Post on 05-Aug-2015
LAPORAN STUDI KASUS MINOR
ILMU PENYAKIT MULUT
STOMATITIS APHTOUS REKUREN
Disusun oleh :
Nikita Irzana Utami
1601 1209 038
Pembimbing:
Dewi Zakiawati, drg
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Stomatitis Aphtous Recurrent merupakan lesi yang umum atau sering terjadi pada
mukosa oral. SAR adalah suatu penyakit ulser yang bersifat rekuren pada mukosa oral tanpa
disertai adanya gejala dari penyakit lain. Banyak peneliti dan spesialis di bidang penyakit
mulut tidak lagi menganggap SAR sebagai penyakit tunggal, tetapi lebih kepada beberapa
keadaan patologis dengan manifestasi klinis yang hampir sama.
Melanosis fisiologis merupakan pigmentasi oleh melanin secara generalisata dan
konstan karena adanya deposit melanin di lapisan basal. Keadaan ini disebut pula
melanoplakia. Sering terjadi pada individu berkulit gelap. Paling sering ditemukan di gingiva
cekat. Kondisi ini muncul difus, ribon-like, garis gelap. Biasanya simetris dan asimptomatik.
Ankyloglossia terjadi akibat frenulum lingualis yang melekat pada dasar mulut
sehingga sering menyebabkan keterbatasan pergerakan pada lidah. Kondisi ini merupakan
keadaan fisiologis bukan patologis. Frekuensi terjadinya yaitu 1 kasus setiap 1000 kelahiran.
Pada kasus ini seorang perempuan, usia 23 tahun datang dengan ulser pada mukosa
labial. Pada ujung lidah pasien terbelah dua dengan frenulum lingualis yang rendah. Terdapat
pula pewarnaan kecokelatan difus pada gingiva regio 33-43. Dari hasil pemeriksaan ulser di
labial adalah Stomatitis Aphtous Recurrent, frenulum lingualis yang rendah melekat sampai
ujung lidah sehingga ujung lidah terbelah dua dikenal dengan ankyloglossia, sedangkan
pewarnaan pada gingiva merupakan melanosis fisiologis.
Terapi yang dilakukan untuk kasus Stomatitis Aphtous Recurrent adalah dengan
memberikan Minosep gargle sebagai antiseptik. Untuk ankyloglossia, dan melanosis
fisiologis tidak dilakukan terapi apapun.
BAB II
STATUS KLINIK & KONTROL
ILMU PENYAKIT MULUT
2.1 Status Klinik Ilmu Penyakit Mulut
Tanggal : 4 September 2010
2.1.1 Data Umum Pasien
Nama : Nn. Anne
Umur : 23 tahun
Alamat : Sekeloa Selatan, Pondok Cinta Karya 125 a/ 135 c
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Belum menikah
Agama : Islam
No. Rekam Medis : 2010-08692
Pekerjaan : Mahasiswi
2.1.2 Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan sariawan pada bibir bawah bagian dalam 3 hari yang
lalu. Pasien suka menggigiti bagian dalam bibir bawah sehingga menonjol dari permukaan
sekitar. Pada saat dipakai makan, daerah tersebut tergigit sehingga lama-kelamaan terasa
perih. Terasa sakit saat makan makanan asam, pedas dan bila sikat gigi sering berdarah, serta
sakit tergesek-gesek gigi. Pasien jarang mengalami sariawan. Rasa perih berkurang saat
minum air dingin. Pasien belum pernah melakukan pengobatan apapun terhadap sariawan
tersebut. Tidak ada gejala lain yang menyertai. Pasien mengaku kurang mengkonsumsi
sayuran dan buah-buahan serta sering makan makanan pedas. Pasien sering mengkonsumsi
multivitamin, namun selama satu bulan terakhir belum mengkonsumsi lagi. Terdapat riwayat
keluarga (adik dan ibu pasien) yang pernah mengalami keluhan serupa. Saat ini pasien ingin
dirawat.
