SEMINAR BAHASA DAN LOKAKARYA LEMBAGA ADAT...

Post on 02-Mar-2019

236 views 0 download

Transcript of SEMINAR BAHASA DAN LOKAKARYA LEMBAGA ADAT...

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Biar Beta Cuma Skola SD, tapi Bisa jadi Penyelamat Lingkungan

Oleh: Eliza Kissya

Beta lahir taong 1949 di Negeri Haruku, Pulau Haruku. Taong 1955 beta maso skola dasar, lalu lulus taong 1961. Waktu mau ujian lulus skola, beta pung opa, oma, tante deng om, larang beta lanjut skola. Dong kasi alasan, ada warisan yang beta musti biking akang. Sebenarnya beta pung Papa mau beta lanjut skola di Ambon. Waktu itu antua jadi pegawai negeri, tinggal di Ambon. Sedangkan mama su meninggal dunia waktu beta baru umur enam bulan. Karena beta masih kacil, masih bayi, jadi tinggal deng Oma, Tante deng Om. Waktu mau ujian skola dasar itu, Opa, Oma, Tante-tante, Om-om dong seng mau beta lanjut skola. Dong pung alasan, kalau beta ujian, lalu lulus, pasti beta lanjut skola ke luar Haruku. Sedangkan dong harap beta tetap tinggal di kampong voor lanjut warisan jadi kepala kewang. Gara-gara dong larang lanjut skola itu, beta lari ruma. Dari pagi sampe sore beta barmaeng layang-layang deng tamang-tamang. Sampe sore baru pulang, pas Oma pi cari lalu panggel beta pulang, Sampe di rumah, oma bicara kasi pengertian voor beta. Akhirnya beta mau iko Oma, Opa, Tante deng Om dong pung permintaan. Jadi beta tetap ujian sampe lulus skola, tapi setelah lulus beta tetap tinggal di kampong. Seng lanjut skola lai. Pertama-pertama beta biasa saja. Seng terlalu rasa apa-apa. Tapi lama-lama, setiap tamang-tamang yang lanjut skola ke Ambon pulang kampong, dong tatawa beta, beta mulai rasa laeng. Dong biasa bilang beta, masa Papa pegawai negeri di Ambon, tapi beta seng bisa lanjut sekolah ke Ambon. Ini biking beta pikir, biar beta tinggal terus di kampong tapi beta musti mengembangkan beta pung diri. Tetap bertahan di kampong tapi iko perkembangan di kota dari cerita-cerita dan berita di radio. Dengan begitu beta seng ketinggalan informasi. Pas waktu beta umur 19 tahun, oma, om deng tante lalu mulai singgung voor beta supaya mulai pikol tanggung jawab jadi kapala kewang. Bapa raja juga sampaikan begitu voor beta. Cuma waktu itu beta belum mampu, karena beta rasa diri masih terlalu muda. Beta lalu berpikir untuk menikah. Sebab dengan menikah, beta sudah mulai punya tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Pas beta umur 21 tahun, beta lalu menikah. Setelah menikah, beta mulai masuk di semua organisasi yang ada di kampong. Jadi tujuan beta untuk masuk semua organisasi yang ada di negeri itu, supaya belajar bagaimana cara memimpin. Bagiamana bisa menjadi seorang pemimpin yang baik. Beta juga bekerja di gereja sebagai majelis jemaat. Lalu mengasuh anak-anak selama kurang lebih 20 tahun. Pas di tahun 1979, waktu Bapak Berth Ririmase diangkat menjadi raja, di situlah beta diminta menjadi kepala kewang. Waktu itu beta su berumur 30 tahun, dan su biasa deng kerja-kerja kewang. Kewang ini di negeri, bertugas voor ator urusan adat. Juga kasi sanksi adat voor orang yang langgar aturan adat. Katong pung tugas utama, berkaitan dengan sumber daya alam yang ada di negeri. Beta terima

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

tanggung jawab jadi kepala kewang, karena su mulai rasa bisa bekerja jadi kepala kewang. Waktu beta jadi kepala kewang itu, beta pikir ini juga menjadi suatu persoalan yang cukup berat. Karena yang ada, semua anggota kewang itu, atau semua anak buah kewang itu dorang sudah berumur 70-an tahun. Sekitar 70 tahun lebih sampai 60 tahun lebih, itu artinya dong sudah tua sekali. Seng ada lagi yang di bawah itu. Jadi beta saja yang diangkat menjadi kepala kewang, yang berumur 30 tahun. Nah itu merupakan salah satu perbedaan yang cukup jauh. Tantangan yang paling besar untuk beta waktu itu, pada waktu mereka bersalah pun atau mereka salah bicara, beta tidak berani menegur mereka secara langsung. Tapi ada kesempatan di mana mungkin ketika katorang kewang pigi bekerja, lalu dari situ beta mulai kasih ingat atau tegur mereka secara perlahan bertemu muka dua orang, empat mata. Secara umum beta seng berani untuk menegur mereka langsung. Memang dari sisi kedudukan beta sebagai pemimpin atau kepala kewang, tapi dari sisi umur beta masih terlalu muda dibanding semua yang ada. Beta pikir ada cara sendiri untuk tegur anggota kewang yang bikin salah. Ada pendekatan-pendekatan tersendiri. Misalnya itu beta ketemu empat mata lalu kasi tau, kalau tadi yang ale bicara itu akang salah, mustinya begini, sehingga dia menyadari kalau iya betul salah. Kalau nanti di dalam rapat kewang ada yang menyatakan kenapa ada yang salah bapak kepala kewang seng bisa tegur. Beta bilang oke, kalau dari sisi kedudukan beta seorang pemimpin, tapi dari sisi umur beta ini terlalu muda. Bapak-bapak semua sudah orang tua, beta seng enak marah bapak-bapak di depan sidang atau di dalam sebuah pertemuan resmi. Dengan penjelasan begitu dong jadi mengerti. Sebenarnya beta dari masih kecil juga sudah dididik secara adat. Beta pernah biking salah lalu dikasi hukuman, dapa pukul dengan rotan. Itu sanksi yang beta harus dapa. Kejadian itu waktu katorang punya bapak tua masih jadi kepala kewang. Karena beta bikin salah, beta dipanggil lalu dapa hukuman dua kali. Kalau anak-anak lain dapa pukulan deng rotan lima kali, tapi beta dipukul sepuluh kali. Itu artinya beban yang berat beta harus pikul, karena musti tahu aturan adat, tapi justru sudah melanggar aturan adat. Dari situ beta pikir menjadi seorang tokoh adat, termasuk menjadi kepala kewang itu bukan masalah gampang. Lalu beta sendiri berpikir, ya memang karena warisan kepala kewang ini ditinggalkan orang tua, mulai dari leluhur di tahun 1600-an, maka ini satu beban yang cukup besar buat beta. Karena itu beta mulai berusaha jalankan tugas-tugas kewang dengan baik. Secara rutin, setiap hari Jumat katorang mulai bersidang. Yang bersalah dengan aturan adat, katorang panggil. Katorang berusaha didik masyarakat dengan baik. Sampai akhirnya katong bikin kewang kecil, yang berisi anak-anak dan remaja. Sekarang ini waktu mau rekrut kewang besar atau dewasa, katong seng susah, karena anak-anak di kewang kecil dulu itu sudah mulai besar dan bisa masuk di kewang besar. Nah artinya regenerasi itu sudah ada. Kewang-kewang yang sudah tua mereka tidak pernah buat salah. Tapi kalo untuk dong punya anak-anak ada yang bikin salah, tetap dong punya anak-anak dapa hukuman dua kali. Jadi kalo dipukul dengan rotan itu anak-anak orang biasa dapa pukul lima kali, maka anak-anak yang pung orang tua kewang, dapa hukuman pukulan sepuluh kali.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Rekrut anak-anak sebagai kewang itu memang dia butuh pengorbanan cukup besar. Jadi beta waktu itu ajak dorang menanam pohon. Lalu kalo hari lingkungan hidup, beta bikin lomba melukis, lomba menulis opini untuk anak-anak di SMP, dari SMP kelas tiga smapai SMA. Itu sebuah hal yang bagi beta sangat luar biasa, sehingga anak-anak menyadari bahwa lingkungan ini harus katong jaga dari kecil. Jadi ketika katong sudah besar lai itu berarti akang sudah memberikan hasil untuk katong masa depan. Nah itu yang bagi beta sangat senang sekali. Karena anak-anak yang tadinya seng mau iko apa-apa, mulai tertarik untuk iko. Kemudian pada waktu beta membuat penanaman burung maleo, atau burung hutan yang tadinya dia sudah mau punah. Beta berusaha membeli telur di desa tetangga, beta tanam di sekitar rumah kewang. Ternyata dia menetas semua dan keluar dari dalam tanah. Pada waktu menetas itu, anak-anak kewang semua datang. Dong bermaeng di rumah kewang. Dari situ waktu mereka lihat, mereka panggil beta. Dorang tanya, tete-tete itu ada burung keluar dalam tanah. Beta bilang oh, itu yang burung keluar dari dalam pasir itu namanya burung maleo. Kalo di sini katong bilang akang ayam hutam. Lalu dong tanya kalau bagitu burung-burung itu dong pung mama juga ada dalam tanah ka tete? Beta kasih penjelasan, kalau itu telur saja yang ditaruh dalam pasir. Sengaja katong taruh dalam pasir, karena pasir pung panas yang bikin telur itu menetas. Rupanya anak-anak itu tidak dapat pelajaran macam begitu di dorang punya sekolah. Nah di situ bagi beta menjadi sebuah catatan yang paling berharga, karena belajar di alam ini sangat luar biasa. Di mana anak-anak menemukan sesuatu, dia bertanya, lalu menemukan jawaban di situ untuk dia. Itu indahnya orang belajar di alam, itu menjadi sebuah inspirasi untuk beta, sebuah pengalaman untuk beta untuk menggembakan terus jati diri beta. Walapun dengan pendidikan sekolah rakyat yang tidak punya apa-apa. Tapi pada akhirnya pada tahun 1985 beta, teman-teman kewang dan Negeri Haruku diusulkan mendapatkan Kalpataru. Sebelum itu, beta sebenarnya mulai dapat tambahan pengetahuan, waktu teman-teman Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup (MPLH) dari Fakultas Perikanan Universitas Pattimura, datang biking kegiatan di sini. Lalu ada lai teman-teman dari Fakultas Hukum Unpatti. Beta mulai berteman dengan dorang. Malah setiap dong ada kegiatan di Ambon, dong selalu undang beta untuk ikut di kegiatan itu. Mula-mula beta cuma jadi peserta biasa saja. Lama-lama beta mulai diminta jadi pembicara. Lalu bukan saja dari Unpatti tapi dari Universitas Darusalam Ambon juga undang beta. Berikutnya bukan cuma di Maluku, tapi beta mulai jadi peserta lalu jadi pembicara di kegiatan-kegiatan lingkungan yang dibikin di luar Maluku, mulai dari tahun 1996. Misalnya beta diundang ke Mataram, Flores, Makassar, Yogja, Bogor, Jakarta. Beta malah ikut kegiatan bukan cuma di dalam negeri, tapi sampe di luar negeri, misalnya di Madrid (Spanyol), Philipina dan Malaysia. Di Malaysia ini, beta malah tiga kali diundang ke sana sebagai pembicara. Beta bersyukur voor Tete Manis, karena setiap beta diundang, baik sebagai peserta atau sebagai pembicara, akang biking beta pung pengetahuan jadi bertambah. Nah dari situlah beta mulai menulis. Banyak menulis pantun-pantun. Beta mulai ingat-ingat, beta mulai tulis. Mengapa beta harus tinggal di kampong ya? Beta tulis pantun: hutan lebat dipanggil ewang, salah kelola seng ada ampong, karena

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

warisan kapala kewang, beta rela tinggal di kampong. Lalu lama-kalamaan, beta lihat bahwa beta punya pendidikan ini walaupun dengan sekolah rakyat, tapi beta dapat pengalaman sangat luar biasa. Artinya dengan pendidikan rendah, tapi beta juga bisa dapat menggembangkan diri sehingga bisa menjadi contoh untuk orang lain. Lalu beta tulis lagi: kalau takut menjadi mayat, jangan ngebut memotong tikungan, dengan bekal sekolah rakyat beta jadi penyelamat lingkungan. Nah tahun 1985 itu menerima kalpataru sebagai penyelamat lingkungan. Nah ini satu hal yang berharga sehingga tahun 1986 itu katong undang sendiri Pak Menteri Emil Salim datang ke Negeri Haruku untuk lihat sendiri acara adat Buka Sasi Lompa. Dari situ dapat bantuan teman-teman beta mencoba menulis buku tetang Sasi Aman Haru-Ukui, atau Sasi di negeri Haruku. Mulai dari situ sasi atau sistem pengelolaan lingkungan secara adat dan tradisi ini, mulai terkenal di mana-mana. Sejak sasi mulai terkenal di mana-mana, beta mulai lagi menulis pantun. Beta pikir ah ini dunia suda tau semua sasi yang ada di Haruku. Beta mulai mencoret-coret pantun lagi: Kalau diingat-ingat, mau menanam nangka, tanam saja dalam tanah. Beta jua seng pernah sangka sasi terkenal di mana-mana. Ini sebuah inspirasi yang sangat luar biasa. Setelah menyusun sekian banyak pantun yang ada lalu beta membukukan pantun itu, sekarang ini buku kedua yang di cetak lagi yang namanya Kapata Kewang Haruku, sekian banhyak pantun itu, ratusan pantun itu ditambah dengan buku sasi menjadi satu buku lengkap. Nah ini, lalu pada waktu tahum 1999 beta negeri Haruku juga menerima Satya Lencana Pembangunan dari Presiden Soeharto, kalo seng salah. Beta seng tau, karena waktu itu bapak raja yang terima akang, lalu 2010 beta dapa Coastal Marine Award dari kementrian Perikanan dan Kelautan. Waktu mendapat penghargaan dari Mentri Perikanan dan Kelautan waktu itu, satu kebanggan juga untuk beta, Artinya waktu dua penghargaan itu beta seng mau pi terima, karena beta pikir beta mengabdi bukan untuk mau mendapatkan penghargaan untuk mencari popularitas, tapi beta pikir supaya walaupun beta seng sekolah tapi beta berusaha untuk bisa menunjukkan bagi dunia bahwa kalau bicara tentang lingkungan, masyarakat adat punya kualitas. Ada juga penghargaan sebagai tokoh inspiratif dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), waktu itu diusulkan oleh lembaga Mercy Corps. Lalu ada juga di tahun 2014 dapa penghargaan dari KNPI Award Maluku, itu beta diundang ke Kota Masohi untuk hari ulang tahun KNPI Maluku Tengah, sebagai pemerhati Eksistensi Pantai. Kemuian tahun 2014 juga dapa Anugerah Hijau dari lembaga KANAL Ambon. Katanya penghargaan itu sebagai Lifetime Achievment.Beta sendiri jua seng tau itu apa, tapi menurut teman-teman dong bilang itu bahasa Inggris yang akang pung arti Penghargaan Seumur Hidup. Dong bilang beta sekarang yang sudah hampir 70 tahun harus tinggalkan banyak cerita pengalaman untuk generasi muda, untuk teman-teman yang masih muda. Beta sebeneranya memang harus membagi semua pengalaman ini juga dengan banyak tokoh adat. Dolo beta pikir bahwa masyarakat adat hanya katorang saja yang ada di Maluku. Tapi ternyata ada di seluruh dunia. Akhrinya beta pernah ikut pertemuan yang Aliansi Masyarakat Aadat Nusantara (AMAN) bikin,

