kamus, pensil atau kuas, kosmetik, uang atau
dompet, alat ukur atau penggaris. Barang yang dipilih pertama kali akan menjadi
prediksi masa depan anak.
4.2.1.2 Alat yang digunakan
A. Tedhak siten
Pada upacara tedhak siten terdapat banyak alat atau media yang digunakan, alat
pertama adalah jadah. Jadah adalah unsur terpenting dalam upacara ini, karena
jadah merupakan media penanda anak pertama kali menginjak bumi. Terdapat 7
buah jadah dengan warna yang bermacam-macam dan sang anak harus berjalan di
atas jadah tersebut.
Gambar 4.1 jadah dan tangga arjuna
32
Alat yang kedua adalah tangga arjuna. Tangga ini terbuat dari tebu yang
disusun vertikal dan sudah dihiasi dengan berbagai macam bunga. Tangga ini
dinaiki tepat setelah sang anak selesai berjalan diatas jadah. Setelah anak menaiki
tangga Arjuna, anak melakukan ritual ceker-ceker. Pada ritual ini alat yang
digunakan adalah gundukan pasir. Kaki dari sang anak harus menggali pasir yang
sudah dicampur oleh bunga-bunga. Pasir yang digunakan adalah pasir hitam biasa
yang diletakkan di dalam wadah wadah mangkuk atau di biarkan begitu saja di
atas lantai. Bunga yang dicampurkan pada pasir adalah bunga-bunga yang biasa
digunakan dalam ritual-ritual yaitu bunga mawar dan melati.
Gambar 4.2 Kurungan Ayam
Selanjutnya anak dimasukkan kedalam kurungan ayam untuk memilih
barang-barang yang menggambarkan masa depan mereka. Di dalam kurungan ini
terdapat berbagai macam barang yang akan menjadi penuntun atau penanda masa
depan anak yaitu, alat tulis, mainan, penggaris, buku, alat hitung, dan lain-lain.
33
Gambar 4. 3 Udik udik
Alat selanjutnya adalah udik-udik atau uang logam yang sudah dicampur
dengan bunga-bunga. Uang logam dimasukkan kedalam kendi yang dicampurkan
dengan beras kuning dan kembang 7 rupa, yang nantinya akan disebar kepada
tamu-tamu undangan yang hadir.
B. Hatsu tanjo
Pada upacara hatsu tanjo alat yang digunakan lebih sedikit dari tedhak siten.
Pada prosesi mochi fumi, anak harus menginjak mochi. Mochi yang digunakan
hanya 2 buah saja yang berwarna merah dan putih dengan berat sekitar 2 kilogram.
Saat menginjak mochi sang anak menggunakan sandal yang bernama waraji, tidak
ada ketentuan warna khusus pada waraji tetapi umumnya berwarna merah.
Gambar 4.5 Mochi dan waraji
34
Pada prosesi selanjutnya, anak merangkak kearah barang-barang untuk
melakukan erabirtori. Sama seperti tedhak siten, anak juga diharuskan memilih
beberapa barang yang akan menentukan masa depan sang anak, seperti kuas,
sempoa, uang, maianan, penggaris, gunting, dan lain-lain.
Gambar 4.6 Alat-alat untuk Erabitori
Persamaan pertama adalah media injak kedua ritual. Meskipun memiliki
nama yang berbeda dan bahan yang berbeda, tetapi tekstur dari kedua media
sama-sama kenyal dan lengket. Bahan jadah berasal dari beras ketan sedangkan
mochi berasal dari beras mochi atau mochigome.
Perbedaan hatsu tanjo dan tedhak siten pada prosesi pertama adalah, pada
saat menginjak mochi atau jadah upacara hatsu tanjo anak menggunakan sandal
waraji, sedangkan pada tedhak siten anak bertelanjang kaki. Tidak ada makna
khusus dalam penggunaan alas kaki pada setiap ritual. Tetapi hal ini, menjadi
perbedaan yang signifikan pada kedua ritual.
Perbedaan kedua pada prosesi pertama adalah, warna pada masing-masing
jadah dan mochi. Warna jadah lebih beragam, sedangkan warna mochi hanya dua
warna.
35
Persamaan selanjutnya adalah, ritual memilih barang. Masyarakat jepang
menyebut ritual ini sebagai erabitori. Pada ritual erabitori anak akan dihadapkan
dengan beberapa pilihan barang. Begitu pula dengan hatsu tanjo, anak juga akan
dibimbing untuk memilih salah satu dari beberapa barang yang disediakan oleh
orang tua.
