Post on 11-Mar-2019
i
STUDI KASUS PENANGANAN PERILAKU
BERMASALAH PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI
KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG
SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
MEGA SYLVIANA
1401412184
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti
untuk Tuhan, bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)
PERSEMBAHAN
v
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
Karya ini saya persembahkan kepada:
Keluargaku,
Orangtuaku, Karyono dan Yasmi sebagai tanda bukti, hormat, dan rasa
terimakasih yang tiada terkira kepada beliau yang telah memberikan kasih
sayang, selalu mendoakan dengan penuh keikhlasan dan segala dukungan moril
serta materiil.
vi
PRAKATA
Peneliti mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat, nikmat, karuniaNya, dan usaha keras sehingga peneliti
dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.
Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi atas kebutuhan para pendidik ataupun calon
pendidik terhadap wawasan tentang perilaku bermasalah siswa. Kebutuhan akan
pendidikan yang baik, mampu meningkatkan kualitas bangsa. Sekolah merupakan
miniatur kecil masyarakat tempat para peserta didik belajar tentang kehidupan.
Ada banyak materi pelajaran yang dipelajari, baik secara langsung yang diajarkan
di depan kelas maupun interaksi antaranggota sekolah. Sebagai sebuah “miniatur
masyarakat” tentu sekolah tidak sepi dari konflik, baik dalam tataran individu,
individu kontra individu, maupun kelompok. Penanganan yang tepat terhadap
perilaku bermasalah pada siswa sekolah dasar sangat diperlukan dari seorang guru
kelas. Oleh sebab itu, peneliti menyusun skripsi yang berjudul “Studi Kasus
Penanganan Perilaku Bermasalah pada Siswa Sekolah Dasar Di Kecamatan Mijen
Kota Semarang” disusun juga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
Peneliti menyadari bahwa dalam menyusunan skripsi ini tidak lepas dari
hambatan, dan rintangan. Namun berkat bimbingan, bantuan, nasihat, dan
dorongan serta saran-saran dari berbagai pihak, khususnya pembimbing, segala
hambatan dan rintangan tersebut dapat teratasi dengan baik. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang
yang telah memberikan kesempatan belajar kepada peneliti;
2. Prof. Dr. Fakhruddin, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang yang telah memberikan izin penelitian dan persetujuan
pengesahan skripsi ini;
vii
3. Drs. Isa Ansori, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Semarang yang telah memberikan kemudahan yang telah
diberikan kepada penulis untuk menyusun skripsi;
4. Drs. Sutaryono, M.Pd., Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, saran, arahan serta motivasi yang sangat berharga kepada peneliti;
5. Arif Widagdo, S.Pd., M.Pd., Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan saran, arahan serta motivasi yang sangat berharga kepada peneliti;
6. Dra. Kurniana Bektiningsih, M.Pd., Dosen penguji utama yang telah menguji
dan memberikan bimbingan saran, arahan serta motivasi yang sangat
berharga kepada peneliti;
7. Segenap dosen jurusan PGSD FIP UNNES yang telah membekali ilmu yang
bermanfaat;
8. Teman-teman tim penelitian di Kecamatan Mijen yang telah bekerjasama
dengan solid;
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusuan skripsi yang tidak dapat
peneliti sebutkan satu per satu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi calon
atau guru-guru sekolah dasar.
Semarang, Juli 2016
Peneliti,
Mega Sylviana
1401412184
viii
ABSTRAK
Sylviana, Mega. 2016. Studi Kasus Penanganan Perilaku Bermasalah pada Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Mijen Kota Semarang. Skripsi. Pendidikan Guru
Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing I Drs. Sutaryono, M.Pd., Pembimbing II Arif Widagdo, S.Pd.,
M.Pd.
Penelitian ini dilatarbelakangi banyaknya permasalahan yang terjadi di sekolah
dasar salah satunya adalah perilaku bermasalah pada siswa. Seorang siswa yang
dikategorikan sebagai anak yang bermasalah apabila ia menunjukkan gejala-gejala
penyimpangan dari perilaku yang lazim di lakukan oleh anak-anak pada umumnya.
Penanganan yang tepat dari seorang guru sangat diperlukan. Guru mempunyai peran
sebagai pembimbing yaitu guru membantu siswa menghadapi kekurangan, dan
memberikan dorongan secara langsung. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
penanganan perilaku bermasalah pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Mijen.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hal yang
diteliti dan dideskripsikan adalah bentuk perilaku bermasalah siswa, penanganan
perilaku bermasalah pada siswa oleh guru, dan dampak penanganan perilaku bermasalah
pada siswa. Tujuan penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah yaitu
mendeskripsikan bentuk perilaku bermasalah siswa, mendeskripsikan keberhasilan
penanganan perilaku bermasalah pada siswa oleh guru, dan mendeskripsikan dampak
penanganan perilaku bermasalah pada siswa. Penelitian ini dilakukan pada kelas rendah
yaitu kelas I, kelas II, dan kelas III di 8 sekolah dasar di Kecamatan Mijen. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara, dan angket.
Pengambilan data dilakukan sebanyak dua kali pada setiap sekolah dasar. Analisis data
menggunakan model Miles and Hubberman, yaitu collecting data, data reduction, data display, dan conclusions.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk perilaku bermasalah pada siswa
sekolah dasar beragam, secara umum masalah yang paling banyak terjadi yaitu lambat
belajar dan hiperaktif. Penanganan perilaku bermasalah pada siswa yang telah dilakukan
oleh guru, namun hampir semua guru di sekolah dasar melakukannya secara klasikal.
Agar penanganan mencapai keberhasilan perlu adanya bimbingan individual atau khusus
sesuai perilaku bermasalah pada siswa sekolah dasar. Dampak penanganan perilaku
bermasalah pada siswa adanya peningkatan kemampuan belajar dan perubahan perilaku
ke arah positif.
Simpulan dari penelitian ini adalah bentuk perilaku bermasalah siswa sangat
beragam karena setiap masalah dengan latar belakang yang berbeda dan guru sudah
melakukan penanganan perilaku bermasalah pada siswa sekolah dasar, secara klasikal
sehingga belum mencapai keberhasilan. Saran dari penelitian ini adalah sebaiknya guru
melakukan penanganan secara khusus dan klasikal sesuai dengan permasalahan siswa.
Dan perlu juga melakukan terobosan baru melalui penelitian atau pengabdian masyarakat
tentang penanganan perilaku bermasalah pada siswa sekolah dasar.
Kata Kunci: penanganan perilaku bermasalah; penanganan; perilaku bermasalah
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ..................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................... v
PRAKATA ............................................................................................ vi
ABSTRAK ............................................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
1.2. Fokus Penelitian ..................................................................... 10
1.3. Rumusan Masalah .................................................................. 10
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................... 11
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................. 11
1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................................... 11
1.5.2 Manfaat Praktis ...................................................................... 11
1.6 Batasan Istilah ........................................................................ 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................. 14
2.1. Kajian Teori ........................................................................... 14
2.1.1. Filsafat Pendidikan ................................................................ 14
2.1.1.1 Hakikat Filsafat Pendidikan .................................................. 14
2.1.1.2 Aliran Filsafat Pendidikan ..................................................... 16
2.1.1.3 Definisi Pendidikan ............................................................... 18
2.1.1.4 Manusia Berpendidikan ........................................................ 19
2.1.1.5 Empat Pilar Pendidikan .......................................................... 19
2.1.1.6 Empat Dimensi Pendidikan ................................................... 21
x
2.1.1.7 Obyek Pendidikan ................................................................. 21
2.1.1.8 Tujuan dan Fungsi Pendidikan .............................................. 23
2.1.1.9 Hukum Dasar Pendidikan .................................................... 23
2.1.2. Hakikat Manusia ..................................................................... 23
2.1.3. Psikologi Pendidikan ............................................................. 23
2.1.4 Belajar .................................................................................... 27
2.1.4.1. Hakikat Belajar ...................................................................... 27
2.1.4.2. Teori Belajar .......................................................................... 27
2.1.4.2.1. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget .................................. 27
2.1.4.3. Tujuan Belajar ....................................................................... 30
2.1.4.4. Faktor yang Mempengaruhi Belajar ...................................... 32
2.1.5 Guru ....................................................................................... 34
2.1.5.1. Kompetensi Pedagogik .......................................................... 35
2.1.5.2. Kompetensi Kepribadian ....................................................... 36
2.1.5.3. Kompetensi Sosial ................................................................. 36
2.1.5.4. Kompetensi Profesional ......................................................... 36
2.1.3 Siswa ...................................................................................... 38
2.1.6.1. Pengertian Perkembangan Peserta Didik ............................... 40
2.1.6.2. Definisi Peserta Didik ............................................................ 40
2.1.6.3 Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar ................................ 41
2.1.7 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ................................ 42
2.1.7.1. Anak Kelainan Fisik .............................................................. 42
2.1.7.2. Anak Kelainan Mental Emosional ......................................... 51
2.1.7.3 Anak Kelainan Akademik ..................................................... 58
2.1.8 Bentuk Layanan Pendidikan ABK ........................................ 52
2.1.9 Layanan Pendidikan ABK ..................................................... 63
2.1.9.1 Prinsip Dasar Layanan Pendidikan ........................................ 63
2.1.9.2 Pendekatan Layanan Pendidikan ABK ................................. 64
2.1.9.3 Layanan Pendidikan Anak Tunanetra ................................... 65
2.1.9.4 Layanan Pendidikan Anak Tunarungu .................................. 65
2.1.9.5 Layanan Pendidikan Anak Tunadaksa .................................. 65
xi
2.1.9.6 Layanan Pendidikan Anak Tunagrahita ................................ 65
2.1.9.7 Layanan Pendidikan Anak Tunalaras .................................... 66
2.1.9.8 Layanan pendidikan Anak Berbakat ..................................... 66
2.1.9.9 Layanan Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar ................... 66
2.1.9.10 Layanan Pendidikan ABK di SD .......................................... 67
2.1.10 Bimbingan Bagi Anak ........................................................... 67
2.1.10.1 Anak Berperilaku Bermasalah .............................................. 68
2.1.10.2 Bentuk-Bentuk Perilaku Bermasalah .................................... 69
2.1.10.3 Strategi Dalam Mengubah Perilaku Menyimpang pada Murid
................................................................................................ 72
2.1.10.4 Aplikasi Layanan Konseling Belajar di SD ........................... 75
2.2. Kajian Empiris ....................................................................... 76
2.3. Kerangka Berpikir ................................................................. 81
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................... 84
3.1 Jenis Desain Penelitian .......................................................... 84
3.1.1. Jenis Penelitian ...................................................................... 84
3.1.2. Desain Penelitian ................................................................... 84
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................ 85
3.2.1. Tempat Penelitian .................................................................. 85
3.2.2. Waktu Penelitian .................................................................... 85
3.2.2.1. Tahap Awal ............................................................................ 85
3.2.2.2. Tahap Pelaksanaan ................................................................ 85
3.2.2.3. Tahap Akhir ........................................................................... 86
3.3 Sumber Data .......................................................................... 86
3.3.1 Sumber Data Primer .............................................................. 86
3.3.2 Sumber Data Sekunder .......................................................... 87
3.4 Teknik Pengumpulan Data .................................................... 87
3.4.1 Wawancara ............................................................................ 87
3.4.2 Observasi ............................................................................... 88
3.4.3 Angket ................................................................................... 90
3.4.4 Dokumentasi .......................................................................... 90
xii
3.5 Teknik Analisis Data ............................................................. 90
3.5.1 Analisis Sebelum di Lapangan .............................................. 91
3.5.2 Analisis Selama di Lapangan ................................................ 91
3.5.2.1 Pengumpulan data .................................................................. 92
3.5.2.2 Reduksi Data (Data Reduction) .............................................. 92
3.5.2.3 Penyajian Data (Data Display) ............................................... 93
3.5.2.4 Conclusions drawing/verifying ............................................... 93
3.5.3 Analisis Setelah di Lapangan ................................................ 94
3.6 Rencana Pengujian Keabsahan Data ..................................... 94
3.6.1. Triangulasi ............................................................................. 95
3.6.1.1. Triangulasi Sumber ................................................................ 95
3.6.1.2. Triangulasi Teknik ................................................................. 95
3.7 Pengolahan Data .................................................................... 95
3.7.1 Angket Penanganan Perilaku Bermasalah pada Siswa ........... 97
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................... 98
4.1. Hasil Penelitian ...................................................................... 98
4.1.1 Gambaran Umum Bentuk Perilaku Bermasalah pada Siswa . 98
4.1.2 Reduksi Data........................................................................... 104
4.1.3 Penyajian Data ....................................................................... 105
4.1.3.1 Deskripsi Hasil Wawancara .................................................. 109
4.1.3.2 Deskripsi siswa yang berperilaku bermasalah ........................ 132
4.1.3.3 Deskripsi hasil Angket............................................................ 136
4.1.4 Penarikan Kesimpulan ........................................................... 137
4.1.5 Uji Keabsahan Data ................................................................ 138
4.2. Pembahasan ........................................................................... 139
4.2.1. Bentuk-bentuk Perilaku Bermasalah ..................................... 139
4.2.2. Penanganan Perilaku Bermasalah .......................................... 146
4.2.3. Dampak Penanganan Terhadap Perilaku Bermasalah ........... 154
BAB V PENUTUP ............................................................................. 155
5.1. Simpulan ................................................................................ 155
5.2. Saran ...................................................................................... 156
xiii
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 157
LAMPIRAN ........................................................................................... 161
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 : Klasifikasi Menurut Tingkat Kecerdasan ......................................56
Tabel 2.2 : Klasifikasi Menurut Tunagrahita ...................................................56
Tabel 4.1 : Daftar Guru Kelas Rendah dari 8 Sekolah Dasar ..........................105
Tabel 4.2 : Daftar Siswa yang Memiliki Perilaku Bermasalah .......................132
Tabel 4.3 : Rata-rata hasil angket Penanganan Perilaku Bermasalah pada siswa
Sekolah Dasar ..................................................................................136
Tabel 4.4 : Bentuk Perilaku Bermasalah pada Siswa .......................................141
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 : Gambar Learning Disablility .....................................................59
Gambar 2.2 : Kerangka Berpikir ....................................................................83
Gambar 3.1 : Model Analisis Data .................................................................91
Gambar 4.1 : Diagram Guru Kelas Berdasarkan Usia ....................................107
Gambar 4.2 : Diagram Guru Kelas Berdasarkan Masa Kerja .........................108
Gambar 4.3 : Diagram Siswa Berdasarkan Usia ............................................135
Gambar 4.4 : Diagram Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin .............................135
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Kisi-kisi Instrumen ...................................................................161
Lampiran 2 : Instrumen Penelitian ..................................................................162
Lampiran 3 : Hasil observasi dan wawancara ................................................170
Lampiran 4 : Daftar Guru di 8 Sekolah Dasar ................................................177
Lampiran 5 : Rekapitulasi Data SDN Cangkiran 01 ......................................180
Lampiran 6 : Rekapitulasi Data SDN Tambangan 01 ....................................183
Lampiran 7 : Rekapitulasi Data SDN Jatisari ...............................................186
Lampiran 8 : Rekapitulasi Data SDN Polaman .............................................189
Lampiran 9 : Rekapitulasi Data SDN Wonolopo 01 ......................................192
Lampiran 10 : Rekapitulasi Data SDN Jatibarang 01 ......................................195
Lampiran 11 : Rekapitulasi Data SDN Jatibarang 02 ......................................198
Lampiran 12 : Rekapitulasi Data SDN Kedungpane 02 ..................................201
Lampiran 13 : Dokumentasi ..............................................................................204
Lampiran 14 : Surat-surat Penelitian ...............................................................208
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai peranan yang kuat dalam perkembangan suatu
bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Pemerintah sendiri telah mengatur pendidikan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan di Sekolah Dasar dapat didefinisikan sebagai proses
pengembangan kemampuan yang paling mendasar bagi setiap siswa, setiap siswa
belajar secara aktif karena adanya dorongan dalam diri dan adanya suasana yang
memberikan kemudahan (kondusif) bagi perkembangan dirinya secara optimal.
Berkaitan dengan hal tersebut menurut Undang Undang Republik Indonesia No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 menyatakan bahwa
Pendidikan Nasional Berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2
berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Adapun pendidikan untuk anak yang
memiliki kebutuhan khusus ada dalam pasal 32 ayat 1 menyatakan bahwa
“Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa.
Pendidikan di Indonesia juga menerapkan hasil Deklarasi Bandung
(Nasional) “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8-14 Agustus 2004
a. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya
mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam
bidang pendidikan, kesehatan sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun
bidang lainnya, sehingga menjadi generasi generasi penerus yang handal.
b. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya
lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan
yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan
kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan
eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis,
hukum, politis maupun kultural.
Sehubungan dengan pernyataan di atas, dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal
19 bahwa
3
1) Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi Peserta Didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis Peserta Didik,
2) Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses Pembelajaran,
pelaksanaan proses Pembelajaran, penilaian hasil Pembelajaran, dan pengawasan
proses Pembelajaran untuk terlaksananya proses Pembelajaran yang efektif dan
efisien.