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

pesertanya masyarakat adat yang datang dari seluruh daerah di Indonesia, sampe dari luar negeri juga ada. Sebagai keluarga yang wariskan jabatan kepala kewang, sebenarnya beta punya anak laki-laki ada tiga orang. Dari tiga anak laki-laki ini, nanti biar seleksi alam yang tentukan dong. Sebab figur seorang pemimpin itu, dia harus jaga sikap dan jaga wibawa. Sebab jadi tokoh adat, dia harus beradab. Jika dia tokoh adat, lalu melakukan kesalahan besar, pasti dia pung kewibawaan di dalam masyarakat sudah tidak ada lagi. Beda dengan pemimpin sebuah organisasi moderen, yang kalau bikin salah, bisa diganti deng pemimpin yang laeng. Seng semua pemimpin punya kharisma yang sama. Seng semua orang juga bisa jadi pemimpin. Seng semua anggota kewang bisa jadi kepala kewang. Seorang pemimpin yang punya kharisma, biar dia miskin, tapi karena dia pung kharisma, maka dia bisa berhasil. Banyak suka duka yang beta rasakan, jadi kepala kewang selama 36 taong ini. Semua itu karena warisan orang tua. Kalau bukan karena warisan orang tua, mungkin beta seng mau jadi kepala kewang. Selama jadi kewang, beta rasa seng gampang untuk jaga kelestarian alam yang jadi beta dan teman-teman anggota kewang pung tugas. Katong musti berhadapan dengan orang yang suka bom ikan, yang dong pung perbuatan terumbu karang tampa ikan hidop. Seringkali kewang juga berhadapan dengan aparat, orang yang punya uang, termasuk perusahaan tambang. Bahkan undang-undang yang negara biking juga, sering seng sesuai dengan aturan-aturan adat yang su ada di dalam katong pung hidup dari katong pung nene moyang ratusan taong lalu. Skarang ini orang mulai banya bicara soal pembangunan berkelanjutan, tapi jao sebelum itu, ratusan taong lalu, katong pung nene moyang su biking sistem pengelolaan tradisional yang katong bilang akang dengn nama sasi. Sistim sasi itu sampai hari ini masih jalan di Negeri Haruku.(*)

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Biar Saya Cuma Lulusan SD, tapi Bisa jadi Penyelamat Lingkungan

Oleh: Eliza Kissya

Saya lahir tahun 1949 di Negeri Haruku, Pulau Haruku, Maluku. Tahun 1955 saya masuk Sekolah Dasar di Negeri Haruku, lalu lulus tahun 1961. Sewaktu mau menempuh ujian kelulusan SD, keluarga saya di kampung (opa, oma, tante dan om), melarang bsaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan berikutnya. Alasannya, ada warisan yang musti saya jalankan. Sebenarnya ayah saya, ingin saya melanjutkan sekolah di Ambon. Waktu itu ayah jadi pegawai negeri, dan tinggal di Kota Ambon. Sedangkan ibu sudah meninggal dunia, ketika saya baru berumur enam bulan. Ketika itu, karena saya masih kacil, masih bayi, jadi tinggal dengan Oma, Tante dan Om di kampung. Alasan utama keluarga saya di kampung melarang saya lanjut sekolah, karena berpikir bahwa begitu lanjut sekolah, saya pasti akan meninggalkan Negeri Haruku. Padahal mereka berharap saya tetap tinggal di kampung, untuk melanjutkan tradisi dan warisan di keluarga kami, Kissya, menjadi Kepala Kewang (kepala pemangku adat). Karena larangan melanjutkan sekolah itu, saya sempat lari dari rumah. Sejak pagi hingga sore hari, saya ikut teman-teman bermain layang-layang. Sampai sore hari menjelang malam, baru saya pulang. Itu pun karena Oma mencari saya, dan menajak saya pulang. Setibanya di rumah, Oma berbicara memberi saya pengertian. Akhirnya saya mau ikut apa kata Oma, Opa, Tante dan Om. Jadi saya tetap ujian sampe lulus SD, tapi setelah lulus saya tetap tinggal di kampung. Tidak melanjutkan pendidikan lagi. Pertama-pertama saya biasa saja. Tapi lama kelamaan, setiap teman-teman yang lanjut sekolah ke kota Ambon libur dan pulang kampung, mereka menertawakan saya. Mereka bilang, masa Papa pegawai negeri di Ambon, tapi saya tidak bisa melanjutkan sekolah ke Kota Ambon. Dari situ saya mulai merasa terganggu. Saya lantas berpikir, biar tinggal terus di kampung tapi saya musti mengembangkan diri. Tetap bertahan di kampung tapi mengikuti perkembangan di kota dari cerita-cerita dan berita di radio. Dengan begitu saya tidak akan ketinggalan informasi. Begitu umur saya 19 tahun, oma, om dan tante lalu mulai menyunggung lagi soal tanggung jawab untuk menjadi Kepala Kewang. Bapa Raja saat itu juga menyampaikan hal yang sama kepada saya. Cuma waktu itu saya merasa belum mampu, karena merasa diri masih terlalu muda. Saya lalu berpikir untuk menikah. Sebab saya berpikir, dengan menikah, berarti saya sudah mulai punya tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Mulai belajar memimpin. Itu sebabnya, tepat umur saya 21 tahun, saya menikah. Setelah menikah, saya mulai masuk di semua organisasi yang ada di kampung. Tujuan saya masuk semua organisasi yang ada di kampung itu, supaya belajar bagaimana cara memimpin. Bagaimana bisa menjadi seorang pemimpin yang baik. Saya juga bekerja di gereja sebagai majelis jemaat. Lalu mengasuh anak-anak selama kurang lebih 20 tahun.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Tepat di tahun 1979, ketika Bapak Berth Ririmase diangkat menjadi raja, di situlah saya diminta menjadi Kepala Kewang. Waktu itu saya sudah berumur 30 tahun, dan sudah terbiasa dengan kerja-kerja Kewang. Kewang ini adalah pemangku adat, yang bertugas mengatur persoalan ada di Negeri. Kewang juga lah yang memberi sanksi adat untuk warga yang melanggar aturan adat. Salah satu tugas Korps Kewang juga berkaitan dengan sumber daya alam yang ada di negeri. Mengatur saat panen sumber daya alam yang ada, supaya kelestariannya terjaga. Saat itu saya menerima tanggung jawab jadi Kepala kewang, karena sudah mulai merasa bisa menjabat Kepala Kewang. Waktu awal saya menjadi Kepala Kewang itu, saya sempat berpikir ini menjadi suatu persoalan yang cukup berat. Karena anggota Kewang yang ada, sudah berumur 70-an tahun. Yang termuda diantara mereka itu berumur 60 tahun-an, itu artinya mereka sudah tua sekali. Tidak ada lagi yang di bawah itu. Jadi saya saja yang diangkat menjadi Kepala Kewang, yang berumur 30 tahun. Nah bagi saya ini merupakan salah satu perbedaan yang cukup jauh. Tantangan yang paling besar untuk saya waktu itu, yaitu bagaimana menegur mereka secara langsung, jika mereka salah berbicara. Sebab saya tentu tidak berani menegur mereka secara langsung dalam pertemuan. Tapi ada kesempatan di mana mungkin ketika kami Kewang pergi bekerja, lalu dari situ saya mulai mengingatkan atau menegur secara baik-baik anggota Kewang yang salah bicara. Tentu itu saya lakukan hanya secara empat mata. Memang dilihat dari sisi kedudukan saya sebagai pemimpin atau Kepala Kewang, tapi dari sisi umur saya masih terlalu muda dibanding semua yang ada. Karena itu saya berpikir ada cara sendiri untuk menegur anggota Kewang yang bikin salah. Ada pendekatan-pendekatan tersendiri. Misalnya itu tadi, saya bertemu empat mata lalu memberi tahu, kalau tadi yang dia sampaikan itu salah, mustinya begini. Dengan begitu anggota kewang tersebut menyadari kalau tadi dia salah. Kalau nanti di dalam rapat Kewang ada yang menyatakan kenapa ada yang salah bapak Kepala Kewang tidak bisa menegur. Saya bilang oke, kalau dari sisi kedudukan saya seorang pemimpin. Tapi dari sisi umur saya ini terlalu muda. Bapak-bapak semua sudah orang tua, saya tidak enak marah bapak-bapak di depan sidang atau di dalam sebuah pertemuan resmi. Dengan penjelasan begitu mereka jadi mengerti. Sebenarnya saya dari kecil sudah dididik secara adat. Saya pernah berbuat salah lalu diberi hukuman, pukulan rotan. Itu sanksi yang saya harus dapat. Kejadian itu waktu paman saya yang menjadi Kepala Kewang. Karena saya bikin salah, saya dipanggil lalu diberi hukuman dua kali lipat. Jika anak-anak lain dapat pukulan rotan lima kali, saya karena turunan Kewang, maka berbuat salah dapat pukulan rotan sepuluh kali. Itu artinya beban yang berat harus saya pikul, sebab mestinya tahu aturan adat, tapi justru melanggar. Dari situ saya pikir menjadi seorang tokoh adat, termasuk menjadi kepala Kewang itu bukan masalah gampang. Lalu saya sendiri berpikir, ya memang karena warisan Kepala Kewang ini ditinggalkan orang tua, mulai dari leluhur di tahun 1600-an, maka ini satu beban yang cukup besar buat saya. Jadinya saya berusaha menjalankan tugas-tugas Kewang dengan baik. Secara rutin, setiap hari Jumat Kewang bersidang. Yang bersalah dengan aturan adat, kami panggil. Kami

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

berusaha mendidik masyarakat dengan baik. Sampai akhirnya kami membuat kewang kecil, yang berisi anak-anak dan remaja. Sekarang ini jika akan merekrut kewang besar atau dewasa, kami tidak susah, karena anak-anak di kewang kecil dulu itu sudah mulai besar dan bisa masuk di Kewang besar. Nah artinya regenerasi itu sudah ada. Meski begitu, merekrut anak-anak sebagai Kewang itu memang dibutuhkan pengorbanan cukup besar. Jadi saya waktu itu mengajak mereka menanam pohon. Lalu kalau hari lingkungan hidup, saya bikin lomba melukis, lomba menulis opini untuk anak-anak di SMP. Dari SMP kelas tiga hingga SMA. Itu sebuah hal yang bagi saya sangat luar biasa. Anak-anak akhirnya menyadari bahwa lingkungan ini harus kita jaga dari kecil. Jadi ketika kita besar nanti, lingkungan itu, terutama sumber daya alamnya, sudah memberikan hasil untuk masa depan kita. Nah itu yang bagi saya sangat senang sekali. Sebab anak-anak yang tadinya tidak mau ikut apa-apa, mulai tertarik untuk ikut. Kemudian pada waktu saya membuat penanaman telur burung Maleo, atau burung hutan, yang kondisinya sudah mau punah. Saya berusaha membeli telur di desa tetangga, lalu menanam telurnya di sekitar rumah Kewang. Ternyata dia menetas semua dan keluar dari dalam pasir. Pada waktu menetas itu, anak-anak Kewang kecil semuanya sedang bermain di rumah kewang. Begitu mereka lihat anak burung Maleo keluar dari dalam pasir, mereka panggil saya. Mereka tanya, “Opa-opa itu ada burung keluar dalam tanah.” Saya katakan, “oh itu yang burung keluar dari dalam pasir itu namanya burung Maleo. Kalau di sini kita menyebutnya ayam hutan. Lalu mereka tanya, kalau begitu ibu dari burung-burung itu juga ada di dalam tanah ya Opa? Saya berikan penjelasan, kalau itu telur saja yang ditaruh dalam pasir. Sengaja kita tanam dalam pasir, karena suhu panasnya pasir yang bikin telur itu menetas. Rupanya anak-anak itu tidak mandapatkan pelajaran seperti itu di sekolah. Nah di situ bagi saya menjadi sebuah catatan yang paling berharga. Sebab belajar di alam ini sangat luar biasa. Di mana anak-anak menemukan sesuatu, dia bertanya, lalu menemukan jawaban di situ untuk dia. Itu indahnya orang belajar di alam, itu menjadi sebuah inspirasi untuk saya. Sebuah pengalaman untuk saya menggembakan terus jati diri. Walau pun hanya pendidikan sekolah rakyat yang tidak punya apa-apa, tapi akhirnya di tahun 1985, saya dan teman-teman kewang serta Negeri Haruku diusulkan mendapatkan Kalpataru. Sebelum itu, saya sebenarnya mulai dapat tambahan pengetahuan, waktu teman-teman Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup (MPLH) dari Fakultas Perikanan Universitas Pattimura (Unpatti), datang membuata kegiatan di Negeri Haruku. Lalu ada juga teman-teman dari Fakultas Hukum Unpatti. Saya mulai berteman dengan mereka. Malah setiap mereka ada kegiatan di Ambon, mereka selalu mengundang saya untuk ikut di kegiatan mereka. Mula-mula saya cuma jadi peserta biasa saja. Lama-lama mulai diminta jadi pembicara. Lalu bukan saja dari Unpatti tapi dari Universitas Darusalam Ambon juga mengundang saya. Berikutnya bukan cuma di Maluku, tapi saya mulai jadi peserta lalu jadi pembicara di kegiatan-kegiatan lingkungan yang dibikin di luar Maluku, mulai dari tahun 1996. Misalnya saya pernah diundang ke Mataram, Flores, Makassar, Yogja, Bogor, Jakarta. Saya malah ikut kegiatan bukan cuma di dalam negeri, tapi sampai di luar negeri, misalnya di Madrid (Spanyol), Philipina