Pada upacara hatsu tanjo, ritual erabitori dilakukan setelah anak selesai
menginjak dan berjalan di atas mochi. Anak akan dibiarkan duduk terlebih dahulu,
lalu merangkak atau berjalan kearah barang –barang yang sudah disediakan.
Biasanya anak diperbolehkan memilih 1 sampai 2 barang.
Hampir sama dengan upacara hatsu tanjo, pada upacara tedhak siten anak
juga dibimbing untuk memilih barang. Bedanya, pada upacara tedhak siten anak
akan dimasukkan kedalam kurungan ayam yang sudah dihias terlebih dahulu. Di
dalam kurungan ayam, anak akan memilih barang tanpa dibimbing oleh orang tua.
Kedua ritual ini sama-sama memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk meramal
masa depan anak dan untuk mengetahui minat anak. barang yang disedakan tidak
memiliki ketentuan khusus. Tetapi biasanya, dalam kedua ritual terdapat beberapa
kesamaan, yaitu alat tulis seperti kuas dan pensil, alat hitung seperti sempoa atau
kalkulator, dan uang. Sisanya tergantung pilihan orang tua, seperti mainan, alat-
alat kedokteran, bola, penggaris, kosmetik, buku, dan jajan pasar. Arti dari barang
yang disediakan juga memiliki beberapa kesamaan, yang nanti juga akan dibahas
di bab setelah ini.
36
Prosesi selanjutnya pada upacara tedhak siten adalah menyebar uang
logam yang dicapur dengan kembang tujuh rupa. Ritual ini dinamakan udik-udik.
Biasanya yang menyebar atau melempar uang logam adalah kakek atau ayah.
Sedangkan dalam upacara hatsu tanjo, anak diberikan uang oleh keluarga yang
lebih dewasa sebagai hadiah ulang tahun.
Setelah semua runtutan ritual berakhir, mochi akan dipersembahkan untuk
leluhur dan seluruh keluarga akan merayakan dengan makan bersama. Dalam
upacara tedhak siten, ritual terakhhir adalah memandikan anak dengan air
kembang tujuh rupa dan didandani pakaian yang bagus. Setelah itu, keluarga dan
tamu undangan makan bersama.
4.2.2 Perbandingan makna tedhak siten dan hatsu tanjo
Pada setiap prosesi dalam tedhak siten dan hatsu tanjo memiliki makna
yang tersirat. Ada beberapa prosesi dengan makna yang berbeda, tetapi pada
beberapa prosesi kedua upacara ini memiliki makna yang sama.
Pada upacara tedhak siten banyak terdapat angka 7 dan 5. Bukan tanpa
alasan, angka 7 dan 5 memiliki makna tertentu. Angka tujuh atau dalam bahasa
jawa disebut pitu memiliki arti pitulungan atau pertolongan. Angka ini diharapkan
membawa keberuntungan dan pertolongan pada setiap kehidupan yang dijalani.
Sedangkan angka 5 diambil dari istilah sedulur papat, limo pancer yang artinya
kita sebagai manusia ketika lahir memiliki 4 saudara yaitu watman, wahman,
rahman dan ariman. Watman berarti kondisi ibu saat pertama kali mengejan,
wahman berarti kawah atau jalan lahir bayi, rahman darah yang keluar saat
37
melahirkan, ariman adalah ari-ari atau plasenta bayi. Sedangkan limo pancer
memiliki arti jati diri atau diri sendiri.
Menurut Eyang Djati Kusumo 7 dan 5 juga melambangkan perjalanan
hidup serta kunci hidup manusia. Dapat diartikan angka 7 dan lima sebagai
lambang kunci perjalan manusia. Oleh karena itu, pada saat anak berusia 7x35
hari anak harus di”selameti”. Tidak seperti di Jawa yang memiliki perhitungan
tanggal untuk melaksanakan upacara, pada upacara hatsu tanjo tidak memiliki
makna tertentu dalam pemilihan tanggal. Upacara dilaksanakan tepat pada hari
kelahiran sang anak.
Salah satu persamaan yang menonjol antara hatsu tanjo dan tedhak siten
adalah media injak saat upacara. Pada upacara tedhak siten penggunaan jadah 7
warna memiliki arti warna-warni kehidupan. Makna jadah pada upacara tedhak
siten adalah supaya lengket dengan bumi, tidak merusak dan menjaga kelestarian
alam.Warna pada jadah juga memiliki arti sendiri-sendiri. Berikut adalah arti dari
setiap warna jadah.
1. Merah : merah memiliki arti berani. Selain itu, warna darah manusia
adalah merah, jadi merah juga dapat diartikan sebagai manusia.
