Post on 27-Jun-2015
description
SETTING GENRE AND PRAKTEK ORGANISASI INSTITUTION
Oleh I Wayan Dirgeyasa
Universitas Negeri Medan (UNIMED), Jurusan Bahasa Inggris(wayandirgayasa@yahoo.com)
Januari 2011
“Saya adalah pemimpin yang sudah berpengalaman maka pilihlah saya dan jangan
pilih pemimpin yang belum berpengalaman “ atau ”Lebih cepat lebih,” atau ”pemimpin baru
haluan baru” (Jargon kampanye pilpres Indonesia, 2009). Atau “Setiap siswa wajib
mengumpulkan tugas akhir tepat waktunya, dan jika tidak dapat, harus memberikan alasan
yang jelas (Tuturan guru pada siswa). Atau “Anarki Pemisahan Wilayah” (Headline, Majalah
Tempo, Feb, 2009). Atau ”Demokrasi yang Keblablasan” (Head Line Koran Indonesia Baru
Medan), ”mayday”, ”mayday”, ”mayday” adalah ungkapan yang biasa digunakan oleh pelaut
untuk mengatakan situasi emergensi. Atau ungkapan yang tekini dan terpanas di Indonesia
adalah “Gayus,” “Gayus,” “Gayus” memiliki makna yang sangat beragam misalnya ”koruptor,”
’makelar kasus”, ”pengemplang pajak” atau ungkapan dan pernyataan kondektur bis di
Jakarta yang mengganti dan mensubstitusi ungkapan kantor Dirjen Pajak di Jln Gatot Subroto
di mana bis tersebut menurunkan penumpanya.
Ungkapan dan pernyataan di atas adalah bentuk-bentuk setting genre dan ujaran
dalam praktek organisasi institusi. Ungkapan dan pernyataan tersebut sangat berbeda dan
beragam tergantung pada setting genre dan praktek organisasi institusi di mana bahasa itu
digunakan.
Makalah ini secara umum, membahas penggunaan bahasa dalam konteks setting
genre dan praktek organisasi institusi. Namun secara khususnya juga membahasa sepintas
tentang hakikat genre, organisasi dan institusi, dan hubungan genre dan praktek organisasi,
penggunaan setting genre dan bahasa dalam institusi tertentu seperti ruang kelas, media,
medis dan kemaritiman. Di samping itu, tulisan ini juga mencoba mengkaji praktek organisasi
insitusi dari sudut padang analisis wacana kritis (AWK) atau Critical Discourse Analysis (CDA)
secara sepintas.
A. PENDAHULUAN
Secara teoritis dan praktis-aplikatif, kajian wacana tidak saja menjadi domain para ahli
bahasa dan ilmuwan bahasa sebgaimana namanya, namun wacana telah berkembang
dengan pesat dan digunakan oleh bidang ilmu yang berbeda-beda seperti sastra, politik,
media masa, dan organisasi institusi lainya. Wacana pada prinsipnya telah melekat pada
semua bidang kehidupan manusia. Dari segi praktis, wacana digunakan sebagai praktek
sosial dalam masyarakat.
1
Makna teks tidak saja dikaji dari perspektif linguistik tetapi juga ditinjau dari sudut
pandang konteks kewacanaan itu sendiri. Analisis wacana dalam konteks institusi misalnya
mengkaitkan penggunaan bahasa dengan institusi di mana bahasa itu dipergunakan. Analisis
ini berimplikasi pada penggunaan bahasa pada genre tertentu. Genre juga bermakna
penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan organisasi dan praktek institusi atau
profesi/lembaga pengguna bahasa itu sendiri dan konteks yang melingkupinya.
Munculnya analisis wacana merupakan bentuk penggunaan bahasa yang ditentukan
secara sosial. Wadok (1996) yang dikutip oleh Ramli (2007) mengatakan bahwa ’wacana
sebagai tindakan’ berarti sebuah tuturan bukanlah sebuah proses intelektual dan kognisi
semata, tetapi lebih merupakan bagian dari sebuah tindakan atau sebuah bentuk kehidupan.
Hubungan teks dan konteks mengimplikasikan hubungan dialektis antara peristiwa wacana
tertentu dan situasi, institusi, serta struktur sosial. Sebaliknya peristiwa wacana membentuk
konteks sosial. Teks merupakan bagian dari wacana. Dengan demikian dapat juga dikatakan
bahwa analisis wacana adalah kajian yang meneliti dan mengkaji bahasa yang digunakan
secara alamiah baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Kajian atau analisis wacana saat ini semakin relevan bila dikaitkan dengan ciri
masyarakat di era globalisasi dalam perspektif komunikasi dan berbahasa adalah
berdasarkan ciri-ciri tertentu yang sesuai dengan identitasnya. Misalnya bila kita menghadiri
sebuah pertemuan profesi tertentu seperti kedokteran, hukum, ekonomi atau kemaritiman,
dan bahkan militer, kita akan mendapatkan situasi penggunaan bahasa dalam bentuk kata,
frase, kalimat dan istilah atau jargon yang sangat asing bahkan hal tersebut sulit dipahami
dan dimengerti oleh orang yang tidak terdapat dalam kelompok, organisasi atau institusi
tersebut. Atau ketika kita membaca sebuah teks bidang penerbangan, hal ini juga sulit
dipahami oleh masyarakat yang bukan dalam bidangnya. Masyarakat bahasa yang terbentuk
karena situasi tersebut misalnya karena pekerjaan disebut masyarakat wacana (discourse
community). Merujuk pada ilustrasi di atas, maka ada yang disebut dengan masyarakat
wacana kedokteran, hukum, maritim dan juga penerbangan (Ohoiwutun, 2007).
Berkaitan dengan tema tulisan ini, ada beberapa sub-tema yang dibahas dalam tulisan
ini seperti a) hakikat genre, b) organisasi dan institusi, c) hubungan genre dan praktek
organisasi institusi dan d) Analisis wacan kritis dan kaitannya dengan genre dan praktek
organisasi institusi.
B. HAKIKAT GENRE
Studi tentang genre dan kaitannya dengan bahasa dan linguistik, awalnya digunakan
dalam dunia sastra untuk membedakan berbagai jenis puisi, novel, essay. Chandler(1997)
menambahkan kajian ini berkembang menjadi sebuah retorika dalam kajian teori sastra, teori
media, dan kajian linguistik. Dalam dunia sastra khususnya novel, genre merujuk pada
2
bentuk, style, plot, struktur dan karakteritistik dan fitur-fitur lain yang membedakan genre yang
satu dengan yang lain. Dalam linguistik, kajian genre merujuk pada studi tentang jenis teks
yang berbeda dalam konteks yang berbeda beda..
Sejak itu, istilah genre mulai digunakan dalam wacana lisan maupun tulisan
berdasarkan berbagai teori dari linguistik terapan khususnya Linguistik Fungsional Sistemik
(Systemic Functional Linguistic-SFL (Swales, 1990); (Halliday, 1985) dalam (Hyland, 2003).
Hal ini senada juga dikatakan oleh Christie and Martin (2000) yang mengatakan bahwa
genre merupakan ranah dalam kajian fungsional linguistik yang mengkaji tuturan dalam
perskeptif organisasi dan institusi. Jadi apa sesungguhnya genre? Swales (1990) mengatakan
bahwa genre terdiri dari kelompok peristiwa komunikasi di mana anggota-anggotanya memiliki
seperangkat tujuan komunikasi. Genre juga dapat dikatakan sebagai proses penggunaan
bahasa yang memiliki tujuan tertentu bagi partisipan yang terlibat dalam suatu peristiwa
komunikasi dalam konteks sosial tertentu. Hal hampir senanda juga dikatakan oleeh
(Fairclough, 1995b). Dia mengatakan bahwa genre adalah penggunaan bahasa secara
khusus dengan partisipan tertentu pada praktek sosial tertentu misalnya genre interview,
media genre, atau iklan genre, dll dan (Jorgensen dan Phillips, 2002).
