Post on 17-Mar-2019
Jarak pagar (
semak berkayu yang banyak ditemukan di daerah tropik. Tumbuhan ini dikenal
sangat tahan kekeringan dan mudah diperbanyak dengan stek. Walaupun telah
lama dikenal sebagai bahan pengobatan dan racun, saat ini ia makin mendapat
perhatian sebagai sumber bahan bakar hayati untuk mesin diesel karena
kandungan minyak bijinya.
Melihat potensi minyak jarak pagar, pemerintah Indonesia telah
mencanangkan pengembangan minyak jarak pagar sebagai sumber energi
terbarukan sampai tahun 2010 dengan me
pagar secara besar-besaran. Hal ini terkait dengan potensi tanaman jarak pagar
sebagai bahan bakar alternatif untuk menghemat cadangan minyak bumi yang
semakin menipis (Hambali
Biji (dengan cangkang) jarak
namun bagian inti biji dapat mengandung 45
analisis terhadap komposisi asam lemak dari 11 sampel jarak pagar, diketahui
bahwa asam lemak yang dominan adalah asam oleat, asam linoleat, asa
dan asam palmitat. Komposisi asam oleat dan asam linoleat bervariasi, sementara
dua asam lemak yang tersisa, yang kebetulan merupakan asam lemak jenuh,
berada pada komposisi yang relatif tetap (Heller 1996). Struktur kimia minyak
jarak pagar menurut Gubitz
Gambar 1 Stuktur kimia minyak jarak pagar
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Jarak Pagar
Jarak pagar (Jatropha curcas, Euphorbiaceae) merupakan tumbuhan
semak berkayu yang banyak ditemukan di daerah tropik. Tumbuhan ini dikenal
sangat tahan kekeringan dan mudah diperbanyak dengan stek. Walaupun telah
lama dikenal sebagai bahan pengobatan dan racun, saat ini ia makin mendapat
sebagai sumber bahan bakar hayati untuk mesin diesel karena
kandungan minyak bijinya.
Melihat potensi minyak jarak pagar, pemerintah Indonesia telah
mencanangkan pengembangan minyak jarak pagar sebagai sumber energi
terbarukan sampai tahun 2010 dengan melakukan pembudidayaan tanaman jarak
besaran. Hal ini terkait dengan potensi tanaman jarak pagar
sebagai bahan bakar alternatif untuk menghemat cadangan minyak bumi yang
semakin menipis (Hambali et al. 2006).
Biji (dengan cangkang) jarak pagar mengandung 20-40% minyak nabati,
namun bagian inti biji dapat mengandung 45-60% minyak kasar. Berdasarkan
analisis terhadap komposisi asam lemak dari 11 sampel jarak pagar, diketahui
bahwa asam lemak yang dominan adalah asam oleat, asam linoleat, asa
dan asam palmitat. Komposisi asam oleat dan asam linoleat bervariasi, sementara
dua asam lemak yang tersisa, yang kebetulan merupakan asam lemak jenuh,
berada pada komposisi yang relatif tetap (Heller 1996). Struktur kimia minyak
urut Gubitz et al. (1999) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Stuktur kimia minyak jarak pagar
) merupakan tumbuhan
semak berkayu yang banyak ditemukan di daerah tropik. Tumbuhan ini dikenal
sangat tahan kekeringan dan mudah diperbanyak dengan stek. Walaupun telah
lama dikenal sebagai bahan pengobatan dan racun, saat ini ia makin mendapat
sebagai sumber bahan bakar hayati untuk mesin diesel karena
Melihat potensi minyak jarak pagar, pemerintah Indonesia telah
mencanangkan pengembangan minyak jarak pagar sebagai sumber energi
lakukan pembudidayaan tanaman jarak
besaran. Hal ini terkait dengan potensi tanaman jarak pagar
sebagai bahan bakar alternatif untuk menghemat cadangan minyak bumi yang
40% minyak nabati,
60% minyak kasar. Berdasarkan
analisis terhadap komposisi asam lemak dari 11 sampel jarak pagar, diketahui
bahwa asam lemak yang dominan adalah asam oleat, asam linoleat, asam stearat,
dan asam palmitat. Komposisi asam oleat dan asam linoleat bervariasi, sementara
dua asam lemak yang tersisa, yang kebetulan merupakan asam lemak jenuh,
berada pada komposisi yang relatif tetap (Heller 1996). Struktur kimia minyak
ambar 1.
Komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar (Jatropha curcas)
dibandingkan dengan asam lemak dari minyak sawit dan minyak kedelai,
memiliki beberapa kemiripan. Minyak jarak pagar didominasi oleh asam jenis
oleat dan asam linoleat, minyak sawit didominasi oleh asam palmitat dan asam
oleat sedangkan minyak kedelai didominasi oleh asam linoleat dan asam oleat
(Tabel 1).
Tabel 1 Komposisi asam lemak dalam minyak biji jarak pagar, minyak sawit, dan minyak kedelai
Asam lemak Minyak jarak pagar Minyak sawit Minyak kedelai Miristat Palmitat Stearat Arakidat Palmitoleat Oleat Linoleat Linolenat
14:0 16:0 18:0 20:0 16:1 18:1 18:2 18:3
0 – 0.1 14.1 – 15.3
3.7 – 9.8 0 – 0.3 0 – 1.3
34.3 – 45.8 29.0 – 44.2
0 – 0.3
0.9 – 1.5 39.2 – 45.8
3.7 – 5.1 0 – 0.04 0 – 0.4
37.4 – 44.1 8.7 – 12.5
0 – 0.6
- 2.3 – 10.6
2.4 – 6 - -
23.5 – 31 49 – 51.5 2 – 10.5
Sumber: Gubitz et al. (1999); Rios (2003)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adebowale dan Adedire
(2006), kandungan trigliserida dalam minyak jarak pagar (Jatropha curcas)
menggunakan sampel biji jarak dari Nigeria adalah sebesar 88,2%, digliserida
sebesar 2,5%, monogliserida 1,7%, asam lemak bebas 3,4%, lipid polar 2,0%, dan
sterol 2,2%. Komposisi asam lemak dan parameter fisiko-kimia berdasarkan
penelitian tersebut berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 Komposisi asam lemak minyak Jatropha curcas
Komposisi Persentase Asam palmitat (C16:0) Asam stearat (C18:0) Asam oleat (C18:1) Asam linoleat (C18:2) Asam arakidat (C20:0) Asam arakidoleat (C20:1) Asam behenat (C22:0)
11.3 17.0 12.8 47.3 4.7 1.8 0.6
Sumber: Adebowale & Adedire (2006).
Tabel 3 Parameter fisiko-kimia minyak Jatropha curcas
Parameter Nilai parameter Warna Massa jenis Indeks bias Asam lemak bebas (%) Bilangan asam (mg KOH/g) Bilangan saponifikasi (mg KOH/g) Angka Iod (mg.I2.g-1) Angka peroksida (mg reac.O2/g)
Merah keemasan 0.8601 1.4735
4.54 4.24
169.9 111.6
3.5 Sumber: Adebowale & Adedire (2006).
Menurut Shah (2003), biji jarak pagar mengandung 40-60% minyak. Sifat
fisik dan kimia dari minyak yang dihasilkan mirip dengan minyak kedelai. Sugita
et al. (2007b), melaporkan kromatogram GC-MS dari minyak jarak pagar
menunjukkan adanya kandungan asam lemak tak jenuh sebesar 55.14% yang
teridentifikasi dalam bentuk metil ester. Berdasarkan kromatogram, ester takjenuh
didominasi oleh metil palmitoleat, yaitu sebanyak 54.24%. Keberadaan ester tak
jenuh tersebut didukung oleh bilangan iodin metil ester jarak pagar sebesar
97.2574 g I2/100 g.
Epoksidasi dan Pembukaan Cincin Epoksida
Epoksida atau oksirana merupakan eter siklik yang beranggotakan tiga
buah atom. Keregangan cincin dalam molekul membuatnya lebih reaktif
dibandingkan dengan eter lainnya. Reaksi epoksida penting dalam sintesis
organik, karena epoksida yang terbentuk merupakan zat antara yang dapat diubah
menjadi beraneka ragam produk (Solomon 1980). Epoksidasi dengan
menggunakan hidrogen peroksida dan sejumlah katalis bersifat tidak toksik,
sehingga berpotensi untuk dikembangkan ke skala industri (Lane & Burges 2002).
Pereaksi nukleofilik sangat tidak reaktif terhadap alkena. Alkena dapat bereaksi
dengan nukleofil jika atom karbon yang memiliki ikatan rangkap mengikat gugus
penarik elektron yang kuat.
