Post on 05-Oct-2015
description
1
MAKALAH
SISTEM TRANSPORTASI
DISUSUN OLEH:
M. GEVIN ARDI
( 1207121334 )
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL S1
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU
2015
2
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN 3
BAB 2 KEPASTIAN DAN KETIDAKPASTIAN HUKUM
USAHA BONGKAR MUAT ... 6
BAB 3 PENGEMBANGAN SISTEM TRANSPORTASI
INTERMODA ... 22
BAB 4 ANGKUTAN UMUM MULTIMODA,
ALTERNATIF PERENCANAAN TRANSPORTASI
YANG SUSTAINABLE 52
DAFTAR PUSTAKA 56
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Pelabuhan memainkan peran yang sangat strategis dalam kebijakan ekonomi
yang mengandalkan surplus perdagangan luar negeri (ekspor) dari sektor non migas.
Dilihat dari berbagai perspektif, pelabuhan memainkan fungsi strategis seperti: as an
industry, as a service to trade, as a security dan fungsinya sebagai a market for
subsidiary services.
1.1. Peran strategis pelabuhan juga dapat dilihat dalam menciptakan efisiensi usaha
melalui kontribusi pelabuhan dalam melakukan penekanan terhadap distribution
cost yang akan berdampak pada daya beli, daya saing, dan multiplier effect
terhadap pertumbuhan dan pendapatan nasional. Pelabuhan merupakan sarana
penghubung utama antara pusat distribusi, produksi dan pasar baik untuk skala
global maupun regional. Pemisahan yang tegas antara fungsi produksi dengan
distribusi dan transportasi yang mengarah pada spesialisasi akan dapat
meningkatkan daya saing produk. Konsentrasi masing-masing bidang sesuai
dengan kompetensi keahlian akan menjadikan sistem produksi, distribusi dan
transportasi menjadi lebih efisien, cepat, terkoordinir dan efektif, sehingga barang
dapat diterima tepat waktu.
1.2. Sistem pengelolaan pelabuhan di Indonesia dilakukan dalam upaya
meningkatkan produktivitas, mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan peralatan
yang dalam pelaksanaannya direalisasikan dalam wujud aliansi strategis antara
Pemerintah, Penyelenggara Pelabuhan (PT. Pelindo), dan Badan Hukum
Indonesia (salah satunya adalah Perusahaan Bongkar Muat, PBM). Kerjasama
sejajar (win-win) dan saling membutuhkan (synergy) antara ketiga sub-sistem
tersebut mutlak diperlukan untuk terwujudnya suatu sistem pengelolaan yang
efisien dan produktif. Ego sektoral salah satu sub-sistem yang melakukan
pengelolaan, termasuk pembuatan kebijakan, tanpa memperhatikan atau
melibatkan komponen sub-sistem lainnya akan merusak kinerja sistem
pengelolaan pelabuhan. Sasaransasaran pengelolaan pelabuhan seperti
4
peningkatan efisiensi dan produktivitas akan sulit tercapai jika peranan antar sub-
sistem pengelolaan pelabuhan tidak diatur dengan sebaik-baiknya.
Oleh karenanya, pemerintah telah berupaya memberikan jaminan kepastian
hukum atas pelaksanaan pengelolaan pelabuhan dengan memberikan payung hukum
melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran sampai digantinya
undang-undang pelayaran tersebut menjadi UU No. 17 Tahun 2008, serta berbagai
ketentuan pelaksanaannya dalam berbagai level peraturan, mulai dari Peraturan
Pemerintah sampai kepada level Keputusan Menteri dan peraturan teknis lainnya.
Banyak perkembangan baru dalam bidang kepelabuhanan yang diatur dalam
UU 17 Tahun 2008 yang satu sisi menguntungkan ekonomi nasional namun tidak pula
berdampak negatif terhadap pengusaha pelayaran nasional, misalnya dalam UU
Pelayaran baru, adanya pemisahan antara fungsi regulator dan operator dalam
pengelolan pelabuhan, yang selama ini berada pada satu tangan, yaitu PT. Pelindo.
Pemerintah membentuk Badan Pengelola Pelabuhan (BPP) sebagai regulator di
pelabuhan komersial.
Sedangkan pelabuhan non komersial akan dikelola Unit Penyelenggaraan
Pelabuhan (UPP). Sementara, fungsi operator diberikan kepada perusahaan BUMN
(Pelindo), BUMD, atau perusahaan swasta. Selanjutnya menurut pemerintah peran
swasta asing yang dibatasi dalam undang-undang pelayaran yang baru ini, dengan
penerapan asas cabotage. Namun hal tersebut berdampak pula menjadi akan banyak
pengusaha pelayaran nasional yang justru menaruh bendera asing pada kapalkapalnya,
karena bendera Indonesia identik dengan mahal.
Hal ini pada tahap selanjutnya memungkinkan terjadinya capital flight yang
seharusnya masuk ke devisa Indonesia tetapi justru terbang ke negara lain. Bagi para
Pengusaha Pelayaran Nasional Payung regulasi undang-undang ini dapat
menguntungkan. Namun itu hanya bersifat sementara. Dalam jangka pendek pengusaha
bisa mendapatkan keuntungan yang berlipat. Mereka akan mengalihkan kapal mereka
dari berbendera asing ke bendera dalam negeri.
Selanjutnya untuk investasi swasta asing, misalnya, akan dibatasi penguasaan
sahamnya maksimal 49 persen dengan konsesi pengelolaan selama 30 tahun. Dengan
5
demikian kendali di pelabuhan tetap harus dipegang pemerintah. Ketentuan lainnya
adalah, investasi swasta tidak diizinkan untuk menyentuh sektor hulu. Tetapi swasta
hanya diperbolehkan memaksimalisasikan investasi pada sektor hilir, seperti
pembangunan dan pengembangan terminal.
6
BAB 2
KEPASTIAN DAN KETIDAKPASTIAN HUKUM
USAHA BONGKAR MUAT
Selain itu, pembangunan oleh swasta juga harus mengikuti rencana induk
pelabuhan nasional yang tengah disusun pemerintah. Dari sekian banyak peraturan di
atas tentunya yang diharapkan seluruh stakeholder adalah peraturan yang tegas,
menjamin kepastian hukum dan tidak overlapping. Seperti di dalam UU No. 17 Tahun
2008 adanya indikasi bahwa penghapusan monopoli PT. Pelindo akan menyebabkan
terbukanya peran swasta yang lebih luas dibanding sebelumnya, karena investor bias
menjadi operator di pelabuhan-pelabuhan yang belum dikuasai oleh PT. Pelindo.
Walaupun pemerintah berdalih, bahwa pemerintah masih memiliki fungsi kontrol dan
regulator, misalnya dalam hal penentuan tarif. Jadi, banyak peraturan pelaksana dari
Undang-Undang sering menimbulkan overlapping dan kekaburan dalam penataan
tugas dan fungsi pihak-pihak yang terkait pada tingkat instansi, Badan Usaha Pelabuhan
(BUP) dan Badan Hukum Indonesia (BHI), sehingga tidak mendukung iklim usaha di
pelabuhan. Berikut ini beberapa pandangan yang berkaitan dengan kepastian hukum
usaha bongkar muat, yaitu:
2.1. Dukungan Hukum dan Peran Dunia Usaha Bongkar Muat dalam
Pembangunan Nasional
Outward looking policy yang diterapkan Indonesia sejak lebih kurang tahun
1986 telah mendorong cukup signifikan pertumbuhan volume bongkar muat di
pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Pada tahun 1986 total kegiatan muat barang
(loading) untuk kegiatan pelayaran antar pulau dan internasional masing-masing
sebesar 45.816.405 ton untuk kegiatan antar pulau dan sebesar 63.588.649 ton
untuk internasional. Sedangkan kegiatan bongkar (unloading) sebesar 56.290.479
ton untuk kegiatan perdagangan antarpulau dan sebesar 20.302.445 ton untuk
perdagangan internasional.
7
Jumlah ini meningkat terus, sampai pada tahun 2003 jumlah total kegiatan
bongkar untuk kegiatan antar pulau sebesar 170.201.242 ton dan kegiatan
bongkar untuk kegiatan pengangkutan internasional sebesar 53.776.870 ton.
Sementara untuk kegiatan muat sebesar 137.949.398 ton untuk antar pulau dan
untuk internasional kegiatan muat mencapai angka sebesar 163.339.487 ton.
Peran usaha bongkar muat dalam hal ini sangat strategis karena bagaimana
pun juga kelancaran arus keluar masuknya barang baik untuk kegiatan antar pulau
maupun untuk kegiatan perdagangan internasional akan terganggu jika tidak
didukung oleh kegiatan unit usaha bongkar muat. Iklim usaha perdagangan
nasional menjadi kurang menarik jika unit usaha bongkar muat mengalami
sejumlah kendala.
Ironisnya peran strategis unit usaha bongkar muat tersebut dijalankan justru
dalam keadaan kurang mendukungnya piranti hukum yang mengatur usaha
bongkar muat di Indonesia. Kurang mendukungnya piranti hokum dalam hal ini
bukanlah dalam pengertian kuantitatif, karena secara factual banyak sekali
peraturan-peraturan yang mengatur eksistensi unit usaha bongkar muat.
Namun secara kualitatif, berbagai peraturan tersebut justru menciptakan
keadaan ketidakpastian bagi dunia usaha bongkar muat. Peraturan yang silih
berganti dengan membawa sejumlah persyaratan dan kondisi yang berubah-ubah
mengaburkan dimensi stability dan predictability dari unit usaha bongkar muat.
Keadaan yang demikian sangat menyulitkan pelaku usaha untuk memahami arah
pergerakan pembangunan sector angkutan laut pada umumnya, khususnya untuk
sektor usaha bongkar muat yang ingin dituju oleh pemerintah.
Konsekuensinya pelaku usaha dalam sektor usaha ini mengalami
kesulitan menyusun business plan untuk pengembangan usaha, karena adanya
keragu-raguan sebagai akibat dari kondisi dunia usaha yang sulit diprediksi.
Kondisi ini semakin diperburuk pula oleh substansi antar level peraturan yang
tidak sinkron satu dengan yang lain, bahkan menunjukkan gejala pertentangan
substansi antara level peraturan yang lebih tinggi dengan tingkatan yang lebih
rendah.
8
Jika diperhatikan sebenarnya hampir dalam setiap penyusunan program
kebijakan pembangunan sektor perhubungan, termasuk sektor angkutan laut,
penegakan hukum sebagai problem selalu dicantumkan. Padahal, secara ideal,
penegakan hukum haruslah dimulai dari pemikiran kritis terhadap substansi
hukum yang akan ditegakkan.
2.2. Pentingnya Kepastian Hukum dalam Pembangunan Hukum Usaha
Bongkar Muat.
Kepastian hukum dalam arti sinkronisasi secara vartikal dan horizontal
antar peraturan dan kepastian dalam penegakan (law enforcement) sangat
dibutuhkan dalam pengembangan dunia usaha. Oleh karena itulah salah satu
fungsi pembinaan kepelabuhanan di Indonesia sebagaimana dituangkan dalam
Penjelasan Umum PP No. 70 Tahun 1996 tentang Kepelabuhanan adalah untuk
menjamin kepastian hukum dan kepastian berusaha. Sasaran pembinaan
kepelabuhan ini sangat mendukung optimalisasi peran pelabuhan sebagai a
market for subsidiary services, seperti usaha jasa bongkar muat. Kepastian
hukum akan sangat menunjang pencapaian sasaran peran pelabuhan sebagai a
market for subsidiary services, karena hanya dengan kepastian hukumlah dimensi
stabilitas dan prediktabilitas bisa diwujudkan. Bagi dunia usaha secara umum,
termasuk usaha jasa bongkar muat, stabilitas dan terprediksinya dunia usaha
sangat diperlukan.
