revitalisasi kelembagaan dan penguatan kapasitas pranata sosial

Post on 26-Nov-2015

89 views 6 download

description

Materi pra disertasi pak aslan

Transcript of revitalisasi kelembagaan dan penguatan kapasitas pranata sosial

REVITALISASI KELEMBAGAAN DAN PENGUATAN KAPASITAS

PRANATA SOSIAL (Sebuah Studi Socio-Antropologi Pada

Kelompok Sosial Ekonomi Di Kabupaten Kolaka Utara)

OlehPeribadi

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALUOLEO

2012/2013

Pergeseran nilai-nilai budaya dan organisasi-organisasi sosial pedesaan hampir luput dari

perhatian seluruh pihak, dan bahkan tenggelam di balik berita sukses lompatan kuantitatif (quantum

jump) selama program “Revolusi Hijau” dicanangkan ketika itu.

(1332 – 1350 M)

Pertama,

Keberadaan kelembagaan sosial pendesaan merupakan mutiara dan benteng terakhir di tengah masyarakat kontemporer

LATAR PEMIKIRAN

Meskipun secara fisik-material tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi yang mengagumkan di tingkat pedesaan. Apalagi menurut Amalauddin (1987)

bahwa struktur dan kelembagaan sosial masyarakat masih cukup memiliki kekuatan membendung terjadinya

polarisasi, startifikasi dan kesenjangan.

(1469 – 1559)Namun Faktanya…. kemiskinan dan individualistis sebagai akibat dari menipisnya kohesivitas kian marak dan massif.

Kedua,

(1789-1857)

Pilihan kebijaksanaan dalam konteks pembangunan pertanian yang selama ini dikembangkan tampak secara langsung

dan tidak langsung, atau sengaja dan tidak disengaja masih sangat sedikit

sekali mempertimbangkan aspek kelembagaan pedesaan.

Ketiga,

Perubahan tindakan petani tampak paralel dengan kelumpuhan indigenous

institutions sebagai social capital yang menjadi mutiara kehidupan

masyarakat pedesaan selama ini, sesungguhnya

tidak hanya berdampak dekulturatif yang pada

gilirannya mendekonstruksi sistem

sosial pedesaan.

Keempat,

Akan tetapi, memberi peluang tumbuh dan

berkembangnya gejolak “eksploitasi kapitalisme agraris” oleh oknum “pelaku

kapitalisme domestik” yang datang dari

berbagai kalangan kaum elite melalui

proses “perbanditan sosial agraris” (Scott,

1984, Rajagukguk, 1995, Darman, 1996;

Tjondronegoro, 1999).

Sambungan Keempat

Kelima

Herbert Spencer

Dalam upaya mengantisipasi atas prediksi bakal lost

generation akibat dari krisis pangan yang

menyebabkan gizi buruk serta rendahnya kualitas SDM, maka keberadaan lembaga-lembaga lokal

seperti di antaranya lumbung desa dan lumbung pangan

Adalah sangat dibutuhkan untuk menata tindakan berpola

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari serta mesin kelembagaan sosial tersebut dapat berfungsi maksimal dalam upaya

meningkatkan ketahanan pangan dengan berbagai

permasalahannya dewasa ini.

Sambungan Kelima

Keenam, jika nafsu kapital domestik serta

perilaku “petani berdasi dan petani liar” tersebut tidak segera

diantisipasi sedini mungkin melalui

proses revitalisasi kelembagaan sosial

pedesaan.

Maka pada gilirannya, selain mengancam kondisi

ekosistem wilayah Kolut yang kelak mendatangkan bencana ekologis yang akhir ini mulai

terjadi, juga tingkat kesuburan tanah yang selama

ini terkenal dengan “surga bumi” akan terus berkurang

yang kini mulai dirasakan dan dikeluhkan dampaknya oleh

para penghuni wilayah tersebut.

Mas Darwin

Dalam perspektif inilah, maka urgensi “Revitalisasi

Kelembagaan dan Penguatan Kapasitas

Pranata Sosial Pedesaan” sebagai upaya strategis dan

antisipatif yang menjadi driving force untuk menyoal

melalui studi komunitas yang berintikan pada pendekatan etnografi,

historikal dan komparatif.

TUJUAN DAN KONSTRIBUSI PENELITIAN

Penelitian bertujuan untuk menemukan formulasi proses pemberdayaan lembaga dan

pranata sosial pedesaan, sehingga kelak mampu memiliki kapasitas dalam konteks social

power, political power/bargaining position, dan kemampuan

psychological power untuk melakukan perlawanan terhadap infiltrasi dan penetrasi ekonomi

kapitaisme global.

STUDI BIBLIOGRAFIBerbagai pandangan yang mengemuka atas konsep

kelembagaan dan organisasi. Namun kesemuanya

berintikan bahwa di satu sisi kelembagaan dan organisasi merupakan objek yang sama

karena selalu dapat ditemukan pada satu bentuk social form. Sementara pada

sisi lain sebagian ahli berpendapat keduanya

berbeda. Emile Durkheim

STUDI BIBLIOGRAFIMisalnya... Wiradi (1995)

mengatakan bahwa institusi dan organisasi adalah berbeda, karena aspek-aspek institusi merupakan pola-pola kelakuan, norma-norma

yang ada, fungsi dari tata kelakukan, dan kebutuhan apa

yang menjadi orientasi dari kemapanan pola-pola kelakuan

tersebut. Sedangkan aspek-aspek organisasi merupakan struktur umum, struktur kewenangan/

kekuasaan, alokasi sumber daya, aspek-aspek solidaritas,

hubungan kegiatan dengan tujuan, dan lain-lain.