Senyawa epoksida sering dibuat dengan mereaksikan alkena dengan
perasam (asam perbenzoat, asam perasetat, asam mono perftalat dan lain-lain).
Mekanisme reaksi alkena dengan perasam telah dikemukakan oleh Bartlett dalam
Dryuk (1976), dimana perasam akan mentransfer atom oksigennya ke alkena.
Reaksi epoksidasi alkena dengan perasam merupakan reaksi ordo dua
dengan ordo satu untuk masing-masing reaktan (March 1992; Edenborough
1999). Lynch & Pausacker dalam Isaacs (1974) mendapatkan fakta bahwa reaksi
epoksidasi dipermudah oleh adanya gugus pendorong elektron pada alkena dan
oleh gugus penaruk elektron pada perasam. Hal ini merupakan bukti bahwa alkena
berfungsi sebagai nukleofil dan perasam sebagai elektrofil.
Pada dasarnya ada empat cara untuk menghasilkan epoksida dari alkena,
yaitu (1) epoksidasi dengan asam perkarboksilat, 2) epoksidasi dengan peroksida
organik dan anorganik, 3) epoksidasi dengan halohidrin, dan 4) epoksidasi dengan
molekul oksigen (Rios 2003). Metode pertama dan kedua lebih bersih dan efisien.
Sementara metode ketiga, penggunaan halohidrin sangat berbahaya terhadap
lingkungan dan membutuhkan perlakuan khusus. Pada cara keempat, molekul
oksigen memiliki selektivitas dan aktivitas yang bergantung pada katalis yang
mengandung unsur dari golongan IV-VIB menghasilkan selektivitas yang tinggi,
tetapi prosesnya lama, sedangkan untuk katalis yang mengandung unsur dari
golongan I, VII, dan VIIIB, proses epoksidasi berlangsung dengan cepat tetapi
dengan selektivitas yang rendah (Rios 2003).
Asam peroksida dibentuk melalui interaksi antara asam karboksilat dan
hidrogen peroksida. Reaksi ini dapat dipersingkat dengan menggunakan hidrogen
peroksida yang berlebih (Gall & Greenspan 1955). Pembentukan asam peroksi
dengan menggunakan hidrogen peroksida dapat dilakukan dengan empat cara
seperti yang dikemukakan oleh Kirk & Othmer (1965), yaitu asam peroksi asetat
atau format yang dibentuk terlebih dahulu dan asam asetat atau asam format yang
dibentuk secara in situ. Reaksi epoksidasi menggunakan teknik in situ memiliki
beberapa keuntungan, antara lain mengurangi pemakaian hidrogen peroksida dan
hemat biaya. Broshears et al. (2004), melaporkan senyawa okson dapat digunakan
untuk menghasilkan dimetil dioksirana secara in situ dari aseton. Dioksirana
kemudian mengoksidasi alkena menjadi epoksida.
Wood & Termini (1958) mengatakan bahwa proses epoksidasi biasanya
dilakukan pada suhu 65-75oC. Bila digunakan suhu yang lebih rendah akan
memperpanjang waktu epoksidasi dan menurunkan efisiensi epoksidasi. Hasil
penelitian Haya (1991) menunjukkan bahwa epoksidasi yang dilakukan pada suhu
100-105oC menghasilkan senyawa epoksida dengan kandungan oksigen oksirana
yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu 65-75oC. Proses
epoksidasi dapat dipersingkat dengan penggunaan katalis seperti: Amberlite IR-
120 dan zeolit.
Campanella & Baltanas (2005), melaporkan reaksi epoksidasi minyak
kedelai yang memiliki komposisi mirip dengan minyak jarak pagar secara teoretis
dapat menghasilkan epoksida minyak kedelai dengan bilangan oksirana sebesar
5.5% yang setara dengan 0.34 mol oksigen tiap 100 g epoksida minyak kedelai
yang dimaksud. Mannari & Goel (2007) juga melaporkan bahwa epoksida minyak
kedelai dapat mencapai bilangan oksirana sebesar 4.2%.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas, diprediksi minyak jarak pagar
bila diepoksidasi memiliki kandungan bilangan oksirana sedikit lebih rendah dari
epoksida yang dihasilkan dari minyak kedelai. Nilai bilangan oksirana yang lebih
rendah memungkinkan diperolehnya bilangan hidroksil yang lebih rendah pula
jika dilakukan reaksi pembukaan cincin epoksida menjadi poliol. Poliol dengan
bilangan hidroksil yang lebih rendah memberikan keuntungan untuk aplikasinya
sebagai bahan baku pelapis.