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

dan Malaysia. Di Malaysia ini, saya bahkan sampai tiga kali diundang ke sana sebagai pembicara. Saya bersyukur kepada Tuhan, karena setiap diundang, baik sebagai peserta atau sebagai pembicara, membuat pengetahuan saya jadi bertambah. Nah dari situlah saya mulai menulis. Banyak menulis pantun-pantun. Saya mulai mengiingat-ingat, kemudian saya tuliskan. Saya berpikir, mengapa saya harus tinggal di kampung ya? Saya tulis pantun: hutan lebat dipanggil ewang, salah kelola seng ada ampong, karena warisan kapala kewang, beta rela tinggal di kampong. Lalu lama-kalamaan, saya lihat bahwa saya punya pendidikan ini walau pun dengan sekolah rakyat, tapi mendapatkan pengalaman yang sangat luar biasa. Artinya dengan pendidikan rendah, tapi saya juga bisa dapat menggembangkan diri sehingga bisa menjadi contoh untuk orang lain. Lalu saya tulis lagi: kalau takut menjadi mayat, jangan ngebut memotong tikungan, dengan bekal sekolah rakyat beta jadi penyelamat lingkungan. Nah tahun 1985 itu menerima Kalpataru sebagai penyelamat lingkungan. Nah ini satu hal yang berharga sehingga tahun 1986 itu kami undang sendiri Pak Menteri Emil Salim datang ke Negeri Haruku untuk lihat sendiri acara adat Buka Sasi Lompa. Dari situ dapat bantuan teman-teman, saya mencoba menulis buku tetang Sasi Aman Haru-Ukui, atau Sasi di negeri Haruku. Mulai dari situ Sasi atau sistem pengelolaan lingkungan secara adat dan tradisi ini, mulai terkenal di mana-mana. Sejak sasi mulai terkenal di mana-mana, saya mulai lagi menulis pantun. Saya pikir ah ini dunia sudah tahu semua, sasi yang ada di Haruku. Saya mulai mencoret-coret pantun lagi: Kalau diingat-ingat, mau menanam nangka, tanam saja dalam tanah. Beta jua seng pernah sangka sasi terkenal di mana-mana. Ini sebuah inspirasi yang sangat luar biasa. Setelah menyusun sekian banyak pantun yang ada lalu saya membukukan pantun itu, sekarang ini buku kedua yang di cetak lagi yang namanya Kapata Kewang Haruku, sekian banhyak pantun itu, ratusan pantun itu ditambah dengan buku sasi menjadi satu buku lengkap. Nah ini, lalu pada waktu tahum 1999 beta negeri haruku juga menerima Satya Lencana Pembangunan dari Presiden Soeharto, kalo seng salah. Beta seng tau, karena waktu itu bapak raja yang terima akang, lalu 2010 beta dapa Coastal Marine Award dari kementrian Perikanan dan Kelautan. Waktu mendapat penghargaan dari Mentri Perikanan dan Kelautan waktu itu, satu kebanggan juga untuk saya. Artinya waktu dua penghargaan itu saya tidak ikut pergi menerimanya, karena saya pikir, saya mengabdi bukan untuk mau mendapatkan penghargaan atau untuk mencari popularitas. Saya pikir supaya walau pun saya tidak sekolah tapi saya berusaha untuk bisa menunjukkan bagi dunia, bahwa kalau bicara tentang lingkungan, masyarakat adat punya kualitas. Ada juga penghargaan sebagai tokoh inspiratif dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), waktu itu diusulkan oleh lembaga Mercy Corps. Lalu ada juga di tahun 2014 dapat penghargaan dari KNPI Award Maluku, itu saya diundang ke Kota Masohi untuk hari ulang tahun KNPI Maluku Tengah, sebagai pemerhati Eksistensi Pantai. Kemudian tahun 2014 juga dapat Anugerah Hijau dari lembaga KANAL Ambon. Katanya penghargaan itu sebagai Lifetime

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Achievment. Saya sendiri juga tidak tahu itu apa, tapi menurut teman-teman, mereka bilang itu bahasa Inggris yang artinya Penghargaan Seumur Hidup. Mereka bilang saya sekarang sudah berumur 70 tahun, harus tinggalkan banyak cerita pengalaman untuk generasi muda, untuk teman-teman yang masih muda. Saya sebenaranya memang harus membagi semua pengalaman ini dengan anak-anak muda, dan juga dengan banyak tokoh adat. Dulu saya pikir bahwa masyarakat adat hanya kami saja yang ada di Maluku. Tapi ternyata ada di seluruh dunia. Akhrinya saya pernah ikut pertemuan yang dibikin Aliansi Masyarakat Aadat Nusantara (AMAN). Pesertanya masyarakat adat yang datang dari seluruh daerah di Indonesia, sampai dari luar negeri juga ada. Sebagai keluarga yang wariskan jabatan kepala Kewang, sebenarnya saya memiliki tiga anak laki-laki. Dari tiga anak laki-laki ini, nanti biar seleksi alam yang tentukan siapa yang bisa melanjutkan jabatan Kepala Kewang. Sebab figur seorang pemimpin itu, dia harus jaga sikap dan jaga wibawa. Sebab jadi tokoh adat, dia harus beradab. Jika dia tokoh adat, lalu melakukan kesalahan besar, pasti kewibawaan di dalam masyarakat sudah tidak ada lagi. Beda dengan pemimpin sebuah organisasi moderen, yang kalau bikin salah, bisa diganti deng pemimpin yang lain. Tidak semua pemimpin punya kharisma yang sama. Tidak semua orang juga bisa jadi pemimpin. Tidak semua anggota kewang bisa jadi kepala kewang. Seorang pemimpin yang punya kharisma, biar dia miskin, tapi karena dia pung kharisma, maka dia bisa berhasil. Banyak suka duka yang saya rasakan, jadi kepala kewang selama 36 tahun ini. Semua itu karena warisan orang tua. Kalau bukan karena warisan orang tua, mungkin saya tidak mau jadi kepala kewang. Selama jadi kewang, saya rasa tidak gampang untuk menjaga kelestarian alam yang jadi tugas saya dan teman-teman anggota kewang. Kami musti berhadapan dengan orang yang suka bom ikan, yang merusak terumbu karang tempat habitat ikan hidup. Seringkali kewang juga berhadapan dengan aparat, orang yang punya uang, termasuk perusahaan tambang. Bahkan undang-undang yang negara bikin juga, sering tidak sesuai dengan aturan-aturan adat yang sudah ada di dalam kehidupan sejak nenek moyang kami ratusan tahun lalu. Sekarang ini orang mulai banyak bicara soal pembangunan berkelanjutan, tapi jauh sebelum itu, ratusan tahun lalu, nene moyang kami sudah membuat sistem pengelolaan tradisional yang kami sebut dengan nama sasi itu. Sistim sasi itu sampai hari ini masih jalan di Negeri Haruku.(*)

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

MERAWAT BAHASA SEBAGAI IDENTITAS BUDAYA BANGSA

(Tafsir Identitas ditengah Dominasi Kuasa & Universalitas (multibahasa) Oleh

Rinto Taib, S.Sos., M.Si. (Dewan Pakar Kesultanan Ternate)

A. Prolog Sebuah pertanyaan penting yang ingin kami ajukan pada awal tulisan ini sesungguhnya adalah apakah kecenderungan meluasan ruang gerak para pengguna bahasa tersebut pada saat yang bersamaan diikuti pula oleh suatu kecenderungan yang sama kuatnya untuk menyempitkan loyalitas pada suatu identitas yang terbatas? Dalam buku Geliat Bahasa Selaras Zaman, Manneke Budiman dan Tim Hassal menunjukkan bagaimana bahasa Indonesia memamerkan "kuasa" globalisasi dengan menyerap berbagai ekspresi dan kosalata bahasa mancanegara, terutama bahasa Inggris. Meskipun pada kasus yang dibahas oleh Manneke, loyalitas jatuh pada "ummah", yakni konsep persatuan pada keimanan Islam. Disini tafsir "kuasa" dibatasi pada universalisme yang berdasarkan pada kesamaan agama. Bagaimana pula dengan "kuasa" zaman yang terkategorisasi lewat era atau periodesasi dari generasi tertentu yang terikat pula oleh ruang dan waktu? sebut aja misalnya generasi gaul yang menguasai zaman 2000-an dengan menampilkan komunitas gaul generasi "jomblo" yang berbeda dengan generasi "lupus" pada era 1980-an, apalagi generasi 1970-an. Kesemuannya merupakan sebuah keniscayaan zaman yang tak bisa dilawan, lihat saja beberapa kosakata yang seolah memapankan serta mematangkan dominasi "kuasa" serapan bahasa asing dalam obrolan masyarakat kita selama ini misalkan pilihan untuk memakai kata inovasi alih-alih penemuan, imitasi sebagai ganti tiruan adalah sesungguhnya sebuah gengsi semata tetapi sesuatu kebutuhan yang muncul ketika meluasnya pengetahuan dan perkembangan modernitas yang seolah tak mampuh memenuhi kebutuhan akan kosakata ang tersedia. Pada segi yang lain, hal tersebut dianggap oleh para intelektual bangsa kita sebagai kemajuan dari kebutuhan akan variasi dari suatu gaya bahasa, atau sebagai suatu bentuk pengayaan. Pada segi yang lain pula, era otonomi daerah yang ditandai dengan reformasi seolah memberikan peluang bagi bahasa daerah untuk "bergeliat" ditengah arus kebebasan setelah palang kuasa Orde Baru mulai dilepas. B. Ancaman Kepunahan Bahasa Kecenderungan ini jelas akan memposisikan bahasa daerah atau bahasa Inonesia berada dititik penuh dilema. Pada sebuah titik, penggunaan bahasa daerah akan melemahkan keberadaan bahasa Indonesia dan ditik lainnya, tuntutan perkembangan zaman memaksakan penggunaan bahasa asing bagi masyarakat Indonesia. Dengan realitas seperti ini maka dominasi kuasa akan menjadi penentu utama bagaimana keberadaan sebuah bahasa bisa diperkuat karena luasnya sebaran para penutur serta kebijakan ubtuk "merawat" atau sebaliknya diperlemah

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

karena mulai ditinggalkan oleh para penuturnya dan cenderung menjadi "sekarat" dengan berbagai alasan. Contoh kasus di Maluku Utara misalnya, bahasa Ibo disebut sebagai bahasa yang sekarat. Hal ini dibahas dalam Seminar Sehari 21 Juni 2011 lalu dengan Tema “Bahasa dan Etnik di Halbar yang Terancam Punah dan Upaya Pemerintahanannya”. Seminar yang dilaksanakan di Kampus Unkhair itu dihadiri rektor, akademisi peneliti, pemda, guru dan pemerhati bahasa mengangkat persoalan bahasa di Malut yang kebanyakan dalam kondisi terancam punah, bahkan segera punah seperti bahasa Ibo. Atas isu terancam punahnya bahasa Ibo tersebut, salah satu kantor yang berkaitan dengan kebahasaan mencoba melakukan tindakan penyelamatan dengan berencana membuat kamus bahasa Ibo. Yang menjadi pertanyaan saat ini, apakah tindakan itu perlu dan bermanfaat? Pada segi yang lain, upaya pelestarian bahasa daerah juga tanpa disadari turut mengikis kesadaran melestarikan bahasa Indonesia jika yang dilakukan lebih didasarkan pada semangat etnosentrisme atau etnonasionalisme untuk melawan bahasa Indonesia. Suka atau tidak suka, resistensi terhadap bahasa Indonesia saat ini semaakin menguat dalam wacana publik, misalnya dalam cerpen sastrawan Riau, dan dalam berbagai inisiatif sastrawan daerah untuk menolak dominasi "kuasa" dan "hegemoni" Jakarta atau pulau Jawa (misalnya dalam sastra etnik atau sastra kepulauan), dan ditengah resistensi tersebut, sastra Indonesia (Jakarta sentris) tengah berada dalam pergulatan sengit melawan bahasa gaul anak muda Jakarta yang menyebar tak terbendung melalui film dan televisi hingga ke pelosok negeri dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat modern. Kecenderugan berpihak pada modernitas ini pula yang dialami oleh para penutur bahasa-bahasa daerah yang terancam punah di Maluku Utara, dan para penutur bahasa Ibo di Kecamatan Ibu Kabupaten Halmahera Barat adalah salah satunya. Makalah ini sesungguhnya ingin mempresentasikan nasib bahasa daerah di Provinsi Maluku Utara dan ancaman modernitas (globalisasi) serta strategi untuk merawatnya. C. Pemetaan (Sebaran & Pola Penggunaan) Multibahasa di Maluku Utara Di penghujung tahun 1900-an dan diawal tahun 2000, paling sedikit telah tercatat tiga disertasi tentang beberapa bahasa di Maluku Utara dengan tiga kategoti penelitian, yaitu perbandingan bahasa, studi etnolinguistik, dan studi lengkap mengenai gramatika. Studi perbandingan bahasa misalnya, seperti yang dilakukan oleh Hendrik van der Veen (1915) dalam disertasinya tentang perbandingan bahasa-bahasa non-Austronesia Halmahera Utara. Analisis ini didasarka pada perbandingan antara bahasa-bahasa Austronesia dan bahasa-bahasa Papua, berkaitan dengan morfologi. Tentang studi etnolinguistik, E.K.M Masinambouw (1976) membuat sebuah analisis pendahuluan mengenai konvergensi etnolinguistik di Halmahera Tengah. Disertasi ini ditulis berdasarkan penelitian etnolinguistik yang dilakukan pada tahun 1967 dan 1989, yang berfokus pada multilingualisme dan hubungan antara penutur bahasa Sawai dan Tobelo di Halmahera Tengah. Disertasi-disertasi yang secara lengkap memuat gramatika beberapa bahasa di Maluku Utara, dapat disebut secara berturut-turut. Pertama, Miran van Staden

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

(2001) menulis disertasi tentang bahasa Tidore berjudul Tidore: A Linguistics Description of A Language of The North Moluccas. Kedua, disertasi John Bowden (2001) tentang bahasa Taba dengan judul: The Description of South Halmahera Language. Ketiga, disertasi Rika Hayami-Alen (2001) tentang bahasa Ternate dengan judul: A Discription Studdy of the Language of Ternate, The Northen Moluccas, Indonesia. Tiga disertasi ini merupakan deskripsi lengkap mengenai fonologi, morfologi, sintaksis, termasuk pula mengenai sistem orientasi dalam masing-masing bahasa yang diteliti. Jadi kalau dirangkum, penelitian-penelitian mengenai bahasa-bahasa di Maluku Utara tinggal kini baru bersifat mencatat atau mendata masing-masing bahasa, dari tataran fonologi, morfologi, hingga sintaksis dan beberapa diantaranya pada abad ke-19 mengenai kamus sederhana dan transliterasi untuk berbagai kepentingan linguistik maupun di luar linguistik. Baru pada tahun 1970-an. E.K.M Masinambouw menulis disertasi mengenai pola-pola penggunaan bahasa-bahasa di Teluk Kao dari sudut pandang etnolinguistik. Lalu pada tahun 1980-an Summer Institute of Linguistics, sebuah lembaga kebahasaan (minoritas) di dunia, termasuk di Maluku Utara, mulai melakukan penelitian terhadap sejumlah bahasa (minoritas) di Maluku Utara. Hasil dari penelitian itu, kemudian pada tahun 1990-an, diterbitkanlah sebuah peta bahasa Maluku Utara yang disebut Atlas Bahasa Tanah Maluku, bekerjasama dengan Universitas Pattimura. Dalam atlas tersebut, termuat jumlah bahasa, perkiraan jumlah penutur, dan wilayah pakai bahasa-bahasa di Maluku Utara. Sebenarnya Ishige, seorang ahli bahasa berkebangsaan Jepang sebenarnya telah membuat suatu peta bahasa Maluku Utara. Sebagai kawasan multibahasa, dengan penggunaan bahasa Melayu Ternate sebagai lingua-franca yang kini semakin mendesak bahasa-bahasa etnik di Maluku Utara, pemetaan secara dialektologi tidak cukup untuk menemukan masalah-masalah "hubungan" lintas bahasa di Maluku Utara berdasar dialektologi yang dapat menentukan status isolek untuk menetapkan kekerabatan baru hanya menetapkan sebaran dan kekerabatan bahasa-bahasa di Maluku Utara. Belum lagi pemetaan bahasa semacam ini menimbulkan ragam pendapat mengenai jumlah, sebaran, dan kekerabatan bahasa, oleh karena beragam pendekatan dan metode. Padahal, masalah kebahasaan yang penting dalam suatu kawasan masyarakat multilingual kini adalah bagaimana bahasa-bahasa itu tetap hidup berdampingan bagaimana bahasa-bahasa ini saling mempengaruhi, tumbuh dan saling menekan bahkan saling menggeser peran adalah masalah faktual yang terus terjadi. Relasi-relasi ini pada titik tertentu dapat memberi efek pada dua hal penting; Pertama, bahasa-bahasa saling memperkaya, dan kedua, saling menekan, saling menggeser. Efek pertama adalah fakta mengenai saling memperkaya, tetapi efek kedua berujung pada "pemunahan" atas bahasa yang digeser oleh bahasa-bahasa yang dominan. Oleh karena itu, penelitian pemetaan bahasa dalam suatu kawasan multibahasa seperti Maluku Utara, kini sesungguhnya tidak lagi mengulang-ulang pemetaan yang pernah dilakukan, tetapi yang harus dilakukan adalah pemetaan mengenai pola-pola hubungan antar bahasa dan pola-pola penggunaan masing-masing bahasa dalam berbagai ranah pemekaiannnya. Temuan atas pemetaan semacam ini