Swales kemudian menambahkan bahwa genre memiliki dan menunjukkan berbagai pola
dalam hal struktur, style, isi dan audiens. Artinya suatu jenis teks berbasis genre memiliki ciri
dan karakteristik tersendiri yang mencerminkan jenis genre itu sendiri. Swales lebih lanjut
mengatakan suatu jenis genre berhubungan dan diwujudkan oleh komunitas wacana. Hal ini
juga didukung oleh (Ohoiwutun, 2007) yang mengatakan bahwa masyarakat bahasa yang
terbentuk karena situasi tertentu seperti pekerjaan, dan profesi dan profesionalisme disebut
masyarakat wacana (discourse community). Merujuk pada ilustrasi masyarakat wacana di
atas, maka munculah istilah masyarakat wacana kedokteran, hukum, maritim dan juga
penerbangan, pendidikan, kesehatan, media, dan lain sebagainya .
Kembali ke genre dan kiatannya dengan konteks sosial, konteks sosial pada dasarnya
adalah menggunakan teks sesuai dengan fungsi sosial. Fungsi sosial teks tergantung pada
tujuan, lingkungan, dan tempat kerja. Berkaitan dengan genre, (Halliday,1994) dalam
(Hyland, 2003). mengatakan bahwa:
This theory addresses the relationship between language and its social functions and sets out
to show language a system from which users make choices to express meaning. Halliday
argues that the language users have to use and develop the specific ways of using language
to accomplish goals which means that texts are related to social context and the other texts.
Broadly, when a set of texts share the same purpose, they will often share the same structure,
and thus, they belong to the same genre.
3
Berdasarkan pendapat di atas, genre teks baik lisan maupun tulisan merujuk pada
adanya hubungan antara bahasa dan fungsi sosialnya. Fungsi sosial tentu berbeda-beda,
maka pengguna bahasa tentu menggunakan genre yang berbeda tergantung dengan fungsi
sosial yang ada atau yang dipilih oleh pengguna bahasa. Genre juga menjadikan pengguna
bahasa untuk menggunakan dan mengembangkan cara yang khusus atau spesifik untuk
mencapai tujuan yang juga spesifik. Pengertian dan pernyataan yang paling penting dalam
memahami genre adalah bila sebuah teks lisan dan tulisan memiliki tujuan yang sama, akan
memiliki struktur yang sama dan digolongkan menjadi genre yang sama pula.
Genre sebagai konteks sosial artinya ujaran berbasis genre itu mengacu pada konteks
sosial dimana genre itu digunakan. Hyland (2003) berpendapat:
“In order to understand the text, genre promotes or follow a certain social convention for
organizing and creating message (information) because the writer want their reader to
understand and recognize the purposes. These reality socially recognized ways of using
language in particular purposes.”
Berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh Hyland and Halliday, genre pada dasarnya
tidak sekedar menuangkan informasi, pesan atau ide dalam ujaran yang benar secara
gramatikal, tetapi informasi dan pesan tersebut harus dikemas dalam suatu bentuk teks yang
sudah disetujui oleh pengguna bahasa itu sendiri. Teks yang berbasis genre memiliki ciri-ciri
sebagai berikut 1) tujuan (purpose), 2) struktur retorik (rhetorical structure), and 3) realiasasi
penggunaan bentuk kebahasaan (linguistic realization or grammatical patterns) (Pardiyono,
2007).
Genre sebagai sebuah teks yang memiliki orientasi, tujuan dan hubungan yang
berbeda-beda antara genre yang satu dengan yang lainya. Genre sebagai sebuah teks baik
lisan maupun tulisan mempunyai orientasi yang berbeda sesuai dengan konteks sosial
dimana teks tersebut digunakan (Badger dan Goodwith, 2000). (Swales,1990) dalam
((Ohoiwutun, 2007) menambahkan bahwa genre dapat diartikan sebagai sebagai suatu
wacana yang mempunyai ciri-ciri struktur, gaya dan isi yang khusus.
Dalam konteks masyarakat wacana, genre menjadikan masyarakat itu berbeda dalam
penggunaan bahasa lain. Dengan genre, mereka dapat memperkaya kosa kata khusus dan
struktur lainnya seperti frase dan kalimat yang berbeda dengan genre yang lainnya. Pada
tataran lain seperti kajian lintas institusi, kajian genre dalam lintas institusi juga akan berbeda.
Misalnya, pola atau struktur institusi kelas akan berbeda dengan institusi rumah sakit yaitu
hubungan interaksi antara dokter dengan pasien, atau institusi pemerintahan antara
pemerintah dengan masyarakatnya, atau institusi bisnis misalnya antara nasabah dengan
pelayan bank, atau institusi media.
4
Dengan demikian, genre yang berbeda mengimplikasikan ’kontrak’ yang berbeda yang
dinegosiasikan antara pengguma genre tersebut. Sejalan dengan pernyataan sebelumnya,
(Livingstone, 1994) dalam Chandler (1997) mengatakan genre yang berbeda menghasilkan
suasana interaksi yang berbeda antara teks-pembaca, pembicara-pendengar yang berbeda
pemberi pesan dengan penerima pesan, komunikator-komunikan. Perbedaan nuansa
interaksi yang berbeda tersebut cenderung menghasilkan jenis keterlibatan yang berbeda
misalnya kritis, atau menerima, bertahan, apatik atau termotivasi (Chandler, 1997).
Untuk itu, genre harus dihubungkan dengan peristiwa komunikasi atau tindak tutur.
Pendekatan komunikasi berbasis genre bukan saja ditinjau dari segi bahasa, tetapi juga
ditinjau dari ciri-ciri yang bersifat eksternal yang mencakup hubungan pembicara-pendengar,
penulis dengan pembaca, media komunikasi (misalnya artikel di koran, surat, pesan dalam e-
mail) dan sebagainya. Walaupun begitu ciri-ciri ekternal pada giliranya akan berimplikasi pada
ciri-ciri internal teks termasuk bidang sintaksi, pilihan leksikal, dan fonologi atau pengkodean.
C. ORGANISASI DAN INSTITUSI
Istilah organisasi dan institusi ibarat sebuah mata uang dengan dua sisi. Organisasi
merupakan proses dan institusi merupakan suatu tempat di mana proses itu berlangsung.
Hornsby (2006) mengatakan institusi adalah tempat atau wadah dari organisasi (a building of
organisation). Organisasi dan institusi tidak dapat dipisahkan, namun dalam pembicaraan
sehari-hari kadang-kadang muncul istilah organisasi institusi, organisasi, atau institusi saja.
Misalnya ketika kita bicara sekolah, kita dapat mengatakan organisasi sekolah atau institusi
sekolah. Atau ketika kita bicara institusi media, sebenarnya di dalamnya sudah termasuk
organisasi media.
Berkaitan dengan organisais, Robbin, dalam Purwanto, dkk (2007) organisasi adalah
kesatuan sosial yang dikoordinasi secara sadar dengan batasan dan ketentuan yang bekerja
secara terus menerus untuk mencapai suatu tujuan atau seperangkat tujuan yang telah
ditetapkan. Kemudian Rogers dan Rogers dalam bukunya ”Communication in Organization”
yang dikutip oleh Effendi (2007) menambahkan bahwa organisasi adalah suatu sistem yang
mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui suatu
jenjang kepangkatan dan pembagian kerja.
Sedangkan (Schein,1982) dalam Muhammad (2009) mengatakan bahwa organisasi
adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai tujuan melalui
pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hirarkisitas, otoritas dan tanggung jawab. Organisasi
institusi memiliki ciri lain seperti memiliki struktur, saling berhubungan dan berkomunikasi
untuk mengkoordinasi aktivitas dalam organisasi. Berkaitan dengan hal ini, setting organisasi
institusi merujuk pada interaksi institusi atau identitas profesional pada suatu institusi seperti
5
ruang dokter, pengadilan, polisi, sekolah atau ruang kelas, dan sebaginya memiliki cirinya
sendiri (Maynard dan Clayman, 1991) dalam Sarangi dan Robert (1999).
Kemudian (Dorothy Smith, 1978) yang dikutip Sarangi dan Robert (1999) mengatakan
istilah institusi merujuk dan mengidentitaskan pada sebuah hubungan yang kompleks yang
membentuk dan mendesain aparatur yang memimpin, dan diorganisasi sesuai dengan
fungsinya-pendidikan, kesehatan hukum, media dan sebagainya. Sejalan dengan apa yang
dikatakan Schein, hal ini dapat dikatakan bahwa anggota organisasi dan institusi saling
berhubungan dan berkomunikasi dalam mencapai tujuan institusi, maka munculah apa yang
disebut dengan komunikasi organisasi atau institusi, dan oleh Atkinson David, dkk (2003)
disebut bahasa institusi (insititutional language).
