sdlb

22
8 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Hakikat Pendidikan Inklusif 1. Sejarah Pendidikan Inklusif Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dari waktu ke waktu terus mengalami evolusi. Perubahan tersebut terjadi dengan terus berkembanganya pendidikan dan meningkatnya kesadaran akan pendidikan. Demikian juga dengan pendidikan anak berkebutuhan khusus, satu persatu masyarakat mulai merubah cara pandangnya terhadap pelayanan pendidikan bagi mereka, meskipun hal tersebut tidak bisa berjalan secara serentak. Seperti yang dikemukakan oleh Skjorten (2003) dan Foreman (2001), bahwa terjadi gradasi pemikiran yang berhubungan dengan perkembangan pendidikan kebutuhan khusus. Adapun gradasi perkembangan pemikiran terhadap pendidikan kebutuhan khusus adalah : pemikiran segregratif, pemikiran integratif, pemikiran inklusif. Konsep dari pemikiran segregratif ditandai dengan pemisahan layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus dengan anak pada umumnya. Pada pemikiran integrasi terjadi perkembangan pemikiran bahwa anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama anak pada umumnya dengan suatu penekanan bahwa anak berkebutuhan khusus tersebut telah dipersiapkan terlebih dahulu dalam sekolah khusus dan ditempatkan sesuai dengan pengetahuannya bukan pada usianya.

description

sd lb

Transcript of sdlb

  • 8

    BAB II

    LANDASAN TEORITIS

    A. Hakikat Pendidikan Inklusif

    1. Sejarah Pendidikan Inklusif

    Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dari waktu ke waktu terus

    mengalami evolusi. Perubahan tersebut terjadi dengan terus berkembanganya

    pendidikan dan meningkatnya kesadaran akan pendidikan. Demikian juga dengan

    pendidikan anak berkebutuhan khusus, satu persatu masyarakat mulai merubah

    cara pandangnya terhadap pelayanan pendidikan bagi mereka, meskipun hal

    tersebut tidak bisa berjalan secara serentak. Seperti yang dikemukakan oleh

    Skjorten (2003) dan Foreman (2001), bahwa terjadi gradasi pemikiran yang

    berhubungan dengan perkembangan pendidikan kebutuhan khusus. Adapun

    gradasi perkembangan pemikiran terhadap pendidikan kebutuhan khusus adalah :

    pemikiran segregratif, pemikiran integratif, pemikiran inklusif. Konsep dari

    pemikiran segregratif ditandai dengan pemisahan layanan pendidikan anak

    berkebutuhan khusus dengan anak pada umumnya. Pada pemikiran integrasi

    terjadi perkembangan pemikiran bahwa anak berkebutuhan khusus dapat belajar

    bersama anak pada umumnya dengan suatu penekanan bahwa anak berkebutuhan

    khusus tersebut telah dipersiapkan terlebih dahulu dalam sekolah khusus dan

    ditempatkan sesuai dengan pengetahuannya bukan pada usianya.

  • 9

    Berikut ini ilustrasi gambar mengenai perkembangan konsep pemikiran

    pendidikan bagi individu berkebutuhan khusus (Taboer, 2005: 17)

    Lingkungan pada umumnya Individu berkebutuhan khusus

    Konsep inklusi

    Konsep integrasi

    Konsep segregrasi

    Gambar 2.1. Perkembangan Konsep Pemikiran Bagi Individu

    Kebutuhan Khusus

    Anak dengan kebutuhan khusus memiliki kemungkinan lebih besar dibanding

    anak-anak lainnya untuk tidak sekolah, atau keluar dari sekolah, atau keluar

    masuk sekolah. Hal tersebut disebabkan karena selama ini pendidikan yang

    disediakan sebagian besar belum dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan

    mereka atau dengan kata lain hanya menyediakan layanan untuk anak-anak pada

    umumnya. Sekolah yang menyelenggarakan layanan pendidikan untuk anak

    berkebutuhan khusus masih sedikit.

    Kini mulai diperkenalkan istilah inklusi diamggap sebagai suatu alternatif

    penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sebagai jawaban

    tuntutan akan semboyan pendidikan untuk semua.

