Post on 25-Nov-2015
description
8
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Hakikat Pendidikan Inklusif
1. Sejarah Pendidikan Inklusif
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dari waktu ke waktu terus
mengalami evolusi. Perubahan tersebut terjadi dengan terus berkembanganya
pendidikan dan meningkatnya kesadaran akan pendidikan. Demikian juga dengan
pendidikan anak berkebutuhan khusus, satu persatu masyarakat mulai merubah
cara pandangnya terhadap pelayanan pendidikan bagi mereka, meskipun hal
tersebut tidak bisa berjalan secara serentak. Seperti yang dikemukakan oleh
Skjorten (2003) dan Foreman (2001), bahwa terjadi gradasi pemikiran yang
berhubungan dengan perkembangan pendidikan kebutuhan khusus. Adapun
gradasi perkembangan pemikiran terhadap pendidikan kebutuhan khusus adalah :
pemikiran segregratif, pemikiran integratif, pemikiran inklusif. Konsep dari
pemikiran segregratif ditandai dengan pemisahan layanan pendidikan anak
berkebutuhan khusus dengan anak pada umumnya. Pada pemikiran integrasi
terjadi perkembangan pemikiran bahwa anak berkebutuhan khusus dapat belajar
bersama anak pada umumnya dengan suatu penekanan bahwa anak berkebutuhan
khusus tersebut telah dipersiapkan terlebih dahulu dalam sekolah khusus dan
ditempatkan sesuai dengan pengetahuannya bukan pada usianya.
9
Berikut ini ilustrasi gambar mengenai perkembangan konsep pemikiran
pendidikan bagi individu berkebutuhan khusus (Taboer, 2005: 17)
Lingkungan pada umumnya Individu berkebutuhan khusus
Konsep inklusi
Konsep integrasi
Konsep segregrasi
Gambar 2.1. Perkembangan Konsep Pemikiran Bagi Individu
Kebutuhan Khusus
Anak dengan kebutuhan khusus memiliki kemungkinan lebih besar dibanding
anak-anak lainnya untuk tidak sekolah, atau keluar dari sekolah, atau keluar
masuk sekolah. Hal tersebut disebabkan karena selama ini pendidikan yang
disediakan sebagian besar belum dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan
mereka atau dengan kata lain hanya menyediakan layanan untuk anak-anak pada
umumnya. Sekolah yang menyelenggarakan layanan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus masih sedikit.
Kini mulai diperkenalkan istilah inklusi diamggap sebagai suatu alternatif
penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sebagai jawaban
tuntutan akan semboyan pendidikan untuk semua.
10
Pendidikan untuk semua menjadi awal pemikiran untuk menjalankan sebuah
pendidikan yang tidak bersifat diskriminatif terhadap siapa pun, termasuk ABK.
Dengan adanya konsep pendidikan untuk semua ini menimbulkan reformasi
kurikulum pendidikan dari yang selama ini dijalankan. Menurut APEID (Asia and
the Pasifik Programme of Educational Inovation for Development) bahwa dalam
reformasi kurikulum menunjuk pada perubahan-perubahan, dalam hal ini yaitu
llandasan filosofis dan pendekatan kurikulum sekolah, seperti yang dikemukakan
John Naisbit dan Patricia Abundance dalam Pedoman Penyelenggaraan
Pendidikan Terpadu/Inklusi (2004:195-196), yang mengemukakan bahwa
Reformasi kurikulum yang disebabkan oleh adanya perubahan paradigma pendidikan untuk semua (EFA) menunjuk pada perubahan-perubahan dalam ini, landasan filosofi dan pendekatan kurikulum sekolah tersebut disebabkan oleh sepuluh hal : pendidikan untuk semua, relevansi kurikulum terhadap inidividu dan masyarakat, pengembangan ketepatan nilai dan sikap, pengembangan proses, berkenaan dengan mempertemukan kebutuhan dengan seluruh individu, memaksimumkan perkembangan potensi setiap anak secara penuh terlepas dari status sosial dan ekonomi mereka, proses belajar mengajar yang berorientasi pada siswa, belajar tuntas (mastery learning), evaluasi kinerja yang holistik, dan menanggulangi atau menguasai dan/atau mengelola perubahan.