(Grant, 2004) dalam Fitzgerald dan Young (2006) mengatakan komunikasi institusi
organisasi adalah kumpulan struktur teks yang diwujudkan dalam praktek berkomunikasi baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan. Komunikasi dianggap sebagai jantung dalam proses
organisasi (Orlikowski dan Yates, 1994). Kemudian komunikasi sangat penting akan
berlangsungnya sebuah kegiatan organisasi institusi. Kemudian (Wadok, 1999) yang dikutip
Atkinson, David, dkk (2003) mengatakan bahasa memegang peranan sentral dalam
kehidupan sehari-hari sebuah organisasi misalnya sapaan dan percakapan yang terjadi di
sebuah koridor, debat yang terjadi dalam rapat, peringatan verbal yang diberikan kepada
karyawan, percakapan telephone, atau jingles iklan dari sebuah produk. Jadi organisasi tidak
bereda di luar tetapi dikonstruksi oleh bahasa yang routine terjadi.
Sejalan dengan hal itu, Mumby dan Clair dalam Atkinson, David, dkk (2003) dengan
kuat menyatakan bahwa organisasi ada dan berada karena anggotanya yang
menciptakannya melalui wacana dan hal ini memang bukan berarti organisasi tidak ada apa—
apanya tanpa wacana (bahasa), tetapi wacana atau bahasa merupakan instrumen yang
prinsipil di mana anggota organisasi mencitpakan realitas sosial yang koheren yang
membentuk (frame) keberedaannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan (Schall, 1983)
yang dikutip oleh (Orlikowski dan Yates, 1994) di mana dengan tegas dia mengatakan bahwa
tidak ada proses kegiatan organisasi dan organisasi itu sendiri tanpa adanya proses
komunikasi.
Namun bahasa dan komunikasi dalam organisasi institusi berbeda dengan bahasa
digunakan pada konteks umum. Paling tidak bahasa dalam sebuah organisasi institusi
digunakan untuk menciptkan dan membentuk sebuah organisasi, untuk mengetahui peran
struktur internal, tanggung jawab dan hak dalam berbagai hal yang berbeda, dan bagi yang
lainnya dengan siapa mereka berinteraksi. Bahasa dalam organisasi juga mengeksplorasi
pola diskursif dari kontrol dan tantangan sebagai pergulatan untuk identitas. Dengan realitas
seperti ini munculah istilah bahasa institusi (institutioanal language) Atkinson, David, dkk
(2003). Kemudian bahasa dalam institusi di samping mencerminkan identitas juga budaya dari
6
institusi tersebut (Thornborrow, 2002; Drew dan Heritage, 1992) dalam Atkinson, David, dkk
(2003). Chrisitie dan Martin, kemudian menambahkan bahwa bahasa organisasi institusi tidak
hanya berkaitan dengan identitas dan budaya, bahasa organisasi institusi juga memberikan
nuansa kekuasaan, otoritas dan positioning penuturnya dalam ruang dan waktu yang
berbeda-beda sesuai dengan genrenya (Chrisitie dan Martin, 2000).
Berkaitan dengan apa yang dijelaskan sebelumnya, Weick, (1987) lebih lanjut
mengatakan bahwa komunikasi antar anggota organisasi secara interpersonal merupakan
esensi utama dari organisasi institusi, sebab hal ini dapat menciptakan suatu struktur
organisasi yang kemudian mempengaruhi apa yang dikatakan dan dikerjakan dan apa yang
diperoleh oleh siapa dan untuk siapa. Kemudian Munby dan Clair dalam Fitzgerald and Young
(2006) menambahkan peranan wacana dalam sebuah organisasi memegang peranan penting
dalam sebuah organisasi institusi. Keduanya mengatakan bahwa organisasi ada hanya bila
anggota menciptakan keberadaanya melalui wacana. Dalam konteks ini, pengkajian bahasa
dan wacana dalam organisasi institusi menjadi isu utama dalam memahami bagaimana
kekuasaan, identitas, konflik dan resistensi saling berhubungan dalam sebuah setting kerja
atau organisasi institusi (Wado, 1999) dalam Atkinson, David, dkk (2003).
Dengan demikian, peranan bahasa dalam pelaksanaan organisasi memegang peranan
yang penting. Misalnya bagaimana bahasa ’diciptakan’ sedemikian rupa sehingga institusi
mampu mengontrol dan mendoktrinisasi anggotanya. Misalnya institusi pemerintahaan dalam
rezim orde baru sangat intens menggunakan bahasa sebagai alat kekuasaan. Penciptaan
kata-kata, istilah-istilah dan slogan-slogan seperti Gerakan Pengacau Keamanan (GPK),
Anti-Pancasila, Ekstrem kiri atau kanan, dll. Hal itu digunakan untuk menjuluki pihak-pihak
yang mengancam kekuasaan mereka. Sementara bangsa barat memunculkan istilah-istilah
seperti ’terroris,’’ kaum fundamentalis,’ ’poros setan, ’ dan lain sebagainya.
Dari sudut pandang yang lain, hakikat komunikasi dalam organisasi institusi, Blade dan
Haroldsen (1975) dalam Fitzgerald and Young (2006) mengatakan komunikasi organisasi
atau institusi ditandai dengan karakteristik seperti status dan peran, rumusan peranan, norma-
norma profesional dalam institusi, ketentuan jalur komunikasi, dan sanksi serta sejenisnya. Ini
merupakan bahwa setiap insitusi dibentuk dan dibangun oleh sistem komunikasi yang
mencerminkan institusi itu sendiri. Sejalan dengan itu, (Berger dan Luckman, 1967) dalam
Sarangi dan Robert (1999) menambahkan bahwa setiap organisasi institusi memiliki sistem
tranmisi komunikasi yang merupakan kode etik institusi.
Ditinjau dari sifat komunikasi organisasi, Effendi (2007) mengatakan komunikasi
organisasi bisa bersifat hirarkis, pekerjaan sehari-hari, pertukaran komoditas, dan saling
ketergantungan. Kemudian Sarangi dan Robert (1999) mengatakan tempat kerja atau institusi
ditopang oleh praktek komunikasi yang mungkin meliputi pembicaraan (talks)-pembicaraan
tatap muka atau telephone, atau teks (texts)-surat, memo, atau catatan, atau penggunaan
7
ruang sosial-penempatan furniture, tempat tidur di rumah sakit, atau artifak-penggunaan
teknologi laboratorium dan komputer dalam berbagai konfigurasi. Dengan demikian,
organisasi institusi merupakan arena pertarungan sosial (social struggle) sebagai mana cara
berbicara, merekam dan bertingkah laku dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa
Sarangi dan Robert (1999); (Mc Carthy (1994) yang dikutip Tarwiyah (2003) dalam Sumarlan,
dkk (2003).
D. HUBUNGAN SETTING GENRE DAN PRAKTEK ORGANISASI INSTITUSI
Setting genre, ujaran, dan praktek organisasi institusi merupakan suatu frase dan
terminologi yang saling berhubungan dalam pengkajian wacana. Ketiga frase tersebut
memiliki pengertian, hakikat, dan substansi yang berbeda, namum mereka saling
berhubungan dan mempengaruhi dalam sebuah kajian wacana.
Berkaitan dengan wacana, (Sinclair dan Coulthard, 1975) dalam Fairclough (1999)
mengatakan bahwa wacana adalah penggunaan bahasa yang ditinjau dari praktek sosial
(discourse is a use of language seen as a form of social practice and discourse analysis is
analysis of how texts work within sociocultural practice). Analisis seperti memerlukan
perhatian bentuk tekstual, struktur dan pengorganisasian pada semua tingkatan, level
fonologi, gramatika, leksikal dan level dari teks yang lebih tinggi seperti pergantian
percakapan, struktur argumentasi, dan struktur generik.
Pandangan ini kemudian direpresentasikan dalam bentuk spesifikasi pemilihan leksikal
maupun gramatika tertentu. (Mc Carthy (1994) yang dikutip Sumarlan (2005) mengatakan
”Language is a site in which beliefs, values and points of views are produced, encoded and
contested,” yang artinya bahasa merupakan arena di mana berbagai nilai, dan pandangan
dihasilkan, diterjemahkan dan dipertandingkan.