  • 10

    Pendidikan untuk semua menjadi awal pemikiran untuk menjalankan sebuah

    pendidikan yang tidak bersifat diskriminatif terhadap siapa pun, termasuk ABK.

    Dengan adanya konsep pendidikan untuk semua ini menimbulkan reformasi

    kurikulum pendidikan dari yang selama ini dijalankan. Menurut APEID (Asia and

    the Pasifik Programme of Educational Inovation for Development) bahwa dalam

    reformasi kurikulum menunjuk pada perubahan-perubahan, dalam hal ini yaitu

    llandasan filosofis dan pendekatan kurikulum sekolah, seperti yang dikemukakan

    John Naisbit dan Patricia Abundance dalam Pedoman Penyelenggaraan

    Pendidikan Terpadu/Inklusi (2004:195-196), yang mengemukakan bahwa

    Reformasi kurikulum yang disebabkan oleh adanya perubahan paradigma pendidikan untuk semua (EFA) menunjuk pada perubahan-perubahan dalam ini, landasan filosofi dan pendekatan kurikulum sekolah tersebut disebabkan oleh sepuluh hal : pendidikan untuk semua, relevansi kurikulum terhadap inidividu dan masyarakat, pengembangan ketepatan nilai dan sikap, pengembangan proses, berkenaan dengan mempertemukan kebutuhan dengan seluruh individu, memaksimumkan perkembangan potensi setiap anak secara penuh terlepas dari status sosial dan ekonomi mereka, proses belajar mengajar yang berorientasi pada siswa, belajar tuntas (mastery learning), evaluasi kinerja yang holistik, dan menanggulangi atau menguasai dan/atau mengelola perubahan.

    Pendidikan untuk semua (EFA) merujuk pada reformasi kurikulum yang

    berupaya mengakomodasikan kenyataan bahwa siswa-siswa sekolah memilki

    karakteristik yang heterogen. Selain itu merujuk pada perlunya materi pelajaran

    yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa secara individual dan kebutuhan

    masyarakat.

    Menurut sebuah artikel yang dimuat oleh Media Bawean, terdapat tiga juta

    anak yang tidak sekolah membutuhkan pendidikan layanan khusus. Pendidikan

  • 11

    inklusif adalah strategi kunci untuk menangani anak-anak tersebut. Prinsip dasar

    pendidikan inklusif adalah bahwa semua anak harus memperoleh kesempatan

    untuk bersama-sama belajar dan terakomodir kebutuhan-kebutuhannya tanpa ada

    diskriminasi apapun yang mendasarinya. Hal ini berarti bahwa sekolah

    reguler/umum harus diperlengkapi untuk dapat melihat dan memenuhi kebutuhan-

    kebutuhan siswa yang heterogen, termasuk mereka yang secara tradsional telah

    tersingkirkan, baik dari akses ke sekolah peran serta yang ada di sekolah.

    Sebagai upaya mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua,

    termasuk di dalamnya ABK, maka dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 ayat

    1 Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5

    dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama

    memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus

    pun berhak memperoleh kesempatan yang sama seperti anak-anak lain pada

    umumnya dalam hal pendidikan. Sementara dalam Undang-undang Nomor 20

    tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan alternatif lain dalam

    penyediaan pendidikan bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus, yang selama

    ini masih adanya diskriminasi dan pemisahan antara pendidikan bagi ABK dengan

    pendidikan bagi anak-anak pada umumnya. Dalam pasal 15 dijelaskan tentang

    pendidikan khusus, yang disebutkan bahwa :

    Pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

  • 12

    Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi

    anak berkebutuhan khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara

    operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan

    khusus dan Pendidikan layanan khusus.

    Kecenderungan penyelenggaraan pendidikan inklusif bermula dari

    ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan layanan pendidikan segregatif, yang

    menyebabkan anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus

    mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat pada

    umumnya, meskipunmereka telah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang

    memadai untuk hidup layak di masyarakat. Kecenderungan pendidikan inklusif

    juga dipicu oleh terjadinya perubahan pandangan masyarakat terhadap anak-anak

    berkebutuhan khusus yang tumbuh menjadi pribadi yang mampu berprestasi, tidak

    hanya untuk mengurus diri sendiri tetapi juga mampu berprestasi pada tingkat

    nasional maupun internasional. Hasil-hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

    anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus dapat berkembang

    dengan baik dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif.