Anak-anak berkebutuhan khusus, adalah anak-anak yang memiliki
keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka
dari anak-anak normal pada umumnya. Istilah anak berkebutuhan khusus
merupakan istilah terbaru yang digunakan, dan merupakan terjemahan dari child
with special needs yang telah digunakan secara luas di dunia internasional, ada
beberapa istilah lain yang pernah digunakan diantaranya anak cacat, anak tuna,
anak berkelainan, anak menyimpang, dan anak luar biasa, ada satu istilah yang
berkembang secara luas telah digunakan yaitu difabel, sebenarnya merupakan
kependekan dari diference ability. Sejalan dengan perkembangan pengakuan
terhadap hak azasi manusia termasuk anak-anak ini, maka digunakanlah istilah
anak berkebutuhan khusus. Penggunaan istilah anak berkebutuhan khusus
membawa konsekuensi cara pandang yang berbeda dengan istilah anak luar biasa
yang pernah dipergunakan dan mungkin masih digunakan. Jika pada istilah luar
biasa lebih menitik beratkan pada kondisi (fisik, mental, emosisosial) anak, maka
4
pada berkebutuhan khusus lebih pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi
sesuai dengan potensinya. Keragaman anak berkebutuhan khusus terkadang
menyulitkan guru dalam upaya menemu kenali jenis dan pemberian layanan
pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pengetahuan dan
pemahaman mengenai hakikat anak berkebutuhan khusus, maka mereka akan
dapat memenuhi kebutuhan anak yang sesuai. Contoh, seorang anak tunanetra,
jelas dia memiliki keterbatasan pada bidang penglihatannya, tetapi dia juga
memiliki potensi kemampuan intelektual yang tidak berbeda dengan anak normal,
maka untuk dapat berprestasi sesuai kapasitas intelektualnya diperlukan alat bantu
kompensatif indera penglihatan seperti talking computer, talking books, buku
tulisan Braille dsb. Dengan dipenuhinya kebutuhan itu maka tunanetra akan dapat
berprestasi sesuai dengan kapasitas intelektualnya dan mampu berkompetisi
dengan anak normal.
Pengelompokkan anak berkebutuhan khusus hanya diperlukan untuk
kebutuhan penanganan anak secara klasikal, sedangkan untuk kepentingan yang
bersifat sosial anak berkebutuhan khusus tidak perlu dikelompokkan. Anak
berkebuthan khusus dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kelainan Mental
terdiri dari: mental tinggi, mental rendah, kesulitan belajar 2. Kelainan Fisik
meliputi: kelainan tubuh (tunadaksa), kelainan indera penglihatan (tunanetra),
kelainan indera pendengaran (tunarungu), kelainan wicara 3. Kelainan Emosi
meliputi: gangguan perilaku, gangguan konsentrasi (ADD), anak hiperaktif
(ADHD).
5
Masyarakat, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya, pada umumnya
sangat memperhatikan perkembangan anak, sejak lahir, sampai menjadi dewasa
dan mandiri. Biasanya yang pertama kali diperhatikan adalah fisik dan
kognitifnya. Begitu anak lahir yang dilihat dan ditanyakan pertama kali adalah
bagaimana anaknya, normal, sehat, atau tidak. Kehidupan selanjutnya orang tua,
masyarakat akan memusatkan perhatian pada pertumbuhan dan perkembangan
anak. Orang tua berusaha memberikan gizi yang baik dan mengikuti saran-saran
petugas kesehatan. Masyarakat melalui organisasi PKK memberikan pelayanan
dan penyuluhan pada ibu-ibu yang mempunyai anak balita dengan kegiatan
penimbangan dan lomba-lomba balita. Pemerintah memperhatikan dengan
memberikan bimbingan dan layanan melalui kegiatan posyandu. Semua itu
mengusahakan agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih optimal.
Harapan-harapan orang tua, masyarakat tidak semuanya memperoleh hasil
seperti yang diharapkan. Ada beberapa orang tua yang tidak beruntung, anaknya
tidak mengalami perkembangan sebagaimana anak normal lainnya. Anaknya
mempunyai perilaku yang abnormal dan menyimpang. Sekolah sebagai miniatur
masyarakat menampung bermacam-macam siswa dengan latar belakang
kepribadian yang berbeda. Mereka heterogen sebab diantara mereka ada yang
miskin, ada yang kaya, bodoh dan pintar, yang suka patuh dan suka menentang,
serta ada anak-anak dari kondisi keluarga yang berbeda inilah yang dimaksud
dengan perbedaan individual diantara mereka. Inilah yang dimaksud dengan
perbedaan individual di antara mereka. Sesuai asas individual tersebut ada siswa
yang dikategorikan sebagai siswa bermasalah. (Dalyono, 2009: 259)
6
Seorang siswa yang dikategorikan sebagai anak yang bermasalah apabila
ia menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari perilaku yang lazim di lakukan
oleh anak-anak pada umumnya (Dalyono, 2009: 260). Perilaku bermasalah pada
siswa merupakan bagian dari Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Perilaku
menyimpang adalah suatu persoalan yang harus menjadi kepedulian guru, bukan
semata-mata perilaku itu destruktif atau mengganggu proses pembelajaran,
melainkan suatu bentuk perilaku agresif atau pasif yang dapat menimbulkan
kesulitan dalam bekerja sama dengan teman, yang merupakan perilaku yang dapat
menimbulkan masalah belajar anak dan hal itu termasuk perilaku bermasalah
(Darwis, 2006: 43). Perilaku anak menyimpang memiliki hubungan dengan
penyesuaian anak tersebut dengan lingkungannya. Hurlock (2004: 39)
mengatakan bahwa perilaku anak bermasalah atau menyimpang ini muncul karena
penyesuaian yang harus dilakukan anak terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan
yang baru. Berarti semakin besar tuntutan dan perubahan semakin besar pula
masalah penyesuaian yang dihadapi anak tersebut.
Perilaku bermasalah pada siswa ini yang pertama harus menangani adalah
guru. Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005, guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Guru mempunyai banyak peran dalam pembelajaran salah satunya
sebagai pembimbing, yang berarti (Mulyasa, 2013: 40) sebagai pembimbing guru
harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu, menetapkan jalan,
7
cara, metode yang harus ditempuh, melibatkan peserta didik dalam pembelajaran,
mampu memaknai kegiatan belajar serta melaksanakan penilaian. Untuk dapat
melaksanakan perannya guru terlebih dahulu mencari penyebab anak yang
biasanya tampak bermasalah di dalam kelas dan kebiasaan perilaku bermasalah
diantaranya kesulitan belajar, kelainan tubuh, hiperaktif, dan gangguan
konsentrasi, yang dilakukan di dalam keseluruhan interaksi dengan
lingkungannya. Walaupun gejala perilaku bermasalah di sekolah itu mungkin
hanya nampak pada sebagian anak. Pada dasarnya setiap anak memiliki masalah-
masalah emosional dan penyesuaian sosial. Masalah itu tidak selamanya
menimbulkan perilaku yang bermasalah atau menyimpang yang kronis (Darwis,
2006: 44). Setelah mengetahui perilaku bermasalah pada anak, guru dapat
melakukan penanganan dengan tepat. Dengan menggunakan bentuk-bentuk
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi
3 kelompok besar, yaitu: bentuk layanan pendidikan segregrasi, bentuk layanan
pendidikan terpadu/integrasi.
Berdasarkan catatan lapangan yang dimiliki oleh peneliti di SDN
Pudakpayung 02 seorang guru kelas II sering mendapati masalah tentang anak
yang susah berkonsentrasi dan suka mengganggu temannya saat pembelajaran
dimulai membuat keributan dan lambat menerima pembelajaran. Dia mengajak
temannya untuk berlari-lari mengelilingi ruang kelas, sehingga mengganggu anak-
anak yang lain. Pada saat kegiatan menggambar siswa mengambil crayon milik
temannya yang sedang digunakkan, ketika guru menegurnya dia pura-pura tidak
tahu, tetapi beberapa saat setelah itu guru sedikit lengah, dia kembali membuat
8
keributan. Kali ini dia mengajak beberapa temannya memukul-mukul meja dan
berteriak-teriak, sehingga mengganggu teman yang lain. Ada juga siswa yang
pasif, lambat menerima pembelajaran dan butuh waktu yang lama untuk
menyelesaikan tugas.
Berdasarkan penelitian yang disampaikan oleh Helmut Y Bunu tahun 2012
dengan judul “Masalah Anak Taman Kanak-Kanak Menurut Guru Dan Orang Tua
Serta Implementasiya Dalam Bimbingan Dan Konseling”. Penelitian ini
bertujuan: (1) Mendeskripsikan masalah yang dialami anak TK menurut guru dan
orang tua berdasarkan aspek-aspek perkembangan anak, dari segi psikologi
perkembangan anak, (2) mendeskripsikan implikasi masalah anak TK bagi
bimbingan dan konseling, dan 3) implikasinya bagi fungsi layanan bimbingan dan
konseling di TK. Populasi adalah Guru orang dan orang tua murid TK Nanda
Pahandut sebanyak 83 orang tua dan 10 orang guru. Instrumen penelitian meliputi
kuesioner dan pedoman wawancara untuk guru TK. Teknik analisa data
menggunakan prosentase (%). Hasil penelitian mengungkapkan 5 (lima)
kelompok masalah yang dialami anak TK “Nanda” Palangka Raya, adalah: (1)
masalah sosial, misalnya negativisme, (2) masalah emosional misalnya cemas, (3)
masalah moral misalnya merusak mainan teman, (4) masalah perkembangan
misalnya lambat mengerti/ memahami penjelasan/keterangan dan (5) masalah
bahasa misalnya keterlambahan berbicara. Implikasi dalam layanan bimbingan
dan konseling, guru TK perlu memberikan layanan bimbingan dan konseling
kepada anak terutama kegiatan layanan preventif dan pengembangan.
9
Berdasarkan penelitian yang lain oleh Theresia Nadia Nugraheni dengan
judul “Strategi Guru Menangani Perilaku Bermasalah Siswa Berkebutuhan
Khusus Di Kelas Reguler”, hasil penelitian menunjukkan bahwa cara guru
menangani perilaku bermasalah siswa berkebutuhan khusus terbagi menjadi dua
bagian. Pertama dengan melakukan pendekatan pada siswa, seperti mengajak
berbincang siswa diwaktu luang, memberi peringatan jika siswa melanggar
peraturan dan mengajak siswa untuk terlibat dalam pembelajaran. Guru juga
berkomunikasi dengan sesama guru yang mengajar siswa berkebutuhan khusus,
orang tua dan shadow teacher. Kedua, guru menggunakan alat bantu berupa
achievement chart, character chart dan poin happy face dan sad face di kelas
sebagai motivasi bagi siswa. Strategi penggunaan chart yang digunakan oleh guru
di sekolah nasional berbahasa Inggris mungkin berhasil dilakukan karena guru
juga memberikan hadiah selain pemberian stiker.
Berdasarkan penelitian yang mendukung oleh Desmond Eberechukwu
Ihekairei pada tahun 2012 dengan judul “Learning-Related Vision Problems in
School Age Children in Imo State University Primary and Secondary Schools”,
menyatakan bahwa keterampilan visual dasar yang penting untuk disposisi belajar
dari anak-anak dan kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas-tugas
akademik. Artikel ini menyelidiki belajar terkait masalah penglihatan (LRVP)
pada anak-anak usia sekolah. Penelitian ini melibatkan 108 laki-laki dan 92 siswa
perempuan. Data untuk penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan
kuesioner, senter pena, oftalmoskop dan retinoskop. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak-anak dalam kelompok usia 10-12 tahun lebih
10
dipengaruhi oleh belajar masalah penglihatan terkait (46%) dibandingkan
kelompok berusia 13-15 tahun, sedangkan yang paling sedikit terpengaruh dengan
prevalensi hanya 12% adalah mereka antara 16 dan 18 tahun. Tanda-tanda dan
gejala klinis, menunjukkan bahwa Ocular Motilitas Disfungsi (OMD) memiliki
distribusi frekuensi tertinggi (75%) diikuti oleh Executive Function Deficiency
(DKE) (69,5%), Cepat Penamaan Deficiency (RND) (60,5%), Orientasi Visual
Spatial keterampilan Deficiency (VSOSD) (57%), Akomodatif Vengeance
Disfungsi (AVD) (44,5%), Visual keterampilan motor Deficiency (VMSD)
(33%), Non-motor Visual Analisis keterampilan Deficiency (NMVASD) (5,5%),
dan Auditory Visual Integrasi Deficiency (AVID) (0,05%). Anak-anak dengan
masalah penglihatan yang berhubungan dengan pembelajaran memiliki kesulitan
belajar dan kemampuan membaca berkurang.
Apabila kenyataan tersebut diabaikan begitu saja, maka dalam
pembelajaran akan tidak nyaman, dan kurang bermakna. Berawal dari latar
belakang masalah tersebut, perlu diadakan penelitian yang berjudul “Studi Kasus
Penanganan Perilaku Bermasalah pada Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan
Mijen Kota Semarang”.
1.2 Fokus Penelitian
Penelitian ini menfokuskan penelitian pada penanganan perilaku bermasalah
pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Mijen Kota Semarang.
1.3 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut :
11
1.3.1 Bagaimanakah bentuk perilaku bermasalah pada Siswa Sekolah Dasar di
Kecamatan Mijen Kota Semarang?
1.3.2 Bagaimanakah penanganan perilaku bermasalah pada Siswa Sekolah Dasar
di Kecamatan Mijen Kota Semarang?
1.3.3 Bagaimanakah dampak penanganan perilaku bermasalah pada Siswa
Sekolah Dasar di Kecamatan Mijen Kota Semarang?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini sebagai berikut
:
1.4.1 Mendeskripsikan bentuk perilaku bermasalah pada Siswa Sekolah Dasar di
Kecamatan Mijen Kota Semarang.
1.4.2 Mendeskripsikan keberhasilan Penanganan perilaku bermasalah pada Siswa
Sekolah Dasar di Kecamatan Mijen Kota Semarang.
1.4.3 Mendeskripsikan dampak penanganan perilaku bermasalah pada Siswa
Sekolah Dasar di Kecamatan Mijen Kota Semarang.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, baik secara
teoritis maupun secara praktis :
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan kontribusi bagi pendidikan,
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan
bagi khalayak umum tentang deskripsi Penanganan perilaku bermasalah pada
12
Siswa Sekolah Dasar, khususnya pada peran serta sekolah. Dengan mengetahui
hasil deskripsi Penanganan perilaku bermasalah pada Siswa Sekolah Dasar
tersebut diharapkan ditemukan penanganan yang tepat dalam mengatasi
masalah yang ditimbulkan oleh anak.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang bentuk dan
penanganan perilaku bermasalah pada siswa Sekolah Dasar.
b. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperdalam pengetahuan dan menerapkan
ilmu yang telah diperoleh di bangku kuliah dalam kehidupan praktek belajar
mengajar yang sesungguhnya.
c. Bagi Pembaca
Memberikan sumbangan bagi pengembangan khasanah ilmu pendidikan
khususnya yang berkaitan dengan penanganan perilaku bermasalah pada siswa
Sekolah Dasar.
d. Bagi Guru
Sebagai bahan referensi guru untuk melakukan refleksi diri tentang proses
pendidikan karakter di sekolah dasar. Dengan melakukan refleksi diri guru akan
mengetahui kekurangan yang ada pada dirinya dan akan berusaha untuk menjadi
lebih baik lagi dalam proses pembelajaran sebagai upaya untuk menjadi guru yang
profesional.
1.6 Batasan Istilah
13
Guna menghindari kesalahan dalam penafsiran, perlu diuraikan beberapa
definisi operasional seperti berikut:
1. Studi Kasus merupakan suatu penelitian yang dilakukan terhadap suatu
“kesatuan sistem”. Studi kasus adalah suatu penelitian yang diarahkan untuk
menghimpun data, mengambil makna, memperoleh pemahaman dari kasus
tersebut. Tiap kasus bersifat unik memiliki karakteristik sendiri yang berbeda
dengan kasus lainnya. Kasus dapat satu orang, satu kelas, satu sekolah,
beberapa sekolah tetapi dalam satu kantor kecamatan. Dalam studi kasus
digunakan beberapa teknik pengumpulan data seperti wawancara, observasi,
dan studi dokumenter, tetapi semuanya difokuskan kea rah mendapatkan
kesatuan data dan kesimpulan (Sukmadinata, 2012: 64)
2. Seorang siswa yang dikategorikan sebagai anak yang bermasalah apabila ia
menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari perilaku yang lazim di lakukan
oleh anak-anak pada umumnya (Dalyono, 2009: 260).
3. Perilaku menyimpang adalah suatu persoalan yang harus menjadi kepedulian
guru, bukan semata-mata perilaku itu destruktif atau mengganggu proses
pembelajaran, melainkan suatu bentuk perilaku agresif atau pasif yang dapat
menimbulkan kesulitan dalam bekerja sama dengan teman, yang merupakan
perilaku yang dapat menimbulkan masalah belajar anak dan hal itu termasuk
perilaku bermasalah (Darwis, 2006: 43).
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1Kajian Teori
2.1.1 Filsafat Pendidikan
2.1.1.1 Hakikat Filsafat Pendidikan
Djumransjah (2004: 9) mengartikan filsafat ialah upaya manusia dengan akal
budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara radikal, integral,
dan sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia. Sehingga, dapat
menghasilkan pengetahuan tentang hakikatnya yang dapat dicapai dengan akal
manusia dan bagaimana seharusnya sikap manusia setelah mencapai pengetahuan
yang diinginkan. Sementara pendidikan adalah usaha manusia untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani
maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan
kebudayaan. Kegiatan pendidikan ditujukan untuk menghasilkan manusia
seutuhnya, manusia yang lebih baik, yaitu manusia dimana sikap dan perilakunya
dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila
Djumransjah (2004: 22).