Kemudiaan Fairclough (1997) lebih jauh berpendapat bahwa wacana adalah
penggunaan bahasa dilihat sebagai suatu bentuk praktek sosial yang kerjanya dikaji dalam
hubungan dengan aspek sosial dan budaya penulis atau penuturnya (Discourse is the use of
language seen as a form of social practice, and discourse analysis is analysis of how texts
work within social-cultural practice.) Kemudian Fairclough sendiri menambahkan pengertian
wacana di atas sebenarnya sejalan dengan pandangan bahwa bahasa sebagai suatu bentuk
praktek sosial (language as a form of social practice). Pandangan tersebut mengimplikasikan
bahwa adanya tiga hal utama dalam bahasa yaitu a) bahasa sebagai bagian dari masyarakat,
b) bahasa sebagai praktek social, dan c) bahasa sebagai proses yang dikondisikan secara
sosial (Eriyanto, 2001); (Sumarlan, dkk, 2003).
Kembali ke pemaknaan, pemaknaan ujaran tergantung pada konteks wacana yang
mendukung tuturan atau wacana adalah situasi kewacanaan. Situasi kewacanaan berkiatan
erat dengan tindak tutur. (Hymes, 1972) yang dikutip (Sudarya, 2009) menyebut komponen
8
tutur dengan singkatan (SPEAKING) yang dalam Bahasa Indonesia dapat ditransformasi
menjadi (WICARA) yang fonem awalnya mempunyai makna yang menyangkut situasi
kewacanaan tersebut (Sudaryat, 2009): Berikut adalah makna WICARA dalam kaitannya
dengan konteks kewacanaan dalam pemaknaan ujaran dalam kajian analisis wacana.
W (aktu, tempat dan suasana);
I (instrumen yang digunakan);
C (ara dan etika tutur);
A (alur ujaran dan pelibat tutur);
R (asa, nada, dan ragam bahasa);
A (amanat dan tujuan tutur).
Ini artinya makna wacana sangat tergantung pada atrubut dan variabel yang fonem yang
melekat pada kata WICARA tersebut. Misalnya bila wacana itu ditinjau dari fonem A (amanat
dan tujuan), makna wacana akan terkait dengan genre. Hal ini tentu relevan karena genre itu
berhubungkan dengan penggunaan bahasa dalam konteks sosial, konteks sosial juga dapat
diartikan sebagai situasi dan tempat dimana bahasa itu digunakan. Genre sangat erat
kaitannya dengan institusi organisasi, tempat kerja (working place) di mana bahasa itu
digunakan. Genre dan institusi berarti penggunaan bahasa sesuai dengan profesi pengguna
bahasa tersebut. Genre pada konteks yang lebih ekspresif dan spesifik dapat juga merujuk
pada ESP dimana ESP itu adalah sebuah ’institusi’ tertentu yang tentu berbeda dengan
institusi lain (Bathia, 2007). Hal ini juga senada dengan apa yang dikatakan oleh (Badger
dan Goodwith, 2000) bahwa genre sebagai sebuah teks baik lisan maupun tulisan yang
mempunyai orientasi yang berbeda sesuai dengan konteks sosial dimana teks tersebut
diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi pada praktek organisasi institusi. Sejalan dengan
itu, (Bhatia, 1997) dalam Crossley (2007) mengatakan pendekatan genre dapat dipahami dan
diartikan sebagai studi tentang bahasa dan penggunaan bahasa baik pada tingkat akademik
maupun setting profesionalisme. Anlisis genre juga menjelaskan mengapa bahasa digunakan
berbeda dalam setting tertentu dan budaya tertentu.
Dalam mengkaji hubungan antara genre dan wacana institusi, kita tidak hanya
mengkaji hubungan genre dan wacana dengan institusi dalam sebuah intitusi dan organisasi
yang berbeda, tetapi kita juga mengkaji sejauh mana genre dan wacana dipengaruhi oleh
institusi dan sebaliknya genre dan wacana juga mempengaruhi institusi yang berbeda
(Fifzgerald, B dan Young, L. 2006). Lebih lanjut, dia mengtakan bahwa genre dan institusi
juga mengkaji hubungan antara wacana, kekuasaan, dan ideologi.
Berkaitan dengan genre dan komunikasi dan institusi, genre lahir dan digunakan dalam
komunitas organisasi tertentu. Penggunaan genre seperti itu, pada gilirannya memperkuat
bahwa genre sebagai organisasi memiliki struktur yang penting dan berbeda serta tipikal bagi
suatu komunitas institusi. Komunitas ini termasuk unit sosial seperti kelompok, organisasi
9
institusi, dan juga profesi atau pekerjaan (Brown dan Duguid, 1991; Lave dan Wanger, 1991)
dalam (Orlikowski dan Yates, 1994).
Genre komunikasi institusi organisasi baik lisan dan tulisan merupakan merupakan jenis
komunikasi yang berbeda yang dicirikan dan ditandai oleh tujuan komunikasi yang sudah
saling dikenal secara sosial dan bentuk yang umum. Yang paling penting untuk dicermati
seperti apa yang dikatakan (Miller, 1984) bahwa komunikasi genre dalam institusi organisasi
bukan berakar pada motif komunikasisi individu tetapi tujuan komunikasi ini dikonstruksi,
dikenali, dan diperkuat oleh anggota institusi itu sendiri .
Hubungan genre, ujaran, dan praktek organisasi dan institusi, sesungguhnya merujuk
pada penggunaan bahasa merujuk pada segmentasi pada masyarakat. Pengguna bahasa
pada organisasi institusi yang berbeda-beda menujukkan identitas organisasi institusi itu
sendiri. Organisasi inistitusi berimplikasi pada institusi tersebut dan kemudian dapat dianggap
sebagai ”masyarakat wacana” dengan ciri-cirit tertentu. Berkaitan dengan masyarakat dalam
organisasi dan institusi, Swales, 1991) dalam ((Ohoiwutun, 2007) mengatakan ada enam ciri
masyarakat wacana. Pertama, suatu masyarakat wacana memiliki separangakat tujuan umum
yang telah disepakati. Kedua, satu masyarakat wacana berinterkomunikasi antar anggota-
anggota kelomopoknya. Ketiga, satu masyarakat wacana menggunakan mekanisme
hubungan antar anggota untuk memberikan informasi dan umpan balik. Keempat, masyarakat
wacana memiliki satu atau lebih genre untuk mencapai tujuan-tujuan komunikasi. Kelima,
dengan memiliki genre suatu masyarakat wacana telah meraih pemerolehan berbagai kosa
kata spesifik. Keenam, suatu masyarakat wacana senantiasa memiliki satu kelompok
anggota pemula dalam isi wacana yang relevan denan keahlian dalam bidang wacana
terssebut.
(Hymes, 1972) yang dikutip Fairclough (1999) mengatakan institusi dapat dianggap
sebagi sebagai ’masyarakat tutur (speech community) yang menggambarkan ciri peristiwa
tuturan (repotaire) yang tipikal dan khusus, dan menggambarkan suatu ’komponen’
selayaknya pekerjaan etnografi yang berbeda seperti setting, partisipan (identitas dan
hubungan mereka), tujuan, topik, dan lain sebagainya. Kemudian, Fairclough (1999)
menambahkan bahwa setiap institusi memiliki peristiwa tuturannya sendiri (speech events),
setting dan latar yang berbeda, partisipan yang tersegmentasi, dan aturan-aturannya, yang
mana anggota institusi mungkin terlibat aktif dalam peristitwa tuturan, memainkan
peranannya, dalam suatu setting dalam rangka mencapai tujuan dan topik yang ada dalam
institusi.
Ciri lain dari pembicaraan institusional yang membedakannya dengan pembicaraan
biasa (ordinary conversation) adalah seperti apa yang diutarakan oleh (Heritage, 1997) dalam
Koester (2006) yang mengatakan bahwa interaksi institusional sering terjadi dalam bentuk
asimetris. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa interaksi dalam institusi dan tempat kerja, pelaku
10
interaksi mengambil peran tertentu yang umunya bersifat asimetris misalnya interkasi antara
dokter – pasien, guru – murid, majikan- bawahan, dll. Namun demikian, interaksi dan peranan
institusional juga merujuk pada identitas wacana seperti pembicara-yang diajak bicara
(speaker-addressee), penanya – penjawab (questioner-answerer), dan sebagainya
(Greatbatch dan Dingwall, 1998). Sejalan dengan peran dan identitas dalam interaksi (Have,
1991; Holmes, 1999) yang dirujuk Koester (2006) menambahkan bahwa peranan dan
identitas tersebut tidak ditentukan lebih dahulu atau bersifat fixed, tetapi dapat dinegosiasikan
dan berubah melalui pembicaraan. Atau peranan dan identitas dalam interaksi dapat berubah-
ubah, multiple, dan simetris atau asimetris (Gavruseva, 1995; Holmes, et all, 1999) dalam
(Koester, 2006). .