    Dalam era pendidikan inklusif sekolah dikelola secara khas yang sangat

    menekankan terciptanya suasana kooperatif. Sikap kooperatif tersebut harus

    dimiliki oleh semua tenaga kependidikan.

    2. Pengertian Pendidikan Inklusif

    Adapun yang dimaksud PLB adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi

    anak-anak luar biasa atau berkelainan, baik dikarunia keunggulan (gifted &

  • 13

    talented) ataupun berkelainan karena adanya hambatan fisik, sensorik, motorik,

    intelektual, emosi, dan/atau sosial. Dalam pendidikan inklusif, pelabelan atau

    pengkategorian siswa menjadi kelompok normal dan berkelainan yang

    diberlakukan pada sistem segegratif ditiadakan. Pengkategorian dianggap sebagai

    penyebab pelabelan yang berdampak pada munculnya rendah diri siswa

    berkebutuhan khusus. Hal tersebut sangat bertentangan dengan konsep pendidikan

    inklusif, yang menekankan kesetaraan.

    Ada beragam pendapat mengenai pengertian inklusif ini. Antara lain yang

    dikemukakan oleh Ditjen PLB dalam Mengenal Pendidikan Inklusif (2005), yang

    mengemukakan bahwa :

    Sekolah Inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu sekolah inklusi merupakan tempat setiap anak diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun dengan anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.

    Sementara Ditjen PLB dalam Mengenal Pendidikan Inklusif (2005)

    mengemukakan bahwa :

    Pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagimanapun gradasinya.

    Ditjen PLB dalam Mengenal Pendidikan Inklusif (2005) menyatakan bahwa :

    Pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama teman seusianya. Oleh karena

  • 14

    itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orangtua, dan masyarakat.

    Pendidikan inklusif terfokus pada setiap kelebihan yang dibawa anak ke

    sekolah daripada kekurangan mereka yang terlihat dan secara khusus melihat pada

    bidang mana anak-anak dapat mengambil bagian untuk berpartisipasi dalam

    kehidupan normal masyarakat atau sekolah, atau memperlihatkan apakah mereka

    memiliki hambatan fisik dan sosial karena lingkungan. Seperti yang dijelaskan di

    dalam buku Kebijakan dan Pengembangan Program Pendidikan Luar Biasa yang

    dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2005),

    Inklusif adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak yang sebayanya di sekolah umum, dan pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana yang inklusif.

    Dengan bahasa yang sederhana inklusif menginginkan siswa berkebutuhan khusus

    belajar bersama dan bersatu dengan siswa lain pada umumnya.

    Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah dan pendidik harus

    mengakomodasi dan bersikap tanggap terhadap peserta didik secara individual.

    Inklusifitas ini menguntungkan sekolah, guru-guru, dan seluruh pelajar. Prinsip ini

    mengakui bahwa sekolah adalah komunitas pembelajar, pendidikan sebagai tujuan

    seumur hidup, dan sasaran akhir tercapainya warga negara yang sehat dan

    produktif yang secara penuh ikut memberikan sumbangsih pada kehidupan

    ekonomi, sosial, dan budaya bangsa, masyarakat, dan keluarga.

  • 15

    Pendidikan inklusif bukan hanya suatu bentuk teknologi pendidikan, namun

    merupakan suatu filosofi dan system, sebagai suatu bentuk cara pandang terhadap

    hakikat manusia yang diimplementasikan dalam suatu penyelenggaraan

    pendidikan. Bertolak dari pandangan semacam itu, maka pendidikan inkusif tidak

    memaksa anak-anak yang memang tidak memungkinkan untuk dipersatukan

    dalam satu sistem pendidikan bersama anak-anak lain pada umumnya dalam satu

    sekolah dengan alasan yang tidak terkait dengan hal yang bersifat ideologis atau

    filosofis. Meskipun demikian sekolah khusus (SLB) juga harus dijiwai prinsip-

    prinsip inklusif.