2.3. Eksistensi dan Perubahan Pola Pembinaan Usaha Jasa Bongkar Muat
dalam Hukum tentang Kepelabuhanan di Indonesia.
Pengakuan hukum atas eksistensi usaha jasa bongkar muat di pelabuhan
sebagai bagian integral dari sistem pengelolaan pelabuhan di Indonesia
dicantumkan dalam PP No. 2 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan dan
Pengusahaan Angkutan Laut. Berdasarkan PP ini, kegiatan bongkar muat dari/ke
kapal dilaksanakan oleh Perusahaan Pelayaran melalui unit usaha bongkar muat.
Eksistensi dari usaha jasa bongkar muat berdasarkan peraturan ini tidak bersifat
sebagai badan usaha yang mandiri, akan tetapi merupakan sub-ordinat dari
9
perusahaan pelayaran. Dalam waktu yang bersamaan perusahaan pelayaran
melakukan kegiatan angkutan laut baik dengan menggunakan kapal armada milik
maupun maupun dengan menggunakan sistem keagenan. Polarisasi fokus
kegiatan perusahaan pelayaran ternyata tidak memberikan dampak yang positif
bagi kinerja dan pertumbuhan perusahaan pelayaran.
Tujuan untuk meningkatkan daya saing dan profesionalitas perusahaan
pelayaran sulit tercapai karena tidak adanya spesialisasi usaha dari perusahaan
pelayaran. Kenyataan memperlihatkan bahwa peraturan ini menghasilkan ketidak
seimbangan dari usaha angkutan armada milik, keagenan dan bongkar muat.
Dalam perspektif ekonomi bisnis, berdasarkan sektor usaha yang paling
menguntungkan, ternyata usaha bongkar muat muncul sebagai sektor usaha
dominan yang mendatangkan keuntungan paling besar. Bahkan sering terjadi
subsidi silang dari sektor ini untuk menutupi kerugian sektor kegiatan usaha
angkutan lain.
Prospek usaha yang cukup menjanjikan dari usaha bongkar muat
menyebabkan terjadinya pembelokan kegiatan usaha perusahaan pelayaran.
Kegiatan utama yang idealnya ditujukan untuk usaha pelayaran (angkutan laut)
mengalami pergeseran kearah usaha bongkar muat. Kecenderungan ini dalam
jangka panjang bisa berakibat fatal terhadap sasaran pembinaan usaha pelayaran
yang lebih ditujukan sebagai sarana perhubungan untuk membina kesatuan
ekonomi negara kepulauan Indonesia serta sebagai instrumen kunci yang
menghasilkan efek multiplier bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada tahun 1985 Pemerintah merubah pola pengembangan usaha jasa
bongkar muat kearah kebijakan yang lebih condong pada pengembangan
profesionalitas dan kemandirian usaha jasa bongkar muat. Implementasi Instruksi
Presiden RI No. 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang
untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi telah mengembalikan fungsi pokok usaha
pelayaran pada angkutan laut. Dengan model ini eksistensi perusahaan bongkar
muat diakui sebagai usaha mandiri dan bersifat independen, bukan merupakan
subsidiary dari perusahaan pelayaran. Pola ini kemudian didukung oleh kebijakan
10
debirokratisasi pelayanan dokumentasi barang di sektor bea cukai untuk menekan
ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Pola pembinaan perusahaan bongkar muat ke arah kemandirian dan
profesionalitas usaha ditindak lanjuti dalam Keputusan Menteri Perhubungan RI
No. 88/AL/Phb.85 tanggal 11 April 1985 dan SK Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut No. A-2167/AL.62 tanggal 31 Desember 1985. Pola pengembangan kearah
profesionalitas terlihat dari tuntutan persyaratan substantif yang lebih ditekankan
kepada kesiapan peralatan bongkar muat dan kompetensi sumber daya manusia
dalam perusahaan jasa bongkar muat.Pola ini memungkinkan untuk mencapai
sasaran peningkatkan produktivitas bongkar muat pelabuhan. Pola pemisahan
antara fungsi pokok pelayaran dengan usaha jasa bongkar muat telah menciptakan
eksistensi yang lebih mandiri bagi usaha jasa bongkar muat yang pada akhirnya
akan berpengaruh positip pada peningkatan kinerja dan produktifitas kegiatan
pelabuhan, misalnya keberadaan BHI sebagai perusahaan bongkar muat diberikan
syarat-syarat modal dan peralatan yang besar dan berat serta sulit untuk
memperoleh ijin dari Departemen Perhubungan untuk berdiri sendiri sebagai
Perusahaan Bongkar Muat, sehingga fungsi ini tidak diikuti dengan kepastian
hokum mengenai kewenangan dan tanggungjawab masing-masing pelaku
(perusahaan pelayaran dan perusahaan bongkar muat, yang berakibat pada
prosedur penanganan klaim menjadi lambat.
Perusahaan bongkar muat merasakan dalam kegiatan kerja ditunjuk oleh
pelayaran dan/atau pemilik barang tanpa pernah mendapat ketegasan tentang
tanggungjawab terhadap barang, karena barang muatan kapal telah diasuransikan
secara door to door. Kelemahan lainnya adalah belum adanya trading condition
yang mengatur tentang tanggungjawab barang di terminal, terutama karena belum
jelasnya konvensi-konvensi angkutan laut yang dipergunakan oleh perusahaan
pelayaran di Indonesia.
Paradigma yang didasarkan pada prinsip kemandirian dan profesionalitas
dalam sistem pembinaan usaha jasa bongkar muat mengalami perkembangan yang
cukup signifikan pada tahun 1988. Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi sektor
kepelabuhanan melalui Paket November (Paknov) Tahun 1988 tentang
11
Peningkatan Ekspor Non-migas dan Kelancaran Distribusi Barang Melalui
Pelabuhan tidak saja mengandung prinsip kemandirian dan profesionalitas tetapi
meluas kepada prinsip perluasan kesempatan berusaha dan pengurangan campur
tangan yang terlalu besar dari pemerintah pada sektor kepelabuhanan.
Hal ini jelas terlihat dari berbagai kemudahan persyaratan pendirian
perusahaan bongkar muat seperti persyaratan pendirian yang cukup dengan akte
notaris dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) tanpa ada persyaratan modal dan
peralatan bongkar muat serta batasan jumlah pagu perusahaan bongkar muat yang
beroperasi di pelabuhan. Kebijakan Paknov lebih ditujukan kepada eliminasi
distorsi pasar akibat kebijakan pemerintah dan stimulasi persaingan untuk
mendorong dunia usaha jasa bongkar muat ke arah efesiensi. Kebijakan ini juga
mengembalikan peran pemerintah sebagai regulator bukan sebagai actor (pelaku
usaha).
Sebuah kebijakan yang mengarah kepada liberalisasi sektor usaha
kepelabuhanan. Liberalisasi kebijakan sektor usaha jasa bongkar muat yang
cenderung pada persaingan berdasarkan mekanisme pasar ternyata tidak dibarengi
dengan ketersediaan perangkat hukum persaingan usaha. Akibatnya Pertumbuhan
jumlah perusahaan bongkar muat yang beroperasi di pelabuhan justru telah
melahirkan praktek-praktek persaingan yang tidak sehat seperti kecenderungan
terjadinya perang tarif yang mengancam kelangsungan hidup perusahaan bongkar
muat yang tidak memiliki modal yang kuat. Di samping itu perusahaan-perusahaan
bongkar muat semakin mengalami kesulitan untuk mengembangkan kemampuan
berusaha secara professional yang pada gilirannya mempengaruhi produktifitas
dan kinerja pelabuhan.
Pada tahap selanjutnya kesederhanaan proses administrasi dan keterpaduan
pelayanan menjadi fokus utama pengembangan usaha kepelabuhan. Hal ini terlihat
jelas dalam pelaksanaan sistem satu atap pelayanan kapal dan bongkar muat barang
yang diatur dalam Instruksi Menteri Perhubungan No. 3 Tahun 1995. Realisasinya
adalah pembentukan Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) yang merupakan
perangkat kerja PT. Pelabuhan Indonesia (Persero). Namun sangat disayangkan
bahwa kebijaksanaan ini tidak didukung oleh sistem pengawasan pelaksanaan
12
PPSA yang baik, sehingga sering kali terjadi penempatan kapal yang tidak sesuai
dengan kesiapan barang yang mengakibatkan terjadinya biaya long distance dan
kecenderungan angkutan langsung.
Selanjutnya pemerintah memperkenalkan sistem manajemen operasional baru,
yakni sistem terminal operator (STO)/sistem gudang operator (SGO) yang
penerapannya terbatas untuk Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak dan
Pelabuhan Belawan. Sistem ini dioperasikan oleh perusahaan bongkar muat hasil
seleksi tender besarnya kemampuan untuk menyetor pada pelabuhan baru setelah
itu diberi izin mengoperasikan fasilitas pelabuhan milik pengelola pelabuhan
dengan persyaratan tertentu seperti pola kerjasama, target produktivitas,
persyaratan perusahaan bongkar muat, pengawasan, reward dan penalty.
Sistem baru ini juga mengandung sejumlah kelemahan yang penting untuk
mendapatkan perhatian pemerintah. Kepastian berusaha bagi perusahaan bongkar
muat belum dapat diharapkan akibat masa kerja sama yang cukup singkat yang
hanya lima tahun. Masa yang singkat ini sangat berpengaruh pada minat pelaku
usaha bongkar muat untuk melakukan investasi peralatan mekanis, karena tidak
adanya kepastian untuk memprediksi kondisi usaha pasca berakhirnya kerjasama.
Ketidakpastian hukum dalam sistem ini juga terdapat dalam sistem pungutan yang
tidak jelas, yang berakibat pada munculnya high cost economy pada perusahaan
bongkar muat dalam bentuk banyaknya pungutan di luar tarif resmi dari pengelola
pelabuhan yang dikaitkan dengan penyerahan dan pengoperasian fasilitas.
Suatu keadaan yang terpaksa diterima oleh perusahaan bongkar muat karena
memang tidak ada pilihan lain. Pada tahapan selanjutnya justru terjadi kemunduran
pada pola pengembangan usaha jasa bongkar muat di pelabuhan. PP No. 70 Tahun
1996 tentang Kepelabuhanan misalnya justru mengaburkan eksistensi perusahaan
bongkar muat (dalam terminology peraturan ini perusahaan bongkar muat dapat
dikategorikan ke dalam Badan Hukum Indonesia, BHI). PP ini menyerahkan
sepenuhnya kegiatan operasional dan pengawasan pelabuhan kepada Badan Usaha
Pelabuhan (BUP) yang berakibat kedudukan BHI hanya sebagai pelengkap saja.
Pola monopolistic dari BUP yang terkandung dalam PP ini menjadikan
13
pengembangan pelabuhan kearah efesiensi menjadi sulit tercapai, karena sangat
kurangnya stimulasi dari persaingan yang sehat.