Istilah pembicaraan institusional (institutional talks) sering digunakan untuk merujuk
pada semua jenis setting tempat kerja (workplace setting) (Koester, 2006). Sejalan dengan
Koseter, (Drew dan Heritage, 1992; Schegloff, 1992a) dalam (Koester, 2006) menambahkan
bahwa pembicaraan institusional (institutional talks) berbeda dengan pembicaraan biasa
(ordinary talk) dalam banyak hal. Lebih lanjut (Drew dan Heritage, 1992) yang dikutip Koester
perbedaan pembicaraan institusional dicerminkan pada tiga dimensi interaksi. Ketiga dimensi
interkasi tersebut adalah, a) tujuan (goal orientation), b) batasan khusus (special and
particular constrain), dan c) prosedur (procedure).
Tujuan (goal orientation) mencerminkan sejumlah fitur-fitur dari percakapan dalam
sebuah intnsitusi. Kondisi ini tentu dihubungkan dengan praktek institusi yang khusus seperti
instruksi (instruction-giving), pengambilan keputusan (decision making), briefing dll.
Perhatikan ujaran di bawah ini:
’Uh... just wanted to tell you about my...conversation with Tony.”
Bentuk ujaran di atas ditemui biasanya dalam percakapan umum, karena pembicara
tidak memiliki tujuan transaksional yang jelas. Berbeda dengan ujaran yang biasa digunakan
dalam institusi kerja umumnya terstruktur dengan jelas yang merujuk pada analisis genre.
Analisis genre ini merujuk pada konteks institusi.
Batasan khusus (special and particular constrain) merujuk pada apa yang dapat
dikatakan atau dilakukan dan dapat dimanifestasikan dalam berbagai cara yang berbeda,
Artinya setiap institusi memiliki batasan yang khusus yang kadang-kadang berbeda dengan
institusi lain. Misalnya interaksi antara dokter dan pasien cenderung bersifat interaksi tanya
jawab tetapi kenyataannya dalam banyak dan hal hampir tidak terjadi pergantian peranan
dalam konteks tersebut. Ini merupakan batasan khusus yang ada dalam institusi pelayanan
kesehatan antara dokter dan pasien. Pola interaksi ini tentu akan berbeda dengan institusi lain
seperti lembaga bisnis dan lain sebagainya (Koester, 2006). Berdasarkan pandangan di atas,
jelas bahwa analisis wacana institusi dan profesionalisme dapat dikaji dan diteliti melalui sudut
pandang analisis genre (Bhatia, 2007); (Haris, 1997a) dalam Koester, 2006). Pendekatan ini
11
sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi strukur utama dan fase dalam berbagai jenis
interaksi yang berbeda. Hal ini sangat mungkin karena interaksi institusi dan tempat kerja
pada umumnya sangat spesifik dan terarah.
Hubungan setting genre dan ujaran serta praktek organisasi instiusi erat kaitannya
dengan analisis gerne. Analisis genre bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik
khusus/spesifik dari berbagai jenis pembicaran atau teks. Juga, analisis genre sesuai untuk
analisis wacana institusi dan tempat kerja Koester, 2006); (Bhatia, 2007). Kemudian, (Hasan,
1985) yang dikutip oleh Koester (2006) menambahkan bahw pendekatan analisis genre juga
mampu menjembatani dan membawa beberapa pendekatan kualitatif yang berbeda dalam
menganalisis teks dan percakapan pada institusi profesional atau tempat kerja. Di samping
itu, analisis genre dapat melakukan analisis percakapan, pembicaraan dan teks dalam lintas
disiplin termasuk konstruksionisme sosial. Dalam lingkup yang lebih luas, pendekatan genre
dan kiatannya dengan percakapan institusi, analisis genre dapat menjelaskan analisis
tersebut secara mendalam dan komprehensif (thick description), dan memungkinan analisis
dalam berbagai level analisis Sarangi dan Robert (1999);. Koester (2006).
(Bhatia, 2007) lebih lanjut menggambarkan secara komprehensif mengenai
penggunaan bahasa dalam praktek organisasi institusi. Dia mengatakan ada empat aspek
dari penggunaan bahasa dan kaitannya dengan genre dan praktek organisasi institusi dalam
memahami genre khusus atau tertentu sebagai bagian dari komunikasi dan kegiatan
profesionalisme untuk mencapai tujuan komunikasi. Keempat aspek tersebut adalah teks,
genre, praktek profesional, dan budaya profesional.
Figure 1. Penggunaan Bahasa dalam konteks organisasi (Bhatia, 2007)
Prosedur dan acauan (procedure dan framework) tergantung pada konteks institusional.
Artinya prosedur dan acauan yang digunakan berbeda dengan bahasa institusi lain dan
penggunaan bahasa pada umumnya. Perbedan tersebut misalnya dalam ranah penggunaan
jargon dan pilihan leksikal, serta item leksiko grammarnya. Berkaitan dengan itu, (Handford,
2004) yang dikutip Koester (2006) mengatakan bahwa wacana institusional sesungguhnya
berbeda dengan percakapan umumnya misalnya dalam hal leksiko-grammarnya.
12
PROFESIONAL CULTURE
PROFESSIONAL PRAKTIS
GENRE
TEKS
Apa yang dikatakan oleh Handford, juga ditegaskan oleh Orlikowski dan Yates, (1994).
Dia mengatakan secara linguistik, komunikasi genre institusi dan praktek institusi pada
masyarakat tersebut dibedakan dalam bentuk kosa kata yang spesial, jargon profesi institusi
tempat kerja. Berikut adalah beberapa contoh genre dan ujaran pada praktek organisasi
institusi yang berbeda-beda.
1. Genre dan Ujaran Pakatek Oganisasi Istitusi Kepelautan
Berkaitan dengan genre, ujaran, praktek organisasi insitusi yang berbeda antara genre
dan institusi dalam hal kosa kata dan atau jargon-jargon yang digunakan pada organisasi
institusi kepelautan (profesi dan organisasi kepelautan).
Dalam komunikasi kepelautan dan juga penerbangan secara umum menggunakan
terminologi yang khusus misalnya dalam hal pelafalan (SPELLING). Pengejaan atau Spelling
dalam institusi kepelautan tidak sama dengan spelling dalam institusi lain seperti kesehatan
atau media. Berkut ciri dan karakeristik wacana kepelautan dari segi spelling dan leksikalnya.
Letter Code Letter Code
A Alfa N November
B Bravo O Oscar
C Charlie P Papa
D Delta Q Quebec
E Echo R Romeo
F Foxtrot S Sierra
G Golf T Tango
H Hotel U Uniform
I India V Victor
J Juliet W Whisky
K Kilo X X-ray
L Lima Y Yankee
M Mike Z Zulu
Figure 2. Daftar spelling dan simbolnya dalam komunikasi di laut
Penggunaaan spelling dengan menggunakan kode, dilakukan tentu untuk
menghindari, kekeliruan dan kesalahan dalam berkomunikasi karena komunikasi di
organasasi kepelautan khususnya ekternal komunikasi dengan menggunakan sistem
komunikasi elektronik yang cenderung mengalami gangguan komunikasi baik secara teknis
maupun non teknis.
13
Pada tataran leksis, organisasi dan institusi kepelauatan juga meiliki karakteristiknya
sendiri, berikut adalah contoh frase dan ungkapan yang tipikal pada institusi kepelautan.
Mayday- digunakan pada situasi dan mengirim pesan yang bersitat disteress.
Pan-pan -digunakan untuk mengumumkan sebuah pesan yang urgen.