Epoksida atau oksirana memiliki sifat kimia yang berbeda dengan eter.
Pada umumnya eter tidak reaktif tetapi epoksida sangat reaktif terhadap beberapa
pereaksi kimia. Cincin epoksida tidak memiliki sudut ikatan sp3 sebesar 109o,
tetapi sudut ikatannya hanya 60o, sehingga orbital yang membentuk ikatan tidak
dapat mencapai tumpang tindih secara maksimal. Hal ini menyebabkan cincin
epoksida menderita terikan cincin. Adanya polaritas ikatan C-O dan adanya
terikan cincin, mengakibatkan epoksida lebih reaktif dibandingkan eter lainnya
(Fessenden & Fessenden 1986).
Reaksi khas epoksida adalah reaksi pembukaan cincin. Pembukaan cincin
epoksida terjadi karena terputusnya satu ikatan antara karbon dan oksigen, yang
dapat berlangsung baik dalam suasana asam maupun basa (Gambar 2).
Campanella & Baltanas (2005), telah melakukan penelitian untuk membuka
cincin epoksida pada epoksida minyak bunga matahari dan epoksida minyak
kedelai menggunakan hidrogen peroksida dan H2SO4 98% sistem cair-cair (polar-
organik). Pembukaan cincin epoksida pada minyak nabati juga dapat dilakukan
dengan menggunakan asam akrilat (Fies et al. 2007).
OHO
OH
Nu
+H+
Nu�
Gambar 2 Mekanisme reaksi pembukaan cincin epoksida berkatalis asam
Pembukaan cincin epoksida juga dapat terjadi dalam suasana basa.
Walaupun atom oksigen merupakan gugus pergi yang kurang baik pada reaksi
SN2 namun akibat terikan cincin beranggota tiga dari epoksida reaksi pembukaan
cincin dapat terjadi. Nukleofil akan menyerang pada atom karbon kurang
terintangi untuk menghindari pengaruh sterik pada keadaan transisi. Penyerangan
nukelofil pada karbon memenuhi urutan karbon primer>sekunder>tersier (Royall
& Harel 1955).
Reaksi pembukaan cincin epoksida metil oleat telah dilakukan oleh Rios
(2003) dengan menggunakan metanol dan neopentanol pada suhu 60oC dengan
ragam nisbah metanol/epoksida 1/1 g/g dan 0.5/1 g/g untuk tiap-tiap penggunaan
katalis yang berbeda. Katalis yang digunakan adalah Amberlyst 15 dan SAC 13.
Hasil reaksi menunjukkan konversi total epoksida diperoleh setelah 60 menit
(rasio metanol/epoksida 0.5/1 g/g) dan 90 menit (rasio metanol/epoksida 1/1 g/g)
pada penggunaan katalis SAC 13 sedangkan pada penggunaan katalis Amberlyst
15 konversi epoksida total diperoleh setelah 180 menit (rasio metanol/epoksida
0.5/1 g/g) dan 440 menit (rasio metanol/epoksida 1/1 g/g). Peningkatan rasio
metanol/epoksida menghasilkan waktu reaksi yang lebih cepat.
Senyawa hidroksi eter merupakan senyawa utama yang diharapkan dari
reaksi pembukaan cincin epoksida metil oleat yang dilakukan oleh Rios (2003),
tetapi selektivitas pembentukan senyawa hidroksi eter bukan merupakan fungsi
yang linear dari konsentrasi reaktan, kekuatan asam dari katalis dan waktu reaksi.
Selain menghasilkan senyawa hidroksi eter reaksi pembukaan cincin epoksida
metil oleat juga menghasilkan senyawa keton, senyawa transesterifikasi hidroksi-
eter, dan senyawa transesterifikasi keton.