Kemunduran juga terlihat pada PP No. 82 Tahun 1999 tentang Angkutan
Perairan di dalam pasal 3 dan 6 yang menyatakan bahwa:
penyelenggaraan angkutan laut dalam dan luar negeri dapat melakukan kegiatan
turun naik penumpang/hewan dan bongkar muat barang dari dan ke kapal. Hal
ini dapat kita interpretasikan bahwa kegiatan bongkar muatbarang yang dilakukan
oleh angkutan laut merupakan satu kesatuan (integarated) dengan kegiatan usaha
angkutan yaitu terbatas hanya untuk melayani kapal milik dan/atau kapal yang
dioperasikan secara nyata (charter), sehingga tidak diperlukan izin usaha kegiatan
bongkar muat karena izin usahanya melekat pada usaha pokoknya, yaitu kegiatan
angkutan laut.
Kebijakan ini sepertinya kembali pada pola pengembangan dalam PP No. 2
Tahun 1969 yang sudah lama ditinggalkan, karena mengakibatkan kaburnya fungsi
usaha pokok dan usaha penunjang. PP No. 82 tahun 1992 ini justru membuat tidak
adanya pemisahan lagi antara fungsi usaha pokok dengan usaha penunjang
(kegiatan pelayaran dan kegiatan bongkar muat), dengan demikian hal ini tidak
sesuai lagi dengan kaidah-kaidah yang tertuang di dalam UU No. 21 tahun 1992
tentang Pelayaran, khususnya pasal 70 dan 71 yang memisahkan dengan tegas
antara usaha pokok dan usaha penunjang angkutan laut, sehingga lebih
memberikan jaminan dan kepastian berusaha bagi semua pihak dalam usaha pokok
dan usaha penunjang.
Selanjutnya hal ini mengalami perubahan dengan keluarnya Keputusan
Menteri Perhubungan No. KM. 14 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan dan
Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari Kapal dan ke Kapal. Di mana di dalam
Keputusan Menteri Perhubungan ini mulai terlihat dengan jelas pemisahan antara
perusahaan pelayaran dan perusahaan bongkar muat. Di dalam pasal 3 ayat (1)
dinyatakan bahwa: kegiatan usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal
dilakukan oleh Perusahaan Bongkar Muat dan Perusahaan Angkutan Laut
Nasional. Selanjutnya di dalam pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa: Perusahaan
Bongkar Muat dapat melakukan kegiatan usaha bongkar muat barang dari dan ke
14
kapal, baik untuk kapal nasional maupun kapal asing yang diageni oleh Perusahaan
Angkutan Laut Nasional. Sedangkan untuk Perusahaan Angkutan Pelayaran di
dalam pasal 3 ayat (3) dinyatakan bahwa: Perusahaan angkutan laut nasional dapat
melakukan kegiatan bongkar muat barang terbatas hanya untuk kapal milik dan
atau kapal yang dioperasikan secara nyata/charter terhadap barang milik
penumpang, barang curah cair yang dibongkar atau dimuat dilakukan melalui pipa,
barang curah kering yang dibongkar atau dimuat melalui conveyor atau sejenisnya,
barang yang diangkut melalui kapal Ro-Ro dan semua jenis barang di pelabuhan
yang tidak terdapat pada Perusahaan Bongkar Muat, sehingga pemisahan antara
Perusahaan Pelayaran dan Perusahaan Bongkar Muat (PMB) mulai terlihat.
2.4. Ketidakpastian Hukum Usaha Jasa Bongkar Muat.
2.4.1. Pertentangan Substansi antar Peraturan
UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran berupaya menciptakan
profesionalisme pengelolaan pelabuhan dengan menetapkan fungsi yang
tegas dari instansi pemerintah, penyelenggara pelabuhan (BUP) dan badan
hukum Indonesia (BHI)/Perusahaan Bongkar Muat. Kemudian dilakukan
pemisahan yang tegas antara fungsi pokok dan fungsi usaha penunjang,
sehingga terdapat batasan yang jelas tentang hak dan kewajiban
masingmasing aktor yang terlibat dalam usaha pengelolaan pelabuhan.
Dengan model spesialisasi seperti ini BHI/Perusahaan Bongkar Muat
memiliki kemungkinan untuk dikembangkan secara profesional, karena
didukung oleh jaminan kepastian terhadap eksisten dan kemandirian usaha.
PP No. 70 Tahun 1996 sebagai peraturan pelaksana kemudian
menempatkan peran aktif dan partisipasi BHI (baca PBM) melalui
kerjasama saling menguntungkan dalam posisi yang sejajar dengan BUP.
Namun dengan dikeluarkannya SK Menhub No. 26 Tahun 1998
sebagai tindak lanjut dari PP No.70 Tahun 1996, maka sebagian besar
kaidah-kaidah hukum yang mengatur peran dan fungsi BHI, bentuk
kerjasama, ganti rugi dan pelayanan pelabuhan menjadi rancu dan kabur.
Kekaburan ini berasal dari ketentuan Pasal 1911 dan Pasal 2012 SK
Menhub yang justru telah memberikan peran dan fungsi yang sangat
dominan dari BUP sebagai pemegang lisensi dan konsesi atas pengelolaan
15
pelabuhan umum. Bagi BHI (baca PBM) hal ini sangat berdampak, karena
hampir semua usaha di pelabuhan dimonopoli oleh BUP, termasuk usaha
bongkar muat. Akibatnya semakin kabur kepastian hukum dalam
menjalankan usaha bagi PBM di pelabuhan.
Partisipasi PBM dan kegiatan operasional pelabuhan berdasarkan
PP No. 70 Tahun 1996 dan Kepmenhub RI No. 26 Tahun 1998 hanya
mungkin dilakukan apabila disetujui oleh BUP dengan dasar kerjasama
yang saling menguntungkan. Dalam keadaan yang demikian seluruh bidang
usaha di pelabuhan dimungkinkan dikelola oleh BUP secara monopoli, dan
dengan demikian status BHI tidak lebih berperan hanya sebagai subsistem
BUP yang bisa berperan aktif jika dibutuhkan BUP (pola operating port).
Tendensi adanya usaha monopoli oleh Pihak BUP yang
mengambil captive market yang dibangun dan dibina secara susah payah
dan sudah berlangsung sejak lama oleh BHI secara bertahap akan diambil
alih oleh BUP dengan sejumlah program-program yang dijanjikan kepada
pemakai jasa/atau investor yang datang ke pelabuhan dengan membawa
modal, tetapi belum memiliki pasar yang tetap. Dalam keadaan seperti ini
akan sangat memungkinkan bahwa lambat laun BHI akan semakin
tersingkir dari usaha kepelabuhanan.
Dengan demikian kondisi yang diciptakan oleh PP No. 70 Tahun
1996 dan Kepmenhub RI No. 26 Tahun 1998, yang memungkinkan peran
dominan dari BUP bertentangan dengan semangat atau jiwa dari UU No.
21 Tahun 1992 yang didasarkan pada prinsip profesionalitas dengan
penataan yang tegas peran dan fungsi aktor-aktor di pelabuhan (Pemerintah,
BUP dan BHI).
Ketentuan yang bertentangan dengan jiwa UU No. 21 Tahun 1992
juga dapat ditemukan dalam PP No. 82 Tahun 1999 tentang Angkutan Di
Perairan. PP ini membenarkan usaha pelayaran dalam dan luar negeri
melakukan usaha bongkar muat penumpang dan barang. Dengan kata lain
PP ini telah memunculkan kembali sistem pengelolaan yang
16
menghilangkan pembedaan antara fungsi usaha pokok dan fungsi usaha
penunjang. Tidak adanya pembedaan antara fungsi usaha pokok dan usaha
penunjang inilah yang justru ingin dieleminir oleh UU No. 21 Tahun 1992
karena telah melemahkan fungsi angkutan. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa perusahaan pelayaran ternyata lebih mengutamakan
usaha bongkar muat barang karena sektor lebih menguntungkan secara
finansial. Dalam jangka panjang kecenderungan ini akan melemahkan
sistem pelayaran nasional. Selanjutnya UU Pelayaran Tahun 2008 masih
berusaha menjalankan konsistensi pengaturan usaha bongkar muat seperti
dalam UU No. 21 Tahun 1992. Walaupun undang-undang belum dapat
diterapkan karena belum ada peraturan pelaksananya. Di dalam Pasal 31,
diatur bahwa:
a) Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan usaha jasa terkait
dengan angkutan di perairan.
b) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
c) Bongkar muat barang.
d) Jasa pengurusan transportasi.
e) Angkutan perairan pelabuhan.
f) Penyewaan peralatan angkutan laut/peralatan jasa terkait dengan
angkutan laut.
g) Tally mandiri.
h) Depo peti kemas.
i) Pengelolaan kapal (ship management).
j) Perantaraan jual beli dan/atau sewa kapal (ship broker).
k) Keagenan awak kapal (ship manning agency).
l) Keagenan kapal, dan
m) Perawatan dan perbaikan kapal (ship repairing and maintenance).
Selanjutnya Pasal 32 UU Pelayaran 2008 diatur mengenai:
2.4.1.1. Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan usaha jasa terkait
dengan angkutan di perairan.
17
2.4.1.2. Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (2)
dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk itu.
2.4.1.3. Selain Badan Usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kegiatan bongkar muat dapat dilakukan
oleh perusahaan angkutan laut nasional hanya untuk kegiatan
bongkar muat barang tertentu untuk kapal yang dioperasikannya.
2.4.1.4. Selain Badan Usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kegiatan angkutan perairan pelabuhan
dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan nasional. Hampir sama
dengan UU No. 21 tahun 1992, UU No. 17 Tahun 2008 ini
berusaha menciptakan profesionalisme pengelolaan pelabuhan
dengan menetapkan fungsi yang tegas dari instansi pemerintah,
penyelenggara pelabuhan (BUP) dan badan hukum Indonesia
(BHI) termasuk PBM.
Kemudian dilakukan pemisahan yang tegas antara fungsi pokok dan fungsi
usaha penunjang, sehingga terdapat batasan yang jelas tentang hak dan kewajiban
masing-masing actor yang terlibat dalam usaha pengelolaan pelabuhan. Konsistensi ini
diharapkan dapat menjadi konsep yang tegas tentang pola atau arah pengembangan
usaha-usaha kepelabuhanan.
2.4.2. Peraturan yang Kurang Memiliki Nilai-Nilai yang Mendidik
(Educative.)
Hukum bagi dunia usaha dalam hal ini berfungsi untuk
menyediakan kepastian serta mendorong dunia usaha untuk mampu
melakukan penyesuaian dengan perkembangan yang terjadi. Oleh
karenanya, pendidikan merupakan salah satu unsur yang harus terkandung
dalam hukum untuk dapat memainkan peran dalam pembangunan. Upaya
kearah ini sebenarnya merupakan cita-cita yang terkandung dalam PP No.
2 Tahun 1969, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Inpres No. 4 Tahun
1985 jo. Kepmenhub RI No. 88/AL.305/Phb.85 jo. SK DJPL No. A-
2167/AL.62 yang menghendaki pemisahan secara tegas fungsi usaha pokok
dan fungsi penunjang, dengan menjadikan usaha bongkar muat sebagai
badan usaha yang berdiri sendiri dan terpisah dari usaha pelayaran.
18
Kemandirian yang menjadi cita-cita perangkat peraturan dan
kebijakan tersebut merupakan langkah awal menuju kemampuan dunia
usaha untuk mengembangkan diri secara lebih professional dan mampu
mengikuti perubahan, karena dengan kemandirian badan usaha, maka
fleksibilitas perusahaan jasa bongkar muat semakin tinggi untuk dapat
mengikuti perubahan.