Pendidikan untuk semua (EFA) merujuk pada reformasi kurikulum yang
berupaya mengakomodasikan kenyataan bahwa siswa-siswa sekolah memilki
karakteristik yang heterogen. Selain itu merujuk pada perlunya materi pelajaran
yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa secara individual dan kebutuhan
masyarakat.
Menurut sebuah artikel yang dimuat oleh Media Bawean, terdapat tiga juta
anak yang tidak sekolah membutuhkan pendidikan layanan khusus. Pendidikan
11
inklusif adalah strategi kunci untuk menangani anak-anak tersebut. Prinsip dasar
pendidikan inklusif adalah bahwa semua anak harus memperoleh kesempatan
untuk bersama-sama belajar dan terakomodir kebutuhan-kebutuhannya tanpa ada
diskriminasi apapun yang mendasarinya. Hal ini berarti bahwa sekolah
reguler/umum harus diperlengkapi untuk dapat melihat dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhan siswa yang heterogen, termasuk mereka yang secara tradsional telah
tersingkirkan, baik dari akses ke sekolah peran serta yang ada di sekolah.
Sebagai upaya mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua,
termasuk di dalamnya ABK, maka dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 ayat
1 Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5
dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama
memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus
pun berhak memperoleh kesempatan yang sama seperti anak-anak lain pada
umumnya dalam hal pendidikan. Sementara dalam Undang-undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan alternatif lain dalam
penyediaan pendidikan bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus, yang selama
ini masih adanya diskriminasi dan pemisahan antara pendidikan bagi ABK dengan
pendidikan bagi anak-anak pada umumnya. Dalam pasal 15 dijelaskan tentang
pendidikan khusus, yang disebutkan bahwa :
Pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
12
Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara
operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan
khusus dan Pendidikan layanan khusus.
Kecenderungan penyelenggaraan pendidikan inklusif bermula dari
ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan layanan pendidikan segregatif, yang
menyebabkan anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat pada
umumnya, meskipunmereka telah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai untuk hidup layak di masyarakat. Kecenderungan pendidikan inklusif
juga dipicu oleh terjadinya perubahan pandangan masyarakat terhadap anak-anak
berkebutuhan khusus yang tumbuh menjadi pribadi yang mampu berprestasi, tidak
hanya untuk mengurus diri sendiri tetapi juga mampu berprestasi pada tingkat
nasional maupun internasional. Hasil-hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus dapat berkembang
dengan baik dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Dalam era pendidikan inklusif sekolah dikelola secara khas yang sangat
menekankan terciptanya suasana kooperatif. Sikap kooperatif tersebut harus
dimiliki oleh semua tenaga kependidikan.
2. Pengertian Pendidikan Inklusif
Adapun yang dimaksud PLB adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi
anak-anak luar biasa atau berkelainan, baik dikarunia keunggulan (gifted &
13
talented) ataupun berkelainan karena adanya hambatan fisik, sensorik, motorik,
intelektual, emosi, dan/atau sosial. Dalam pendidikan inklusif, pelabelan atau
pengkategorian siswa menjadi kelompok normal dan berkelainan yang
diberlakukan pada sistem segegratif ditiadakan. Pengkategorian dianggap sebagai
penyebab pelabelan yang berdampak pada munculnya rendah diri siswa
berkebutuhan khusus. Hal tersebut sangat bertentangan dengan konsep pendidikan
inklusif, yang menekankan kesetaraan.
Ada beragam pendapat mengenai pengertian inklusif ini. Antara lain yang
dikemukakan oleh Ditjen PLB dalam Mengenal Pendidikan Inklusif (2005), yang
mengemukakan bahwa :
Sekolah Inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu sekolah inklusi merupakan tempat setiap anak diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun dengan anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Sementara Ditjen PLB dalam Mengenal Pendidikan Inklusif (2005)
mengemukakan bahwa :
Pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagimanapun gradasinya.
Ditjen PLB dalam Mengenal Pendidikan Inklusif (2005) menyatakan bahwa :
Pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama teman seusianya. Oleh karena
14
itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orangtua, dan masyarakat.