Dibutuhkan suatu pemikiran yang mendalam untuk memahami masalah
pendidikan yaitu melalui filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sebagai ilmu
yang hakikatnya merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam dunia
pendidikan. Filsafat pendidikan juga berusaha membahas tentang segala yang
15
mungkin mengarahkan proses pendidikan. Lebih lanjut secara rinci dijelaskan
bahwa untuk mengkaji peranan filsafat dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu:
a. Metafisika dan Pendidikan
Mempelajari metafisika bagi filsafat pendidikan diperlukan untuk
mengontrol secara implisit tujuan pendidikan, untuk mengetahui bagaimana
dunia anak, apakah ia merupakan makhluk rohani atau jasmani saja, atau
keduanya.
b. Epistimologi dan Pendidikan
Epistimologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan (filsafat
pendidikan) dalam menentukan kurikulum.
c. Aksiologi dan Pendidikan
Aksiologi membahas nilai baik dan nilai buruk, yang menjadi dasar
pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan.
d. Logika dan pendidikan
Logika sangat dibutuhkan dalam pendidikan agar pengetahuan yang
dihasilkan oleh penalaran memiliki dasar kebenaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan
adalah suatu dasar ilmu yang menjadi jawaban pertanyaan dari segala bidang ilmu
pendidikan, yang mencakup tentang kebijakan pendidikan, sumber daya manusia,
teori kurikulum dan pembelajaran, serta aspek-aspek pendidikan yang lain.
Dengan begitu manusia harus berupaya sedemikian rupa melalui pemikiran yang
mendalam, radikal, integral dan sistematik untuk mencapai tujuan pendidikan
16
yang berfungsi untuk membentuk manusia seutuhnya dan berguna bagi bangsa
dan negara.
2.1.1.2 Aliran Filsafat Pendidikan
Para ahli telah merumuskan beberapa mazhab tentang pendidikan. Dalam
dunia pendidikan ada beberapa aliran filsafat pendidikan yang sering digunakan.
Menurut Brameld (dalam Djumransjah, 2004: 175) ada beberapa aliran filsafat
pendidikan, antara lain:
a. Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan
kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang
wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya
manusia itu sendiri. Aliran Progresivisme mengakui dan berusaha
mengembangkan asas Progresivisme dalam semua realitas, terutama dalam
kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia,
harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.
b. Filsafat Pendidikan Essensialisme
Aliran filsafat pendidikan essensialisme dapat ditelusuri dari aliran
filsafat yang menginginkan agar manusia kembali ke kebudayaan lama,
karena kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia.
Aliran essensialisme memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada
dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber
timbulnya pandangan yang berubah, mudah goyah, kurang terarah, dan tidak
menentu serta kurang stabil. Karena itu, pendidikan harus berpijak diatas nilai
17
yang dapat mendatangkan kestabilan, telah teruji oleh waktu, tahan lama, dan
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi.
c. Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali tau proses
mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.
Perenialisme tidak melihat jalan yang meyakinkan selain, kembali pada
prinsip-prinsip yang telah sedemikian rupa yang membentuk suatu sikap
kebiasaan, bahwa kepribadian manusia yaitu kebudayaan dahulu (yunani
kuno).
d. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran ini timbul karena
pada tahun 1930an dunia telah mengalami krisis, sampai-sampai di negara
bagian Eropa dan Asia mengalami totalitarianisme yaitu hilangnya nila-nilai
kemanusiaan dalam sosial. Dunia pada saat itu mengalami kebangkrutan yang
sangat besar, mulai dari maraknya terorisme, kesenjangan global,
nasionalisme sempit, banyaknya manusia yang berperilaku amoral, dan masih
banyak lagi. Prinsip aliran rekonstruksi adalah menciptakan suatu sistem
pendidikan dimana pendidikan itu mengarah kepada masa depan bukan
berjalan lambat dan sistem pendidikan yang dapat merespon permasalahan
yang muncul yang akan datang.
18
2.1.1.3 Definisi Pendidikan
Bagi sebagian masyarakat awam, istilah pendidikan seseringnya
diidentikkan dengan “sekolah”, “guru mengajar di kelas”, atau “ satuan
pendidikan formal” belaka. Secara akademik, istilah pendidikan berspektrum luas.
Pendidikan adalah proses peradaban dan pemberadaban manusia. Pendidikan
adalah aktivitasi semua potensi dasar manusia melalui interaksi antara manusia
dewasa dengan yang belum dewasa. Pendidikan adalah proses kemanusiaan dan
pemanusiaan sejati, dengan atau tanpa penyegajaan. Pendidikan adalah proses
pemartabatan manusia menuju puncak optimasi potensi kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang dimilikinya. Pendidikan adalah proses membimbing, melatih,
dan memandu manusia terhindar atau keluar dari kebodohan dan pembodohan.
Pendidikan juga dapat didefinisikan sebagai proses elevasi yang dilakukan secara
nondiskriminasi, dinamis, dan intensif menuju kedewasaan individu, dimana
prosesnya dilakukan secara kontinyu dengan sifat yang adatif dan nirlimit atau
tiada akhir (Danim, 2011: 2-3).
P = Proses
E = Elevasi
N = Nondiskriminasi
D = Dinamis
I = Intensif
D = Dewasa
I = Individu
K = Kontinyu
A = Adaptabilitas
N = Nirlimit
Pendidikan menurut John Dewey (Danim, 2011: 3) pendidikan adalah
suatu proses pembaharuan pengalaman. Proses itu bisa terjadi di dalam pergaulan
19
biasa atau pergaulan orang dewasa dengan anak-anak yang terjadi secara sengaja
dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan sosial. Senada dengan
diatas menurut Horne (Danim, 2011: 3) pendidikan sebagai proses penyesuaian
yang berlangsung secara terus-menerus bagi perkembangan intelektual, emosional
dan fisik. Serta menurut Noor Syam (1981) mendefinisikan pendidikan sebagai
aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan
membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta, dan
budinurani) dan jasmani (pancaindera serta keterampilan).
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah proses sosial yang dibangun untuk mengembangkan potensi manusia,
munuju manusia masa depan yang bertanggungjawab.
2.1.1.4 Manusia Berpendidikan
Manusia yang berpendidikan adalah mereka yang mampu berpikir
jernih, dan bertindak secara efektif sesuai dengan tujuan dan aspirasi yang
ditetapkan oleh dirinya. Orang yang berpendidikan juga menghargai orang lain
terlepas dari kekuasaan dan statusnya, bertanggungjawab atas hasil atau dampak
tindakan, dan menggunakan akal sehat untuk memenuhi apa yang mereka
butuhkan, baik pribadi, keluarga, organisasi, maupun masyarakat pada umumnya.
Orang yang berpendidikan membutuhkan informasi, namun ia tidak tergantung
semata pada informasi yang telah disimpannya di kepalanya. Mereka memiliki
kemampuan mencari informasi, menciptakan pengetahuan, dan mengembangkan
keterampilan bila diperlukan (Danim, 2011: 35).
20
2.1.1.5 Empat Pilar Pendidikan
Danim (2011, 188) menjleaskan bahwa UNESCO telah menggariskan
empat pilar utama pendidikan, yakni learning to know (belajar untuk mengetahui,
sebagai landasan ilmu pengetahuan), learning to do (belajar untuk bekerja,
aplikasi), learning to be (belajar untuk menjadi, penggalian potensi diri), dan
learning to life together (belajar untuk hidup bersama, hidup bermitra dan
sekaligus berkompetensi, hidup berdampingan dan bersahabat antarbangsa).
a. Belajar untuk Mengetahui
Belajar yang produktif untuk mengetahui berarti belajar dengan
mengembangkan dua sisi konsentrasi, yaitu kemampuan memori dan
kemampuan untuk berpikir. Sejak bayi, orang muda harus belajar bagaimana
berkonsentrasi pada objek dan pada orang lain. Proses peningkatan
kemampuan konsentrasi dapat mengambil bentuk yang berbeda dan dapat
dibantu oleh berbagai kesempatan belajar banyak yang muncul dalam
kehidupan orang itu, seperti permainan, program pengalaman kerja, kegiatan
ilmu pengetahuan praktis, dan lain-lain.
b. Belajar untuk Bekerja
Masa depan ekonomi ini tergantung pada kemampuan mereka untuk
mengubah kemajuan pengetahuan ke dalam inovasi yang akan menghasilkan
bisnis dan pekerjaan baru. Belajar untuk melakukan bisa tidak lagi berarti
apa-apa itu saat orang-orang dilatih untuk melakukan tugas fisik tertentu
dalam proses manufaktur. Pelatihan keterampilan harus berkembang dan
21
menjadi lebih dari sekedar alat menyampaikan pengetahuan yang diperlukan
untuk melakukan pekerjaan rutin.
c. Belajar untuk Menjadi
Manusia harus tumbuh menjadi dirinya sendiri. Perkembangan
manusia, dimulai saat lahir hingga sepanjang hidupnya, adalah sebuah proses
dialektika yang didasarkan pada pengetahuan dan hubungan pribadi dengan
orang lain. Hal ini mensyaratkan pengalaman pribadi yang sukses. Sebagai
sarana pelatihan kepribadian, pendidikan harus menjadi proses yang sangat
individual dan pada saat yang sama pengalaman interaksi sosial.
d. Belajar untuk Hidup Bersama
Tugas pendidikan, baik dalam rangka pembelajaran bagi siswa dan
mahasiswa tentang keragaman manusia maupun untuk menanamkan
kesadaran diri mereka tentang persamaan dan saling ketergantungan semua
orang esensinnya adalah bagaimana mereka mampu hidup bersama dengan
orang lain secara bersahabat dan menyenangkan. Sejak dari anak usia dini,
proses dan substansi pembelajaran harus merebut setiap kesempatan untuk
mengejar aneka cabang ilmu yang mengarahkan pada tujuan ini.
2.1.1.6 Empat Dimensi Pendidikan
Menurut Danim (2011: 37) pendidikan adalah proses menjadikan manusia
berpendidikan. Ada empat dimensi yang harus dipenuhi untuk menjadi
berpendidikan. Dimensi dimaksud adalah agen pembelajaran, katalis belajar,
konteks pembelajaran, dan cita-cita yang terbangun dari hasil pembelajaran.
22
Agen pembelajaran siswa biasanya mengintegral dengan peran yang
ditampilkan oleh sekolah. Katalis belajar adalah seseorang atau sesuatu yang
bergerak dalam hubungan mendalam dengan dan berusaha memahami
bagaimana katalis itu cocok menjadi agen.
Konteks pembelajaran adalah semua aspek biologis, psikologis,
budaya, sosial, dan faktor ekologi lainnya yang membentuk bagaimana agen
tersebut berhubungan dengan katalis. Konteks pembelajaran merupakan
segala sesuatu yang akan menentukan kondisi klimaks dalam situasi belajar.
Materi pembelajaran harus membangkitkan obsesi anak untuk menjalankan
kehidupan di masyarakat atau melanjutkan studi pada jenjang yang lebih
tinggi.
2.1.1.7 Objek Pendidikan
Menurut Danim (2011: 38) objek pendidikan terdiri atas objek formal dan
objek material. Objek formal ilmu pendidikan adalah semua gejala insani, berupa
proses atau situasi pendidikan yang menunjukkan keadaan nyata yang dilakukan
atau dialami, serta harus dipahami oleh manusia. Objek materiil ilmu pendidikan
adalah manusia itu sendiri. Pemikiran ilmiah tentang pendidikan berkaitan dengan
objek pendidikan itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan proses atau situasi
pendidikan yang tersusun secara kritis, metodis, dan sistematis.
Teori tentang pendidikan memiliki cakupan yang luas. Pendidikan esensinya
adalah dunia ini, berupa apa pun yang bisa mempengaruhi atau mengubah
perilaku manusia. Ilmu pengetahuan bidang pendidikan mempelajari aneka
persoalan yang timbul dalam praktik pendidikan. Ilmu pendidikan pun
23
mempelajari suasana dan proses pendidikan secara menyeluruh, tidak hanya
dalam kerangka persekolahan, melainkan juga pendidikan di dalam keluarga, di
masyarakat, dan pendidikan oleh pribadi-pribadi secara individual.
2.1.1.8 Tujuan dan Fungsi Pendidikan
Tujuan dan fungsi pendidikan seseringnya sulit dibedakan, bahkan
dikacaukan. Menurut Danim (2011: 40) kata tujuan merujuk pada hasil,
sedangkan fungsi merujuk pada proses. Tujuan berkaitan dengan akhir sebuah
proses sedangkan fungsi merujuk pada hasil lain yang mungkin terjadi sebagai
konsekuensi proses pendidikan itu. Kata tujuan bermakna penyengajaan,
sementara fungsi lebih bermakna efek alami yang ditimbulkan dari sebuah proses
untuk mencapai tujuan itu.
Secara tradisional tujuan utama pendidikan adalah transfer
pengetahuan atau proses membangun manusia menjadi berpendidikan.Transfer
pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah atau di lembaga pelatihan adalah
sesuatu yang terjadi secara alami sebagai konsekuensi dari kepemilikan
pengetahuan oleh peserta didik. Karenanya tujuan pendidikan adalah seperti apa
yang dinyatakan,berikut segala upaya mencapainya. Fungsi diasumsikan terjadi
tanpa usaha yang diarahkan, lebih bersifat alami, untuk tidak disebut sebagai
kebetulan belaka.
2.1.1.9 Hukum Dasar Pendidikan
Dalam bidang pendidikan khususnya dalam ilmu kependidikan
keyakinan dikenal sebagai hukum atau teori dasar pendidikan. Menurut Danim
(2011: 47) ada empat hukum dasar pendidikan sebagai berikut.
24
a. Hukum Nativisme
Istilah nativisme berasal dari kata natie yang berarti “terlahir”
atau seperti “aslinya”. Oleh karena bawaan dan keberadaannya,
lingkungan sekitar tidak berdaya apa-apa dalam mempengaruhi
perkembangan anak alias tidak ada gunanya. Hukum nativisme beranjak
dari keyakinan bahwa perkembangan pribadi seseorang hanya ditentukan
oleh faktor hereditas atau faktor internal individu.
b. Hukum Naturalisme
Hukum naturalisme sering juga disebut negativisme, sebuah
pandagan negatif tentang manusia. Praksinya, guru wajib membiarkan
pertumbuhan anak pada alam. Menurut pandangn ini, pendidikan
sesungguhnya tidak diperlukan. Dengan menyerahkan pendidikan anak
ke alamnya, pembawaan mereka yang baik tidak menjadi rusak akibat
perlakuan atau intervensi guru melalui proses pendidikan atau
pembelajaran.
c. Hukum Empirisme
Menurut hukum empirisme pengetahuan dan keterampilan
manusia secara total dibentuk oleh pengalaman inderawi dan perlakuan
yang diterima oleh anak. Anak laksana biji besi yang mencair sehingga
bisa dibentuk seperti apa saja. Di sekolah, proses pembelajaran anak bisa
diformat sedemikian rupa. Ketika anak agak lemah dalam belajar,
kepadanya dapat diberikan pembelajaran tambahan atau remidial, sampai
dengan menjadi benar-benar mumpuni seperti apa yang dikehendaki.
25
2.1.2 Hakikat Manusia
Banyak pandangan tentang hakikat manusia. Kita tidak bisa memandang
hakikat manusia hanya dari salah satu sudut pandang saja. Beberapa pandangan
tentang hakikat manusia menurut beberapa ahli (Munib, 2010: 4) antara lain:
1. Menurut Socrates menyatakan bahwa hakikat manusia terletak pada budinya,
yang memungkinkan untuk menentukan hikmah dan kebaikan.
2. Plato menonjolkan peran pikir yang dapat melahirkan budi baik, dengan
demikian hakikat manusia terletak pada idenya.
3. Aristoteles menyatakan bahwa hakikat manusia terletak pada pikirnya tetapi
perlu dengan hasil pengamatan indera.
4. Para ahli psikologi menyatakan bahwa hakikat manusia sebagai aktivitas
rohani, jasmani, merupakan alat dari rohani.
5. Notonegara menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk monodulaisme
antara jiwa dan raga tidak dapat dipisahkan. Manusia memiliki sifat benda tak
hidup, tumbuhan, dan hewani sekaligus.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia ialah makhluk yang hidup
secara berdampingan dengan makhluk lain (manusia) yang memiliki hati nurani
serta dapat membedakan mana yang baik dan buruk dan selalu mendekatkan diri
dengan Tuhan.
2.1.3 Psikologi Pendidikan
Psikologi berasal dari 2 kata bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa
dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu tentang jiwa
26
atau ilmu jiwa. Psikologi adalah ilmu mengenai tingkah laku (the science of
behavior), dan lain-lain definisi yang sangat bergantung pada sudut pandang yang
mendefinisikannya (Dalyono, 2009: 2). Menurut Glover dan Ronning (1987)
menyatakan bahwa psikologi mengkaji topik tentang perkembangan, perbedaan
individu, pengukuran, belajar dan motivasi manusia (Rifa’i, Achmad, 2012: 1).
Adapun mengenai Pendidikan berasal dari kata didik mendapat awalan
me- sehingga menjadi mendidik, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam
memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan
pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1991: 232). Menurut Dalyono, 2009: 4 dalam pengertian yang agak
luas, pendidikan diartikan sebagai proses dengan metode-metode tertentu
sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku
yang sesuai dengan kebutuhan.
Psikologi pendidikan merupakan kajian tentang manusia belajar di latar
pendidikan, efektivitas intervensi pendidikan, psikologi pembelajaran, dan
psikologi sosial tentang sekolah sebagai organisasi. Menurut Stephen menyatakan
bahwa psikologi pendidikan merupakan kajian sistematik tentang pertumbuhan
pendidikan dan perkembangan anak. Sedangkan menurut Huit (2001) menyatakan
bahwa psikologi pendidikan merupakan disiplin ilmiah untuk memahami proses
pembelajaran dan belajar yang terjadi di lingkungan formal dan mengembangkan
cara-cara memperbaiki prosedur dan kegiatan belajar mengajar. Dinyatakan pula
bahwa psikologi pendidikan berkaitan dengan kajian teori belajar, metode
27
pembelajaran, motivasi, perkembangan kognitif, emosional dan moral, serta
hubungan antara orang tua dengan anak (Rifa’i, Achmad, 2012: 2).