Menurut Mannari & Goel (2007), reaksi pembukaan cincin epoksida
dengan asam berbasa dua dapat menghasilkan senyawa hidroksi poliester,
sedangkan reaksi pembukaan cincin epoksida dengan asam karboksilat
menghasilkan senyawa beta-hidroksi ester (Gambar 3)
Hidroksi poliester
Beta-hidroksi ester
Gambar 3 Skema reaksi pembentukan hidroksi poliester dari epoksida
�
O
O
OH~~~OOC-R-COO
OOC-R-COO~~~
HO
HOOC-R-COOH+
�
O R-COOH+HO
OR
O
Poliol
Poliol merupakan bagian dari teknologi poliuretan yang penting setelah
isosianat. Poliol polieter (polipropilen glikol dan triol) yang memiliki bobot
molekul 400-10.000 mendominasi aplikasi busa poliuretan. Poliester poliol adalah
kelompok penting dari bahan baku uretan untuk aplikasi dalam bidang elastomer,
perekat dan lain-lain. Poliester poliol dibuat dari asam adipat dan etilena glikol
menjadi polietilen adipat atau butana diol dan asam adipat menjadi polibutilen
adipat. Beberapa struktur kimia poliol komersial ditunjukkan pada Gambar 4
(Kricheldorf et al. 2005).
Polypropylene oxide (PPO) poliol
Poliester polycaprolactone diol
Gambar 4 Struktur kimia poliol komersial
Poliol untuk aplikasi pelapis (coating), rigid foams, dan perekat
mengandung cincin aromatik pada strukturnya untuk meningkatkan rigiditas.
Poliol ini dapat mengkristal, dan hal ini merupakan aspek penting pada beberapa
aplikasi seperti perekat. Minyak castor adalah triol alami dengan bilangan
hidroksil 160 mg KOH/g (fungsionalitas = 2,7) (Kricheldorf et al. 2005).
Poliol yang dikembangkan khusus dari minyak nabati untuk aplikasi
pelapis dilaporkan oleh Mannari & Goel (2007). Penggunaan minyak nabati
sebagai bahan baku poliol memiliki beberapa keunggulan antara lain: cocok untuk
berbagai jenis permukaan, memiliki gugus fungsi reaktif untuk pengeringan
dengan crosslinker, memungkinkan untuk dimodifikasi, lebih murah, dapat
diperbaharui, dan tersedia secara komersial. Poliol yang berasal dari minyak
nabati dapat diaplikasikan untuk pelapis berbasis air (waterborne coating) dan
pelapis dengan konsentrasi padatan tinggi (high solid coating).
Poliol sebagai turunan senyawa yang mengandung gugus fungsi hidroksil
dapat berbentuk polimer dan oligomer yang merupakan senyawa antara yang
sangat bernilai untuk bahan pelapis sistem poliuretan, sistem pengering melamin
dan sistem termoset. Konversi minyak nabati menjadi poliol dapat dilakukan
dengan beberapa cara antara lain: epoksidasi dilanjutkan dengan hidrolisis,
alkoholisis, hidroformilasi dilanjutkan dengan reduksi, konversi mikrobial dan
fungsionalisasi poliol (Mannari & Goel 2007).
Reaksi alkoholisis dengan metanol (berlebih) terhadap epoksida minyak
nabati dengan adanya asam sebagai katalis dapat menghasilkan poliol. Gambar 5
menunjukkan reaksi epoksida minyak kedelai dengan metanol pada suhu refluks
metanol, katalis yang digunakan dapat berupa H2SO4, HBF4, atau zeolit asam
menghasilkan poliol dengan bilangan hidroksil 170-173 mg KOH/g (Ionescu
2005).
Poliol nabati
Gambar 5 Reaksi alkoholisis epoksida nabati menjadi poliol
Budi (2001) telah berhasil melakukan sintesis poliol dari minyak sawit
menjadi poliol dengan reagen H2O2 dan HCOOH dengan kondisi optimum reaksi
pada suhu 50oC, komposisi reaktan 40% minyak sawit netral dan waktu reaksi 2
jam. Poliol yang dihasilkan mempunyai bilangan hidroksil 148 mg KOH dan telah
dicoba untuk aplikasi dalam formulasi busa poliuretan. Karakteristik hasil
aplikasinya diperoleh busa berwarna kuning dengan sifat keras dan kaku dan busa
berwarna putih dengan sifat lembut dan fleksibel. Analisis serapan IR telah
digunakan untuk menjelaskan perbedaan karakteristik fisik tersebut.
Gugus hidroksil dalam resin poliol memiliki beberapa fungsi penting
dalam bahan pelapis sistem poliuretan (Massingill 2006). Fungsi dan
kegunaannya antara lain: gugus hidroksil berperan dalam crosslinking dengan
gugus lain, berpengaruh pada daya rekat terhadap substrat logam dan
meningkatkan kompatibilitas dengan berbagai jenis resin dan pelarut.