Pendidikan inklusif terfokus pada setiap kelebihan yang dibawa anak ke
sekolah daripada kekurangan mereka yang terlihat dan secara khusus melihat pada
bidang mana anak-anak dapat mengambil bagian untuk berpartisipasi dalam
kehidupan normal masyarakat atau sekolah, atau memperlihatkan apakah mereka
memiliki hambatan fisik dan sosial karena lingkungan. Seperti yang dijelaskan di
dalam buku Kebijakan dan Pengembangan Program Pendidikan Luar Biasa yang
dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2005),
Inklusif adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak yang sebayanya di sekolah umum, dan pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana yang inklusif.
Dengan bahasa yang sederhana inklusif menginginkan siswa berkebutuhan khusus
belajar bersama dan bersatu dengan siswa lain pada umumnya.
Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah dan pendidik harus
mengakomodasi dan bersikap tanggap terhadap peserta didik secara individual.
Inklusifitas ini menguntungkan sekolah, guru-guru, dan seluruh pelajar. Prinsip ini
mengakui bahwa sekolah adalah komunitas pembelajar, pendidikan sebagai tujuan
seumur hidup, dan sasaran akhir tercapainya warga negara yang sehat dan
produktif yang secara penuh ikut memberikan sumbangsih pada kehidupan
ekonomi, sosial, dan budaya bangsa, masyarakat, dan keluarga.
15
Pendidikan inklusif bukan hanya suatu bentuk teknologi pendidikan, namun
merupakan suatu filosofi dan system, sebagai suatu bentuk cara pandang terhadap
hakikat manusia yang diimplementasikan dalam suatu penyelenggaraan
pendidikan. Bertolak dari pandangan semacam itu, maka pendidikan inkusif tidak
memaksa anak-anak yang memang tidak memungkinkan untuk dipersatukan
dalam satu sistem pendidikan bersama anak-anak lain pada umumnya dalam satu
sekolah dengan alasan yang tidak terkait dengan hal yang bersifat ideologis atau
filosofis. Meskipun demikian sekolah khusus (SLB) juga harus dijiwai prinsip-
prinsip inklusif.
3. Karakteristik Pendidikan Inklusif
Proses pelaksanaan pendidikan inklusif memerlukan penyesuaian dan
fleksibelitas di berbagai bidang, diantaranya :
a. Kurikulum yang Fleksibel
Penyesuaian kurikulum dalam rangaka implementasi pendidikan inklusif
pertama-tama yang harus lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan siswa
daripada materi yang harus dikuasai oleh siswa. Pendidikan inklusif menuntut
pula penyesuaian kurikulum dalam hal waktu penguasaan terhadap sejumlah
bahan pengajaran. Artinya kecepatan siswa untuk menguasai suatu pelajaran tidak
harus sama, dan disesuaikan dengan kemampuan siswa masing-masing secara
individu. Kurkulum yang fleksibel akan memerankan anak berkebutuhan khusus
dapat belajar bersama-sama dengan peserta didik lainnya. Perumusan kurikulum
yang fleksibel pihak sekolah tidak bisa berjalan sendiri, melainkan mengajak
16
kerjasama bersama orangtua siswa. Ia akan telibat dalam kegiatan belajar
mengajar, baik mengenai program kerja, tujuan, isi, strategi, metoda
pembelajaran, organisasi kelas, asessmen, evaluasi, komunikasi, dan
pembiayaannya. Sehingga peserta didik dapat terlayani sesuai dengan kemampuan
dan kebutuhannya.
b. Pendekatan pembelajaran yang fleksibel
Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif implikasinya
bahwa pendekatan dalam kegiatan pembelajaran yang fleksibel hendaknya guru
menggunakan berbagai metoda sehingga mendorong penggunaan berbagai sarana,
dan bahan pembelajaran atau multi media. Kegiatan pembelajaran yang fleksibel
itu harus pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).
Dalam hal ini guru berperan sekali untuk menciptakan lingkungan yang menarik,
dan menyenangkan bagi semua siswa. Lingkungan belajar tersebut dapat
meningkatkan keaktifan siswa, dan keefektifan belajar. Jadi kelas yang inklusif
dapat diartikan sebagai suatu tempat yang menyenangkan, dan merangsang siswa
untuk belajar.