Dengan demikian disimpulkan bahwa psikologi pendidikan merupakan
penerapan prinsip-prinsip dan metode psikologi untuk mengkaji perkembangan,
belajar, motivasi, pembelajaran, penilaian, dan isu-isu terkait yang mempengaruhi
interaksi belajar mengajar.
2.1.4 Belajar
2.1.4.1 Hakikat Belajar
Menurut Slameto (2013:2) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yaitu tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. Sedangkan belajar menurut Sadirman (2012: 21) menyatakan
bahwa belajar berarti usaha mengubah tingkah laku siswa untuk menuju ke
perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang menyangkut unsur cipta, rasa dan
karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Secara umum, belajar boleh
dikatakan juga sebagai suatu proses interaksi antar diri manusia dengan
lingkungannya, yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori.
Selain itu, menurut Morgan (dalam Rifa’i dan Anni, 2012: 66) menyatakan bahwa
belajar merupakan perubahan relatif permanen yang terjadi karena hasil dari
praktik atau pengalaman. Dari berbagai pendapat tentang pengertian belajar oleh
para ahli, Rifa’i dan Anni (2012: 66-67) menyebutkan ada tiga unsur utama dalam
konsep belajar yaitu: (1) belajar berkaitan dengan perubahan perilaku; (2)
28
perubahan perilaku itu terjadi karena didahului oleh pengalaman; (3) perubahan
perilaku karena belajar bersifat permanen.
Dari pengertian belajar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan suatu proses perubahan perilaku seseorang sebagi hasil interaksi sosial
dari pengalaman dan pengetahuan yang di telah diperoleh.
2.1.4.2 Teori Belajar Kognitif menurut Jean Piaget
Menurut Piaget (dalam Suyono, dan Hariyanto, 2014: 83), setiap anak
mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahapan yang teratur. Proses
berpikir anak merupakan suatu aktivitas gradual, tahap demi tahap dari fungsi
intelektual, dari konkret menuju abstrak. Secara garis besar skema yang
digunakan untuk memahami dunianya dibagi dalam empat periode utama atau
tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Periode Sensori Motor (0 – 2) tahun.
Karateristik periode ini merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi
langsung dari rangsangan. Dalam dua tahun pertama kehidupannya, bayi dapat
memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba, memegang, mengecap,
mencium, mendengarkan dan menggerakkan anggota tubuh. Dengan kata lain
mereka mengandalkan kemampuan sensorik dan motoriknya.
b. Periode Pra-operasional (2 – 7) tahun.
Saat ini kecenderungan anak untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya
tentang realitas sangatlah menonjol. Dengan adanya perkembangan bahasa dan
ingatan, anak pun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Operasi
yang dimaksud di sini adalah suatu proses berpikir atau logika, dan aktivitas
29
mental, bukan aktivitas sensori motor. Pada periode ini anak di dalam berpikirnya
tidak didasarkan kepada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada
keputusan yang dapat dilihat seketika. Periode ini sering disebut juga periode
pemberian simbol, misalnya suatu benda diberi nama (simbol).
c. Periode operasi kongkret (7 – 11) tahun.
Pada periode ini adalah masa anak usia SD. Dalam usahanya mengerti tentang
alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang
datang dari panca indera. Anak yang sudah mampu berpikir secara operasi
konkret, juga sudah menguasai pembelajaran penting, yaitu bahwa ciri yang
ditangkap oleh pancaindera seperti besar, bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa
harus mempengaruhi, misalnya kuantitas objek yang bersangkutan.
d. Periode Operasi Formal (> 11) tahun.
Sejak tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak, yaitu berpikir mengenai ide,
mereka sudah mampu memikirkan beberapa alternative pemecahan masalah.
Mereka sudah dapat mengembangkan hokum-hukum yang berlaku umum dan
pertimbangan ilmiah. Mereka telah mampu menyusun hipotesis serta membuat
kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, model berpikir
ilmiah hipotetiko-deduktif dan induktif sudah mulai dimiliki anak, dengan
kemampuan menarik simpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesis.
Sehingga pada tahap ini anak sudah dapat bekerja secara efektif dan sistematis,
secara proporsional, serta menarik generalisasi secara mendasar.
Menurut Piaget (Suyono, dan Hariyanto, 2014: 86), bahwa belajar akan
lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta
30
didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen
dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan
dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan
rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara
aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
2.1.4.3 Tujuan Belajar
Diantara beberapa tujuan belajar adalah sebagai berikut: (Sadirman, 2008:28)
a. Untuk mendapatkan pengetahuan
Hal ini di tandai dengan kemampuan berpikir. Pemilikan pengetahuan dan
berpikir sebagai yang tidak bisa dipisahkan. Dengan kata lain tidak dapat
mengembangkan kemampuan berpikir tanpa bahan pengetahuan, sebaliknya
kemampuan berpikir akan memperkaya pengetahuan. Tujuan ialah yang memiliki
kecenderungan lebih besar perkembangannya di dalam kegiatan belajar. Dalam
hal ini peran guru sebagai pengajar lebih menonjol.
b. Penanaman konsep dan keterampilan
Penanaman konsep atau merumuskan konsep atau merumuskan konsep,
juga memerlukan suatu keterampilan. Keterampilan itu dapat diperoleh dengan
banyak melatih kemampuan.
c. Pembentukan sikap
Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru
harus lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk ini dibutuhkan
kecakapan mengarahkan motivasi dan berpikir dengan tidak lupa menggunakan
pribadi guru sendiri sebagai contoh.
31
2.1.4.4 Faktor-faktor dalam Belajar
Belajar sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor dalam
belajar menurut Slameto (2013: 54) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu. Faktor internal dapat
dibagi menjadi tiga faktor, yaitu faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor
kelelahan.
1) Faktor jasmaniah
a) Faktor kesehatan: Seseorang dapat belajar dengan baik, maka kesehatannya
juga harus di jaga dengan baik yaitu dengan hidup teratur.
b) Cacat tubuh: Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Siswa yang
cacat, belajarnya juga akan terganggu. Jika hal ini terjadi, maka ia harus
mengusahakan alat bantu agar dapat menghindari atau mengurangi pengaruh
kecacatannya tersebut.
2) Faktor psikologis
1) Intelegensi: Intelegensi besar pengaruhnya bagi kemajuan belajar. Dalam
situasi yang sama, siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi akan
lebih berhasil daripada siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah.
Walaupun begitu, siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi belum
pasti berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan belajar adalah suatu proses
kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Siswa yang mempunyai
32
tingkat intelegensi yang normal dapat berhasil dengan baik dalam belajar, jika ia
belajar dengan baik (Slameto, 2013: 56).
2) Perhatian: Siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang
dipelajarinya agar hasil belajarnnya juga baik. Jika bahan pelajaran tidak menjadi
perhatian siswa, maka akan timbul kebosanan.
3) Minat: Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang beberapa kegiatan. Minat mempunyai pengaruh yang besar terhadap
belajar. Karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat
siswa, maka tidak akan belajar dengan baik, sebab tidak ada daya Tarik untuk diri
siswa.
4) Bakat: Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan
terealisasi menjadi kecakapan yang nyata setelah belajar dan berlatih. Bakat
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi belajar. Jika bahan pelajaran
yang dipelajari siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasilnya lebih baik.
5) Motif: Motif erat kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai. Motif juga erat
kaitannya dengan motivasi. Menurut Slavin (dalam Rifa’i dan Anni, 2012: 159),
motivasi merupakan proses internal yang mengaktifkan, memandu, dan
memelihara perilaku seseorang secara terus menerus. Motif belajar sangat penting
untuk membuat siswa melakukan aktivitas belajar. Siswa yang mempunyai motif
belajar yang tinggi menunjukkan proses kognitif yang tinggi dalam belajar
menyerap, dan mengingat apa yang telah dipelajari.
33
6) Kematangan: Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan
seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan
baru. Belajar akan lebih berhasil jika anak sudah siap (matang).
7) Kesiapan: Kesiapan merupakan kesediaan untuk memberi respon atau bereaksi.
Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan
kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan.
Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses belajar, karena jika siswa sudah
mempunyai kesiapan dalam belajar, maka hasil belajarnya akan baik.
3) Faktor kelelahan
Pada saat tubuh mengalami kelelahan, maka semangat belajar juga akan menurun.
Agar siswa dapat belajar dengan baik, kelelahan ini harus dihindari dengan
menjaga kondisi dan kesehatan tubuh.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri individu. Faktor
eksternal yang mempengaruhi belajar meliputi faktor keluarga. Faktor sekolah dan
faktor masyarakat.
1) Faktor keluarga
Keluarga merupakan tempat dimana individu belajar, untuk pertama
kalinya. Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga. Pengaruh-
pengaruh tersebut dapat berupa cara orang tua mendidik, hubungan antar anggota
keluarga, suasana di dalam rumah dan keadaan ekonomi keluarga.
2) Faktor sekolah
34
Sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap belajar siswa. Faktor
sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode mengajar, kurikulum,
hubungan guru dengan siswa, hubungan siswa dengan siswa, disiplin sekolah,
pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung sekolah, sarana
dan prasarana yang tersedia, metode belajar, dan tugas rumah. Jika faktor-faktor
tersebut berjalan dengan baik maka hasil belajar yang didapat siswa juga akan
baik.
3) Faktor masyarakat
Masyarakat merupakan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap belajar
siswa. Pengaruh tersebut terjadi karena keberadaan siswa dalam masyarakat.
Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap perkembangan
pribadi siswa. Selain itu, hal lain yang mempengaruhi siswa yang berasal dari
masyarakat adalah teman bergaul. Teman bergaul yang baik akan berpengaruh
baik terhadap diri siswa. Sebaliknya, teman bergaul yang buruk juga akan
berpengaruh buruk pada perilaku siswa. Sejalan dengan itu, bentuk kehidupan di
dalam masyarakat juga berpengaruh buruk pada perilaku siswa. Sejalan dengan
itu, bentuk kehidupan di dalam masyarakat juga berpengaruh terhadap belajar
siswa. Lingkungan masyarakat yang baik akan memberikan pengaruh yang baik
terhadap hasil belajar siswa, sedangkan lingkungan belajar yang tidak baik juga
akan memberikan pengaruh yang buruk terhadap perilaku dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses dan
hasil belajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Belajar yang
menghasilkan hasil belajar, yang optimal harus memperhatikan faktor internal
35
siswa seperti minat, kematangan, kesiapan siswa dan yang lain, serta didukung
dengan faktor eksternal agar menciptakan proses belajar yang baik.
2.1.5 Guru
Seorang guru ideal merupakan guru profesional. Guru profesional
merupakan guru yang bisa melakukan tugasnya dengan baik. Profil seorang guru
ideal sama halnya dengan guru profesional. Menurut Undang-Undang No. 14
tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen pasal 10 ayat 1 kompetensi guru meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Menurut
Djumiran (2009: 3.12) penjelasan keempat kompetensi guru tersebut adalah
sebagai berikut :
2.1.5.1 Kompetensi Pedagogik, adalah (1)menata ruang kelas, (2)menciptakan
iklim kelas yang kondusif. (3)memotivasi siswa agar bergairah belajar,
(4)memberi penguatan verbal maupun non verbal (5)memberikan petunjuk-
petunjuk yang jelas kepada siswa, (6)tanggap terhadap gangguan kelas,
(7)menyegarkan kelas jika kelas mulai lelah.
2.1.5.2 Kompetensi Kepribadian, adalah (1)beriman dan bertaqwa kepada tuhan
yang maha esa, (2)memahami tujuan pendidikan dan pembelajaran, (3)memahami
diri (mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya), (4)mengembangkan diri,
(5)menunjukkan keteladanan kepada peserta didik, (6)menunjukkan sikap
demokratis, toleran, tenggang rasa, jujur, adil, tanggung jaw eab, disiplin, santun,
bijaksana dan kreatif.
36
2.1.5.3 Kompetensi Sosial, adalah (1)luwes bergaul dengan siswa, sejawat dan
masyarakat, (2)bersikap ramah, akrab dan hangat terhadap siswa, sejawat dan
masyaraka, (3)bersikap simpatik dan empatik, (4)mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial.
2.1.5.4 Kompetensi Profesional, adalah Menurut Rusman (2013: 49) kriteria
kompetensi professional guru adalah sebagai berikut: (1)menguasai materi,
struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang
diampu, (2)menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, (3)mengembangkan materi
pelajaran yang diampu secara kreatif (4)mengembangkan keprofesional secara
berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, (5)memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Semua orang yakin bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap
keberhasilan pembelajaran terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru
sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan
tujuan hidupnya secara optimal. Untuk memenuhi tuntutan sebagai guru, harus
mampu memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang
pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik. Berikut
beberapa peran guru (Mulyasa, 2013: 37):
a. guru sebagai pendidik
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para
peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu guru harus memiliki standar
37
kualitas pribadi tertentu, yang guru harus memiliki standar kualitas pribadi
tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin.
b. guru sebagai pengajar
Guru bertugas menyampaikan materi pembelajaran, namun seiring
berkembangannya teknologi mengubah peran guru dari pengajar menjadi
fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar. Peserta didik dapat
belajar dari berbagai sumber seperti radio, televise, berbagai film pembelajaran
bahkan program internet. Sebagai pengajar guru harus memiliki tujuan yang
jelas, membuat keputusan secara rasional agar peserta didik memahami
keterampilan yang dituntut oleh pembelajaran.
c. guru sebagai pembimbing
Guru dapat diartikan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran
perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik
tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreativitas, moral, dan spiritual yang
lebih dalam dan kompleks. Pertama, guru harus merancangkan tujuan dan
mngidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai. Tugas guru adalah
menetapkan apa yang telah dimiliki oleh peserta didik sehubungan dengan latar
belakang dan kemampuannya, serta kompetensi apa yang mereka perlukan
untuk dipelajari dalam mencapai tujuan, guru perlu melihat dan memahami
seluruh aspek perjalanan. Kedua, guru harus melihat keterlibatan peserta didik
dalam pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta didik
melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya jasmaniah, tetapi mereka harus
38
terlibat secara psikologis. Dalam setiap hal peserta didik harus belajar, untuk
itu mereka harus memiliki pengalaman dan kompetensi yang dapat
menimbulkan kegiatan belajar. Ketiga, guru harus memaknai kegiatan belajar.
Hal ini mungkin merupakan tugas paling sukar tetapi penting, karena guru
harus memberikan kehidupan dan arti terhadap kegiatan belajar. Keempat guru
harus melaksanakan penilaian terhadap kegiatan pembelajaran, yang hasilnya
sangat bermanfaat terutama untuk memperbaiki kualitas pembelajaran.
d. guru sebagai model dan teladan
Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang
yang menganggap dia sebagai guru. Beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian oleh guru diantaranya sikap dasar, bicara dan gaya bicara, kebiasaan
bekerja, sikap melalui pengalaman dan kesalahan, pakaian, hubungan
kemanusiaan, proses berpikir, perilaku neurotis, selera, keputusan, kesehatan,
gaya hidup secara umum. Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan
antara apa yang ada pada dirinya, kemudian ia menyadari kesalahan ketika
memang bersalah. Kesalahan perlu diikuti dengan sikap merasa dan berusaha
unruk tidak mengulanginya.
2.1.6 Siswa
Siswa adalah subjek yang terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar di
sekolah. Dalam kegiatan tersebut siswa mengalami tindak mengajar, dan
merespon dengan tindak belajar (Dimyati, 2013: 22).
39
2.1.6.1 Pengertian Perkembangan Peserta Didik
Dalam proses pendidikan, peserta didik merupakan salah satu komponen
manusiawi yang menempati posisi sentral. Peserta didik menjadi pokok persoalan
dan tumpuan perhatian dalam semua proses transformasi yang disebut pendidikan.
Dalam perspektif pedagogis, peserta didik diartikan sebagai sejenis makhluk
“homo educandum” (Desmita, 2014: 39). Peserta didik dipandang sebagai
manusia yang memiliki potensi yang bersifat laten, sehingga dibutuhkan binaan
dan bimbingan untuk mengaktualisasikannya agar ia dapat menjadi manusia susila
yang cakap. Dalam perspektif psikologis, peserta didik adalah individu yang
sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun
psikis menurut fitrahnya masing-masing. Dalam perspektif Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 4, “peserta didik
diartikan sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya
melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi tentang peserta didik yang disebutkan di
atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik individu yang memiliki sejumlah
karakteristik, diantaranya (Desmita, 2014: 39):
a. peserta didik adalah individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas,
sehingga ia merupakan insan yang unik. Potensi-potensi khas yang dimilikinya
ini perlu dikembangkan dan diaktualisasikan sehingga mampu mencapai taraf
perkembangan yang optimal.
b. peserta didik adalah individu yang sedang berkembang. Artinya, peserta didik
tengah mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya secara wajar, baik yang
40
ditujukan kepada diri sendiri maupun yang diarahkan pada penyesuaian dengan
lingkungannya.
c. peserta didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan individual dan
perlakuan manusiawi. Sebagai individu yang sedang berkembang, maka proses
pemberian bantuan dan bimbingan perlu mengacu pada tingkat
perkembangannya.
d. peserta didik adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Dalam
perkembangannya peserta didik memiliki kemampuan untuk berkembang
kearah kedewasaan. Di samping itu, dalam diri peserta didik juga terdapat
kecenderungan pada pihak lain. Karena itu setahap demi setahap orangtua atau
pendidik perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mandiri
dan bertanggung jawab sesuai dengan kepribadiannya sendiri.