2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik
Penyakit jantung : YA/TIDAK
Hipertensi : YA/TIDAK
Diabetes Melitus : YA/TIDAK
Asma/Alergi : YA/TIDAK
Penyakit Hepar : YA/TIDAK
Kelainan GIT : YA/TIDAK
Penyakit Ginjal : YA/TIDAK
Kelainan Darah : YA/TIDAK
Hamil : YA/TIDAK
Kontrasepsi : YA/TIDAK
Lain-lain : YA/TIDAK
2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu
Disangkal
2.1.5 Kondisi Umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Suhu : Afebris
Tensi : 110/70 mmHg
Pernafasan : 17 x / menit
Nadi : 82 x / menit
2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral
Kelenjar Limfe
Submandibula kiri : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
kanan : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
Submental kiri : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
kanan : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
Servikal kiri : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
kanan : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
Lain-lain -
Bibir TAK
Wajah Simetri/Asimetri
Sirkum Oral TAK
Lain-lain -
2.1.7 Pemeriksaan Intra Oral
Kebersihan Mulut baik/sedang/buruk plak +/ -
Kalkulus + / - stain +/-
Gingiva terdapat pewarnaan kecokelatan difus pada gusi a/r 33-43
Mukosa Bukal TAK
Mukosa Labial Ulser ovoid berwarna putih dengan tepi kemerahan, diameter ± 2,5 mm
Palatum Durum TAK
Palatum mole TAK
Frenulum frenulum lingualis rendah
Lidah ujung lidah terbelah dua sepanjang ± 2 mm
Dasar Mulut TAK
2.1.8 Status geligi
PE PE
18 17 16 15 14 13 12 11 21 22 23 24 25 26 27 28
48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38
UE UE
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang
Radiologi tidak dilakukan
Darah tidak dilakukan
Patologi Anatomi tidak dilakukan
Mikrobiologi tidak dilakukan
2.1.10 Diagnosis
D/ - Stomatitits Aphthous Recurrent minor a/r mukosa labial dextra
- Melanosis fisiologis a/r gingiva 33-43
- Ankyloglossia
2.1.12 Rencana Perawatan dan Perawatan
- Pro R/ Minosep gargle, fls No. 1
ʃ col oris
- Pro vitamin B complex 400 mg No. VII
ʃ 1 dd 1
- Pro diet sehat (anjuran untuk mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan)
- Pro kontrol 1 minggu
Gambar 2.1 Ulser mukosa labial Gambar 2.2 Melanosis fisiologis
Gambar 2.3 Ankyloglossia
2.2 STATUS KONTROL IPM
Tanggal : 25 September 2010
2.2.1 Anamnesa
Tiga minggu lalu pasien datang dengan keluhan sariawan pada bibir bawah bagian
dalam. Sekarang pasien sudah tidak merasa sakit dan tidak terdapat bekas luka pada bibir
pasien. Saat ini pasien datang untuk kontrol.
2.2.2 Pemeriksaan Ekstra Oral
Kelenjar Limfe
Submandibula kiri : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
kanan : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
Submental kiri : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
kanan : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
Servikal kiri : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
kanan : teraba +/- lunak/kenyal/keras sakit +/-
Bibir TAK
Wajah Simetri/Asimetri
Sirkum Oral TAK
Lain-lain TAK
2.2.3 Pemeriksaan Intra Oral
Kebersihan Mulut
Debris Indeks Kalkulus Indeks OHI-S16 0
11 0
26 0
16 0
11 0
26 0
Baik/ sedang/ buruk
46 1
31 1
36 1
46 0
31 1
36 0
Stain +/-
DI = 3/6
CI = 1/6 OHI-S = DI + CI = 4/6 = 0,66 baik
Gingiva pewarnaan kecokelatan difus pada gingiva a/r 33-43
Mukosa Bukal TAK
Mukosa Labial TAK
Palatum Durum TAK
Palatum mole TAK
Frenulum frenulum lingualis rendah
Lidah ujung lidah terbelah dua sepanjang ± 2 mm
Dasar Mulut TAK
2.2.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang
TDL
2.2.5 Diagnosis
- Post Stomatitits Aphthous Recurrent minor a/r mukosa labial dextra
- Melanosis fisiologis a/r gingiva 33-43
- Ankyloglossia
2.2.6 Rencana Perawatan
- Pro OHI
Gambar 2.5 Ulser mukosa labial (sembuh)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Stomatitis Apthous Recurrent
3.1.1 Definisi
Stomatitis Apthous Recurrent (SAR) adalah lesi mukosa rongga mulut yang paling
sering terjadi, ditandai dengan ulser yang timbul berulang di mukosa mulut pasien dengan
tanpa adanya gejala dari penyakit lain (Greenberg and Glick, 2003).