Nilai-nilai yang mendidik bagi usaha bongkar muat dalam
perangkatperaturan dan kebijakan diatas diimplementasikan melalui
penetapan persyaratan pendirian PBM yang disertai dengan standar tenaga
ahli (aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia) dan
kelayakan peralatan (aspek teknologi). Pemerintah kemudian menetapkan
pula jumlah pagu usaha di setiap pelabuhan untuk menjaga keseimbangan
volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah perusahaan disetiap
pelabuhan, dan menetapkan batasan modal dasar dan modal kerja untuk
masing-masing kelas pelabuhan. Dengan metode ini, maka PBM yang
beroperasi dipandang pada masa yang akan datang akan mampu
menyesuaikan diri terhadap perubahan dan persaingan karena disamping
memiliki fleksibiltas dan kemandirian, kelayakan modal usaha, juga telah
dilengkapi dengan kesiapan tenaga ahli dan peralatan. Deregulasi dan
debirokratisasi pada Paknov Tahun 1998 tentang Peningkatan Ekspor Non-
Migas dan Kelancaran Distribusi Barang Melalui Pelabuhan kemudian
menyederhanakan persyaratan administratif pendirian PBM dengan syarat
yang minimal yakni cukup dengan memiliki akte notaries dan nomor pokok
wajib pajak (NPWP). Di satu sisi debirokratisasi dalam Paknov telah
memperluas kesempatan dan kemudahan berusaha, terlihat dari
pertumbuhan pertumban PBM secara kualitas yang cukup signifikan.
Namun di sisi lain, paket kebijakan ini kurang mendidik bagi PBM
sendiri untuk masa-masa yang akan datang. Operasional PBM-PBM yang
berdiri menjadi kurang professional dan sangat rentan terhadap persaingan,
karena kurang memiliki orientasi terhadap profesionalisme akibat kurang
memadainya SDM dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
19
Prinsip kesederhanaan dan kemudahaan telah menyampingkan prinsip
profesionalisme dalam pengelolaan usaha. Keadaan ini memperlihatkan
bahwa hukum kurang memainkan peran strategisnya untuk mendidik
pelaku usaha kearah perkembangan yang lebih baik.
Kerentanan usaha-usaha bongkar muat terhadap persaingan justru
telah mengakibatkan kebanyakan PBM berusaha untuk tetap survive
dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan
perusahaan yang baik. Persaingan yang tidak sehat dan saling mematikan
mewarnai dunia usaha bongkar muat. efesiensi tidak terjadi karena strategi
memenangkan persaingan banyak dilakukan dengan cara-cara yang
menyimpang. Akibatnya produktifitas bongkar muat menjadi rendah dan
tentunya sangat mempengaruhi kinerja pelabuhan secara umum. Nilai-nilai
edukatif dan stabilitas dunia usaha bongkar muat juga kurang tercermin
dalam sistem terminal operator/gudang operator. Masa kontrak kerjasama
antara PBM terpilih dengan Pengelola Pelabuhan yang hanya lima tahun,
tanpa ada kepastian perpanjangan, menyebabkan keraguan bagi PBM
terpilih untuk melakukan investasi peralatan mekanis.
Di samping itu posisi dominan dari Pengelola Pelabuhan dalam
kontrak kerjasama dan ketergantungan yang sangat besar dari PBM
terhadap Pengelola Pelabuhan telah memicu munculnya sejumlah
pungutan-pungutan di luar tarif yang berlaku yang dilakukan pihak
Pengelola Pelabuhan terkait dengan penyerahan pengoperasian fasilitas
pelabuhan. Kurangnya kemandirian bagi PBM mengakibatkan kebanyakan
PBM tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui pembayaran-
pembayaran di luar tarif tersebut. Keadaan seperti ini tidak mendidik PBM
untuk mengembangkan diri secara professional, karena strategi PBM lebih
didominasi oleh keinginan untuk mengikuti keinginan Pengelola Pelabuhan
bukan atas dasar pertimbangan bisnis yang strategis.
2.4.3. Dampak Negatif Adanya Ketidakpastian Hukum dalam Usaha
Bongkar Muat.
20
Pelaku usaha tertentu dapat menikmati kesejahteraan hanya
melalui upayanya mempengaruhi kebijakan pemerintah ke arah yang lebih
menguntungkan kepentingannya sendiri atau kelompoknya. Dengan kata
lain hukum telah dibelokkan secara tidak adil oleh kepentingan kelompok
tertentu. Hal ini dapat dilihat secara jelas dari Kepmenhub RI No. 26 Tahun
1998 yang memungkinkan semua kegiatan usaha di pelabuhan di monopoli
oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang merupakan badan usaha milik
negara (BUMN) dengan alasan kepentingan nasional. Keberpihakan hukum
terhadap BUP belum tentu bisa menciptakan efesiensi dalam pengelolaan
pelabuhan, bahkan justru bisa sebaliknya. Perlindungan yang berlebihan
bagi BUP justru akan mengabaikan nilai-nilai efesiensi di tubuh BUP,
sulitnya membentuk corporate culture di tubuh BUP, dan semakin
besarnya intervensi negara cq. aparatur pemerintah di tubuh BUP.
Akibatnya di masa yang akan datang kemandirian BUP akan berkurang dan
berakibat pada kelemahan pada aspek menejerial, struktural, financial dan
cultural yang pada akhirnya mengantar BUP menjadi badan usaha yang
tidak memiliki daya saing secara nasional, apalagi pada tataran regional dan
global.
2.4.4. Pola Perumusan yang Tidak Partisipatif.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa proses pembuatan hukum
harus diawali dengan tahap sosio-politis. Pada tahap ini terjadi
pengumpulan gagasan, ide dari masyarakat dan oleh masyarakat melalui
pertukaran pendapat antar berbagai golongan dan kekuatan dalam
masyarakat. Pada tahap ini suatu gagasan akan mengalami ujian, apakah ia
akan bisa terus digelindingkan atau berhenti di tengah jalan. Pola awal
pembuatan hokum seperti ini mutlak menghendaki pendekatan partisipatif
dalam perumusan ide atau gagasan, sehingga lebih memungkinkan untuk
menyusun secara tepat permasalahan mendasar dan gagasan untuk
mengaturnya melalui peraturan hukum.
Pendekatan partisipatif ini sangat kurang dalam perumusan
peraturan hukum atau kebijakan yang mengatur kegiatan usaha jasa
21
bongkar muat di pelabuhan. Para pelaku usaha atau lembaga-lembaga
tempat berkumpulnya pelaku usaha bongkar muat sangat kurang dilibatkan
dalam proses pembuatan peraturan hukum atau kebijakan bahkan yang
mengatur diri mereka sendiri. Peraturan yang selalu datang dari otoritas
yang berkuasa dan harus diterima tanpa banyak tanya adalah fenomena
yang sering terjadi dalam penataan sector usaha jasa bongkar muat.
Akibatnya peraturan yang dihasilkan umumnya tidak tepat sasaran bahkan
seperti diuraikan sebelumnya, tidak sinkron antara peraturan yang satu
dengan yang lain.
Pendekatan yang tertutup dalam pembuatan hukum sangat
potensial dimasuki oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu untuk
menjamin eksistensi serta mengamankan peluang-peluang keuntungan
kelompok tertentu tersebut dalam substansi peraturan yang akan dibentuk.
Jalinan kepentingan antara pembuat hukum dan kelompok kepentingan
yang dominan tidak saja mengorbankan kepentingan yang lebih besar tetapi
juga menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dikemas
dalam terminologi kepentingan umum atau kepentingan nasional. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika dalam berbagai peraturan hukum dan
kebijakan di sektor pelabuhan lebih memberikan ruang yang sangat besar
bagi kelompok tertentu, yakni Badan Usaha Pelabuhan (BUP).
Peraturan yang dihasilkan dengan cara-cara seperti ini kurang
berhasil menciptakan keadilan dalam dunia usaha dan akan sangat sulit
mendorong perkembangan dunia usaha kepelabuhan kearah yang lebih
efesien dan produktif. Oleh karena itu pendakatan perumusan peraturan
yang lebih partisipatif dengan lebih memberdayakan stakeholder atau
konstituen, terutama aktor-aktor yang terkait langsung dengan substansi
peraturan, harus lebih dikembangkan agar hukum yang tercipta lebih dapat
mengakomodasi secara adil kepentingan-kepentingan yang ada dalam
masyarakat hukum yang diaturnya.
22
BAB 3
PENGEMBANGAN SISTEM TRANSPORTASI INTERMODA
3.1. Pertumbuhan sektor ekonomi dan sektor-sektor lain di Indonesia akan terus
didorong oleh laju industri dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Dalam
hubungan ini sektor transportasi berperan sangat penting dan menentukan sebagai
urat nadi kehidupan dan perkembangan ekonomi, sosial, politik dan menunjang
mobilitas barang dan manusia, yang terus tumbuh sebagai akibat perkembangan
berbagai sektor. Pengembangan sektor transportasi di Indonesia diupayakan
dengan pendekatan kesisteman menuju perwujudan Sistem Transportasi
Nasional (Sistranas) yang efisien, efektif dan terjangkau oleh masyarakat
pemakai jasa transportasi, baik dari aspek alokasi jaringannya maupun kewajaran
tarifnya.
3.2. Sementara itu kemajuan teknologi khususnya di bidang transportasi dan
pengemasan barang dengan peti kemas serta tuntutan kebutuhan masyarakat
industri maju mengarah kepada pelayanan angkutan dari pintu kepintu (door to
door service), baik dalam lingkup domestik maupun internasional. Hal ini
mendorong tumbuh berkembangnya angkutan intermoda dalam kerangka Sistem
Transportasi Intermoda/ Sistem Transportasi Multimoda, atau Combined
Transport System yang diarahkan sekaligus untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas transportasi untuk logistik dan distribusi.
3.3. Dalam lingkup internasional sesuai The International Multimodal Transport
Convention of Goods 1980 dari PBB pengangkutan intermoda merupakan salah
satu cara pengangkutan barang dengan ciri, antara lain :
a) Menggunakan 2 jenis moda/ alat transpor atau lebih
b) Menggunakan hanya satu dokumen pengangkutan yang dikeluarkan oleh satu
operator yang bertanggungjawab penuh.
c) Terjadi peralihan barang dari suatu negara ke negara lain.
d) Tersedia pelayanan door to door
Penerapan Sistem Transportasi Intermoda (STI) di negara-negara maju
tumbuh dengan pesat sejalan dengan peningkatan penggunaan peti kemas,
23
dengan standar ISO (International Standard Organisation) yang dirasakan dapat
memberikan berbagai keuntungan antara lain mengurangi waktu pada titik
transhipment, pelaksanaan pengangkutan relatif cepat, mengurangi keruwetan
formalitas dan dokumentasi, memerlukan hanya satu agen/ operator,
penghematan biaya, sehingga dapat menekan harga barang serta meningkatkan
daya saing.
Meskipun transportasi intermoda telah berkembang dengan pesat di
negara maju, namun dari aspek pengaturan legalitas sesungguhnya negara-negara
tersebut belum memberlakukan The International Multimodal Transport
Convention of Goods dari PBB, melainkan masih menggunakan peraturan-
peraturan yang ditetapkan asosiasi atau lembaga swasta, antara lain International
Chamber of Commerce (ICC) dan Federation International des Associations de
Transitaires et Assimiks (FIATA).