c. Sistem Evaluasi yang Fleksibel
Dalam seting pendidikan inklusif, sistem penilaian yang diharapkan di sekolah
yaitu sistem penilaian yang fleksibel. Penilaian yang disesuaikan dengan
kompetensi semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Penilaian yang
fleksibel mempunyai dua model, yaitu dengan tes yang datanya bisa kuantitatif,
dan kualitatif, salah satu cotohnya yaitu fortofolio. Penerimaan siswa tanpa tes
17
serta ujian dilakukan secara lokal bagi tingkat dasar dengan model sistem
kenaikan otomatis. Dengan demikian, peluang ini bisa dimanfaatkan untuk
menuju pelaksanaan pembelajaran yang ramah bagi semua anak. Penilaian yang
baik hendaknya memperhatikan kondisi, dan perbedaan-perbedaan individual
(Dinas Pendidikan Provinsi Jabar, 2007:vi).Dewasa ini, inklusi merupakan salah
satu bentuk layanan pendidikan bagi ABK yang dianggap paling ideal untuk
dilaksanakan sesuai dengan pernyataan Salamanca. Di sekolah inklusif para siswa
memiliki kemampuan dan kebutuhan yang beragam (heterogen), karena siswanya
terdiri dari siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus. Artinya terdapat
keberagaman di dalamnya baik dari segi karakteristik, kebutuhan, maupun
layanan yang harus diberikan kepada masing-masing siswa.
d. Proses pembelajaran yang ramah
Proses pembelajaran yang ramah itu esensinya pada seoran guru yang
memahami setiap siswanya sebgai individu yang memiliki keunikan, kemampuan,
minat, kebutuhan, dan karakteristik yang berbeda-beda, pemahaman tersebut
sangat penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Kompetensi dan materi pembelajaran disesuakan dengan potensi atau
kebutuhan individu yang bersangkutan. Lingkungan pembelajaran yang ramah
ialah ramah kepada anak dan guru. Maksudnya adalah anak dan guru belajar
bersama sebagai suatu komunitas belajar, menempatkan anak sebagai pusat
pembelajaran, mendorong partisipasi aktif anak dalam belajar, dan guru memiliki
minat untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik. Guru pun perlu
18
mengetahui bagaimana cara mngajar anak dengan latar belakang, dan kemampuan
yang beragam.
Pembelajaran yang ramah memfokuskan pada keaktifan siswa, artinya anak
diberi keleluasaan untuk melakukan eksplorasi, dan mendapatkan informasi
secara mudah secara mudah serta lebih menekankan pada model kooperatif dan
kreatif. Terlaksananya proses pembelajaran yang ramah ini didasari oleh
pelaksanaan observasi, dan asessmen yang terncana. Observasi ini dimaksudkan
untuk mengidentifikasi latar belakang, riwayat perkembangan, dan riwayat
kesehatan siswa. Sedangkan asessmen perlu dilakukan untuk menilai kemampuan
dasar yang dimiliki siswa yang berkenaan dengan kekurangan, dan kelebihan,
faktor-faktor yang memungkinkan menghambat proses pembelajaran, dan
kemungkinan yang dapat dikembangankan dari siswa tersebut.
Sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik
makna (Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, 2004) antara lain yaitu :
(1) Pendidikan inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak, (2) pendidikan inklusif berarti mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar, (3) Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak kecil yang sadar (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, (4) Pendidikan Inklusif diperuntukkan utamanya bagi-anak-anak yang tergolong margnal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.
Dalam pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama
dengan anak lainnya (umumnya) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya. Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model
19
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang secara formal kemudian
ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada konferensi Dunia tentang
pendidikan berkebutuhan khusus bulan juni tahun 1994 bahwa prinsip mendasar
dari pendidikan inklusif adalah : selama memungkinkan, semua anak seyogyanya
belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang
mungkin ada pada mereka.
Melalui pendidikan inklusif anak-anak berkelainan (berkebutuhan khusus)
dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang
dmilikinya (Direktorat Jendral PLB,1995).