3.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran klinisnya, SAR diklasifikasikan menjadi 3 tipe:
1. Ulkus aphtosa minor, 80 % kasus SAR, tampak sebagai ulkus oval atau bulat, dengan
diameter kurang dari 1 cm. Seringkali terjadi pada mukosa bibir dan pipi. Ulkus tipe
ini biasanya sembuh dengan spontan tanpa terbentuk jaringan parut, dalam waktu ±14
hari.
Gambar 3.1 Ulser aphtosa minor
2. Ulkus aphtosa mayor (Sutton’s disease), suatu varian besar dari aphtosa minor,
mengakibatkan ulkus yang lebih besar dan lebih merusak, berlangsung lebih lama.
Diameternya lebih dari 1 cm. Ulkus ini lebih lama sembuh dan sering mengakibatkan
jaringan parut.
Gambar 3.2 ulser aphtousa mayor
3. Ulkus herpetiform, gambaran klinis yang jelas pada mukosa mulut, bermanifestasi
sebagai ulser-ulser kecil dengan diamater 1-3 mm, jumlahnya banyak, bentuk bulat,
sakit, hampir mengenai seluruh mukosa mulut. Ø : 1-3 mm
Gambar 3.3 ulser herpetiformis
3.1.3 Etiologi
Penyebab pasti dari Stomatitis Apthous Recurrent masih belum diketahui, tetapi
kemungkinan bersifat multifaktor karena kejadiannya tidak dipastikan rekuren oleh faktor
yang sama. Stomatitis Apthous Recurrent timbul karena pengaruh dari faktor seperti faktor
genetik, defisiensi hematologis, abnormalitas imun, stress psikis, hormonal, trauma, alergi
pada makanan. Pemeriksaan intra oral diperlukan untuk mengetahui sumber trauma.
Miller, dkk menemukan 1.303 anak-anak dari 530 keluarga memiliki kemungkinan
tinggi SAR dengan orang tuan yang positif SAR. Penelitian oleh Ship menemukan 90%
kemungkinan pada anak-anak yang memiliki orang tua yang positif SAR. Pada anak dengan
orang tua yang tidak positif SAR memiliki kemungkinan 20%. Bukti lanjutan menunjukkan
turunan penyakit ini berhubungan dengan HLAs spesifik yang diidentifikasi pada pasien
positif SAR, terutama pada grup etnik tertentu.
Defisiensi hematologis, terutama serum besi, asam folat, dan vitamin B12 dapat
menyebabkan SAR pada pasien. Faktor lain yang diduga dapat menjadi etiologi SAR
termasuk trauma, stress dan kecemasan, alergi pada makanan. Telah ditemukan juga bahwa
merokok dapat meningkatkan frekuensi dan keparahan dari SAR. Hay dan Reade melaporkan
alergi pada makanan, seperti susu, keju, gandum, dan tepung.
3.3.4 Gambaran Klinis
Ulser Stomatitis Apthous Recurrent terjadi secara tunggal atau multiple, dangkal,
berbentuk ovoid, sakit, terjadi dalam hitungan minggu. Penyembuhan tanpa jaringan
parut biasanya terjadi antara 10 sampai 14 hari.