3.4. Pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia pertumbuhan angkutan
intermoda masih relatif lamban. Hal ini disebabkan antara lain oleh keadaan/
tingkat kemajuan ekonomi negara, pembatasan operator asing dan keperluan
investor besar dengan standar internasional. Khusus di Indonesia, dalam 10 tahun
terakhir telah mulai tampak berkembang pengangkutan untuk ekspor dan impor
dengan menggunakan peti kemas, yang merupakan bentuk penerapan awal STI..
3.5. Dalam jangka panjang perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia yang
mengglobal diperkirakan akan meningkatkan arus barang ke berbagai penjuru
dunia, yang akan memaksa setiap negara anggota GATT/ WTO termasuk
Indonesia, untuk turut terlibat dalam suasana perdagangan bebas secara simultan,
baik ditingkat regional maupun internasional. Bagi Indonesia yang turut serta
menandatangani perjanjian GATT/ WTO terbuka kesempatan yang kondusif
untuk meningkatkan akses ke pasar angkutan bagi barang-barang produk
nasional.
Pada gilirannya hal ini dapat berlanjut dengan peningkatan ekspor dan impor serta
perdagangan antar pulau, sehingga secara keseluruhan diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran negara serta masyarakat.
24
I. Transportasi Intermoda dewasa ini
I.1. Pengertian Umum
1. Pengertian umum keseluruhan arus transportasi intermoda
dapat dilihat pada lampiran Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat
diuraikan proses transportasi intermoda sebagai berikut :
I.1.1. Arus barang dimulai dari pusat produksi dengan meng-gunakan
berbagai alternatif moda angkutan, antara lain :
a. Truk dan atau kereta api langsung dari lokasi pengi-rim ke
pelabuhan asal.
b. Truk dari lokasi pengirim ke dry port untuk konsolidasi, kemudian
dengan truk/ kereta api diteruskan ke pelabuhan asal
I.1.2. Dari pelabuhan asal dilakukan handling (muat) dan diangkut dengan
kapal ke pelabuhan tujuan.
I.1.3. Di pelabuhan tujuan barang dilakukan handling (bongkar) dan
selanjutnya diangkut dengan truk/ kereta api ke penerima barang
(dengan atau tanpa melalui dry port)
Uraian tersebut di atas merupakan contoh pada transportasi intermoda
Darat-Laut.Secara analogis gambaran serupa dapat pula disusun untuk
transportasi intermoda Darat-Udara,di mana pelabuhan diartikan sebagai
bandara dan industri sebagai pusat industri Pariwisata (antara lain hotel).
Dari gambaran di atas Sistem Transportasi Intermoda dapat diartikan
sebagai konsep transportasi dengan menggunakan lebih dari satu moda
transport dengan pelayanan door to door dibawah tanggung jawab satu
operator. Sistem ini menerapkan penggunaan peti kemas dengan ukuran
standar ISO, sehingga sering disebut door to door movement by container
atau global through freight system. Ukuran standar tersebut memungkinkan
peti kemas diangkut secara praktis dan efisien, bila diikuti dengan
keseragaman fasilitas pendukungnya seperti alat transportasi, alat bongkar
muat, terminal, gudang, jalan raya, jembatan dlsb. Disamping itu juga
25
diperlukan keseragaman pendukung lainnya antara lain administrasi angkutan,
kepabeanan, komunikasi/ informasi dll.
Ruang lingkup kegiatan transportasi intermoda meliputi pelayanan
angkutan one stop service dan door to door ( mengarah kepada Cargo
Consolidation & Distribution Centre), pengurusan dokumen barang dan dapat
pula meliputi pengoperasian fasilitas terminal dan pergudangan. Sistem ini
akan sangat berperan dalam menunjang kelancaran ekspor-impor, terutama
dari aspek lama waktu pengiriman dan biaya pengiriman. Dalam skala makro
akan memberikan dampak :
- Optimalisasi penggunaan infrastruktur nasional
- Penghematan devisa negara dari freight cost (men-datangkan Mother
Vesel, pergeseran FOB ke CIF)
- Akselerasi perwujudan transhipment port Indonesia dan alih teknologi
Dalam skala mikro memberikan penghematan biaya : per-
sediaan, handling, pemeriksaan, asuransi, administrasi dll. Pemakai jasa
akan memperoleh kemudahan dari sistem ini karena mekanisme pengiriman
barang terintegrasi, dan shipper hanya berhubungan dengan pihak operator/
penanggungjawab saja, sehingga arus barang lancar.
I.2. Perhitungan Biaya
Dalam hubungan dengan kegiatan ekspor impor, pemindahan
barang seperti bahan mentah, bahan baku atau barang jadi, tidak terbatas
dilakukan dalam satu negara, tetapi menyangkut lebih dari satu negara dan
meliputi lebih dari satu fungsi atau kegiatan ialah : transportasi, pengemasan,
penyimpanan/ pergudangan, asuransi, order processing, komunikasi dan
inventory.
Berkaitan dengan hal ini maka penghitungan biaya angkutan
intermoda dilakukan secara total cost approach, untuk meminimalkan biaya
door to door (bukan biaya angkutan murni). Total cost menyangkut monetery
cost dan juga time related cost. Dalam memilih kombinasi moda transport
26
yang akan digunakan, diupayakan total distribution cost relatif (jumlah
monetery cost dan time related cost) yang terkecil.
I.3. Manfaat
Transportasi intermoda sebagaimana dikemukakan terdahulu dapat
memberikan manfaat/ keuntungan baik bagi pemilik barang, operator
angkutan maupun pemerintah, sebagai berikut :
I.3.1. Bagi Pemilik Barang (shipper,consignee) :
I.3.1.1. Jangka waktu penyerahan barang relatif pendek
I.3.1.2. Biaya total relatif rendah
I.3.1.3. Keselamatan barang, jadual angkutan dan biaya terkendali
I.3.1.4. Hanya satu penanggungjawab dalam arti reponsibility
terhadap pemilik barang.
I.3.2. Bagi Operator Angkutan
I.3.2.1. Mempermudah perhitungan biaya transport serta menghemat
biaya-biaya tertentu seperti packaging cost, biaya bunga dan
premi asuransi
I.3.2.2. Menyederhanakan administrasi dokumen arus barang
I.3.2.3. Menghemat waktu pada kegiatan transit meliputi antara lain
transhipment/ bongkar muat, penyimpanan/ pergudangan dan
menyederhanakan handling serta meminimalkan kerusakan
barang.
I.3.3. Bagi Pemerintah
I.3.3.1. Memperlancar distribusi barang dan jasa ke seluruh wilayah
Negara
I.3.3.2. Mendorong peningkatan daya saing produk nasional dan
ekspor serta meningkatkan penerimaan devisa
I.3.3.3. Meningkatkan penggunaan infrastruktur nasional serta
pengawasan terhadap rantai transportasi
I.3.3.4. Mempermudah pelaksanaan prosedur pajak pada kegiatan
perdagangan.
I.4. Penyelenggaraan
27
Dalam arti luas penyelenggara atau operator transportasi intermoda
adalah pihak/ badan hukum yang berdasarkan suatu kontrak kerja memberikan
jasa transportasi secara terusan dan menggunakan lebih dari satu moda
transport, dengan menerbitkan satu dokumen angkutan untuk seluruh
angkutan tersebut.
Penyelenggara transportasi intermoda,sebagai penangungjawab
tunggal angkutan barang,dikenal dengan sebutan Multimodal Transport
Operator (MTO) atau Intermodal Transport Operator (ITO),yang terdiri atas 2
bentuk perusahaan ialah Vessel Operator Common Carrier (VOCC) dan Non
Vessel Opertor Common Carrier (NVOCC).MTO-VOCC umumnya
dijalankan oleh perusahaan pelayaran yang memiliki armada,sedangkan
MTO-NVOCC dilakukan oleh perusahaan jasa pengurusan transportasi
(freight forwarder).Dalam hal MTO-NVOCC,freight forwarder yang menjadi
MTO dapat menguasai sarana pengangkutan atas dasar persewaan dan
sekaligus mengambil alih tanggung jawab atas barang yang diangkut,dari
perusahaan pengangkutan yang bersangkutan.Hal ini dapat dilakukan sesuai
ketentuan di dalam The Hamburg Rules l978.
Dalam konteks Indonesia penyelenggara yang dimaksud dapat
berstatus BUMN, perusahaan swasta dan koperasi. Salah satu BUMN yang
menyandang predikat perusahaan jasa pengurusan transportasi atau Freight
Forwarder ialah PT. Varuna Tirta Prakasya . Penyelenggaraan transportasi
intermoda pada umumnya melibatkan beberapa pihak sebagai berikut :
I.4.1. Carrier, meliputi pemilik/ pengelola angkutan jalan raya, kereta api,
pelayaran, penerbangan, dan angkutan sungai danau dan
penyeberangan (ASDP).
I.4.2. Non Carrier, meliputi pergudangan, terminal peti kemas CFS
(Container Freight Station), Depo konsolidasi, perusahaan
pengepakan, pengurusan Bea-Cukai, ekspor impor, transaksi luar
negeri Pihak lain terkait, seperti perbankan, asuransi muatan, instansi
kepabeanan, pelabuhan dan Freight Forwarder. Penerbitan satu
dokumen angkutan mencerminkan secara prinsip disatukannya
28
tanggung jawab dalam proses angkutan barang tersebut ditangan satu
penanggungjawab ialah operator transportasi intermoda
I.5. Tanggung Jawab Operator
I.5.1. Pengaturan tanggung jawab
Pengaturan mengenai lingkup tanggung jawab yang dimaksud
tertuang antara lain dalam The International Multimodal Transport
Convention of Goods 1980 dari PBB, di mana ditetapkan bahwa
operator tidak saja bertanggungjawab atas tindakannya sendiri tetapi
juga atas tindakan orang-orang yang bekerja padanya (sub kontraktor)
dan atau agen angkutan yang ditunjuknya, selama barang berada dalam
kekuasaannya. Konvensi ini antara lain mengatur mengenai resiko
operator, batas waktu pengajuan ganti rugi, resiko pemilik/ pengirim
barang, dan penyelesaian sengketa.
Khusus mengenai resiko operator, ditetapkan jenis kegiatan
yang dapat dituntut ganti ruginya, meliputi physical loss or damage dan
keterlambatan penyerahan barang. Untuk jenis kehilangan atau
kerusakan lain yang tidak termasuk dalam konvensi dapat diterapkan
pengaturan perundang-undangan nasional. Dewasa ini ketentuan dalam
konvensi ini belum dapat diterapkan karena belum diratifikasi oleh
banyak negara yang bersangkutan.
I.5.2. Tanggung jawab dalam praktek
Dalam praktek, pengaturan tanggung jawab masih mengikuti
ketetapan-ketetapan dari lembaga swasta seperti ICC Rules dan FIATA
Bill of lading. Sebagai gambaran umum tanggung jawab operator
berdasarkan ICC Uniform Rules for a Combined Transport Document,
meliputi antara lain :
I.5.2.1. Memberikan kepuasan penampilan transportasi intermoda
termasuk semua pelayanan yang diperlukan bagi
operasinya.
29
I.5.2.2. Menyerahkan barang kepada penerima/ consignee di tempat
tujuan dalam keadaan seperti waktu diterima dari pengirim/
shipper.
I.5.2.3. Menanggung perbuatan/ kesalahan yang dilakukan agen, sub
kontraktor dan karyawannya.
I.5.2.4. Bertanggungjawab atas kehilangan/ kerusakan barang yang
terjadi selama dalam angkutan sampai penyerahan di tujuan.
