Post on 29-Aug-2021
1
TINJAUAN PUSTAKA
Soil Transmitted Helminths
Oleh
dr. Ni Luh Ariwati
BAGIAN PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
2
KATA PENGANTAR
Om swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa,
karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya penulisan Tinjauan Pustaka tentang
Soil Transmitted Helminth dapat diselesaikan.
Penyusunan Tinjauan Pustaka ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan
berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang terlibat dalam penulisan ini yang tidak dapat disebutkan satu
per satu.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian penulisan Tinjauan Pustaka ini.
Om Santhi, Santhi, Santhi, Om
3
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ............................................................................................. 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
ISI ........................................................................................................................ 4
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 23
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Soil Transmitted Helminths
Cacing usus atau sering disebut STH adalah cacing usus yang
penularannya melalui tanah. Tanah merupakan media pertumbuhan telur untuk
menjadi infektif. Jenis-jenis Soil Transmitted Helminth adalah Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura dan Hookworm (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus) dan Strongyloides stercoralis (Gandahusada et al., 1998).
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kontaminasi tanah oleh STH
antara lain adalah :
Sifat tanah mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan telur dan
daya tahan hidup dari larva cacing. Tanah liat yang lembab dan teduh merupakan
tanah yang sesuai untuk pertumbuhan telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura. Tanah berpasir yang gembur dan bercampur humus sangat sesuai untuk
pertumbuhan larva cacing tambang disamping teduh (Supali et al., 2008).
Iklim tropis merupakan keadaan yang sangat sesuai untuk perkembangan
telur dan larva STH menjadi bentuk infektif bagi manusia. Suhu optimum untuk
pertumbuhan telur Ascaris lumbricoides berkisar 25ºC, sedangkan telur Trichuris
trichiura suhu optimum untuk tumbuh adalah 30ºC. Larva Ancylostoma
duodenale akan tumbuh optimum pada suhu berkisar 23-25°C, sedangkan untuk
Necator americanus berkisar antara 28-32°C (Supali et al., 2008).
5
Kelembaban yang tinggi akan menunjang pertumbuhan telur dan larva dari
STH. Pada keadaan kekeringan akan sangat tidak menguntungkan bagi
pertumbuhan STH. Kelembaban 80% sangat baik untuk perkembangan telur
Ascaris lumbricoides sedang telur Trichuris trichiura menjadi stadium larva
maupun bentuk infektif pada kelembaban 87% (Supali et al., 2008).
Angin dapat mempercepat pengeringan sehingga dapat mematikan telur
dan larva. Selain itu angin juga dapat menyebarkan telur STH dalam debu
sehingga mempermudah penularan infeksi STH (Supali et al., 2008).
1. Ascaris lumbricoides
Taksonomi
Taksonomi Ascaris lumbricoides
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides
Sumber : https://medlab.id/ascaris-lumbricoides/
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda parasit yang paling banyak
menyerang manusia dan cacing ini disebut juga cacing bulat atau cacing gelang.
Cacing dewasa berwarna agak kemerahan atau putih kekuningan, bentuknya
6
6
silindris memanjang, ujung anterior tumpul memipih dan ujung posteriornya agak
meruncing (Irianto, 2013).
Cacing dewasa jantan berukuran panjang 15 cm -31 cm dengan diameter 2
mm – 4 mm. Sedangkan cacing betina panjangnya 29 cm -35 cm, kadang-kadang
sampai mencapai 49 cm, dengan diameter 3 mm -6 mm. Untuk dapat
membedakan cacing betina dengan cacing jantan ujung ekornya (ujung posterior),
dimana cacing jantan ujung ekornya melengkung ke arah ventral. Cacing jantan
mempunyai sepasang spikula yang bentuknya sederhana dan silindris, sebagai alat
kopulasi, dengan ukuran panjang 2 mm – 3,5 mm dan ujungnya meruncing
(Irianto, 2013).
Cacing betina memiliki vulva yang letaknya di bagain ventral sepertiga
dari panjang tubuh dari ujung kepala. Vagina bercabang membentuk pasangan
saluran genital. Saluran genital terdiri dari seminal reseptakulum, oviduk, ovarium
dan saluran berkelok-kelok menuju bagian posterior yang berisi telur (Irianto,
2013).
7
Gambar 1. Cacing A. lumbricoides dewasa (Sumber : CDC, 2018).