Tabel 3.1 Gambaran Klinis Stomatitis Apthous Recurrent (Tyldesley,2003)
Gambaran Tipe Minor Tipe Mayor Tipe Herpetiform
Usia onset 20-an 10 atau 20-an 30a-n
Jumlah Ulser 1-5 1-3 Mencapai lusinan
Ukuran Ulser (mm) <10 >10 1-3
Durasi 7-14 hari 2 minggu-3 bulan 7-14 hari
Meninggalkan
Jaringan Parut
Tidak Iya Tidak
Lokasi Mukosa tidak
berkeratin,
terutama mukosa
labial & bukal serta
lidah
Mukosa berkeratin
dan tidak
berkeratin, seperti
palatum lunak
Mukosa tidak
berkeratin dan
dasar mulut serta
lidah
3.3.5 Patofisiologis
Stomatitis aphtous dimulai dari masa prodromal selama 2-48 jam, berupa panas atau
nyeri setempat. Pada periode initial ini, terbentuk area eritem yang terlokalisasi. Kemudian
48-72 jam berikutnya, papul putih kecil terbentuk, terjadi ulserasi dan membesar. Lesi
individual berbentuk bulat, simetris, dan dangkal. Mukosa bukal dan labial paling sering
terlibat. Lesi terasa sakit, dan dapat mengganggu bicara dan pada saat makan.
3.3.6 Diagnosis
Penegakkan diagnosis dapat diambil dari data riwayat dan pemeriksaan sistematis
pasien yang dapat membedakan Stomatitis Apthous Recurrent dengan lesi akut primer atau
lesi multiple kronis. Harus diketahui etiologi jelasnya apakah dari kelainan darah, gejala
sistemik, stress, atau hormonal. Selain itu sebaiknya dihubungkan juga dengan penyakit
connective-tissue, dan perubahan kadar Fe, folat, dan Vitamin B12.
Pemeriksaan secara visual, palpasi, dan tanda-tanda klinis efektif dalam menegakkan
diagnosis. Dan pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan apabila diagnosis masih
meragukan, ulser bertambah parah, dan mengarah kepada keganasan.
3.3.7 Diferensial Diagnosis
1. Bechet’s disease
2. Herpes Simplex Virus
3.3.8 Terapi
Pertama-tama, praktisi kesehatan sebaiknya menghilangkan faktor predisposisi yang
diduga mengakibatkan lesi. Jenis pengobatan yang diberikan terhadap Stomatitis Apthous
Recurrent adalah berdasarkan tingkat keparahan dari ulser itu sendiri. Pada kasus ringan
dapat dipakai obat topikal seperti penggunaan Orabase. Rasa sakit pada lesi minor dapat
diredakan dengan pemberian agen topikal anastesi atau topikal diclofenac. Sedangkan pada
kasus berat penggunaan topikal steroid seperti dexametason 0,05 mg/5 mL, dikumur-kumur 3
kali sehari. Penggunaan salep tetrasiklin topikal 3% juga dapat digunakan untuk kasus berat,
dioleskan 1-3 kali sehari. Pemberian analgesik dan antiseptik secara sekaligus dapat
digunakan gargle yang mengandung Benzydamine HCl 15 mL dikumur selama 60 detik, 2-3x
perhari, maksimum 7 hari (Greenberg and Glick, 2003).
Tabel 3.1 Pilihan Therapeutik untuk SAR (Field & Longman, 2003)
Tipe TerapiTopikal antiseptik Chlorhexidine gluconate (Obat kumur)Topikal analgesik Benzydamine hydrochloride (Obat kumur)
Obat kumur LignocaineTopikal kortikosteroid Hydrocortisone hemisuccinate (pellets)
Triamcinolone acetonide (dalam pasta adhesif)Betamethasone valerate (Obat kumur)Beclomethasone dipropionate (spray)
Budesonide (spray)Obat kumur Triamcinolone (dengan/ tanpa chlortetracycline)
Topikal antibiotik Obat kumur ChlortetracyclineImmunomodulator sistemik Prednisolone
AzathioprineColchicineCiclosporinThalidomide
Lain – lain CimetedineCarbenoxolone (Obat kumur dan sistemik)5 amino-salicylic acidDapsonePentoxphyllineLow-energy laserLevamisole
3.2 Pigmentasi Fisiologis (Melanin)
Gingiva cekat dan marginal pada umumnya berwarna coral pink dan dihasilkan oleh
suplai vascular, ketebalan dan tingkat keratinisasi epitelium, serta adanya sel yang
mengandung pigmen. Warnanya bervariasi pada setiap individu.