Operator tidak dapat dibebani tanggung jawab apabila
kerusakan/ kehilangan barang disebabkan antara lain oleh kesalahan
shipper/ consignee, packing/ marking tidak baik, handling dilakukan
shipper/ cosignee, dan lain-lain.
I.6. Dokumen Angkutan
Dokumen yang dimaksud membuktikan adanya kontrak
pengangkutan intermoda di mana beban tanggung jawab atas barang yang
diangkut telah diserahkan oleh pemilik/ shipper kepada operator dan operator
harus mengirimkan barang tersebut sesuai dengan syarat yang ditetapkan
dalam kontrak. Jenis dokumen yang dipergunakan sesuai standar ICC Uni
Form Rules for Combined Transport Document, yang mempunyai kekuatan
hukum kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan kontrak pengangkutan
intermoda, adalah :
I.6.1. Combidoc, yang didasarkan kepada Baltic & International Maritime
Conference (BIMCO) dan lazim digunakan oleh kapal untuk
transportasi intermoda (telah diakui International Chamber of
Commerce).
I.6.2. FIATA Combined Transport Bill of lading (FBL),yang disusun oleh
FIATA bagi freight forwader sebagai penyelenggara jasa pengurusan
transportasi intermoda.
I.6.3. Multidoc,yang disusun oleh UNCTAD untuk diberlakukan sebagai
kelengkapan The International Multimodal Transport Convention of
Goods 1980.
30
III. Posisi Transportasi Intermoda di Indonesia
II.1. Pengaturan legalitas & kelembagaan
Sebagaimana diketahui berdasarkan konsep dasar STI maka 4 unsur
pokoknya ialah penggunaan lebih dari 1 jenis alat /moda transport,tanggung
jawab berada pada satu operator tunggal, penggunaan satu dokumen angkutan
dan terjadinya peralihan barang antar negara.
Pelaksanaan transportasi intermoda di negara berkembang termasuk
Indonesia belum berjalan dengan baik sebagaimana di negara maju. Hal ini
antara lain nampak dari kenyataan bahwa terdapat 2 unsur pokok yang masih
terhambat ialah tanggung jawab tunggal dan penggunaan satu dokumen
angkutan (dokumen tunggal).
Dalam proses pengangkutan Intermoda di Indonesia tanggung
jawab masih berada pada masing-masing segmen/bagian kegiatan transportasi,
karena peraturan perundang undangan yang ada belum dapat mencakup
semua aspek tanggung jawab pihak pihak yang terlibat dalam rantai
pengangkutan tersebut, atau bila adapun, seringkali tidak cukup jelas sehingga
kadang-kadang menimbulkan perbedaan penafsiran/konflik.
Dalam hal dokumen angkutan, tranportasi intermoda di Indonesia
juga belum menggunakan dokumen tunggal. Masing-masing moda angkutan
pada umumnya masih menggunakan dokumen angkutannya sendiri yang
belum terintegrasi dengan dokumen angkutan lainnya, di mana tanggung
jawab pengangkut sering tidak jelas. Di samping itu proses penyelesaian
dokumen tersebut relatif lama karena masih dilakukan secara manual,
sehingga cenderung menghambat kelancaran arus barang.
Berdasarkan hasil kajian Badan Litbang Departemen Perhubungan
mengenai hal-hal tersebut di atas dapat dikemukakan antara lain :
31
II.1.1. Perumusan tanggungjawab para pihak di pelabuhan terhadap barang
yang diangkat secara intermoda masih belum jelas sehingga
berpotensi menimbulkan konflik, meskipun ada ketentuan KUH
Perdata.
II.1.2. Tuntutan ganti rugi atas barang yang diangkut oleh moda transport
darat dalam praktek sulit diselesaikan secara memuaskan, terutama
pada angkutan truk.
II.1.3. Tanggungjawab ekspeditor diatur pada KUHD, tetapi untuk Freight
Forwarder belum ada peraturan khusus.
II.1.4. Pengaturan untuk operator transportasi intermoda belum ada,
sedangkan kegiatan yang dimaksud telah semakin berperan terutama
untuk angkutan ke dan dari luar negeri.
Dari realisasi angkutan intermoda dengan penggunaan peti
kemas melalui pelabuhan utama di Indonesia nampak bahwa
pertumbuhan rata-rata pada tahun 1995 s.d 1997 tercatat 19,9 % per
tahun , sebagaimana tampak pada Tabel-2.
Hal ini menunjukan bahwa walaupun peraturan perundang-
undangan tentang intermoda dan lembaganya belum ada di Indonesia,
namun freight forwarder nasional telah melakukan kegiatan
transportasi intermoda dan bertindak sebagai operator transportasi
internasional, dengan menggunakan berbagai dokumen atau kontrak
yang berlandaskan hukum dan konvensi internasional.
Sejalan dengan situasi belum adanya perundang-undangan
serta penyelenggaraan serta pemantauan khusus terhadap kegiatan
transportasi intermoda maka belum dirasakan kebutuhan adanya
penanganan khusus untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan
serta pengembangan sistem transportasi intermoda di Indonesia.
Dari pengalaman di negara maju yang telah melaksanakan STI
nampaknya diperlukan adanya suatu badan/ komite bersama
(pemerintah, penyelenggara, pemakai jasa) untuk membina dan
mengawasi penyelengggaraan dan pengembangan STI secara
mantap.
32
II.2. Prasarana dan Sarana
Dalam penyediaan prasarana dan sarana didalam negeri untuk
penyelenggaraan transportasi intermoda secara optimal masih dijumpai
kendala antara lain keterbatasan kapasitas pelabuhan untuk bongkar muat
kapal besar/ post panamax. Keadaan ini menyebabkan antara lain kurangnya
kemampuan transportasi Indonesia untuk angkutan luar negeri, sehingga biaya
angkutan relatif tinggi.
Meskipun demikian beberapa pelabuhan utama antara lain Tanjung
Priok dan Tanjung Perak telah dan sedang terus berupaya meningkatkan
pelayanan terhadap lalulintas perdagangan domestik, regional dan
internasional melalui penerapan :
II.2.1. Manajemen informasi untuk kelancaran arus barang (Electronic Data
Interchange, sistem komputerisasi operasional)
II.2.2. Manajemen pelayanan just in time
II.2.3. Pelayanan kapal dengan zero waiting time
II.2.4. Pusat pelayanan satu atap (PPSA)
Untuk dukungan angkutan darat ke/ dari sentra distribusi atau
hinterland masih diperlukan penambahan jalan dan sarana trucking dan kereta
api secara selektif sesuai asal tujuan dan komoditas yang diangkut. Di
samping itu dry port yang telah ada di Gedebage, Solo Jebres dan lain-lain
masih perlu pula ditingkatkan dan ditambahkan di daerah lain.
II.3. Kepabeanan dan Asuransi
Fungsi kepabeanan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Kantor Bea
dan Cukai pada umumnya dapat dikatakan cukup siap dalam menunjang
pelakasanaan STI. Berdasarkan kajian Badan Litbang Dephub, Bea dan Cukai
secara konsisten dan berkesinambungan terus mengikuti perkembangan
perdagangan dan transportasi internasional khususnya dalam penyelenggaraan
transportasi intermoda. Beberapa hal perlu dikemukakan antara lain :
33
II.3.1. Terbuka terhadap praktek perdagangan internasional melalui
keterlibatan dalam Custom Cooperation Council (OCC).
II.3.2. Peningkatan pelayanan melalui pemberlakuan Buku Tarif Bea
Masuk Indonesia (BTBMI), yang merupakan adopsi dari Harmonized
System untuk perdagangan internasional.
II.3.3. Penerapan EDI Kepabeanan
II.3.4. Peningkatan sistem pelayanan BC tanpa tambahan biaya
II.3.5. Penerapan post audit atas barang impor tanpa mengganggu
kelancaran arus barang.
II.3.6. Penerapan Preshipment Inspection di negara supplier.
Sedangkan khusus mengenai Asuransi, bidang ini telah siap sejak
awal dalam memenuhi tanggungjawabnya ialah sejak barang berada di
tempat asal sampai ke tempat tujuan, tanpa tergantung kepada alat angkut
maupun jenis kontraknya.
II.4. SDM Penyelenggara
Sebagaimana dikemukakan terdahulu Indonesia masih berada pada
tahap awal penerapan transportasi intermoda, sehingga relatif baru dalam
penanganannya dan belum memiliki perusahaan MTO Nasional.Perusahaan
pendukung MTO di Indonesia seperti perusahaan pelayaran ,trucking,kereta
api dan freight forwarder umumnya masih bekerja sebagai sub sistem dari
International Freight Forwarder/MTO.
Sejalan dengan keadaan ini maka belum tampak keberadaan SDM
yang memadai/ mantap yang berkemampuan dalam penyelenggaraan
transportasi intermoda, baik dalam segi pengelolaan maupun penguasaan
teknologi. Dengan demikian dalam rangka pengembangan STI dalam aspek
SDM masih banyak dibutuhkan :
II.4.1. Tenaga administrasi dalam berbagai bidang antara lain perundang-
undangan internasional, pengorganisasian segmen operasi, akuntansi
biaya, pengurusan jasa transportasi/ freight forwarding, asuransi,
34
ekspor impor, kepabeanan, electronic data interchange (EDI), dan
pertarifan.
II.4.2. Tenaga operasi dalam berbagai bidang antara lain teknologi
transportasi, pergudangan, container terminal, sistem operasi
pelabuhan dan bandara dan pengaturan barang berbahaya.
II.4.3. Pendidikan dan pelatihan khususnya meliputi antara lain sispro
perdagangan luar negeri, perundang-undangan transportasi, sistem
informasi dan komunikasi, sispro asuransi perdagangan internasional,
perbankan, perpajakan dan tenaga kerja bongkar muat.
II.5. Kecenderungan Perdagangan Dunia
Indonesia adalah anggota GATT/ WTO yang merupakan lembaga
internasional yang memiliki peranan dalam menjalin hubungan
perekonomian/ perdagangan antar negara. Pelaksanaan kegiatan GATT
diperkuat oleh hasil Uruguay Round yang bertujuan untuk menciptakan
perdagangan bebas, menstabilkan sistem perdagangan internasional dan
memperjuangkan pengurangan berbagai hambatan tarif dan non tarif. Salah
satu hasil Uruguay Round ialah General Agreement on Trade in Services
(GATS) yang mencakup jasa transportasi darat, laut, udara dan perairan
daratan. Khusus untuk jasa angkutan laut negara anggota secara bertahap
harus memberikan komitmen meliputi : maritime transport service, auxiliary
service dan akses untuk memperoleh pelayanan jasa pelabuhan. Dalam
hubungan ini transportasi intermoda/ multimoda diharapkan dapat
dimanfaatkan secara optimal dalam menunjang kesepakatan GATS tersebut
karena sistem ini memiliki karakteristik yang sesuai dengan kebutuhan lalu
lintas antar negara, bersifat multimoda dan dengan tanggung jaw-ab tunggal
pada satu operatior. Sementara itu pada tingkat regional Asean telah disusun
dalam Senior Transportation Officer Meeting (STOM) suatu konsep Asean
Frame Work Agreement on Multimodal Transport and Trade Facilitation.