Dalam era pendidikan inklusif anak-anak yang berkebutuhan khusus dapat
bersekolah di sekolah reguler (SD, SMP, SMA) dan dapat pula bersekolah di
SLB. Semua tenaga kependidikan yang berkerja pada jalur pendidikan sekolah
reguler perlu memiliki pengetahuan, pemahaman, keterampilan dasar mengenai
PLB, karena mereka akan berhadapan tidak hanya dengan anak-anak pada
umumnya tetapi juga dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Tanpa memiliki
pengetahuan dan keterampilan dasar tentang PLB, tenaga kependidikan tersebut
mungkin akan bersikap negatif terhadap anak luar biasa atau anak berkebutuhan
khusus yang akan merugikan anak berkebutuhan khusus yang bersangkutan
(Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu / Inklusi, 2004 : 182-183)
Mc Conkey et al dalam Tirtamanti (2005: 25) menyatakan bahwa,
Pendidikan inklusif : (1) mengakui semua anak berhak belajar dan mereka membutuhkan dukungan dalam pembelajarannya, (2) bermaksud mengarahkan dan meminimalkan hambatan belajar, (3) adanya perluasan pendidikan formal termasuk di rumah dan masyarakat
20
dan kesempatan lainnya di luar pendidikan di sekolah, adanya perubahan sikap, perilaku, metode pembelajaran, (4) kurikulum dan lingkungan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan semua anak, (5) adanya proses dinamis yang terus-menerus berkembang berdasarkan budaya lokal dan strategi untuk menuju masyarakat yang inklusif.
Sekolah yang inklusif merupakan sekolah yang penuh dengan keberagaman
siswa bukan lagi homogenitas siswa. Berikut ini ilustrasi senuah kelas / sekolah
yang inklusif (Susi S.R., dan Didi T., dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus, 2003
: 48
Gambar 2.2 Ilustrasi sebuah kelas/ sekolah yang inklusif
4. Landasan Pendidikan Inklusif
Ada empat alasan yang harus dijadikan acuan dalam penyelenggaraan
pendidikan inkusif. Keempat landasan tersebut antara lain landasan filosofis,
landasan religi, landasan keilmuan, dan landasan yuridis.
a. Landasan Filosofis
Setiap bangsa memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri, begitu pula
halnya bagi bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang memiliki pandangan atau
21
filosofis sendiri, maka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif harus
diletakkan atas dasar pandangan hidup atau filosofi bangsa indonesia sendiri.
Filosofi Bhineka Tunggal Ika meyakini bahwa di dalam diri manusia
bersemayam potensi yang bila dikembangkan melalui pendidikan yang baik dan
benar dapat berkembang hingga hampir tak terbatas. Bertolak dari perbedaan
antar manusia, filosofi ini meyakini adanya potensi unggul yang tersembunyi
dalam diri individu apabila dikembangkan secara optimal dan terintegrasi dengan
semua potensi kemanusiaan lainnya dapat menghasilkan suatu kinerja
profesional.
Tugas pendidikan adalah menemukan dan mengenali potensi unggul yang
tersembunyi yang terdapat dalam diri setiap individu peserta didik untuk
dikembangkan hingga derajat yang optimal sebagai bekal manusia beribadah
kepada Tuhan. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar
untuk memberdayakan semua potensi kemanusiaan yang mencakup potensi fisik,
kognitif, afektif, dan intuitif secara optimal dan terintegrasi. Keunggulan dan
kekurangan adalah suatu bentuk kebhinekaan seperti halnya ras, suku, agama,
latar budaya, dan sebgainya. Di dalam indiviu dengan segala keterbatasan dan
kelebihan, dimana yang memiliki keterbatasan sering bersemayan keunggulan,
dan di dalam diri individu yang memiliki keunggulan sering bersemayam
keterbatasan. Dengan demikian keunggulan dan keterbatasan tidak dapat
dijadikan sebagai alasan untuk memisahkan peserta didik yang memiliki
keterbatasan atau keunggulan dari pergaulannya dengan peserta didik lainnya,
22
karena pergaulan antara mereka akan memungkinkan terjadinya saling belajar
tentang perilaku dan pengalaman.
b. Landasan Religi
Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan tidak dapat
dilepaskan kaitannya dengan agama. Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa
hakikat manusia adalah makhluk yang satu sama lain berbeda (individual
differences). Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain dengan maksud
agar dapat saling berhubungan dalam rangaka saling membutuhkan (QS. Al-
Hujurat, 49:13). Adanya siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus
pada hakikatnya adalah manifestasi dari hakikat manusia sebagai individual
differences tersebut. Interaksi manusia harus dikaitkan dengan upaya pembuatan
kebajikan. Ada dua jenis interaksi antar manusia, yatu kooperatif dan kompetitif
(QS. Al-Maidah, 5 : 2 dan 48). Begitu pula dengan pendidikan, yang juga harus
menggunakan keduanya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan
pembelajaran.