    3. Karakteristik Pendidikan Inklusif

    Proses pelaksanaan pendidikan inklusif memerlukan penyesuaian dan

    fleksibelitas di berbagai bidang, diantaranya :

    a. Kurikulum yang Fleksibel

    Penyesuaian kurikulum dalam rangaka implementasi pendidikan inklusif

    pertama-tama yang harus lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan siswa

    daripada materi yang harus dikuasai oleh siswa. Pendidikan inklusif menuntut

    pula penyesuaian kurikulum dalam hal waktu penguasaan terhadap sejumlah

    bahan pengajaran. Artinya kecepatan siswa untuk menguasai suatu pelajaran tidak

    harus sama, dan disesuaikan dengan kemampuan siswa masing-masing secara

    individu. Kurkulum yang fleksibel akan memerankan anak berkebutuhan khusus

    dapat belajar bersama-sama dengan peserta didik lainnya. Perumusan kurikulum

    yang fleksibel pihak sekolah tidak bisa berjalan sendiri, melainkan mengajak

  • 16

    kerjasama bersama orangtua siswa. Ia akan telibat dalam kegiatan belajar

    mengajar, baik mengenai program kerja, tujuan, isi, strategi, metoda

    pembelajaran, organisasi kelas, asessmen, evaluasi, komunikasi, dan

    pembiayaannya. Sehingga peserta didik dapat terlayani sesuai dengan kemampuan

    dan kebutuhannya.

    b. Pendekatan pembelajaran yang fleksibel

    Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif implikasinya

    bahwa pendekatan dalam kegiatan pembelajaran yang fleksibel hendaknya guru

    menggunakan berbagai metoda sehingga mendorong penggunaan berbagai sarana,

    dan bahan pembelajaran atau multi media. Kegiatan pembelajaran yang fleksibel

    itu harus pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).

    Dalam hal ini guru berperan sekali untuk menciptakan lingkungan yang menarik,

    dan menyenangkan bagi semua siswa. Lingkungan belajar tersebut dapat

    meningkatkan keaktifan siswa, dan keefektifan belajar. Jadi kelas yang inklusif

    dapat diartikan sebagai suatu tempat yang menyenangkan, dan merangsang siswa

    untuk belajar.

    c. Sistem Evaluasi yang Fleksibel

    Dalam seting pendidikan inklusif, sistem penilaian yang diharapkan di sekolah

    yaitu sistem penilaian yang fleksibel. Penilaian yang disesuaikan dengan

    kompetensi semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Penilaian yang

    fleksibel mempunyai dua model, yaitu dengan tes yang datanya bisa kuantitatif,

    dan kualitatif, salah satu cotohnya yaitu fortofolio. Penerimaan siswa tanpa tes

  • 17

    serta ujian dilakukan secara lokal bagi tingkat dasar dengan model sistem

    kenaikan otomatis. Dengan demikian, peluang ini bisa dimanfaatkan untuk

    menuju pelaksanaan pembelajaran yang ramah bagi semua anak. Penilaian yang

    baik hendaknya memperhatikan kondisi, dan perbedaan-perbedaan individual

    (Dinas Pendidikan Provinsi Jabar, 2007:vi).Dewasa ini, inklusi merupakan salah

    satu bentuk layanan pendidikan bagi ABK yang dianggap paling ideal untuk

    dilaksanakan sesuai dengan pernyataan Salamanca. Di sekolah inklusif para siswa

    memiliki kemampuan dan kebutuhan yang beragam (heterogen), karena siswanya

    terdiri dari siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus. Artinya terdapat

    keberagaman di dalamnya baik dari segi karakteristik, kebutuhan, maupun

    layanan yang harus diberikan kepada masing-masing siswa.

    d. Proses pembelajaran yang ramah

    Proses pembelajaran yang ramah itu esensinya pada seoran guru yang

    memahami setiap siswanya sebgai individu yang memiliki keunikan, kemampuan,

    minat, kebutuhan, dan karakteristik yang berbeda-beda, pemahaman tersebut

    sangat penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

    Kompetensi dan materi pembelajaran disesuakan dengan potensi atau

    kebutuhan individu yang bersangkutan. Lingkungan pembelajaran yang ramah

    ialah ramah kepada anak dan guru. Maksudnya adalah anak dan guru belajar

    bersama sebagai suatu komunitas belajar, menempatkan anak sebagai pusat

    pembelajaran, mendorong partisipasi aktif anak dalam belajar, dan guru memiliki

    minat untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik. Guru pun perlu

  • 18

    mengetahui bagaimana cara mngajar anak dengan latar belakang, dan kemampuan

    yang beragam.