II.5.1. Oleh karena itu, meskipun masih mengalami kendala, Indonesia perlu
mempersiapkan diri untuk memanfaatkan Sistem Transportasi
Intermoda agar dapat berperan dalam perdagangan dunia, sekaligus
memperoleh manfaat, antara lain :
II.5.2. Meningkatkan daya saing produk nasional
35
II.5.3. Meningkatkan penerimaan devisa Negara
II.5.4. Memperlancar distribusi barang dan jasa keseluruh tanah air
II.6. Kesiapan Penyelenggaraan
Dari uraian check posisi transportasi intermoda di Indonesia tersebut
di atas, nampak bahwa kondisi lingkungaan internal dewasa ini, masih relatif
lemah dan kurang mendukung bagi pelaksanaan penyelenggaraan STI. Hal ini
berbeda dengan kondisi eksternal di mana nampak lebih siap/mendukung,
dengan adanya peluang antara lain :
III.1.1. Meningkatnya arus lalulintas barang antar negara Asean dan APEC.
III.1.1. Meningkatnya industri nasional dan ekspor non migas dari Indonesia.
III.1.1. Kecenderungan peningkatan lalu lintas barang secara door to door
dengan penggunaan peti kemas, sesuai preferensi pemilik barang.
Dengan demikian maka pembenahan kedalam dalam rangka
penyelenggaraan STI di Indonesia perlu mendapat prioritas utama.
III. Pengembangan Sistem Transportasi Intermoda
III.1. Sistem Transportasi Nasional
Melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.15 tahun 1997
tanggal 6 Juni 1997 telah ditetapkan Sistem Transportasi Nasional (Sistranas).
Sistranas merupakan tatanan transportasi yang terorganisasi secara sistematis,
terdiri dari moda transportasi darat (angkutan jalan raya, angkutan kereta api,
angkutan sungai, danau dan penyeberangan), moda transportasi laut, moda
transportasi udara dan transportasi pipa. Masing-masing moda transportasi
terdiri atas prasarana dan sarana yang saling berinteraksi, membentuk satu
sistem pelayanan jasa yang efektif dan efisien dan terwujud dalam jaringan
transportasi nasional yang terpadu secara serasi dan harmonis, menjangkau
seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri.
36
Ketentuan mengenai Sistranas ini dimaksudkan untuk menjadi
pedoman, baik dalam perencanaan dan pengembangan maupun dalam
penyelenggaraan serta penataan jaringan transportasi, agar mampu
mewujudkan penyediaan jasa transportasi sesuai tingkat kebutuhan, lancar,
tertib dan teratur.
Secara spesifik sasaran Sistranas adalah terciptanya penyelenggaraan
transportasi yang efektif dalam arti kapasitas mencukupi, terpadu, tertib dan
teratur, lancar, cepat dan tepat, selamat, aman, nyaman, biaya terjangkau dan
efisien, dalam arti beban publik rendah dan utilitas tinggi. Sistranas yang
efektif dan efisien diwujudkan melalui pembentukan jaringan transportasi
yang merupakan satu kesatuan jaringan prasarana dan jaringan pelayanan
transportasi.
Penyelenggara/ penyedia jasa transportasi dapat dilakukan oleh
pemerintah melalui unit pelaksana teknis, BUMN, swasta dan koperasi. Di
samping sebagai penyelenggara, pemerintah juga mempunyai peranan sebagai
pembina sehingga berkewajiban untuk menyusun rencana dan merumuskan
kebijakan, mengendalikan dan mengawasi perwujudan Sistranas. Dihadapkan
kepada pertumbuhan ekonomi yang akan terus berkembang di masa depan,
yang menuntut pertumbuhan sektor transportasi secara memadai, maka
peranserta para penyelenggara perlu terus ditingkatkan. Peningkatan
peranserta tersebut nampaknya tidak mungkin hanya dipenuhi oleh
pemerintah/ BUMN, tetapi perlu ditanggulangi pula oleh sektor swasta dan
koperasi. Dalam hubungan ini maka peran serta BUMN, swasta dan koperasi
dalam penyelenggaraan dan penyediaan jasa transportasi serta
pengembangannya, perlu terus didorong dan ditingkatkan antara lain melalui
penciptaan iklim usaha yang sehat/ kompetitif dan saling menghidupi.
Demikian pula peran serta penyelenggara tersebut dalam Sistranas
baik di laut maupun di udara, harus terus ditingkatkan agar mampu
memperoleh pangsa pasar yang wajar dalam angkutan luar negeri. Dalam
kaitan dengan penyelengaraan STI dalam kerangka Sistranas, maka pangsa
pelayanan suatu moda transportasi ditentukan oleh faktor-faktor antara lain
37
pembinaan pemerintah, kondisi giografis, hubungan antar daerah, sistem
transportasi yang telah ada dan karakteristik teknis/ ekonomis masing-masing
moda transport.
Mengenai karakteristik teknis/ ekonomis yang dimaksud dapat
dikemukakan sebagai berikut :
III.2.1. Moda transportasi jalan raya memiliki karakteristik dapat melakukan
penetrasi ke pelosok dan sangat fleksibel, efisien untuk pelayanan
lintas jarak sedang tetapi kurang mampu melayani volume yang
besar.
III.2.2. Moda transportasi kereta api bersifat kurang fleksibel, tidak dapat
melayani sampai kepelosok, cocok untuk mengembangkan lintas
yang panjang dengan volume muatan yang besar dan menguntungkan
dari segi pelestarian alam serta lingkungan hidup.
III.2.3. Moda transportasi laut memiliki karakteristik antara lain
berkecepatan rendah, biaya relatif rendah, menguntungkan untuk
angkutan jarak jauh dengan volume muatan yang besar.
III.2.4. Moda transportasi udara memiliki karakteritik kecepatan sangat
tinggi, biaya relatif tinggi, volume angkutan terbatas, mampu
melakukan penetrasi sampai kepelosok dan menguntungkan untuk
pelayanan lintas jarak jauh dengan kecepatan tinggi.
III.2. STI dalam kerangka Sistranas
Pengembangan sistem transportasi intermoda sebagai bagian integral
Sistranas akan mengikuti pokok-pokok arah pengembangan Sistranas antara lain
sebagai berikut :
III.2.1. Pengembangan dilakukan secara terpadu baik dalam aspek intramoda
maupun intermoda serta terpadu pula dengan sektor pembangunan
lainya sesuai kebutuhan dan perkembangan iptek serta dengan
berpedoman kepada tata ruang nasional.
38
III.2.2. Penentuan pangsa pelayanan antar moda transport untuk tiap lintasan
transportasi ditentukan berdasarkan variabel dan volume angkutan
agar tercapai biaya angkutan yang minimal.
III.2.3. Pengembangan dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan atau
prinsip dasar hierarkhis, geografis, ekonomis dan mendukung
pengembangan wilayah.
III.2.4. Dalam jangka menengah dan jangka panjang perlu
mempertimbangkan faktor-faktor antara lain : jaringan transportasi
yang telah ada, tata ruang, pola produksi dan konsumsi, serta
hierarkhi kota yang bersangkutan.
III.2.5. Pengembangan mengarah kepada peningkatan daya saing melalui
peningkatan efisiensi berupa penerapan teknologi maju, pengurangan
subsidi, kerjasama antar perusahaan (sinergi), inovasi menajemen dan
pelayanan, standardisasi pelayanan dan teknologi.
III.2.6. Penerapan berbagai kebijakan pemerintah guna meningkatkan peran
serta sektor swasta berupa deregulasi, debirokratisasi, kemudahan
perizinan, fasilitas finansial, tarif, pengurangan intervensi,
pengutamaan penggunaan produksi dalam negeri dan peningkatan
keterpaduan pelayanan antar moda.
III.2.7. Beberapa pemikiran dalam rangka reformasi kebijakan sektor
transportasi, yang kini masih dalam proses pembahasan, perlu
menjadi acuan dalam pengembangan STI, antara lain :
III.2.7.1. Moda transportasi menempati posisi sebagai elemen pada
STI dalam mengantisipasi tuntutan pemakai jasa atas
pelayanan door to door .
III.2.7.2. Penyelenggara transportasi perlu berorientasi kepada
kualitas, kompetisi yang sehat, efisiensi, perkembangan
teknologi terutama telematika, serta antisipatif terhadap
pasar bebas dan kemungkinan aliansi global.
III.2.7.3. Sumber daya manusia sektor transportasi dikembangkan
secara profesional agar mampu bersaing dipasar global.
39
III.2.7.4. Produk hukum transportasi harus disempurnakan dalam
kerangka deregulasi dan debirokratisasi secara lebih efektif
dan efisien.
III.2.7.5. Pemerintah diharapkan dapat menunjang upaya :
- Menciptakan iklim investasi yang kondusif
- Menghapus restriksi dalam pengadaan armada
- Melaksanakan privatisasi lanjut pada BUMN
- Pentarifan sesuai mekanisme pasar secara
bertahap
- Penerapan pola landlord pada pengelolaanpelabuhan,
yang terintegrasi dengan pengembangan zona industri
dan hinterland
III.3. Langkah langkah Strategis
III.3.1. Pembinaan/ pengaturan Sistranas
III.3.1.1. Pemerintah selaku pembina sektor transportasi dalam
menyongsong abad 21 perlu meninjau kembali dan
memperbaharui visi/wawasan pengembangan Sistranas
agar siap untuk menunjang pembangunan secara maksimal
dan berkesinambungan . Visi pengembangan Sistranas
akan menentukan misi pembinaan oleh pemerintah, yang
diharapkan mampu secara konsisten mendorong dan
mengendalikan pengembangan Sistranas.
Sistranas diharapkan dapat mewujudkan pelayanan jasa
transportasi yang sesuai dengan sasaran dan dapat turut
meningkatkan mutu kehidupan masyarakat serta
mewujudkan berbagai kepentingan nasional untuk saat ini
dan di masa depan.
40
III.3.1.2. Langkah lanjut yang perlu dilakukan dalam rangka upaya
mewujudkan Sistranas ialah penentuan sasaran-sasaran
strategis yang meliputi antara lain :
III.3.1.2.1. Keselamatan (safety) :
Mengupayakan keselamatan dan kesehatan
masyarakat dengan cara kerja yang secara
konsisten menuju penghapusan/pengurangan
kecelakaan, kerusakan dan kematian dalam
penyelenggaraan transportasi.
III.3.1.2.2. Mobilitas (mobility) :
Menjamin terselenggaranya system
transportasi yang terpadu, efisien, terjangkau
dan memberikan pilihan yang fleksibel.
III.3.1.2.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Perdagangan
(economic growth and trade) : Meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan daya saing
melalui transportasi yang efisien dan
fleksibel.
III.3.1.2.4. Lingkungan hidup dan masyarakat (natural
and human environment) :
Melindungi masyarakat dan lingkungan
hidup dari dampak negatif transportasi.
III.3.1.2.5. Keamanan Nasional (national security) :
Turut menunjang keamanan negara melalui
pengamanan transportasi antara lain dalam
pengendalian lalu lintas narkotik dan emigran
gelap serta kemungkinan mobilisasi
transportasi untuk keperluan bank.
Pemerintah selanjutnya perlu menyiapkan
rencana strategis sektor transportasi 5
tahunan yang disusun secaa terpadu bersama
sektor-sektor lain dengan berpedoman
kepada sasaran strategis yang telah
ditetapkan dan menjabarkannya ke dalam
41
sasaran-sasaran performansi yang lebih rinci.
Rencana strategis ini kemudian dijabarkan
dalam program-program yang secara
berkala/tahunan dievaluasi dan menjadikan
masukan dalam penyusunan renstra
selanjutnya secara rolling tahunan.