Melanin, pigmen non-hemoglobin berwarna cokelat, merupakan pigmen normal yang
terdapat pada kulit, gingiva, dan membran mukosa oral lain. Melanin disintesis oleh
melanosit yang mendistribusi granula melanin pada lapisan basal sekitarnya. Pigmentasi
melanin pada rongga mulut sering pada individu berkulit gelap.
Pigmentasi ini juga disebut melanoplakia, yaitu pigmentasi berwarna gelap
generalisata dan konstan. Kondisi ini bersifat fisiologis, bukan patologis. Paling sering
terdapat pada gingiva cekat.
Distribusi pigmentasi oral pada individu berkulit gelap meliputi 60% pada gingiva,
61% pada palatum keras, 22% pada membran mukosa, dan 15% pada lidah. Hal ini dapat
muncul pada gingiva 3 jam setelah lahir (Carranza, 2002)
Pigmentasi gingival terlihat difus, ribbon-like, garis gelap, diskolorisasi keunguan
atau cokelat berbentuk ireguler dan patches berwarna cokelat muda. Biasanya simetris dan
asimptomatik. Tingkat pigmentasi dapat bervariasi dari cokelat muda sampai cokelat tua,
mungkin juga dapat berwarna biru-hitam.
Gambar 3.4 Melanoplakia
3.3 Ankyloglossia
Frenulum lingualis normalnya terikat pada ventral lidah dan genial tubercles pada
mandibula. Apabila frenulum tidak terikat pada lidah dan genial tubercle, tapi malah menyatu
ke dasar mulut atau gingiva lingual dan ujung ventral lidah, kondisi ini dikenal dengan
ankyloglossia atau disebut juga “tongue tie”.
Kondisi kongenital ini dikarakterisasi dengan frenulum lingualis yang pendek abnormal
dan malposisi, serta lidah tidak bisa dijulurkan atau diretraksi. Fusi ini dapat bersifat parsial,
yang lebih sering terjadi, dan dapat bersifat komplit. Pada kasus ankyglossia komplit,
kadang-kadang frenulum melebar dan melekat sampai ujung lidah dan membelah di ujungnya
Jika kondisinya parah, dapat mengganggu bicara. Koreksi bedah dan terapi bicara
diperlukan apabila bicara terganggu atau pada saat pembuatan gigi tiruan penuh maupun
parsial lepasan.. Ankyloglossia muncul dengan frekuensi 1 kasus setiap 1000 kelahiran.
Gambar 3.5 Ankyloglossia
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kunjungan pertama tanggal 4 September 2010, pasien datang dengan keluhan
sariawan pada bibir bawah bagian dalam 3 hari yang lalu. Pasien suka menggigiti bagian
dalam bibir bawah sehingga menonjol dari permukaan sekitar. Pada saat dipakai makan,
daerah tersebut tergigit sehingga lama-kelamaan terasa perih. Terasa sakit saat makan
makanan asam, pedas dan bila sikat gigi sering berdarah, serta sakit tergesek-gesek gigi.
Pasien jarang mengalami sariawan. Rasa perih berkurang saat minum air dingin. Pasien
belum pernah melakukan pengobatan apapun terhadap sariawan tersebut. Tidak ada gejala
lain yang menyertai. Pasien mengaku kurang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan serta
sering makan makanan pedas. Pasien sering mengkonsumsi multivitamin, namun selama satu
bulan terakhir belum mengkonsumsi lagi. Terdapat riwayat keluarga (adik dan ibu pasien)
yang pernah mengalami keluhan serupa.