    Pembelajaran yang ramah memfokuskan pada keaktifan siswa, artinya anak

    diberi keleluasaan untuk melakukan eksplorasi, dan mendapatkan informasi

    secara mudah secara mudah serta lebih menekankan pada model kooperatif dan

    kreatif. Terlaksananya proses pembelajaran yang ramah ini didasari oleh

    pelaksanaan observasi, dan asessmen yang terncana. Observasi ini dimaksudkan

    untuk mengidentifikasi latar belakang, riwayat perkembangan, dan riwayat

    kesehatan siswa. Sedangkan asessmen perlu dilakukan untuk menilai kemampuan

    dasar yang dimiliki siswa yang berkenaan dengan kekurangan, dan kelebihan,

    faktor-faktor yang memungkinkan menghambat proses pembelajaran, dan

    kemungkinan yang dapat dikembangankan dari siswa tersebut.

    Sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik

    makna (Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, 2004) antara lain yaitu :

    (1) Pendidikan inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak, (2) pendidikan inklusif berarti mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar, (3) Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak kecil yang sadar (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, (4) Pendidikan Inklusif diperuntukkan utamanya bagi-anak-anak yang tergolong margnal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

    Dalam pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama

    dengan anak lainnya (umumnya) untuk mengoptimalkan potensi yang

    dimilikinya. Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model

  • 19

    pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang secara formal kemudian

    ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada konferensi Dunia tentang

    pendidikan berkebutuhan khusus bulan juni tahun 1994 bahwa prinsip mendasar

    dari pendidikan inklusif adalah : selama memungkinkan, semua anak seyogyanya

    belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang

    mungkin ada pada mereka.

    Melalui pendidikan inklusif anak-anak berkelainan (berkebutuhan khusus)

    dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang

    dmilikinya (Direktorat Jendral PLB,1995).

    Dalam era pendidikan inklusif anak-anak yang berkebutuhan khusus dapat

    bersekolah di sekolah reguler (SD, SMP, SMA) dan dapat pula bersekolah di

    SLB. Semua tenaga kependidikan yang berkerja pada jalur pendidikan sekolah

    reguler perlu memiliki pengetahuan, pemahaman, keterampilan dasar mengenai

    PLB, karena mereka akan berhadapan tidak hanya dengan anak-anak pada

    umumnya tetapi juga dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Tanpa memiliki

    pengetahuan dan keterampilan dasar tentang PLB, tenaga kependidikan tersebut

    mungkin akan bersikap negatif terhadap anak luar biasa atau anak berkebutuhan

    khusus yang akan merugikan anak berkebutuhan khusus yang bersangkutan

    (Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu / Inklusi, 2004 : 182-183)

    Mc Conkey et al dalam Tirtamanti (2005: 25) menyatakan bahwa,

    Pendidikan inklusif : (1) mengakui semua anak berhak belajar dan mereka membutuhkan dukungan dalam pembelajarannya, (2) bermaksud mengarahkan dan meminimalkan hambatan belajar, (3) adanya perluasan pendidikan formal termasuk di rumah dan masyarakat

  • 20

    dan kesempatan lainnya di luar pendidikan di sekolah, adanya perubahan sikap, perilaku, metode pembelajaran, (4) kurikulum dan lingkungan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan semua anak, (5) adanya proses dinamis yang terus-menerus berkembang berdasarkan budaya lokal dan strategi untuk menuju masyarakat yang inklusif.