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

tidak saja memberikan informasi mengenai jumlah bahasa dan sebaran pemakaian dalam suatu kawasan masyarakat multilingual, tetapi juga adalah status daya hidup (language vitality), pola-pola pergeseran penggunaan bahasa ibu, hingga perspektif mengenai kepunahan bahasa. Sifat kontak dan hubungan antar bahasa dalam suatu kawasan masyarakat multilingual memperlihatkan dua hal: Pertama, secara diakronik mencerminkan kekerabatan terutama terkait dengan sejarah asal usul bahasa dari suatu moyang bahasa (proto-language) yang sama. Bahasa-bahasa itu berkembang terus berkembang menjadi suatu varian dari moyangnya, bahkan dapat menjadi suatu bahasa baru. Kedua, bagi bahasa-bahasa yang tidak semoyang atau tidak sekerabat, tetapi secara geografis persebarannya berdampingan atau bertumpangan akan mencerminkan persinggungan yang berupa peminjaman kosa kata dan bisa jadi pergeseran penggunaannya. Hal kedua inilah yang menjadi masalah mutakhir terkait dengan sebaran jumlah penutur dan cakupan atau luasan pemakaiannya dalam setiap domain pertuturan. D. Pola-pola Penggunaan bahasa dalam Masyarakat Multilingual Ada beberapa ciri utama masyarakat multilingual. Dari sudut penutur, dikenal ada masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih, baik secara tidak seimbang maupun secara seimbang. Masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih secara tidak seimbang adalah mampu dan biasa menggunakan satu bahasa pertama secara cakap, sedangkan mampu dan biasa menggunakan bahasa kedua atau ketiga tidak secakap menggunakan bahasa pertama. Sementara itu, masyarakat menggunakan bahasa dua bahasa atau lebih secara seimbang, adalah masyarakat yang mampu dan biasa menggunakan bahasa-bahasa yang dikuasainya itu sama baiknya dan sama cakapnya. Dari sudut hubungan antarbahasa, saling-pinjam dan saling pengaruh terjadi antarbahasa, baik yang berkerabat maupun yang tidak berkerabat. Saling-pinjam akan memperkaya bahasa masing-masing, tetapi saling-pengaruh akan memerlukan dua hal pada masing-masing bahasa: Pertama, luas-sempitnya cakupan pemakaian bahasa oleh penutur dalam berbagai ranah penuturan. Kedua, berkurang-bertambahkannya jumlah penutur setiap bahasa yang saling-pengaruh. Bahasa-bahasa yang mendapat pengaruh kuat dari suatu bahasa lain, yang dominan cakupan dan luasan penggunaannya. Sebaliknya, bahasa-bahasa yang memberi pengaruh akan semakin menjadi luasan persebaran pemakaiannya dan lebih luas pula ranah penggunaannya, seperti digunakan di rumah, anak-anak dalam bermain, remaja dalam bergaul, digunakan dalam acara resmi dan adat serta percakapan suami-isteri / para orang tua dalam berbagai kesempatan. Bila saling-tekan ini berlangsung terus-menerus, terutama tekanan bahasa-bahasa "dominan" terhadap bahasa-bahasa minoritas, lambat-laun mengurangi jumlah penutur dan cakupan ranah pemakaian bahasa yang "terdominasi". Bahasa-bahasa ang tertekan akan bergerak ke arah kepunahan. Pergerakan ke arah kepunahan akan lebih cepat lagi bila para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa Ibu kepada para anaknya dan generasi mudanya tidak mau lagi menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Jika pola-pola penggunaan bahasa dalam masyarakat multilingual semakin luas sebaran penutur dan ranah penggunaan sebuah bahasa, maka semakin kuat pula daya hidup bahasa itu. Sebaliknya, semakin sempit sebaran penutur dan semakin kurang cakupan ranah penggunaannya, maka semakin lemah daya hidup bahasa itu, dan oleh karena itu akan lebih cepat bergerak ke kepunahan. Pola-pola penggunaan dan pola sebaran yang mencerminkan saling-tekan sebaran penutur, dan luasan pemakaian bahasa-bahasa dalam berbagai ranah pertuturan dalam suatu kawasan masyarakat multilingual merupakan suatu etnosoiolinguistik mutakhir. Faktor-faktor penting apa yang perlu diamati dan dicatat dalam studi etno-sosiolinguistik yang akan memetakan pola-pola penggunaan bahasa dalam suatu kawasan multibahasa seperti Maluku Utara adalah pemilihan bahasa apa yang digunakan penutur, jumlah penutur, sebaran bahasa, kecenderungan pergerakan pemilihan bahasa berdasar ranah pertuturan, usia penutur, situasi sosial penutur, mobilitas penutur, pandangan terhadap masa depan, dan sikap terhadap bahasa sendiri. Fakto-faktor etno-sosiolinguistik inilah yang akan menentukan daya hidup sebuah bahasa dalam konteks relasi antarbahasa dalam masyarakat multibahasa dan multibudaya. E. Merawat Bahasa Daerah sebagai Identitas Bangsa Relasi kuasa Kesultanan di Maluku Utara termasuk pula kesultanan Ternate terhadap masyarakat wilayah kekuasaannya disadari ikut melemahkan keberlangsungan bahasa daerah bersangkutan. Salah satunya adalah bahasa Ibo yang kini sudah dapat dipastikan bahwa bahasa Ibo kini tidak akan eksis dimasa depan. Ini selain karena pewaris bahasanya sudah beralih bahasa Ternate. Kuat dugaannya karena banyaknya para pendatang ke daerah tersebut sejak dahulu menggunakan bahasa Ternate sebagai lingua franca antara etnik. Ini akhirnya menekan posisi minoritas orang Ibo sehingga mereka beralih kode ke bahasa Ternate yang pada masa Kesultanan menjadi bahasa Kolano/Raja. Selain itu, penutur yang masih mengusai bahasanya sudah sangat tua dan penerusnya menolak berbahasa Ibo. Yang perlu dilakukan saat ini ialah menolong bahasa-bahasa yang sekerabat dengan bahasa Ibo, seperti bahasa Gamkonora (penuturnya berkisar 1500-2000 orang) di tengah tekanan bahasa Melayu Ternate dan bahasa Indonesia. Meskipun kebanyakan orang dewasa dan orang tua Gamkonora bangga dengan bahasanya, generasi mudanya saat ini cenderung menggunakan bahasa Melayu Ternate. Kebanggaan generasi tua mereka terhadap bahasa daerahnya beralih kebahasa Nasional di generasi muda. Ini juga dipastikan ada hubungan dengan masa depan mereka. Baik itu dalam hal mendapatkan pendidikan yang lebih baik, maupun pekerjaan yang menjajikan. Keadaan yang melemahkan penutur Gamkonora ini akhirnya menambah alasan bahwa bahasa minoritas ini perlu dirawat. Bukankah kita tidak mau lagi kehilangan bahasa seperti bahasa Ibo? Kepunahan/kematian bahasa daerah telah menjadi isu penting di Indonesia bahkan dunia. Kepunaan ini disinyalir sebagian besar akibat dari terjangan budaya global, termasuk bahasa Internasional yang menyebabkan frekuensi penggunaan bahasa

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

daerah menjadi semakin menurun dan disisi yang lain pula meluasnya relasi sosial ekonomi antara penutur yang memiliki latar bahasa dan budaya yang berbeda turut mengancam bahasa daerah itu sendiri. Dengan demikian maka, diperlukan berbagai strategi untuk merawat eksistensi bahasa daerah ditengah ancaman kepunahannya. Di Maluku Utara, fenomena kepunahan bahasa daerah sudah mulai terasa. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya minat pemakaian bahasa daerah dalam setiap tindak tutur. Anak-anak di desa dan daerah perkotaan sebagian besar tidak lagi mengetahui dan menguasai bahasa daerahnya. Bahkan dalam proses pemerolehan bahasa (language acquestion), posisi bahasa daerah sering tidak menjadi bahasa pertama (first language) melainkan bahasa kedua (second language). Bahasa daerah semakin terjepit lagi ketika globalisasi mulai merambah masuk dalam ranah relasi sosial kita. Para penutur bahasa daerah mau tidak mau harus mempelajari sejumlah bahasa Internasional sebagai modal awal menghadapi kompetisi global yang semakin keras dan tajam. Kondisi ini menambah jarak antara para penutur dengan bahasa etniknya. Maka tidaklah mengherankan jika semangat penutur berusia 25 tahun mulai redup. Padahal mereka adalah pelakon, pewaris, dan pemeliharan bahasa daerah dikalangan remaja juga menjadi penanda kuat bahwa bahasa daerah kita mulai menderita penyakit kurang penutur jika kita tidak menyebut ditinggalkan penuturnya. Summer Institute of Lingiustics (2008) sebagaimana dikutip dalam Ibrahim menjelaskan dalam dua belas varian yang diduga kuat mempengaruhi punahnya sebuah bahasa yaitu : 1). Kecilnya jumlah penutur; 2). Usia penutur: 3. Digunakan atau tidak digunakannya bahasa ibu: 4). Penggunaan bahasa lain secara regula: 5). Perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum; 6). Urbanisasi kaum muda; 7). Kebijakan pemerintah; 8). Penggunaan bahasa dalam pendidikan; 9). Intrusi dan eksploitasi ekonomi; 10). Keberaksaraan; 11). Kebersasteraan; 12). Kedinamisan para penutur dalam membaca dan menulis sastra. Menurut Ade Ismail (2012), ada tiga faktor dominan yang menjadi pemicu utama kepunahan bahasa, yakni perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, kebijakan pemerintah, dan kedinamisan para penutur dalam membaca dan menulis sastra. Hal lain adalah penggunaan bahasa etnik dipandang sebagai komunitas inferior dalam relasi sosial ekonomi .titik-titik pemicu kepunahan ini harus dicegah secara cepat dan efektif agar kekayaan bahasa yang kita miliki ini tidak “punah” ditangan kita sebagai penutur asli (native speaker). Dengan demikian, terdapat enam cara perawatan yang perlu kita lakukan secara serius terutama terhadap bahasa-bahasa yang sudah berada dalam level “kritis”. Hal ini dimaksudkan untuk menmbah daya tahan bahasa daerah kita agar tetap terjaga dengan baik (selalu segar bugar) ditengah badai modernisasi dan globalisasi ataupun pengaruh "kuasa" bidang politik ekonomi global yang kini merangsak masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat kita, yaitu: Pertama, perawatan bahasa dapat dimulai dengan melakukan penelitian pemetaan potensi pengguna bahasa daerah di Maluku Utara. Hasil penelitian ini akan mengungkap bahasa-bahasa apa saja yang memiliki daya tahan kuat, setengah

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

kuat, dan bahasa yang sudah betul-betul tidak mampu ditolong lagi alias menunggu kepunahan. Kedua, ajarkanlah bahasa daerah terhadap anak-anak yang baru memulai proses pemerolehan bahasa. Dengan mengajarkannya sejak dini, maka kita akan mengubah pola pemerolehan bahasa yaitu dimulai dari bahasa daerah (native language) sebagai bahasa pertama kebahasa Melayu Ternate, kemudian merangkak ke bahasa Indonesia, lalu ke bahasa asing. Memang agak sulit, apalagi bagi orang tua yang memiliki perkawinan silang budaya, sebab akan menyulitkan anak-anaknya untuk mempelajari dua bahasa daerah sekaligus. Ketiga, melalui penulisan cerita rakyat. Buku-buku cerita rakyat ini dapat dipakai sebagai bahan ajar lainnya dan dengan demikian kita telah melakukan tiga hal penting, yaitu mendokumentasikan cerita rakyat, melestarikan bahasa daerah, dan mengajarkanya kepada anak-anak sebagai pembelajar dan pemakai bahasa. Keempat, mendirikan pusat-pusat pengkajian bahasa daerah. Pusat kajian bahasa daerah ini dapat didirikan bersamaan dengan pusat kajian budaya daerah, anak-anak atau pembelajar termasuk warga Negara lain yang ingin mempelajari budaya dan bahasa daerah dapat belajar di pusat kajian bahasa dan budaya daerah sebagaimana pusat-pusat pembelajaran bahasa dan budaya asing. Kelima, ajarkan bahasa daerah dijenjang pendidikan dasar (kalau boleh sampai menengah) melalui mata pelajaran muatan lokal. Pemerintah dan para pemerhati bahasa termasuk perguruan tinggi yang memiliki relevansi ilmu, diajak untuk duduk bersama merumuskan kurukulum pembelajaran bahasa daerah, mulai dari standar kompetensi, kompetensi dasar sampai pada penentuan ini indikator-indikator pencapaiannya. Dapat dipastikan, bahwa dengan mengajarkan bahasa daerah di sekolah-sekolah akan memicu suburnya bahasa-bahasa etnik kita yang menjadi sumber kekayaan budaya. Keenam, perguruan tinggi yang ada di daerah Maluku Utara sudah saatnya memikirkan kehadiran jurusan bahasa dan budaya daerah. Gagasan ini terkesan masih mentah tetapi sangat dibutuhkan jika kita ingin merawat eksistensi bahasa daerah Maluku utara. Lulusan dari jurusan ini diberi tanggung jawab mengajarkan bahasa daerah, baik disekolah formal maupun pada lembaga kajian bahasa dan budaya daerah sebaagaimana disebutkan diatas. Enam cara perawatan ini diharapkan mampu mengatasi masalah kepunahan bahasa serta mempertahankan keberadaan bahasa-bahasa daerah Maluku Utara agar tetap hidup ditengah arus persaingan global sebagai simbol kekayaan budaya yang harus dijaga dan dipertahankan. Sebab, salah satu cara tepat untuk merawat kebudayaan adalah melalui perawatan eksistensi bahasa daerah.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Daftar Pustaka Ade Ismail (2012). Merawat Eksistensi Bahasa Daerah. Malut Post edisi Kamis,

26 April 2012. Imelda, (2011). Bahasa Ibo Siapa yang Punya. Malut Post edisi Senin 4 Juli 2012. Mikhiro Moriama & Manneke Budiman (2010). (editor). Geliat Bahasa Selaras

Zaman (Perubahan bahasa-bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru). KPG - Jakarta.

Martin Ramstedt & Fadjar Ibnu Trufail, (2002). (editor). Kegalauan Identitas

(Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca Orde Baru). LIPI & Grasindo. Jakarta.