Pada pemeriksaan ekstraoral, tidak ditemukan kelainan pada pasien tersebut. Pada
pemeriksaan intra oral di mukosa labial kanan ditemukan sebuah ulser ovoid berwarna putih
dengan tepi kemerahan, diameter ± 2,5 mm.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan klinis secara intra oral dapat ditegakkan
diagnosa Stomatitis Aphthous Recurrent (SAR) minor et causa traumatic et regio mukosa
labial kanan. SAR minor adalah yang paling umum dari ulser ini. Terjadi lebih sering pada
pada dekade ke-dua. Secara klinis, ulkus aphtosa minor, 80 % kasus SAR, tampak sebagai
ulkus oval atau bulat, dengan diameter kurang dari 1 cm. Seringkali terjadi pada mukosa bibir
dan pipi. Ulkus tipe ini biasanya sembuh dengan spontan tanpa terbentuk jaringan parut,
dalam waktu ±14 hari. Mukosa bukal dan mukosa lingual paling sering terjadi ulser.
Perawatan yang diberikan untuk Stomatitis Aphthous Recurrent Minor adalah dengan
minosep gargle yang mengandung Klorheksidin Glukonat 2% sebagai antiseptik untuk
mencegah infeksi pada lesi dan mempercepat proses penyembuhan. Pasien juga
diinstruksikan untuk menjaga oral hygiene (OHI) dan meningkatkan intake nutrisinya supaya
daya tahan tubuh baik.
Pasien memiliki kebiasaan menggigiti bibir bagian dalam. Walaupun jarang mengalami
sariawan di tempat tersebut, tapi terdapat kemungkinan untuk ulser muncul kembali. Oleh
karena itu, pasien diinstruksikan untuk menghindari kebiasaan tersebut.
Pasien didiagnosa memiliki ankyloglossia yang komplit karena frenulum lingualisnya
terikat di dasar mulut sampai pada ujung lidah dan membelah di ujungnya sehingga terlihat
seperti bifid tongue. Dalam kasus ini diagnosis bandingnya adalah bifid tongue. Pasien
mengaku terdapat riwayat keluarga yang memiliki keadaan yang sama.
Tidak ada terapi yang diberikan karena merupakan kondisi anatomis pasien. Tidak ada
gangguan ataupun kesulitan dalam bicara yang biasanya diakibatkan oleh frenulum lingualis
yang rendah, sehingga intervensi bedah bersifat optional.
Selain itu, terdapat pewarnaan/pigmentasi fisiologis karena melanin atau disebut pula
melanoplakia pada gingiva cekat regio 33-43 yang difus dan berwarna kecokelatan. Kondisi
ini bersifat fisiologis, bukan patologis. Paling sering terdapat pada gingiva cekat. Pigmentasi
gingival terlihat difus, ribbon-like, garis gelap, diskolorisasi keunguan atau cokelat berbentuk
ireguler dan patches berwarna cokelat muda. Biasanya simetris dan asimptomatik. Tingkat
pigmentasi dapat bervariasi dari cokelat muda sampai cokelat tua, mungkin juga dapat
berwarna biru-hitam. Oleh karena merupakan variasi normal, maka tidak dilakukan terapi
untuk pigmentasi pada gingiva tersebut.
Kemudian pada tanggal 25 September 2010 pasien datang untuk kontrol. Sekarang
pasien sudah tidak merasa sakit dan tidak terdapat bekas luka pada bibir pasien. Pasien
diinstruksikan untuk tetap menjaga oral hygiene (OHI) dan mengkonsumsi diet sehat
(sayuran dan buah-buahan) untuk menjada imun tubuh yang baik. Melanosis fisiologis pada
gingiva regoi 33-43 dan ankyloglossia pada pasien masih terlihat.