    Sekolah yang inklusif merupakan sekolah yang penuh dengan keberagaman

    siswa bukan lagi homogenitas siswa. Berikut ini ilustrasi senuah kelas / sekolah

    yang inklusif (Susi S.R., dan Didi T., dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus, 2003

    : 48

    Gambar 2.2 Ilustrasi sebuah kelas/ sekolah yang inklusif

    4. Landasan Pendidikan Inklusif

    Ada empat alasan yang harus dijadikan acuan dalam penyelenggaraan

    pendidikan inkusif. Keempat landasan tersebut antara lain landasan filosofis,

    landasan religi, landasan keilmuan, dan landasan yuridis.

    a. Landasan Filosofis

    Setiap bangsa memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri, begitu pula

    halnya bagi bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang memiliki pandangan atau

  • 21

    filosofis sendiri, maka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif harus

    diletakkan atas dasar pandangan hidup atau filosofi bangsa indonesia sendiri.

    Filosofi Bhineka Tunggal Ika meyakini bahwa di dalam diri manusia

    bersemayam potensi yang bila dikembangkan melalui pendidikan yang baik dan

    benar dapat berkembang hingga hampir tak terbatas. Bertolak dari perbedaan

    antar manusia, filosofi ini meyakini adanya potensi unggul yang tersembunyi

    dalam diri individu apabila dikembangkan secara optimal dan terintegrasi dengan

    semua potensi kemanusiaan lainnya dapat menghasilkan suatu kinerja

    profesional.

    Tugas pendidikan adalah menemukan dan mengenali potensi unggul yang

    tersembunyi yang terdapat dalam diri setiap individu peserta didik untuk

    dikembangkan hingga derajat yang optimal sebagai bekal manusia beribadah

    kepada Tuhan. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar

    untuk memberdayakan semua potensi kemanusiaan yang mencakup potensi fisik,

    kognitif, afektif, dan intuitif secara optimal dan terintegrasi. Keunggulan dan

    kekurangan adalah suatu bentuk kebhinekaan seperti halnya ras, suku, agama,

    latar budaya, dan sebgainya. Di dalam indiviu dengan segala keterbatasan dan

    kelebihan, dimana yang memiliki keterbatasan sering bersemayan keunggulan,

    dan di dalam diri individu yang memiliki keunggulan sering bersemayam

    keterbatasan. Dengan demikian keunggulan dan keterbatasan tidak dapat

    dijadikan sebagai alasan untuk memisahkan peserta didik yang memiliki

    keterbatasan atau keunggulan dari pergaulannya dengan peserta didik lainnya,

  • 22

    karena pergaulan antara mereka akan memungkinkan terjadinya saling belajar

    tentang perilaku dan pengalaman.

    b. Landasan Religi

    Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan tidak dapat

    dilepaskan kaitannya dengan agama. Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa

    hakikat manusia adalah makhluk yang satu sama lain berbeda (individual

    differences). Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain dengan maksud

    agar dapat saling berhubungan dalam rangaka saling membutuhkan (QS. Al-

    Hujurat, 49:13). Adanya siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus

    pada hakikatnya adalah manifestasi dari hakikat manusia sebagai individual

    differences tersebut. Interaksi manusia harus dikaitkan dengan upaya pembuatan

    kebajikan. Ada dua jenis interaksi antar manusia, yatu kooperatif dan kompetitif

    (QS. Al-Maidah, 5 : 2 dan 48). Begitu pula dengan pendidikan, yang juga harus

    menggunakan keduanya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan

    pembelajaran.

    Bertolak dari ayat-ayat Al-Quran yang telah diutarakan, menunjukkan bahwa

    ada kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat manusia.

    Keduanya merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki ; filsafat menggunakan

    nalar belaka sedangkan agama menggunakan wahyu. Keduanya akan bertemu

    karena sumber kebenaran hakiki hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

    Landasan filosofi dan religi akan bertemu untuk selanjutnya dapat menjadi

    landasan dalam pemanfataan hasil-hasil penelitian sebagai produk kegiatan

    keilmuan, termasuk di dalamnya untuk penyelenggaraan pendidikan.