Seekor cacing betina dewasa dapat menghasilkan 100.000- 200.000 butir
telur setiap harinya. Telur yang dibuahi, berbentuk oval dan lebar besarnya kurang
lebih 60 X 45 mikron dan yang tidak dibuahi 90 X 40 mikron dengan struktur
bagian dalamnya yang tidak jelas. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang
dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu 3 minggu
(Gandahusada et al., 1998).
8
Gambar 2. Telur A. lumbricoides (Sumber : CDC, 2018)
Siklus hidup cacing A.lumbricoides dapat dilihat pada Gambar 3. Siklus
ini dimulai sejak dikeluarkannya telur cacing bersama feses. Jika kondisi yang
menguntungkan seperti udara yang hangat dengan tempratur 250 -30
0 C, lembab,
tanah yang terlindung matahari, maka embrio di dalam telur fertil berubah
menjadi larva yang infektif dalam waktu 3 minggu. Apabila manusia tertelan telur
yang infektif, maka telur menetas menjadi larva di usus halus, kemudian larva
akan masuk ke dalam mukosa usus dan terbawa ke sirkulasi hepatika dan sampai
di jaringan alveolar (Supali et al., 2008).
Setelah itu larva bermigrasi ke saluran nafas atas, yaitu bronkus, trakea
dan setelah itu faring yang menimbulkan rangsang batuk pada penderita.
Rangsang batuk tersebut membuat larva masuk kembali ke dalam sistem
9
pencernaan dan akhirnya menetap, tumbuh dan berkembang menjadi cacing
dewasa. Waktu yang diperlukan sejak telur infektif tertelan sampai cacing betina
dewasa bertelur kembali adalah sekitar 2-3 bulan (Supali et al., 2008 ).
Gambar 3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides (Sumber : CDC, 2018).
Penularan umumya dapat terjadi melalui makanan, minuman, dan mainan
dengan perantaraan tangan yang terkontaminasi telur Ascaris yang infektif.
Infeksi sering terjadi pada anak daripada dewasa. Hal ini disebabkan anak sering
10
berhubungan dengan tanah yang merupakan tempat berkembangnya telur Ascaris.
Didapat juga laporan bahwa dengan adanya usaha untuk meningkatkan kesuburan
tanaman sayuran dengan mempergunakan feses manusia, menyebabkan sayuran
sumber infeksi Ascaris (Irianto, 2013).
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa
dan larva. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-
kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
makan berkurang, diare atau konstipasi. Sedangkan pada infeksi berat, terutama
pada anak dapat terjadi melabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi.
Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga
menjadi obstruksi usus (ileus) (Gandahusada et al., 1998).
2. Trichuris Trichiura
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Enoplea
Ordo : Trichocephalida
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris S
pesies : Trichuris trichiura
11
Sumber : https://medlab.id/trichuris-trichiura/
Cacing T.trichiura dewasa berbentuk seperti cambuk, bagian anteriornya
merupakan 3/5 dari bagian tubuh yang berbentuk langsing seperti ujung cambuk,
sedangkan 2/5 bagian 12 posteriornya lebih tebal seperti gagang cambuk. Ukuran
cacing betina lebih relatif besar dibandingkan cacing jantan (Irianto, 2013).
Gambar 4. Cacing dewasa T.trichiura (Sumber : CDC, 2013).
Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing
12
betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari sebanyak 3.000 – 10.000. Telur
berukuran 50-54 mikron X 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan
semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar
berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih (Gandahusada et al.,
1998).
Gambar 5. Telur T.trichiura (Sumber : CDC, 2013).
13
Gambar 6. Siklus hidup Tricuris triciura (Sumber : CDC, 2013).
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut
menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu
pada tanah yang lembab dan tanah tempat yang teduh. Telur matang ialah telur
yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung bisa secara
kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan
14
masuk ke usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal
dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (Gandahusada et al., 1998).
Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris yang berat menahun,
menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang diselingi dengan sindrom
disentri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang disertai prolapses
rectum (Gandahusada et al., 1998).