BAB V
KESIMPULAN
Stomatitis Apthous Recurrent (SAR) adalah lesi mukosa rongga mulut yang paling
sering terjadi, ditandai dengan ulser yang timbul berulang di mukosa mulut pasien dengan
tanpa adanya gejala dari penyakit lain. Faktor predisposisi dapat berupa trauma, defisiensi
nutrisi, stres, gaya hidup dan alergi.
Terapi yang diberikan operator adalah memberikan minosep gargle yang mengandung
Klorheksidin Glukonat 2% sebagai antiseptik untuk mencegah infeksi pada lesi dan
mempercepat proses penyembuhan. Tiga minggu kemudian pasien datang untuk kontrol,
sariawan telah sembuh dan tidak ada keluhan lain dari pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Greenberg and Glick. 2003. Burket’s Oral Medicine. AS: BC Decker Inc.
Langlais and Miller. 2000. Colour Atlas of Common Oral Dissease.
Carranza; Newman; Takei. 2002. Carranza’s Clinical Periodontology 9th ed. USA : W.B. Saunders Co.
TUGAS DISKUSI
A. Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
B. Tingkatan Hipertensi
Kategori SBP dan/atau DBP (mmHg)
Optimal <120 dan <80
Normal <130 dan <85
Normal-tinggi 130-139 atau 85-89
Hipertensi
Stage 1 140-159 atau 90-99
Stage 2 160-179 atau 100-109
Stage 3 ≥ 180 atau ≥ 110
C. Kelainan Sistemik yang Mempengaruhi SAR
Penyakit Jantung dan Hipertensi
Obat-obatan hipertensi dan penyakit jantung dapat menyebabkan dry mouth ( mulut
kering ), sehingga produksi saliva berkurang. Saliva berfungsi sebagai pembilas
makanan, menetralkan asam dari bakteri, dan melumasi mulut. Apabila saliva
berkurang maka dapat meningkatkan resiko terjadinya iritasi pada mukosa mulut,
sehingga terjadinya resiko SAR dapat meningkat pula.
Diabetes Melitus
Pada pasien dengan DM, salah satu gejalanya adalah neuropathy, yaitu terganggunya
saraf simpatis dan parasimpatis. Gangguan ini dapat menyebabkan mulut kering.
Sama halnya pada efek obat-obatan pada hipertensi/penyakit jantung. Mulut kering
juga meningkatkan resiko terjadinya iritasi pada rongga mulut.
Kelainan GIT
Pada pasien dengan celiac disease, kelainan kadar komponen imun yang rendah
menunjukkan produksi yang menurun atau katabolisme (“hilangnya” komponen
imun) yang dipercepat. Hilangnya protein yang sampai menyebabkan
hipogamaglobulinemia dan hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal (sindrom
nefrotik) atau melalui saluran cerna (protein-losing enteropathy). Hilangnya
imunoglobulin melalui renal setidaknya bersifat selektif parsial, sehingga kadar IgM
masih dapat normal meskipun kadar IgG serum dan albumin menurun. Protein juga
dapat hilang dari saluran cerna melalui penyakit inflamatorius aktif seperti penyakit
Crohn, kolitis ulseratif dan penyakit seliak. Kerusakan sintesis paling nampak pada
malnutrisi. Defisiensi protein menyebabkan perubahan yang mendalam pada banyak
organ, termasuk sistem imun. Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi,
dan defek pada imunitas seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen dihubungkan
dengan nutrisi yang buruk, dan membaik setelah suplementasi diet protein dan kalori
yang cukup. Defisiensi imun tersebut memegang peranan penting dalam patogenesis
SAR. Mengingat defisiensi tersebut menyebabkan menurunnya kualitas mukosa
sehingga bakteri mudah melekat
Hamil
Salah satu faktor predisposisi dari SAR adalah hormonal yang dalam hal ini
kehamilan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya ketidakseimbangan hormon
progesteron dan estrogen yang terjadi pada saat hamil. Setelah kehamilan biasanya
stomatitis aphtous ini akan hilang dengan sendirinya seiring dengan kembalinya
keseimbangan hormon pada pasien tersebut. Begitu pula pada pemakaian kontrasepsi
yang menyebabkan ketidakseimbangan hormon.