III.3.2. Pembaharuan Komitmen Aparatur
Dalam melaksanakan tugas, aparatur berbagai instansi dan
lembaga pemerintah yang terkait dengan pembinaan sektor
transportasi perlu pula sebelumnya menetapkan tekad/komitmen
bersama terhadap beberapa nilai dasar yang akan dianut dalam upaya
mewujudkan penyelenggaraan Sistranas. Nilai-nilai dasar berikut ini
dapat dipertimbangkan, antara lain :
III.3.2.1. Menjamin bahwa seluruh kegiatan aparatur akan diarahkan
kepada upaya memperbaiki tingkat keselamatan dan
kualitas hidup para pemakai jasa transportasi.
III.3.2.2. Mendengar, mempelajari dan bekerja sama dengan
pemakai jasa untuk berupaya memenuhi kebutuhan mereka
sejauh mungkin.
III.3.2.3. Melaksanakan pengambilan keputusan dan kebijakan
dengan menempatkan pegawai sebagai asset paling
bernilai dalam melayani kepentingan masyarakat.
III.3.2.4. Berbicara dan bertindak dalam satu kesatuan langkah
pengambilan keputusan dengan tetap menghargai
perbedaan pandangan antar instansi.
III.3.2.5. Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif :
III.3.2.5.1. Bebas terhadap diskriminasi dan prasangka
buruk.
III.3.2.5.2. Pegawai memiliki peluang partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan.
42
III.3.2.5.3. Pegawai memiliki kepercayaan dan motivasi
bekerja secara kreatif, inovatif dan berani
mengambil resiko.
III.3.2.5.4. Pimpinan memberi ketauladanan dalam
integritas, etika dan tingkah laku.
III.3.2.5.5. Meningkatkan kemampuan mengantisipasi
perubahan secara produktif.
III.3.2.5.6. Membina dan mengendalikan pelaksanaan
Sistranas secara konsisten.
III.3.3. Persiapan Unsur Intermoda
Memperhatikan posisi transportasi intermoda dewasa ini di
Indonesia maka untuk mengembangkannya menjadi suatu Sistem
Transportasi Intermoda (STI) diperlukan berbagai persiapan dengan
memprioritaskan langkah-langkah ke dalam. Persiapan-persiapan
yang dimaksud antara lain sebagai berikut :
III.3.3.1. Dalam melaksanakan agreement GATT/WTO terutama
hasil-hasil GATS diperlukaan persamaan visi, misi dan
strategi bersama para aparatur negara dengan semua pihak
yang terlibat, agar dapat ditindaklanjuti dengan langkah
terpadu secara menyeluruh. Untuk itu diperlukan
pembentukan suatu Komite/Badan Transportasi Intermoda
Nasional yang beranggotakan pihak terkait, yang bertugas
melaksanakan pembinaan terpadu dalam penyelenggaraan
dan pengembangan STI (termasuk kerjasama regional dan
internasional).
III.3.3.2. Peninjauan berbagai peraturan mengenai transportasi
intermoda yang telah ada dan melaksanakan penyusunan
peraturan perundang-undangan nasional mengenai
transportasi intermoda, termasuk ratifikasi berbagai
peraturan dan konvensi internasional yang diperlukan.
Berbagai aspek perlu dibahas dan ditetapkan
43
pengaturannya meliputi : penyerasian istilah (transportasi
intermoda, operator, dokumen angkutan, kontrak dll.),
penyesuaian materi tanggungjawab (pengirim, operator,
masa & ruang lingkup dll.), serta hal-hal lain seperti
perijinan, persyaratan perusahaan asing, dokumen standar,
penggunaan EDI dll.).
III.3.3.3. Penyempurnaan dan penambahan berbagai fasilitas untuk
STI meliputi prasarana, sarana dan sistem informasi/EDI
untuk mendukung pelaksanaan lalu lintas transportasi
barang logistik/distribusi dengan menggunakan peti kemas
standar ISO, terutama untuk moda transportasi darat dan
laut. Upaya ini dilakukan sejalan dengan peningkatan
keterpaduan antar moda transport yang telah ada di darat
dan di laut (rel kereta api masuk pelabuhan, klasifikasi
jalan raaya sesuai kebutuhan angkutan peti kemas, dll.)
III.3.3.4. Penyiapan sistem pembinaan SDM untuk
pengembanganSTI dilanjutkan dengan rekruitmen serta
pendidikan dan pelatihan di dalam dan di luar negeri
meliputi bidang administrasi dan teknis operasional,
beserta sertifikasinya. Mengingat STI telah terlebih
dahulu berkembang di luar negeri maka dalam pelaksanaan
diklat perlu diupayakan kerjasama dengan lembaga diklat
di negara yang telah menerapkan STI dengan sukses.
III.3.3.5. Untuk penerapan STI dalam praktek di lapangan dapat
diupayakan melalui penggabungan secara sinergis
beberapa perusahaan BUMN dan swasta/koperasi, yang
memiliki kegiatan saling terkait/menunjang dalam urutan
proses produksi jasa angkutan barang intermoda yang
terintegrasi (penggabungan vertikal).
4.1. Sinergi BUMN menunjang STI
44
III.4.1. Reformasi BUMN
Berdasarkan evaluasi pada tahun 1980-an dapat
disimpulkan bahwa kinerja BUMN umumnya berada di bawah
standar. BUMN memang memperoleh laba tetapi laba tersebut
diperoleh dengan biaya besar dan berlebihan. Pada tahun 1988 dalam
upaya peningkatan kinerja, dimulai reformasi BUMN melalui
penerbitan Inpres No.5/1988 yang kemudian dijabarkan dengan SK.
Menkeu No.740 dan 741 tahun 1989. Dalam pengaturan ini
ditetapkan penggunaan berbagai alat reformasi, seperti :
restrukturisasi, merger, kerjasama operasi, dan bentuk partisipasi
swasta, termasuk direct placement atau trade sales.
Pada awal tahun 1998 hasil reformasi tersebut masih
belum memadai, sehingga diperlukan reformasi yang lebih efektif,
yang menekankan kepada langkah-langkah restrukturisasi,
profitisasi, dan privatisasi (reformasi BUMN gelombang I).
Dalam konteks restrukturisasi, reformasi BUMN
diartikan sebagai peningkatan posisi kompetitif perusahaan melalui
penajaman fokus, perbaikan skala usaha dan penciptaan core
competencies.
Profitisasi merupakan peningkatan efisiensi secara
agresif sehingga mencapai profitabilitas dan nilai perusahaan yang
optimal. Selanjutnya langkah privatisasi merupakan peningkatan
penyebaran kepemilikan kepada masyarakat umum dan sektor swasta
domestik dan asing, untuk akses pendanaan, pasar, teknologi serta
kapabilitas tingkat dunia, Reformasi BUMN gelombang I yang kini
masih berjalan kini dipersiapkan untuk ditindaklanjuti dengan
reformasi BUMN gelombang II, melalui langkah sinergi berupa
pembentukan 10 perusahaan holding BUMN yang berdaya saing dan
berdaya cipta nilai tinggi.
45
Karakteristik BUMN dalam holding yang dimaksud antara
lain ialah :
III.4.1.1. Berorientasi kepada penciptaan nilai, dengan kinerja finan-
sial dan operasi sebanding kelas dunia
III.4.1.2. Berorientasi kepada pengembangan core competencies,
dengan fokus industri sekunder dan tertier
III.4.1.3. Skala usaha dalam pendapatan, produksi, pemasaran dan
pendanaan
III.4.1.4. Usaha yang fokus dan terintegrasi dalam suatu sektor
ter-tentu
III.4.1.5. Dipimpin oleh CEO kelas dunia dengan Tim Manajemen
yang profesional dan mandiri dan bebas dari intervensi
politik.
Sasaran ideal reformasi gelombang II ialah
perwujudan perusahaan multinasional Indonesia berukuran
menengah, terfokus, memiliki core competencies dan masuk dalam
Fortune 500, perikasa Gambar 3.
Reformasi gelombang II melalui pembentukan
holding BUMN tersebut diharapkan dapat turut mengemban misi
dalam lingkup Agenda Nasional, ialah :
III.4.1.6. Menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis, melalui
percepatan pembayaran hutang L.N. dan perbaikan
struktur penerimaan Negara
III.4.1.7. Mengejar ketinggalan bersaing menuju era global 2002
III.4.1.8. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Asset dan Nilai perusahaan holding, sebagai hasil kajian
awal oleh kantor Meneg P.BUMN, dapat dilihat pada Tabel - 3 dan
Tabel 4.
46
Pembentukan 10 perusahaan holding BUMN diharapkan
pula dapat mewujudkan langkah-langkah strategis dalam konsolidasi
rasional, meliputi :
III.4.1.9. Pemberian fokus dan skala usaha yang ekonomis
III.4.1.10. Menciptakan corporate leverage untuk meningkatkan bar-
gaining position
III.4.1.11. Menciptakan sinergi yang optimal
III.4.1.12. Merasionalisasi anak perusahaan
III.4.1.13. Merasionalisasi BUMN yang mempunyai value creation
rendah
III.4.1.14. Menciptakan manajemen yang mandiri dan profesional
dengan CEO kelas dunia
III.4.1.15. Selanjutnya sebagai keluaran diharapkan perusahaan
Holding dapat berfungsi untuk :
III.4.1.16. Mendorong penciptaan nilai (value creation)
III.4.1.17. Mensubstitusi defisiensi manajemen di anak perusahaan
III.4.1.18. Mengkoordinasikan langkah-langkah untuk mengakses -
pasar internasional
III.4.1.19. Mencari pendanaan eksternal yang lebih murah
III.4.1.20. Mengembangkan manajemen puncak anak perusahaan.
Periksa Gambar 5.
III.4.2. Holding BUMN sektor transportasi
Holding Company merupakan salah satu bentuk
penggabungan sinergis antara kelompok perusahaan melalui
konsolidasi sebagian (di samping bentuk Trust dan Community of
Interest), sehingga pada umumnya memiliki karakteristik suatu
sinergi.
Sinergi perusahaan diartikan sebagai kerjasama dalam
upaya mewujudkan nilai tambah perusahaan yang memberikan hasil
lebih besar dibandingkan terhadap hasil total yang diperoleh masing-
masing apabila melakukannya secara individual.
47
Kebutuhan sinergi ini antara lain dimaksudkan untuk
perkuatan core competence, pemanfaatan kelebihan asset yang
memiliki opportunity cost tinggi, pooling dalam menghadapi
pemasok, perluasan economic scale dan/atau peningkatan efisiensi
melalui integrasi kegiatan, misalnya untuk logistik/distribusi.
Sebagai suatu upaya kerjasama sinergi akan berhasil
apabila memenuhi beberapa syarat pokok : layak usaha dengan win-
win solution, tidak dipaksakan dan tetap dikelola perusahaan, tidak
merugikan pihak/swasta lain karena praktek diskriminasi dan
dilaksanakan sesuai hukum yang berlaku dan praktek bisnis yang
sehat.
Pengelompokan perusahaan dalam melaksanakan sinergi
dapat dilakukan antara lain secara vertikal, dalam arti perusahaan
yang bergabung mungkin mempunyai kegiatan yang berbeda, tetapi
satu sama lain berada dalam urutan pada suatu proses produksi. Satu
perusahaan menghasilkan produk akhir yang kemudian menjadi
masukan/bahan bagi perusahaan lainnya. Pengelompokan semacam
ini dilakukan kalau unsur kualitas berperan penting dan arus