2.1.6.2 Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar (SD)
Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan
selesai pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian tahapan
perkembangan anak, berarti anak usia sekolah berada dalam dua masa
perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9 tahun), dan masa kanak-
kanak akhir (10-12 tahun). Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik yang
berbeda dengan anak-anak yang usiannya lebih muda. Ia senang bermain, senang
bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan
sesuatu secara langsung. Oleh sebab itu, guru hendaknya mengembangkan
pembelajaran yang mengandung unsur permainan, mengusahakan siswa
berpindah atau bergerak, bekerja atau belajar dalam kelompok, serta memberikan
41
kesempatan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran. Menurut Havighurst
(dalam Desmita, 2014: 35) tugas dan perkembangan anak usia sekolah dasar
meliputi:
a. menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas
fisik.
b. membina hidup sehat.
c. belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.
d. belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.
e. belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam
masyarakat.
f. memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efektif.
g. mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai.
h. mencapai kemandirian pribadi.
Dalam upaya mencapai setiap tugas perkembangan tersebut, guru dituntut untuk
memberikan bantuan berupa:
1) menciptakan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik.
2) melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar bergaul dan bekerja dengan teman sebaya sehingga kepribadian
sosialnya berkembang.
3) mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang
konkret atau langsung dalam membangun konsep.
42
4) melaksanakan pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai-nilai, sehingga
siswa mampu menentukan pilihan yang stabil dan menjadi pegangan bagi
dirinya.
2.1.7 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
2.1.7.1 Anak-anak Berkelainan Fisik
a. Klasifikasi Anak Tunanetra
Anak tunanetra, adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau
gangguan fungsi penglihatan, yang memiliki tingkatan atau klasifikasi yang
berbeda-beda. secara pedagogis membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam
belajarnya di sekolah. Berdasarkan tingkatannya, dapat diklasifikasi sebagai
berikut:
1) Low vision (kurang lihat), yaitu penyandang tunanetra yang memiliki
ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m. Kondisi yang demikian sesungguhnya
penderita masih dapat melihat dengan bantuan alat khusus. Selanjutnya untuk
seseorang yang mengalami kelainan penglihatan katergori berat, atau The
blind, yaitu penyandang tunanetra yang memiliki tingkat ketajaman
penglihatan 6/60m atau kurang. Untuk yang kategori berat ini, masih ada dua
kemungkinan (1)penderita adakalanya masih dapat melihat gerakan-gerakan
tangan, ataupun (2)hanya dapat membedakan gelap dan terang. Sedangkan
tunanetra yang memilki ketajaman penglihatan dengan visus 0, sudah sama
sekali tidak dapat melihat.
2) Berdasarkan adaptasi Pedagogis, Kirk, SA (1989) mengklasifikasikan
penyandang tunanetra berdasarkan kemampuan penyesuaiannya dalam
43
pemberian layanan pendidikan khusus yang diperlukan. Klasifikasi dimaksud
adalah: Kemampuan melihat sedang (moderate visual disability), dimana pada
taraf ini mereka masih dapat melaksanakan tugas-tugas visual yang dilakukan
orang awas dengan menggunakan alat bantu khusus serta dengan bantuan
cahaya yang cukup. Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual
disability). Pada taraf ini, mereka memiliki penglihatan yang kurang baik, atau
kurang akurat meskipun dengan menggunakan alat Bantu visual dan
modifikasi, sehingga mereka membutuhkan banyak dan tenaga dalam
mengerjakan tugas-tugas visual. Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat
(profound visual disability) Pada taraf ini mereka mengalami kesulitan dalam
melakukan tugastugas visual, dan tidak dapat melakukan tugas-tugas visual
yang lebih detail seperti membaca dan menulis. Untuk itu mereka sudah tidak
dapat memanfaatkan penglihatannya dalam pendidikan, dan mengandalkan
indra perabaan dan pendengaran dalam menempuh pendidikan.
Karakteristik anak-anak tunanetra adalah:
1. Segi Fisik Secara fisik anak-anak tunanetra, nampak sekali adanya kelainan
pada organ penglihatan/mata, yang secara nyata dapat dibedakan dengan anak-
anak normal pada umumnya hal ini terlihat dalam aktivitas mobilitas dan respon
motorik yang merupakan umpan balik dari stimuli visual.
2. Segi Motorik Hilangnya indera penglihatan sebenarnya tidak berpengaruh
secara langsung terhadap keadaan motorik anak tunanetra, tetapi dengan
hilangnya pengalaman visual menyebabkan tunanetra kurang mampu melakukan
orientasi lingkungan. Sehingga tidak seperti anak-anak normal, anak tunanetra
44
harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu
lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
3. Perilaku Kondisi tunanetra tidak secara langsung menimbulkan masalah atau
penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut
berpengaruh pada perilakunya. Anak tunanetra sering menunjukkan perilaku
stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya. Manifestasi
perilaku tersebut dapat berupa sering menekan matanya, membuat suara dengan
jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar. Ada
beberapa teori yang mengungkap mengapa tunanetra kadang-kadang
mengembangkan perilaku stereotipnya. Hal itu terjadi mungkin sebagai akibat
dari tidak adanya rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak di dalam
lingkungan, serta keterbatasan sosial. Untuk mengurangi atau menghilangkan
perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktivitas, atau dengan
mempergunakan strategi perilaku tertentu, seperti memberikan pujian atau
alternatif pengajaran, perilaku yang lebih positif, dan sebagainya.
4. Akademik Secara umum kemampuan akademik, anak-anak tunanetra sama
seperti anak-anak normal pada umumnya. Keadaan ketunanetraan berpengaruh
pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca
dan menulis. Dengan kondisi yang demikian maka tunanetra mempergunakan
berbagai alternatif media atau alat untuk membaca dan menulis, sesuai dengan
kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan huruf braille
atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan asesmen dan
45
pembelajaran yang sesuai, tunanetra dapat mengembangkan kemampuan
membaca dan menulisnya seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat.
5. Pribadi dan Sosial Mengingat tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar
melalui pengamatan dan menirukan, maka anak tunananetra sering mempunyai
kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Sebagai akibat dari
ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, anak tunanetra
perlu mendapatkan latihan langsung dalam bidang pengembangan persahabatan,
menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik,
mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah, mempergunakan intonasi
suara atau wicara dalam mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang
tepat pada waktu melakukan komunikasi. Penglihatan memungkinkan kita untuk
bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi tunanetra mempunyai
keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut
mengakibatkan keterbatasan dalam memperoleh pengalaman dan juga
berpengaruh pada hubungan sosial. Dari keadaan tersebut mengakibatkan
tunanetra lebih terlihat memiliki sikap antara lain:
� curiga yang berlebihan pada orang lain, ini disebabkan oleh
kekurangmampuannya dalam berorientasi terhadap lingkungannya.
� mudah tersinggung. Akibat pengalaman-pengalaman yang kurang
menyenangkan atau mengecewakan yang sering dialami, menjadikan anak-
anak tunanetra mudah tersinggung.
� ketergantungan pada orang lain. Anak-anak tunanetra umumnya memilki sikap
ketergantungan yang kuat pada oranglain dalam aktivitas kehidupan sehari-
46
hari. Kondisi yang demikian umumnya wajar terjadi pada anak-anak tunanetra
berkenaan dengan keterbatasan yang ada pada dirinya.
b. Klasifikasi Anak Tunarungu
Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian
organ pendengaran atau telinga seseorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka
mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada di
sekitarnya. Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan mendengar,
yang umum dan khusus. Ada beberapa klasifikasi anak tunarungu secara umum,
yaitu:
1) Klasifikasisi umum
• The deaf, atau tuli, yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan
tingkat ketulian di atas 90 dB.
• Hard of Hearing, atau kurang dengar, yaitu penyandang tunarungu ringan atau
sedang, dengan derajat ketulian 20-90 dB.
2) Klasifikasi Khusus
• Tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian
25-45 dB yaitu sesorang yang mengalami ketunarunguan taaf ringan, dimana ia
mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara yang datangnya agak jauh. Pada
kondisi yang demikian, seseorang anak secara pedagogis sudah memerlukan
perhatian khusus dalam belajarnya di sekolah, misalnya dengan menempatkan
tempat duduk di bagian depan, yang dekat dengan guru.
• Tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat
ketulian 46-70 dB yaitu seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf sedang,
47
dimana ia hanya dapat mengerti percakapan pada jara 3-5 feet secara berhadapan,
tetapi tidak dapt mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak yang mengalami
ketunarunguan taraf ini memerlukan adanya alat bantu dengar (hearing aid), dan
memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan irama.
• Tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian
71 – 90 dB. Sesorang yang mengalami ketunarunguan taraf berat, hanya dapat
merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras. Siswa
dengan kategori ini juga memerlukan alat bantu dengar dalam mengikuti
pendidikannya di sekolah. Siswa juga sangat memerlukan adanya pembinaan atau
latihan-latihan komunikasi dan pengembangan bicaranya.
• Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang
mengalami tingkat ketulian 90 dB ke atas Pada taraf ini, mungkin seseorang
sudah tidak dapat merespon suara sama sekali, tetapi mungkin masih bisa
merespon melalui getarangetaran suara yang ada. Untuk kegiatan pendidikan dan
aktivitas lainnya, penyandang tunarungu kategori ini lebih mengandalkan
kemampuan visual atau penglihatannya.
Karakteristik anak tunarungu, diantaranya adalah:
1) Segi Fisik
• Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk. Akibat terjadinya permasalahan
pada organ keseimbangan pada telinga, menyebabkan anak-anak tunarungu
mengalami kekurangseimbangan dalam aktivitas fisiknya.
• Pernapasannya pendek, dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak pernah
mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana bersuara atau
48
mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang baik, sehingga mereka juga tidak
terbiasa mengatur pernapasannya dengan baik, khususnya dalam berbicara.
• Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indra yang
paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu, dimana sebagian besar
pengalamanannya diperoleh melalui penglihatan. Oleh karena itu anak-anak
tunarungu juga dikenal sebagai anak visual, sehingga cara melihatpun selalu
menunjukkan keingintahuan yang besar dan terlihat beringas.
2) Segi Bahasa
• Miskin akan kosakata
• Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan, atau idiomatic
• Tata bahasanya kurang teratur
3) Intelektual
• Kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu tidak
mengalami permasalahan dalam segi intelektual. Namun akibat keterbatasan
dalam berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan intelektual menjadi lamban
• Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Seiring
terjadinya kelambanan dalam perkembangan intelektualnya akibat adanya
hambatan dalam berkomunikasi, maka dalam segi akademiknya juga mengalami
keterlambatan.
4) Sosial-emosional
• Sering merasa curiga dan syak wasangka. Sikap seperti ini terjadi akibat adanya
kelainan fungsi pendengarannya. Mereka tidak dapat memahami apa yang
49
dibicarakan orang lain, sehingga anak-anak tunarungu menjadi mudah merasa
curiga.
• Sering bersikap agresif
c. Klasifikasi Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau
cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami
kelainan gerak dan kelumpuhan, yang sering disebut sebagai cerebral palsy (CP),
dengan klasifikasi sebagai berikut: Menurut tingkat kelainannya, anak-anak
tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Cerebral palsy (CP) yaitu ringan, dapat berjalan tanpa alat bantu, mampu
berbicara dan dapat menolong dirinya sendiri. Sedang, memerlukan bantuan
untuk berjalan, latihan berbicara, dan mengurus diri sendiri. Berat,
memerlukan perawatan tetap dalam ambulansi, berbicara, dan menolong diri
sendiri.
2) Berdasarkan letaknya yaitu spastic, kekakuan pada sebagian atau seluruh
ototnya. Dyskenisia, gerakannya tak terkontrol (athetosis), serta terjadinya
kekakuan pada seluruh tubuh yang sulit digerakkan (rigid). Ataxia, gangguan
keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi, dan cara
berjalannya gontai. Campuran, yang mengalami kelainan ganda
3) Polio yaitu tipe spinal, kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan
dan kaki. Tipe bulbair, kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf
tepi yang menyebabkan adanya gangguan pernapasan. Tipe bulbispinalis,
gangguan antara tipe spinal dan bulbair. Encephalitis, yang umumnya
50
ditandai dengan adanya demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-
kadang kejang.
Karakteristik Anak Tunadaksa sebagai berikut:
� Gangguan Motorik Gangguan motoriknya berupa kekakuan, kelumpuhan,
gerakan-gerakan yang tidak dapat dikendalikan, gerakan ritmis dan gangguan
keseimbangan. Gangguan motorik ini meliputi motorik kasar dan motorik
halus.
� Gangguan Sensorik Pusat sensoris pada manusia terleak otak, mengingat
anak cerebral palsy adalah anak yang mengalami kelainan di otak, maka
sering anak cerebral palsy disertai gangguan sensorik, beberapa gangguan
sensorik antara lain penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan
perasa. Gangguan penglihatan pada cerebral palsy terjadi karena
ketidakseimbangan otot-otot mata sebagai akibat kerusakan otak. Gangguan
pendengaran pada anak cerebral palsy sering dijumpai pada jenis athetoid.
� Gangguan Tingkat Kecerdasan Walaupun anak cerebral palsy disebabkan
karena kelainan otaknya tetapi keadaan kecerdasan anak cerebral palsy
bervariasi, tingkat kecerdasan anak cerebral palsy mulai dari tingkat yang
paling rendah sampai gifted. Sekitar 45% mengalami keterbelakangan mental,
dan 35% lagi mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas rata-rata.
Sedangkan sisanya cenderung dibawah rata-rata (Hardman, 1990).
� Kemampuan Berbicara Anak cerebral palsy mengalami gangguan wicara
yang disebabkan oleh kelainan motorik otot-otot wicara terutama pada organ
artikulasi seperti lidah, bibir, dan rahang bawah, dan ada pula yang terjadi
51
karena kurang dan tidak terjadi proses interaksi dengan lingkungan. Dengan
keadaan yang demikian maka bicara anak-anak cerebral palsy menjadi tidak
jelas dan sulit diterima orang lain.
� Emosi dan Penyesuaian Sosial Respon dan sikap masyarakat terhadap
kelainan pada anak cerebral palsy, mempengaruhi pembentukan pribadi anak
secara umum. Emosi anak sangat bervariasi, tergantung rangsang yang
diterimanya. Secara umum tidak terlalu berbeda dengan anak-anak normal,
kecuali beberapa kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dapat menimbulkan
emosi yang tidak terkendali. Sikap atau penerimaan masyarakat terhadap
anak cerebral palsy dapat memunculkan keadaan anak yang merasa rendah
diri atau kepercayaan dirinya kurang, mudah tersinggung, dan suka
menyendiri, serta kurang dapat menyesuaiakan diri dan bergaul dengan
lingkungan. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang
dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak
pasca polio dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik
terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian
anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk
berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi
kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak. Dalam kehidupan seharihari
anak perlu bantuan dan alat yang sesuai. Keadaan kapasitas kemampuan
intelektual anak gangguan gerak otot ini tidak berbeda dengan anak normal.
2.1.7.2 Anak Berkelainan Mental Emosional
a. Klasifikasi Anak Tunagrahita
52
Untuk memahami klasifikasi anak tunagrahita maka perlu disesuaikan
dengan klasifikasinya karena setiap kelompok tunagrahita memiliki klasifikasi
yang berbeda-beda. Ada beberapa klasifikasi atau pengelompokkan tunagrahita
berdasarkan berbagai tinjauan diantaranya:
1) berdasarkan kapasitas intelektual (sekor IQ) yaitu tunagrahita ringan IQ (50-
70), tunagrahita sedang IQ (35-50), tunagrahita berat IQ (20-35), tunagrahita
sangat berat memiliki IQ di bawah 20.
2) berdasarkan kemampuan akademik yaitu tunagrahita mampudidik,
tunagrahita mampulatih, tunagrahita perlurawat.
3) Berdasarkan tipe klinis pada fisik yaitu Down’s Syndrone (Mongolism),
Macro Cephalic (Hidro Cephalic), Micro Cephalic.
Pengklasifikasian anak tunagrahita perlu dilakukan untuk memudahkan
guru dalam menyusun program layanan/pendidikan dan melaksanakannya secara
tepat. Perlu diperhatikan bahwa perbedaan individu (individual deferences) pada
anak tunagrahita bervariasi sangat besar, demikian juga dalam pengklasifikasi
terdapat cara yang sangat bervariasi tergantung dasar pandang dalam
pengelompokannya. Klasifikasi tersebut sebagai berikut:
1) klasifikasi yang berpandangan medis, dalam bidang ini memandang variasi
anak tunagrahita dari keadaan tipe klinis di antaranya:
� down syndrom (dahulu disebut mongoloid) pada tipe ini terlihat raut rupanya
menyerupai orang mongol dengan ciri: mata sipit dan miring, lidah tebal dan
terbelah-belah serta biasanya menjulur keluar, telinga kecil, tangan kering,
semakin dewasa kulitnya semakin kasar, pipi bulat, bibir tebal dan besar,
53
tangan bulat dan lemah, kecil, tulang tengkorak dari muka hingga belakang
tampak pendek.
� kretin pada tipe ini nampak seperti orang cebol dengan ciri: badan pendek,
kaki tangan pendek, kulit kering, tebal, dan keriput, rambut kering, kuku
pendek dan tebal.
� hydrocephalus gejala yang nampak adalah semakin membesarnya cranium
(tengkorak kepala) yang disebabkan oleh semakin bertambahnya atau
bertimbunnya cairan cerebro-spinal pada kepala. Cairan ini memberi tekanan
pada otak besar (cerebrum) yang menyebabkan kemunduran fungsi otak.