Bertolak dari ayat-ayat Al-Quran yang telah diutarakan, menunjukkan bahwa
ada kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat manusia.
Keduanya merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki ; filsafat menggunakan
nalar belaka sedangkan agama menggunakan wahyu. Keduanya akan bertemu
karena sumber kebenaran hakiki hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Landasan filosofi dan religi akan bertemu untuk selanjutnya dapat menjadi
landasan dalam pemanfataan hasil-hasil penelitian sebagai produk kegiatan
keilmuan, termasuk di dalamnya untuk penyelenggaraan pendidikan.
23
c. Landasan Keilmuan
Pendidikan adalah ilmu terapan, sehingga meskipun ia merupakan ilmu yang
berdiri sendiri (indefendent) tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan ilmu-ilmu
lain yang terkait. Oleh karena itu jika terjadi kekeliruan dalam penyelenggaraan
pendidikan, ilmuwan akan merujuk teori ilmu-ilmu yang mendasarinya dan ilmu
terapan lain yang terkait.
Dalam kaitannya dengan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan
inklusif, bangsa Indonesia belum memiliki pengetahuan yang cukup, bahkan baru
akan memulainya. Proses persiapan personalia kependidikan secara tepat
merupakan faktor kunci dalam mempercepat kemajuan kearah terselenggaranya
sekolah-sekolah inklusif.
d. Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hierarki dari undang-undang dasar, undang-undang,
peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan daerah, kebijakan
direktur, hingga peraturan sekolah. Juga melibatkan kesepakatan-kesepakatan
internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam kesepakatan UNESCO
di Salamanca, Spanyol pada tahun 1994 telah ditetapkan agar pendidikan di
seluruh dunia dilaksanakan inklusif. Dalam kesepakatan tersebut juga dinyatakan
bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (education for all), tidak peduli orang
itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan juga tidak
membedakan ras, warna kulit, suku, agama. Pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus sedapat mungkin di integrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan
24
dalam bentuk segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan
untuk keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak
berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata dengan
anak-anak lain pada umumnya.
Inisiatif Direktur PLB untuk memulai pelaksanaan pendidikan inklusif pada
tahun 2001 merupakan suatu tindakan yang berani untuk melakukan perubahan
demi kebaikan, namun implementasinya blum teruji.
B. Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus
Hakikat anak berebutuhan khusus terdiri dari kajian teoritis mengenai
pengertian anak berkebutuhan khusus (ABK) dan klasifikasi anak berkebutuhan
khusus.
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah dan konsep anak dengan kebutuhan khusus berkembang dalam
paradigma baru pendidikan yaitu dalam pendidikan inklusif. Istilah ABK bukan
berarti menggantikan istilah penyandang cacat atau anak luar biasa, tetapi
memiliki cara pandang yang lebih luas dan positif terhadap anak didik atau anak-
anak yang memiliki kebutuhan yang beragam, kebutuhan yang dimaksud dalam
hal ini adalah kebutuhan yang ada kaitannya dengan pendidikan (Sunanto dalam
Hidayat, D.S. 2005 : 28).
Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus
secara sementara ataupun permanen dan atau kecacatan, sehingga membutuhkan
penyesuaian layanan pendidikan (Astati dalam Hidayat, D.S: 2005). Kebutuhan
25
mungkin disebabkan kelainan secara bawaan atau dimiliki kemudian, masalah
ekonomi, kondisi sosial dan emosi, politik dan bencana alam.
Konsep ABK memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan
konsep anak luar biasa (ALB). Dalam paradigma kebutuhan khusus keberagaman
anaka sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan
perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh karena itu setiap anak dimungkinkan
akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda pula,
sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang
disesuaikan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.
Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang
memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan
kebutuhan masing-masing anak secara individual.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus memiliki jumlah yang besar
bahkan jumlahnya diluar dugaan. Walaupun demikian, secara mayoritas anak-
anak tersebut memiliki hambatan yang tidak parah yang tidak terdiagnosa atau
bahkan tidak terdeteksi dengan kasat mata.