Securite -digunaknan untuk mengumumkan sebuah pesan yang aman
Kemudian Stafford dalam http//www.mediaed.org.uk/posted_documents/genre.html
5/20/2009 menyatakan bahwa genre sangat berhubungan erat dengan institusi dan
bagaimana sebuah teks diproduksi dan didistribusikan bagi anggota institusi tersebut. Genre
institusi antara yang satu berbeda dengan yang lain. Lebih lanjut Stafford, mengatakan bahwa
genre institusi dengan sebutan ’genre work’ karena genre work dihubungkan dan
berhubungan dengan institusi kerja.
Berkaitan dengan analisis ’genre work’ pada praktek organisasi institusi, secara linguistik
juga dapat dikaji dari segi lexico-grammar fiturnya. Berikut adalah lexico grammar dalam genre
kepelautan yang boleh diujarkan dan yang tidak boleh diujarkan.
NO NOTASI TIDAK BOLEH/DILARANG DIWAJIBKAN
1 MAY May I enter fairway
You may enter fairway
Question. Is it permitted to enter fairway
Answer. It is permitted to enter fairway.
2 COULD You could run into danger Warning. You are running into a danger
3 SHOULD You should anchor in
anchorage B3
ADVICE. Anchor in anchorage B3
Figure 3. contoh lexico-grammar yang berbeda dengan instusi lain
Dalam praktek institusi organisasi kepelautan, lexico-grammar seperti ““May I enter
fairway?”, “You may enter fairway”, You could running into danger” You should anchor in
anchorage B3” tidak pernah digunakan dan bahkan bukan merupakan bentuk atau fiture
lexico-grammar di instusi kepelautan dalam berkomunikasi .
2. Genre dan ujaran prakatek organisasi institusi Medis
Hubungan dokter dan pesien merupakan tema sentral dalam kajiwan genre, ujaran
dan praktek organisasi institusi dalam bidang medis. (Ibrahim Y, 2007) dalam English for
Specific Purpose (Vol.20.No.4, 2001) mengatakan bahwa studi tentang penggunaan bahasa
dan komunikasi merupakan aspek luas dan utama dalam bidang medis. Bagi dokter,
penggunaan bahasa untuk berkomonikasi menentukan kualitas kerja dan pelayanan mereka
dalam kaitannya dengan pasien. Hal ini sesuai dengan dokumen General Medical Council
(GMC’s document) yang menyatakan bahwa ”the doctor who lacks ’communication skill’ can
said to be lacking in technique, in the same way as the doctor who lacks ‘clinical knowledge.’”
Kutipan di atas jelas menunjukan bahwa dokter harus menguasa bahasa yang sesuai dengan
14
kebutuhan kerja dan professional institusi, jika mereka tidak menguasai hal ini, berarti mereka
tidak saja lemah dalam berkomunikasi tetapi juga lemah dalam bidang ilmunya.
Hasil penelitian (Ibrahim Y, 2007) menemukan bahwa pola komunikasi antara dokter
dan pasien cenderung didominasi oleh dokter. Ini menunjukkan bahwa komunikasi cenderung
didominasi dan dikuasi oleh dokter dari pada pasien. Menurut tradisi medis di barat hal ini
dikategorikan komunikasi yang buruk. Hal ini juga mungkin terjadi di praktek institusi ruang
kelas yaitu hubungan antara guru dan siswa. Guru adalah sumber pengetahuan untuk itu,
biasanya reaksi diam dan patuh merupakan indikasi rasa hormat. Untuk pola komunikasi dan
dokter hampir sama. Pasien dan siswa cenderung memainkan peranan yang pasif, hampir
tidak ada alternatif sosial. Jika ada seperti pertanyaan ”What do you think?” ini
diinterpretasikan ada keragu-raguan.
Kemungkinan lain komunikasi dalam medis adalah pola pememaksaan. Ini merupakan
model komunikasi dokter-pasien. Hal ini digunakan agar pasien tidak terlalu banyak bertanya
dan juga mempercepat komunikasi tersebut. Komunikasi yang cepat merupakan ”tujuan”
dokter dalam melayani khususnya pada dunia ketiga dan ini sesuai dengan slogan ”one-
minute-consultation.” Nampaknya slogan tersebut menjadi pemicu komunikasi medis
cenderung didominasi oleh dokter sedangkan pasien cenderung tidak punya pilihan.
3. Genre dan ujaran prakatek organisasi institusi Ruang Kelas
Ruang kelas, juga merupakan setting genre, ujaran dan praktek organisasi yang
memiliki batasan dan cirinya sendiri dibandingkan dengan praktek organisasi institusi lain.
Organisasi institusi kelas sebenarnya merupakan genre pendidikan yang berlangsung di
ruang kelas dan tentu memiliki karakeristik yang berbeda dengan institusi lain. Dalam ruang
kelas misalnya, bahasa yang digunakan oleh guru dan siswa, dosen dan mahasiswa dapat
dianlisis. Dalam hal ini, tuturan guru dan dosen merupakan objek penelitian analisis wacana
dalam kelas. Pola ujaran dan komunikasi organisasi institusi kelas sangat beragam dan
bervariasi. Sincalir dan Coulthard yang dikutip oleh Ramli (2007) dalam penelitiannya
mengkaji interaksi institusi dalam kelas antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa. Hasilnya,
dia membuat struktur wacana terdiri dari pelajaran (lesson), transaksi (transaction),
pertukaran (exchange), gerak (move) dan tindak(an) (action).
Dalam institusi kelas, kenyataanya ada banyak dimensi yang dapat dikaji dalam
institusi kelas. Artinya apa yang diutarakan oleh Sincalir dan Coulthard merupakan satu dari
beberapa dimensi yang dapat dikaji dalam wacana kelas. Misalnya wacana kelas dapat
ditinjau dari fungsi pertanyaan yang diajukan oleh guru atau dosen. Tsui yang dikutip Ramli
(2007) dalam penelitiannya melakukan analisis terhadap pertanyaan yang diajukan oleh guru
berdasarkan jawaban yang diharapkan. Dia kemudian menyimpulkan bahwa pertanyaan di
kelas digunakan sebagai request dan elisitasi.
15
Seperti dijelaskan sebelumnya, genre dan praktek organisasi institusi, ujaran memiliki
dan memperlihatkan adanya kuasa dari satu kelompok atas kelompok lainnya dalam
kehidupan institusi tersebut (ruang kelas). Van Djik (2001) yang dikutip oleh Eriyanto (2009)
juga mengatakan kuasa melibatkan kontrol dari anggota suatu kelompok terhadap kelompok
lain dalam bentuk aksi atau kognisi sehingga kelompok yang berkuasa yang dapat membatasi
kebebasan kelompok tersebut sekaligus mempengaruhi pikiran mereka. Pada praktek
organisisai kelas, guru/dosen merupakan seorang yang mempunyai kuasa dapat mengontrol
prilaku siswa/mahasiswa sebagai orang yang dikuasi (Bonvillain, 2003). Berkaitan dengan
kekuasaan, guru (Thomas, 1995) dalam Ramli (2007) mengemukakan guru berpeluang
memiliki tiga jenis kuasa seperti a) legitimate power-kuasa yang diperoleh karena peran, umur
atau status, b) referent power-kuasa yang diperoleh karena dia dikagumi dan banyak orang
ingin seperti dia, dan c) expert power-yang mengacu pada kuasa yang dimiliki seseorang
karena pengetahuan dan keahliannya. Dari tiga kekuasaan tersebut, guru/dosen sangat
mungkin melakukan kekeliruan dan kesalahan dalam praktek organisasi. Sedangkan ditinjau
dari tindak tutur, representasi kekuasaan di kelas dapat dilihat dari tiga jenis tindak tutur yaitu
direktif, asertif, dan ekspresif (Jumadi, 2005). Misalnya:
Guru: (1) Anda harus dapat mengikuti pelajaran dengan baik. (2) Kalau terlambat, ada
prosedur yang harus anda lakukan. (3) Jangan sampai melakukan keonaran. (4)
Yang lain, kalau ada yang sakit harus minta izin. (5).....
Siswa:(Siswa mendengarkan penjelasan guru tanpa ada yang berani usul). Konteks
dituturkan ketika guru memberikan pengarahan pada pertemuan awal semester.)
(Jumadi, 2005: 60).
4. Genre dan ujaran prakatek organisasi institusi Media
Setting genre dan ujaran serta praktek institusi organisasi dapat ditunjukkan dalam
genre dan institusi dalam perspektif media. Media atau mass media meliputi media cetak dan
elektronik. Genre media yang dominan dan intens kaitannya dengan genre adalah media
cetak seperti surat kabar. Media-surat kabar harus mengikuti jenis-jenis aturan dalam
menyajikan berita dari pandangan linguistik karena institusi (media) yang mengahasilkannya.