Tonny D. Widiastono, 2004. (editor). Pendidikan Manusia Indonesia. Penerbit

Buku Kompas. Jakarta.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

MAHETAT WAWANE (1633/1643) DI BAWAH KOMANDO KAPITAN HITU (TEPIL)

Oleh: ZeinWael

Karna Walanda silai kula siliar laha si weuta ena masanahil bebas lekoto kula leyase laha Huamual, impuna keadaan waktu ma te’e aman le nusa penghasil upulawan kula pala’e. Akhirnya inghala nusa le wa’a mahetat elai telua, diantaranya Mahetat le Wawane, Mahetat le Kapahaha kula Mahetat le Huamual yang waktu ma ing sama-sama pada tahun 1600. Menurut sejarah Kapitan Hitu ( Tepil ) waktu si mahahai manusia lalutu si ataena’si kula si pengaruh ma nyela karna manusia si kele ena si, baik ma lahan e atau musuh karna ma sile salalu salamai si pandapat ena si ator masa’ala mahetat atau berupa masa’ala sahan ee, pada saat ma gubernur Walanda’e te’ mampu ena si selesaikan masa’ala e le Hitu kula Walanda’e. Contohnya masa’ala le Hutumuri kula le Lisabata Gubernur isa’nyia te’e sanggup ena i selesaikan masa’ala e, kemudian Gubernur Walanda’e i ator siasat ia i puna pa’ahia masyarakat le koto’e utamanya yang si hasil ma upulawan e kula pala’e. Lalu Kapitan Hitu i kewa siasat ahia’i he Walanda’e i puna mahetat antara Hitu kula Walanda’e. Kapitan Hitu ( Tepil ) si pale’u si wa’ahula April tahun 1633. Pada saat pale’u si, si umur ma pamanuai silainya, si paleu si ma jadi kerugian ela’li wa’a Hitua sebab sile salaku hakim Islam atau kadi. Sile si sana nalai wangsa Hailani ile isai nyia i puna manusia pisia matai le Jazirah Leihitu pada masa tahun 1628 Hailani pale’ui krarna si racun enai. Lalu Kakiali si ganti si posisi salaku kadi setelah Kapitan Hitu ( Tepil ) si pale’u si. Pada waktu 1633 terjadi masa’ala e ena si reka ganti kapitan Hitu rupanya perdana latu kayowan ( tani Hitu mesing ) i ingin i puna jadi kapitan Hitu, namun suara pada saat musyawarah adat suara lalutu wa’a Kakiali akhirnya Kakiali i puna kapitan Hitu. Gubernur gijels i lantik Kakiali ena i jadi kapitan Hitu pada tahun 1633. Parlu tewa bahwa selama kapitan Kakiali i puna kapitan Hitu e salalu ada fitnah karna dalam tubuh pemerintahan 4 perdana ma si ingin ena si jadi kapitan Hitu. Sebab pada masa ma jabatan kapitan Hitu ma lebih i menonjol he’i jabatan raja, jabatan raja waktu‘ma yang si tolo’ne adalah raja tani Hitu mesing dengan segala pertimbangan gubernur gijels tetap si lantik kapitan Kakiali selaku kapitan Hitu melalui musyawarah adat. Ena Walanda ia’ si tangkap kapitan Hitu sile si pake siasat ahia’i. Walanda si aha’akal wa kapitan Hitu ena ia si undang kapitan Hitu kula manusia kaya le jazirah ena si ketemu kula gubernur antonio le waru. Ternyata te’ena pertemuan e mala ena si tangkap kapitan Hitukula manusia kaya. Si oso kapitan ma im puna mansia si bincia Walanda tamba nyela oleh pengikut kapitan Hitu si aheta kula Walanda e tapi karna Walanda si pake peralatan e kula senjata sehingga pengikut kapitan si kala. Lalu Hitu walumalu silawa taka leisida sedangkan patiwane silawa taka amaHitu. Ha’ma usi’e Hitu si lupu’e kula gimalaha luhu a ena si serang wawala Walanda baik leiHitu maupun le seram barat. Le rencana ma si aheta si ator kula pendekar nahudi kula pati husen, waktu mahetat pendekar nahudi kula pati husen kula si

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

pasukan e si menang e, sehingga si ena gelar. Pendekar nahudi si ena gelar panglima sedangkan pati husen iena gelar pahlawan patiwane. Ma usi’e ahmad leikawa i puna pahlawan kapahaha, ahmad leikawa pahlawan kapahaha i pamata Walanda lepu saat waktu saheta le kapahaha sehingga ahmad leikawa si supu gelar taluka besi II. Telu si masing-masing si tolo’ wala’si yaitu panglima nahudi kula patiwane si tolo wala sile pusat pertahanan wawane, sedangkan taluka besi si tolo le kapahaha. Gubernur antonio te’maroto serangan-serangan he’i le Hitua , akhirnya i pengaruh ama sahana le jazirah leiHitu ena si ele’ kulai, lalu si tipu mansia mane kula pisi e tapi ing usaha ma te’berhasil karna masyarkat si tolo lete wasi’e kemudian gubernur antonio i pake cara sahan e. Yaitu kapitan Hitu bisa si atasi kalo masyarakat si tulu lete wasi’e la si una siluma’e lena nulu hahai. Pada saat ma para panglima si ahnene’ lalepan he’i gubernur antonio sile kula gubernur si’una perjanjian. Sile bisa si tulu he’i lete wasi’e tapi kapitan Hitu harus si atiai kalo te’en e masyarakat tetap si aheta tarus e. Kapitan patiwane kula talukabesi si tegaskan supaya kapitan Hitu harus si atiai kalo te’en e masyarakat tetap si tolo lete wasi’e. Ketegasan mane kapitan nalua karna kapitan Hitu si hala si taka batavia nala lewat hulan na telu Walanda te’satia si te’en e. Saran he’i Kakiali taka kaya bulan sa’a suha soi le batavia si ketemu kula jendral gubernur Walanda’e ena si atia kapitan Hitu. Gubernur i janji akan setia kapitan Hitu lalu manusia Hitu si parcaya. Ternyata janji mane jendral gubernur si pasosala lalu Imam Rijali i hawater akhirnya i pimpin mahetat helu’e le Hitu dan akhirnya si menang e. Sebelum Gijels i lantik VAN DEUTECON, VAN HEUVELT si hala kapitan Hitu (Kakiali) taka batavia ena si hadapkan taka gubernur jendral VAN DIEMAN masyarakat Hitu si ahnene kapitan HituKakiali si hala sile batavia, manusia kaya Hitu nala si kaya bulan kula si masyarakat amana wai ila ena si utus sile ena si soi le batavia si menghadap gubernur jendral VAN DIEMAN, sile si alamai sebagaimana keinginan he’i kapitan patiwane kula kapitan taluka besi salama kapitan Hitu (Kakiali) te’satia si keadaan leaman kula Walanda tetap te’ aman e, akhirnya gubernur ile pahnene tuntunan ma ile isai i halalai kapitan Hitu(Kakiali) hei le batavia taka Hitu pada tahun 1637. Ma usi’e keadaan le Hitu kula lesing ma aman dan damai, namun te’ tawali kapitan Kakiali si fitnah si helu’e bahwa sile si biarkan masanahila he’i le liaha silai sisahi upulawan kula pala’e dan ia si ator rencana ena si sa’aputa Walanda kula im VOC. Keadaan terpaksa kapitan Hitu ( Kakiali) waktu tahun 1638 sile si gabung kula gimalaha taluka besi patituban, patilessi, kapitan nahudi, kapitan patiwane si aheta kula Walanda yang na sile Hitu maupun na sile luhu seram barat dan Walanda si kala. Gubernur Walanda i pahanene’ pasukan Hitu si maroto akhirnya i parenta tantara Walanda si leu taka koto. Waktu mahetat ma panglima Walanda i mata kula serdadu Walanda.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

PERANG WAWANE(1633-1643)

Oleh: Zein Wael

Karena eksripasi makin merajalela dan larangan terhadap perdagangan bebas, keadaan Ambon dan Lease serta Hoamual semakin buruk. Keadaan ini menyeret rakyat di daerah penghasil cengkih kedalam tiga peperangan besar, yaitu Perang Hoamual, Perang Wawane, dan Perang Kapahaha. Ketiga peperangan ini terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Kapitan Hitu (Tepil) pada mulanya memberikan bantuan secara rahasia, mengingat adanya perjanjian persahabatan pada tahun 1600 yang ditandatanganinya sendiri dengan van der Haghen disaat Hitu minta bantuan Belanda mengusir Portugis. Tindakan Belanda di Hoamual serta pembunuhan kejam terhadap rakyat Bandadan sikap yang keras dari beberapa gubernur terhadap rakyat penghasil cengkih dan palamemaksa Kapitan Hitu menyatakan permusuhan secara terang-terangan terhadap Belanda. Menurut sejarah,Kapitan Hitu semasa hidupnya terkenal sebagai orang yang besar pengaruhnya. Beliau disegani dan dihormati oleh kawan maupun lawan. Beliau selalu diminta sebagai juru damai dalam menyelesaikan sengketa atau pertempuran yang oleh kompeni sendiri tak bisa diatasi. Berkali-kali jasanya diminta untuk meredakan pemberontakan terhadap Kompeni di beberapa daerah, seperti di Hutumuri semasa pemerintahan Gubernur Block Martenz dan di Lisabata ketika van Speult menjadi Gubernur di Ambon. Tindakan Belanda yang selalu membawa kesengsaraan bagi masyarakat penghasil cengkeh dan pala membuat ia terpaksa memusuhi Belanda. Beliau meninggal pada bulan april 1633 dalam usia yang sudah tua. Kepergiannya merupakan suatu kerugian besar. sebagai hakim Islam (kadi) ditunjuk wangsa Haelani putra Kapitan Hitu sendiri seorang hartawan terkenal di Jazirah Leihitu. Pada tahun 1628 Haelani meninggal dunia karena diracun, lalu Kakiali menggantikan posisinya sebagai kadi. Setelah meninggalnya Kapitan Hitu (tepil),pada tahun 1633 terjadi persoalan dalam mencari gantinya. Rupanya Perdana Latu Kayoan (TaniHitumesseng) sangat berambisi untuk diangkat sebagai Kapitan Hitu. Namun, suara terbanyak menghendaki agar Kakiali diangkat menjadi Kapitan Hitu. Dalam suatu pesta adat yang juga dihadiri oleh Gubernur Gijels, Kakiali dilantik menjadi Kapitan Hitupada tahun 1633. Perlu diketahui bahwa selama Kakiali diangkat menjadi Kapitan Hitu menggantikan kapitan Tepil, selalu ada fitnah terhadap dirinya karena dalam tubuh pemerintahan empat perdana ada yang menginginkan jabatan itu, sebab pada saat Belanda berkuasa, jabatan kapitan itu lebih menonjol daripada jabatan Raja yang dipegang oleh TaniHitumesseng. Karena Kaiali(putra dari Negeri Wawane) mempunyai kecakapan dalam berpolitik serta diplomasi dan ketenangannya dalam menghadapi masalah, suara terbanyak memilihnya untuk menjabat Kapitan Hitu. Di kalangan rakyatnya, Kapitan Hitu merupakan tokoh yang berwibawa. Walaupun ada pihak-pihak yang tidak senang pada pengangkatannya, Gubernur Gijels yang berkuasa pada saat itu tidak bisa memanfaatkan kekuasannya untuk menentang atau membatalkan

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

pengangkatan itu, sebab jabatan kapitan itu bukan ditunjuk oleh Belanda, tapi penunjukan atas hasil musyawarah berdasarkan suara terbanyak. Dalam setiap masalah Kakiali selalu bermusyawarah dengan para orang kaya dari negri-negri Jazirah Hitu. Untuk melaksanakan maksud jahatnya menangkap Kapitan Hitu, setibanya di Waru, Gubernur Antoni mengundang Kapitan Hitu dan para orang kaya untuk naik ke kapalnya. Karena disangkanya kapal itu bersama mereka akan menuju ke Luhu untuk menghadiri pertemuan, Kakiali bersama orang kaya mengikuti ajakan gubernur. Segera pada saat itu Kakiali ditangkap bersama para pengikutnya. Penangkapan inilah yang mengakibatkan kebencian rakyat Hitu terhadap Belanda. Melihat Kapitan Hitu telah ditawan oleh Belanda, para pengikutnya melakukan perlawanan.Namun, karena kekuatan yang tidak seimbang, VOC unggul dalam pertarungan. Para pengawal melarikan diri ke Leisida, sedangkan Patitwane mengabarkan ke Hitu.

Setelah mendapat kata sepakat, pihak Hitu bersama Gimelaha Luhu menyerang pusat-pusat pertahanan Belanda di Hitu maupun seram barat. Dalam suatu pertempuran pendekar Nahudi dan Pattihusen memperoleh kemenangan gemilang, sehingga keduanya masing-masing mendapat gelar, Nahudi sebagai panglima dan Patihusen sebagai pahlawan Pattiwane. Selain itu, Ahmad Leakawa (pahlawan Kapahaha) pun berhasil juga membunh banyak orang Belanda dalam pertempuran, sehingga ia diberi gelar Telukkabessi (II). Ketiganya masing-masing mengambil tempat sebagai pusat perjuangannya yaitu panglima Nahudi dan Pattiwane memilih Wawane sebagai pusat pertahanan dan Telukabessi memilih Kapahaha. Karena Gubernur Antoni tidak tahan terhadap serangan-serangan itu, lalu ia berusaha mempengaruhi negri-negri di Jazirah Hitu untuk memihak kepadanya dengan memberi uang, tetapi usahanya gagal karena negeri-negerinya terdapat di gunung. Lalu ditempuhnya siasat dengan mengatakan bahwa Kapitan Hitubisa dilepaskan apabila rakyat turun berdiam ditepi pantai. Ketika mendengar itu, pamanKakiali yang bernama orang kaya Bulan dengan rakyat 7 buah negri turun berdiam di tepi pantai dengan catatan jika dalam waktu 7 bulan(sesuai janji gubernur) Kapitan Hitu tidak dilepaskan, beliau dengan rakyatnya yang telah turun kepantai akan kembali ke gunung. Kapitan Pattiwane dan Telukabessi menegaskan “Kami ingin supaya Kapitan Hitu dilepaskanterlebih dahulu.Jika tidak, kami tetap tinggal digunung dan pertempuran akan berlangsung terus menerus”. Ketegasan ini dikemukakan karena Kapitan Hitu dibawa ke Batavia. Namun lewat 3 bulan dari waktu yang telah dijanjikan, Kapitan Hitu belum juga dilepaskan lalu perdana Latukayoan dari TaniHitumessing berangkat menghadap gubernur jendral di Batavia atas saran dari pamannya Kakiali, yakni orang kaya Bulan. Perdana Latukoyoan kembali dengan amanat Gubernur bahwa 3 bulan lagi Kapitan Hitu akan dilepaskan. Ketika mendengar hal itu, pahlawan Pattiwane dan Telukabessy menghentikan pertempuran. Pada waktu itu orang-orang Hitu telah banyak terpengaruh oleh siasat kompeni, sehingga perlawanan hampir tidak ada lagi. Imam Rijali melihat keadaan itu menjadi resah, lalu ia sendiri memimpin satu pertempuran dengan memperoleh kemenangan di pantai Hitu.