� microcephalus, macrocephalus, brachicephalus dan schaphocephalus
keempat istilah tersebut menunjukkan kelainan bentuk dan ukuran kepala,
yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut: microcephalus (bentuk
ukuran kepala yang kecil), macrocephalus (bentuk ukuran kepala lebih besar
dari ukuran normal), brachicephalus (bentuk kepala yang melebar),
schaphocephalus (memiliki ukuran kepala yang panjang sehingga menyerupai
menara).
� cerebral palsy (kelompok kelumpuhan pada otak) kelumpuhan pada otak
mengganggu fungsi kecerdasan, di samping kemungkinan mengganggu pusat
koordinasi gerak, sehingga kelainan cerebral palsy terdiri tunagrahita dan
gangguan koordinasi gerak, gangguan koordinasi gerak menjadi kajian bidang
penanganan tunadaksa, sedangkan gangguan kecerdasan menjadi kajian
bidang penanganan tunagrahita.
54
� Rusak otak (Brain Damage) kerusakan otak berpengaruh terhadap berbagai
kemampuan yang dikendalikan oleh pusat susunan saraf yang selanjutnya
dapat terjadi gangguan kecerdasan, gangguan pengamatan, gangguan tingkah
laku, gangguan perhatian, gangguan motorik.
2) Klasifikasi yang berpandangan pendidikan, memandang variasi anak
tunagrahita dalam kemampuannya mengikuti pendidikan. Kalangan American
Education (Moh. Amin, 1995:21) mengelompokkan menjadi Educable mentally
retarded, Trainable mentally retarded dan Totally/costudial dependent yang
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yaitu mampu didik, mampu latih, dan
perlu rawat. Pengelompokan tersebut sebagai berikut:
� mampu didik, anak ini setingkat dengan mild, borderline, marginally
dependent, moron, dan debil, IQ berkisar 50/55-70/75.
� mampu latih, setingkat dengan morderate, semi dependent, imbesil, dan
memiliki tingkat kecerdasan IQ berkisar 20/25-50/55.
� perlu rawat, mereka termasuk totally dependent or profoundly mentally
retarded, severe, idiot, dan tingkat kecerdasannya IQ berkisar 0/5-20/25.
3) Klasifikasi yang berpandangan sosiologis memandang variasi tunagrahita
dalam kemampuannya mandiri di masyarakat, atau peran yang dapat
dilakukan masyarakat. Menurut AAMD (Amin, 1995:22-24) klasifikasi itu
sebagai berikut:
� tunagrahita ringan; tingkat kecerdasan mereka berkisar 50-70, dalam
penyesuaian sosial maupun bergaul, mampu menyesuaikan diri pada
55
lingkungan sosial yang lebih luas dan mampu melakukan pekerjaan setingkat
semi terampil.
� tunagrahita sedang; tingkat kecerdasan mereka berkisar antara 30-50; mampu
melakukan keterampilan mengurus diri sendiri (self-helf), mampu
mengadakan adaptasi sosial di lingkungan terdekat; dan mampu mengerjakan
pekerjaan rutin yang perlu pengawasan atau bekerja di tempat kerja
terlindung (sheltered work-shop).
� tunagrahita berat dan sangat berat, mereka sepanjang kehidupannya selalu
tergantung bantuan dan perawatan orang lain. Ada yang masih mampu dilatih
mengurus sendiri dan berkomunikasi secara sederhana dalam batas tertentu,
mereka memiliki tingkat kecerdasan kurang dari 30.
4) Klasifikasi yang dikemukakan oleh Leo Kanner (Amin, 1995:22-24), dan
ditinjau dari sudut tingkat pandangan masyarakat sebagai berikut:
� tunagrahita absolut, termasuk kelompok tunagrahita yang jelas nampak
ketunagrahitannya baik berada di pedesaan maupun perkotaan, di masyarakat
petani maupun masyarakat industri, di lingkungan sekolah, lingkungan
keluarga dan di tempat pekerjaan. Golongan ini penyandang tunagrahita
kategori sedang.
� tunagrahita relatif, termasuk kelompok tunagrahita yang dalam masyarakat
tertentu dianggap tunagrahita, tetapi di tempat masyarakat lain tidak
dipandang tunagrahita. Anak tunagrahita dianggap demikian ialah anak
tunagrahita ringan karena masyarakat perkotaan yang maju dianggap
56
tunagrahita dan di masyarakat pedesaan yang masih terbelakang dipandang
bukan tunagrahita.
� tunagrahita semu (pseudo mentally retarded) yaitu anak tunagrahita yang
menunjukan penampilan sebagai penyandang tunagrahita tetapi
sesungguhnya ia mempunyai kapasitas kemampuan yang normal. Misalnya
seorang anak dikirim ke sekolah khusus karena menurut hasil tes
kecerdasannya rendah, tetapi setelah mendapat pengajaran remedial dan
bimbingan khusus menjadikan kemampuan belajar dan adaptasi sosialnya
normal.
5) Klasifikasi menurut tingkat kecerdasan (IQ), dikemukakan oleh Grosman
(Hallahan & Kauffman, 1988:48) sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Menurut Tingkat Kecerdasan
Klasifikasi tunagrahita dari berbagai pandangan tersebut jika dipadukan akan
membentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi Tunagrahita
Kemampuan dalam Sosiologis Tingkat Tingkat
TERM IQ RANGE FOR LEVELMild Mental Retardation
Mederate Mental Retardation
Severe Mental Retardation
Profound Mental Retardation
55-70 to Aprox, 70
35-40 to 50-55
20-25 to 35-40
bellow 20 or 25
57
pendidikan kecacatan kecerdasan (IQ)mampu didik ringan,mild, marginally,
dependent, moron
debil 55-70 to aprox 70
mampu latih sedang, moderate, semi
dependent.
imbesil 35-40 to 50-55
perlu rawat berat, severe, totally dependent,
profound.
idiot 20-25 to 35-40
bellow 20 or 25
b. Klasifikasi Anak Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang
ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam
lingkungan sosialnya. Pada hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki
kemampuan intelektual yang normal, atau tidak berada di bawah rata-rata.
Kelainan lebih banyak banyak terjadi pada perilaku sosialnya. Beberapa
klasifikasi yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami
kelainan perilaku sosial ini adalah:
1) Berdasarkan perilakunya
• beresiko tinggi: hiperaktif suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak milik
sendiri atau orang lain, melawan, sulit konsentrasi, tidak mau bekerjasama, sok
aksi, ingin menguasai oranglain, mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak
dapat dipercaya, suka mencuri, mengejek, dan sebagainya.
• beresiko rendah: autism, kawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak mau
bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis, malu, dan
sebagainya.
• kurang dewasa; suka berfantasi, berangan-anagan, mudah dipengaruhi, kaku,
pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya.
58
Beberapa karakteristik yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan
khusus yang mengalami kelainan perilaku sosial ini adalah:
1) Karakteristik umum yaitu mengalami gangguan perilaku; suka berkelahi,
memukul, menyerang, merusak milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit
konsentrasi, tidak mau bekerjasama, sok aksi, ingin menguasai oranglain,
mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka
mencuri, mengejek, dan sebagainya. Mengalami kecemasan; kawatir, cemas,
ketakutan, merasa tertekan, tidak mau bergaul, menarik diri, kurang percaya
diri, bimbang, sering menangis, malu, dan sebagainya. Kurang dewasa; suka
berfantasi, berangan-anagan, mudah dipengaruhi, kaku, pasif, suka
mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya. Agresif; memiliki gang jahat, suka
mencuri dengan kelompoknya, loyal terhadap teman jahatnya, sering bolos
sekolah, sering pulang larut malam, dan terbiasa minggat dari rumah.
2) Sosial /emosi yaitu sering melanggar norma masyarakat, sering mengganggu
dan bersifat agresif, secara emosional sering merasa rendah diri dan
mengalami kecemasan
3) Karakteristik akademik yaitu hasil belajarnya seringkali jauh di bawah rata-
rata, seringkali tidak naik kelas, sering membolos sekolah, seringkali
melanggar peraturan sekolah dan lalulintas.
2.1.7.3 Anak Berkelainan Akademik
a. Klasifikasi Anak Berbakat
Anak berbakat dalam konteks ini adalah anak-anak yang mengalami
kelainan intelektual di atas rata-rata. Beberapa klasifikasi yang menonjol dari
59
anak-anak berbakat umumnya hanya dilihat dari tingkat intelegensinya,
berdasarkan standar Stanford Binet, yaitu meliputi kategori rata-rata tinggi dengan
tingkat kecerdasan (IQ) 110-119. Kategori superior, dengan tingkat kapasitas
intelektual (IQ) 120-139. Kategori sangat superior, dengan tingkat intelektual (IQ)
140-169.
Ketiga klasifikasi tersebut, sebenarnya yang masuk kategori anak berbakat
dalam kontek pendidikan anak berkebutuhan khusus. Klasifikasi anak berkesulitan
belajar, berkesulitan belajar merupakan salah satu jenis anak berkebutuhan khusus
yang ditandai dengan adanya kesulitan untuk mencapai standar kompetensi
(prestasi) yang telah ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional.
Learning disability merupakan suatu istilah yang mewadahi berbagai jenis
kesulitan yang dialami anak terutama yang berkaitan dengan masalah akademis.
Adapun klasifikasi anak berkesulitan belajar spesifik yang merupakan jenis
kelainan unik tidak ada kesamaan antara penderita satu dengan lainnya. Untuk
mengklasifikasikan anak berkesulitan belajar spesifik dapat dilakukan berdasar
pada tingkat usia dan juga jenis kesulitannya, yaitu:
1) Kesulitan Berlajar Perkembangan Pengelompokkan kesulitan belajar pada
anak usia di bawah 5 tahun (balita) adalah kesulitan belajar perkembangan,
hal ini dikarenakan anak balita belum belajar secara akademis, tetapi belajar
dalam proses kematangan prasyarat akademis, seperti kematangan persepsi
visual auditory, wicara, daya deferensiasi, kemampuan sensory-motor dsb.
2) Kesulitan Belajar Akademik Anak-anak usia sekolah yaitu usia di atas 6
tahun masuk dalam kelompok kesulitan belajar akademik, disebabkan karena
60
kesulitan belajar akademik anak-anak ini mengalami kesulitan bidang
akademik di sekolah yang sangat spesifik yaitu kesulitan dalam satu
jenis/bidang akademik seperti berhitung/matematika (diskalkulia), kesulitan
membaca (disleksia), kesulitan menulis (disgraphia), kesulitan berbahasa
(disphasia), kesulitan/tidak terampil (dispraksia), dsb. Untuk lebih jelasnya
hubungan antara kesulian belajar perkembangan dengan kesulitan akademik
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 2.1 learning Disabilities
Ada klasifikasi lain yang berdasarkan dari jenis gangguan atau
kesulitan yang dialami anak yaitu:
• Dispraksia, merupakan gangguan pada keterampilan motorik, anak terlihat
kurang terampil dalam melakukan aktivitas motorik. Seperti sering
menjatuhkan benda yang dipegang, sering memecahkan gelas kalau minum.
• Disgraphia, kesulitan dalam menulis ada yang memang karena gangguan
pada motoris sehingga tulisanya sulit untuk dibaca orang lain, ada yang
61
sangat lambat aktibitas motoriknya, dan juga adanya hambatan pada ideo
motorik sehingga sering salah atau tidak sesuai apa yang dikatakan dengan
yang ditulis.
• Diskalkulia, adalah kesulitan dalam menghitung dan matematika hal ini
sering dikarenakan adanya gangguan pada memori dan logika.
• Disleksia, merupakan kesulitan membaca baik membaca permulaan maupun
pemahaman.
• Disphasia, kesulitan berbahasa dimana anak sering melakukan kesalahan
dalam berkomunikasi baik menggunakan tulis maupun lisan.
• Body awarness, anak tidak memiliki akan kesadaran tubuh sering salah
prediksi pada aktivitas gerak mobilitas seperti sering menabrak bila berjalan.
Beberapa karakteristik yang menonjol dari anak-anak berbakat
sebagaimana diungkapkan Kitato dan Kirby, dalam Mulyono (1994), dalam ini
adalah sebagai berikut:
1) Karakteristik Intelektual adalah proses belajarnya sangat cepat, tekun dan rasa
ingin tahu yang besar, rajin membaca, memiliki perhatian yang lama dalam
suatu bidang khusus, memiliki pemahaman yang sangat majau terhadap suatu
konsep, memiliki sifat kompetitif yang tinggi dalam suatu bidang akademik.
2) Karakteristik Sosial-emosional adalah mudah diterima teman-teman sebaya
dan orang dewasa, melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial, dan
memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif, kecenderungan sebagai
pemisah dalam suatu pertengkaran, memiliki kepercayaan tentang persamaan
derajat semua orang, dan jujur, perilakunya tidak defensif, dan memiliki
62
tenggang rasa, bebas dari tekanan emosi, dan mampu mengontrol emosinya
sesuai situasi, dan merangsang perilaku produktif bagi orang lain, memiliki
kapasitas yang luar biasa dalam menanggulangi masalah sosial.
3) Karakteristik Fisik-kesehatan adalah, berpenampilan rapi dan menarik,
kesehatannya berada lebih baik di atas rata-rata.
2.1.8 Bentuk Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat
dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
2.1.8.1 Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi,
yaitu:
a. Sekolah Luar Biasa (SLB) Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk
sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan.
b. Sekolah Luar Biasa Berasrama (SLBB) merupakan bentuk sekolah luar
biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama.
c. Kelas jauh/Kelas Kunjung Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga
yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB.
d. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) merupakan unit sekolah yang terdiri
dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat
anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Tenaga kependidikan di
SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak
63
tunarungu, guru untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru
agama, dan guru olahraga.
2.1.8.2 Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Ada tiga bentuk
keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut
Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah: 1)Bentuk Kelas Biasa Dalam
bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara
penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. 2)Kelas Biasa dengan Ruang
Bimbingan Khusus Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di
kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan
khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak
berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. 3)Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama
dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang
melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga
keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
2.1.8.3 Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan suatu sistem layanan pendidikan khusus
yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-
sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Hal ini berkenaan
dengan adanya hak setiap anak untu memperoleh pendidikan yang baik.
64
Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatkan
pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa
memandang derajat, kondisi ekonomi, ataupun kelainannya. Penting bagi guru
untuk disadari, bahwa di sekolah mereka dapat membuat penyesuaian pendidikan
bagi anak-anak berkebutuhan khusus, manakala mereka memiliki pandangan
pendidikan yang komprehensif, yang terpusat pada anak. Meskipun mungkin
masih memerlukan pelatihan tentang metode atau strategi khusus yang akan
diterapkan di sekolah.
2.1.9 Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
2.1.9.1 Prinsip dasar layanan pendidikan
Prinsip dasar layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah
sebagai berikut a)keseluruhan anak (all the children), b)kenyataan (reality),
c)program yang dinamis (a dynamic program), d)kesempatan yang sama (equality
of opportunity), e) kerjasama (cooperative), f) kasih sayang, g) keperagaan,
h)keterpaduan dan keserasian antar ranah, i)pengembangan minat dan bakat,
j)kemampuan anak, k)model, l)pembiasaan, m)latihan, n)pengulangan,
o)penguatan.
Selain prinsip tersebut di atas ada juga prinsip lain yang perlu diperhatikan
guru adalah (a)prinsip totalitas, (b)prinsip keperagaan, (c)prinsip
berkesinambungan, (d)prinsip aktivitas, dan (e)prinsip individual.
2.1.9.2 Pendekatan Layanan Pendidikan ABK
Secara umum, pendekatan layanan pendidikan bagi anak-anak
berkebutuhan khusus ada dua, yaitu pendekatan kelompok/klasikal, dan
65
pendekatan individual. Pendekatan kelompok, memilki kelebihan dalam hal
pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Sedangkan pendekatan individual,
pencapaian kompetensi yang diharapkan tentu akan lebih baik dan lebih efektif,
sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing anak. Selain itu, jika
berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, ada dua pendekatan yang digunakan
dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus, yaitu pendekatan remidial
dan pendekatan akseleratif. Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak
berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang ditentukan dengan
lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada anak
berkebutuhan khusus. Pendekatan remidial didasarkan pada bagian-bagian sub
kompetensi yang belum dicapai oleh anak. Pendekatan layanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus bergantung pada kelainan yang dialami anak.
2.1.9.3 Layanan Pendidikan Anak tunanetra
layanan pendidikan meliputi:
a. penguasaan braille,
b. latihan orientasi dan mobilitas,
c. penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika,
meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi
penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa konsep
matematika braille.
d. pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tunanetra, dan
e. pembelajaran IPA.
2.1.9.4 Layanan Pendidikan Anak tunarungu
66
Layanan pendidikan adalah terletak pada pengembangan persepsi bunyi dan
komunikasi.
2.1.9.5 Layanan Pendidikan Anak tunadaksa
Utama terletak pada bina gerak. Untuk memberikan layanan bina gerak yang tepat
diperlukan dukungan terapi, khususnya fisioterapi untuk memulihkan kondisi otot
dan tulang anak agar tidak semakin menurun kemampuannnya.
2.1.9.6 Layanan Pendidikan Anak Tunagrahita
lebih diarahkan pada pendekatan indivudual dan pendekatan remidiatif. Tujuan
utama layanan pendidikan bagi anak tunagrahita adalah penguasaan kemampuan
aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mengelola diri sendiri. Untuk mencapai itu
perlu pembelajaran mengurus diri sendiri dan pengembangan keterampilan
vocational terbatas sesuai dengan kemampuannnya. Layanan pendidikan khusus
bagi anak tunagrahita meliputi latihan senso motorik, terapi bermain dan okupasi,
dan latihan mengurus diri sendiri.