  • 23

    c. Landasan Keilmuan

    Pendidikan adalah ilmu terapan, sehingga meskipun ia merupakan ilmu yang

    berdiri sendiri (indefendent) tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan ilmu-ilmu

    lain yang terkait. Oleh karena itu jika terjadi kekeliruan dalam penyelenggaraan

    pendidikan, ilmuwan akan merujuk teori ilmu-ilmu yang mendasarinya dan ilmu

    terapan lain yang terkait.

    Dalam kaitannya dengan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan

    inklusif, bangsa Indonesia belum memiliki pengetahuan yang cukup, bahkan baru

    akan memulainya. Proses persiapan personalia kependidikan secara tepat

    merupakan faktor kunci dalam mempercepat kemajuan kearah terselenggaranya

    sekolah-sekolah inklusif.

    d. Landasan Yuridis

    Landasan yuridis memiliki hierarki dari undang-undang dasar, undang-undang,

    peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan daerah, kebijakan

    direktur, hingga peraturan sekolah. Juga melibatkan kesepakatan-kesepakatan

    internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam kesepakatan UNESCO

    di Salamanca, Spanyol pada tahun 1994 telah ditetapkan agar pendidikan di

    seluruh dunia dilaksanakan inklusif. Dalam kesepakatan tersebut juga dinyatakan

    bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (education for all), tidak peduli orang

    itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan juga tidak

    membedakan ras, warna kulit, suku, agama. Pendidikan bagi anak berkebutuhan

    khusus sedapat mungkin di integrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan

  • 24

    dalam bentuk segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan

    untuk keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak

    berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata dengan

    anak-anak lain pada umumnya.

    Inisiatif Direktur PLB untuk memulai pelaksanaan pendidikan inklusif pada

    tahun 2001 merupakan suatu tindakan yang berani untuk melakukan perubahan

    demi kebaikan, namun implementasinya blum teruji.

    B. Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus

    Hakikat anak berebutuhan khusus terdiri dari kajian teoritis mengenai

    pengertian anak berkebutuhan khusus (ABK) dan klasifikasi anak berkebutuhan

    khusus.

    1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

    Istilah dan konsep anak dengan kebutuhan khusus berkembang dalam

    paradigma baru pendidikan yaitu dalam pendidikan inklusif. Istilah ABK bukan

    berarti menggantikan istilah penyandang cacat atau anak luar biasa, tetapi

    memiliki cara pandang yang lebih luas dan positif terhadap anak didik atau anak-

    anak yang memiliki kebutuhan yang beragam, kebutuhan yang dimaksud dalam

    hal ini adalah kebutuhan yang ada kaitannya dengan pendidikan (Sunanto dalam

    Hidayat, D.S. 2005 : 28).

    Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus

    secara sementara ataupun permanen dan atau kecacatan, sehingga membutuhkan

    penyesuaian layanan pendidikan (Astati dalam Hidayat, D.S: 2005). Kebutuhan

  • 25

    mungkin disebabkan kelainan secara bawaan atau dimiliki kemudian, masalah

    ekonomi, kondisi sosial dan emosi, politik dan bencana alam.

    Konsep ABK memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan

    konsep anak luar biasa (ALB). Dalam paradigma kebutuhan khusus keberagaman

    anaka sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan

    perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh karena itu setiap anak dimungkinkan

    akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda pula,

    sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang

    disesuaikan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.

    Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang

    memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan

    kebutuhan masing-masing anak secara individual.

    Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus memiliki jumlah yang besar

    bahkan jumlahnya diluar dugaan. Walaupun demikian, secara mayoritas anak-

    anak tersebut memiliki hambatan yang tidak parah yang tidak terdiagnosa atau

    bahkan tidak terdeteksi dengan kasat mata.

    Dalam pendidikan inklusif setiap anak dipandang memiliki karakter dan

    kebutuhan khusus, baik kebutuhan yang bersifat permanen atau pun yang bersifat

    temporer. Kebutuhan permanen adalah kebutuhan yang menetap dan terus-

    menerus ada dan tidak akan hilang, sedangkan kebutuhan yang bersifat temporer

    maksudnya adalah kebutuhan yang bersifat sementara.