Menurut Sumadiria (2008) bahasa media atau jurnalistik ditinjau dari efektivitas harus
sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, pengunaan kalimat aktif,
penghidaran penggunaan istilah teknis, dan sesuai dengan kaidah dan etika bahasa baku.
Di samping harus mengikuti aturan linguistik dan layout, media juga harus mengikuti
kepentingan lain seperti stakeholder, ideologi yang dianut, serta jenis media itu sendiri. Di
samping itu, analisis media juga memeperahatikan kategori media-berkualitas, pop, dan
yellow pages (Sumadiria, 2008). Kompleksnya analisis media, karena media juga merupakan
16
sebuah institusi yang berorientasi profit dan media juga merupakan sebuah industri. Untuk itu
media tidak lepas dari kepentingan stakeholder. Artinya analisis media harus ditelursuri dari
pandangan kritis. Eriyanto (2009) misalnya mengatakan fakta merupakan hasil dari proses
pertarungan antara kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang ada dalam masyarakat. Atau
berita tidak semata mata cermin dan refleksi dari realitas, karena berita dapat dibentuk sesuai
dengan kepentingan kekuatan dominan.
Sejalan dengan hal itu, tidak dapat dipungkiri bahwa berita terjadi karena media tidak
berada dalam ruang yang vacum. Ujaran dalam media berada di tengah realitas yang sarat
dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam (Sobur, 2006).
(Althusser, 1971) yang dikutip oleh (Zastrouw, 2000) dalam Sobur (2006) mengatakan bahwa
media dalam hubungannya dengan kekuasaan menempati posisi strategis sebagai sarana
legitimasi. Di samping itu, (Schiller, 1973) dalam Bonvillain (2003) menambahkan media juga
memiliki mitos budaya yang ada di antara mereka seperti media merupakan kekuatan
keempat dari sebuah negara (the fourh state) dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Berkaitan dengan media, Robert Murdoch, raja media di Amerika memiliki dua media
cetak The Times dan The Sun. Keduanya adalah sub-genre yang berbeda dalam konteks
institusi media cetak. Munculnya kedua media ini karena didasari oleh audiens yang berbeda
seperti dijelaskan bahwa genre yang berbeda memiliki audiens yang berbeda serta orientasi
dan tujuan serta ideologi yang berbeda pula.
Media merupakan alat untuk mengakses informasi dan media juga merupakan
representasi kekuatan yang kuat dalam masyarakat. Hal ini dapat dikaji secara linguistik
bagaimana media memberitakan suatu peristiwa dan kerangka acuan bagaimana orang
muncul dan berbicara. Thomas, et al (2005) mengatakan salah satu aspek yang sangat
penting dan menarik tentang kekuatan dan kekuasaan media adalah kajian dari sudut
pandang linguistik. Wacana ini dilihat dari bagaimana orang dan peristiwa dilaporkan serta
indikasi dan sudut pandang bagaimana peristiwa itu dilaporkan (Lee, 1992; Montgomery,
1996) dalam Thomas, et al (2005). Genre institusi dan praktek organisasi institusi dalam
media merujuk pada struktur linguisktik menentukan bagimana sebuah peristiwa
direpresentasikan, yang akhirnya berujung pada versi yang berbeda, sudut padang yang
berbeda pada suatu peristiwa yang sama.
Hal ini juga ada kaitannya antara genre dan media, seperti apa yang dikatakan
(Fairlough, 1995) bahwa analisis genre sesuai dan baik untuk menunjukkan hakikat dan
fomula media secara alamiah dan mampu mengubah kita misalnya bagaimana peristitwa
yang beragam di dunia disajikan dengan format yang berbeda dalam media. Bandingkan dua
media di Inggris yang merepresentasikan peristiwa yang sama dengan struktur linguistik yang
berbeda.
17
DAILY MAIL
POISON GANG ON THE LOOSE
Huge hunt for terrorism armed
with deadly ricin
DAILY MIRROW
IT’S HERE
Deadly terror poison found
In Britain.
Kalau kita analisis ke dua surat kabar, kedua media tersebut menyajikan berita yang
sama tetapi dengan struktur lingusitik dan fiture yang berbeda. Pilihan lingustik kedua media
tersebut berbeda. Misalnya jenis kata dan frase, serta font atau layout teks yang digunakan
untuk merepresetasikan orang dan peristiwa, atau peristiwa apa yang mau dilibatkan, atau
juga siapa yang bertanggung jawab atas tulisan tersebut. Di sinlah genre organisasi dan
praktek institusi tersebut diwujudkan. Yang paling utama adalah bagaimana sudut pandang
dan ideologi disusun secara linguistik.
Misalnya Daily Mail menulis dengan huruf kapital dengan pilihan ’ poison gang’, yang
menunjukkan masih banyak gang yang memiliki atau melakukan tindakan terosime.
Sedangkan Daily Mirror menggunakan linguistik fiture ’It’s here’ yang memungkinkan
pembaca bekerja keras untuk memahami kata ’it’ dan ’here’ dalam konteks ini Thomas, et al
(2005).
Ini menunjukkan bahw fakta yang disajikan lewat bahasa berita dan bahasa bukanlah
sesuatu yang bebas nilai (Bonvillain, 2003). Bahasa media menjadi tidak netral dan kadang-
kadang memang tidak sepenuhnya dalam kontrol kesadaran. Sobur (2006) menyebut bias
yang berasal dari bahasa adalah bias yang sesungguhnya amat berbahaya, ibarat musuh
yang menikam dari belakang. Ini menunjukkan bahwa kekuatan linguistik sangat
mempengarhui kehidupan manusia dan media merupakan salah satu instrumen untuk
mewujudkan kekuatan tersebut.
E. SETTING GENRE DAN PRAKTEK ORGANISASI DAN ANALISIS WACANA KRITIS
(AWK)
Pada hakikatnya, analisis wacana genre, ujaran, dan praktek institusi organisasi, tidak
lepas dapat dilepaskan dari kajian analisis wacana kritis-AWK (Critical Discourse Analysis-
18
CDA). Seperti diketahui bahwa AWK bertujuan untuk menggambarkan hubungan antara
bahasa, kekuasaan dan setiap institusi atau organisasi memiliki bahasa yang berbeda-beda.
Mereka berasumsi bahwa wacana sebagai media utama dan anggota organisasi
menciptakan realitas sosial yang koheren yang menjadi acuan mereka dalam berkomunikasi.
Keterikatan AWK dan wacana praktek organisasi institusi ditegaskan oleh Atkinson,
David, dkk (2003). Dia mengatakan bahwa AWK bertujuan untuk mengetahui bagaimana
fungsi konteks organisasi sebagai arena pertarungan mengenai makna dan identitas. AWK
mengeksplorasi ekspresi teks mengenai kekuasaan, konflik, dan resistensi dan
mengubungkan hal ini dengan struktur dan perubahan sosial pada konteks yang lebih luas.
Hal senada juga didukung oleh (Bourdieu, 1990) dalam Atkinson, David, dkk (2003) yang
mengatakan bahwa kekuasaan untuk mengkonstruksi kelompok adalah kekuasaan untuk
penciptaan dunia (world making). Seperti diketahui, bahwa orang berusaha untuk
mengamankan identitas yang mereka inginkan, menentukan realitas sosial yang sesuai
dengan yang mereka butuhkan, atau apa yang sesuai dengan kebutuhannya mungkin tidak
sesuai dengan kebutuhan orang lain (Atkinson, dkk, 2003).
Penggunaan bahasa dalam institusi sosial baik tuturan dan tulisan merupakan bentuk
praktek penggunaan bahasa dalam konteks sosial. Penggunaan bahasa dalam institusi sosial
sangat erat kaitannya dengan analisis wacana kritis. (Fairclough dan Wadok,1997) yang
dikutip Eryanto (2009) menggambarkan bahwa wacana sebagai praktek sosial menyebabkan
sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan
struktur sosial yang membentuknya. Analisis wacana kristis menganalisa bahasa bukan dari
segi linguistik semata, tetapi menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa
itu dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan untuk
menunjukkan identitas siapa mereka. Bahasa bukan hanya sebagai tempat dimana semua ini
terjadi, tetapi bahasa juga digunakan oleh penuturnya sebagai alat yang oleh (Fairclough,
2001) dalam (Atkinson, dkk, 2003) disebut ”stake’ suatu pertarungan untuk mewujdukan
persepsi tentang dunia, diri mereka, dan satu sama lainnya.