Poliuretan
Reaksi poliadisi antara isosianat (poliisosianat) dengan poliol akan
menghasilkan polimer yang lebih dikenal dengan poliuretan. Poliuretan yang
dihasilkan dari reaksi poliadisi ini sangat bervariasi dan kompleks. Kompleksitas
polimer disebabkan oleh banyaknya variabel yang mempengaruhi sifat-sifat fisik
akhir polimer. Sebagian variabel-variabel tersebut adalah:
1. Bobot molekul dan fungsionalitas poliol dan poliisosianat
2. Sifat-sifat kelarutan komponen dan hasil reaksi
3. Variasi pada kinetika reaksi poliadisi menyebabkan macam-macam efek dan
pengendaliannya
4. Penggunaan bermacam-macam katalis, surfaktan, aditif dan filler untuk
memodifikasi sifat-sifat fisik dan performa polimer.
Isosianat adalah komponen penting dalam teknologi poliuretan. Isosianat
yang biasa digunakan dalam pembuatan poliuretan ada dua jenis, yaitu isosianat
aromatis dan alifatis. Poliuretan yang dibuat dari isosianat alifatis mempunyai
warna yang stabil, tetapi isosianat alifatis kurang reaktif dibandingkan dengan
isosianat aromatis dan harga isosianat alifatis lebih mahal. Oleh karena itu, hampir
95% produk poliuretan dihasilkan dari isosianat aromatis, yaitu TDI, MDI dan
turunannya. TDI yang digunakan umumnya merupakan campuran dua bentuk
molekul yaitu isomer 2,4 dan 2,6 TDI dengan perbandingan 80:20 (Gambar 6).
Beberapa jenis triisosianat juga digunakan dalam aplikasi pelapis dan perekat
seperti trifenilmetana
Gambar
Isosianat aromatis kurang cocok untuk aplikasi pelapis dan aplikasi
lainnya yang dimungkinkan terkena radiasi sinar matahari dan pengaruh cuaca
yang berlebih karena dapat berubah menjadi kuning (
pelapis pada kondisi tersebut dibutuhkan isosianat jenis alifatis dan sikloalifatis.
Salah satu sikloalifatis isosianat yang populer adalah IPDI. Meskipun isosianat
aromatis dapat mengakibatkan
relatif tinggi karena menghasilkan tekstur lapisan film yang lebih keras
dibandingkan isosianat alifatis.
Reaktivitas yang tinggi dari senyawa isosianat disebabkan oleh struktur
elektroniknya yang dapat bereso
Reaktivitas suatu isosianat bergantung pada letak gugus isosianat dan jenis
molekul yang melekat. Prinsipnya umumnya isosia
daripada isosianat alifatis. Reakti
perbedaan reaktivitas dua grup gugus isosianat akibat kenaikan suhu.
Gambar
Reaksi antara isosianat dengan alko
reaksi yang paling penting dalam sintesis
Beberapa jenis triisosianat juga digunakan dalam aplikasi pelapis dan perekat
a triisosianat (Thomson 2005).
Gambar 6 Strukur molekul isomer TDI
Isosianat aromatis kurang cocok untuk aplikasi pelapis dan aplikasi
lainnya yang dimungkinkan terkena radiasi sinar matahari dan pengaruh cuaca
ena dapat berubah menjadi kuning (yellowing). Untuk aplikasi
pelapis pada kondisi tersebut dibutuhkan isosianat jenis alifatis dan sikloalifatis.
Salah satu sikloalifatis isosianat yang populer adalah IPDI. Meskipun isosianat
aromatis dapat mengakibatkan yellowing, penggunaannya dalam teknologi pelapis
relatif tinggi karena menghasilkan tekstur lapisan film yang lebih keras
dibandingkan isosianat alifatis.
yang tinggi dari senyawa isosianat disebabkan oleh struktur
elektroniknya yang dapat beresonansi seperti ditunjukkan pada G
suatu isosianat bergantung pada letak gugus isosianat dan jenis
molekul yang melekat. Prinsipnya umumnya isosianat aromatis lebih reaktif
daripada isosianat alifatis. Reaktivitasnya juga bergantung pada suhu dan
itas dua grup gugus isosianat akibat kenaikan suhu.