DefisiensiNutrisi
Defisiensi besi, asam folat, vitamin B1, B2,B6, B12 kemungkinan 2 kali lebih
besar terkena SAR dibandingkan orang yang sehat. Defisiensi vitamin B1, B2, dan B6
telah ditemukan pada 28% pasien yang menderita SAR akan tetapi alasan mengapa
defisiensi vitamin tersebut menyebabkan SAR masih belum diketahui pasti. Namun
diduga defisiensi vitamin tersebut memegang peranan penting dalam patogenesis
SAR. Mengingat defisiensi vitamin tersebut menyebabkan menurunnya kualitas
mukosa sehingga bakteri mudah melekat
D. Lapisan Epitel Rongga Mulut, Berkeratin dan Tidak Berkeratin
Struktur epitel pada rongga mulut adalah Stratified Squamous Epithelium yang terdiri
dari perlekatan sel-sel yang kuat dan tersusun atas lapisan-lapisan.
Sel-sel epitel rongga mulut:
a. Keratinocyte:
Sel epitel mukosa rongga mulut (stratified epithelial cells) yang mengalami diferensiasi.
b. Non-keratinocyte:
Sel pigmen dendritik atau sel tipe lain dalam epitel secara kolektif.
Stratifikasi epitel rongga mulut (dari arah luar ke dalam):
1. Stratum Korneum = Keratinized Layer
2. Stratum Lusidum
3. Stratum Granulosum = Granular Layer
4. Stratum Spinosum = Prickle Cells Layer
5. Stratum Basalis = Basal Cells Layer
Lamina propia
Komponen lamina propia terdiri dari:
1. Serabut
2. Saraf, pembuluh darah, dan pembuluh limfe
3. Papillary layer
4. Retikuler layer
Pembagian mukosa berdasarkan struktur histologi epitel mukosa rongga mulut dibagi
menjadi 3, yaitu: Masticatory Mucosa, Lining Mucosa, dan Specialized Mucosa.
1. Mastikatori mukosa
• Sering untuk mengunyah
• Pada epitel yang sering mengalami keratinisasi
• Lamina propia padat dan terikat erat pada tulang
• Terdiri dari:
a. Gingiva dan ephitelial attachment (free dan attached gingiva)
b. Interdental papil dan palatum durum
• Sub mukosa bervariasi:
a. Gingiva → submukosa (-)
b. Palatum → submukosa (+)
• Palatum Durum:
a. Atap rongga mulut dilapisi dengan keratinized stratified squamous epithelium
b. Pada daerah midline tidak ada submukosa
c. Pada raphe mediana → terdapat papilla insisivus
d. Pada sisi-sisi raphe mediana terdapat ridge yang disebut rugea
e. Pada daerah anterolateral terdapat daerah berlemak yaitu daerah submukosa
2. Lining mukosa
• Lapisan epitel tebal
• Umumnya tidak berkeratin
• Lamina propia tipis dan elastis
• Ikatan lamina propia dengan submukosa bervariasi (elastisitas tinggi dan terikat erat),
tergantung regio. Misalnya:
a. Mukosa pipi
b. Mukosa bibir
c. Ventral lidah
d. Pallatum molle
e. Vestibulum
f. Mukosa alveolar
g. Dasar mulut
• Submukosa terikat pada otot (sering bergerak) → sering terkena trauma
• Lining mukosa terdapat pada:
a. Bibir
b. Pallatum Molle
c. Pipi
d. Permukaan lidah
e. Dasar mulut
Perbedaan kulit dan mukosa adalah pada kulit terdapat dua lapisan, yaitu epidermis
dan dermis, terdapat pula kelenjar sebacea (keringat) dan rambut, kecuali pada telapak tangan
dan kaki. Sedangkan pada mukosa hanya terdiri dari lapisan epitel gepeng, tanpa disertai
dengan kelenjar keringat maupun rambut.