Sebelum Gijels datang untuk melantik van Deutecon, Van den Heuvel telah mengirim Kapitan Hitu (Kakiali) dengan sebuah kapal ke Batavia untuk dihadapkan pada Gubernur Jenderal van Dieman. Saat mendengar Kakiali dikirim ke Jakarta, para orang kaya di Hitu mendatangi paman Kakiali yang bernama

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Orang Kaya Bulan yang telah berdiam ditepi pantai bersama rakyat beberapa buah negri. Saran pamanKapitan Hitu diterima lalu berangkatlah utusan ke Batavia untuk menghadap gubernur jendral. Alasan yang diajukan kepada gubernur jendral sama seperti yang dikehendaki oleh Kapitan Pattiwane dan Kapitan Telukabessy, yaitu keadaan di Tanah Hitu belum bisa aman sebelum Kakiali dilepaskan. Mungkin karena itu,Jenderal berjanji untuk membawa sendiri Kakiali pulang ke Hitu. janji ini ditepati sebab setelah pada musim barat, Kapitan Hitu kembali bersama van Diemen pada tahun 1637. Setelah Kakiali dilepaskan oleh Belanda, keadaan di jazirah Hitu terang kembali. Akan tetapi, tidak beberapa lama kemudian Kakiali dihasut lagi dengan dalih bahwa Kapitan Hitu membiarkan pedagang-pedagang gelap datang membeli cengkih di daerah terlarang dan bekerja sama dengan pemimpin Seram Barat untuk menghancurkan VOC. Karena bangsa Belanda menekan rakyat dengan monopoli dan hongitochen, keadaan ini memaksa Kapitan Hitu pada tahun 1638 bergabung bersama dengan Gimelaha Luhu untuk bersama-sama menghadapi VOC secara terang-terangan. Peperangan ini melibatkan para pemimpin dan kapitan seperti Kapitan Hitu, Perdana Patti Tuban(Kyai Lessy), Kapitan Nahudi, Kapitan Pattiwani dan Kapitan Tubanbessi(Telukabessi) yang bersama Gimelaha Luhu melancarkan serangan terhadap pertahanan VOC di Hitu dan Seram Barat. VOC mencoba membalas serangan itu, namun dipukul mundur. Ketika mendengar laporan tentang benteng pertahanan Wawane yang sangat gigih, Van Diemen memerintahkan sisa pasukannya untuk meninggalkan Hatunuku kembali ke Ambon. Dalam pertempuran seorang panglima perang Belanda tewas terkena pedangKapitan Pattiwaane. Serdadu kompeni banyak mati karena terkena tembakan bedil, kena potong, dan kena ranjau yang diletakan disekitar Benteng Wawane. Dalam pertempuran yang dasyhat itu, pendekar Maralla dan saudaranya tewas, sedangkan Pattiwane dan Rijali terluka. Tiba di Ambon, van Diemen dan Gubernur Ambon mencari akal untuk memecah belah rakyat Hitu. Belanda mendapat akal, lalu beberapa orang kaya di Jazirah Hitu dipengaruhi terutama, TaniHitumesseng yang telah lamatidak begitu senang dengan pengangkatan Kakiali sebagai Kapitan Hitu. Penginjlan yang telah dijalankan oleh para pendeta Belanda dan tindakan Belanda yang berhasil memikat sebahagian negeri Jazirah Hitu serta diperbolehkannya Belanda mendirikan beberapa benteng pertahanan di beberapa tempat menambah amarah Kapitan Hitu. Ia lalu menulis surat kepada gubernur karena keresahan dan menyatakan permusuhan kepada Belanda secara terang-terangan. Surat dari Kapitan Hitu membuat Belanda menyusun sebuah rencana selanjutnya. Karena dengan kekuatan angkatan perang berkali-kali VOC menderita kekalahan, untuk menebus malu, akhirnya Van Diemen menempuh jalan pengkhianatan untuk membunuh Kakiali. Pembunuhan ini direncanakan setelah Kakiali mengirimkan surat kepada gubernur. Kompeni merencanakan pembunuhan ini dengan cara mengirim dua orang spanyol untuk menyamar sebagai buronan Kompeni. Dengan alasan bahwa mereka sedang dicari-cari oleh kompeni untuk dibunuh, mereka naik ke Wawani untuk mencari tempat yang aman.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Agar tidak timbul kecurigaan, selama beberapa hari mereka menunjukan kesetiaannya terhadap Kapitan Hitu sambil mencari tahu dimana Kapitan Hitu biasa tidur. Sesudah diketahui kedua orang tadi kembali melaporkan situas, dipantai Seith telah menunggu sebuah kapal yag dipersiapkan untuk mengangkut kedua orang itu. Tiba dikapal, mereka memberitahukan hasil penyelidikannya, lalu kapten kapal menyuruh seorang Belanda bersama mereka naik ke Wawani untuk melaksanakan pembunuhan terhadap Kapitan Hitu. Pada tengah malam itu juga, secara diam-diam mereka masukke kamar Kapitan Hitu lalu menikam tubuh Kapitan Hitu sebanyak 13 kali. Sebanyak 12 kali Kapitan Hitu masih kebal terhadap tikaman itu, tetapi setelah ke 13 kalinya baru beliau meninggal akibat kena tikam di dadanya. Sehabis melaksanakan penikaman itu ketiganya melarikan diri turun ke kapal memberitahukan bahwa Kapitan Hitu telah meninggal. Segera pada saat itu juga meriam-meriam dibunyikan sebagai tanda kemenangan. Keesokan harinya barulah diketahui oleh rakyat Wawane dan sekitarnya bahwa tembakan-tembakan yang terdengar ditengah malam itu adalah pemberitahuan dari Kompeni bahwa Kapitan Hitu (Kakiali) telah dibunuh. Setelah Kakiali dikebumikan, beberapa orang kaya dan para pejuang yang masih setia pada perjuangan mengadakan pertemuan di Wawane untuk memilih Kapitan Hitu yang baru, tetapi rencana itu gagal karena kompeni melarang orang-orang di negri disekitar Wawane untuk berkunjung kesana. Ternyata kompeni sedang merencanakan satu penyerbuan ke Wawane sehingga kompeni memberikan ultimatum barang siapa yang melanggar perintah kompeni akan diambil tindakan tegas. Rakyat Jazirah Hitu meminta kebijakan VOC melalui perdana TanaHitumesseng yang pada saat itu bersahabat baik dengan kompeni. Walaupun demikian, kompeni tidak mengabulkan permintannya, malah mengatakan kalau pertemuan itu diadakan ditempat lain barangkali bisa dikabulkan, tetapi kalau di Wawane masih disangsikan. Belanda takut kalau pertemuan itu dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin Hitu untuk mengadakan konsolidasi guna menyusun kekuatan menentang Belanda. Setelah tawar-menawar, akhirnya Belanda menyetujui agar pertemuan diadakan disalah satu tempat dihutan luar Wawane dan disetujui oleh Pattiwane dan Perdana Patti Tuban. Setelah Kakiali meninggal, pimpinan perjuangan sementara dipegang oleh Pattiwane dan dibantu oleh Imam Rijal dan Perdana Patti Tuban. Dalam perjalananan ini,Pattiwane dan Patti Tuban mendapat berita bahwa orang kaya dan lain-lainnya telah menanti dipantai Seith. Namun karena hari sudah petang pertemuan ditunda sampai besok. Karena pertemuan belum jadi dilakukan, Pattiwane dan Patti Tuban minta diri untuk kembali ke Wawane, tetapi ditahan oleh pendduk setempat untuk bermalam di negri Libeluhu yang termasuk uli Hatunuku. Walaupun disetujui bermalam namun dalam hatinya masih timbul kecurigaan pengkhianatan. Ternyata apa yang disangsikan terjadi.Dari dua orang kaki tangan Belanda, yaitu Guron dan Tapihua, Gubernur mendapat kabar bahwa kedua pemimpin itu sedang bermalam di luar Wawane. Ketika mendengar keterangan itu, Gubernur mengatur strategi untuk menyerang Wawane pada malam itu juga. Karena serangan itu tak tercium sebelumnya, orang-orang di Wawane tidak bisa berbuat apa-apa dan menjadi kocar-kacir melarikan diri.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Karena ada yang melaporkan bahwa Wawane telah diserang,Pattiwane dan Patti Tuban segera lari ke Wawane untuk menyelamatkan penduduk Wawane.Namun, sangat disayangkannegri Wawani telah kosong. Akhirnya mereka ditemukan di suatu hutan yang tak jauh dari negri wawani.Disana mereka bermusyawarah untuk mencari tempat berlindung sebab takut pada Belanda. Karena merasa tidak ada tempat lagi untuk para pejuang membuat benteng pertahanan,berjalanlah mereka menuruni lembah dan mendaki gunung mengikuti arah matahari terbit. Mereka akan mencari suatu tempat untuk membuat benteng pertahanan yang baru guna melanjutkan perjuangan melawan Belanda.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

MERAWAT BAHASA SEBAGAI IDENTITAS BUDAYA BANGSA

(Tafsir Identitas ditengah Dominasi Kuasa & Universalitas (multibahasa) Oleh

Rinto Taib, S.Sos., M.Si. (Dewan Pakar Kesultanan Ternate)

A. Prolog Sebuah pertanyaan penting yang ingin kami ajukan pada awal tulisan ini sesungguhnya adalah apakah kecenderungan meluasan ruang gerak para pengguna bahasa tersebut pada saat yang bersamaan diikuti pula oleh suatu kecenderungan yang sama kuatnya untuk menyempitkan loyalitas pada suatu identitas yang terbatas? Dalam buku Geliat Bahasa Selaras Zaman, Manneke Budiman dan Tim Hassal menunjukkan bagaimana bahasa Indonesia memamerkan "kuasa" globalisasi dengan menyerap berbagai ekspresi dan kosalata bahasa mancanegara, terutama bahasa Inggris. Meskipun pada kasus yang dibahas oleh Manneke, loyalitas jatuh pada "ummah", yakni konsep persatuan pada keimanan Islam. Disini tafsir "kuasa" dibatasi pada universalisme yang berdasarkan pada kesamaan agama. Bagaimana pula dengan "kuasa" zaman yang terkategorisasi lewat era atau periodesasi dari generasi tertentu yang terikat pula oleh ruang dan waktu? sebut aja misalnya generasi gaul yang menguasai zaman 2000-an dengan menampilkan komunitas gaul generasi "jomblo" yang berbeda dengan generasi "lupus" pada era 1980-an, apalagi generasi 1970-an. Kesemuannya merupakan sebuah keniscayaan zaman yang tak bisa dilawan, lihat saja beberapa kosakata yang seolah memapankan serta mematangkan dominasi "kuasa" serapan bahasa asing dalam obrolan masyarakat kita selama ini misalkan pilihan untuk memakai kata inovasi alih-alih penemuan, imitasi sebagai ganti tiruan adalah sesungguhnya sebuah gengsi semata tetapi sesuatu kebutuhan yang muncul ketika meluasnya pengetahuan dan perkembangan modernitas yang seolah tak mampuh memenuhi kebutuhan akan kosakata ang tersedia. Pada segi yang lain, hal tersebut dianggap oleh para intelektual bangsa kita sebagai kemajuan dari kebutuhan akan variasi dari suatu gaya bahasa, atau sebagai suatu bentuk pengayaan. Pada segi yang lain pula, era otonomi daerah yang ditandai dengan reformasi seolah memberikan peluang bagi bahasa daerah untuk "bergeliat" ditengah arus kebebasan setelah palang kuasa Orde Baru mulai dilepas. B. Ancaman Kepunahan Bahasa Kecenderungan ini jelas akan memposisikan bahasa daerah atau bahasa Inonesia berada dititik penuh dilema. Pada sebuah titik, penggunaan bahasa daerah akan melemahkan keberadaan bahasa Indonesia dan ditik lainnya, tuntutan perkembangan zaman memaksakan penggunaan bahasa asing bagi masyarakat Indonesia. Dengan realitas seperti ini maka dominasi kuasa akan menjadi penentu utama bagaimana keberadaan sebuah bahasa bisa diperkuat karena luasnya sebaran para penutur serta kebijakan ubtuk "merawat" atau sebaliknya diperlemah

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

karena mulai ditinggalkan oleh para penuturnya dan cenderung menjadi "sekarat" dengan berbagai alasan. Contoh kasus di Maluku Utara misalnya, bahasa Ibo disebut sebagai bahasa yang sekarat. Hal ini dibahas dalam Seminar Sehari 21 Juni 2011 lalu dengan Tema “Bahasa dan Etnik di Halbar yang Terancam Punah dan Upaya Pemerintahanannya”. Seminar yang dilaksanakan di Kampus Unkhair itu dihadiri rektor, akademisi peneliti, pemda, guru dan pemerhati bahasa mengangkat persoalan bahasa di Malut yang kebanyakan dalam kondisi terancam punah, bahkan segera punah seperti bahasa Ibo. Atas isu terancam punahnya bahasa Ibo tersebut, salah satu kantor yang berkaitan dengan kebahasaan mencoba melakukan tindakan penyelamatan dengan berencana membuat kamus bahasa Ibo. Yang menjadi pertanyaan saat ini, apakah tindakan itu perlu dan bermanfaat? Pada segi yang lain, upaya pelestarian bahasa daerah juga tanpa disadari turut mengikis kesadaran melestarikan bahasa Indonesia jika yang dilakukan lebih didasarkan pada semangat etnosentrisme atau etnonasionalisme untuk melawan bahasa Indonesia. Suka atau tidak suka, resistensi terhadap bahasa Indonesia saat ini semaakin menguat dalam wacana publik, misalnya dalam cerpen sastrawan Riau, dan dalam berbagai inisiatif sastrawan daerah untuk menolak dominasi "kuasa" dan "hegemoni" Jakarta atau pulau Jawa (misalnya dalam sastra etnik atau sastra kepulauan), dan ditengah resistensi tersebut, sastra Indonesia (Jakarta sentris) tengah berada dalam pergulatan sengit melawan bahasa gaul anak muda Jakarta yang menyebar tak terbendung melalui film dan televisi hingga ke pelosok negeri dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat modern. Kecenderugan berpihak pada modernitas ini pula yang dialami oleh para penutur bahasa-bahasa daerah yang terancam punah di Maluku Utara, dan para penutur bahasa Ibo di Kecamatan Ibu Kabupaten Halmahera Barat adalah salah satunya. Makalah ini sesungguhnya ingin mempresentasikan nasib bahasa daerah di Provinsi Maluku Utara dan ancaman modernitas (globalisasi) serta strategi untuk merawatnya. C. Pemetaan (Sebaran & Pola Penggunaan) Multibahasa di Maluku Utara Di penghujung tahun 1900-an dan diawal tahun 2000, paling sedikit telah tercatat tiga disertasi tentang beberapa bahasa di Maluku Utara dengan tiga kategoti penelitian, yaitu perbandingan bahasa, studi etnolinguistik, dan studi lengkap mengenai gramatika. Studi perbandingan bahasa misalnya, seperti yang dilakukan oleh Hendrik van der Veen (1915) dalam disertasinya tentang perbandingan bahasa-bahasa non-Austronesia Halmahera Utara. Analisis ini didasarka pada perbandingan antara bahasa-bahasa Austronesia dan bahasa-bahasa Papua, berkaitan dengan morfologi. Tentang studi etnolinguistik, E.K.M Masinambouw (1976) membuat sebuah analisis pendahuluan mengenai konvergensi etnolinguistik di Halmahera Tengah. Disertasi ini ditulis berdasarkan penelitian etnolinguistik yang dilakukan pada tahun 1967 dan 1989, yang berfokus pada multilingualisme dan hubungan antara penutur bahasa Sawai dan Tobelo di Halmahera Tengah. Disertasi-disertasi yang secara lengkap memuat gramatika beberapa bahasa di Maluku Utara, dapat disebut secara berturut-turut. Pertama, Miran van Staden