3. Hookworm (Cacing tambang)
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Strongylida
Famili : Ancylostomatidae
Genus : Necator / Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma duodenale
Necator americanus
Ancylostoma brazilliense
Ancylostoma ceylanicum
Ancylostoma caninum
15
Sumber : https://medlab.id/cacing-tambang-hook-worm/
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar
melekat pada mukosa dinding usus. Cacing betina N.americanus tiap hari
mengelurakan telur kira-kira 9000 butir, sedangkan A duodenale kira-kira 10.000
butir. Cacing betina berukuran panjang kurang lebih 1 cm, cacing jantan kurang
lebih 0,8 cm. Bentuk badan N. americanus biasanya menyerupai huruf S,
sedangkan A. duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing
ini besar. N. americanus mempunyai benda kitin, sedangan A. duondenale ada dua
pasang gigi (Gandahusada et al., 1998).
Gambar 7. a. Cacing A.duodenale b. cacing A.Americanus (Sumber : CDC,
2013).
a b
16
Gambar 8. Siklus hidup Hookworm (Sumber : CDC, 2013).
Pada kondisi tanah berpasir dengan temperatur optimum yaitu sekitar 23-
330 C, telur tumbuh dan berkembang setelah 1-2 hari melepaskan larva
rhabditiform yang berukuran 250- 300 μm. Setelah itu akan mengalami perubahan
menjadi larva infektif yaitu filariform, yang dapat menembus kulit dan dapat
hidup selama 7-8 minggu di tanah (Gandahusada et al., 1998).
Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60 X 40 mikron, berbentuk
bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat sel. Larva rabditiform
17
panjangnya kira-kira 250 mikron, sedangkan larva filariform panjangnya kira-kira
600 mikron (Gandahusada et al., 1998).
Manusia dapat terinfeksi oleh cacing ini jika larva infektif ini tertelan atau
menembus kulit, biasanya pada kulit kaki. Jika larva filariform masuk menembus
kulit dan bermigrasi menelusuri kulit atau yang disebut dengan cutaneus larva
migrans, hingga akhirnya menemukan jalan keluar berubah pembuluh vena dan
masuk ke sirkulasi darah. Setelah berada pada sistem sirkulasi, maka larva ini
akan masuk ke dalam siklus paru seperti pada siklus A.lumricoides. Berbeda
halnya jika larva tertelan, maka larva tidak akan melewati siklus paru, melainkan
masuk langsung ke sistem pencernaan dan menetap di usus halus hingga menjadi
cacing dewasa. Pada N.americanus infeksi lebih disebabkan oleh masuknya larva
melalui kulit, sedangkan pada A.duodenale dengan cara tertelannya larva
(Gandahusada et al., 1998).
Larva yang menembus kulit menyebabkan rasa gatal. Bila sejumlah larva
menembus paru-paru dan suatu waktu dan orang-orang yang peka dapat
menyebabkan bronkhitias atau pneumonitis (Gandahusada et al., 1998).
Penyakit cacing tambang adalah suatu infeksi kronis dan orang-orang yang
terinfeksi kadang-kadang tidak melibatkan simpton yang akut. Karena serangan
cacing dewasa menyebabkan anemia yang disebabkan karena kehilangan darah
terus menerus. Satu ekor cacing dapat menghisap darah setiap hari 0,1 – 1,4 cm3,
berari penderita yang mengandung 500 ekor cacing, kehilangan darah 50-500 cm3
setiap hari (Gandahusada et al., 1998).
18
Ciri-ciri larva rhabditiform ukuran :
- panjang ± 250 μm dan lebar ± 17 μm
- cavum bucalis panjang dan terbuka
- esophagus 1/3 dari panjang tubuhnya mempunyai 2 bulbus esophagus
ujung posterior runcing
Ciri-ciri larva filariform ukuran :
- panjang ± 500 μm cavum bucalis tertutup
- esophagus 1/4 dari panjang tubuhnya tidak mempunyai bulbus
esophagus
- ujung posterior runcing
Sumber : https://medlab.id/cacing-tambang-hook-worm/
19
4. Strongloides stercoralis
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides stercoralis
Sumber : https://medlab.id/strongyloides-stercoralis/
Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Hanya cacing dewasa betina
hidup sebagai parasit di vulvus duodenum dan jejunum. Cacing betina berbentuk
filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm. Telur diletakkan
di mukosa usus kemudian telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform yang
masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja (Gandahusada et al., 1998).
20
Gambar 9. Larva rhabditiform dan Filariform S.strecoralis ( Sumber :
Suzuki, 1975).
Parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup yaitu :
a. Siklus langsung
Sesudah sampai 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran
kira-kira 225 X 16 mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk
langsing dan merupakan bentuk infektif, panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila
larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam
peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru.
21
Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke
trakea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi reflex batuk sehingga parasit
tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa.
Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi.
Siklus langsung sering terjadi di negeri-negeri yang lebih dingin dengan
keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut (Gandahusada et
al., 1998).
b. Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi
cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk bebas ini lebih
gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1 mm X 0,06 mm
yang jantan berukuran 0,75 mm X 0,44 mm, mempunyai ekor melengkung
dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan
telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu
beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam
hospes baru, atau larva rabditiform tersebut dapat juga mengulangi fase hidup
bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan
sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk
kehidupan bebas parasit ini misalnya di negeri-negeri tropik dengan iklim
lembab (Gandahusada et al., 1998).
c. Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau
di daerah sekitar anus (perianal). Bila larva filariform menembus mukosa usus
22
atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam hospes.
Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongloidiasis menahun pada
penderita yang hidup di daerah nonendemik (Gandahusada et al., 1998).
23
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, Herbert. 2017. Kontaminasi Telur Cacing pada Sayur dan Upaya
Pencegahannya Helminth Eggs Contamination in Vegetables and Prevention
Efforts. Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Ciputra. (serial online)
avaible from: https://media.neliti.com/media/publications/222703-
kontaminasi-telur-cacing-pada-sayur-dan.pdf. Akses 27 Januari 2018.
Anonim. 2017. Kubis. (serial online) avaible from :
https://daunbuah.com/gambar-kol-dan-kubis/ Akses tanggal 1 April 2018.
Astuti, R., Siti, A. 2008. Identifikasi Telur Cacing Usus Pada Lalapan Daun Kubis
Yang Dijual Pedagang Kaki Lima di Kawasan Simpang Lima Kota Semarang.
Proseding Seminar Nasional: Continuing Medical and Health Education
(CMHE), Vol. 1, No. 1, Hlm. 297 -307, (serial online), Avaible from :
jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/133/114. Akses
tanggal 26 Januari 2018.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2013. Hookworm : Biology,
Atlanta: Center for Disease Control and Prevention. (serial online) Avaible
from : http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.html. Akses tanggal
26 Januari 2018.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2013. Trichuriasis : Biology,
Atlanta: Center for Disease Control and Prevention (serial online) avaible
from : http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/biology.html. Akses 26 Januari
2018.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC.) 2018. Ascariasis : biology,
atlanta: center for disease control and prevention. (Serial online) avaible from
: http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html Akses 26 Januari 2018.
Cheesbrough, M. 1991. Techniquws used t Identify Parasites, Medical Laboratory
Manual for Tropical Countries. Edisi 2. Butterworth-Hememanm Ltd,
Oxford, UK.
Damayanti. 2012. Pengobatan dan penilaian Status Gizi anak Sd N 1 Luwus,
Baturiti Yang Menderita Kecacingan (Soil Transmitted Helminths). Jurnal
Udayana Mengabdi (serial online) avaible from
https://ojs.unud.ac.id/index.php/jum/article/view/6446. Akses 3 Februari 2018.
Endrawati, Heni. 2011. Pemeriksaan Tinja Metode Kato Katz (serial online)
Avaible from :
http://analisisduniakesehatan.blogspot.com/2011/11/06/pemeriksaan-tinja-
metode-kato katz.html. Akses 2 April 2018.
36
24
Gandahusada, Srisasi., Herry D. Illahue, Wita Pribadi. 1998. Parasitologi
Kedokteran, Edisi III, FKUI. Jakarta.
Irianto, Koes. 2013.Parasitologi Medis. Alfabeta. Bandung.
Ismid Is, Winita R, Sutanto I, Zulhasril, Sjarifuddin Pk. 2000.Penuntun Praktikum
Parasitology Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jurnal Kesmas Uad. 2010;6(2):162–232.
Kapti I N, Luh Ariwati, Made Sudarmaja, 2004. Pengobatan Penyakit Cacing
Usus pada Anak-Anak SD Di Bali Periode 2003-2007. Jurnal Pengabdian
Masyarakat Udayana Mengabdi, Vol 3 No 2 tahun 2004, Lembaga
Pengabdian Masyarakat Unud (serial online) avaible from
https://ojs.unud.ac.id/index.php/jum/article/view/6446. Akses 2 Februari 2018
Kumarawati N, Supartha I, Yuliadhi K. Struktur Komunitas Dan Serangan Hama-
Hama Penting Tanaman Kubis (Brassica Oleracea L.) Agroteknologi Tropika
(Serial online) Avaible from :http://Ojs.Unud.ac.id/index.php/jat.Akses 27
Januari 2018.