  • 26

    2. Klasifikasi Anak berkebutuhan Khusus

    Konsep anak berkebutuhan khusus ini dapat dikategorikan menjadi dua

    kelompok besar yaitu anak berkebtuhan khusus yang bersifat sementara

    (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen).

    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah

    anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan

    faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang mengalami gangguan emosi karena

    trauma akibat diperkosa sehingga anak ini tidak dapat belajar.

    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen) adalah

    anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang

    bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak

    yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gangguan perkembagnan

    kecerdasan dan kognisi, gangguan gerak (motorik), gangguan interaksi-

    komunikasi, gangguan emosi, sosial dan tingkah laku.

    Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata

    lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup

    spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khussu temporer dan

    permanen. Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu

    harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang

    cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus itu sendiri.

    Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan

  • 27

    kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan

    pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.

    Tiap ABK baik permanen maupun temporer memiliki hambatan belajar

    dan kebutuhan yang berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1)

    lingkungan, (2) dalam diri anak sendiri, (3) kombinasi antara faktor lingkungan

    dan faktor dari dalam diri anak. Oleh karena itu layanan pendidikan didasarkan

    atas hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.

    Dalam penelitian yang dilakukan di SD 9 Mutiara ini, terdapat beberapa

    anak berkebutuhan khusus yang mendapatkan layanan pendidikan khusus di

    sekolah ini.

    a. Anak autistik

    Anak autistik merupakan anak berkebutuhan khusus yang mengalami

    gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang

    untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain. (Abdul Hadis, 2006).

    b. Anak berkesulitan belajar

    Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan

    dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan

    mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan

    dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga

    disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan

    belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu

    (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan sosial dan emosional) atau

  • 28

    pengaruh lingkungan (misalnya perbedayaan budaya, pembelajaran yang tidak

    tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau

    pengaruh langsung. (Hammill et all. dalam Mulyono, 2003)

    c. Anak dengan gangguan emosi

    Gangguan emosional diartikan sebagai suatu ketidakmampuan belajar yang

    tidak dijelaskan oleh faktor kesehatan, intelektual, dan sensorik. Gangguan

    emosional juga dapat diartikan sebagai suatu ketidakmampuan yang dimiliki oleh

    seseorang dalam membangun dan memelihara hubungan yang memuaskan dengan

    teman sebagaya dan guru. Suatu keadaan jiwa yang tidak bahagia dan depresi dan

    suatu ketidaktepatan tipe eprilaku atau perasaan pada kondisi sekitar yang normal

    juga merupakan definisi dari gangguan emosional. Selain itu, gangguan emosional

    juga dapat didefinisikan sebagai suatu kecenderungan berkembangnya simptom

    fisik atau ketakutan yang dihubungkan dengan masalah personal atau masalah

    sekolah. (Abdul Hadis, 2006)

    d. Anak retardasi mental

    Kelompok anak yang mengalami keterbelakangan mental atau disebut juga

    retardasi mental didefinisikan sebagai kelompok anak yang memiliki fungsi

    intelektual umum di bawah rata-rata secara signifikan yang berkaitan dengan

    gangguan dalam penyesuaian perilaku yang terwujud atau terjadi selama periode

    perkembangan. (Abdul Hadis, 2006)

  • 29

    e. Anak dengan hambatan konsentrasi

    ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau Hiperaktif adalah

    gangguan tingkah laku yang tidak normal, disebabkan disfungsi otak dengan gejala

    utama tidak mampu memusatkan perhatian.

    Mif Baihaqi dan M. Sugiarmin dalam makalah Ifa Safira Mustikadara juga

    menyatakan bahwa ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) merupakan

    salah satu kelainan perkembangan otak yang disebabkan oleh adanya cedera otak.

    Gejala-gejalanya ditunjukkan dengan adanya kekurangan dalam rentang konsentrasi

    yang disertai dengan kegiatan fisik yang berlebihan. Anak-anak yang menderita

    ADHD mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi. Hal ini menyebabkan mereka sulit

    memperhatikan hal-hal dalam jangka waktu lama dan akhirnya mengakibatkan

    kurangnya prestasi akademis mereka.