Dalam pendidikan inklusif setiap anak dipandang memiliki karakter dan
kebutuhan khusus, baik kebutuhan yang bersifat permanen atau pun yang bersifat
temporer. Kebutuhan permanen adalah kebutuhan yang menetap dan terus-
menerus ada dan tidak akan hilang, sedangkan kebutuhan yang bersifat temporer
maksudnya adalah kebutuhan yang bersifat sementara.
26
2. Klasifikasi Anak berkebutuhan Khusus
Konsep anak berkebutuhan khusus ini dapat dikategorikan menjadi dua
kelompok besar yaitu anak berkebtuhan khusus yang bersifat sementara
(temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen).
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah
anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan
faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang mengalami gangguan emosi karena
trauma akibat diperkosa sehingga anak ini tidak dapat belajar.
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen) adalah
anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang
bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak
yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gangguan perkembagnan
kecerdasan dan kognisi, gangguan gerak (motorik), gangguan interaksi-
komunikasi, gangguan emosi, sosial dan tingkah laku.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata
lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup
spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khussu temporer dan
permanen. Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu
harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang
cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus itu sendiri.
Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan
27
kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan
pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
Tiap ABK baik permanen maupun temporer memiliki hambatan belajar
dan kebutuhan yang berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1)
lingkungan, (2) dalam diri anak sendiri, (3) kombinasi antara faktor lingkungan
dan faktor dari dalam diri anak. Oleh karena itu layanan pendidikan didasarkan
atas hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.
Dalam penelitian yang dilakukan di SD 9 Mutiara ini, terdapat beberapa
anak berkebutuhan khusus yang mendapatkan layanan pendidikan khusus di
sekolah ini.
a. Anak autistik
Anak autistik merupakan anak berkebutuhan khusus yang mengalami
gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang
untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain. (Abdul Hadis, 2006).
b. Anak berkesulitan belajar
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan
dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan
mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan
dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga
disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan
belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu
(misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan sosial dan emosional) atau
28
pengaruh lingkungan (misalnya perbedayaan budaya, pembelajaran yang tidak
tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau
pengaruh langsung. (Hammill et all. dalam Mulyono, 2003)
c. Anak dengan gangguan emosi
Gangguan emosional diartikan sebagai suatu ketidakmampuan belajar yang
tidak dijelaskan oleh faktor kesehatan, intelektual, dan sensorik. Gangguan
emosional juga dapat diartikan sebagai suatu ketidakmampuan yang dimiliki oleh
seseorang dalam membangun dan memelihara hubungan yang memuaskan dengan
teman sebagaya dan guru. Suatu keadaan jiwa yang tidak bahagia dan depresi dan
suatu ketidaktepatan tipe eprilaku atau perasaan pada kondisi sekitar yang normal
juga merupakan definisi dari gangguan emosional. Selain itu, gangguan emosional
juga dapat didefinisikan sebagai suatu kecenderungan berkembangnya simptom
fisik atau ketakutan yang dihubungkan dengan masalah personal atau masalah
sekolah. (Abdul Hadis, 2006)
d. Anak retardasi mental
Kelompok anak yang mengalami keterbelakangan mental atau disebut juga
retardasi mental didefinisikan sebagai kelompok anak yang memiliki fungsi
intelektual umum di bawah rata-rata secara signifikan yang berkaitan dengan
gangguan dalam penyesuaian perilaku yang terwujud atau terjadi selama periode
perkembangan. (Abdul Hadis, 2006)
29
e. Anak dengan hambatan konsentrasi
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau Hiperaktif adalah
gangguan tingkah laku yang tidak normal, disebabkan disfungsi otak dengan gejala
utama tidak mampu memusatkan perhatian.
Mif Baihaqi dan M. Sugiarmin dalam makalah Ifa Safira Mustikadara juga
menyatakan bahwa ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) merupakan
salah satu kelainan perkembangan otak yang disebabkan oleh adanya cedera otak.
Gejala-gejalanya ditunjukkan dengan adanya kekurangan dalam rentang konsentrasi
yang disertai dengan kegiatan fisik yang berlebihan. Anak-anak yang menderita
ADHD mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi. Hal ini menyebabkan mereka sulit
memperhatikan hal-hal dalam jangka waktu lama dan akhirnya mengakibatkan
kurangnya prestasi akademis mereka.