Kemudian Fairclough (1999) juga berpendapat bahwa kajian penggunaan bahasa
dalam institusi dan organisasi relevan dengan menggunakan pendekatan analisis wacana
kritis. (Fairclough, 1992b) dalam (Jorgensen dan Phillips, 2002) praktek organisasi insitusi
dapat dikaji dengan model pendekatan tiga dimensi model Faircloguh yang meliputi a) teks-
diproduksi dan dikonsumsi, b) praktek diskursif, dan c) praktek sosial. Model ini relevan dalam
kajian uajaran dalam praktek organisasi institusi, karena dalam institusi selalu ada manifestasi
kuasa dan kekuasaan yang hanya dapat diungkap melalui AWK. Institusi tersebut misalnya
keluarga, sekolah termasuk ruang kelas, tempat kerja, lembaga pemerintah dan lain
sebagainya. Berkaitan dengan genre, institusi, dan AWK, Fairclough lebih lanjut mengatakan
ada tiga level feneoma sosial dalam konteks ini yaitu formasi sosial, institusi sosial, dan
19
tindakan sosial. Ini merupakan penentuan dari atas–bawah dimana institusi sosial ditentukan
oleh formasi sosial, tindakan sosial ditentukan oleh institusi sosial.
Seperti dijelaskan sebelumnya, AWK pada prinsipnya bertujuan untuk mengungkap
praktek diskursif (penyampain wacana) yang mengkonstruksi representasi hubungan sosial,
termasuk hubungan kuasa, dan bagaimana praktek tersebut digunakan untuk kepentingan
kelompok tertentu. Pada analisis AWK, suatu wacana tidak hanya dikaji dari deskripsi yang
tampak atau segi linguistik saja tetapi juga dari konteks yang melingkupinya. Hal ini dapat
dikatakan bahwa AWK pada hakikatnya menganilisis wacana dimensi teks bahasa, praktek
wacana, dan praktek sosiokulural secara simultan sebagai aplikasi dari dialektika. Dalam
AWK keberadaan sebuah teks tidak dapat dipisahkan dari pengaruh konteks sosiokultural dan
institusional yang bersifat determinatif.
Santoso (2003) mengatakan bahwa AWK diterapkan untuk menganalisis teks yang
terkait dengan wacana institusi. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa teks terkait dengan
institusi dan memperlihatkan adanya kuasa dari satu kelompok atas kelompok lainya dalam
kehidupan sehari-hari. (Fairlough, 1995) dalam Ramli (2007) mengatakan analisis wacana
yang terkait dengan insitusi banyak dikaji untuk mengungkap ’cara berbicara’ dan ’cara
melihat’ suatu institusi sosial. Di mana setiap institusi sosial mengahasilkan cara atau modus
bertutur tertentu tentang area kehidupan yang berhubungan dengan tempat dan hakikatnya
masing-masing.
G. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan penjelasan sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat ditarik
sebagai kesimpulan. Pertama, makan sebuah ujaran dapat ditinjau dari teks dan konteks
yang melingkupinya. Kedua, setting genre, ujaran, dan praktek organisasi institusi merupakan
satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling berkaitan dalam analisis wacana dalam
perspektif organisisi, disiplin ilmu, institusi atau praktek organisasi profesional dan tempat
kerja. Ketiga, Hubungan tersebut dapat diwakili oleh empat kata atau frase seperti texs,
genre, professional practices dan professional culture. Keempat, setiap jenis genre, sebagai
penggunaan bahasa dengan konteks sosial memiliki karakteristik yang berbeda-beda seperti
tujuan komunikasi, style, struktur linguistik dan juga audiens. Kelima, kajian setting genre,
ujaran dan praktek organisasi institusi, tidak dapat dilepaskan dari pendekatan analisis
wacana kritis (AWK) karena pendekatan (AWK) memiliki kriteria seperti a) tindakan, b)
konteks, c) historis, d) kekuasaan, dan e) ideologi. Di samping kelima kriteria itu ada pada
genre dan ujaran organisasi insititusi. Dengan kelima karakteristik ini, makna dalam wacana
organisasi dan praktek institusi dapat diungkap.
20
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, David, dkk. 2003. Language and Power in the Modern World. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Badger Richard dan Goodwith, 2000. A Process Genre Approach to Teaching Writing in ELT
Journal No 54/2 April 2000. London: Oxford University Press.
Bhatia, K. Vijay. 2007. Genre Analysis, ESP and Professional Practice dalam English for
Specific Purpose Journal.vol 27. issue.2.London: Elsevier.
Blake.H.Reed dan Haroldsen O.E. 1979. A Taxonomy of Concepts in Communication.
Terjemahan, 2009. Surabaya: Papyrus.
Bonvillain, Nancy. 2003. Language, Culture, and Communication: The Meaning of Message. 4
th ed. New Jersey: Prentice Hall.
Chandler, John. 1997. An Introduction to Genre Theory. London: Britanica Co.
Crossley.S. 2007. A Chronotopic Approach to Genre Analysis: An Explanatory Study in
English for Specific Purposes : An International Journal., Vol 26,Issue 1. 2007.
Effendy, Uchjana O. 2007. Komunikasi Organisasi: Teori dan Prakterk. Bandung: Penerbit
Remaja Rosdakarya.
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT. LKIS
Printing Cemerlang.
Fifzgerald, B dan Young, L. 2006. The Power of Language: How discourse influence society.
London: Equinox Publishing.
Fairclough, Norman. (1995). Media Discourse: VOICE. London: Edward Arnold, Inc.
______ (1999). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman
Hyland, Ken. 2003. Second Language Writing. London: Cambridge University Press
Ibrahim.Y. 2007. Doctor and Patient Questions as a Measure of Doctor-Centered in UAE
Hopital dalam in English for Specific Purposes: An International Journal., Vol 20,
Nomor 4.2001.
Jogersen, Mariane dan Phillips, Louise. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method.
London. Sage Publication.
Jumadi, 2005. Representasi Kekuasan Dalam Wacana Kelas. Jakarta: Pusat Bahasa.
Martin.J. dan Christie, Frances. 2000. Genre and Institutions: Social Process in the Workplace
and School. New York: Cintinuum.
Muhammad, Arni. 2009. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Orlikowski, Wanda dan Yates, Joaan. Genre Repertoire: the structuring of communicative
practice in organization dalam Administrative Science Quartely, Dec, 1994, Bnet
Publishing.
21
Pardiyono, 2007. Pasti Bisa:Teaching Genre Based Writing. Yogyakarta: Penrbit Andi.
Pratista, Himawan. 2007. Memahami Film. Yogyakara: Homerian Pustaka.
Purwanto, dkk. 2007. Teori Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
Ramli, Soraya, Analisis Wacana dalam Ruang Kelas dalam Jurnal Ilmiah Lingua. Vol. 6 No. 2,
Oktober.2007.
Salim, Peter dan Yenni, 2003. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern
English Press.
Sarangi, Srinkant dan Robert,Celia. Eds. 1999. Talk, Work and Institutional Order: Disrcourse
in Medical, Mediation and Management Settings. New York: Mouton de Gruyter.
Santoso, Anang. Bahasa Politik Pasca Order Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sobur, Alex.2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing. Bandung: Penerbit Rosdakarya.
Stoke, Jane. 2003. How to do Media and Cultural Studies diterjemahkan oleh Santri Indah
Astuti (Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya,
2006). Yogyakarta: PT. Benteng Pustaka.
Sudaryat, Yayat. 2009. Makna Dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.
Sumadiria, Haris. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Sumarlan dkk, 20003. Teori dan Praktek Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
Swales, John. 1990. Genre Analysis: English in Academic Research and Setting. Cambridge:
Cambridge University Press.
Thomas, Linda, et al. 2005. Language, Society, and Power. London: Routledge Publishing.Co
Zaimar Sumantri, O. dan Ayu B. Harahap. 2009. Telaah Wacana. Jakarta: The Intercultural
Institute.
22
CUKUPPPPPPPPPPPPPLAH…………….COY
23