2.1.9.7 Layanan Pendidikan Anak Tunalaras
Layanan pendidikan anak tunalaras adalah pendekatan bimbingan dan konseling
serta terapi. Pendekatan terapi yang sering digunakan untuk layanan pendidikan
anak tunalaras yaitu 1)insight-oriented therapies, 2)play therapy, 3)group therapy,
4)behavior therapi, 5)marital and family therapy, dan 6)drug therapy.
2.1.9.8 Layanan Pendidikan Anak Berbakat
67
Layanan pendidikan bagi anak berbakat di sekolah dasar dilakukan melalui dua
tahap, yaitu tahap penjaringan (screening) dan tahap seleksi (identifikasi) setelah
teridentifikasi keberbakatan anak, langkah selanjutnya adalah menentukan
layanan pendidikan bagi mereka. Ada berbagai macam layanan pendidikan bagai
anak berbakat, yaitu layanan akselerasi, layanan kelas khusus, layanan kelas
unggulan, dan layanan bimbingan sosial dan kepribadian.
2.1.9.9 Layanan Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar
Secara spesifik ada tiga macam, yaitu layanan remidiasi, layanan kompensasi dan
layanan prevensi.
2.1.9.10 Layanan Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar
Langkah awal yang dilakukan dalam menemukan dan menentukan anak-anak
berkebutuhan khusus di sekolah dasar adalah melalui identifikasi. Secara umum,
identifikasi adalah upaya menemu kenali anak-anak yang diduga mengalami
kelainan, atau berkebutuhan khusus. Kegiatan ini sangat penting dilakukan oleh
guru, untuk dapat mememukan dan memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan
pendidikannya. Identifikasi dapat dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya
melalui observasi yang dilakukan secara seksama dan sistematis, baik langsung
maupun tidak langsung. Untuk melengkapi data atau informasi yang diperoleh
melalui observasi tersebut, perlu dilakukan pula wawancara dengan orangtua,
keluarga, teman sepermainan, ataupun dengan pihak-pihak lain yang dapat
memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan seorang anak. Selain itu
identifikasi juga dapat dilakukan melalui teknik tes yang berupa serangkaian tugas
yang harus dikerjakan anak, baik yang sederhana buatan guru sendiri ataupun tes
68
psikologi yang telah distandarkan. Tes buatan guru sendiri dapat dirancang
berdasarkan usia anak, sedangkan tes psikologi merupakan bentuk tes yang sudah
dibakukan. Sebagai pendalaman materi ini, latihan-latihan dan kunjungan ke
sekolah-sekolah untuk anak berkebutuhan khusus sangat dianjurkan. Melalui
aktivitas ini didukung dengan pencermatan karakteristik anak-anak berkebutuhan
khusus, maka seorang guru tidak akan mengalami kesulitan dalam menemu kenali
anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar.
2.1.10 Bimbingan Bagi Anak Yang Bermasalah
2.1.10.1 Anak Berperilaku yang Bermasalah
Setiap anak mengalami tahap-tahap perkembangan. Tahap-tahap
perkembangan anak secara umum sama. Pada setiap tahap perkembangan, setiap
anak dituntut dapat bertindak atau melaksanakan hal-hal (perilaku) yang menjadi
tugas perkembangannya dengan baik. Ada dua jenis perilaku manusia, yakni
perilaku normal dan perilaku abnormal. Perilaku normal adalah perilaku yang
dapat diterima oleh masyarakat pada Perilaku adalah segala sesuatu yang
diperbuat oleh seseorang atau pengalaman. Kartono dalam Darwis (2006: 43)
umumnya, sedangkan perilaku abnormal adalah perilaku yang tidak bisa diterima
oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma-norma sosial
yang ada. Perilaku abnormal ini juga biasa disebut perilaku menyimpang atau
perilaku bermasalah. Apabila anak dapat melaksanakan tugas perilaku pada masa
perkembangannya dengan baik, anak tersebut dikatakan berperilaku normal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku bermasalah pada
siswa adalah perilaku yang tidak biasa atau menyimpang dari aturan akibat dari
69
penyesuaian yang dilakukan dengan lingkungan. Guru perlu memahami perilaku
bermasalah ini sebab “perilaku bermasalah” biasanya tampak di dalam kelas dan
bahkan dia menampakkan perilaku bermasalah itu di dalam keseluruhan interaksi
dengan lingkungannya. Memahami perilaku bermasalah mengandung arti bahwa
guru harus lebih sensitif terhadap interaksi antara berbagai kekuatan dan faktor di
lingkungan peserta didik dengan penampilan perilaku peserta didik di sekolah.
Perilaku bermasalah merupakan bagian dari Pendidikan Anak berkebutuhan
Khusus.
2.1.10.2 Bentuk-bentuk Perilaku Bermasalah
Salah satu kesulitan memahami perilaku bermasalah ialah karena perilaku
tersebut tampak dalam perilaku menghindar atau mempertahankan diri. Dalam
psikologi perilaku ini disebut “mekanisme pertahanan diri” karena dengan
perilaku tersebut individu dapat mempertahankan diri atau menghindar dari situasi
yang menimbulkan ketegangan. Bentuk umum perilaku mekanisme
mempertahankan diri ialah (Darwis, 2006: 36-40):
a. Penarikan Diri
Perilaku menarik diri dilakukan anak jika situasi yang dihadapinya dirasakan
mengancam. Mungkin anak duduk menyendiri, menundukkan kepala, atau
menutup mukanya sewaktu menghadapi gurunya yang marah. Anak sebenarnya
mempunyai keinginan untuk menghadapi situasi yang mengancamnya itu, namun
perasaan cemas yang tinggi, menyebabkan ia tidak berani menghadapinnya. Suatu
bentuk perilaku penarikan diri yang sering terjadi, pada anak yang merasa ditolak
kelompok sebayanya. Seorang ingin bermain dengan teman sebayannya, tetapi ia
70
mempunyai kecemasan terhadap penolakan kelompok sebaya tersebut. Akhirnya
anak bermain sendiri atau menyendiri, atau bermain dengan kelompok anak yang
lebih muda dari padanya, karena ia merasa tenteram dengan kelompok tersebut.
Karena perasaan aman yang dirasakan dengan cara penarikan diri.
b. Penyangkalan
Peilaku pertahanan diri dalam bentuk penyangkalan adalah perilaku yang tidak
mau berterus terang mengajui bahwa suatu peristiwa memang terjadi. Misalnya
anak menyangkal bahwa orang tua telah memberinya uang untuk membayar uang
sekolah, atau anak menyangkal bahwa ia telah mencuri manga tetangga. Perilaku
penyangkalan muncul karena mengalami ketakutan terhadap hukuman yang akan
diterimanya kalau ia berterus terang. Untuk anak yang cenderung melakukan
penyangkalan, guru hendaknya berusaha memberikan kasih saying dan kesan
bahwa anak tidak akan dihukum kalau melakukan kesalahan yang terpaksa atau
tidak disengaja. Dengan demikian anak memiliki keyakinan bahwa gurunya akan
memaafkan, dan membantunya dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya.
b. Regresi
Regresi ialah perilaku anak yang pantas untuk perkembangan terdahulu. Misalnya
anak yang berumur 8 tahun, di sekolah mengompol, menghisap ibu jari atau
menunjukkan ketergantungan kepada guru dalam menghadapi kesukaran dalam
belajar.
c. Pengantian Objek
Perilaku penggantian objek adalah perilaku yang dilakukan anak mengganti objek
yang menimbulkan kecemasan atau ketidakenakan dengan objek yang lain.
71
Misalnya, seorang anak yang membenci ayahnya menjadi guru laki-lakinya di
sekolah. Namun terhadap ayahnya ia menunjukkan saying yang berlebih-lebihan
dan bahkan tergantung kepada ayahnya. Anak membuang rasa takutnya terhadap
ayahnya. Perilaku anak seprti ini sukar ditangani oleh guru biasa. Namun anak ini
dapat ditangani oleh guru bersama konselor sekolah.
d. Rasionalisasi
Perilaku rasionalisasi yaitu perilaku yang mempertahankan diri dengan cara
mencari alasan agar perilakunya dibenarkan oleh orang lain. Misalnya sorang
anak, terlambat datang ke sekolah dengan alasan, harus menolong ibunya, tetapi
kalau ia berangkat cepat dan melakukan dengan cepat, ia tidak akan terlambat ke
sekolah. Perilaku menyalahkan orang lain atau “mengkambinghitamkan” orang
lain, termasuk perilaku rasionalisasi.
e. Hiperaktif
Perilaku anak yang disebut hiperaktif dapat dilihat dari kesukaran memusatkan
perhatian dalam jangka waktu tertentu. Anak hanya mampu memusatkan
perhatiannya dalam jangka waktu yang sangat pendek. Di samping itu, anak
mudah terganggu pikiran, perhatian dan tidak mampu mengontrol diri untuk
sedikit tenang. Anak hiperaktif sering banyak berbicara, melakukan tindakan yang
tidak brtujuan, dan kurang mempunyai control social.
f. Keagresifan Sosial
Perilaku agresif secara social, adalah perilaku yang menyerang orang lain baik
penyerang secara verbal maupun penyerang secara fisik. Penyerangan secara
verbal misalnya, mencaci, mengejek, atau memperolok-olokkan orang lain.
72
Penyerangan secara fisik misalnya, mendorong, memukul atau berkelahi. Perilaku
agresif yang mengganggu hubungan social addalah melanggar aturan, bermusuhan
secara terang-terangan maupun secara diam-diam, suka berkelahi, merusak,
pendendam, pemarah, pencuri, pembohong, atau penganggu anak-anak lain,
terutama anak yang lebih kecil, binatang dan orang-orang yang lemah. Penyebab
perilaku agresif social menurut Sutton-Smith adalah anak sedikit mendapat kasih
saying, bimbingan dan perhatian dari orang tua.
g. Menggigit kuku
Menggigit-gigit kuku yang dilakukan oleh anak umur sekolah dasar dianggap
sebagai perilaku menyimpang, perilaku ini dilakukan anak untuk menghindari,
mengurangi rasa cemas, tertekan, dan bermusuhan.
h. Mengompol
Menompol terjadi karena anak dalam situasi ketegangan psikologis yang tidak
tertahankan, sehingga anak buang air kecil tanpa disadarinya. Letegangan
psikologis yang dialami anak disebabkan antara lain anak mengalami situasi
menekan, mengancam, dan menakutkan. Misalnya kritikan, kecaman, dan
hukuman dari guru, penolakan oleh teman sebaya. Ketegangan psikologis yang
disebabkan oleh keadaan seperti di atas lebih sering dialami oleh murid-murid
sekolah dasar kelas rendah dari pada dialami oleh murid-murid sekolah dasar
kelas tinggi.
i. Menghukum diri sendiri
Perilaku ini tampak dalam wujud mencela diri sendiri dari kesalahan atau
kegagalan. Perilaku ini terjadi karena individu cemas bahwa orang lain tidak akan
73
menyukai sekiranya dia mengkritik orang lain. Orang seperti memiliki kebutuhan
untuk diakui.
2.1.10.3 Strategi Dalam Mengubah Perilaku Menyimpang pada Murid
Guru dapat mendorong perilaku murid yang sesuai dengan
mempergunakan penguatan positif (memberikan penghargaan) dan penguatan
negatif (menarik hukuman). Guru dapat mengunakan strategi-strategi berikut
dalam mengubah perilaku menyimpang pada murid (Darwis, 2006: 62-64):
a. Mempergunakan model
Model adalah proses belajar murid dengan mengamati cara berperilaku orang lain
mendapatkan perilaku yang baru. Sebagai suatu strategi pengubahan bahan
perilaku, model dapat dipandang sebagai suatu proses belajar ketika guru melalui
perilakunya menampilkan nilai dan sikap yang diharapkan dimiliki dan
ditampilkan oleh murid. Contoh, cara berbicara, gaya bahasa, cara berpakaian, dan
lain-lain.
b. Mempergunakan pembentukan
Pembentukan adalah suatu prosedur yang meminta murid menampilkan
serangkaian perilaku yang mendekati atau mirip dengan perilaku yang diinginkan.
Dan pada setiap kali murid menampilkan perilaku yang mendekati itu guru
memberikan dorongan sehingga ia mampu secara konsisten menampilkan perilaku
yang diinginkan tersebut. Jadi pembentukan adalah sstrategi pengubahan perilaku
yang digunakan untuk mendorong perkembangan perilaku yang baru.
c. Mempergunakan sistem hadiah
74
Sistem hadiah biasanya terdiri dari tiga unsur. Unsur itu dimaksudkan untuk
mengubah perilaku sekelompok murid. Unsur-unsur itu berupa: (1) seperangkat
instruksi tertulis yang disiapkan dengan teliti, yang menggambarkan perilaku
murid yang hendak dikuatkan dan didorong oleh guru, (2) suatu sistem yang
dirancang dengan baik untuk menghadiahkan barang kepada murid yang
menampilkan perilaku yang sesuai, dan (3) seperangkat prosedur yang
memberikan kesempatan kepada murid saling bertukar hadiah yang mereka
peroleh sebagai penghargaan, atau memberikan kesempatan terlibat dalam
kegiatan kegiatan sosial.
d. Mempergunakan kontrak perilaku
Kontrak perilaku adalah suatu persetujuan antara guru dan murid yang berperilaku
menyimpang. Persetujuan itu menentukan perilaku yang disetujuui oleh murid
untuk ditampilkan dan kemungkinan-kemungkinan konsekuensinya apabila murid
menampilkan perilaku tersebut. Kontrak adalah suatu kesepakatan antara guru dan
murid yang merinci apa yang diharapkan dilakukan oleh murid dan ganjaran atau
konsekuensi yang akan diperolehnya apabila melakukan hal-hal yang disepakati
itu.
e. Mempergunakan jatah kelompok
Penggunaan jatah kelompok adalah penggunaan prosedur dimana konsekuensi
(penguatan atau hukuman) tidak hanya tergantung kepada perilaku seseorang
murid sendiri, melainkan juga kepada perilaku kelompoknya. Penghargaan
terhadap setiap anggota kelompok tergantung pada perilaku salah seorang atau
lebih pada perilaku seluruh anggota kelompok.
75
f. Penguatan alternatif yang tidak serasi
Penguatan alternatife yang tidak serasi yaitu penguatan yang bertentangan satu
dengan yang lainnya. Penguaatan itu terjadi pada situasi dimana guru menghargai
perilaku yang tidak dapat terjadi bersamaan dengan perilaku menyimpang yang
hendak dihilangkan oleh guru.
g. Mempergunakan konseling
Konseling adalah suatu proses yang meliputi pertemuan pribadi antara guru
dengan murid. Konseling ini dimaksudkan untuk membantu murid yang
berperilaku menyimpang mengetahui bahwa perilakunya tidak sesuai dan
merencanakan perubahan. Pertemuan seperti ini akan membantu murid
memahami hubungan antara tindakannya dengan konsekuensinya, dan
mempertimbangkan tindakan-tindakan alternative yang mungkin dapat
menghasilkan konsekuensi yang diinginkan.
h. Mempergunakan pemantauan sendiri
Pemantauan sendiri diartikan sebagai pengelolaan diri sendiri yang menuntut
murid mencatat aspek aspek perilakunya agar ia dapat mengubahnya. Pemantauan
diri sendiri secara sistematis akan meningkatkan kesadaran murid untuk
menghilangkan/ mngurangi perilaku yang tidak diharapkan. Peamntauan diri
sendiri meningkatkan kesadaran diri sendiri melalui pengamatan atas dirinya.
i. Mempergunakan isyarat
Isyarat adalah suatu prosess untuk merangsang berbuat atau tindakan
mengingatkan secara verbal atau non verbal yang digunakan oleh guru kepada
muridnya. Hal ini dilakukan apabila ia merasa muridnya berperilaku menyimpang.
76
Suatu isyarat dapat digunakan untuk mendorong atau mencegah perilaku tertentu,
beralinnan dengan pendorong, isyarat mendahului respons.
2.1.10.4 Aplikasi Layanan Konseling Belajar di SD
Layanan konseling belajar dilaksanakan guna membantu peserta didik mengatasi
permasalahan-permasalahan belajar yang dihadapinya. Tujuannya adalah peserta
didik kembali dapat belajar dengan baik sehingga mencapai kesuksesan belajar.
Oleh sebab itu, kegiatan pelaksanaan jenis layanannya sebagai berikut (Irham,
2014: 194):
a. Layanan Konsultasi kelompok dan Individual dalam rangka memecahkan
masalah-masalah disiplin belajar, cara belajar, manajemen waktu belajar, dan
sebagainnya.
b. Layanan Konsultasi dilakukan dengan pihak yang dianggap memiliki
kewenangan terhadap peserta didik, misalnya orangtua siswa, kepala sekolah, dan
pihak lain yang dianggap penting dalam kerangka mencari masukan tehadap
pemecahan problematika peserta didik.
c. Layanan konferensi Kasus dilakukan dengan melibatkan seluruh unsur
pendidik dan tenaga kependidikan untuk memecahkan problematika individual
atau kelompok peserta didik yang dianggap penting secara bersama. Tujuannya
untuk mendapatkan kesepahaman dalam memberikan tindakan terhadap peserta
didik yang dipermasalahkan.
d. Layanan kunjungan Rumah dilakukan untuk mendapatkan data riil dan
fakta aktivitas peserta didik serta pendapat orangtua, tetangga, dan saudaranya
77
tentang aktivitas belajar, sekolah, serta permasalahan lainnya secara lebih
mendalam karena dilakukan di rumah yang bermasalah.
e. Layanan Alih Tangan Kasus dilakukan dalam rangka pemecahan masalah
peserta didik yang sudah berada di luar kewenangan dan tanggung jawab guru.