Emile Durkheim

Demikian pula menurut Agus Pakpahan (1991) bahwa kelembagaan itu adalah

software dan organisasi itu adalah hardware-nya dalam suatu bentuk grup sosial.

Makanya, menurut Nataatmadja (1993) bahwa kelembagaan dan

organisasi tidak bisa dipisahkan, karena organisasi

merupakan perangkat keras dan kelembagaan merupakan

perangkat lunaknya.

STUDI BIBLIOGRAFI

Secara lebih kompleks, menurut Koentjaraningrat (1964) bahwa lembaga

kemasyarakatan/lembaga sosial atau pranata sosial adalah suatu sistim norma

khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu kebutuhan khusus dalam kehidupan

masyarakat.

Soekanto (2003) mendefinisikan lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan dari

norma-norma segala tindakan berkisar pada suatu kebutuhan pokok manusia di dalam

kehidupan masyarakat.

Rahardjo (1999) bahwa social institution secara ringkas dapat diartikan sebagai kompleks

norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang

sangat penting dalam masyarakat, dan merupakan wadah dan perwujudan yang lebih

konkret dari kultur dan struktur.

STUDI BIBLIOGRAFI Perdebatan tentang perubahan masyarakat desa terutama di Jawa

bermula dari hasil penemuan Geertz di tahun 1950-an. Inti gagasannya bahwa

kebijakan politik ekonomi tanam paksa oleh

Pemerintah Belanda telah menyebabkan terjadinya

proses involusi dan shared of poverty. Emile Durkheim

Maksud dari pandangan ini bahwa dampak dari kebijakan Pemerintah Belanda tidak mengakibatkan masyarakat desa terbagi

menjadi lapisan (kaya-miskin) sebagaimana umumnya yang terjadi di semua negara

berkembang.

Max Weber

STUDI BIBLIOGRAFI

Hal ini terjadi, karena budaya komunitas pedesaan mengandung potensi homogenitas

sosial yang egaliter dan simetris (Wahono, 1994). Inilah yang sesungguhnya dimaksud

Scott (1985), bahwa tindakan petani tadisional didasarkan pada prinsip-prinsip

moral.

Max Weber

STUDI BIBLIOGRAFI

Keputusan penting dalam kegiatan sosial-ekonomi bertumpuh pada moral subsistensi, bukan atas dasar prinsip rasional

sebagaimana yang dikembangkan oleh pihak ekonom klasik dan neo-

klasik.

Menurut Collier dkk (1974) bahwa revolusi

hijau telah menciptakan proses evolusi,

sehingga sistem kelembagaan egaliter

masyarakat desa menjadi semakin

tertutup yang pada gilirannya dapat

menimbulkan kesenjangan dan

polarisasi sosial di pedesaan.

Pandangan Collier yang sejalan dengan para penganut teori ekonomi radikal Marxis,

cenderung melihat ekonomi berskala dalam teknologi moderen sebagai penyebab utama

terciptanya polarisasi. Meskipun ada sebagian ahli yang kemudian berpaling lagi

kepada pandangan Geertz

Bagi Hayami dan Kikuchi (1987) yang coba

meminggirkan sedikit perhatian, menyebutkan bahwa kesenjangan di

pedesaan bukan disebabkan oleh teknologi, karena

teknologi bersifat netral, akan tetapi disebabkan oleh persebaran teknologi yang

kurang maju sehingga kurang cepat mengejar

pertumbuhan penduduk yang terjadi.

Adapun orientasi dan arah penguatan kapasitas itu, menurut Friedman (1992) adalah berupa proses pembedayaan dalam konteks matra

kekuasaan sosial (social power), kekuasaan politik (political power/bargaining position), dan

kemampuan psikologis (psychological power).

METODE PENELITIAN

Max Weber

Dalam upaya perumusan strategi pemberdayaan dan penguatan kapasitas

kelembagaan dan pranata sosial perdesaan, maka studi komunitas merupakan

pendekatan penelitian yang dianggap paling tepat untuk mendeskripsikan secara

komprehensif atas eksistensi kelompok sosial ekonomi kerakyatan.

Menurut Steward (1950: 210) tentang studi ini “..... this approach has three distintive methodological

aspects. First, it is ethnografic; the culture of a tribe, band, or village is studied in its totality, all

form of behavior being seen as functionally interdependent part in the context of a whole.

Second, it is historical: the culture of each society is traced to its sources in a ancestral or groups or

among neighboring peoples. Third, it is comparative: each group is viewed in the

perspective of other group which have different cultures, and problems and methodes are used

cross culturally”.

TERIMA KASIHSEMOGA BERMANFAAT !!

Wassalaamu ‘Alaikum

Warahmatullahi Wabarakaatuh