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

(2001) menulis disertasi tentang bahasa Tidore berjudul Tidore: A Linguistics Description of A Language of The North Moluccas. Kedua, disertasi John Bowden (2001) tentang bahasa Taba dengan judul: The Description of South Halmahera Language. Ketiga, disertasi Rika Hayami-Alen (2001) tentang bahasa Ternate dengan judul: A Discription Studdy of the Language of Ternate, The Northen Moluccas, Indonesia. Tiga disertasi ini merupakan deskripsi lengkap mengenai fonologi, morfologi, sintaksis, termasuk pula mengenai sistem orientasi dalam masing-masing bahasa yang diteliti. Jadi kalau dirangkum, penelitian-penelitian mengenai bahasa-bahasa di Maluku Utara tinggal kini baru bersifat mencatat atau mendata masing-masing bahasa, dari tataran fonologi, morfologi, hingga sintaksis dan beberapa diantaranya pada abad ke-19 mengenai kamus sederhana dan transliterasi untuk berbagai kepentingan linguistik maupun di luar linguistik. Baru pada tahun 1970-an. E.K.M Masinambouw menulis disertasi mengenai pola-pola penggunaan bahasa-bahasa di Teluk Kao dari sudut pandang etnolinguistik. Lalu pada tahun 1980-an Summer Institute of Linguistics, sebuah lembaga kebahasaan (minoritas) di dunia, termasuk di Maluku Utara, mulai melakukan penelitian terhadap sejumlah bahasa (minoritas) di Maluku Utara. Hasil dari penelitian itu, kemudian pada tahun 1990-an, diterbitkanlah sebuah peta bahasa Maluku Utara yang disebut Atlas Bahasa Tanah Maluku, bekerjasama dengan Universitas Pattimura. Dalam atlas tersebut, termuat jumlah bahasa, perkiraan jumlah penutur, dan wilayah pakai bahasa-bahasa di Maluku Utara. Sebenarnya Ishige, seorang ahli bahasa berkebangsaan Jepang sebenarnya telah membuat suatu peta bahasa Maluku Utara. Sebagai kawasan multibahasa, dengan penggunaan bahasa Melayu Ternate sebagai lingua-franca yang kini semakin mendesak bahasa-bahasa etnik di Maluku Utara, pemetaan secara dialektologi tidak cukup untuk menemukan masalah-masalah "hubungan" lintas bahasa di Maluku Utara berdasar dialektologi yang dapat menentukan status isolek untuk menetapkan kekerabatan baru hanya menetapkan sebaran dan kekerabatan bahasa-bahasa di Maluku Utara. Belum lagi pemetaan bahasa semacam ini menimbulkan ragam pendapat mengenai jumlah, sebaran, dan kekerabatan bahasa, oleh karena beragam pendekatan dan metode. Padahal, masalah kebahasaan yang penting dalam suatu kawasan masyarakat multilingual kini adalah bagaimana bahasa-bahasa itu tetap hidup berdampingan bagaimana bahasa-bahasa ini saling mempengaruhi, tumbuh dan saling menekan bahkan saling menggeser peran adalah masalah faktual yang terus terjadi. Relasi-relasi ini pada titik tertentu dapat memberi efek pada dua hal penting; Pertama, bahasa-bahasa saling memperkaya, dan kedua, saling menekan, saling menggeser. Efek pertama adalah fakta mengenai saling memperkaya, tetapi efek kedua berujung pada "pemunahan" atas bahasa yang digeser oleh bahasa-bahasa yang dominan. Oleh karena itu, penelitian pemetaan bahasa dalam suatu kawasan multibahasa seperti Maluku Utara, kini sesungguhnya tidak lagi mengulang-ulang pemetaan yang pernah dilakukan, tetapi yang harus dilakukan adalah pemetaan mengenai pola-pola hubungan antar bahasa dan pola-pola penggunaan masing-masing bahasa dalam berbagai ranah pemekaiannnya. Temuan atas pemetaan semacam ini

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

tidak saja memberikan informasi mengenai jumlah bahasa dan sebaran pemakaian dalam suatu kawasan masyarakat multilingual, tetapi juga adalah status daya hidup (language vitality), pola-pola pergeseran penggunaan bahasa ibu, hingga perspektif mengenai kepunahan bahasa. Sifat kontak dan hubungan antar bahasa dalam suatu kawasan masyarakat multilingual memperlihatkan dua hal: Pertama, secara diakronik mencerminkan kekerabatan terutama terkait dengan sejarah asal usul bahasa dari suatu moyang bahasa (proto-language) yang sama. Bahasa-bahasa itu berkembang terus berkembang menjadi suatu varian dari moyangnya, bahkan dapat menjadi suatu bahasa baru. Kedua, bagi bahasa-bahasa yang tidak semoyang atau tidak sekerabat, tetapi secara geografis persebarannya berdampingan atau bertumpangan akan mencerminkan persinggungan yang berupa peminjaman kosa kata dan bisa jadi pergeseran penggunaannya. Hal kedua inilah yang menjadi masalah mutakhir terkait dengan sebaran jumlah penutur dan cakupan atau luasan pemakaiannya dalam setiap domain pertuturan. D. Pola-pola Penggunaan bahasa dalam Masyarakat Multilingual Ada beberapa ciri utama masyarakat multilingual. Dari sudut penutur, dikenal ada masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih, baik secara tidak seimbang maupun secara seimbang. Masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih secara tidak seimbang adalah mampu dan biasa menggunakan satu bahasa pertama secara cakap, sedangkan mampu dan biasa menggunakan bahasa kedua atau ketiga tidak secakap menggunakan bahasa pertama. Sementara itu, masyarakat menggunakan bahasa dua bahasa atau lebih secara seimbang, adalah masyarakat yang mampu dan biasa menggunakan bahasa-bahasa yang dikuasainya itu sama baiknya dan sama cakapnya. Dari sudut hubungan antarbahasa, saling-pinjam dan saling pengaruh terjadi antarbahasa, baik yang berkerabat maupun yang tidak berkerabat. Saling-pinjam akan memperkaya bahasa masing-masing, tetapi saling-pengaruh akan memerlukan dua hal pada masing-masing bahasa: Pertama, luas-sempitnya cakupan pemakaian bahasa oleh penutur dalam berbagai ranah penuturan. Kedua, berkurang-bertambahkannya jumlah penutur setiap bahasa yang saling-pengaruh. Bahasa-bahasa yang mendapat pengaruh kuat dari suatu bahasa lain, yang dominan cakupan dan luasan penggunaannya. Sebaliknya, bahasa-bahasa yang memberi pengaruh akan semakin menjadi luasan persebaran pemakaiannya dan lebih luas pula ranah penggunaannya, seperti digunakan di rumah, anak-anak dalam bermain, remaja dalam bergaul, digunakan dalam acara resmi dan adat serta percakapan suami-isteri / para orang tua dalam berbagai kesempatan. Bila saling-tekan ini berlangsung terus-menerus, terutama tekanan bahasa-bahasa "dominan" terhadap bahasa-bahasa minoritas, lambat-laun mengurangi jumlah penutur dan cakupan ranah pemakaian bahasa yang "terdominasi". Bahasa-bahasa ang tertekan akan bergerak ke arah kepunahan. Pergerakan ke arah kepunahan akan lebih cepat lagi bila para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa Ibu kepada para anaknya dan generasi mudanya tidak mau lagi menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Jika pola-pola penggunaan bahasa dalam masyarakat multilingual semakin luas sebaran penutur dan ranah penggunaan sebuah bahasa, maka semakin kuat pula daya hidup bahasa itu. Sebaliknya, semakin sempit sebaran penutur dan semakin kurang cakupan ranah penggunaannya, maka semakin lemah daya hidup bahasa itu, dan oleh karena itu akan lebih cepat bergerak ke kepunahan. Pola-pola penggunaan dan pola sebaran yang mencerminkan saling-tekan sebaran penutur, dan luasan pemakaian bahasa-bahasa dalam berbagai ranah pertuturan dalam suatu kawasan masyarakat multilingual merupakan suatu etnosoiolinguistik mutakhir. Faktor-faktor penting apa yang perlu diamati dan dicatat dalam studi etno-sosiolinguistik yang akan memetakan pola-pola penggunaan bahasa dalam suatu kawasan multibahasa seperti Maluku Utara adalah pemilihan bahasa apa yang digunakan penutur, jumlah penutur, sebaran bahasa, kecenderungan pergerakan pemilihan bahasa berdasar ranah pertuturan, usia penutur, situasi sosial penutur, mobilitas penutur, pandangan terhadap masa depan, dan sikap terhadap bahasa sendiri. Fakto-faktor etno-sosiolinguistik inilah yang akan menentukan daya hidup sebuah bahasa dalam konteks relasi antarbahasa dalam masyarakat multibahasa dan multibudaya. E. Merawat Bahasa Daerah sebagai Identitas Bangsa Relasi kuasa Kesultanan di Maluku Utara termasuk pula kesultanan Ternate terhadap masyarakat wilayah kekuasaannya disadari ikut melemahkan keberlangsungan bahasa daerah bersangkutan. Salah satunya adalah bahasa Ibo yang kini sudah dapat dipastikan bahwa bahasa Ibo kini tidak akan eksis dimasa depan. Ini selain karena pewaris bahasanya sudah beralih bahasa Ternate. Kuat dugaannya karena banyaknya para pendatang ke daerah tersebut sejak dahulu menggunakan bahasa Ternate sebagai lingua franca antara etnik. Ini akhirnya menekan posisi minoritas orang Ibo sehingga mereka beralih kode ke bahasa Ternate yang pada masa Kesultanan menjadi bahasa Kolano/Raja. Selain itu, penutur yang masih mengusai bahasanya sudah sangat tua dan penerusnya menolak berbahasa Ibo. Yang perlu dilakukan saat ini ialah menolong bahasa-bahasa yang sekerabat dengan bahasa Ibo, seperti bahasa Gamkonora (penuturnya berkisar 1500-2000 orang) di tengah tekanan bahasa Melayu Ternate dan bahasa Indonesia. Meskipun kebanyakan orang dewasa dan orang tua Gamkonora bangga dengan bahasanya, generasi mudanya saat ini cenderung menggunakan bahasa Melayu Ternate. Kebanggaan generasi tua mereka terhadap bahasa daerahnya beralih kebahasa Nasional di generasi muda. Ini juga dipastikan ada hubungan dengan masa depan mereka. Baik itu dalam hal mendapatkan pendidikan yang lebih baik, maupun pekerjaan yang menjajikan. Keadaan yang melemahkan penutur Gamkonora ini akhirnya menambah alasan bahwa bahasa minoritas ini perlu dirawat. Bukankah kita tidak mau lagi kehilangan bahasa seperti bahasa Ibo? Kepunahan/kematian bahasa daerah telah menjadi isu penting di Indonesia bahkan dunia. Kepunaan ini disinyalir sebagian besar akibat dari terjangan budaya global, termasuk bahasa Internasional yang menyebabkan frekuensi penggunaan bahasa

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

daerah menjadi semakin menurun dan disisi yang lain pula meluasnya relasi sosial ekonomi antara penutur yang memiliki latar bahasa dan budaya yang berbeda turut mengancam bahasa daerah itu sendiri. Dengan demikian maka, diperlukan berbagai strategi untuk merawat eksistensi bahasa daerah ditengah ancaman kepunahannya. Di Maluku Utara, fenomena kepunahan bahasa daerah sudah mulai terasa. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya minat pemakaian bahasa daerah dalam setiap tindak tutur. Anak-anak di desa dan daerah perkotaan sebagian besar tidak lagi mengetahui dan menguasai bahasa daerahnya. Bahkan dalam proses pemerolehan bahasa (language acquestion), posisi bahasa daerah sering tidak menjadi bahasa pertama (first language) melainkan bahasa kedua (second language). Bahasa daerah semakin terjepit lagi ketika globalisasi mulai merambah masuk dalam ranah relasi sosial kita. Para penutur bahasa daerah mau tidak mau harus mempelajari sejumlah bahasa Internasional sebagai modal awal menghadapi kompetisi global yang semakin keras dan tajam. Kondisi ini menambah jarak antara para penutur dengan bahasa etniknya. Maka tidaklah mengherankan jika semangat penutur berusia 25 tahun mulai redup. Padahal mereka adalah pelakon, pewaris, dan pemeliharan bahasa daerah dikalangan remaja juga menjadi penanda kuat bahwa bahasa daerah kita mulai menderita penyakit kurang penutur jika kita tidak menyebut ditinggalkan penuturnya. Summer Institute of Lingiustics (2008) sebagaimana dikutip dalam Ibrahim menjelaskan dalam dua belas varian yang diduga kuat mempengaruhi punahnya sebuah bahasa yaitu : 1). Kecilnya jumlah penutur; 2). Usia penutur: 3. Digunakan atau tidak digunakannya bahasa ibu: 4). Penggunaan bahasa lain secara regula: 5). Perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum; 6). Urbanisasi kaum muda; 7). Kebijakan pemerintah; 8). Penggunaan bahasa dalam pendidikan; 9). Intrusi dan eksploitasi ekonomi; 10). Keberaksaraan; 11). Kebersasteraan; 12). Kedinamisan para penutur dalam membaca dan menulis sastra. Menurut Ade Ismail (2012), ada tiga faktor dominan yang menjadi pemicu utama kepunahan bahasa, yakni perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, kebijakan pemerintah, dan kedinamisan para penutur dalam membaca dan menulis sastra. Hal lain adalah penggunaan bahasa etnik dipandang sebagai komunitas inferior dalam relasi sosial ekonomi .titik-titik pemicu kepunahan ini harus dicegah secara cepat dan efektif agar kekayaan bahasa yang kita miliki ini tidak “punah” ditangan kita sebagai penutur asli (native speaker). Dengan demikian, terdapat enam cara perawatan yang perlu kita lakukan secara serius terutama terhadap bahasa-bahasa yang sudah berada dalam level “kritis”. Hal ini dimaksudkan untuk menmbah daya tahan bahasa daerah kita agar tetap terjaga dengan baik (selalu segar bugar) ditengah badai modernisasi dan globalisasi ataupun pengaruh "kuasa" bidang politik ekonomi global yang kini merangsak masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat kita, yaitu: Pertama, perawatan bahasa dapat dimulai dengan melakukan penelitian pemetaan potensi pengguna bahasa daerah di Maluku Utara. Hasil penelitian ini akan mengungkap bahasa-bahasa apa saja yang memiliki daya tahan kuat, setengah