2.2 Kajian Empiris
Penelitian ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh
penelitian sebelumnya tentang penanganan perilaku bermasalah pada siswa
sekolah dasar dalam berbagai mata pelajaran adalah sebagai berikut :
Penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Aini Mahabbati pada tahun
2012 dengan judul Analisis Teori Belajar Sosial Bandura Mengenai Gangguan
Perilaku Agresif pada Anak. Skripsi, Program Studi Pendidikan Khusus, Fakultas
Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Adapun hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa teori belajar sosial Bandura menjelaskan bahwa dari sisi
internal. Perilaku agresif muncul sebagai hasil keyakinan anak bahwa ia mampu
mengendalikan fungsi dari mereka dan kejadian lingkungan, dan sifat keagenan
pada pribadi atau kemampuan untuk eksplorasi, manipulasi, dan mempengaruhi
lingkungan demi hasil yang diinginkan.
Penelitian yang mendukung lainnya oleh Aini Mahabbati pada tahun 2006
dengan judul Identifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku di Sekolah
Dasar. Hasil penelitian tersebut diperoleh data sebagai berikut dalam
pengembangan pendidikan bagi berkebutuhan khusus, identifikasi menjadi awal
dari pelaksanaan program, kemudian dilanjutkan dengan rujukan ahli, assessmen,
penentuan keputusan, perencanaan program pembelajaran dan pengorganisasian
78
siswa, pelaksanaan pembelajaran, pemantauan kemajuan belajar dan evaluasi.
Oleh karena itu keterbukaan sekolah terhadap ilmu pengetahuan di luar
persekolahan dan juga para ahli lain sangat mempengaruhi kualitas sekolah dalam
memberi layanan pendidikan yang maksimal kepada semua siswanya, termasuk
siswa yang ditemukan mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Begitu pula penelitian oleh Meyke Mohamad pada tahun 2013 dengan
judul Peran Orang Tua dalam Mengatasi Siswa Bolos Sekolah di SMP Negeri 1
Sumalata Kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peran orangtua dalam mengatasi masalah siswa yang
membolos di SMP Negeri 1 Sumalata masih rendah yang bisa lihat dari rendahnya
peran orang tua menciptakan budaya belajar di rumah karena rendahnya tingkat
pendidikan dan pemahaman orangtua pada pentingnya pendidikan anak; orang tua
kurang memprioritaskan tugas sekolah dan jarang mengingatkan juga memeriksa
tugas yang telah diberikan guru untuk dikerjakan di rumah; orang tua kurang
memotivasi siswa, meskipun orangtua menyediakan perlengkapan belajar siswa
tapi tidak pernah menanyakan masalah yang dihadapi siswa; hubungan orangtua
dengan sekolah masih kurang aktif, karena tidak adanya komunikasi dua arah
antara orangtua dan sekolah.
Penelitian selanjutnya oleh Rahma Kartika Cahyanirum pada tahun 2012
dengan judul Tinjauan Psikologis Kesiapan Guru Dalam Menangani Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus Pada Program Inklusi (Studi Deskriptif Di SD Dan SMP
Sekolah Alam Ar-Ridho). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang kesiapan para guru di SD dan SMP Alam Ar-Ridho dalam menangani
79
peserta didik berkebutuhan khusus. Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kuantitatif. Variabel dalam penelitian ini adalah kesiapan guru di SD
dan SMP Alam Ar-Ridho dalam menangani peserta didik berkebutuhan khusus di
sekolah tersebut. Populasi dalam penelitian ini adalah para guru di SD dan SMP
Alam Ar-Ridho yang berjumlah 35 guru. Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa rata-rata kesiapan guru-guru SD dan SMP
Alam Ar-Rihdo dalam menangani peserta didik berkebutuhan khusus tergolong
tinggi (66%) dan kategori rendah (3 %) ditemukan pada indikator pengalaman
yang dimiliki. Artinya, sebanyak 3 % responden memiliki pengalaman yang
minim dalam menangani peserta didik berkebutuhan khusus.
Berdasarkan penelitian oleh Rita Eka Izzaty pada tahun 2006 dengan judul
Prediktor Permasalahan Perilaku Anak Usia Tk. Tujuan penelitian ini adalah: (1),
untuk memperpanjang mempelajari di prediktor dari masalah perilaku di antara
anak-anak dari taman kanak-kanak di yogyakarta; (2), untuk mengidentifikasi
relatif kekuatan prediktor; (3), untuk memahami pola hubungan antara prediktor
dari; dan (4), untuk mendapatkan perkiraan distribusi masalah perilaku di antara
tk anak-anak dari yogyakarta. Penulis hipotesis ini menyatakan sebagai berikut:
ada korelasi antara negatif pendidik kompetensi dalam merangsang
pengembangan emosional dan sosial Perilaku persoalan sering diamati di antara
anak anak tk. Mungkin merupakan wujud yang normal proses perkembangan
.Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai prediktor masalah, yaitu sosial
kematangan anak, kompetensi pendidik, dan keterlibatan induk. Namun, dalam
studi relatif kekuatan setiap prediktor, terutama di sosial dan budaya pengaturan
80
masyarakat jawa, ini jarang .Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah: (1)
untuk memperpanjang kajian yang prediktor perilaku masalah di antara anak anak
dari taman kanak kanak di Yogyakarta; (2) untuk mengidentifikasi relatif
penguatan nilai prediktor; (3) untuk memahami pola hubungan antara prediktor;
dan (4)untuk mendapatkan perkiraan distribusi masalah perilaku di antara anak
anak TK Yogyakarta. Penulis hipotesis dinyatakan sebagai berikut: ada negatif
korelasi antara pendidik kompetensi dalam merangsang emosional dan
pembangunan sosial.
Berdasarkan penelitian oleh Sutarimah Ampuni pada tahun 2007 dengan
judul Memahami Anak dan Remaja Dengan Kasus Mogok Sekolah: Gejala,
Penyebab, Struktur Kepribadian, Profil Keluarga, dan Keberhasilan Penanganan.
Keberhasilan penanganan pada kelima subjek dipengaruhi oleh kepribadian klien
sendiri, dukungan orangtua, dukungan pihak sekolah, dan keberlanjutan
konseling. Mogok sekolah merupakan masalah yang tidak bisa dianggap remeh.
Oleh karena itu sebaiknya kajian kajian dalam bidang ini terus menerus dilakukan
agar praktek Psikologi dapat memberikan kontribusi dalam menanganinya dengan
sebaik baiknya.
Senada dengan penelitian di atas, hasil penelitian oleh Rashmi Rekha
Borah tahun 2013 dengan judul “Slow Learners: Role of Teachers and Guardians
in Honing their Hidden Skills”, menyatakan bahwa mungkin tantangan terbesar
untuk seorang pendidik adalah siswa yang lambat belajar. Siswa-siswa ini tidak
jatuh ke dalam kategori pendidikan khusus, mereka melakukannya dengan baik di
luar kelas, dan tidak menunjukkan bukti memiliki masalah medis. Mereka hanya
81
tidak melakukannya dengan baik di sekolah atau subjek tertentu. Siswa yang
lambat mungkin memiliki masalah tidak hanya dengan matematika dan membaca
tetapi juga dengan koordinasi seperti tulisan tangan, olahraga, atau ganti.
Seringkali mereka tenang dan pemalu, dan mereka memiliki kesulitan membuat
teman-teman. Mereka mungkin memiliki kepercayaan diri yang buruk. Mereka
memiliki masalah dengan pemikiran abstrak seperti dalam studi sosial atau
melakukan masalah kata matematika. Mereka sering memiliki rentang perhatian
yang pendek. Akhirnya, seorang guru atau orang tua harus mencari pelajaran dan
sumber lain yang membuatnya lebih mudah untuk membedakan kurikulum dan
membuat belajar lebih penting dan relevan.
Berdasarkan hasil penelitian yang mendukung oleh Joan Leela Madtha
pada tahun 2015 dengan judul “Motivation And Encouragement In Teaching Slow
Learners” menyatakan bahwa Siswa yang lambat belajar tidak harus
membutuhkan pendidikan khusus. Para guru dan wali menggunakan beberapa alat
peraga yang tersedia untuk siswa pendidikan khusus yang dapat meningkatkan
minat dan membantu mereka terlibat dalam proses pembelajaran. Seorang pelajar
yang lambat adalah siswa atau siswa yang mampu belajar keterampilan
pendidikan tetapi tingkat dan kedalaman di bawah rata-rata dibandingkan dengan
yang lain. Seorang siswa yang gagal untuk unggul dalam beberapa kelas atau
dalam beberapa mata pelajaran tidak berarti bahwa ia adalah seorang pelajar yang
lambat. Namun, beralih siswa pendidikan khusus dapat meningkatkan minat siswa
lambat dan membantu mereka terlibat dalam proses pembelajaran. Sebenarnya
lambat belajar adalah siswa yang normal yang tidak tertarik untuk belajar di
82
bawah sistem tradisional diterima pendidikan. Dan beberapa mahasiswa di musim
gugur kelas bawah kategori ini, tetapi kebanyakan orang tua atau wali lebih
memilih untuk tetap dalam penolakan.
2.3 KERANGKA BERPIKIR
Kerangka berpikir memaparkan dimensi-dimensi kajian utama, faktor-faktor
kunci, variabel-variabel dan hubungan antara dimensi-dimensi yang disusun
dalam bentuk narasi atau grafis. Sehingga, dengan kerangka berpikir ini dapat
dilihat alur variabel-variabel yang akan dikaji, yaitu berkaitan dengan penanganan
perilaku bermasalah pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Mijen Kota
Semarang.
Pada penelitian ini, peneliti akan mengkaji lebih mendalam terkait bentuk dan
penanganan perilaku bermasalah pada siswa sekolah dasar. Siswa sekolah dasar
mempunyai banyak keunikan karena sedang masa perkembangan, pada usia ini
siswa memiliki tingkat perkembangan yang berbeda-beda dan unik, yang
terkadang akan ada perilaku siswa yang berbeda dengan siswa lain, sehingga
memerlukan perhatian khusus. Misalnya, siswa lambat belajar, anak sering gaduh,
tidak bisa diam di bangkunya, bahkan mengganggu teman-temannya. Hal ini pasti
akan ada di setiap kelas bahwa ada kemungkinan perilaku bermasalah pada siswa.
Oleh karena itu, peneliti akan melakukan riset tentang meneliti bentuk perilaku
bermasalah pada siswa yang ada di kelas dan penanganan perilaku bermasalah
pada siswa sekolah dasar yang dilakukan oleh guru, mengetahui dampak setelah
dilakukan penanganan perilaku bermasalah pada siswa sekolah dasar.
83
Masalah muncul apabila anak berperilaku tidak sesuai dengan tugas
perkembangannya. Perilaku menyimpang adalah suatu persoalan yang harus
menjadi kepedulian guru, bukan semata-mata perilaku itu destruktif atau
mengganggu proses pembelajaran, melainkan suatu bentuk perilaku agresif atau
pasif yang dapat menimbulkan kesulitan dalam bekerja sama dengan teman, yang
merupakan perilaku yang dapat menimbulkan masalah belajar anak dan hal itu
termasuk perilaku bermasalah.
Penanganan perilaku bermasalah dilakukan oleh guru dengan memahami
penyebab perilaku bermasalah pada siswa, yang tampak di dalam kelas dan
bahkan dia menampakkan perilaku bermasalah itu di dalam keseluruhan interaksi
dengan lingkungannya. Walaupun gejala perilaku bermasalah di sekolah itu
mungkin hanya tampak pada sebagian anak, pada dasarnya setiap anak memiliki
masalah-masalah emosional dan penyesuaian sosial. Sehingga, pada akhirnya
lembaga pendidikan dapat menemukan solusi yang tepat untuk penanganan
perilaku bermasalah pada siswa. Berdasarkan uraian di atas maka alur kerangka
berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
157
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai
berikut :
a. Bentuk perilaku bermasalah pada siswa sekolah dasar di Kecamatan
Mijen secara umum ada banyak yang mengalami kesulitan belajar.
Hal ini dibuktikan dengan dari hasil observasi dan wawancara.
b. Penanganan perilaku bermasalah oleh guru sudah dilakukan, namun
penanganan dilakukan secara umum atau klasikal. Bentuk perilaku
bermasalah pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Mijen mempunyai
masalah yang berbeda-beda sesuai dengan penyebabnya. Dengan
demikian, dalam penanganan perilaku bermasalah pada siswa sekolah
dasar, juga harus berbeda sesuai dengan masalah yang ada. Guru
berperan penting dalam penanganan perilaku bermasalah siswa.
c. Dampak penanganan perilaku bermasalah pada siswa adanya
peningkatan kemampuan belajar yaitu mampu membaca, menulis dan
memahami isi kalimat sehingga mampu mengejar ketinggalannya.
Adanya perubahan perilaku kearah positif untuk siswa yang hiperaktif
dilihat dari perilaku sehari-hari oleh catatan khusus guru.
158
5.2.SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya, agar
penanganan perilaku bermasalah siswa dapat dilakukan dengan tepat, maka
disarankan sebagai berikut:
a. Sebaiknya guru mengidentifikasi bentuk masalah dan penyebabnya
sehingga dapat melakukan penanganan menggunakan pendekatan,
model dan metode pembelajaran secara tepat.
b. Setiap sekolah mempunyai program-program penanganan perilaku
bermasalah siswa, namun outputnya tidak akan berhasil jika tidak
didukung dengan peran aktif masyarakat sekitar. Oleh karena itu,
maka masyarakat yaitu orangtua harus berperan secara pro aktif
mendukung kebijakan sekolah dalam penanganan perilaku bermasalah
siswa.
c. Perlu diadakan penelitian sejenis untuk mengetahui penanganan
perilaku bermasalah pada siswa, serta perlu diadakan pengabdian
masyarakat tentang penanganan perilaku bermasalah pada siswa.
159
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Ampuni. 2007. Memahami Anak dan remaja Dengan Kasus Mogok Sekolah
Gejala, Penyebab, Struktur Kepribadian, Profil Keluarga dan
Keberhasilan Penanganan. Jurnal Psikologi. Vol. 34. No. 1. ISSN 0215-
8884.
Bunu, Helmut, Y. 2012. Masalah Anak Taman Kanak-Kanak Menurut Guru dan
Orang tua Serta Implementasinya dalam Bimbingan dan Konseling.
Jurnal Bimbingan Konseling. Vol. 1. No. 2.
Borah, Rashmi Rokha. 2013. Slow Leaarners: Role of Teacers and guardians in
Honing their Hidden Skills. International Journal of Education Planning
and Administration. Vol. 3. No. 2. ISSN 2249-3093.
Cahyaningrum, Rahm a Kartika. 2012. Tinjauan Psikologis Kesiapan Guru dalam
Menangani Peserta Didik Berkebutuhan Khusus pada Program Inklusi.
Jurnal Psikologi Pendidikan. Vol. 1. No. 1.
Danim, Sudarwan. 2011. Pengantar Kependidikan Landasan, Teori, dan 234
Metafora Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta.
Dalyono. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Darwis, Abu. 2006. Pengubahan Perilaku Menyimpang Murid SD. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat jendral Pendidikan Tinggi
160
Direktorat Ketenagaan.
Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas
Desmita. 2014. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Dimyati. 2013. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djumiran dkk. 2009. Profesi Keguruan. Jakarta : Universitas Terbuka.
Gunarsa, Ny Singgih. 1995. Psikologi Anak Bermasalah. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia.
Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.
Herrhyanto, Nar dan Akib, Hamid. 2009. Statistika Dasar. Jakarta : Universitas
Terbuka.
Ihekaire, Desmond Eberechukwu. 2012.learning-Related Vision Problems in
School Age Children In Imo State University Primary and Secondary
Schools. International Journal of Scientific Research in Education. Vol. 5.
No. 2. ISSN 1117-3259.
Irham, Muhamad dan Novan Andy Wiyani. 2014. Bimbingan & Konseling: Teori
dan Aplikasi di Sekolah Dasar. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
161
Izzaty, Rita Eka. 2006. Prediktor Permasalahan Perilaku Anak Usia TK. Jurnal
Sosiosains. Vol. XIX. No. 3.
Jamaris, Martini. 2013. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Kartadinata, Sunaryo. 2002. Bimbingan di Sekolah Dasar. Bandung: CV.
Maulana.
Mahabbati, Aini. 2006. Identifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku
di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Khusus. Vol. 2. No. 2. ISSN 1858-
0998.
Mahabbati, Aini. 2012. Analisis Teri Belajar Sosial Bandura Mengenai
Gangguan Perilaku Agresif pada Anak. Jurnal Pendidikan Khusus. Vol. 9.
No. 2. ISSN 1858-0998.
Matha, Joan Leela. 2015. Motivation and Encouragement in Teaching Slow
Learners. International Journal of Current Reseaarch. Vol. 7. No. 4. ISSN
0975-833X.
Meyke, Mohamad. 2015. Peran Orang Tua dalam Mengatasi Siswa Bolos
Sekolah di SMP Negeri 1 Sumalata Kecamatan Sumalata Kabupaten
Gorontalo. Jurnal Pendidikan Khusus. Vol. 3. No. 1.
Munib, Achmad dkk. 2012. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UNNES
Press.
162
Mulyasa, E. 2013. Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif
dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nugraheni, Theresia Nadia. Strategi Guru Menangani Perilaku Bermasalah Siswa
Berkebutuhan Khusus di Kelass Reguler.
Rifa, i, Achmad. 2012. Psikologi Pendidikan. Semarang: Pusat Pengembangan
MKU-MKDK UNNES.
Sardiman. 2012. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Slameto, 2013. Belajar & Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suharsimi, Tin. 2005. Penanganan Anak Hiperaktif. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Nasional.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Suparno. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Nasional.
163
Petersen, Lindy. 2004. Bagaimana Memotivasi Anak Belajar. Jakarta: PT
Grasindo.
Poerwanti, Endang. 2008. Assesmen Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
215