2. Hijau : melambangkan dedaunan atau bumi.
3. Biru : melambangkan angin dan kesetiaan
4. Kuning : melambangkan air dan kekuatan
5. Putih : timur cahaya matahari atau kesucian
6. Hitam : kecerdasan dan api
7. Ungu : melambangkan jiwa manusia dan ketenangan
38
Jadah disusun dari warna yang paling gelap lalu warna yang paling terang,
hal ini menggambarkan cobaan yang dialami ketika sang anak dewasa mulai yang
paling berat hingga mendapatkan pencerahan.
Di Jepang, mochi digunakan untuk melaksakan perayaan. Pada upacara
hatsu tanjo, mochi yang digunakan memiliki berat hampir 2 kilogram dan
berwarna merah putih. Mochi dengan berat 2 kilogram ini memiliki makna
perjalanan kehidupan manusia dari hidup sampai meninggal. Warna merah
memiliki arti kehidupan dan warna putih memiliki arti kematian.
Pada kedua upacara ini, ritual menginjak jadah dan mochi sama-sama
memiliki tujuan untuk memperingati anak pertama kali menapaki kehidupan baru
sebagai manusia. Bayi merasakan pengalaman baru sebagai manusia yaitu
berjalan, dan orang tua menggunakan media jadah dan mochi sebagai tanda
bahwa sang anak sudah mulai bertumbuh.
Prosesi selanjutnya pada upacara tedhak siten adalah menaikki tangga tebu.
Tebu memiliki arti anteb ing kalbu yang artinya kemantaban hati. Pada prosesi ini
anak diharapkan memiliki kemantaban hati dan tidak mudah digoyahkan
keputusannya. Setelah itu, anak melakukan ritual ceker-ceker yang memiliki
makna agar ketika dewasa anak dapat mencar nafkah sendiri dan tidak bergantung
pada orang lain.
Hatsu tanjo dan tedhak siten memiliki prosesi yang mirip, yaitu prosesi
memilih barang. Pada upacara tedhak siten sebelum memilih barang anak
dimasukkan kedalam kurungan ayam terlenih dahulu, sedangkan pada hatsu tanjo
anak langsung diarahkan untuk memilih. Kurungan ayam pada upacara tedhak
39
siten memiliki makna dunia, anak diibaratkan telah memasuki dunia yang
sesunggguhnya dan telah dapat memilih apa yang akan dilakukannya pada saat
dewasa nanti. Barang-barang yang digunakan juga hampir sama, makna dari
setiap barang-barang juga sama.Berikut adalah makna dari barang-barang yang
terdapat pada erabitori:
1. Kuas atau pensil : di masa depan anak akan menjadi seniman atau penulis.
2. Sempoa : pedagang atau seseorang yang pandai dalam menghitung.
3. Uang atau dompet : akan diberkahi dengan kekayaan, properti, dan barang-
barang mewah lainnya.
4. Gunting : memiliki bakat dibidang fashion atau memiliki keahlian tangan
yang bagus.
5. Penggaris ukur : memiliki rumah yang besar ketika dewasa nanti.
6. Alat makan (sumpit, sendok) : akan menjadi juru masak atau tidak akan
kelaparan dimasa depannya nanti.
7. Kamus : akan menjadi orang yang pintar dan memiliki pengetahuan yang
luas.
8. Bola atau sepatu : akan menjadi atlet.
Dalam upacara tedhak siten juga memiliki arti yang hampir sama dengan
erabitori, hanya saja biasanya orang tua menambahkan alat-alat yang sesuai
dengan keinginan orang tua atau profesi orang tua. Apabila orang tua adalah
seorang dokter maka akan ditambahkan alat-alat kedokteran seperti suntik dan
stetoskop.
40
Kedua ritual ini sama-sama memiliki makna memprediksi masa depan
sang anak, sebagai doa untuk profesi anak di masa depan. Untuk masyarakat
Jepang biasanya tidak terlalu mempercayai hal ini, sehingga ritual erabitori
biasanya hanya untuk bersenang-senang saja. Masyarakat Jepang percaya bahwa
upacara hatsu tanjo dapat menjadi awal kehidupan sang anak sehingga orang tua
mempersiapkan dan memberikan doa agar anak dapat menjadi anak yang sukses
di kehidupannya nanti. Pada setiap ritual yang dilaksakan juga mengandung doa
agar sang anak tidak lupa akan orang tuanya dan menjadi anak yang selalu
diberkati oleh Tuhan.
Tujuan utama dari upacara tedhak siten adalah agar anak mengenal bumi.