Gambar 7 Struktur resonansi gugus isosianat
Reaksi antara isosianat dengan alkohol atau gugus hidroksil merupakan
reaksi yang paling penting dalam sintesis poliuretan. Menurut Ionescu (2005),
Beberapa jenis triisosianat juga digunakan dalam aplikasi pelapis dan perekat
Isosianat aromatis kurang cocok untuk aplikasi pelapis dan aplikasi
lainnya yang dimungkinkan terkena radiasi sinar matahari dan pengaruh cuaca
). Untuk aplikasi
pelapis pada kondisi tersebut dibutuhkan isosianat jenis alifatis dan sikloalifatis.
Salah satu sikloalifatis isosianat yang populer adalah IPDI. Meskipun isosianat
penggunaannya dalam teknologi pelapis
relatif tinggi karena menghasilkan tekstur lapisan film yang lebih keras
yang tinggi dari senyawa isosianat disebabkan oleh struktur
nansi seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
suatu isosianat bergantung pada letak gugus isosianat dan jenis
nat aromatis lebih reaktif
itasnya juga bergantung pada suhu dan
itas dua grup gugus isosianat akibat kenaikan suhu.
hol atau gugus hidroksil merupakan
. Menurut Ionescu (2005),
reaksi isosianat dengan alkohol menghasilkan uretan termasuk reaksi eksotermis
(Gambar 8).
Isosianat alkohol uretan
Gambar 8 Reaksi isosianat dengan alkohol
Selain bereaksi dengan gugus hidroksil, isosianat juga dapat bereaksi
dengan gugus-gugus lainnya. Isosianat dapat bereaksi dengan asam-asam organik
membentuk senyawa antara yang tidak stabil yang terdekomposisi menjadi amida
dan CO2. (Gambar 9a). Isosianat bereaksi dengan HCl membentuk adduct yang
terdekomposisi kembali pada suhu tinggi (Gambar 9b). Reaksi isosianat dengan
anhidrida menghasilkan imida (Gambar 9c). Isosianat juga bereaksi dengan
epoksida menghasilkan senyawa siklis – oxazolidon (Gambar 9d).
Gambar 9 Reaksi-reaksi isosianat dengan gugus bukan hidroksil
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Isosianat uretan allophanat
∆H (24 Kcal/mol)�
�
Katalis dalam teknologi poliuretan memegang peran penting dalam
mengontrol reaksi poliol dan isosianat. Senyawa yang mengkatalisis reaksi poliol
dan isosianat dapat berjenis nukleofilik (misal: basa amina tersier, garam-garaman
dan asam-asam lemah) atau berjenis elektrofilik (misal: senyawa organometalik).
(Kricheldorf et al. 2005).
Pembentukan kompleks teraktivasi
N C OR'
NR3R3
+ R"OH N C OR'
NR3R3
H O R"
+HN C OR' +
OR"
NR3
Gambar 10 Reaksi pembentukan uretan berkatalis amina
Senyawa amina adalah salah satu jenis katalis yang sering digunakan
sebagai katalis reaksi poliol dengan isosianat. Mekanisme reaksi poliol-isosianat
dengan katalis amine diasumsikan terjadi melalui pembentukan kompleks
teraktivasi antara amina dan isosianat. Kompleks isosianat teraktivasi kemudian
bereaksi dengan alkohol membentuk produk antara. Produk antara selanjutnya
terdekomposisi menghasilkan uretan dan katalis terbentuk kembali (gambar 10).
Pada senyawa-senyawa yang mengandung gugus hidroksil dengan tingkat
keasaman yang tinggi, memungkinkan terjadinya transfer proton dari alkohol ke
amina.
Film Poliuretan
Suatu bahan pelapis (coating) terdiri dari binder (resin polimer), pelarut,
pigmen dan bahan pengisi (filler). Bahan pelapis poliuretan memiliki posisi
khusus di antara binder alami dan sintetik dalam industri bahan pelapis karena
R3N + R'NCO N C OR'
NR3
R3
N C OR'
NR3R3
memiliki daya rekat yang sangat baik terhadap berbagai bahan. Bahan pelapis
poliuretan dan varnisnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa grup sebagai
berikut:
1. Sistem dua komponen, dimana satu komponen adalah poliisosianat dan
komponen kedua adalah poliol dengan aditif. Sistem ini dibuat dengan atau
tanpa pelarut.
2. Sistem satu komponen yang dapat kering dengan uap air disekitarnya. Sistem
ini dibuat dengan atau tanpa pelarut.