Lobi Leonardo Taruk, Et Al. 2016. Kontaminasi Telur Cacing Soil Transmitted
Helminth Pada Sayuran Kemangi Pedagang Kaki Lima Di Kota Palu Sulawesi
Tengah. Sulawesi Tengah : Media Litbangkes, Vol. 26 No. 2, Juni 2016, 65 –
70 (serial online) Avaible from :
ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view. Akses tanggal 30
Januari 2018.
Margono SS. 2008. Nematoda Usus. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi 4.
FKUI. Jakarta.
Mutiara H. 2011. Identifikasi Kontaminasi Telur Soil Transmitted Helminths Pada
makanan Berbahan Sayuran Mentah Yang Diajukan Kantin Sekitar Kampus
Universitas Lampung Bandar Lampung (serial online) Avaible from
download.portalgaruda.org/article.php?...Identifikasi%20Kontamin. Akses 28
Januari 2018.
Nitalessy, R. Woodford B.S. Joseph, Joice R.S.T.L. Rimper. 2015. Keberadaan
Cemaran Telur Cacing Usus Pada Sayuran Kemangi (Ocimum Basilicum)
Dan Kol (Brassica Oleracea) Sebagai Menu Pada Ayam Lalapan Di Warung
Makan Jalan Piere Tendean Kota Manado Tahun 2015. (serial online).
Avaible from : medkesfkm.unsrat.ac.id/.../keberadaan-cemaran-telur-
cacing-usus. Akses tanggal 28 Januari 2018.
Okdiyanzah Suayday Dan Widiastuti, 2014. Kontaminasi Parasit Usus Pada
Sayuran Kubis Pasar Tradisional Dan Swalayan Jakarta Dengan Perendaman
Larutan Garam-Cuka Tahun 2014. Jakarta : Program Pendidikan Dokter
25
Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia. (serial online) Avaible from :
www.digilib.ui.ac.id/naskahringkas/2017-01/S-Suaydiy. Akses tanggal 28
Januari 2018.
Oktavia. Galuh. 2007. Redesain Pasar Jongke Surakarta. Skripsi S-1.Fak. Teknik
.Jur.Arsitektur, Universitas Atma Jaya. (serial online). Avaible from : e-
journal.uajy.ac.id/835/2/1TA12704.pdf. Akses tanggal 28 Maret 2018.
Rubatzky, Vincent E dan Mas Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia Prinsip,
Produksi dan Gizi Jilid kedua. ITB. Bandung.
Rukmana. 2001. Bertanam Kubis. Kanisius. Yogyakarta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D.Alfabeta.
Bandung.
Supali, T., Margono, S. S., dan Abidin, S. A. N., 2008. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. Edisi ke 4. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Suzuki, N. 1975. Colour Atlas Of Human Helminth Eggs. Seamic. Tokyo Japan.
Wardhana, Kp., Kurniawan, B., Mustofa, S. 2014. Identifikasi Telur Soil
Transmitted Helminths Pada Lalapan Kubis (Brassica Oleraceae) Di Warung
–Warung Makan Universitas Lampung. Medical Journal Of Lampung
University Vol. 3, No. 3, Hlm. 86-95. (serial online) Avaible from :
(Juke.Kedokteran.Unila.Ac.Id. Akses 27 Maret 2018.
World Health Organization. 2013. Soil Transmitted Helminthases Eliminating Soil
Transmitted Helminthases as a public Health Problem in Children. (serial
online). Avaible from :
http://whqlibloc.who.int/publicrelation/2013/9789241503129 ey.pdf. tanggal
30 Januari 2018.
Yuliadhi dan Sudiarta. 2012. Strukur Komunitas Hama Pemakan Daun Kubis dan
Investigasi Musuh Alaminya. Agrotop 2(2) : 191-196 (2012) ISSN : 2088-
155 X Fakultas Pertanian Udayana DPS. Bali (serial online) Avaible from :
docplayer.info/46458899-E-jurnal-agroekoteknologi. Akses tanggal 21
Februari 2018.