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

kuat, dan bahasa yang sudah betul-betul tidak mampu ditolong lagi alias menunggu kepunahan. Kedua, ajarkanlah bahasa daerah terhadap anak-anak yang baru memulai proses pemerolehan bahasa. Dengan mengajarkannya sejak dini, maka kita akan mengubah pola pemerolehan bahasa yaitu dimulai dari bahasa daerah (native language) sebagai bahasa pertama kebahasa Melayu Ternate, kemudian merangkak ke bahasa Indonesia, lalu ke bahasa asing. Memang agak sulit, apalagi bagi orang tua yang memiliki perkawinan silang budaya, sebab akan menyulitkan anak-anaknya untuk mempelajari dua bahasa daerah sekaligus. Ketiga, melalui penulisan cerita rakyat. Buku-buku cerita rakyat ini dapat dipakai sebagai bahan ajar lainnya dan dengan demikian kita telah melakukan tiga hal penting, yaitu mendokumentasikan cerita rakyat, melestarikan bahasa daerah, dan mengajarkanya kepada anak-anak sebagai pembelajar dan pemakai bahasa. Keempat, mendirikan pusat-pusat pengkajian bahasa daerah. Pusat kajian bahasa daerah ini dapat didirikan bersamaan dengan pusat kajian budaya daerah, anak-anak atau pembelajar termasuk warga Negara lain yang ingin mempelajari budaya dan bahasa daerah dapat belajar di pusat kajian bahasa dan budaya daerah sebagaimana pusat-pusat pembelajaran bahasa dan budaya asing. Kelima, ajarkan bahasa daerah dijenjang pendidikan dasar (kalau boleh sampai menengah) melalui mata pelajaran muatan lokal. Pemerintah dan para pemerhati bahasa termasuk perguruan tinggi yang memiliki relevansi ilmu, diajak untuk duduk bersama merumuskan kurukulum pembelajaran bahasa daerah, mulai dari standar kompetensi, kompetensi dasar sampai pada penentuan ini indikator-indikator pencapaiannya. Dapat dipastikan, bahwa dengan mengajarkan bahasa daerah di sekolah-sekolah akan memicu suburnya bahasa-bahasa etnik kita yang menjadi sumber kekayaan budaya. Keenam, perguruan tinggi yang ada di daerah Maluku Utara sudah saatnya memikirkan kehadiran jurusan bahasa dan budaya daerah. Gagasan ini terkesan masih mentah tetapi sangat dibutuhkan jika kita ingin merawat eksistensi bahasa daerah Maluku utara. Lulusan dari jurusan ini diberi tanggung jawab mengajarkan bahasa daerah, baik disekolah formal maupun pada lembaga kajian bahasa dan budaya daerah sebaagaimana disebutkan diatas. Enam cara perawatan ini diharapkan mampu mengatasi masalah kepunahan bahasa serta mempertahankan keberadaan bahasa-bahasa daerah Maluku Utara agar tetap hidup ditengah arus persaingan global sebagai simbol kekayaan budaya yang harus dijaga dan dipertahankan. Sebab, salah satu cara tepat untuk merawat kebudayaan adalah melalui perawatan eksistensi bahasa daerah.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Daftar Pustaka Ade Ismail (2012). Merawat Eksistensi Bahasa Daerah. Malut Post edisi Kamis,

26 April 2012. Imelda, (2011). Bahasa Ibo Siapa yang Punya. Malut Post edisi Senin 4 Juli 2012. Mikhiro Moriama & Manneke Budiman (2010). (editor). Geliat Bahasa Selaras

Zaman (Perubahan bahasa-bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru). KPG - Jakarta.

Martin Ramstedt & Fadjar Ibnu Trufail, (2002). (editor). Kegalauan Identitas

(Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca Orde Baru). LIPI & Grasindo. Jakarta.

Tonny D. Widiastono, 2004. (editor). Pendidikan Manusia Indonesia. Penerbit

Buku Kompas. Jakarta.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Tokoh Inspiratif: NYA BONONG LALO RAMUKAQ

Oleh: Aries Zulkarnain

Si Bonong, yang dalam bahasa Samawa (Sumbawa) disebut Nya Bonong, adalah tokoh cerita rakyat Sumbawa, yang dikenal sebagai manusia yang cerdik, panjang akal, namun kadang juga dia berlagak pandir, rajin, taat, namun nakal dan usil apabila menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan logikanya. Kalau ada hal-hal yang muskil dan dapat terpecahkan oleh seseorang, maka akan keluar ungkapan orang Sumbawa sebagai “dapat akal nya Bonong” (menemukan akalnya si Bonong), atau ada seseorang yang kocak menceriterakan sesuatu berita rekaan bersifat guyon, disebut “bowe akal nya Bonong” (seperti akalnya si Bonong). Salah satu ceritera rakyat Sumbawa yang saya kutip dari penuturnya adalah sebagai berikut: NYA BONONG LALO RAMUKA Pang sopo ano nya Bόnόng lalo manceng ke dengan-dengan pang telaga tenga óróng. Mole kales manceng nan yabawa mole lako bale saréa maung. Ada manjaer, betók, balukes, ke simer saréa yabetan karéng mo yasaté kénang nyepat mangan petang. Jira yatunung saréa jangan nan, ya sanyěletmo panyaté pang galiger atap bao sanikan. Lalomό bakědék kabali nya Bónóng ke dengan. “Bónóng……, kuda uwaqmu tóq ramuka leng tau blé” leng nya Seman katowan nya Bónóng. “Barungan benar uwaqku tóq ramuka, tapi no si jina kusadu” ya samung leng nya Bónóng. “Me luk buwa no munyadu, réna saréa tau ka kangilang kales désa désa len bowe datang lako uwaqmu. Pamuka diri, uwaqmu nan jarang sala, tepat baé si”. “Héran kau ble Bónóng, tau penó ta saréa ya sadu uwaqmu luk pintar ramuka. Mbang kau anak no munyadu.” Leng nya Seman. Ya samung leng nya Bónόng: “Lamen no munyadu, murόwa gita mudi ke. Tapi na muběleng-běleng mudi dapat bale ana, turet baé aku. Mudi tu mangan pětang pang bale anamό mudi. Dapat manggereb, ada teri ujan réa. “Tapi těresmό tu angkang bale kaku dunung, matěres turamuka ke uwaq mudi. Ingat kau Sěman, na mu katawa mudi, mupatu-tua kau lako uwaq, ke no mό muběleng-běleng lamen no si katowan kau” ya satótók nya Seman leng nya Bónóng. “Assalamu’alaikum” leng nya Bόnόng kajira rόntόk lawang. “Wa’alaikumussalam” ya samung leng uwaq kaleng dalam bale. “Dira…. béang lawang tau ana kadu. Nan sěda ada tamuwé pang lawang ana” “Sai sia ta” leng si Dira réna ya uléng suki lawang. “Kami si, ya kami datang ramuka” leng nya Bόnόng. “Silamό sia tama” rapasila si Dira.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

Ya menόng sěda tau ramuka, uwaq nya Bόnόng lesmό lako ruang luar rena ya téntan pajěnang dila-jarak ke pangisi mako-jontal. Malum nanmo rua tau Samawa masa nan. ”Silamό tόkal, nanta pe, jina kangujan manggěreb-gěreb sama datang ta. Apa rungan gina” leng uwaq nya Bόnόng lako tamuwé. Tamue dua ta no ya tόq rua ke no ya tóq seda ta leng uwaq nya Bónóng. Maklum baémό tau biasa těrima tau datang ramuka, městi ada ade ya béntan-béntan. “Ta si kanatang kami sia, sate turamuka, luk ka ilang kebό kami satόne siup. Padahal balόng si ka tupantak. Satόné siup tugita no mόnda. Ka όras tali si rupa déta sia” leng Bόnόng réna kanénték sěda. Maklum kaningěn lěng ka kangujan. Karéngmό no ya tόq seda ke no ya tόq rua lěng uwaq. “Wee, nanta néné pe. Jam pida kira-kira-kira ka sama tóq nόnda kěbό néné nan” ya katόwan lěng uwaq. “Kira-kira jam siwaq satόné siup nan, muntu ya kaji lalo béang aiq”, ya jawab lěng nya Bόnόng. “Laměn lako luk ano ke jam ka ilang ta ke jam sama datang, béga dόq pang kebό néné ta”, basaněmpas uwaq nya Bόnόng. “Me jangka dόq rua lako ya kami lalo buya mudi” bakatόwan kabali nya Bόnόng. “Me pang désa néné gina, ma nyaman tu déra lako sama buya”. “Kami ta tau Pungket sia, ka tu sěmpal těnga όrόng nan ita tu datang pěri sia ta”. “Laměn měnan, sama buya lako ano siup désa néné, těres mό sama satěpat jangka Batubangka ana sama buya. Kira-kira nawar sama katěmung si ke tau, sama katόwanmό lako tau mula sama batěmung, ba insya-allah no si dapat luher, sama katěmungmό ke kebό néné” ya saněmpas kabali lěng uwaq ta. “Lamen měnan, bakami ngamet mό dunung, ma na jina lé lalo kami dapat désa mudi. Sia těrima mό ade kami bawa ta, apa nόnda alu-alu kami lako sia” lěng nya Bónóng réna ya béang katabang ka ya kali pang kěban nya Sěman tóné nan. Nya Sěman no sóka běleng-běleng kales kamula dapat nan. “Na ěndi sama mole, sama manganmó dunung ke kami. No těrang tu bilen mé masak sělak isa ke manggěreb yang cara ta”, bagětak uwaq ya ajak mangan nya Sěman ke nya Bónóng. Si Dira pang ruang dalam ana muntu bajampang si, ya béang mangan tamué dua ta. “Sia ajak mó tama mangan tamué sia nan uwaq-e”, leng bagětak si Dira kales ruang dalam. Nomóngka ya anti pasila dua kali, kówatmó nya Bónóng ke nya Sěman ya lalo tama mangan, ya turet uwaq ta tama lako ruang dalam. Běleng kówa si Dira: ”Silamó sia mangan, kěle si nónda jangan-jangan”. Basila-pangkanmό kόwa-kόwa tamué dua ta barangkang mangan ke uwaq. Jěmbarai kélé ke rujak sěpeng baési daru mangan. Běleng kabali si Dira: “Nomό sia kangila mangan kěle si nόnda jangan, apa nanmό rua kami ta sia, nόngka bau tulalo lako amat satόne”. Ya samung balalomό si Dira leng nya Bόnόng: “No mό mubόla-bόla kadu Dira, réna jangan lima panyaté pang bao sanikan ana”. Kamimpat si Dira ke uwaq, ya menόng tamué běleng měnan.

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

“Cόba ete kadu pang galiger atap pang bao sanikan nan, ada simer ka kusira-kuning satόné, manyaman tumangan ke uwaq ta” ya suru si Dira leng nya Bόnόng. “Wa ina Bόnόng….. ba ka kau si ampa kales satόné ana, no tu tόq rua ke no tu tόq seda kau” leng uwaq. Nan si luk si Dira, kamempo si luk nόngka ya gita ada jangan pang sělak galiger bao atap sanikan. Maklum ade nόngka nya ka baeng bόat měnan. “Rόa atemu pe Bόnόng, mu kati uwaq. Ya mumaliq si mudi” leng si Dira. “Insya allah no si kumali. Ma man mό rόa ramuka uwaq, apa bόat nan saréa bόat sirek pang dalam agama” basajělas nya Bόnόng réna mangan nan. Uwaq nya Bόnόng nomόngka běleng, apa ya tόq mό sipat nya Bόnóng luk rόa bakati yang cara nan. Bau-bau běleng uwaq: “Ya no měnan luk gina Bόnόng, tau rόa si sadu tau, ke rόa kěna saréa ade tubada tau nan”. “Tapi sia barěnangmό bόat nan uwaq-e, apa tu sirek lako Alatala. Tau sirek ta, něraka katόkal mudi”, bernaséhat nya Bόnόng. Jira mangan nan, karéng saléng katawa baémό uwaq ke anak, ke nya Sěman ade nόngka běleng-běleng karéng satόné nan. “Munyadumό ke Sěman, luk saréa tau ramuka ta nosόa ade těpat. Saréa déan cuma ya kira-kira baési ke akal leng uwaq. Ade ya kamata leng uwaq sědi si. Ya asa mako nyaman ke jόntal nyaman ade ya bawa leng tau ramuka nan si, padahal saréa pamuka nan nosόda ade běnar”. Inti cerita dapat dijelaskan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: SI BONONG PERGI MERAMAL Menyebut nama Bonong bagi orang Sumbawa (Tau Samawa), semua orang mengenalnya sebagai tokoh kocak, banyak akal, nakal, dan berkaitan dengan ceritera-ceritera seorang tokoh lucu. Selain itu juga dikenal sebagai ssok yang usil. Meskipun begitu tidak semua orang mengetahui sepenuhnya siapa dan di mana si Bonong itu. Beberapa episode dan setting cerita si Bonong, mungkin juga tidak semua orang tahu ceritanya, misalnya seperti cerita bagaimana dia pergi meramal kepada bapaknya sendiri yang dikenal sebagai juru ramal terkenal di seantero daerahnya. Namun si Bonong tidak pernah mau percaya pada kegiatan ramal-meramal, karena tidak pernah benar-benar terbukti akurat. Ketidak percayaannya pada Bapaknya yang ahli ramal itu ingin dibuktikannya kepada teman akrabnya yang bernama Seman. . Seperti kebiasaan anak-anak desa, menjelang senja Seman mengajak Bonong mencabut ubi ke kebunnya, namun karena terhalang hujan lebat mereka menjadi terhambat pulang. Hal itu tidak merisaukan bapaknya di rumah karena tahu kebiasaan anak-anak tersebut sering pulang larut dan selalu di rumah Seman atau di rumah Bonong sendiri. Setahu bapaknya, keterlambatan Bonong berada di rumah pasti sedang berada di rumah Seman. Selepas hujan mereda, Bonong pulang ke rumahnya bersama Seman. Mereka bersepakat menggojlok bapaknya. Bonong menyaru dengan memakai caping tua, kain sarung yang dipakai sebagaimana layaknya orang dewasa. Demikian pula Seman. Sambil mengendap-endap naik ke rumah panggungnya, Bonong

SEMINARBAHASADANLOKAKARYALEMBAGAADAT 2015

mengucapkan salam dengan suara yang dibuat-buat sedemikian rupa sehingga berbeda dengan suara aslinya: “Assalaaamu’alaikum”. Bonong dan Seman tidak dikenal sama sekali oleh Bapaknya. Seperti biasanya, bapak Bonong langsung saja menanyakan asal usul, dan barang apa saja kehilangan atau kesulitan mereka. Serta merta dengan lancar dalam suara yang berbeda itu Bonong memohon bantuan untuk diramalkan dimana menemukan kerbau mereka yang hilang, karena begitu lama mencarinya tidak juga ditemukan. Tidak kalah lancarnya, bapak Bonong juga menjelaskan betapa dan bagaimana secepatnya dapat menemukan kerbau yang hilang tersebut. Begitu lama mereka mendapat penjelasan, akhirnya mereka dipersilahkan makan malam walaupun dengan lauk seadanya. Dengan basa-basi menekan malu pada “tamu”, Hadira bercerita kalau tak sempat membeli ikan bermutu, hanya sekedar ikan asin kering. Hadira memang agak pelit menyuguhkan ikan lele dan gurami hasil pancingan Bonong tadi siang, karena melihat sang tamu tidak juga membawa apa-apa sekedar oleh-oleh dari pemohon ramalan. Ketika makan malam itulah kedok Bonong dan Seman dibuka dengan dramatis: “Bohong kau Dira, ikan yang terselip di atap itu untuk siapa ? Ayolah kita makan sama-sama…….”. “Bonong, Bonong…….. tak habis-habis akalmu ngerjain orang” kata bapaknya yang juga terpaksa ikut tertawa bersama Hadira. “Nah ! Terbuktikan ? Bahwa bapakku tidak juga ahli meramal saya sudah tahu karena ramalan itua dalah analisa dan prakiraan-prakiraan saja. Toh pada akhirnya si pemilik itu juga yang lelah mencari barang hilangnya ke mana-mana” begitu bisik Bonong pada Seman. Berita Bonong meramal itulah yang menyurutkan kepercayaan orang pada ramalan bapaknya Bonong. Sumbawabesar, 3 Agustus 2015