Dalam masyarakat kejawen, alam dan manusia harus saling berkaitan. Ketika anak
sudah menjalani ritual untuk mengenal bumi, maka bumi tidak akan jahat kepada
sang anak. ritual ini juga bertujuan agar anak secara spiritual dapat menjalani
kehidupan yang baik dan tidak melupakan orang tua serta keluarganya. Selain itu,
anak juga harus dermawan terhadap sesama, sehingga saat kesulitan sang anak
akan mendapat pertolongan dari orang lain. Terlepas dari ramalan masa depan,
orang tua juga berharap anak dapat mendapatkan profesi yang diinginkan. Pada
upacara hatsu tanjo juga memiliki makna yang baik. Anak diharapkan menjadi
anak yang kuat, sehat, bisa menjadi apa yang diharapkan ketika dewasa nanti dan
menjadi anak berbakti pada orang tuanya. Setiap perjalanan hidup dari lahir
sampai meninggal nanti selalu diberkahi oleh Tuhan, dan diberi rejeki yang cukup.
41
Meskipun kedua budaya ini berasal dari dua negara yang berbedahatsu
tanjo dan tedhak siten sama-sama memiliki makna agar sang anak dapat
menjalani kehidupan yang baik di masa depan. Keduanya juga sama-sama berisi
doa keselamatan dan kesuksesan untuk sang anak.
42
41
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada sub bab ini, peneliti akan menarik kesimpulan berdasarkan rumusan
masalah dan pembahasan pada bab sebelumnya. Adapun kesimpulan yang ditarik
oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Upacara hatsu tanjo dan tedhak siten memiliki beberapa kesamaan.
Terutama pada ritual mochi fumi dan tedhak jadah, kedua ritual ini
memiliki prosesi yang hampir sama yaitu menginjak media perantara.
Selain itu, ritual meramal masa depan juga memiliki prosesi dan media
yang yang sama meskipun terdapat beberapa perbedaan. Adapun
perbedaan antara upacara hatsu tanjo dan tedhak siten adalah kemeriahan
dan makna pada setiap prosesi. Upacara tedhak siten lebih memiliki
makna yang rumit dan selalu berhubungan dengan kesinambungan antara
manusia dan alam, sedangkan hatsu tanjo dilaksanakan hanya untuk
merayakan dan kesenangan semata.
2. Kesamaan makna antara kedua upacara ini adalah setiap ritual yang
dilaksanakan mengandung doa dari orang tua dan keluarga agar ketika
sang anak beranjak dewasa, mereka dapat menjalani kehidupan yang baik.
Selain itu, anak diharapkan ketika dewasa dapat membanggakan orang tua
dan tidak pernah lupa kepada orang tua yang membesarkannya.
42
Upacara ini juga memiliki makna bahwa ketika anak pertama kali belajar
berjalan, saaat itu pula kehidupan baru sebagai manusia telah dimulai.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ditarik berhubungan dengan penelitian ini,
maka peneliti memberikan saran untuk pengembangan penelitian lebih lanjut yang
terbagi menjadi saran teoritis dan praktis.
5.2.1 Saran Teoritis
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti memberikan
saran teoritis terhadap peneliti berikutnya yang akan melakukan penelitian
terhadap upacara tedhak siten dan hatsu tanjo untuk meneliti beberapa aspek, di
antaranya:
1) Makna penggunaan mochi dan jadah dalam upacara tedhak siten dan hatsu
tanjo.
2) Peran orang tua dalam upacara tedhak siten dan hatsu tanjo.
5.2.2 Saran Praktis
Diharapkan terdapat lebih banyak penelitian mengenai studi perbandingan
budaya antara budaya Indonesia dan Jepang. Mengingat Jepang pernah
menduduki Indonesia selama 3,5 tahun yang membuat budaya dan tradisi antara
kedua negara m ini memiliki beberapa kemiripan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
AG. Muhaimin. (2001). Islam dalam Bingkai Budaya Local Potret dari cirebo.
Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu
Amin, Darori. (2000). Islam dan Kebudayaan Jawa . Yogyakarta : Gamamedia.
Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. (2000). Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
El Rais, Heppy. (2012). Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Pusat Belajar.
Harsojo. (1967). Pengantar Antropologi. Bandung: Bina Cipta.
Moleong. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nazir, Mohammad. (1988). Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia
Prastowo, A. (2012). Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian. Yogyakarta : Ar Ruzz Media.
Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet.
Sutopo. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS.
Utomo, Sastro Sutrisno. (2002). Upacara daur Hidup Adat jawa. Semarang :
Efflar.
Skripsi :
Ida Solihatin. 2015. Makna Tradisi Tedhak Siten dan Relevansinya dengan Ajaran
Islam di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara.
Chaula Imanita Berti. 2014. Studi komparatif Unsur Pembentuk Drama
Tradisional Noh dan Wayang Topeng Malangan.