3. Sistem satu komponen yang mengandung campuran poliol dan blocked
isosianat. Pada temperatur yang lebih tinggi, isosianat teraktivasi dan bereaksi
dengan poliol. Powder coating termasuk dalam kategori ini.
4. Sistem urethan non reaktif yang mengandung poliuretan yang dilarutkan di
dalam pelarut. Sistem menjadi kering setelah pelarutnya diuapkan.
5. Uretan alkyds atau uretan oils.
6. Sistem Poliuretan yang terdispersi di air.
(Petrovic dalam Kricheldorf et al. 2005).
Sistem dua komponen merupakan salah satu kelompok yang cukup
berkembang. Dua komponen dalam sistem yaitu isosianat dan poliol serta aditif
dicampur kemudian dapat diaplikasikan dengan teknik aplikasi seperti kuas,
semprot, roller, dipping dan teknik lainnya. Persyaratan isosianat yang digunakan
dalam formulasi harus memiliki tekanan uap yang rendah, sebagai ganti dari
penggunaan isosianat murni, isosianat terpolimerisasi, isosianurat atau prepolimer
lebih disukai. Metilena diisosianat (MDI), juga digunakan dalam bentuk
monomernya karena memiliki tekanan uap yang rendah. Sebagai contoh isosianat
yang digunakan dalam industri coating adalah Desmodur L dari Bayer, yang
berbasis trimetilol propana dan toluena diisosianat (Kricheldorf et al. 2005).
Hasil aplikasi campuran poliol-isosianat atau lebih dikenal sebagai
poliuretan akan menghasilkan bahan pelapis dengan kualitas yang beragam.
Kualitas lapisan film yang dihasilkan bergantung pada beberapa hal antara lain:
jenis resin poliol, jenis isosianat, aditif yang digunakan, metode aplikasi yang
dipakai, dan bahan yang dilapis. Pengujian kinerja bahan pelapis dapat dilakukan
dengan menggunakan parameter standar yang menjadi acuan industri seperti
ASTM dan JIS (Japanese Industrial Standard). Jenis pengujian lapisan film
bahan pelapis yang sering dilakukan antara lain: daya kilap, tingkat kekerasan dan
daya rekat.
Daya kilap lapisan film pada teknologi bahan pelapis didefinisikan sebagai
banyaknya cahaya yang dipantulkan ke mata pengamat oleh permukaan lapisan
film (Talbert 2008). Semakin banyak cahaya yang dipantulkan oleh permukaan
lapisan film, maka daya kilapnya semakin tinggi. Tingkat kehalusan permukaan
lapisan film menentukan banyaknya cahaya yang dipantulkannya, sehingga
semakin halus permukaan lapisan film, maka daya kilapnya semakin tinggi. Daya
kilap diukur dengan alat fotoelektrik (glossmeter). Sudut refleksi dari glossmeter
dapat bermacam-macam yaitu: 20o, 45o, 60o, 90o, atau beberapa nilai lainnya.
Dalam penelitian ini digunakan glossmeter bersudut refleksi 60 o.
Tingkat kekerasan lapisan film adalah parameter yang penting dari bahan
pelapis. Tingkat kekerasan lapisan film bahan pelapis berhubungan dengan
kerapuhan dan permeabilitas terhadap air (Talbert 2008). Tingkat kekerasan
lapisan film bahan pelapis yang telah dikeringkan atau dalam proses pengeringan
dapat diukur dengan menggunakan pensil hardness (metode yang umum
digunakan). Tingat kekerasan lapisan film bahan pelapis berpengaruh terhadap
ketahanan mekanik dan fleksibilitas.
Selain daya kilap dan tingkat kekerasan lapisan film, daya rekat
merupakan parameter kualitas bahan pelapis yang penting. Tanpa daya rekat yang
cukup, lapisan film bahan pelapis yang memiliki daya kilap, tingkat kekerasan,
ketahanan terhadap bahan kimia yang baik menjadi tidak berguna, sehingga dalam
formulasi bahan pelapis, daya rekat perlu diperhatikan (Arthur 2007). Pengukuran
daya rekat umumnya dilakukan dengan menggunakan metode crosscut test.
Metode pengukuran daya rekat lainnya adalah dengan menggunakan tanda “X”
yang digoreskan pada lapisan film kemudian dihentakkan dengan selotif
berperekat khusus (Talbert 2008).